Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma Down merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling banyak


terjadi pada manusia. Karakteristik fisik yang cukup jelas pada sindroma down
menjadikan tenaga medis akan dapat mengenali kelainan ini dengan relatif mudah
pada kontak awal. Anak dengan kondisi Sindroma Down mengalami
keterbelakangan secara fisik dan mental dan memiliki berbagai masalah kesehatan
dan tumbuh kembang yang tak jarang cukup kompleks, sehingga skrining pranatal
dan pascanatal, intervensi dini, dan pemantauan tumbuh kembang yang terusmenerus perlu dilakukan agar anak dengan sindrom Down dapat memiliki kualitas
hidup yang lebih baik. 1-3 (bu Arifiyah)
Sindrom Down ditemukan oleh John Langdon Down pada tahun 1866.
Sindrom ini berhubungan dengan retardasi mental, perawakan pendek, malformasi
kongenital terutama kelainan jantung, serta gangguan metabolik dan endokrin.
Sindrom Down dapat berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan
mental anak. 3, 4 (bu Arifiyah)
Secara umum penderita sindrom Down akan melalui berbagai tahap
perkembangan yang sama dengan anak normal tetapi kecepatannya lebih lambat.
Evaluasi perkembangan yang meliputi aspek motorik kasar, motorik halus,
bahasa, dan personal sosial dapat dilakukan dengan kuesioner pra skrining
perkembangan

(KPSP)

dan

Denver

II,

disesuaikan

dengan

milestone

perkembangan anak dengan sindrom Down (3-40 bu arifiyah)


Anak sindroma down sering mengalami gangguan perkembangan bahasa.
Gangguan tersebut dapat berupa gangguan bahasa reseptif ataupun ekspresif.
Bentuk gangguan bahasa tersebut bisa berupa mengalami gangguan kelancaran
bicara, atau gagap. Kadang mereka mengalami mutisme selektif (tidak mau bicara
dalam situasi atau tempat tertentu).

BAB II
SINDROMA DOWN
2.1 Definisi

Sindroma Down merupakan penyakit kongenital yang disebabkan oleh


ketidaknormalan kromosom berupa penambahan kromosom 21, ditandai
dengan keadaan fisik khas, keterlambatan perkembangan dan retardasi
mental.10,11 ( bu arifiah)
Sindrom Down dinamai setelah dokter Langdon Down, yang pada tahun 1866
pertama menggambarkan sindrom sebagai gangguan. Meskipun dokter Down
membuat beberapa pengamatan penting tentang sindrom Down, ia melakukan
tidak benar mengidentifikasi apa yang menyebabkan gangguan. Sampai tahun
1959 bahwa para ilmuwan menemukan asal-usul genetik sindrom Down.
Orang pertama yang berspekulasi bahwa penyakit tersebut mungkin terjadi
karena kelainan kromosom adalah Waardenburg dan Blayer pada tahun 1930an.1 Pada tahun 1959, Lejeune dan Jacob menyebutkan penyebabnya yaitu
trisomy ( melipat tigakan) kromosom 21.(4 bu arifiah)
Sindrom Down merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling banyak
terjadi pada manusia. Pada tahun 2006, Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit memperkirakan tingkat kejadiannya sebagai satu per 733 kelahiran
hidup di Amerika Serikat (5429 kasus baru per tahun). Sekitar 95% dari kasus
ini adalah trisomi 21. Sindroma Down terjadi pada semua kelompok etnis dan
di antara semua golongan tingkat ekonomi.

Di Indonesia angka definitif

masih belum diketahui. Sebuah penelitian di Universitas Indonesia


memperkirakan bahwa 300.000 anak dengan sindroma down lahir
pertahunnya. 3 Bu arifiyah. Sindrom Down dapat terjadi pada semua ras. Dikatakan
angka kejadian pada orang kulit putih lebih tinggi dari orang hitam. 8
2.2 Etiologi

Sel manusia normal memiliki 46 kromosom tersusun dalam 23 pasang. Pada


pasien sindrom Down, sel pada tubuhnya mengandung 47 kromosom, karena
adanya penambahan pada kromosom 21 (Gambar 1). Hal ini disebabkan oleh

kesalahan dalam pembelahan sel yang disebutnondisjunction. Penambahan


materi genetik ini menyebabkan karakteristik fisik dan perkembangan yang
berhubungan dengan sindrom Down.1, 10, 16 (bu Arifiyah)

Gambar 1. Kromosom pada sindrom Down trisomi 2118 (bu Arifiyah)

Faktor- faktor yang memegang peranan terjadinya kelainan kromosom pada


Sindroma Down adalah:
1. Usia ibu : usia ibu saat hamil (maternal age) dapat meningkatkan
risiko memiliki anak sindrom Down. Risiko akan meningkat dengan
Semakin tua usia ibu. Penelitian menyatakan bahwa hubungan usia
ibu saat hamil dan risikomelahirkan anak sindrom Down adalah usia
25 tahun memiliki risiko 1: 1250, usia 30 tahun memiliki risiko 1 :
1000, usia 35 tahun memiliki risiko 1: 400, usia 40 tahun memiliki
risiko 1 : 100, usia 45 tahun memiliki risiko 1 : 30. Penelitian lain
menyatakan bahwa usia ibu hamil dibawah 25 tahun berrisiko
memiliki anak sindrom Down sebesar 2 %, meningkat 10% pada
usia 36 tahun, dan 33% pada usia 42 tahun.19-21 (bu arifiyah)

2. Usia Ayah : semakin tua usia ayah

diperkirakan juga akan

meningkatkan risiko terjadinya abnormalitas kromosom penyebab


sindrom Down.20, 21
3. Faktor genetik : Adanya sindrom Down pada satu keluarga,
diperkirakan akan meningkatkan risiko kejadian sindrom Down sebesar
1-2%.4, 20
4. Konsanguitas : Insiden terjadinya malformasi pada pernikahan
antarsaudara lebih tinggi dibanding dengan yang bukan saudara. Faktor
risiko terjadinya sindrom Down adalah pernikahan antara paman dan
keponakan serta anak dari saudara sepupu (second cousin).4, 20, 22
5. Paparan radiasi dan zat kimia: Penelitian tentang kejadian sindrom
Down pada area yang terpapar radiasi menunjukkan bahwa radiasi ion
dosis rendah merupakan salah satu faktor risiko terjadinya sindrom
Down

23

. Penelitian juga menunjukkan adanya paparan terhadap zat

kimia dan beberapa obat-obatan seperti obat anti kejang, diabetes,


hipertensi, dan penyakit kronis lain meningkatkan risiko yang
memungkinkan terjadinya kelainan kromosom pada sindrom Down.4, 20
6. Riwayat reproduksi ibu: Pada ibu dengan riwayat abortus yang
berulang, didapatkan kejadian sindrom Down yang lebih tinggi. 20
Ada tiga tipe sindroma Down, meskipun dianggap bahwa tidak ada perbedaan
secara klinis dalam tiga genotipe. Ketiga bentuk tersebut adalah:
1. Trisomi 21 (94%) memiliki kromosom 21 tambahan dalam setiap sel
tubuhnya kondisi ini disebut Trisomi 21 dan merupakan bentuk sindroma
Down yang paling sering ditemukan.
2. Translokasi (5%) terjadi jika bagian ujung kromosom 21 dan kromosom
yang lain patah, dan bagian yang tersisa saling bersatu pada bagian yang
patah tersebut. Proses bersatunya salah satu kromosom pada kromosom
yang lain disebut translokasi.

3. Mosaikisme (1 %) anak anak dengan sindroma Down memiliki


tambahan pada seluruh bagian kromosom 21,sedangkan sel yang lain
dalam keadaan normal. 4,11,17 bu arifiyah
2.3 Gambaran Klinis Sindroma Down
2.4 PERKEMBANGAN ANAK SINDROMA DOWN

Tabel 2. Tahapan Perkembangan Anak dengan Sindrom Down sesuai usia41


Tabel 2.1. Perkembangan motorik kasar
Aktivitas
Kepala tegak saat
duduk
Berguling
Duduk sendiri
Berdiri sendiri
Berjalan sendiri

Anak Sindrom Down


Usia rata-rata Rentang usia

Anak Normal
Usia rata-rata Rentang usia

5 bulan

3-5 bulan

3 bulan

1-4 bulan

8 bulan
9 bulan
18 bulan
23 bulan

4-12 bulan
6-16 bulan
12-38 bulan
13-48 bulan

5 bulan
7 bulan
11 bulan
12 bulan

2-10 bulan
5-9 bulan
9-16 bulan
9-17 bulan

Tabel 2.2 Perkembangan motorik halus


Aktivitas
Mata bergerak
mengikuti objek
Meraih dan memegang
benda/mainan
Memindahkan benda
dari1 tangan ke tangan
lain
Membangun menara
dari 2 kubus
Meniru gambar
lingkaran

Anak Sindrom Down


Usia rata-rata Rentang usia

Anak Normal
Usia rata-rata Rentang usia

3 bulan

1,5-6 bulan

1,5 bulan

1-3 bulan

6 bulan

4-11 bulan

4 bulan

2-6 bulan

8 bulan

6-12 bulan

5,5 bulan

4-8 bulan

30 bulan

14-32 bulan

15 bulan

10-19 bulan

48 bulan

36-60 bulan

30 bulan

24-40 bulan

Tabel 2.3 Perkembangan bahasa


Aktivitas

Anak Sindrom Down


5

Anak Normal

Respon terhadap suara


Mengucapkan Da-da
Ma-ma
Respon terhadap
perintah sederhana
Mengucapkan satu kata
yang berarti
Mengucapkan dua
kata / frase

Usia rata-rata
1 bulan

Rentang usia
0,5-1,5 bulan

Usia rata-rata
0 bulan

Rentang usia
0-1 bulan

7 bulan

4-8 bulan

4 bulan

2-6 bulan

16 bulan

12-24 bulan

10 bulan

6-14 bulan

18 bulan

13-36 bulan

14 bulan

10-23 bulan

30 bulan

18-60 bulan

20 bulan

15-30 bulan

Tabel 2.4 Perkembangan Personal Sosial


Aktivitas
Tersenyum ketika
diajak bicara
Bermain cilukba
Minum dari cangkir
Menahan kencing
seharian
Menahan buang air
besar

Anak Sindrom Down


Usia rata-rata Rentang usia

Anak Normal
Usia rata-rata Rentang usia

2 bulan

0,5-4 bulan

1 bulan

1-2 bulan

11 bulan
20 bulan

9-16 bulan
12-30 bulan

8 bulan
12 bulan

5-13 bulan
9-17 bulan

36 bulan

18-50 bulan

24 bulan

14-36 bulan

36 bulan

20-60 bulan

24 bulan

16-48 bulan

BAB III
PROSES FISIOLOGIS BICARA DAN BAHASA
Menurut beberapa ahli komunikasi, bicara adalah kemampuan anak untuk
berkomunikasi dengan bahasa oral (mulut) yang membutuhkan kombinasi yang
serasi dari sistem neuromuskular untuk mengeluarkan fonasi dan artikulasi suara.
Proses bicara melibatkan beberapa sistem dan fungsi tubuh, melibatkan sistem
pernapasan, pusat khusus pengatur bicara di otak dalam korteks serebri, pusat
respirasi di dalam batang otak dan struktur artikulasi, resonansi dari mulut serta
rongga hidung. 29
Terdapat 2 hal proses terjadinya bicara, yaitu proses sensoris dan motoris :
1. Aspek sensoris meliputi pendengaran, penglihatan, dan rasa raba berfungsi
untuk memahami apa yang didengar, dilihat dan dirasa.
2. Aspek motorik yaitu mengatur laring, alat-alat untuk artikulasi, tindakan
artikulasi dan laring yang bertanggung jawab untuk pengeluaran suara. 27,29
Di dalam otak terdapat 3 pusat yang mengatur mekanisme berbahasa, dua pusat
bersifat reseptif yang mengurus penangkapan bahasa lisan dan tulisan serta satu
pusat lainnya bersifat ekspresif yang mengurus pelaksanaan bahsa lisan dan
tulisan. Ketiganya berada di hemisfer dominan dari otak atau sistem susunan saraf
pusat.
Kedua pusat bahasa reseptif tersebut adalah area 41 dan 42 disebut area wernick,
merupakan pusat persepsi auditoro-leksik yaitu mengurus pengenalan dan
pengertian segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa lisan (verbal). Area 39
broadman adalah pusat persepsi visuo-leksik yang mengurus pengenalan dan
pengertian segala sesuatu yang bersangkutan dengan bahasa tulis. Sedangkan area
Broca adalah pusat bahsa ekspresif. Ketiga pusat tersebut berhubungan satu sama
lain melalui serabut asosiasi. 27
Saat mendengar pembicaraan maka getaran udara yang ditimbulkan akan masuk
melalui lubang telinga luar kemudian menimbulkan getaran pada membrane
timpani. Dari sini rangsangan diteruskan oleh ketiga tulang kecil dalam telinga
tengah ke telinga bagian dalam. Di telinga bagian dalam terdapat reseptor sensoris
untuk pendengaran yang disebut Coclea. Saat gelombang suara mencapai coclea
7

maka impuls ini diteruskan oleh saraf VII ke area pendengaran primer di otak
diteruskan ke area wernick. Kemudian jawaban diformulasikan dan disalurkan
dalam bentuk artikulasi, diteruskan ke area motorik di otak yang mengontrol
gerakan bicara. Selanjutnya proses bicara dihasilkan oleh getaran vibrasi dari pita
suara yang dibantu oleh aliran udara dari paru-paru, sedangkan bunyi dibentuk
oleh gerakan bibir, lidah dan palatum (langit-langit). Jadi untuk proses bicara
diperlukan koordinasi sistem saraf motoris dan sensoris dimana organ
pendengaran sangat penting. 27,29
Proses reseptif Proses dekode.
Begitu rangsang auditori masuk, formasi retikulum pada batang otak akan
menyusun tonus untuk otak dan menentukan modalitas dan rangsang mana yang
akan diterima otak. Rangsang tersebut diterima oleh talamus dan kemudian
diteruskan ke area masing-masing korteks auditori pada girus Heschel. Sebagian
besar signal saraf yang diterima oleh girus ini berasal dari telinga pada sisi
berlawanan. 27,29
Girus dan area asosiasi auditori memisahkan dan membedakan informasi
bermakna yang masuk. Selanjutnya masukan linguistik yang sudah dikode akan
dikirim ke lobus temporal kiri untuk diproses, sedangkan masukan paralinguistik
(intonasi, tekanan, irama dan kecepatan) masuk ke lobus temporal kanan. Analisa
linguistik dilakukan pada area Wernicke di lobus temporal kiri. Girus angular dan
supramarginal akan membantu proses integrasi informasi visual, auditori dan raba
serta perwakilan linguistik.
Proses dekode dimulai dengan dekode fonologi berupa penerimaan unit suara
melalui telinga. Dilanjutkan dengan dekode gramatika. Proses berakhir pada
dekode semantik dengan pemahamn konsep atau ide yang disampaikan lewat
pengkodean tersebut. 27
Proses ekspresif Proses encode.
Proses produksi berlokasi pada area yang sama pada otak. Struktur untuk pesan
yang masuk ini diatur pada area Wernicke, pesan diteruskan melalui fasikulus
arkuatum ke area Broca untuk penguraian dan koordinasi verbalisasi pesan
tersebut. Signal kemudian melewati korteks motorik yang mengaktifkan otot-otot

respirasi, fonasi, resonansi dan artikulasi. Ini merupakan proses aktif pemilihan
lambang dan formulasi pesan. Proses enkode dimulai dengan enekode semantik
yang dilanjutkan dengan enkode gramatika dan berakhir pada enkode fonologi.
Keseluruhan proses enkode ini terjadi di otak pembicara. 27,29
Terdapat proses transmisi antara dekode dan enkode, yaitu pemindahan atau
penyampaian kode atau disebut kode bahasa. Transmisi ini terjadi antara mulut
pembicara dan telinga pendengar. 27,29-31
Kedua proses berbahasa ini disimpulkan sebagai proses komunikasi. Dalam
proses belajar berbahasa, kedua kemampuan menggunakan bahasa reseptif dan
ekspresif harus berkembang dengan baik. 29-31

FAKTOR RISIKO GANGGUAN BICARA DAN BAHASA


Gangguan perkembangan bicara sangat bervariasi dan masih banyak timbul
kontroversi khususnya mengenai penentuan klasifikasi sesuai dengan etiologi atau
manifestasi klinisnya.
Hal penting yang menjadi perhatian para klinisi adalah mengenai faktor resiko
yang mempengaruhi perkembangan bicara dan bahasa. Faktor resiko yang paling
sering dilaporkan adalah riwayat keluarga yang positif, gangguan pendengaran,
pre dan perinatal problem meliputi kelahiran preterm dan berat badan lahir rendah
serta faktor psikososial.
Faktor resiko yang dipengaruhi oleh kondisi biologi dan lingkungan ini
meningkatkan kemungkinan terjadinya gangguan perkembangan (Brooks-Gunn,
1990). Mengenali berbagai faktor resiko yang berkaitan dengan disabilitas
perkembangan menjadi perhatian utama, terutama faktor-faktor yang diyakini
dipengaruhi oleh kondisi biologis dan lingkungan pada fase awal dari suatu proses
perkembangan.
Faktor biologis yang beresiko negatif pada perkembangan adalah prematuritas,
berat badan lahir rendah, komplikasi perinatal.
Faktor resiko dari lingkungan meliputi status sosioekonomi yang rendah,
hubungan tetangga yang buruk, psikopatologi orang tua

Faktor resiko gangguan perkembangan bicara dan bahasa


Penyebab gangguan perkembangan bahasa sangat banyak dan luas, semua
gangguan mulai dari proses pendengaran, penerusan impuls ke otak, otak, otot
atau organ pembuat suara. Adapun beberapa penyebab gangguan atau
keterlambatan bicara adalah gangguan pendengaran, kelainan organ bicara,
retardasi mental, kelainan genetik atau kromosom, autis, mutism selektif,
keterlambatan fungsional, afasia reseptif dan lingkungan. Lingkungan terdiri dari
lingkungan sepi, status ekonomi sosial, tehnik pengajaran salah, sikap orangtua.
Gangguan bicara pada anak dapat disebabkan karena kelainan organik yang
mengganggu beberapa sistem tubuh seperti otak, pendengaran dan fungsi motorik
lainnya.1, 2, 18, 22, 23
Beberapa penelitian menunjukkan penyebab ganguan bicara adalah adanya
gangguan hemisfer dominan. Penyimpangan ini biasanya merujuk ke otak kiri.
Beberapa anak juga ditemukan penyimpangan belahan otak kanan, korpus
kalosum dan lintasan pendengaran yang saling berhubungan. Hal lain dapat juga
di sebabkan karena diluar organ tubuh seperti lingkungan yang kurang
mendapatkan stimulasi yang cukup atau pemakaian dua bahasa. Bila penyebabnya
karena lingkungan biasanya keterlambatan yang terjadi tidak terlalu berat.22, 23
Terdapat tiga penyebab keterlambatan bicara terbanyak diantaranya adalah
retardasi

mental,

gangguan

pendengaran

dan

keterlambatan

maturasi.

Keterlambatan maturasi ini sering juga disebut keterlambatan bicara fungsional.22


Keterlambatan bicara fungsional merupakan penyebab yang cukup sering dialami
oleh sebagian anak. Keterlambatan bicara fungsional sering juga diistilahkan
keterlambatan maturasi atau keterlambatan perkembangan bahasa. Keterlambatan
bicara golongan ini disebabkan karena keterlambatan maturitas (kematangan) dari
proses saraf pusat yang dibutuhkan untuk memproduksi kemampuan bicara pada
anak. Gangguan seperti ini sering dialami oleh laki-laki dan sering terdapat
riwayat keterlambatan bicara pada keluarga. Biasanya hal ini merupakan
keterlambatan bicara yang ringan dan prognosisnya baik. Pada umumnya
kemampuan bicara akan tampak membaik setelah memasuki usia 2 tahun.

10

Terdapat penelitian yang melaporkan penderita dengan keterlambatan ini,


kemampuan bicara saat masuk usia sekolah akan normal seperti anak lainnya.23
Dalam keadaan ini biasanya fungsi reseptif sangat baik dan kemampuan
pemecahan masalah visuo-motor anak dalam keadaan normal. Anak hanya
mengalami gangguan perkembangan ringan dalam fungsi ekspresif. Ciri khas lain
adalah anak tidak menunjukkan kelainan neurologis, gangguan pendengaran,
gangguan kecerdasan dan gangguan psikologis lainnya.18, 22, 23
Tabel

Faktor Internal
Berbagai faktor internal atau faktor biologis tubuh seperti faktor persepsi, kognisi
dan prematuritas dianggap sebagai faktor penyebab keterlambatan bicara pada
anak.31,35
Persepsi
Kemampuan membedakan informasi yang masuk disebut persepsi. Persepsi
berkembang dalam 4 aspek: pertumbuhan, termasuk perkembangan sel saraf dan
keseluruhan sistem; stimulasi, berupa masukan dari lingkungan meliputi seluruh
aspek sensori, kebiasaan, yang merupakan hasil dari skema yang sering terbentuk.
Kebiasaan, habituasi, menjadikan bayi mendapat stimulasi baru yang kemudian
akan tersimpan dan selanjutnya dikeluarkan dalam proses belajar bahasa anak.
Secara bertahap anak akan mempelajari stimulasi-stimulasi baru mulai dari raba,
rasa, penciuman kemudian penglihatan dan pendengaran. 4
Pada usia balita, kemampuan persepsi auditori mulai terbentuk pada usia 6 atau 12
bulan, dapat memprediksi ukuran kosa kata dan kerumitan pembentukan pada usia
23 bulan.4,36 Telinga sebagai organ sensori auditori berperan penting dalam
perkembangan bahasa. Beberapa studi menemukan gangguan pendengaran karena
otitis media pada anak akan mengganggu perkembangan bahasa.37

11

Sel saraf bayi baru lahir relatif belum terorganisir dan belum spesifik. Dalam
perkembangannya, anak mulai membangun peta auditori dari fonem, pemetaan
terbentuk saat fonem terdengar. Pengaruh bahasa ucapan berhubungan langsung
terhadap jumlah kata-kata yang didengar anak selama masa awal perkembangan
sampai akhir umur pra sekolah.4
Kognisi
Anak pada usia ini sangat aktif mengatur pengalamannya ke dalam kelompok
umum

maupun

konsep

yang

lebih

besar. Anak

belajar

mewakilkan,

melambangkan ide dan konsep. Kemampuan ini merupakan kemampuan kognisi


dasar untuk pemberolehan bahasa anak.4
Beberapa teori yang menjelaskan hubungan antara kognisi dan bahasa: 4
1

Bahasa berdasarkan dan ditentukan oleh pikiran (cognitive determinism)

Kualitas pikiran ditentukan oleh bahasa (linguistic determinism)

Pada awalnya pikiran memproses bahasa tapi selanjutnya pikiran dipengaruhi


oleh bahasa.

Bahasa dan pikiran adalah faktor bebas tapi kemampuan yang berkaitan.

Sesuai dengan teori-teori tersebut maka kognisi bertanggung jawab pada


pemerolehan bahasa dan pengetahuan kognisi merupakan dasar pemahaman kata.
Genetik
Berbagai

penelitian

menunjukkan,

bahwa

gangguan

bahasa

merupakan

kecendrungan dalam suatu keluarga yang dapat terjadi sekitar 40% hingga 70%.
Separuh keluarga yang memiliki anak dengan gangguan bahasa, minimal satu dari
anggota keluarganya memiliki masalah bahasa. Orang tua dapat berpengaruh
karena faktor keturunan sehingga mungkin bertanggung jawab terhadap faktor
genetik. Mungkin sulit mengetahui berapa banyak transmisi intergenerasi
gangguan bahasa tersebut, disebabkan oleh kurangnya dukungan lingkungan
terhadap bahasa.46-48

12

Menurut Bishop Edmundson, Tallal, Whitehurst dan Lewis 1992 dalam berbagai
laporan kasus sering memperlihatkan riwayat keluarga positif pada gangguan
komunikasi. Sekitar 28% hingga 60% dari anak-anak dengan gangguan bicara dan
bahasa mempunyai saudara kandung dan/atau orang tua yang juga mengalami
kesulitan bicara dan bahasa.47, 48
Sedangkan menurut Tallal, Lewis dan Freebairn, anggota keluarga laki-laki lebih
berpengaruh dari pada wanita. Bagaimanapun, data terbanyak memperlihatkan
anak-anak dengan hanya gangguan bahasa saja dan tidak pada anak dengan
gangguan bicara terpisah (isolated speech disorders).48
Lewis dan Freebairn berhipotesa bahwa anak-anak dengan riwayat keluarga
positif terhadap gangguan bicara akan membentuk grup spesifik ke dalam
populasi gangguan bicara. Penemuan mereka tidak mendukung hipotesa karena
tidak ada perbedaan bermakna yang ditemukan pada pengukuran artikulasi,
fonologi, bahasa, kemampuan-kemampuan oral-motor atau kemampuan membaca
dan menulis diantara anak-anak yang memiliki riwayat keluarga dengan gangguan
bicara dibanding yang bukan.47 Lewis dan Freebair menyimpulkan bahwa riwayat
keluarga dengan gangguan bahasa bisa dipertimbangkan sebagai faktor risiko
yang dapat digunakan untuk identifikasi awal. Identifikasi awal tersebut
memungkinkan dilakukan intervensi dini bagi anak-anak yang keluarganya
memperlihatkan gangguan ini.47
Demikian pula anak yang berasal dari keluarga yang memiliki riwayat
keterlambatan atau gangguan bahasa maka beresiko mengalami keterlambatan
bahasa pula.46-48 Riwayat keluarga yang dimaksud antara lain anggota keluarga
yang mengalami keterlambatan berbicara, memiliki gangguan bahasa, gangguan
bicara atau masalah belajar. 48
Prematuritas
Penyebab khusus berkaitan antara permasalahan periode pre atau perinatal dengan
gangguan bicara dan bahasa juga telah dibuktikan. Infeksi selama kehamilan,
imaturitas dan berat badan lahir rendah dilaporkan mempunyai efek negatif pada
perkembangan bicara dan bahasa.49, 50

13

Bax Stevenson dan Menyuk menemukan perbedaan yang tidak bermakna


sejumlah kejadian antara imaturitas dan berat badan lahir rendah anak.
Sebaliknya Byers-Brown dan kawan-kawan melaporkan secara bermakna tentang
keterlambatan proses pengeluaran suara dalam bicara pada bayi prematur.49
Weindrich

menemukan

adanya

faktor-faktor

yang

berhubungan

dengan

prematuritas yang mempengaruhi perkembangan bahasa anak, seperti berat badan


lahir, Apgar score, lama perawatan di rumah sakit, bayi yang iritatif, dan kondisi
saat keluar rumah sakit.50
Faktor Eksternal (Faktor Lingkungan)
Faktor lingkungan termasuk yang paling menentukan. Faktor lingkungan di mana
seorang anak dibesarkan telah lama dikenal sebagai faktor penting yang
menentukan perkembangan anak. Banyak anak yang berasal dari daerah yang
sosial ekonominya buruk disertai berbagai layanan kesehatan yang tidak
memadai, asupan nutrisi yang buruk merupakan keadaan tekanan dan gangguan
lingkungan yang mengganggu berbagai pertumbuhan dan perkembangan anak,
diantaranya gangguan bahasa.56-66
Pola asuh
Law dkk juga menemukan bahwa anak yang menerima contoh berbahasa yang
tidak adekuat dari keluarga, yang tidak memiliki pasangan komunikasi yang
cukup dan juga yang kurang memiliki kesempatan untuk berinteraksi akan
memiliki kemampuan bahasa yang rendah. 56
Lingkungan verbal
Lingkungan verbal mempengaruhi proses belajar bahasa anak. Anak di
lingkungan keluarga profesional akan belajar kata-kata tiga kali lebih banyak
dalam seminggu dibandingkan anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan
kemampuan verbal lebih rendah.57
Studi lain juga melaporkan ibu dengan tingkat pendidikan rendah merupakan
faktor risiko keterlambatan bahasa pada anaknya. 58, 59
Chouhury dan beberapa peneliti lainnya mengungkapkan bahwa jumlah anak
dalam keluarga mempengaruhi perkembangan bahasa seorang anak, berhubugan
dengan intensitas komunikasi antara orang tua dan anak.57, 59

14

Menurut Gore Eckenrode, McLoyd, McLoyd Wilson, masalah kemiskinan dapat


menjadi penyebab meningkatnya risiko berbagai masalah dalam rumah tangga.
Kemiskinan secara signifikan mempertinggi risiko terpaparnya masalah kesehatan
seperti asma, malnutrisi, gangguan kesehatan mental kurang perhatian dan
ketidak-teraturan perawatan dari orang tua, defisit dalam perkembangan kognisi
dan pencapaian keberhasilan.60, 63
Beberapa penelitian yang dilaporkan Attar Guerra, Brooks-Gunn, Liaw BrooksGunn dan McLoyd menjelaskan bahwa keluarga yang bermasalah, terpapar lebih
besar faktor-faktor risiko daripada keluarga yang tidak berada dibawah tingkat
kemiskinan, dan konsekuensi dari faktor-faktor risiko ini dapat lebih berat pada
anak dalam keluarga ini.64,66
Anak yang terpapar berbagai faktor risiko, memiliki risiko mengalami gangguan
perkembangan yang semakin meningkat. Salah satu yang termasuk gangguan
perkembangan anak tersebut adalah specific language impairment (SLI). Hal ini
telah dilaporkan oleh Spitz dan Tallal Flax, mereka menjelaskan secara umum
tentang pencapaian yang buruk dalam berbahasa pada anak meskipun anak
tersebut memiliki pendengaran dan intelegensi nonverbal yang normal.63, 66
Penelitian Fazio, Naremore dan Connell, lebih mengkhususkan hal ini bahwa
dapat diartikan suatu kondisi yang menyebabkan seorang anak memiliki penilaian
spesifik dibawah rata-rata standar tes bahasa, tetapi berada pada level rata-rata
untuk tes intelegensi nonverbal. Dengan demikian, pencegahan SLI dapat dengan
mengidentifikasi faktor resiko anak sebelum diagnosis formal dibuat.66
Beberapa penelitian mengungkapkan faktor-faktor risiko biologi untuk SLI dan
penempatan-penempatan faktor lain dengan melihat outcome anak-anak sekolah
yang ditempatkan di neonatal intensive care units (NICUs) setelah lahir dengan
segera. Anak-anak dari populasi ini diketahui memiliki risiko untuk keterlambatan
kognisi dan kesulitan akademik karena mereka biasanya lahir prematur, berat
badan lahir rendah (kurang dari 2500 g) atau mengalami respiratori distres.49,50
Menurut Resnick, Rice, Spitz OBrien dan Siegel Tomblin, sebagian besar
literatur menyatakan bahwa meskipun anak-anak dari NICU lebih berisiko
mengalami kesulitan kognisi seperti retardasi mental dan gangguan belajar,

15

mereka tidak memiliki risiko yang meningkat untuk masalah spesifik bahasa,
khususnya saat angka penilaian disesuaikan karena prematuritasnya.50
Beberapa penelitian yang dilakukan Beitchman, Hood Inglis, Spitz, Tallal Ross,
Tomblin telah memperlihatkan bahwa gangguan bahasa umumnya memiliki
kecenderungan dalam suatu keluarga berkisar antara 40% hingga 70%. Hampir
separuh dari keluarga yang anak-anaknya mengalami gangguan bahasa, minimal
satu dari anggota keluarganya memiliki problem bahasa. Dengan demikian orang
tua yang berpengaruh pada keturunan ini mungkin bertanggung jawab terhadap
faktor-faktor genetik. Mungkin tidak diketahui berapa banyak transmisi
intergenerasi gangguan-gangguan bahasa tersebut disebabkan oleh kurangnya
dukungan lingkungan terhadap bahasa.46-48
Kondisi lingkungan merupakan hal yang penting menyangkut hasil perkembangan
seorang anak. Beberapa anak yang datang dari keluarga yang tidak stabil dan
kurangnya perhatian, perawatan, dan kurang memadainya kebutuhan nutrisi dan
perawatan kesehatan, dapat membentuk level stress lingkungan yang merugikan
bagi perkembangan anak termasuk bahasa. Risiko dari problem-problem bahasa
juga dikaitkan dengan faktor sosioekonomi dan rendahnya status ekonomi.55, 59
Peneliti-peneliti lain mendiskusikan beberapa variabel-variabel lingkungan yang
tampak lebih dapat diprediksi. Seperti yang dilaporkan Hoff-Ginsberg, Neils
Aram, Pine, Tallal, Tomblin, Tomblin dan Hardy faktor permintaan cara
persalinan ternyata termasuk faktor risiko gangguan perkembangan bicara pada
anak. Sedangkan menurut Paul, Rice, Tomblin dan Tomblin menunjukkan
pendidikan ibu yang rendah termasuk salah satu faktor risiko gangguan bahasa
yang terjadi pada anak. Orang tua tunggal menurut Andrews, Goldberg, Wellen,
Goldberg McLaughlin dan Miller Moore juga merupakan faktor risiko yang harus
diperhitungkan.59, 61, 62
Menurut Sameroff dan Barocas, tersusunnya model risiko perkembangan dapat
digunakan untuk memprediksi dengan lebih akurat, dengan mengkombinasi satu
atau lebih faktor-faktor risiko tersebut adalah efek komulatif dari risiko yang
multipel.64

16

Dalam suatu model penelitian dari Sameroff menunjukkan beberapa faktor risiko
sosial dan keluarga diantaranya adalah: masalah-masalah kesehatan mental ibu,
kecemasan ibu, sikap otoriter ibu dalam mengasuh anak, hubungan ibu-anak yang
buruk, pendidikan ibu yang kurang dari menengah atas, orang tua yang kurang
atau tidak memiliki ketrampilan dalam pekerjaan, status etnik minoritas, tidak ada
bapak, beberapa tekanan kehidupan tahun terdahulu, dan ukuran keluarga yang
besar.63, 64
Dilaporkan bahwa semua faktor tersebut adalah rangkaian individu yang berkaitan
dengan nilai IQ anak-anak pada usia 4 tahun dan sebagian besar mayoritas masih
berhubungan dengan IQ pada usia 13 tahun. Selain itu, jumlah faktor risiko
sebagaimana didefinisikan oleh risiko kumulatif dalam, adalah prediktor kuat IQ
pada usia 4 tahun dengan 58% dan pada umur 13 dengan varians 61%.64
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hooper, Burchinal, Roberts, Zeisel dan
Neebe juga menyajikan fakta-fakta yang menggunakan model risiko komulatif
untuk memprediksi kemampuan kognitif dan bahasa pada bayi yang lebih
dipengaruhi oleh status sosioekonomi yang rendah pada populasi Afrika Amerika.
Hooper mengidentifikasi satu perangkat dari 10 faktor-faktor risiko sosial dan
keluarga berdasarkan pada model risiko dari Sameroff berupa status kemiskinan,
pendidikan ibu kurang dari sekolah menengah atas, ukuran keluarga yang besar,
ibu yang tidak menikah, hidup yang penuh tekanan, dampak dari ibu yang depresi,
interaksi ibu-anak yang buruk, IQ ibu, kualitas lingkungan rumah, dan kualitas
perawatan sehari-hari.59, 60, 64
Seluruh faktor risiko sosial dan keluarga dimasukkan ke dalam studi, saat bayi
berusia 6 sampai 12 bulan. Peneliti-peneliti menemukan bahwa 9 dari 10 faktorfaktor risiko (tekanan hidup merupakan pengecualian) terkait dengan keberhasilan
kognisi dan bahasa dari infan-infan. Komulatif indeks risiko dihubungkan dengan
pengukuran bahasa dengan varians sekitar 12% sampai 17% tetapi bukan
pengukuran kognisi.61, 63
Evans dan English menyajikan fakta-fakta bahwa anak-anak dengan orang tua
berpenghasilan rendah terpapar faktor-faktor risiko lingkungan dalam jumlah
yang

lebih

besar

daripada

yang

17

berpenghasilan

menengah.

Mereka

memperkenalkan tiga penyebab stress psikososial (kekerasan, pertengkaran


keluarga, perpisahan anak dengan keluarga) dan tiga penyebab stress fisik
(kekacauan, kegaduhan, kualitas rumah yang rendah) merupakan faktor risiko
yang memberikan pengaruh negatif.61, 62
Dalam penelitiannya tentang lingkungan yang miskin, mereka menemukan hanya
20% anak-anak yang hidup dalam keluarga dengan penghasilan yang rendah tidak
terpapar satupun faktor risiko. Sebaliknya, 61% keluarga dengan penghasilan
menengah tidak terpapar faktor risiko. Temuan ini menyatakan bahwa mayoritas
anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah terpapar lebih banyak masalah
kemelaratan daripada kelompok berpenghasilan menengah dan disfungsi kognitif,
prilaku, atau sosial akan meningkat.58, 60
Sampai saat ini penelitian-penelitian terus mempelajari tentang perbedaan
perkembangan bahasa anak yang diambil dari budaya dan latar-belakang
sosioekonomi yang berbeda dan pengaruh dari perbedaan-perbedaan ini terhadap
pencapaian akademik selanjutnya.63
Robertson membandingkan kemampuan fonologi anak TK dari keluarga dengan
kemampuan bahasa tinggi dan rendah dan menemukan bahwa anak-anak dari
kemampuan bahasa rendah secara signifikan lebih buruk pada rangkaian
pengukuran kognisi, linguistik, pra-baca. Dua tahun pemantauan terlihat bahwa
anak-anak ini tidak mengejar anak-anak dari keluarga kemampuan bahasa baik.64
Burt, Holm, and Dodd juga menemukan hubungan antara prestasi yang buruk
dengan kemampuan bahasa yang rendah dengan menilai prestasi anak-anak pada
beberapa tugas-tugas fonologi. Suatu usaha untuk menjelaskan keterkaitan antara
kelemahan dan kegagalan sekolah.64
Hart and Risley mempelajari perbedaan antara kualitas bahasa ditujukan pada
anak-anak dengan latar belakang kemampuan bahasa yang berbeda pada 2 1/2
tahun pertama kehidupan mereka. Mereka melaporkan bahwa anak-anak dari latar
belakang kemampuan bahasa yang rendah berada dalam kelemahan karena orang
tua mereka atau pengasuh sangat jarang mengajak berbicara; akibatnya mereka
miskin perbendaharaan kata dan kemampuan komunikasi dibanding kelompok
dengan kemampuan bahasa yang lebih tinggi.64

18

Otitis media
Menurut Grievink didapatkan sekitar 80% dari seluruh anak prasekolah
mengalami satu atau lebih episode otitis media Akut atau otitis media effusion
Selama episode ini, anak-anak mengalami fluktuasi kehilangan pendengaran,
biasanya antara 20 dB dan 50 dB. Dari penilitian Gravel dan Nozza gangguan
tersebut mempengaruhi jumlah dan kualitas bicara dan bahasa yang didengar. 65
Roberts, Pagel Paden, Roberts Clarke-Klein, dan Schwartz telah melaporkan
kemungkinan ada hubungan antara otitis media dengan atau tanpa efusi dan
keterlambatan perkembangan bicara dan bahasa. Artikel-artikel tersebut
menyimpulkan bahwa banyak anak yang mengalami episode infeksi telinga
tengah mempunyai gangguan bicara dan bahasa. Tetapi tidak semua anak yang
mempunyai gangguan bicara dan bahasa mengalami infeksi telinga tengah.6

19

BAB III
Anak sindroma Down biasanya dapat berkomunikasi dengan baik, artinya mereka
dapat menyampaikan persan dan berinteraksi dengan orang lain, walaupn sulit
untuk berbicara dengan jelas, bicara merupakan suatu tantangan. Bicara mereka
sulit untuk dipahami. Sehingga penting untuk mengingat bahwa berbicara dengan
jelas memerlukan waktu dan banyak variasi diantara individu. Pada anak
sindroma down terdapat perbedaan dengan perkembangan anak yang lain.
Perkembangan bicara pada anak sindroma down dipengaruhi oleh

Kesulitan mendengar
Anatomi dan fisiologi yang berbeda ( terdapat hipotoni, rongga mulut

yang kecil, langit langit palatum,ksulitan dalam perbafasan)


Kesulitan fonologi
Kelemahan dalam proses informasi pendengaran.

Kesulitan mendengar
Sekitar dua pertiga dari anak-anak dengan sindrom Down mengalami gangguan
pengalaman pendengaran konduktif, kehilangan pendengaran sensorineural, atau
keduanya (Roizen, 2007)1 penelitian oleh Soerjatmono 70-80% anak Sindrom
Down mengalami gangguan pendengaran sehingga perlu pemeriksaan telinga
sejak awal kehidupannya serta dilakukan tes pendengaran secara berkala oleh
dokter THT 2
Gangguan pendengaran dapat mempengaruhi salah satu atau kedua telinga dan
berkisar dari ringan sampai berat (Roizen, Wolters, Nicol, & Blondis, 1993)3.
Gangguan pendengaran konduktif pada anak Down sindrome sering disebabkan
oleh gangguan pada telinga tengah, ditemukan terjadi pada 83 % anak dengan
down syndrom dengan derajat gangguan dari ringan sampai berat (Sacks B
2003)4. Otitis media merupakan salah satu gangguan telinga tengah. Anak-anak

20

dengan sindrom Down mungkin sangat rentan terhadap otitis media, mungkin
karena saluran pendengaran sempit dan perbedaan wajah tengkorak terlihat pada
populasi ini (Roizen, 2007)1. Otitis media telah ditemukan terjadi pada 96% anakanak dengan Down syndrome, dengan 83% membutuhkan tabung tympanotomy
(Shott, Joseph, & Heithaus, 2001)5. Otitis Media Efusi (OME) berhubungan
dengan gangguan pendengaran dan mungkin merupakan faktor risiko tambahan
pada anak Down syndrome karena anak-anak dengan sindrom Down sudah
berisiko untuk kesulitan bahasa (American Academy of Pediatrics [AAP], 2004;.
Roberts et al, 2004)6. Bahkan, gangguan pendengaran terkait secara bersamaan
kesulitan dalam pemahaman gramatikal morfem dan kosa kata untuk individu
dengan sindrom Down (Miolo, Chapman, &

Sindberg, 2005; Chapman,

Schwartz,)7. Namun, belum banyak penelitian yang menyatakan hubungan antara


OME dengan perkembangan bahasa anak dengan down syndrome.
Perbedaan anatomi dan fisiologi

21

Anda mungkin juga menyukai