Anda di halaman 1dari 4

Bogor (ANTARA News) - Guru Besar IPB Prof Dr Eriyatno mengatakan, Indonesia

perlu mengubah haluan dari pengembangan ekonomi kompetitif yang mengejar


daya saing ke ekonomi komparatif yang lebih mengedepankan pengembangan
potensi yang dimiliki.

"Ekonomi kompetitif tidak akan memberikan banyak nilai tambah bagi


perkembangan ekonomi nasional. Yang terjadi malah sebaliknya, kita semakin
terpuruk di tengah persaingan global yang sangat ketat," kata Prof Eriyatno, di
Bogor, Jabar, Rabu.

Prof Eriyatno menegaskan, bila Indonesia terus ngotot berhaluan ekonomi


kompetitif dengan melakukan berbagai upaya dalam meningkatkan daya saing, ia
pesimistis hasil yang dicapai menggembirakan. "Dalam berbagai krisis global,
fondasi perekonomian kita selalu rapuh, karena kita selalu mengedepankan daya
saing," ungkap dia.

Prof Eriyatno merupakan penulis buku berjudul "Membangun Ekonomi Komparatif:


Strategi Meningkatkan Kemakmuran Nusa dan Resiliensi Bangsa" yang disusun
sebagai hasil riset kebijakan yang dilakukan dengan menggunakan pengkajian
interdisiplin dan dengan menggunakan pendekatan sistem.

Dalam buku yang diluncurkan di Kampus IPB Branangsiang pada 20 September ini,
penulis menjabarkan terperinci tentang ideologi neoliberalisme, mulai dari
keberadaannya hingga para pelakunya. Buku ini juga selain menjelaskan secara
terperinci tentang pengaruh-pengaruh paham neoliberalisme dalam sektor finansial
juga memberikan penjabaran terhadap produk-produk neoliberalisme.

Untuk menangkis pengaruh ideologi liberalisme, dalam buku ini penulis


menawarkan solusi yang didasari oleh buah pemikirannya berupa sistem ekonomi
komparatif.

Dia menegaskan, "Haluan ekonomi kompetitif yang dipilih Indonesia, mencerminkan


pemaksanaan kehendak yang tidak disesuaikan dengan potensi dan keunggulan
yang dimiliki."

"Indonesia memiliki banyak potensi besar ekonomi komparatif yang dapat


dikembangkan untuk ketahanan dan kemajuan bangsa," ujarnya.

Ia lantas mencontohkan, banyak potensi yang dimiliki Indonesia, tidak ditemukan di


negara-negara lain. Misalnya, pada sektor pertanian Indonesia memiliki kopi luwak
dan buah manggis yang bercita rasa tinggi serta dikagumi masyarakat dunia. Kedua
komoditas tersebut merupakan potensi besar yang dimiliki Indonesia.

"Harusnya kita proteksi dan kembangkan potensi-potensi yang kita miliki baik di
bidang pertanian maupun bidang-bidang lainnya. Tidak usah latah mengembangkan
apa yang jadi tren di negara-negara lain," tegas dia.

Prof Eriyatno mengungkapkan, strategi ekonomi komparatif perlu dipilih dan


dijadikan sebagai haluan baru pengembangan ekonomi nasional, karena akan
memberikan banyak manfaat dan nilai tambah, baik bagi bangsa maupun negara.

"Ekonomi komparatif memberikan proteksi ke dalam. Ini sekaligus sebagai upaya


untuk membangun kedaulatan bangsa di bidang ekonomi. Sedangkan ekonomi
kompetitif cenderung pro pasar dan terbuka, yang membuat ketahanan dan daya
saing ekonomi Indonesia justeru semakin rapuh dan melemah," terang dia.

Prof Eriyatno yang juga mantan deputi pada Kementrian Koperasi dan UKM lantas
memberikan analogi permainan sepakbola, yang memiliki dua gaya, yakni opensif
alias "total foootball" ala Belanda dan "grendel" atau sistem bertahan total ala
Italia.

"Timns Italia mampu juara dunia hingga empat kali dengan mengandalkan strategi
grendel. Toh pada akhirnya kita bicara soal hasil atau prestasi. Untuk apa
menggunakan gaya bermain opensif kalau tidak didukung pemain-pemain yang
dibutuhkan, sehingga tidak pernah mampu berprestasi," imbuhnya.

Dengan model "grendel" ala sepakbola Italia dalam pengembangan ekonomi


Indonesia ke depan, Prof Eriyatno meyakini negeri ini akan mampu membangun

fondasi ekonomi nasional yang tangguh sekaligus berbicara banyak di kancah


internasional.

BOGOR- Guru Besar IPB Prof Dr Eriyatno mengatakan, Indonesia perlu mengubah haluan dari pengembangan
ekonomi kompetitif yang mengejar daya saing ke ekonomi komparatif yang lebih mengedepankan pengembangan
potensi yang dimiliki.
"Ekonomi kompetitif tidak akan memberikan banyak nilai tambah bagi perkembangan ekonomi nasional. Yang terjadi
malah sebaliknya, kita semakin terpuruk di tengah persaingan global yang sangat ketat," kata Prof Eriyatno di Bogor,
Rabu.
Prof Eriyatno menegaskan, bila Indonesia terus ngotot berhaluan ekonomi kompetitif dengan melakukan berbagai
upaya dalam meningkatkan daya saing, ia pesimistis hasil yang dicapai menggembirakan. "Dalam berbagai krisis
global, fondasi perekonomian kita selalu rapuh, karena kita selalu mengedepankan daya saing," ungkap dia.
Prof Eriyatno merupakan penulis buku berjudul "Membangun Ekonomi Komparatif: Strategi Meningkatkan
Kemakmuran Nusa dan Resiliensi Bangsa" yang disusun sebagai hasil riset kebijakan yang dilakukan dengan
menggunakan pengkajian interdisiplin dan dengan menggunakan pendekatan sistem.
Dalam buku yang diluncurkan di Kampus IPB Branangsiang pada 20 September ini, penulis menjabarkan terperinci
tentang ideologi neoliberalisme, mulai dari keberadaannya hingga para pelakunya. Buku ini juga selain menjelaskan
secara terperinci tentang pengaruh-pengaruh paham neoliberalisme dalam sektor finansial juga memberikan
penjabaran terhadap produk-produk neoliberalisme.
Untuk menangkis pengaruh ideologi liberalisme, dalam buku ini penulis menawarkan solusi yang didasari oleh buah
pemikirannya berupa sistem ekonomi komparatif.
Dia menegaskan, "Haluan ekonomi kompetitif yang dipilih Indonesia, mencerminkan pemaksanaan kehendak yang
tidak disesuaikan dengan potensi dan keunggulan yang dimiliki." "Indonesia memiliki banyak potensi besar ekonomi
komparatif yang dapat dikembangkan untuk ketahanan dan kemajuan bangsa," ujarnya.
Ia lantas mencontohkan, banyak potensi yang dimiliki Indonesia, tidak ditemukan di negara-negara lain. Misalnya,
pada sektor pertanian Indonesia memiliki kopi luwak dan buah manggis yang bercita rasa tinggi serta dikagumi
masyarakat dunia. Kedua komoditas tersebut merupakan potensi besar yang dimiliki Indonesia.
"Harusnya kita proteksi dan kembangkan potensi-potensi yang kita miliki baik di bidang pertanian maupun bidangbidang lainnya. Tidak usah latah mengembangkan apa yang jadi tren di negara-negara lain," tegas dia.
Prof Eriyatno mengungkapkan, strategi ekonomi komparatif perlu dipilih dan dijadikan sebagai haluan baru
pengembangan ekonomi nasional, karena akan memberikan banyak manfaat dan nilai tambah, baik bagi bangsa
maupun negara.
"Ekonomi komparatif memberikan proteksi ke dalam. Ini sekaligus sebagai upaya untuk membangun kedaulatan
bangsa di bidang ekonomi. Sedangkan ekonomi kompetitif cenderung pro pasar dan terbuka, yang membuat
ketahanan dan daya saing ekonomi Indonesia justeru semakin rapuh dan melemah," terang dia. (
Usul Guru Besar IPB Prof Eriyatno agar Indonesia mengubah haluan dari pengembangan ekonomi kompetitif ke
ekonomi komparatif menarik dicermati lebih jauh. Meskipun substansi ekonomi komparatif ini dapat ditemukan di
dalam istilah lain, seperti pembangunan otosentris, pembangunan berbasis lokal (localization) dan lain-lain,
pemikiran akademisi yang mencuat di tengah ketidakpastian ekonomi global membuat usul itu layak dikaji lebih jauh.

Argumen yang dikemukakan Prof Eriyatno cukup sederhana. Dikatakan, ekonomi komparatif yang lebih
mengedepankan pengembangan potensi yang dimiliki akan dapat membantu Indonesia membangun perekonomian
yang bertumpu kepada kekuatan sendiri. Menurut dia, ekonomi kompetitif yang selama ini diaplikasikan tidak akan
memberikan banyak nilai tambah bagi perkembangan ekonomi nasional. Yang terjadi malah sebaliknya. Indonesia
semakin terpuruk di tengah persaingan global yang sangat ketat, kata Prof Eriyatno. Oleh sebab itu, harusnya kita
proteksi dan kembangkan potensi-potensi yang kita miliki baik di bidang pertanian maupun bidang-bidang lainnya.
Lebih lanjut dikatakan, ekonomi komparatif memberikan proteksi ke dalam. Ini sekaligus sebagai upaya untuk
membangun kedaulatan bangsa di bidang ekonomi. Sedangkan ekonomi kompetitif cenderung pro pasar dan
terbuka, yang membuat ketahanan dan daya saing ekonomi Indonesia justru semakin rapuh dan melemah, katanya
(www.antaranews.com, 28/9/2011).
Dalam praktik, ekonomi Indonesia sebetulnya menganut sistem ekonomi kompetitif dan komparatif sekaligus. Ini
ditandai dengan penekanan pengembangan sejumlah komoditas yang memiliki keunggulan komparatif. Ekonomi
kompetitif tidak terhindarkan sebab Indonesia sendiri telah menjadi bagian dari sistem pasar global yang diliberalisasi
lewat WTO. Oleh sebab itu, persaingan antarnegara di pasar dunia tidak terhindarkan. Inilah yang menjadikan daya
saing sebagai sebuah keharusan untuk terus-menerus digenjot. Akan tetapi, perlombaan serupa yang dilakukan
negara-negara pesaing membuat daya saing produk Indonesia mengalami pasang dan surut.
Tetapi, persoalannya sebetulnya tidak sesederhana itu. Hampir tidak mungkin lagi menemukan negara yang menarik
diri dari ekonomi kompetitif lalu menerapkan ekonomi komparatif secara sempurna. China yang seringkali dijadikan
referensi kemajuan ekonomi menggabungkan dua model ekonomi itu. Di satu sisi, pemerintah China terus
mendorong produknya agar menembus persaingan di pasar dunia. Di lain sisi, negara dengan kekuatan ekonomi
kedua terbesar di dunia itu juga terus-menerus meningkatkan potensi dalam negeri.
Maka, barangkali yang paling penting saat ini adalah mengevaluasi pendulum strategi ekonomi antara ekonomi
kompetitif dengan ekonomi komparatif. Kalau selama ini pendulum strategi memang lebih condong kepada ekonomi
kompetitif, mungkin sudah tiba waktunya untuk menyondongkan pendulum ke ekonomi komparatif. Langkah ini
memang sejalan dengan realitas perekonomian global yang terus-menerus dirundung masalah. Kian nyata bahwa
globalisasi ekonomi bukannya menciptakan kemakmuran secara merata, tetapi justru menjadi transformator tercepat
malapetaka ekonomi yang terjadi di sebuah negara. Ambil satu contoh, krisis utang yang melanda zona Eropa dan
AS akhirnya berdampak kepada negara-negara lain, tidak terkecuali Indonesia.
Bagaimanapun, usul dan pemikiran Prof Eriyatno muncul pada saat yang tepat untuk sebuah situasi yang tepat pula.
Tetapi sekali lagi ingin ditekankan di sini bahwa usul tersebut tidak dapat disebut sebagai sebuah perubahan yang
bersifat ekstrem, melainkan sebuah sumbangan pemikiran yang terlahir dari kemampuan menangkap tanda-tanda
zaman yang terus berproses sejak krisis moneter menerjang Asia Timur 14 tahun silam. Krisis itu sendiri
mengajarkan kepada kita dua hal penting. Pertama, betapa pentingnya setiap negara membangun fondasi ekonomi
yang tahan guncangan. Kedua, fondasi ekonomi dimaksud hanya dapat diwujudkan jika ditopang oleh kekuatan
sendiri. Kita memiliki segalanya: SDM yang besar, SDA yang melimpah, dan warisan ideologi ekonomi yang
disuntikkan ke dalam tubuh konstitusi, yakni koperasi. Itu semua mestinya dikelola secara benar agar menjadi pilar
tangguh untuk menopang perekonomian nasional.

Anda mungkin juga menyukai