Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gizi kurang khususnya pada balita masih menjadi isu kesehatan
world health organization (WHO). Secara global, pada tahun 2012
terdapat 162 juta anak di dunia yang menderita gizi kurang. Sedangkan
di negara berkembang, prevalensi gizi kurang mencapai 23% (1). Data
WHO, pada September 2014 menyebutkan sebanyak 6,3 juta balita di
dunia meninggal pada tahun 2013 dan sebesar 45% dari kematian
tersebut terkait dengan kekurangan gizi (2). Berdasarkan hasil riset
kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 20072013, prevalensi kejadian gizi
kurang di Indonesia tidak banyak mengalami perubahan yaitu dari
13,0% menjadi 13,9%. Menurut Riskesdas 2013, Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) termasuk provinsi dengan persentase kejadian
gizi kurang dan gizi buruk tertinggi pertama yaitu sebesar 34,0 %
dengan prevalensi gizi kurang lebih dari 25%. (3)
Gizi buruk dan gizi kurang berdampak pada kesehatan balita.
Status gizi kurang akan mempengaruhi morbiditas dan mortalitas (4).
Salah satu dampak gizi buruk dan gizi kurang pada balita di Indonesia
adalah tingginya angka kematian balita (AKABA) sebesar 40
kematian/1000 kelahiran hidup pada tahun 2012 (5). Anak yang
kekurangan gizi pada usia balita akan mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangaan otak yang berpengaruh pada rendahnya tingkat

kecerdasan karena tumbuh kembang otak

80% terjadi pada masa

dalam kandungan sampai usia dua tahun. Diperkirakan bahwa


Indonesia kehilangan 220 juta IQ poin akibat kekurangan gizi (6).
Penelitian pada masyarakat urban kumuh di Nagpur oleh Dhatrak,
dkk (2013), menemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gizi
kurang pada balita yaitu berat badan lahir rendah, ibu melek huruf,
ayah laterasi, kurangnya pemberian ASI dan ketidaklengkapan
imunisasi dasar (7). Penelitian lainnya yang dilakukan di Nigeria dan
Bostwana, menemukan bahwa faktor-faktor yang yang signifikan
dengan gizi buruk adalah jenis kelamin anak, usia anak, orang tua
tunggal, pendapatan orang tua pendidikan dan IMT ibu, asupan kalori,
akses terhadap air bersih, ketersediaan jamban di rumah tangga dan
menyusui anak dapat mengurangi terjadinya gizi kurang (8) (4).
Penelitian di Indonesia dengan menggunakan data Riskesdas 2007
yang dilakukan oleh Trintrin (2011), memukan beberapa faktor-faktor
yang mempengaruhi gizi kurang dan buruk antara lain: pendidikan
orang tua, pekerjaan kepala keluarga, jumlah anggota rumah tangga,
status ekonomi, ISPA, ketersediaan jamban dan saluran pembuangan
limbah (9). Penelitian lainnya menemukan bahwa balita yang
mendapatkan vitamin A memiliki risiko gizi buruk dan gizi kurang
yang lebih rendah (10) (11). Penelitian Tarigan (2003), menemukan
bahwa anak yang menderita diare 2,1 kali lebih tinggi terkena gizi
kurang, dibandingkan dengan status gizi baik (12). Penelitian Susanty

(2012) menemukan bahwa ibu yang tidak memberikan ASI ekslusif


mempunyai risiko 2,51 kali mempunyai balita dengan status gizi buruk
(13). Penelitian lainnya menemukan bahwa kelengkapan imunisasi
secara tidak langsung memiliki hubungan yang signifikan dengan
status gizi (14).
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan seperti masalah gizi
kurang, dampak dan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian gizi
kurang. Masalah gizi kurang di Indonesia dapat diselesaikan dengan
lintas sektor dengan komitmen penuh dari pihak-pihak terkait, bahkan
di provinsi NTT dengan prevalensi tinggi sekalipun bisa diselesaikan
yaitu dengan mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhinya
sehingga dapat dicegah terjadinya kasus gizi kurang dan gizi buruk.
Oleh karena itu, mengingat sangat tingginya kejadian gizi kurang pada
balita di provinsi NTT yang dapat menyebabkan masalah kesehatan
bagi balita bahkan kematian, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai determinan kejadian gizi kurang pada balita usia
12-24 dengan menggunakan data sekunder Riskesdas 2013.

B. Rumusan Masalah
Secara global, pada tahun 2011 terdapat 102 juta anak di dunia
yang menderita gizi kurang. Sedangkan di negara berkembang,
prevalensi gizi kurang mencapai 23% pada tahun tersebut. Berdasarkan
hasil Riskesdas 2013, Di Indonesia kasus gizi kurang mencapai 13,9%

dan mengalami peningkatan sebesar 0.9% dari tahun 2007-2013


dengan presentase tertinggi pertama di provinsi NTT pada tahun 2013
dan 2007.
Akibat dari gizi kurang pada balita

akan mengakibatkan

morbiditas, mortalitas dan risiko kehilangan tingkat kecerdasan,


Indonesia kehilangan 220 juta IQ poin akibat kekurangan gizi sehingga
berdampak pada lahirnya generasi muda yang tidak berkualitas.
Masalah gizi kurang pada balita sangat dipengaruhi oleh penyebab
langsung yaitu asupan makanan dan penyakit infeksi yang terkait satu
sama lain. Penyebab tidak langsung seperti ketersedian pangan, pola
asuh anak, jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan. Kejadian gizi
kurang di Indonesia sangat tinggi terutama di provinsi NTT yang dapat
menyebabkan masalah kesehatan pada bayi seperti gizi buruk bahkan
kematian pada balita, oleh karena itu perlu diteliti lebih lanjut dengan
analisis data Riskesdas 2013 mengenai determinan yang berhubungan
dengan kejadian gizi kurang pada balita usia 12-24 bulan di provinsi
NTT.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana distribusi gizi kurang pada balita usia 12-24 bulan
berdasarkan sosial demografi di Provinsi
data riskesdas tahun 2013?

NTT dengan analisis

2. Bagaimana distribusi gizi kurang pada balita usia 12-24 bulan


berdasarkan penyakit infeksi di Provinsi NTT dengan analisis data
riskesdas tahun 2013?
3. Bagaimana distribusi gizi kurang pada balita usia 12-24 bulan
berdasarkan kondisi kesehatan lingkungan di Provinsi NTT dengan
analisis data riskesdas tahun 2013?
4. Bagaimana distribusi gizi kurang pada balita usia 12-24 bulan
berdasarkan pola asuh ibu di Provinsi NTT dengan analisis data
riskesdas tahun 2013?
5. Apakah ada Hubugan sosial demografi dengan kejadian gizi kurang
pada anak usia 12-24 bulan di Provinsi NTT dengan analisis data
riskesdas tahun 2013?
6. Apakah ada hubungan penyakit infeksi

dengan kejadian gizi

kurang pada anak usia 12-24 bulan di Provinsi

NTT dengan

analisis data riskesdas tahun 2013?


7. Apakah ada hubungan kondisi kesehatan lingkungan dengan
kejadian gizi kurang pada anak usia 12-24 bulan di Provinsi NTT
dengan analisis data riskesdas tahun 2013?
8. Apakah ada hubungan pola asuh ibu dengan kejadian gizi kurang
pada anak usia 12-24 bulan di Provinsi NTT dengan analisis data
riskesdas tahun 2013?

D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Diketahuinya determinan kejadian gizi kurang pada balita usia 1224 bulan di Provinsi NTT dengan analisis data riskesdas tahun
2013
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya distribusi gizi kurang pada balita usia 12-24 bulan
berdasarkan sosial demografi di Provinsi NTT dengan analisis
data riskesdas tahun 2013.
b. Diketahuinya distribusi gizi kurang pada balita usia 12-24
bulan berdasarkan penyakit infeksi di Provinsi NTT dengan
analisis data riskesdas tahun 2013
c. Diketahuinya distribusi gizi kurang pada balita usia 12-24 bulan
berdasarkan kondisi kesehatan lingkungan di Provinsi NTT
dengan analisis data riskesdas tahun 2013.
d. Diketahuinya distribusi gizi kurang pada balita usia 12-24 bulan
berdasarkan pola asuh ibu di Provinsi NTT dengan analisis
data riskesdas tahun 2013
e. Diketahuinya Hubugan sosial demografi dengan kejadian gizi
kurang pada anak usia 12-24 bulan di Provinsi NTT dengan
analisis data riskesdas tahun 2013.

f. Diketahuinya hubungan penyakit infeksi dengan kejadian gizi


kurang pada anak usia 12-24 bulan di Provinsi NTT dengan
analisis data riskesdas tahun 2013
g. Diketahuinya hubungan kondisi kesehatan lingkungan dengan
kejadian gizi kurang pada anak usia 12-24 bulan di Provinsi
NTT dengan analisis data riskesdas tahun 2013.
h. Diketahuinya hubungan pola asuh ibu dengan kejadian gizi
kurang pada anak usia 12-24 bulan di Provinsi NTT dengan
analisis data riskesdas tahun 2013.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Sebagai sarana pengembangan diri dan penerapan pengetahuan
yang diperoleh penulis mengenai metodologi penelitian dengan
menuangkan gagasan dan pemikiran dalam bentuk penelitian
kesehatan masyarakat.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Bisa dijadikan sebagai bahan bacaan di perpustakaan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang diharapkan
bermanfaat sebagai referensi untuk melakukan penelitian lebih
lanjut terkait dengan faktor determinan kejadian gizi kurang.

3. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai Distribusi
dan determianan kejadian gizi kurang pada balita di provinsi NTT,
masyarakat dapat mengetahui faktor apa saja yang berhubungan
dengan kejadian gizi kurang sehingga dapat menambah wawasan
pengetahuan dan diharapkan dapat mencegah terjadianya kejadian
gizi kurang.
4. Bagi Dinas Kesehatan Provinsi NTT
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam
perbaikan program gizi masyarakat terutama pada balita serta
program kesehatan Ibu dan Anak (KIA) terutama mengenai
permasalahan tingginya kejadian gizi buruk pada anak sehingga
Dinas Kesehatan Provinsi NTT dapat merencanakan dan membuat
program penanggulangan sesuai dengan kondisi provinsi NTT.
Serta menjadi pertimbangan dalam upaya perbaikan gizi agar lebih
efektif dengan selalu mengkaji faktor risiko tersebut.

F. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui determinan yang
berhubungan dengan kejadian kejadian gizi kurang pada bayi usia 1224 bulan di Provinsi NTT. Populasi dalam penelitian mengacu pada
populasi dalam Riskesdas 2013. Penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif dengan desain studi Cross Sectional menggunakan data

Riskesdas 2013 Instrumen pada penelitian berupa Kuesioner Survei


Riskesdas 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah semua wanita
usia 15-49 tahun yang mempunyai bayi berusia 12-24 bulan di
Provinsi NTT. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah semua sampel yang terkumpul dalam Riskesdas 2013. Sampel
adalah wanita usia 15-49 tahun yang mempunyai bayi berusia 12-24
bulan di Provinsi NTT, dimana bayi yang terpilih merupakan anak
terakhir yang dilahirkan ibu dan tercatat dalam survei Riskesdas.
Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa peminatan Epidemiologi
program studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober- Desember
tahun 2013.

BAB II
TINJAUN PUSTAKA
A. Status Gizi Balita
Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh adanya
keseimbangan antara jumlah asupan (intake) zat gizi dengan jumlah yang
dibutuhkan (required) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis seperti
pertumbuhan

fisik,

perkembangan,

aktivitas

atau

produktivitas,

pemeliharaan kesehatan dan lain-lain (15). Dalam pengukuran status gizi


anak, ukuran yang umum dan cukup mudah digunakan adalah melalui
antropometri. Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan
indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan
indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena
berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan (16)
Gambar 2.1
Status Gizi menurut BB/U

(Sumber: standar antropometri penilaian status gizi)

B. Gizi Kurang
Menurut Gibney, Michael J, dkk (2005), menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan gizi kurang adalah keadaan dimana tubuh seseorang
kekurangan nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan dan harus ada di dalam tubuh
untuk proses pertumbuhan atau dengan kata lain zat gizi yang dibutukan
tubuh hilang dengan jumlah yang lebih besar daripada yang didapat (17).

10

Jika nutrisi-nutrisi tersebut tidak dapat dipenuhi di dalam tubuh, maka


menyebabkan berkurang atau terhambatnya pertumbuhan seperti kurang
zat sumber tenaga dan kurang protein (zat pembangun) yang diperoleh dari
makanan anak. Selain itu gizi kurang dapat diartikan suatu keadaan berat
badan yang kurang (underweight) dimana berat badan seseorang lebih
rendah daripada berat yang ideal/standar menurut usianya (17). Sedangkan
menurut Ghouwa Ismail dan Shahnaaz Suffla (2013) gizi kurang adalah
penyebab dari asupan makanan yang tidak cukup, perawatan yang tidak
memadai dan adanya penyakit menular yang diderita (18).
Selain itu, gizi kurang paling banyak terjadi pada anak-anak balita,
sehingga golongan anak disebut golongan rawan atau rentan. Keadaan gizi
kurang pada balita dalam konteks kesehatan masyarakat biasanya dinilai
dengan menggunakan kriteria antropometrik atau data yang berhubungan
dengan makronutrien yang ada didalam makanan (17). Menurut
antropometri yang digunakan di Indonesia untuk mengukur status gizi
kurang pada balita, dikatan gizi kurang apabila memiliki berat badan
menurut usia kurang dari -2 standar deviasi (< -2.0 SD). Kriteria tersebut
digunakan untuk menegakkan doagnosa status gizi kurang (16).

C. Dampak Gizi Kurang

11

Dampak gizi kurang yang terjadi pada anak sangat banyak,


tetapi secara langsung berdampak terhadap kesakitan dan kematian,
risiko meninggal dari anak yang bergizi kurang 13 kali lebih besar
dibandingkan yang normal. WHO memperkirakan bahwa 54%
penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi anak yang
jelek (6). Dampak lainnya yaitu balita dapat mengalami gangguan
pertumbuhan dan perkembangaan otak, penurunan berat badan dan
kurangnya asupan protein, kalori dan zat gizi lainya. Selain itu mereka
berisiko untuk berbagai komplikasi jangka pendek dan panjang.
Komplikasi jangka pendek contohnya implikasi kekebalan dan
pertumbuhan, sedangkan implikasi jangka panjang implikasi kognitif
dan motorik seperti penurunan nilai IQ, keterampilan sosial menurun,
kemampuan bahasa kurang, menurunnya intelektual dan produktivitas
(19). Kekurangan gizi pada anak di Indonesia dapat diperkirakan
dengan hilangnya 220 juta IQ poin akibat kekurangan gizi pada anak.
Selain itu, dampak lain dari gizi kurang adalah menurunkan
produktivitas yang diperkirakan antara 20% - 30% (6).
D. Determinan Kejadian Gizi Kurang
1. Sosio Demografi
Faktor-faktor sosial-demografi,

balita

dengan

gizi

kurang

mempunyai definisi yang sangat luas diantaranya seperti

kondisi

sosial, ekonomi dan lingkungan dimana balita tersebut dilahirkan,


kehidupan sosial, pekerjaan dan usia orang tua, termasuk kesehatan
dan kesejahteraan sosial. Menurut ada tiga tingkatan sosial demografi

12

sebagai determinan gizi kurang yaitu, individu, rumah tangga /


masyarakat dan sosial (20).
a. Pendidikan
Menurut Penelitian

Peninah

K.

Masibo

(2013)

ditemukan bahwa pendidikan ibu mempunyai hubungan yang


signifikan dengan kejadian gizi kurang (p=0,000) (21). Hal yang
sama menurut rangkuman hasil dari beberapa penelitian yang
telah dilakukan yang diperoleh dari data besar

(National

Demographic Health Survey) ditemukan bahwa pendidikan ibu


dan kekayaan merupakan faktor penting terkait dengan status
gizi. Hal ini serupa dengan hasil penelitian yang h dilakukan
oleh Saputra dan Murrizka (2012) prevalensi status gizi buruk
dan gizi kurang semakin rendah seiring dengan meningkatnya
pendidikan kepala rumah tangga. Karena dengan tingginya
pendidikan orang tua, maka informasi yang didapat mengenai
gizi akan lebih baik. Selain itu, pemberdayaan masyarakat akan
lebih mudah dilaksanakan kepada keluarga (orang tua) yang
memiliki status pendidikan tinggi (minimal SMA) karena dalam
teori yang sudah ada menyatakan bahwa

pendidikan yang

secara tidak langsung akan mengubah budaya buruk dan


paradigma ditatanan bawah dalam hal perawatan gizi terhadap
keluarga termasuk anak (6).
b. Pekerjaan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Devi (2010)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pekerjaan Ayah

13

dengan status gizi pada Balita dengan p value sebesar <0,05.


Ayah yang bekerja sebagai Buruh/Petani/Nelayan memiliki
risiko sangat besar terhadap Balita yang memiliki stastus gizi
buruk. Pada penelitian yang dilakukan oleh Saputra tahun 2012
menunjukan

bahwa

Ayah

yang

bekerja

sebagai

Buruh/Petani/Nelayan berisiko 1,617 kali terhadap Balita


dengan status gizi buruk. Hal ini dikarenakan Ayah yang
memiliki pekerjaan sebagai Buruh/Petani/Nelayan tersebut
memiliki pendapatan yang kurang mencukupi kebutuhan gizi
anak, sehingga berpengaruh pada status gizi pada anaknya (10).
Sedangkan ibu yang bekerja mempunyai efek proterktif yaitu
berkontribusi terhadap pengurangan anak gizi kurang, karena
ibu

yang

bekerja

memungkinkan

perempuan

untuk

mendapatkan penghasilan sendiri untuk memenuhi status gizi


balitanya.
c. Jenis kelamin balita
Menurut penelitian yang dilakukan Trintin, dkk (2009),
mengenai faktor pembeda prevalensi gizi kurang dan buruk
pada balita di daerah tidak miskin, menunjukkan bahwa
kelompok balita perempuan mempunyai presentase tertinggi
pada status gizi kurang dan gizi buruk yaitu sebesar 50,9% (9).
Menurut penelitian yang telah dilakukan Meylani, dkk (2012)
mengenai pengaruh malnutrisi terhadap faktor lainnya,
menujukkan bahwa status gizi kurang pada balita laki-laki lebih

14

dominan sebesar 26,7% dibandingkan dengan balita perempuan


(22).
2. Penyakit Infeksi
a. ISPA dan Diare
Terjadinya hubungan timbal balik antara kejadian infeksi
penyakit dan gizi buruk atau kurang. Anak menderita gizi kurang
akan mengalami penurunan daya tahan tubuh, sehingga anak
rentan terhadap penyakit infeksi. Disisi lain anak yang menderita
sakit infeksi akan cenderung menderita gizi buruk atau gizi kurang
(15). Faktor risiko kejadian gizi buruk yang paling dominan adalah
penyakit penyerta pada balita. Seperti ISPA (infeksi saluran
pernafasan akut ) dan diare, penyakit infeksi termasuk ISPA dan
diare dapat memperburuk keadaan gizi melalui gangguan masukan
makanan dan kehilangan zat-zat sesensial tubuh. Dampak infeksi
terhadap pertumbuhan seperti menurunnya berat badan, hal ini
disebabkan oleh hilangnya nafsu makan penderita infeksi hingga
masukan atau intake zat gizi dan energi kurang dari kebutuhannya.
Menurut penelitian yang dilakukan Tarigan (2003),
ditemukan bahwa kemungkinan anak yang menderita diare 2,1
kali lebih tinggi terkena gizi kurang. Sama halnya pada penyakit
ISPA, kemungkinan terjadinya gizi kurang pada anak yang
menderita ISPA 1,4 kali lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak
ISPA dan presentase anak gizi kurang dengan sumber air minum
buruk 1,2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan status gizi baik
(12). Penelitian tersebut bertolak belakang dengan penelitian yang

15

dilakukan oleh

Mustafa (2013) menganai hubungan penyakit

infeksi dengan status gizi hasil analisis bivariat menunjukkan tidak


terdapat hubungan bermakna antara penyakit infeksi dengan status
gizi (BB/U) balita di wilayah kerja Puskesmas Tilote (p=0,102)
(23).
3. Kesehatan Lingkungan
Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi
atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif
terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Ruang
lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain: pembuangan
kotoran manusia (tinja)/ketersediaan jamban dan

penyediaan air

bersih atau sumber air bersih.


a. Ketersediaan Jamban
Ketersediaan jamban merupakan salah satu indikator rumah
tangga sehat. Keberadaan fasilitas buang air besar telah menjadi
kebutuhan penting pada kehidupan masyarakat modern.
ketersediaan dan penggunaan fasilitas tempat buang air besar
merupakan isu penting dalam menentukan kualitas hidup
penduduk. Ketersediaan jamban memang tidak berpengaruh
secara langsung dengan kejadian gizi kurang dan gizi buruk
pada balita. Namun, ketersediaan jamban berpengaruh terhadap
kejadian penyakit infeksi seperti diare yang dapat menjadi salah
satu faktor penyebab timbulnya kejadian gizi kurang dan gizi
buruk pada balita. Berdasarkan hasil penelitian yang telah

16

dilakukan ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara


status gizi dengan ketersediaan jamban dirumah tangga (9) (8).
b. Sumber Air Bersih
Sumber air bersih

utama merupakan salah satu sarana

sanitasi yang tidak kalah pentingnya berkaitan dengan kejadian


diare. Sebagian kuman infeksius penyebab diare ditularkan
melalui jalur fekal oral. Mereka dapat ditularkan dengan
memasukkan ke dalam mulut, cairan atau benda yang tercemar
dengan tinja, misalnya air minum, jari-jari tangan, dan makanan
yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air tercemar
(24). Menurut hasil penelitian Tarigan ditemukan bahwa
presentase anak gizi kurang dengan sumber air minum buruk 1,2
kali lebih tinggi dibandingkan dengan status gizi baik (12).

4. Pola Asuh
Asuhan gizi adalah suatu perilaku keluarga terutama ibu dalam
upaya memberikan makanan, mengasuh, memelihara kesehatan,
mencegah penyakit, dan upaya pengobatan saat anak sakit.
Pengasuhan yang salah disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan
keterampilan keluarga atau ibu sehingga menimbulkan perilaku yang
tidak sehat ( Depkes RI, 2004). Menurut penelitian Mustapa (2013)
mengenai analisis faktor determinan kejadian masalah gizi pada balita,
dapat diketahui bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pola
asuh dengan status gizi pada balita (P=0,023), Pola asuh ibu dalam

17

penelitian ini meliputi, pemberian ASI ekslusif, pemberian vitamin A


dan imunisasi dasar.
a. Pemberian ASI Ekslusif
Pola asuh Ibu terhadap balita juga dapat menurunkan
prevalensi gizi buruk, misalnya pemberian ASI ekslusif. Pada
saat ini

6,7 juta balita atau 27,3% dari seluruh balita di

Indonesia menderita kurang gizi akibat pemberian ASI dan


Makanan pendamping ASI yang salah (6). Menurut penelitian
Ernawati, 2009 dalam Mustapa, 2013. Anak-anak yang ketika
bayi diberi ASI esklusif lebih memiliki daya tahan tubuh
yang baik dibandingkan anak-anak yang tidak diberikan ASI
esklusif (23). Penelitian tersebut menghasilkan jawaban yang
sama dengan hasil penelitian Susanty (2012) yang menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola pemberian
ASI berdasarkan frekuensi menyusui (p=0,017) dan lama
menyusui sehari dengan kejadian gizi buruk dan merupakan
faktor risiko (p=0,037).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Giri,
dkk (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi balita usia 624 bulan (P = 0,029 (nilai P < 0,05)) (25). Riskesdas (2007)
menunjukkan bahwa gizi buruk dan gizi kurang sudah dialami
oleh bayi berusia di bawah enam bulan akibat kurangnya
pemberian ASI eksklusif (22).
b. Pemberian Imunisasi Dasar

18

Pemberian imunisasi dilihat berdasrkan kelengkapan dan


ketepatan pemberian imunisasi pada balita. Status imunisasi
dasar dapat mempengaruhi status gizi balita berdasarkan berat
badan menurut umur

(BB/U). pada penelitian terdahulu

diketahui proporsi anak balita dengan gizi lebih, kurang atau


buruk lebih banyak ditemukan pada anak balita dengan status
imunisasi dasar tidak lengkap dibandingkan dengan status
imunisasi dasar lengkap. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
anak balita dengan status imunisasi dasar tidak lengkap lebih
berisiko menjadi status gizi kurang dan buruk (26). Jika balita
imunisasinya tidak lengkap, maka ketepatan imunisasinya pun
tidak tepat dan akan menimbulkan Penyakit Dapat Dicegah
Dengan Imunisasi (PD3I) dan PD3I akan menyebabkan
penurunan status gizi yang berujung terjadinya gizi kurang atau
gizi buruk (27).
Dalam penelitian yang dilakukan di Kelurahan Watonea
wilayah kerja Puskesmas Katobu, Kabupaten Muna ditemukan
hasil bahwa ada hubungan yang signifikan kelengakapan
imunisasi dengan status gizi ,dengan nilai p = 0,000. Penelitian
ini

menunjukkan bahwa anak yang mendapatkan imunisasi

lengkap sebagian besar (34,3%) jarang menderita sakit. Oleh


karena itu dengan kelengkapan imunisasi, seorang anak dapat
membantu menjaga daya tahan tubuhnya dari serangan penyakit
tertentu (14). Hal tersebut dikarenakan imunisasi memberikan

19

zat kekebalan kepada Balita, sehingga Balita tersebut tidak


rentan terhadap penyakit. Bayi yang terkena penyakit akan
menyebabkan menurunnya nafsu makan dan asupan makanan ke
dalam tubuh Balita menjadi berkurang.
c. Pemberian Vitamin A
Vitamin A penting untuk kesehatan mata dan sistem
kekebalan tubuh, sumber vitamin A dapat ditemukan di susu, hati,
telur, buah-buahan yang berwarna merah dan oranye, dan sayuran
berwarna hijau.asupan harian vutamin A seringkali tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan makanan. Kapsul vitamin A cukup
diberikan 2 kali dalam setahun dengan dosis tinggi. (28).
Kekurangan vitamin A dapat menurunkan fungsi kekebalan tubuh
sehingga

dapat

meningkatkan

terjadinya

morbiditas

dan

mortalitas dari beberapa penyakit infeksi seperti diare dan infeksi


saluran pernapasan bawah. Peranan vitamin A adalah membentuk
respon imun melalui peningkatan respon imun sel T dan retinol
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan diferensiasi limfosit
B (leukosit yang berperan dalam proses kekebalan humoral) (29).
Menurut penelitian yang dilakukan Dewi (2012) apabila
presentase balita yang mendapatkan vitamin A naik sebesar satu
persen, maka presentase angka gizi buruk akan turun sebesar
0,7613 persen (11). Sama halnya dengan penelitian yang
dilakukan Saputra (2012) ditemukan bahwa, balita yang

20

mendapatkan vitamin A memiliki risiko gizi buruk dan gizi


kurang yang lebih rendah (10).
E. Kerangka Teori
Sebuah kerangka konsep dalam penelitian harus
sesuai dengan kerangka teori. Kerangka teori

dalam

penelitian ini berhubungan dengan penelitian yang akan


dilakukan. Kerangka teori ini disusun berdasarkan teori
determinan kejadian gizi kurang UNICEF (1990) yang telah
dimodifkasi dari beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya (30) (31) (21) (28) (20). Berikut kerangka teori
Buruk
yang digunakan dalam Gizi
penelitian
ini:

Tidak ada penanganan

Gizi Kurang

Bagan 2.2

Kerangka Teori Determinan Kejadian Gizi Kurang


BB/U -2 SD

Berat Badan tidak naik setiap bulan


Gangguan pertumbuhan

Makanan Tidak seimbang

Sosio demograf

Penyakit infeksi (diare)

Pola Asuh ibu yang kurang baik


Kondisi lingkungan yang tidak sehat

21
Pelayanan kesehatan yang tidak mendukung

BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan bagian dari kerangka teori yang akan
diteliti, untuk mendeskripsikan secara jelas antara variabel dependen
dengan variabel independennya (3). Berdasarkan kerangka teori yang telah
dikemukakan sebelumnya, terdapat beberapa faktor yang berhubungan
dengan kejadian gizi kurang. Dari semua faktor pada kerangka teori, tidak
semua diambil sebagai variabel penelitian karena sangat bergantung pada
ketersediaan data Riskesdas 2013 .
faktor yang akan diteliti dalam penelitian ini terdiri dari faktor
sosio demografi (terdiri dari variabel: pekerjaan orang tua, tingkat
pendidikan, tempat tinggal, jumlah anggota keluarga ), faktor penyakit
infeksi (terdiri dari variabel : penyakit diare), faktor kondisi kesehatan
lingkungan (terdiri dari variabel : saluran pembuangan limbah,
22

ketersediaan jamban dan sumber air bersih), faktor pola asuh ibu (terdiri
dari variabel : pemantauan berat badan balita, pemberian imunisasi dasar,
pemberian ASI dan kapsul vitamin A). Beberapa

variabel tersebut

digambarkan dalam kerangka konsep berikut ini.

Faktor Sosio Demograf


Pekerjaan orang tua,
Tingkat pendidikan ibu
Tempat tinggal
jumlah anggota keluarga

Gambar 3. 1
Kerangka Konsep

Faktor Penyakit Infeksi


penyakit diare

Kejadian Gizi Kurang


Faktor Kondisi Kesehatan Lingkungan
saluran pembuangan limbah
ketersediaan jamban
sumber air bersih

Faktor Pola Asuh Ibu


pemantauan berat badan balita,
pemberian imunisasi dasar
pemberian ASI dan kapsul vitamin A

23

B. Definisi Operasional
Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini
menyesuaikan dengan definisi operasional yang digunakan oleh Riskesdas
2013, yang menjadi

perbedaan terletak pada hasil ukur, dimana

pengkategorian hasil ukur dalam

penelitian ini disesuaikan dengan

keperluan penelitian. Variabel yang akan diteliti

dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut.


1. Variabel Dependen
a. Kejadian Gizi Kurang
Gizi kurang pada balita didefinisikan sebagai berat badan yang
kurang menurut umur. Untuk mengukur status gizi kurang pada
balita dengan menggunakan standar antropometri yaitu apabila
balita memiliki berat badan menurut umur kurang dari -2 standar
deviasi (<-2,0 SD). Kejadian gizi kurang pada balita dalam
kuesioner Riskesdas 2013 dianalisis kembali berdasarakan
kuesioner pengukuran dan pemeriksaan (K01 dan K02) untuk
mendapatkan status gizi balita. hasil ukur yang digunakan adalah 0
apabila gizi kurang dan 1 apabila normal atau gizi lebih.
2. Variabel Independen
a. Faktor Sosio Demografi
1) Pekerjaan orang tua

24

Status pekerjaan didefinisikan sebagai status pekerjaan ayah,


yang dilakukan ayah baik dirumah maupun diluar rumah dan
memperoleh penghasilan/imbalan. Hasil ukur yang digunakan
adalah 0 apabila ayah bekerja tidak tetap (nelayan, petani,
buruh dan tidak bekerja) dan 1 apabila bekerja tetap (PNS,
Pegawai swasta, wiraswata).
2) Tingkat pendidikan ibu
Pendidikan didefinisikan sebagai jenjang pendidikan tertinggi
yang pernah/sedang dijalani Ibu, yang terdiri dari tidak pernah
bersekolah,

tidak tamat SD/MI, tamat SD/MI, tamat

SLTP/MTS, tamat SLTA/MA, tamat D1/D2/D3, tamat PT


(perguruan tinggi). Dalam penelitian ini, pengkategorian
pendidikan mengacu

pada Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 mengenai Wajib Belajar.


Pendidikan rendah jika tamat < SMA dan pendidikan tinggi
jika tamat = SMA (Kemendiknas, 2008). Hasil ukur yang
digunakan adalah 0 apabila ibu tidak pernah bersekolah, tidak
tamat SD/MI, tamat SD/MI, tamat SLTP/MTS dan 1 apabila
ibu telah menamatkan pendidikan pada jenjang SMA, Diploma
atau Perguruan Tinggi.
3) Tempat tinggal
Tempat tinggal didefinisikan sebagai daerah tempat tinggal
responden yang dibagi menjadi 2 kategori, yaitu perdesaan
dan perkotaan.

Hasil ukur yang digunakan dalam penelitian

25

ini adalah 0 apabila ibu bertempat tinggal di rural dan 1


apabila ibu bertempat tinggal di urban.
4) Jumlah anggota keluarga
Jumlah anggota keluarga didefinisikan sebagai jumlah yang
ada dalam satu rumah tangga, yang terdiri dari anak dan orang
tua, tetap tidak anak yang sudah menikah. Sesuai dengan
kebijakan BKKBN

yaitu 2 anak cukup, sehingga jumlah

anggota keluarga tersebut terdiri dari 4 orang. Hasil ukur yang


digunakan adalah 0 apabila mempunyai jumlah anggota
keluarga lebih dari 4 orang dan 1 apabila jumlah anggota
keluarga kurang atau sama dengan 4 ( 4).
b. Faktor penyakit infeksi
1) Penyakit Diare
Penyakit diare didefinisikan apabila balita pernah menderita
buang air besar lebih dari 3 kali dalam sehari dengan
kotoran/tinja lembek atau cair. Hasil ukur yang digunakan
adalah 0 apabila balita pernah menderita diare (dalam 2
minggu terakhir atau > 2 minggu 1 bulan) dan 1 apabila
balita tidak pernah menderita diare (dan ibu tidak tahu
balitanya pernah menderita diare atau tidak).
c. Faktor kondisi lingkungan
1) Saluran pembuangan limbah
Saluran pembungan limbah didefinisikan sebagai

dimana

sarana pembuangan air limbah dari kamar mandi/tempat


cuci/dapur. Hasil ukur yang digunakan adalah 0 apabila
pembuangan air limbah
pekarangan

atau

tanpa

26

di penampungan terbuka di
penampungan

(di

tanah)

atau

penampung diluar pekarangan) dan 1 apbila dibuang ke


penampungan tertutup pekarangan atau langsung dibuang ke
got).
2) Ketersediaan jamban
Ketersediaan
jamban didefinisikan sebagai ketersediaan
penggunaan fasilitas tempat buang air besar sebagian besar
anggota rumah tangga. hasil ukur yang digunakan adalah 0
apabila tidak tersedia/tidak memiliki jamban (milik bersama
atau umum atau tidak ada) dan 1 apabila tersedia (milik
sendiri).
3) Sumber air bersih
Sumber air bersih didefinisikan sebagai jenis sumber air utama
untuk seluruh keperluan rumah tangga. hasil ukur yang
digunaakan adala 0 apabila sumber air dari sumur gali tak
terlindung atau dari mata air tak terlindung atau dari
penampungan air hujan atau dari air sungan/irigasi/kali/danau
dan 1 apabila sumber air dari air ledeng PDAM, atau dari air
ledeng eceran atau membeli atau dari sumur bor/pompa atau
dari sumur gali terlindungi atau dari mata air terlindungi).
d. Faktor pola asuh ibu
1) Pemantauan Berat Badan Balita
Pemantaun berat badan balita didefinisikan sebagai ibu
menimbang balitanya ke pelayanan kesehatan dalam 6 bulan
terakhir. Hasil ukur yang digunakan 0 apabila balita tidak
ditimbang dalam 6 bulan terakhir dan 1 apbila balita ditimbang
dalam 6 bulan terakhir.
2) Pemberian Imunisasi Dasar

27

Pemberian imunisasi dasar pada balita didefinisikan adanya


catatan pemberian imunisasi pada balita yang tercatat dalam
KMS/Buku KIA/Buku Catatan Anak sebagai bukti balita telah
diimunisasi. Hasil ukur yang digunakan adalah 0 apabila tidak
ada catatan imunisai dan 1 apabila ada catatan imunisasi,
3) Pemberian Asi
Pemberian ASI pada balita didefinisikan, apakah balita pernah
disusui atau diberi ASI oleh ibu kandungnya. Hasil ukur yang
digunakan adalah 0 apabila tidak diberikan ASI dan 1 apabila
pernah diberi ASI pleh ibu kandungnya.
4) Kapsul Vitamin A
Pemberian kapsul vitamin A didefinisikan sebagai pemberian
kapsul vitamin A kepada balita dalam 6 bulan terakhir. Hasil
ukur yang digunakan adalah 0 apabila balita tidak pernah
diberikan kapsul vitamin A atau ibu tidak tahu apakah anaknya
pernah dibeikan kapsul vitamin A atau tidak dan 1 apabila
balita pernah mendapatkan kapsul vitamin A atau belum
waktunya (umur 6 bulan).

28

C. Hipotesis
1. Apakah ada hubungan antara faktor sosio demografi (pekerjaan orang
tua, tingkat pendidikan, tempat tinggal, jumlah anggota keluarga )
dengan kejadian gizi kurang pada balita usia 12-24 bulan di peovinsi
NTT?
2. Apakah ada hubungan antara faktor penyakit infeksi (penyakit diare)
dengan kejadian gizi kurang pada balita usia 12-24 bulan di peovinsi
NTT?
3. Apakah ada hubungan antara faktor kondisi kesehatan lingkungan
(saluran pembuangan limbah, ketersediaan jamban dan sumber air
bersih) dengan kejadian gizi kurang pada balita usia 12-24 bulan di
peovinsi NTT?
4. Apakah ada hubungan antara faktor pola asuh ibu (pemantauan berat
badan balita, pemberian imunisasi dasar, pemberian ASI dan kapsul
vitamin A) dengan kejadian gizi kurang pada balita usia 12-24 bulan di
peovinsi NTT?

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

29

A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi
cross sectional atau desain studi potong lintang. Desain cross sectional
dipakai untuk menguraikan distribusi dan frekuensi karakteristik kesehatan
dalam masyarakat dan asosiasi karakteristik itu dengan variabel lainnya,
sehingga dapat diperoleh informasi yang dapat menjadi petunjuk lanjut
tentang faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan (32). Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui determinan kejadian gizi kurang balita usia
12-24 bulan di provinsi NTT dengan menganalisis data sekunder dari hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 merupakan

survei

berskala nasional yang dimaksudkan untuk menggambarkan masalah


kesehatan penduduk di seluruh pelosok Indonesia, yang terwakili oleh
penduduk di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Riskesdas
2013 dilaksanakan oleh Badan penelitian dan pengembangan kesehatan
(Balitbangkes) dengan waktu pelaksanaan pengumpulan data dari bulan
Mei-Juni 2013, di 33 provinsi dan 497 Kabupaten/Kota. Penelitian ini
akan dianalisis lebih lanjut dengan fokus pada satu provinsi yaitu Provinsi
NTT. Adapun penelitian dengan menggunakan data Riskesdas 2013 ini
dilaksanakan pada bulan Januari-Februari 2015.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi

30

Populasi dalam penelitian ini mengacu pada populasi dalam


Riskesdas 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumah
tangga biasa tercatat dalam Riskesdas 2013 di Provinsi NTT.
2. Sampel
Kerangka sampel yang digunakan dalam Riskesdas 2013 terdiri
dari dua jenis, yaitu kerangka sampel untuk penarikan sampel tahap
pertama (daftar primary sampling unit (PSU) dalam master sampel.
Kerangka sampel pemilihan tahap pertama adalah daftar primary
sampling unit (PSU) dalam master sampel. Jumlah PSU dalam master
sampel adalah 30.000 yang dipilih secara probability proportional to
size (PPS) dengan jumlah rumah tangga hasil sensus penduduk (SP)
2010. Penarikan sampel tahap kedua

Kerangka sampel pemilihan

tahap kedua adalah seluruh bangunan sensus yang didalamnya terdapat


rumah tangga biasa tidak termasuk institutional household (panti
asuhan, barak polisi/militer, penjara, dsb) hasil pencacahan lengkap
SP2010 (SP2010C1). Bangunan sensus terpilih dan rumah tangga di
dalam

bangunan

sensus

terpilih

terlebih

dahulu

dilakukan

pemutakhiran. Sampel dalam penelitian ini adalah rumah tangga yang

Rumah tangga yang memenuhi


syarat
untuk
dalam
Riskesdas 2013 di Provinsi NTT (
mempunyai
balita
usia diwawancarai
12-24 bulan di provinsi
NTT.
Pengambilan sampel dari data Riskesdas 2013 dilakukan dengan
cara sebagai berikut: proses restriksi sampel dari data Riskesdas 2013

tangga yang mempunyai balita


memenuhi
adalahdan
sebagai
berikut: syarat untuk diwawancarai dalam Riskesdas 2013
Gambar 4.1
Proses Retriksi Sampel

.
memenuhi syarat untuk diwawancarai dalam Riskesdas 2013 dan memiliki balita terakhir usia 12-2

31

Setelah melalui proses retriksi, diperoleh jumlah sampel sebanyak 2.009 rumah t

Jika dilakukan perhitungan besar sampel, maka perhitungan


besar sampel dapat dilakukan menggunakan rumus pengujian
hipotesis beda dua proporsi dua arah, yaitu sebagai berikut:
Z

a
2 P (1 P) +Z 1 P1 ( 1P1) +P2 ( 1P2)
2

P 1P2 2

n=
Keterangan:
n1 = Jumlah sampel minimal
Z = Nilai Z pada derajat kemaknaan
Digunakan nilai Z pada derajat kemaknaan
Z = Nilai Z pada kekuatan uji 1-
Digunakan nilai Z pada kekuatan uji 1-
P = proporsi total = (P1+P2)/2
P1 = proporsi kejadian gizi kurang pada kelompok 1 yang bersumber
dari kepustakaan/penelitian sebelumnya.
P2 = Proporsi kejadian gizi kurang pada kelompok ke 2 yang
bersumber dari kepustakaan/penelitian sebelumnya.
Untuk perhitungan besar sampel pada data survey maka harus
dikalikan dengan efek desain (design effect/deff). Efek desain
merupakan perbandingan (rasio) antara varians yang diperoleh pada
pengambilan sampel secara kompleks dengan varians yang diperoleh
jika pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple
32

random sampling). Ini dikarenakan variasi data yang didapat dari


desain kompleks seperti dalam Riskesdas 2013 lebih besar
dibandingkan variasi data dari desain sampel acak sederhana. Nilai
deff untuk sampel agar diperoleh presisi yang sama dengan
pengambilan sampel acak sederhana, perlu diambil sampel dua kali
lebih banyak (33).
Maka rumus perhitungan besar sampel menjadi
Z

a
2 P (1 P) +Z 1 P1 ( 1P1) +P2 ( 1P2)
2

P 1P2 2

n=

x Deff

Tabel 4.1
Jumlah sampel Penelitian
No
.
1.

2.

Variabel Independen

Peneliti

Faktor Sosio Demografi


a. pekerjaan
orang Ingan
Ukur
tua
Tarigan, 2003
b. tingkat pendidikan Ingan Ukur
Ibu
Tarigan, 2003
c. tempat tinggal
Peninah K.
Masibo, 2010
d. jumlah
anggota Ingan Ukur
keluarga
Tarigan, 2003
Faktor Penyakit Infeksi
a. penyakit diare
Ingan Ukur
33

P1

P2

0,63

0,35

1,96

0,84

130

0,66

0,36

1,96

0,84

136

0,75

0,46

1,96

0,84

156

0,920

0,084

1,96

0,84

78

0,068

0,001

1,96

0,84

109

Tarigan, 2003
3.

Faktor kondisi lingkungan


a. saluran
pembuangan
limbah
b. Ketersedian
jamban

c. sumber air bersih

Trintrin
Tjukami, Sri
Prihatini dan
Hermina, 2011
Trintrin
Tjukami, Sri
Prihatini dan
Hermina, 2011
Trintrin

066

0,46

1,96

0,84

190

0,37

0,21

1,96

0,84

196

0,49

0,21

1,96

0,84

87

0,37

0,05

1,96

0,84

195

0,055

0,05

1,96

0,84

156

0,076

0,03

1,96

0,84

199

0,023

0,005

1,96

0,84

187

Tjukami,Sri
Prihatini
4.

dan

Hermina, 2011
Faktor pola asuh ibu
a. pemantauan berat Trintrin
badan balita
Tjukami, Sri
Prihatini dan
Hermina, 2011
b. pemberian
Trintrin
imunisasi dasar
Tjukami, Sri
Prihatini dan
Hermina, 2011
c. pemberian ASI
Ingan Ukur
Tarigan, 2003
d. pemberian kapsul Riana Kurnia
vitamin A
Dewi, I
Nyoman
Budiantara,
2007

D. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner
Riskesdas 2013. Kuesioner yang digunakan untuk mengumpulkan data
terkait determinan kejadian gizi kurang pada balita usia 12-24 bulan yang
terdiri dari Kuesioner Rumah Tangga dan dan kuesioner individu yang

34

terdiri dari pengenalan tempat, keterangan rumah tangga, keterangan


anggota rumah tangga, kesehatan lingkungan, pemukiman dan ekonomi,
penyakit menular, kesehatan anak dan imunisasi, pengukuran dan
pemeriksaan. Pertanyaan-pertanyaan yang dikumpulkan dalam kuesioner
merupakan pertanyaan yang terkait dengan variabel penelitian ini yang
meliputi; variabel kejadian gizi kurang (berat badan balita/umur balita),
pekerjaan orang tua, tingkat pendidikan, tempat tinggal, jumlah anggota
keluarga, faktor penyakit infeksi , penyakit diare, saluran pembuangan
limbah, ketersediaan jamban dan sumber air bersih, pemantauan berat
badan balita, pemberian imunisasi dasar, pemberian ASI dan kapsul
vitamin A.
E. Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara
mengumpulkan data sekunder hasil Riskesdas tahun 2013. Data yang
diperoleh dan dianalisis dari Riskesdas 2013 yaitu kejadian gizi kurang
(berat badan balita/umur balita), pekerjaan orang tua, tingkat pendidikan,
tempat tinggal, jumlah anggota keluarga, penyakit diare, saluran
pembuangan limbah, ketersediaan jamban dan sumber air bersih,
pemantauan berat badan balita, pemberian imunisasi dasar, pemberian ASI
dan kapsul vitamin A.

35

Tabel 4.2
Variabel dan Kode penelitian pada data Riskesdas 2013
No
Variabel
Kode data
Variabel Dependen
1.
Kejadian Gizi kurang (BB/U K01b, IV kolom 7
-2 SD)
Variabel Independen
2.
Faktor sosio demografi
a. pekerjaan orang tua
IV kode kolom 10
b. tingkat pendidikan
IV kode kolom 10
c. tempat tinggal
I kode 5
d. jumlah anggota keluarga II kode 2
3.
Faktor Penyakit Infeksi
a. penyakit diare
A03
4.
Faktor kondisi lingkungan
a. saluran
pembuangan VIII kode 10
limbah
b. ketersediaan jamban
IX kode 8a
c. sumber air bersih
VII kode 1a
5.
Faktor pola asuh Ibu
a. pemantauan berat badan Ja24
balita
b. pemberian
imunisasi Ja19
dasar
c. pemberian ASI
Jb01
d. pemberian
kapsul Ja27
vitamin A

F. Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan salah satu bagian rangkaian kegiatan
penelitian setelah pengumpulan data. Data yang masih mentah (raw data)
perlu diolah sedemikian rupa sehingga menjadi informasi yang akhirnya
dapat digunakan untuk menjawab tujuan penelitian. Pengolahan data ini

36

dilakukan dengan bantuan perangkat lunak. Melalui tahap-tahap sebagai


berikut:
1. Filter, yaitu menyaring data yang tidak dibutuhkan dalam penelitian.
Terlebih dahulu peneliti mengidentifikasi pertanyaan kuesioner
Riskesdas 2013 yang dianggap berkaitan dengan kejadian gizi kurang
sesuai dengan referensi yang telah didapatkan dan berdasarkan
2.

penelitian terdahulu yang pernah dilakukan.


Cleaning (Pembersihan data), pada tahapan ini dilakukan dengan
memeriksa data dengan cara tabulasi frekuensi dari masing-masing
variabel yang akan diteliti. Analisis tabel frekuensi dilakukan agar
dapat mengecek dan mendeteksi adanya ketidak konsistenan data,
mengetahui variasi data dan untuk mengetahui adanya data yang

missing/hilang untuk menghindari bias.


3. Recoding (Pengkodean ulang), dilakukan dengan membuat kode baru
atau pengkodean ulang pada beberapa variabel yang membutuhkan
perubahan tetentu, hal ini untuk memudahkan pada saat analisis data.
G. Analisis Data
Setelah dilakukan pengolahan data, data yang diperoleh masingmasing dianalisis dengan menggunakan program komputer analisis data.
Adapun analisis data yang dilakukan antara lain:
1. Analisis Univariat
Analisis univariat merupakan analisis yang menggambarkan suatu
data yang akan dibuat baik sendiri maupun secara berkelompok.
Tujuan

dilakukan

analisis

ini

adalah

untuk

mendeskripsikan

karakteristik masing-masing variabel yang diteliti (34). Analisis

37

univariat pada penelitian ini digunakan untuk menganalisis variabel


dependen (kejadian gizi kurang padabalita) dan variabel independen
(pekerjaan orang tua, tingkat pendidikan, tempat tinggal, jumlah
anggota keluarga, penyakit diare, saluran pembuangan limbah,
ketersediaan jamban dan sumber air bersih, pemantauan berat badan
balita, pemberian imunisasi dasar, pemberian ASI dan kapsul vitamin
A), secara deskriptif dengan menganalisis distribusi frekuensi masingmasing variabel.

Tabel 4.3
Analisis Univariat (Distribusi Frekuensi)
Kategori

No Variabel
Variabel Dependen
1.
Kejadian Gizi kurang (BB/U
-2 SD)
Variabel Independen
2.
Faktor sosio demografi
a. pekerjaan orang tua

b. tingkat pendidikan
c. tempat tinggal

3.

d. jumlah
anggota
keluarga
Faktor Penyakit Infeksi
a. penyakit diare

38

Uji Statistik

1. Tidak
2. Iya

Distribusi
Frekuensi

1. Pekerjaan
tidak
tetap
2. Pekerjaan tetap
1. Rendah
2. Tinggi
1. Rural
2. Urban
1. > 4 orang
2. 4 orang

Distribusi
Frekuensi

1. Iya
2. Tidak

Distribusi
Frekuensi

Distribusi
Frekuensi
Distribusi
Frekuensi
Distribusi
Frekuensi

4.

Faktor kondisi lingkungan


a. saluran pembuangan
limbah
b. Ketersedian jamban
c. sumber air bersih

5.

Faktor pola asuh Ibu


a. pemantauan
berat
badan balita
b. pemberian imunisasi
dasar
c. pemberian ASI
d. pemberian
vitamin A

kapsul

1.
2.
1.
2.
1.
2.

Tidak tersedia
Tersedia
Tidak tersedia
Tersedia
Tidak terlindungi
Terlindungi

Distribusi
Frekuensi
Distribusi
Frekuensi
Distribusi
Frekuensi
Distribusi
Frekuensi

1.
2.
1.
2.
1.
2.
1.
2.

Tidak
Iya
Tidak
Iya
Tidak
Iya
Tidak
Iya

Distribusi
Frekuensi
Distribusi
Frekuensi
Distribusi
Frekuensi
Distribusi
Frekuensi

3. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui apakah ada
hubungan yang signifikan antara dua variabel atau dapat juga digunakan
untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan antara dua atau
lebih kelompok (34). Pada penelitian ini analisis bivariat digunakan untuk
mengetahui hubungan antara satu variabel dependen dengan satu variabel
independen. Karena semua variabel dependen dan independen pada
penelitian ini berbentuk kategorik, maka analisis bivariat yang digunakan
adalah uji Chi square dengan membuat tabel silang antara variabel
independen dengan variabel dependen. Untuk melihat adanya kemaknaan
hubungan antara dua variabel maka digunakan tingkat kepercayaan 95%
CI (Confidence Interval) dan derajat kemaknaan (a) sebesar 5% (0,05).
39

Hubungan antara variabel dependen dan variabel independen diketahui


dengan membandingkan nilai p-value dengan nilai a (derajat kemaknaan).
Bila nilai p value lebih kecil daripada nilai a, maka secara statistik variabel
independen tersebut berhubungan dengan variabel dependen (34).

Tabel 4.4
Analisis Bivariat
No
.
1.

2.
3.

4.

Variabel Independen
Faktor Sosio Demografi
e. pekerjaan
orang
tua
f. tingkat pendidikan
g. tempat tinggal
h. jumlah
anggota
keluarga
Faktor Penyakit Infeksi
b. penyakit diare
Faktor kondisi lingkungan
d. saluran
pembuangan
limbah
e. Ketersedian
jamban
f. sumber air bersih
Faktor pola asuh ibu
e. pemantauan berat
badan balita
f. pemberian
imunisasi dasar
g. pemberian ASI
h. pemberian kapsul
vitamin A

Variabel Dependen

Uji Statistik

Kejadian gizi kurang pada balita

Chi square

Kejadian gizi kurang pada balita


Kejadian gizi kurang pada balita
Kejadian gizi kurang pada balita

Chi square
Chi square
Chi square

Kejadian gizi kurang pada balita

Chi square

Kejadian gizi kurang pada balita

Chi square

Kejadian gizi kurang pada balita

Chi square

Kejadian gizi kurang pada balita

Chi square

Kejadian gizi kurang pada balita

Chi square

Kejadian gizi kurang pada balita

Chi square

Kejadian gizi kurang pada balita


Kejadian gizi kurang pada balita

Chi square
Chi square

40

Daftar Pustaka
1. WHO. Infant and young child feeding. [Online].; 2014 [cited 2014 Oktober 9.
Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs342/en/.
2. WHO. Children: Reducing Mortality. [Online].; 2014 [cited 2014 Oktober 9.
Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs178/en/.
3. Kesehatan BPdP. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: BPPK, Kementrian
Kesehatan; 2013.
4. Maghoub MB. Factors Affecting Prevalence Of Malnutrition Among Children Under
Three Years Of Age In Botswana. African Journal Of Food Agricultural Nutrition and
Developmenta (AJfand). 2006; 6(1).
5. SDKI. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). Jakarta:, Badan Pusat
Statistik (BPS); 2012.
6. Adisasmito W. RUU RI Tentang Pemberian Makanan Tambahan dan Pemeriksaan
Kesehatan Berkala Bagi Anak Usia 1- 12 tahun Depok: Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Indonesia; 2008.
7. Dhatrak PNR. Prevalence and Epidemiological Determinants of Malnutrition Among
Under Fives In An Urban Slum, Nagpur. National Journal of Community Medicine.
2013 Maret; 4(1).
8. Babatunde OFSO. Prevalence and Determinants of Malnutrition Among Under-Five
Children Of Farming Households In Kwara State, Nigeria. Journal Of Argicultural
Science. 2011 September; 3(3).
9. Trintin d. Faktor pembeda Prevalensi Gizi Kurang dan Buruk padaBalita di Daerah
Tidak Maiskin. Buletin Penelitian Kesehatan. 2011; 39(2).
10. Saputra d. Faktor Demografi Dan Risiko Gizi Buruk Dan Gizi Kurang. Jurnal
Makara, Kesehatan. Jurnal Makara Kesehatan. 2012; 16(2).
11. Dewi d. Faktor-faktor yang mempengaruhi Angka Gizi Buruk di Jawa Timur dengan
Pendektan Regresi Nonparametik Spline. Jurnal Sains dan Seni. 2013; 1(1).
12. Tarigan IU. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Anak Umur 6-36
Bulan Sebelum dan Saat Krisis Ekonomi di Jawa Tengah. Buletin Penelitian

41

Kesehatan. 2013; 31(1).


13. Susanty MKMHV&A. Hubungan Pola Pemberian ASI dan MP ASI dengan Gizi
Buruk pda Anak 6-24 Bulan di Kelurahan Pannampu Makassar. Media Gizi
Masyarakat Indonesia. 2012; 1(2).
14. Vindriana d. Hubungan Kelengkapan Imunisasi dengan Status Gizi pada Balita Usia
1-5 tahun di Kelurahan Watonea Wilayah Kerja Puskesmas Katobu Kabupaten Muna.
STIKES Nani Hasanudin Makaassar. ISSN 2302-1721. 2012; 1(2).
15. RI D. Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 20052009 Jakarta: DEPKES; 2005.
16. RI K. Kepmenkes RI tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.
Jakarta:, Direktorat Jendral Bina Gizi dan KIA; 2010.
17. Gibney MJd. Gizi Kesehaatan Masyarakat. Edisi Bahasa Indonesia ed. Erlita PW&,
editor. Jakarta: EGC; 2005.
18. Ismail G&SS. Child Safety, Peace and Health Promotion Child Malnutrition.
Information Sheet. Lenasia. South Africa: MRC-UNISA, Safety & Peace Promotion
Research Unit; 2013.
19. Nutrition O. a child's best start. [Online]. [cited 2014 Oktober 7. Available from:
http://www.orphannutrition.org/understanding-malnutrition/impact-of-malnutritionon-health-and-development/.
20. Pridmore PP. Pathways to better Nutrition Series 1 London: Institute of Education,
University ofLondon; 2011.
21. Masibo PK. Trends and Determinants of Malnutrition among Children Age 0-59
Months in Kenya (KHDS 1993, 1998, 2003 and 2008-2009). USAID From The
American People. 2013 February;(89).
22. Meylani d. pengaruh malnutrsisi dan faktor lainnya terhadap kejadian wound
dehiscience pada pembedahan abdominal anak pada periode peroperatif. seri
pediatric. 2012; 14(2).
23. Mustapa. Analisis Faktor Determinan Kejadian Masalah Gizi pada Anak Balita Di
wilayah kerja Puskesmas Tilote Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo Tahun
2013. Jurnal MKMI UNHAS. 2013.
24. DEPKES. Buku Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare Jakarta: Ditjen PPM dan
PL; 2010.
25. Giri d. Hubungan Pengetahuan dan Sikap ibu tentang Pemberian ASI Serta
Pemberian ASI Eksklusif dengan Status Gizi Balita Usia 6-24 Bulan (Di Kelurahan
Kampung Kajanan Kecamatan Buleleng). Jurnal Magister Kedokteran Keluarga.

42

2013; 11(1).
26. Lestari. Dampat Status Imunisasi Anak Balita di Indonesia Terhadap Kejadian
Penyakit. Artikel Media Litbangkes. Artikel Media Litbangkes. 2009; 19.
27. DEPKES. PedomanTeknis Pencatatan dan Pelaporan Program Imunisasi Jakarta;
2009.
28. Haddad L. The Right Ingredients the Need to Invest in child Nutrition: UNICEF
United Kingdom; 2013.
29. Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2004.
30. Mengistu Kd. Prevalence Of Malnutrition and Assoaciated Factors Among Children
Aged 6-59 Months at Hidabu Abote District, North Shewa, Oromia Regional State.
Gondar: Institute Of Public Health; 2013.
31. Nguyen Ngoc Hien d. Nutritional Status and Determinants Of Malnutrition in
Children under Three Years Of Age in Nghean, Vietnam. Pakistan Journal of
Nutrition. 2009; 8(7).
32. Bustan. Pengantar epidemioloi jakarta: rineka cipta; 2006.
33. Ariawan I. Besar dan Metode Sampel pada penelitian Kesehatan depok : FKM UI;
1998.
34. susanto H. Analisa fata kesehatan Jakarta: FKM UI; 2007.
35. Lutviana Evi d. Prevalensi dan Determinan Kejadian Gizi Kurang pada Balita. Jurnal
Kesehatan Masyarakat. 2010; 5(2).

43

Anda mungkin juga menyukai