Anda di halaman 1dari 15

Nephrotic syndrome (Sindroma nefrotik)

Sindroma nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN) ditandai
dengan edema anarsarka, proteinuria massif 3, 5 g/hari, hiperkolesterolemia dan lipiduria. (1,
2)
Pada proses awal atau SN ringan, untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala ditemukan.
Proteinuria massif merupakan tanda khas SN akan tetapi pada SN berat yang disertai kadar
albumin rendah, ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi
terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. (1, 2)
Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen,
hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang serta hormone tiroid sering
dijumpai pada SN. Umumnya, SN dengan fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang
berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Pada beberapa episode SN dapat
sembuh sendiri dan menunjukkan respone yang baik terhadap terapi steroid akan tetapi sebagian
lain dapat berkembang menjadi kronik. (1, 2)

Etiologi
Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer dan GN sekunder akibat infeksi, keganasan,
penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), akibat obat atau toksin dan akibat
penyakit sistemik seperti yang tercantum pada tabel 1.
Tabel 1 Klasifikasi dan Penyebab Sindrom Nefrotik:
Glomerulonefritis Primer
-

0 GN lesi minimal (GNLM)


1 Glomerulosklerosis fokal (GSF)
2 GN Membranosa (GNMN)
3 GN Membranoploriferatif (GNMP)
4 GN Proliferatif lain

Glomerulonefritis sekunder akibat:


Infeksi:
-

5 HIV, hepatitis virus B dan C


6 Sifilis, malaria, skistosoma
7 Tuberkulosis, lepra

Keganasan:
-

Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin, myeloma multiple, dan


karsinoma ginjal.

Penyakit jaringan penghubung

Lupus Eritematosus Sistemik, Artritia Reumatoid, MCTD (mixed connective tissue


disease)

Efek obat dan toksin


-

Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas, penisilinamin, probenesid, air raksa,


kaptpril, heroin.

Lain-lain:
-

Diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi alograf kronik, refluks vesikoureter,


atau sengatan lebah.

Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam
kelompok GN primer, terbagi atas: (a) GN lesi minimal (GNLM) sering pada anak anak, (b)
Glomerulosklerosis fokal (GSF), (c) GN membranosa (GNMN) sering pada orang dewasa dan
(d) GN membranoproliferatif (GNMP). (1, 2)
Glomerulonefritis sekunder akibat ineksi yang sering dijumpai misalnya pada GN pasca infeksi
Streptokokus atau infeksi virus hepatitis virus B, akibat obat misalnya obat anti inflamasi non
steroid atau preparat emas organic, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus
eritematosus sistemik dan diabetes mellitus. (1, 2).

Patofisiologi
Reaksi antigen antibodi menyebabkan permeabilitas membran basalis glomerulus meningkat
diikuti oleh kebocoran protein (albumin).
Proteinuri:
Proteinuri merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar berasal dari kebocoran
glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus
(proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus menyebabkan
peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang
diekskresikan dalam urin adalah albumin. Protein lain yang diekskresi adalah globulin pengikat
tiroid, IgG, IgA, antitrombin III dan protein pengikat vitamin D. (1, 2)
Derajat proteinuri tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus. Pasase
protein plasma yang lebih besar dari 70 kD melalui membrana basalis glomerulus normalnya
dibatasi oleh charge selective barrier (suatu polyanionic glycosaminoglycan) dan size selective
barrier. Pada nefropati lesi minimal, proteinuri disebabkan terutama oleh hilangnya charge
selectivity sedangkan pada nefropati membranosa disebabkan terutama oleh hilangnya size
selectivity. (1, 2)

Hipoalbuminemi

Keadaan ini disebabkan oleh kehilangan sejumlah protein tubuh melalui urine (proteinuria) dan
usus (protein loosing enteropathy), katabolisma albumin, pemasukan protein yang kurang kerana
nafsu makan yang menurun dan utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal. Jika
kompensasi hepar dalam mensintesa albumin tidak adekuat, akan terjadi hipoproteinemi. (1, 2)
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati dan kehilangan
protein melalui urin. Pada SN, hipoalbuminemia disebabkan oleh protenuria massif dengan
akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Oleh itu, untuk mempertahankan tekanan onkotik
plasma, maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati
tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan
sintesis albumin hati. Akan tetapi tetap dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui
urin. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme
albumin oleh tubulus proksimal. (1, 2)

Hiperlipidemi
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL),
trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau
menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di
perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density
lipoprotein dari darah).(3)
Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan
tekanan onkotik. (3)

Lipiduri
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini berasal
dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang permeabel. (3)

Edema
Teori underfil menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan factor utama terjadinya edema
pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan
bergeser dari intravascular ke jaringan interstisium dan terjadi edema. Oleh kerana itu, ginjal
melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisma kompensasi
ini akan memperbaiki volume intravascular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berat. (1, 2)
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium sebagai defek renal utama. Retensi natrium
oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju
filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah terjadinya retensi natrium dan edema.
Kedua mekanisma tersebut ditemukan pada pasien SN. (1, 2)

Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa
pembentukan edema merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume plasma menurun
secara bermakna pada saat pembentukan edema dan meningkat selama fase diuresis. (1, 2)

Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan plasminogen
activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen,
peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen
(faktor IX, XI).(3)

Kerentanan terhadap infeksi


Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat ginjal, penurunan sintesis
dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri
berkapsul seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga terjadi
gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni dan peritonitis.(3)

Manifestasi klinis (1, 2, 3, 4)


Protenuria: > 3.0 gr/24 jam. Perubahan pada membrana dasar glomerulus menyebabkan
peningkatan permebilitas glomerulus terhadap protein plasma yaitu albumin.
Hipoalbuminemia: albumin serum 3, 5 g/1, 73m2 luas permukaan tubuh/hari), hipoalbuminemi
(<3 g/dl), edema, hiperlipidemi, lipiduri dan hiperkoagulabilitas. Pemeriksaan tambahan seperti
venografi diperlukan untuk menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi akibat
hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang
menentukan prognosis dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.

Penatalaksanaan (1, 2, 3)

Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan
pengobatan non-spesifik untuk mengurangi protenuria, mengontrol edema dan mengobati
komplikasi. Etiologi sekunder dari sindrom nefrotik harus dicari dan diberi terapi, da obat-obatan
yang menjadi penyebabnya disingkirkan.
a). Diuretik
Diuretik ansa henle (loop diuretic) misalnya furosemid (dosis awal 20-40 mg/hari) atau golongan
tiazid dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic (spironolakton) digunakan
untuk mengobati edema dan hipertensi. Penurunan berat badan tidak boleh melebihi 0, 5 kg/hari.

b). Diet.
Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgbb./hari, sebagian besar terdiri dari karbohidrat. Diet
rendah garam (2-3 gr/hari), rendah lemak harus diberikan. Penelitian telah menunjukkan bahwa
pada pasien dengan penyakit ginjal tertentu, asupan yang rendah protein adalah aman, dapat
mengurangi proteinuria dan memperlambat hilangnya fungsi ginjal, mungkin dengan
menurunkan tekanan intraglomerulus. Derajat pembatasan protein yang akan dianjurkan pada
pasien yang kekurangan protein akibat sindrom nefrotik belum ditetapkan. Pembatasan asupan
protein 0, 8-1, 0 gr/ kgBB/hari dapat mengurangi proteinuria. Tambahan vitamin D dapat
diberikan kalau pasien mengalami kekurangan vitamin ini.

c) Terapi antikoagulan
Bila didiagnosis adanya peristiwa tromboembolisme, terapi antikoagulan dengan heparin harus
dimulai. JUmlah heparin yang diperlukan untuk mencapai waktu tromboplastin parsial (PTT)
terapeutik mungkin meningkat karena adanya penurunan jumlah antitrombin III. Setelah terapi
heparin intravena , antikoagulasi oral dengan warfarin dilanjutkan sampai sindrom nefrotik dapat
diatasi.

d) Terapi Obat
Terapi khusus untuk sindroma nefrotik adalah pemberian kortikosteroid yaitu prednisone 1 1, 5
mg/kgBB/hari dosis tunggal pagi hari selama 4 6 minggu. Kemudian dikurangi 5 mg/minggu
sampai tercapai dosis maintenance (5 10 mg) kemudian diberikan 5 mg selang sehari dan
dihentikan dalam 1-2 minggu. Bila pada saat tapering off, keadaan penderita memburuk kembali
(timbul edema, protenuri), diberikan kembali full dose selama 4 minggu kemudian tapering off
kembali. Obat kortikosteroid menjadi pilihan utama untuk menangani sindroma nefrotik
(prednisone, metil prednisone) terutama pada minimal glomerular lesion (MGL), focal segmental
glomerulosclerosis (FSG) dan sistemik lupus glomerulonephritis. Obat antiradang nonsteroid
(NSAID) telah digunakan pada pasien dengan nefropati membranosa dan glomerulosklerosis
fokal untuk mengurangi sintesis prostaglandin yang menyebabkan dilatasi. Ini menyebabkan
vasokonstriksi ginjal, pengurangan tekanan intraglomerulus, dan dalam banyak kasus penurunan
proteinuria sampai 75 %.
Sitostatika diberikan bila dengan pemberian prednisone tidak ada respon, kambuh yang berulang
kali atau timbul efek samping kortikosteroid. Dapat diberikan siklofosfamid 1, 5 mg/kgBB/hari.
Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan lovastatin dapat
menurunkan kolesterol LDL, trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL.
Obat anti proteinurik misalnya ACE inhibitor (Captopril 3*12, 5 mg), kalsium antagonis
(Herbeser 180 mg) atau beta bloker. Obat penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin
converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II dapat menurunkan tekanan
darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria.

Komplikasi
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar kolesterol pada umumnya
meningkat sedangkan trigliserida bervariasi dari normal sampai sedikit tinggi. Peningkatan kadar
kolesterol disebabkan oleh meningkatnya LDL (low density lipoprotein) yaitu sejenis lipoprotein
utama pengangkut kolesterol. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan oleh peningkatan
sintesis hati tanpa gangguan katabolisme hati. Mekanisma hiperlipidemia pada SN dihubungkan
dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme. (1, 2)
Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai oleh akumulasi lipid pada debris sel dan cast
seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan
dengan protenuria daripada dengan hiperlipidemia. (3)
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan koagulasi intravascular.
Pada SN akibat GNMP kecenderungan terjadinya trombosis vena renalis cukup tinggi. Emboli
paru dan trombosis vena dalam (deep vena trombosis) sering dijumpai pada SN. (2, 3)
Terjadinya infeksi oleh kerana defek imunitas humoral, selular, dan gangguan system
komplemen. Oleh itu bacteria yang tidak berkapsul seperti Haemophilus influenzae and
Streptococcus pneumonia boleh menyebabkan terjadinya infeksi. Penurunan IgG, IgA dan
gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh kerana sintesis yang menurun atau
katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urine. (2)
Gagal ginjal akut disebabkan oleh hypovolemia. Oleh kerana cairan berakumulasi di dalam
jaringan tubuh, kurang sekali cairan di dalam sirkulasi darah. Penurunan aliran darah ke ginjal
menyebabkan ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik dan timbulnya nekrosis tubular akut. (1,
2, 3)

Prognosis (5, 6)
Prognosis tergantung pada kausa sindrom nefrotik. Pada kasus anak, prognosis adalah sangat
baik kerana minimal change disease (MCD) memberikan respon yang sangat baik pada terapi
steroid dan tidak menyebabkan terjadi gagal ginjal (chronic renal failure). Tetapi untuk penyebab
lain seperti focal segmental glomerulosclerosis (FSG) sering menyebabkan terjadi end stage
renal disease (ESRD). Faktor faktor lain yang memperberat lagi sindroma nefrotik adalah level
protenuria, control tekanan darah dan fungsi ginjal.

DAFTAR PUSTAKA
Wiguno Prodjosudjadi, Divisi Ginjal Hipertensi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi ke-4, Aru
W.Sudoyo, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, 2006
Gunawan, C.A, Sindrom Nefrotik Patogenesis dan Penatalaksanaan, Bagian/ SMF Ilmu Penyakit
Dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Mulawarman / RSUD A.Wahab
Sjahranie Samarinda

Sukandar E, Sulaeman R. Sindroma nefrotik. Dalam: Soeparman, Soekaton U, Waspadji S et al


(eds). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1990. p. 282-305.
http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview
http://www.merck.com/mmpe/sec17/ch235/ch235b.html
Emil A. Tanagho, Diagnosis of Medical Renal Disease, Smiths General Urology, 6th edition,
Janet Foltin, The McGraw Hill Companies, 2004, p: 530-532

SINDROM NEFROTIK

I.

PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis yang ditandai
dengan proteinuria masif ( 3 3, 5 g/hari atau rasio protein kreatinin pada urin sewaktu > 300350 mg/mmol), hipoalbuminemia (<25 g /l), hiperkolesterolemia (total kolesterol > 10 mmol/L),
dan manifestasi klinis edema periferal. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan
diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. 1,2, 3
SN dapat terjadi pada semua usia, dengan perbandingan pria dan wanita 1:1 pada orang dewasa.
SN terbagi menjadi SN primer yang tidak diketahui kausanya dan SN sekunder yang dapat
disebabkan oleh infeksi, penyakit sistemik, metabolik, obat-obatan, dan lain-lain.1,2,3,4
Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar
albumin serum rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi
terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN.Hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan
lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium
dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN.Umumnya pada SN fungsi ginjal
normal kecuali pada sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Pada
beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respon yang baik terhadap terapi
steroid, tetapi sebagian lagi dapat berkembang menjadi kronik.1,2, 3

II.

ETIOLOGI

Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi,
keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin, dan
akibat penyakit sistemik.
Klasifikasi dan penyebab sindrom nefrotik didasarkan pada penyebab primer (gangguan
glomerular karena umur), dan sekunder (penyebab sindrome nefrotik). 1,5
a. Penyebab Primer
Umumnya tidak diketahui kausnya dan terdiri atas sindrome nefrotik idiopatik (SNI) atau yang
sering disebut juga SN primer yang bila berdasarkan gambaran dari histopatologinya, dapat
terbagi menjadi;
1.
2.
3.
4.

Sindroma nefrotik kelainan minimal


Nefropati membranosa
Glomerulonephritis proliferative membranosa
Glomerulonephritis stadium lanjut 1,3,5

b. Penyebab Sekunder
a. Infeksi : malaria, hepatitis B dan C, GNA pasc infeksi, HIV, sifilis, TB, lepra,
skistosoma1

b. Keganasan : leukemia, Hodgkins disease, adenokarsinoma :paru, payudara, colon,


myeloma multiple, karsinoma ginjal1,3,5
c. Jaringan penghubung : SLE, artritis rheumatoid, MCTD (mixed connective tissue
disease)1
d. Metabolik : Diabetes militus, amylodosis5
e. Efek obat dan toksin : OAINS, preparat emas, penisilinami, probenesid, kaptopril,
heroin1
f. Berdasarkan respon steroid, dibedakan respon terhadap steroid (sindrom nefrotik yang
sensitive terhadap steroid (SNSS) yang lazimnya berupa kelainan minimal, tidak perlu
biopsy), dan resisten steroid atau SNRS yang lazimnya bukan kelainan minimal dan
memerlukan biopsy.5

III.

EPIDEMIOLOGI

Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%) dijumpai pada usia 2-7 tahun.
Rasio laki-laki: perempuan= 2:1, sedangkan pada masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1:1.
Biasanya 1 dari 4 penderita sindrom nefrotik adalah penderita dengan usia >60 tahun. Namun
secara tepatnya insiden dan prevalensi sindrom nefrotik pada lansi tidak diketahui karena sering
terjadi salah diagnosa2

IV. PATOFISIOLOGI
a.

Proteinuria

Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan


glomerulus (kebocoran glomerulus) yang ditentukan oleh besarnya molekul dan muatan listrik,
dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular). Proteinuria sebagian
berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dahn hanya sebagaian kecil berasal
dari sekresi tubulus (proteinuria tubular). Perubahan integritas membrane basalis glomerulus
menyebabkan peingkatan permeabilitas glomerulus terhadap perotein plasma dan protein utama
yang dieksresikan dalam urin adalah albumin1,2,6

b.

Hipoalbuminemia

Hipoalbumin disebabka oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan katabolisme
albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk
mengganti kehilagan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal menurun
Peningkatan permeabilitas glomerulus menyebabkan albuminuria dan hipoalbumineia. Sebagai
akibatnya hipoalbuminemia menurunkan tekanan onkotik plasma koloid, meyebabkan
peningkatan filtrasi transkapiler cairan keluar tubuh dan menigkatkan edema.2

c.

Hiperlipidemia

Kolesterol serum, VLDL (very low density lipoprotein), LDL (low density lipoprotein),
trigliserida meningkat sedangkan HDL (high density lipoprotein) dapat meningkat, normal atau
meningkat.Hal ini disebabkan sintesis hipotprotein lipid disintesis oleh penurunan katabolisme di
perifer.Peningkatan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.2,4

d.

Hiperkoagulabilitas

Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C, dan plasminogen
activating factor dalam urin dan meningkatnya factor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen,
peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya factor
zymogen.2,4

V.

TANDA DAN GEJALA

Gejala pertama yang muncul meliputi anorexia, rasa lemah, urin berbusa (disebabkan oleh
konsentrasi urin yang tinggi). Retensi cairan menyebabkan sesak nafas (efusi pleura), oligouri,
arthralgia, ortostatik hipotensi, dan nyeri abdomen (ascites).
Untuk tanda dan gejala yang lain timbul akibat komplikasi dari sindromnefrotik.5,6

VI.

DIAGNOSA

Diagnose SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium berupa


proteinuria massif >3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari), hipoalbuminemia <3 g/dl, edema,
hiperlipideia, lipiduria, dan hiperkoagulabilitas. Pemeriksaan tambahan seperti venerologi
diperlukan untuk menegakkan diagnose thrombosis vena yang dapat terjadi akibat
hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang
menentukan prognosis dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.2,5

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan penunjang berikut:

Urinalisis

Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindromk nefrotik.Proteinuria berkisar 3+ atau 4+ pada
pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat.3+ menandakan
kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk
dalam nephrotic range.2

Pemeriksaan sedimen urin

Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel yang mengandung
butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak hialin dan torak eritrosit.2

Pengukuran protein urin

Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot collection. Timed
collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang
sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total protein urin 150 mg. Adanya proteinuria
masif merupakan kriteria diagnosis.2, 8
Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin > 2g/g, ini
mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak 3g.2,8

Albumin serum

- Kualitatif: ++ sampai ++++


- Kuantitatif: > 50 mg/kgBB/hari (diperiksa dengan memakai reagen ESBACH)

Pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan imunologis

USG renal

Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.2

Biopsi ginjal

Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN congenital, onset usia> 8 tahun, resisten
steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat manifestasi nefritik signifikan.Pada
SN dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsy mungkin diperlukan untuk diagnosis.Penegakan
diagnosis patologi penting dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan
prognosis yang berbeda. Penting untuk membedakan minimal-change disease pada dewasa
dengan glomerulosklerosisfokal, karena minimal-change disease memiliki respon yang lebih
baik terhadap steroid.2

Darah:

Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:2


-

VIII.

Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gm/100ml)


Albumin menurun (N:4-5,8 gm/100ml)
1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml)
2 globulin meninggi (N: 0,4-1 gm/100ml)
globulin normal (N: 0,5-0,9 gm/100ml)
globulin normal (N: 0,3-1 gm/100ml)
rasio albumin/globulin <1 (N:3/2)
komplemen C3 normal/rendah (N: 80-120 mg/100ml)
Ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal.

PENATALAKSANAAN

Tata laksana sindrom nefrotik dibedakan atas pengobatan dengan imunosupresif dan atau
imunomodulator, dan pengobatan suportif atau simtomatik. Penatalaksanaan ini meliputi terapi
spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab (pada SN sekunder), mengurangi
atau menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemia, serta mencegah dan mengatasi
penyulit.2,5

Terapi Kortikosteroid
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang memberikan respon
terapi yang baik terhadap steroid.Pengobatan dengan kortikosteroid dibedakan antara pengobatan
inisial dan pengobatan relaps.2,5
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya pada orang
dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 8minggu diikuti 1
mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4-12 minggu, tapering di 4 bulan berikutnya.Sampai
90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggunamun 50% pasien akan
mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.2,5
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi parsial dan
resisten.Dikatakan remisi lengkap jika proteinuria minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum
>3 g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika
proteinuria<3,5 g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang
lancar dan masih edema. Dikatakan resisten jika klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan
perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.5
Kelompok SNSS dalam perjalanan penyakit dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu SN nonrelaps (30%), SN relaps jarang (10-20%), SN relaps sering dan SN dependen steroid (40-50%).
Sindrom nefrotik non relaps ialah penderita yang tidak pernah mengalami relaps setelah
mengalami episode pertama penyakit ini. Sindrom nefrotik relaps jarang ialah anak yang
mengalami relaps kurang dari 2 kali dalam periode 6 bulan atau kurang dari 4 kali dalam periode
12 bulan setelah pengobatan inisial. Sindrom nefrotik relaps sering ialah penderita yang
mengalami relaps >2 kali dalam periode 6 bulan pertama setelah respons awal atau > 4 kali
dalam periode 12 bulan. Sindrom nefrotik dependen steroid bila dua relaps terjadi berturut-turut
pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam waktu 14 hari setelah pengobatan dihentikan. 5,7
Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid dapat diberikan dengan steroid jangka
panjang, yaitu setelah remisi dengan prednison dosis penuh dilanjutkan dengan steroid
alternating dengan dosis yang diturunkan bertahap sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kg secara alternating. Dosis ini disebut sebagai
dosis treshold, diberikan minimal selama 3-6 bulan, kemudian dicoba untuk dihentikan.5,7
Pengobatan lain adalah menggunakan terapi nonsteroid yaitu: Siklofosfamid, Klorambusil,
Siklosporin A, Levamisol, obat imunosupresif lain, dan ACE inhibitor.Obat-obat ini utamanya
digunakan untuk pasien-pasien yang non-responsif terhadap steroid.5

Terapi suportif/simtomatik
Proteinuria
ACE inhibitor diindikasikan untuk menurunkan tekanan darah sistemik dan glomerular serta
proteinuria. Obat ini mungkin memicu hiperkalemia pada pasien dengan insufisiensi ginjal
moderat sampai berat.Restriksi protein tidak lagi direkomendasikan karena tidak memberikan
progres yang baik.1,4

Edema
Diuretik hanya diberikan pada edema yang nyata, dan tidak dapat diberikan SN yang disertai
dengan diare, muntah atau hipovolemia, karena pemberian diuretik dapat memperburuk gejala
tersebut.Pada edema sedang atau edema persisten, dapat diberikan furosemid dengan dosis 1-3
mg/kg per hari.Pemberian spironolakton dapat ditambahkan bila pemberian furosemid telah lebih
dari 1 minggu lamanya, dengan dosis 1-2 mg/kg per hari.Bila edema menetap dengan pemberian
diuretik, dapat diberikan kombinasi diuretik dengan infus albumin.Pemberian infus albumin
diikuti dengan pemberian furosemid 1-2 mg/kg intravena.Albumin biasanya diberikan selang
sehari untuk menjamin pergeseran cairan ke dalam vaskuler dan untuk mencegah kelebihan
cairan (overload).Penderita yang mendapat infus albumin harus dimonitor terhadap gangguan
napas dan gagal jantung.1,2,5,7
Dietetik
Jenis diet yang direkomendasikan ialah diet seimbang dengan protein dan kalori yang adekuat.
Kebutuhan protein anak ialah 1,5 2 g/kg, namun anak-anak dengan proteinuria persisten yang
seringkali mudah mengalami malnutrisi diberikan protein 2 2,25 g/kg per hari. Maksimum
30% kalori berasal dari lemak.Karbohidrat diberikan dalam bentuk kompleks seperti zat tepung
dan maltodekstrin.Restriksi garam tidak perlu dilakukan pada SNSS, namun perlu dilakukan
pada SN dengan edema yang nyata.1,2,5,7
Infeksi
Penderita SN sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering ialah selulitis dan peritonitis.Hal
ini disebabkan karena pengeluaran imunoglobulin G, protein faktor B dan D di urin, disfungsi sel
T, dan kondisi hipoproteinemia itu sendiri.Pemakaian imunosupresif menambah risiko terjadinya
infeksi.Pemeriksaan fisis untuk mendeteksi adanya infeksi perlu dilakukan.Selulitis umumnya
disebabkan oleh kuman stafilokokus, sedang sepsis dapa SN sering disebabkan oleh kuman
Gram negatif.Peritonitis primer umumnya disebabkan oleh kuman Gram-negatif dan
Streptococcus pneumoniae sehingga perlu diterapi dengan penisilin parenteral dikombinasikan
dengan sefalosporin generasi ke-tiga, seperti sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari. Di
Inggris, penderita SN dengan edema anasarka dan asites masif diberikan antibiotik profilaksis
berupa penisilin oral 125 mg atau 250 mg, dua kali sehari sampai asites berkurang.1,2,5,7
Hipertensi
Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15% kasus, atau terjadi sebagai akibat
efek samping steroid.Pengobatan hipertensi pada SN dengan golongan inhibitor enzim
angiotensin konvertase, calcium channel blockers, atau beta adrenergic blockers.1,2,5,7
Hipovolemia
Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian diuretik yang tidak terkontrol,
terutama pada kasus yang disertai dengan sepsis, diare, dan muntah. Gejala dan tanda
hipovolemia ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan perfusi buruk, peningkatan kadar urea
dan asam urat dalam plasma. Pada beberapa anak memberi keluhan nyeri abdomen.Hipovalemia
diterapi dengan pemberian cairan fisiologis dan plasma sebanyak 15-20 ml/kg dengan cepat, atau
albumin 1 g/kg berat badan.1,2,5,7
Tromboemboli

Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh karena keadaan hiperkoagulabilitas.


Selain disebabkan oleh penurunan volume intravaskular, keadaan hiperkoagulabilitas ini
dikarenakan juga oleh peningkatan faktor pembekuan darah antara lain faktor V, VII, VIII, X
serta fibrinogen, dan dikarenakan oleh penurunan konsentrasi antitrombin III yang keluar melalui
urin. Risiko terjadinya tromboemboli akan meningkat pada kadar albumin plasma < 2 g/dL,
kadar fibrinogen > 6 g/dL, atau kadar antitrombin III < 70%. Pada SN dengan risiko tinggi,
pencegahan komplikasi tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian asetosal dosis rendah
dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan bila telah terhadi tromboemboli, dengan dosis 50 U/kg
intravena dan dilanjutkan dengan 100 U/kg tiap 4 jam secara intravena.1,2,5,7
Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada SN meliputi peningkatan kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan asam lemak.
Kolesterol hampir selalu ditemukan meningkat, namun kadar trigliserida, fosfolipid tidak selalu
meningkat. Peningkatan kadar kolesterol berbanding terbalik dengan kadar albumin serum dan
derajat proteinuria. Keadaan hiperlipidemia ini disebabkan oleh karena penurunan tekanan
onkotik plasma sebagai akibat dari proteinuria merangsang hepar untuk melakukan sintesis lipid
dan lipoprotein, di samping itu katabolisme lipid pada SN juga menurun. Hiperlipidemia pada
SNSS biasanya bersifat sementara, kadar lipid kembali normal pada keadaan remisi, sehingga
pada keadaan ini cukup dengan pengurangan diit lemak. Pengaruh hiperlipidemia terhadap
morbiditas dan mortalitas akibat kelainan kardiovaskuler pada anak penderita SN masih belum
jelas.Manfaat pemberian obat-obat penurun lipid seperti kolesteramin, derivat asam fibrat atau
inhibitor HMG-CoA reduktase (statin) masih diperdebatkan.1,2,5,7
IX.

PROGNOSIS

Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada
SN.Pengobatan SN dan komplikasinya saat ini telah menurunkan morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan sindrom.Saat ini, prognosis pasien dengan SN bergantung pada
penyebabnya. Remisi sempurna dapat terjadi dengan atau tanpa pemberian kortikosteroid.2
Hanya sekitar 20 % pasien dengan glomerulosklerosis fokal mengalami remisi proteinuria, 10 %
lainnya membaik namun tetap proteinuria. Banyak pasien yang mengalami frequent relaps,
menjadi dependen-steroid, atau resisten-steroid. Penyakit ginjal kronik dapat muncul pada 25-30
% pasien dengan glomerulosklerosis fokal segmental dalam 5 tahun dan 30-40 % muncul dalam
10 tahun.2
Orang dewasa dengan minimal-change nephropathymemiliki kemungkinan relaps yang sama
dengan anak-anak. Namun, prognosis jangka panjang pada fungsi ginjal sangat baik, dengan
resiko rendah untuk gagal ginjal.2Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67%
kasus SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsialpada 50% SN nefropati membranosa
dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal segmental.Perlu diperhatikan efek samping
pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis,
hipertensi, diabetes mellitus.2,4
Respon yang kurang terhadap steroid dapat menandakan luaran yang kurang baik. Prognosis
dapat bertambah buruk disebabkan (1) peningkatan insidens gagal ginjal dan komplikasi
sekunder dari SN, termasuk episode trombotik dan infeksi, atau (2) kondisi terkait pengobatan,
seperti komplikasi infeksi dari pemberian imunosupressive.2Penderita SN non relaps dan relaps

jarang mempunyai prognosis yang baik, sedangkan penderita relaps sering dan dependen steroid
merupakan kasus sulit yang mempunyai risiko besar untuk memperoleh efek samping steroid.
SN resisten steroid mempunyai prognosis yang paling buruk.2,8
Pada SN sekunder, prognosis tergantung pada penyakit primer yang menyertainya.Pada nefropati
diabetik, besarnya proteinuria berhubungan langsung tingkat mortalitas.Biasanya, ada respon
yang baik terhadap blockade angiotensin, dengan penurunan proteinuria, dan level
subnefrotik.Jarang terjadi remisi nyata. Resiko penyakit kardiovaskular meningkat seiring
penurunan fungsi ginjal, beberapa pasienakan membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal.2
Pada amiloidosis primer, prognosis tidak baik, bahkan dengan kemoterapi intensif. Pada
amiloidosis sekunder, remisi penyebab utama, seperti rheumatoid arthritis, diikuti dengan remisi
amiloidosis dan ini berhubungan dengan SN.2

Anda mungkin juga menyukai