Anda di halaman 1dari 4

Bedakanlah Antara Nasehat dan Celaan

Semoga nukilan singkat ucapan ulama tentang masalah nasehat dan celaan bisa menj
adikan kita mengerti lalu tidak sembarangan dalam melontarkan suatu ucapan yang
justru menimbulkan kerusakan.
Seseorang dengan bisa membedakan antara apa itu nasehat dan apa itu celaan, maka
diharapkan akan bisa hikmah menempatkan suatu ucapan dan tindakan pada tempat y
ang tepat.
Sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Ismail bin Muhammad Al-Anshary rahimahullah dala
m syarhnya terhadap Al-Arbain An-Nawawiyah:
Nasehat adalah membersihkan jiwa atau diri dari tipu daya dan pengkhianatan terh
adap orang yang dinasehati.
Ibnu Rajab Al-Hanbaly rahimahullah berkata dalam Al-Farqu Baina An-Nashihah Wa At
-Tayiir (Perbedaan Antara Nasehat dan Celaan):
Kedua (kata ini) menyatu dalam hal bahwa masing-masing dari kata ini ada penyebut
an seseorang dengan perkara yang dia tidak sukai. Dan perbedaan dua kata ini ter
kadang samar bagi kebanyakan manusia, dan Allah-lah yang memberikan taufiq pada
yang benar.
Jika padanya ada kebaikan bagi keumuman kaum muslimin atau secara khusus bagi se
bagian mereka, dan maksud dari apa yang disampaikan itu untuk menghasilkan kebai
kan maka hal ini tidaklah haram, bahkan dianjurkan.
Para ulama hadits telah menetapkan hal ini dalam kitab-kitab mereka terkait jarh
wa tadil, dan mereka menyebutkan perbedaan antara menjarah (mengkritik) para raw
i dan antara ghibah (menggunjing). Dan mereka membantah orang yang menyamakan an
tara kedua hal tersebut.
Oleh karenanya kita menemukan dalam kitab-kitab karya mereka (dalam berbagai bid
ang) penuh dengan sanggahan dan bantahan terhadap ucapan orang yang dianggap uca
pannya itu jauh dari kebenaran. Tidak ada seorangpun yang dikecualikan, dan tida
k ada yang mengatakan itu sebagai celaan terhadap orang yang dibantah. Tidak pul
a disebut penghinaan atau peremehan. Kecuali orang yang membantah itu adalah ora
ng yang kotor ucapannya, jelek adabnya dalam pengungkapannya. Maka orang ini din
gkari kekotorannya dan keburukannya bukanlah bantahannya. Hal ini dalam rangka m
enegakkan hujah syariyah dan dalil yang diperhitungkan.
Dan asal muasal dari semua ini adalah bahwa seluruh ulama sepakat dalam maksud m
enampakkan kebenaran yang Allah taala mengutus dengannya Rasul-Nya shallallahu ala
ihi wasallam, dan agar seluruh agama ini hanyalah milik Allah taala. Semua mereka
mengakui bahwa tiada seorangpun yang mencapai derajat mengetahui semua ilmu tan
pa ada cacat sedikitpun. Oleh karenanya para imam salaf -dalam kondisi demikian
tinggi ilmu dan keutamaan mereka- sepakat untuk menerima al-haq dari siapapun ya
ng mendatangkannya meskipun orang itu rendah derajatnya, dan mereka menyuruh pen
gikutnya untuk ikut menerima al-haq tersebut.
Adalah Asy-Syafii rahimahullah menasehatkan para pengikutnya untuk mengikuti al-h
aq, menerima sunnah, jika tempak bagi mereka bahwa sunnah itu berbeda dengan uca
pan mereka, dan hendaknya melemparkan ucapannya ketika itu juga ke tembok.
Dan ini menunjukkan bahwa mereka tidak punya tujuan lain kecuali menampakkan alhaq meskipun itu munculnya dari lisan orang yang mendebat atau menyelisihinya.
Barangsiapa yang demikian keadaannya, maka tidak mengapa ucapannya dan penyelisi
hannya terhadap sunnah dibantah dan dijelaskan, sama saja semasa hidupnya ataupu

n setelah matinya.
Maka tidaklah masuk dalam hal ghibah secara keseluruan. Kalaupun ada yang tidak
suka untuk menampakkan kesalahan orang yang menyelisihi al-haq maka ketidaksukaa
nnya itu tidak bisa dijadikan patokan. Bahkan yang wajib adalah seorang muslim i
tu harus cinta menampakkan al-haq dan agar kaum muslimin mengetahui hal itu. Sam
a saja al-haq itu sejalan dengannya atau berbeda dengannya.
Maka ini merupakan nasehat untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, agama-Nya dan para
pemimpin kaum muslimin dan keumuman kaum muslimin.
Adapun menjelaskan kekeliruan dari kekeliruan ulama sebelumnya, maka jika dia me
lakukannya dengan penuh adab maka tidak mengapa, jika dia bisa menjawab dan memb
antah dengan baik dan sopan maka tidak mengapa dan dia tidak tercela.
Dan tidak seorangpun dari ulama yang menganggap ini sebagai celaan pada ulama te
rsebut dan bukan pula menjelekkan mereka.
Adapun jika maksud dari membantah itu untuk menampakkan aib orang yang dibantah,
meremehkannya, menampakkan kebodohannya dan kekurangannya dalam ilmu dan selain
itu, maka hal ini haram. Entah sama saja dia membantahnya di hadapan yang bersa
ngkutan atau di belakangnya. Sama saja semasa hidupnya atau setelah matinya. Dan
ini masuk dalam perkara yang dicela Allah taala dalam kitabnya dan disiapkan anc
aman baginya. Dan juga dalam ancaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Semua ini dalam konteks teruntuk bagi ulama yang dijadikan panutan secara benar
dalam agama ini. Adapun ahlul bida dan kesesatan, orang yang nyamar jadi ulama pa
dahal bukan ulama, maka boleh dijelaskan kebodohannya dan ditampakkan aibnya dal
am rangka mengingatkan manusia agar tidak mengikutinya.
Siapa yang diketahui bahwa dia menginginkan dengan bantahannya terhadap ulama it
u sebagai nasehat kepada Allah dan rasul-Nya, maka dia wajib diperlakukan dengan
penghormatan dan penghargaan sebagaimana seluruh imam kaum muslimin.
Dan siapa yang diketahui bahwa dia menginginkan dengan bantahannya itu untuk men
ghina, mencela dan menampakkan aib yang dibantahnya, maka dia wajib dihadapi den
gan ancaman hukuman agar terlepas dari perbuatan rendah yang haram ini.
Bagaimana maksud ini bisa diketahui?
Yaitu terkadang dengan pengakuan dan keterangan orang yang membantah itu sendiri
. Dan terkadang dengan tanda-tanda yang muncul dalam ucapan dan perbuatannya. Si
apa yang dikenal sebagai penjunjung ilmu dan agama serta memuliakan imam kaum mu
slimin, maka dia tidak akan menyebutkan bantahan kecuali dalam bentuk yang ditem
puh oleh imam para ulama.
Adapun orang yang menemukan ucapan ulama lalu menganggapnya keliru dan mengarahk
an ucapan itu tanpa baik sangka, maka dia termasuk orang yang berburuk sangka te
rhadap orang yang tidak bersalah. Dan ini adalah persangkaan yang dilarang oleh
Allah taala. Dan telah masuk pada ancaman-Nya.
Dan siapa yang melakukan kesalahan atau dosa lalu dia melemparkan (tuduhan) denga
n hal itu kepada orang yang tidak bersalah maka dia telah menanggung tuduhan dus
ta dan dosa yang nyata. [An-Nisa: 112]
Dan akan makin kuat dia masuk pada ancaman jika nampak dari persangkaan itu tand
a-tanda yang jelek, misalnya: banyaknya kezhaliman darinya, permusuhan, tidak be
rsikap hati-hati, pengumbar lisan, banyak mengatain orang dan menggunjing, hasad
terhadap manusia, dan sangat kuat ambisinya untuk ikut berebut kekuasaan sebelu
m ia pantas memegangnya.

Siapa yang dikenal darinya sifat yang tidak diridhai hal ini ada pada ahlul ilmi
dan iman, maka hal ini hanya akan membawa penyakit untuk ulama.
Al-Fudhail rahimahullah berkata: Seorang mukmin itu akan menutupi kesalahan dan m
enasehati, adapun orang fajir maka ia akan membongkarnya dn mencelanya.
Apa yang disebutkan al-Fudhail ini adalah tanda apa itu nasehat dan apa itu cela
an, yaitu bahwa nasehat itu akan bergandengan dengan penutupan atau penyembunyia
n, dan celaan akan bergandengan dengan pembongkaran.
Para ulama salaf tidak suka melakukan amar maruf atau nahyu munkar di depan hadap
an manusia, namun mereka suka melakukannya secara tersembunyi. Maka ini adalah t
anda dari suatu nasehat. Seorang penasehat itu tidaklah bertujuan untuk menyebar
kan aib orang yang dinasehati, namun tujuannya adalah menghilangkan mafsadah yan
g orang itu jatuh padanya[1].
Oleh karenanya penyebaran aib dan kejelekan itu akan selalu bergandengan dengan
celaan, keduanya merupakan perangai orang fajir. Karena orang yang fajir tidakla
h punya keinginan untuk menghilangkan mafsadat, tidak pula menjauhkan mukmin dar
i kekurangan dan aib. Hanyalah keinginannya itu menyebarkan aib saudaranya mukmi
n, merobek kehormatannya, dan dia selalu mengulangi hal itu. Dan maksud diaa men
yebarkan aib saudaranya agar saudaranya mendapatkan dharar duniawi.
Adapun orang yang memberi nasehat maka tujuannya adalah menghilangkan aib saudar
anya dan menjauhkannya dari aib itu.
Adapun celaan maka maknanya sebagai tingkatan celaan yang paling nampak adalah m
enampakkan kejelekan dan menyebarkannya dalam kemasan nasehat, sedangkan bathinn
ya hanya menginginkan untuk menjelekkan dan menyakiti.
Maka hal ini adalah saudaranya kaum munafiqin, yaitu dia menampakkan perbuatan d
an ucapan yang baik dengan tujuan untuk sampai pada tujuan yang dia sembunyikan
dalam batin. Dalam bentuk kemasan nampaknya baik, maka dia dipuji dalam kamasan
yang dia berikan dan dia menginginkan tujuan yang jelek. Dia suka dengan pujian
itu padahal batinnya jelek. Maka sempurnalah baginya faedah dan muluslah tipu da
ya dan muslihat.
Contohnya: seseorang ingin mencela seseorang, meremehkannya dan menampakkan keje
lekannya agar orang-orang leri darinya. Hal ini entah karena ingin menyakitinya,
atau karena memusuhinya, atau karena dia takut orang-orang akan selalu mengelil
inginya, memberikan padanya harta, atau kepemimpinan dan selainnya. Maka seseora
ng tidak akan sampai pada hal it kecuali dengan menampakkan celaan kepada orang
itu dalam kemasan agamis.
Lalu apa obat untuk penyakit ini?
Siapa yang diuji dengan tipu daya ini maka hendaknya bertakwa kepada Allah taala,
meminta tolong kepada-Nya dan bersabar. Karena kesudahan yang baik itu bagi ora
ng yang bertakwa.
Kemudian Ibnu Rajab menyebutkan ayat-ayat namun kita singkat agar tidak memanjan
g[2].
Diringkas dari kitab tersebut oleh:
Umar Al-Indunisy
Darul Hadits Mabar, Yaman
Sumber: http://thalibmakbar.wordpress.com/2010/10/21/bedakanlah-antara-nasehat-d
an-celaan/#more-495

Dengan sedikit perubahan dan tambahan catatan kaki oleh redaksi www.assalafy.org
[1] Adapun menyebarkan dan menampakkan aib orang lain itu termasuk perbuatan yan
g diharamkan oleh Allah taala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, sebagaima
na firman-Nya:
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu te
rsiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di duni
a dan di akhirat, dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui. [An-Nur: 1
9]
[2] Beberapa ayat yang dimaksud adalah di antaranya tentang kesudahan yang baik
bagi Nabi Yusuf alaihissalam setelah sekian lamanya merasakan gangguan, makar, da
n tipu daya:
Dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bum
i (Mesir). [Yusuf: 21]
Demikian juga ayat yang menceritakan tentang Nabi Musa alaihissalam beserta kaumn
ya agar mereka meminta pertolongan kepada Allah dan bersabar, sesungguhnya kesud
ahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa:
Musa berkata kepada kaumnya: Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah, se
sungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; diwariskan-Nya kepada siapa yang dihendak
i-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang
bertakwa. [Al-Araf: 128]
Dan beberapa ayat yang lain. Wallahu alam.
http://www.assalafy.org/mahad/?p=566#more-566

Anda mungkin juga menyukai