Anda di halaman 1dari 12

Darmawan

0401138141919
Gamma
A.

Pengertian
Bells palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron akibat
paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui
(idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya.
Paralisis fasial idiopatik atau Bells palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari
Skotlandia. Bells palsy sering terjadi setelah infeksi virus atau setelah imunisasi, lebih sering
terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi. Bukti-bukti
dewasa ini menunjukkan bahwa Herpes simplex tipe 1 berperan pada kebanyakan kasus.
Berdasarkan temuan ini, paralisis fasial idiopatik sebagai nama lain dari Bells palsy tidak
tepat lagi dan mungkin lebih baik menggantinya dengan istilah paralisis fasial herpes
simpleks atau paralisis fasial herpetik.
Lokasi cedera nervus fasialis pada Bells palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus
VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Salah satu gejala Bells palsy
adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha menutup kelopak matanya,
matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomena Bell.
Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat
jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).
B.Epidemiologi
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut.
Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemikan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy setiap tahun sekitar
23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bells palsy rata-rata
15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi,
dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan
yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena
daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur,
namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2
minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi daripada wanita
tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat .
C.Etiologi
Diperkirakan, penyebab Bells palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa tahun
terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada umumnya kasus Bells
palsy sekian lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi gen Herpes Simpleks Virus (HSV)
dalam ganglion genikulatum penderita Bells palsy. Dulu, masuk angin (misalnya hawa
dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela terbuka) dianggap sebagai satu-satunya
pemicu Bells palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bells
palsy. Tahun 1972, McCormick pertama kali mengusulkan HSV sebagai penyebab paralisis
fasial idiopatik. Dengan analaogi bahwa HSV ditemukan pada keadaan masuk angin (panas

dalam/cold sore), dan beliau memberikan hipotesis bahwa HSV bisa tetap laten dalam
ganglion genikulatum. Sejak saat itu, penelitian biopsi memperlihatkan adanya HSV dalam
ganglion genikulatum pasien Bells palsy. Murakami at.all melakukan tes PCR (PolymeraseChain Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bells palsy berat yang menjalani
pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan endoneural. Apabila HSV diinokulasi pada
telinga dan lidah tikus, maka akan ditemukan antigen virus dalam nervus fasialis dan
ganglion genikulatum. Varicella Zooster Virus (VZV) tidak ditemukan pada penderita Bells
palsy tetapi ditemukan pada penderita Ramsay Hunt syndrome.

1.
2.

3.
4.

D.Anatomi
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator palpebrae (n.II),
otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.
Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior.
Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus
paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian
depan lidah.
Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari
sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot
mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang
mengantarkan rasa kecap dari dua pertiga bagian lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior
kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut kecap pertama-tama melintasi nervus lingual,
yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa
sensasi kecap melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut
sekretomotor menginnervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan
kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.

Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan
serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral
nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena
posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada lantai ventrikel IV, maka nervus VI dan VII
dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke
meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan
dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak
ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu. Nervus fasialis
terus berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum untuk
memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial
major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang
dihubungkan oleh korda timpani. Lalu n. fasialis keluar dari kranium melalui foramen

stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang
melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.
Lokasi cedera nervus fasialis pada Bells palsy adalah di bagian perifer nukleus
nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Jika lesinya berlokasi di
bagian proksimal ganglion genikulatum, maka paralisis motorik akan disertai gangguan
fungsi pengecapan dan gangguan fungsi otonom. Lesi yang terletak antara ganglion
genikulatum dan pangkal korda timpani akan mengakibatkan hal serupa tetapi tidak
mengakibatkan gangguan lakrimasi. Jika lesinya berlokasi di foramen stilomastoideus maka
yang terjadi hanya paralisis fasial (wajah).
E.Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy
hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau
lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi
pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi
kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis
keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong
yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang
unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan
dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan
di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah
wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang
berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya
suatu proses yang dikenal awam sebagai masuk angin atau dalam bahasa inggris cold.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang
terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bells palsy. Karena itu nervus fasialis
bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan
fasialis LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum
atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis.
Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus
rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN
akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap
dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama
Bells palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang
menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf
melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa
ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah
seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada
usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak

bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena
lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.
F. Gejala klinik
Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur,
menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan di
daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan
cermin.
Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola
mata tampak berputar ke atas.(tanda Bell). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila
berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh. Selanjutnya gejala
dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.
1.

2.

3.
4.

5.
6.

Lesi di luar foramen stilomastoideusMulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan
berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang.
Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi
maka aur mata akan keluar terus menerus.
Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan
lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya
pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan
lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di
kanalis fasialis.
Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), (2), ditambah dengan adanya hiperakusis.
Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum) Gejala dan tanda
klinik seperti (1), (2), (3) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus
seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah
paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum.
Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
Lesi di daerah meatus akustikus interna Gejala dan tanda klinik seperti (1), (2), (3), (4),
ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.Gejala dan tanda klinik sama dengan di
atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadangkadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.
Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa Bells
palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata
yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais menginervasi glandula lakrimalis
dan glandula salivatorius submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius
tetapi dalam perkembangannya terjadi salah jurusan menuju ke glandula lakrimalis.

G. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Fisis
Kelumpuhan nervus fasialis mudah terlihat hanya dengan pemeriksaan fisik tetapi yang harus
diteliti lebih lanjut adalah apakah ada penyebab lain yang menyebabkan kelumpuhan nervus
fasialis. Pada lesi supranuklear, dimana lokasi lesi di atas nukleus fasialis di pons, maka
lesinya bersifat UMN. Pada kelainan tersebut, sepertiga atas nervus fasialis normal,
sedangkan dua pertiga di bawahnya mengalami paralisis. Pemeriksaan nervus kranialis yang
lain dalam batas normal.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bells palsy.
3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bells palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika
dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan
AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bells palsy akan menunjukkan adanya
penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.
H. Diagnosis
Diagnosis Bells palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari nervus fasialis
yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan rasa nyeri pada
telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi UMN
dan LMN. Pada Bells palsy lesinya bersifat LMN

I. Pengobatan
Melindungi mata pada saat tidur dan pemberian tetes mata metilselulosa, memijat otototot yang lemah dan mencegah kendornya otot-otot di bagian bawah wajah merupakan
kondisi yang dapat dikelola secara umum Belum ada bukti yang mendukung bahwa tindakan
pembedahan efektif terhadap nervus fasialis, bahkan kemungkinan besar dapat
membahayakan.
Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1
mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana
pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan
peluang kesembuhan pasien.
Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan
yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal
fasialis yang sempit.
Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-agen
antivirus pada penatalaksanaan Bells palsy. Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat
digunakan dalam penatalaksanaan Bells palsy yang dikombinasikan dengan prednison atau
dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita yang tidak dapat mengkonsumsi
prednison. Penggunaan Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset
penyakit untuk mencegah replikasi virus.

J. Diagnosis banding
Kondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis diantaranya
tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom), penyakit
Lyme, AIDS dan sarkoidosis(1), Guillain Barre syndrom, Diabetes Mellitus.
K. Komplikasi
Kira-ki ra 30% pasien Bells palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti fungsi
motorik dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf parasimpatik.
Komplikasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia atau ageusia, spasme nervus
fasialis yang kronik dan kelemahan saraf parasimpatik yang menyebabkan kelenjar lakrimalis
tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi infeksi pada kornea.
L. Prognosis
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bells palsy cenderung memiliki prognosis
yang baik.Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bells palsy, 85% memperlihatkan
tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi
pada 3-6 bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita Bells palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala
sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan
baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata.4 Penderita Bells palsy dapat
sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.. Faktor resiko yang memperburuk prognosis
Bells palsy adalah:
(1) Usia di atas 60 tahun
(2) Paralisis komplit
(3) Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
(4) Nyeri pada bagian belakang telinga dan
(5) Berkurangnya air mata.
Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk
mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain.
Pada umumnya prognosis Bells palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh
dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60
tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan
gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 1015 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam
waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis,
crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 %
kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bells palsy kambuh pada 10-15 %
penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor
kelenjar parotis

Anatomi wajah
Otot-otot wajah
Otot-otot wajah berperan sebagai otot ekspresi adalah sekelompok berkas halus yang
terletak diantara kulit dari kepala dan leher. Beberapa berkas melekat pada tulang wajah
sedangkan tulang yang lain tidak melekat pada tulang wajah, tetapi pada otot wajah lainnya.
Semua otot tersebut berinsertio pada lapisan kulit. Otot ini terletak di sekitar mata, hidung
dan mulut serta telinga.
Adapun otot otot tersebut yang adalah :
1. M. Occipitofrontalis (frontal belly)
Otot ini bekerja pada saat mengangkat alis.
2. M. Corrugator supercili
Otot ini bekerja menarik alis mata ke bawah dan medialis serta menghasilkan lekukan
vertikalis, otot ini melindungi mata dari sinar terang. Apabila otot ini berkontraksi akan
menghasilkan aksi pemikir.
3. M. Orbikularis oculi
Otot ini berfungsi untuk menutup mata.
4. M. Proserius
Otot ini dapat menghasilkan fungsi wajah mengancam. Pada orang usia lanjut lipatan-lipatan
seperti ini adalah normal dan tetap bertahan
5. M. Levator labii superioris
Otot ini mengangkat bibir atas ke atas, secara serempak kontraksi bilateral sedikit
mengangkat puncak hidung.
Otot memperbesar lubang hidung. Kontraksi lebih kuat lagi akan menghasilkan lipatan kulit,
otot ini akan menghasilkan ekspresi wajah tidak senang dan tidak puas.
6. M. levator anguli oris
Otot ini bekerja mengangkat sudut mulut dan menghasilkan suatu ekspresi wajah percaya
diri.
7. M. Zygomatikus major
Otot ini menghasilkan ekspresi wajah tersenyum atau senang.
8. M. orbikularis oris
Kontraksi ini akan membuka mulut dan rileksasinya adalah menutup mulut, di mana akan
lebih terlihat apabila sedang makan dan minum.
9. M. Buccinator
Fungsi dari otot ini adalah mengunayah serta meniup udara keluar mulut, seperti meniup
terompet. Otot otot ini terlibat pada saat tertawa dan menangis, kontraksi otot menghasilkan
ekspresi wajah kepuasan.
10. M. Depressor anguli oris
Otot ini menarik ke dua sudut bibir ke bawah untuk menghasilkan ekspresi wajah kesedihan.
11. M. Mentalis

Otot ini menghasilkan celah bibir dagu serta memoncongkan mulut yang tertutup rapat ke
depan dan berperan dalam ekspres wajah kekerasan hati.

Lesi saraf perifer ini dapat disebabkan oleh infeksi telinga tengah, tumor fractura,
meningitis, hemorrhage dan kedinginan pada muka oleh karena pada kebanyakan penderita
dapat diperoleh data bahwa paresis fasialis timbul setelah duduk di mobil dengan jendela
terbuka, tidur di lantai atau setelah bergadang.
Rangsangan dari udara dingin ini yang diterima dari foramen stylomastoideus dapat
menyebabkan terjadinya permeabilitas yang meningkat karena rangsangan cukup besar.
Permeabilitas yang tinggi akan menyebabkan oedema, sehingga akhirnya terjadi iritasi nervus
fasialis dan lenyap/hilangnya konduktivitas dalam saraf akibat kompresi limphe, vena, arteri,
pada nervus fasialis tersebut, yang pada akhirnya terjadi kelemahan pada otot-otot wajah.
Terganggunya transmisi saraf normal dengan adanya tekanan yang berat dalam waktu
singkat, moderat atau tekanan yang rendah secara terus menerus dalam waktu yang lama.
Iritasi menyebabkan gejala yang sering berlangsung lama, hal ini menyebabkan terjadinya
respon inflamasi pada saraf. Adapun jenis cidera ini dapat ditemukan:
Jenis cidera saraf perifer
Tanda dan gejala bergantung dari jenis cidera saraf perifer, yaitu:
1) Neuropraksi
Pada umumnya neuropraksia disebabkan oleh adanya penekanan pada myeline sheet yang
relative ringan dan singkat dimana akan terjadi kompresi akut di sekitar saraf. Kondisi
neuropraksia ini akan mengalami demyelinasi pada saraf itu sendiri tanpa adanya degenerasi
pada saraf. Hal tersebut masih memungkinkan terjadinya konduksi pada saraf. Adapun
gangguannnya dapat berupa gangguan motorik seperti penurunan otot-otot wajah sampai
menimbulkan kelainan bentuk wajah (asimetri) dimana penderita sangat terganggu pada saat
mengekspresikan wajahnya. Pada kondisi ini biasanya bagian sensorik kurang terkena
sehingga dapat terlihat prognosis yang baik dalam 3 minggu pertama.

2) Aksonotmesis
Adapun pada axonotmesis didapatkan gangguan axon, tetapi selubung myelin masih utuh.
Tanda gejala penekanan saraf tepi pada kondisi ini disertai dengan gangguan motorik.
Dimana gangguan ini sama halnya dengan jenis cidera neuropraksia. Akan tetapi, pada
kondisi ini ditemukan adanya gangguan sensorik seperti adanya nyeri di belakang telinga,
hilangnya sensasi wajah, sensasi pengecapan pada 2/3 anterior lidah, dengan prognosis baik
dalam 3 bulan

3) Neurotmesis
Terjadinya neurotmesis diikuti oleh hilangnya seluruh kontinuitas axon dan jaringan
penghubung, sehingga terjadi gangguan yang lebih berat pada saraf tersebut. Dimana kondisi

ini sering menunjukkan gejala sisa yang moderat sampai berat, yang disebakan oleh proses
regenerasi yang salah. Yang disertai dengan prognosis buruk atau kesembuhannya jelek
dalam 3 bulan selanjutnya.

Pada kondisi bells palsy akan terlihat adanya oedema, dilatasi kapiler dan degenarasi
selubung medullary serta aksis silinder pada nervus facialis. Hal ini memperlihatkan bahwa
suplai dari dua arteri pada bagian vertical saraf facialis tidak akan memberikan percabangan
terhadap jalan masuknya saraf secara tegak lurus. Begitu pula dengan vena dan setiap
pembengkakan yang kecil akan dapat menekan vena serta menghambat saraf untuk
mendapatkan suplai darah.
Perubahan awal yang menyertai serangan ini adalah pembengkakan pada bagian
interstitial saraf. Sehingga menimbulkan hambatan konduksi karena menghilangnya myelin
saraf pada area yang mengalami kerusakan. Yang pertama terkena adalah serabut saraf yang
mempunyai daya hantar rangsang cepat. Beberapa serabut akan mengalami degenerasi,
sedangkan mungkin yang lain tetap baik atau mengalami reversible. Dari patogenesis yang
berlangsung seperti tersebut di atas, maka akan memberikan dampak terhadap saraf baik
sensorik, motorik maupun otonom. Seperti dampaknya terhadap terjadinya kelemahan pada
otot-otot wajah sebagai salah satu akibat langsung maupun tidak langsung.
Karena adanya hambatan konduksi saraf, maka area yang memperoleh innervasi akan
mengalami perubahan misalnya pada otot antara lain: berkurangnya sarkomer-sarkomer di
beberapa bagian dari ujung-ujung serabut otot. Ikatan antara actin dan filament-filamen
myosin akan meningkatkan viskositas dan resisten untuk memanjang.
Akibat keadaan tersebut yang berlangsung secara terus-menerus maka terjadi penurunan
kekuatan otot-otot wajah yang ditandai ketidak-mampuan untuk melakukan gerakan-gerakan
pada wajah sehingga dapat terjadi kontraktur.
Gangguan gerak fungsi nervus fasialis
Gangguan utama nervus fasialis (beserta nervus intermedius) adalah pemberian
inervasi kepada otot-otot wajah. Di dalam klinik, pemeriksaan fungsi nervus fasialis
dipusatkan pada pemeriksaan fungsi otot-otot wajah dan rasa pengecap. Pemeriksaan fungsi
pada otot-otot wajah dapat ditemukan kelemahan otot-otot wajah pada sisi yang sakit.

Dimana kelemahan otot dapat diartikan sebagai ketidakmampuan melakukan aktivitas yang
seharusnya dapat dilakukan, diantaranya:
1. Tidak dapat mengangkat alis
2. Dahi tidak dapat dikerutkan
3. Kelopak mata tidak dapat menutup rapat
4. Tidak dapat mengembungkan pipi
5. Tidak dapat bersiul
6. Sudut mulut tertarik ke sisi yang sehat
7. Bola mata bergerak ke atas bila memejamkan mata
DAFTAR PUSTAKA
Moore, Keith L, 1995, Anatomi Klinis Dasar, Jakarta, Hipokrates.
Netter, 1996, Interactive Atlas of Human Anatomy, Hamburg, Novartis.
Anmal
Apa saja otot-otot dan inervasi pada wajah?
Adapun otot otot tersebut yang adalah :
1. M. Occipitofrontalis (frontal belly)
Otot ini bekerja pada saat mengangkat alis.
2. M. Corrugator supercili
Otot ini bekerja menarik alis mata ke bawah dan medialis serta menghasilkan lekukan
vertikalis, otot ini melindungi mata dari sinar terang. Apabila otot ini berkontraksi akan
menghasilkan aksi pemikir.
3. M. Orbikularis oculi
Otot ini berfungsi untuk menutup mata.
4. M. Proserius
Otot ini dapat menghasilkan fungsi wajah mengancam. Pada orang usia lanjut lipatan-lipatan
seperti ini adalah normal dan tetap bertahan
5. M. Levator labii superioris
Otot ini mengangkat bibir atas ke atas, secara serempak kontraksi bilateral sedikit
mengangkat puncak hidung.
Otot memperbesar lubang hidung. Kontraksi lebih kuat lagi akan menghasilkan lipatan kulit,
otot ini akan menghasilkan ekspresi wajah tidak senang dan tidak puas.
6. M. levator anguli oris
Otot ini bekerja mengangkat sudut mulut dan menghasilkan suatu ekspresi wajah percaya
diri.
7. M. Zygomatikus major
Otot ini menghasilkan ekspresi wajah tersenyum atau senang.
8. M. orbikularis oris
Kontraksi ini akan membuka mulut dan rileksasinya adalah menutup mulut, di mana akan
lebih terlihat apabila sedang makan dan minum.
9. M. Buccinator
Fungsi dari otot ini adalah mengunayah serta meniup udara keluar mulut, seperti meniup
terompet. Otot otot ini terlibat pada saat tertawa dan menangis, kontraksi otot menghasilkan
ekspresi wajah kepuasan.

10. M. Depressor anguli oris


Otot ini menarik ke dua sudut bibir ke bawah untuk menghasilkan ekspresi wajah kesedihan.
11. M. Mentalis
Apa makna klinis dari riwayat Nn. Afriani?
Epidemiologi
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut.
Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemikan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy setiap tahun sekitar
23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bells palsy rata-rata
15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi,
dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan
yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena
daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur,
namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2
minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi daripada wanita
tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat .

Anda mungkin juga menyukai