Anda di halaman 1dari 2

25-09-2006, 11:05

PEMBELAAN TERHADAP SAHABAT RASULULLAH DARI CELAAN SAYYID QUTUB


Sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah perantara antara kita dengan Rasulullah, semua ilmu agama baik itu pokoknya maupun
cabangnya, baik itu Al-Quran maupun hadits sampai kepada kita melalui perantara para sahabat Rasulullah shallallahualaihi wa sallam, sehingga orangorang kafir, munafiq, zindiq, mubtadi, dan pengekor hawa nafsu mencela para sahabat ini dengan cerita-cerita bohong, hadits-hadits dhoif (lemah),
maudhu (palsu) bahkan yang tidak ada asalnya sama sekali, untuk memasukkan keraguan ummat Islam pada pribadi para sahabat Rasulullah, sehingga
ujung-ujungnya mereka meragukan Al-Quran atau hadits-hadits yang sampai kepada mereka walaupun hadits-hadits tersebut shohih, karena sematamata hadits itu datang dari sahabat yang mereka cela.
Cukuplah seorang muslim menahan lisannya dari mencela sahabat Rasulullah shallallahualaihi wa sallam ketika mendengar sabda Rasulullah
shallallahualaihi wa sallam : "Janganlah kalian mencela sahabatku, demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya salah seorang diantara
kalian menginfaqkan emas sebesar gunung uhud, tidak akan mencapai satu mud -sebanyak dua telapak tangan orang dewasa- (dari apa yang mereka
infaqkan) dan tidak juga setengahnya. (HR. Bukhori Muslim ).
Demi Allah, bagaimana mungkin seorang muslim mampu menggerakkan lisannya dan penanya mencela sahabat Rasulullah shallallahualaihi wa sallam,
sedangkan Allah telah memuji mereka dalam firmannya : " Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah
keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya,
tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu
seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya;
tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang
mumin).".(Al-Fath:29).
Rasulullah dan para sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sangat keras terhadap orang-orang yang mencela sahabat Rasulullah
shallallahualaihi wa sallam.
Berdasarkan ayat ini Imam Malik rahimahullah berpendapat bahwa orang-orang yang membenci para Shahabat Rasulullah shallallahualaihi wa sallam
adalah orang-orang kafir. (Tafsir Ibnu Katsir IV hal. 216 ).
Berkata Imam An-Nawawi dalam Syarah Shohih Muslim 16/93 :
"Ketahuilah bahwa mencela sahabat Rasulullah shallallahualaihi wa sallam hukumnya haram, termasuk dari perbuatan buruk yang diharamkan.
Baik itu mencela sahabat yang terkena fitnah ataupun yang lainnya. Karena mereka Mujtahid dalam peperangan yang terjadi antara mereka.
Al-Qodhi (Iyadh) berkata :
Mencela sahabat termasuk dosa besar, madzhab kami madzhab jumhur yaitu merajamnya dan tidak membunuhnya. Berkata sebagian ulama madzhab
Maliki orang yang mencela sahabat Rasulullah shallallahualaihi wa sallam hukumannya dibunuh"
Al-Imam Athohawy menjelaskan sikap Ahlus Sunnah terhadap sahabat Rasulullah (Syarah Aqidah Thohawiyah hal 528) : "Kita mencintai sahabat
Rasulullah, dan kita tidak berlebihan dalam mencintai mereka. Kita tidak berlepas diri dari salah seorangpun diantara mereka. Kita benci orang yang
membenci mereka dan mengomentari mereka dengan komentar buruk. Kita tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Cinta pada mereka adalah
iman dan ihsan. Benci pada mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan kedzoliman".
Maka tidak perlu kita heran, dengan kemunculan orang-orang pada zaman ini yang siap menghunus pedang untuk membela sahabat Rasulullah
shallallahualaihi wa sallam.
Sayyid Qutub (salah satu tokoh IM) adalah seorang yang jauh tergelincir dalam hal ini. Walaupun telah diperingati dengan "gamblang" oleh
Syaikh Mahmud Muhammad Syakir (sastrawan, hidup semasa dengan Sayyid Qutubh) dalam salah satu makalahnya yang dimuat oleh majalah AlMuslimun No. 3 tahun 1371 H, dengan judul "Laa tasubbuu ashaabii", namun dengan keras kepala, tanpa malu dan tanpa takut kepada Allah
Sayyid Qutubh membantahnya dalam majalah Ar-Risalah No. 977, tanggal 24 Ramadhon 1952 M. Bahkan sampai akhir hayatnya dia tetap mencetak
buku "Al-Adalah Al-Ijtimaiyyah", dan menasehati orang untuk membaca dan menjadikannya rujukan, sebagaimana yang ia nyatakan sendiri
dalam bukunya "Limadza Adamuni" hal. 79 (buku terakhir yang ditulis oleh Sayyid Qutubh). Padahal didalam "Al-Adalah AlIjtimaiyyah" itu ia mencela sahabat Rasulullah shallallahualaihi wa sallam, dan mengkafirkan ummat Islam. Kenyataan ini membantah pembelaan
dusta Farid Numan yang fanatik buta.
Sayyid Qutubh Mencela Utsman Radhiyallahu anhu
Sayyid Qutubh dalam bukunya "Al-Adalah Al-Ijtimaiyyah" membawakan banyak cerita bohong tentang ketidakadilan Utsman.
Ini adalah salah satu cerita yang paling buruk yang pernah ia toreh dalam kitab tersebut pada halaman 187-189 (cet ke-5) :
"Utsman memberi hadiah menantunya Al-Harits ibn al-Hakam dari harta baitul mal sebanyak 200 dirham. Ketika hari telah menjadi pagi datanglah
Zaid ibn Al-Arqam, penjaga baitul mal. Dari wajahnya tampak kesedihan dan air mata mulai menggenangi kedua matanya. Kemudian ia meminta agar
Utsman mencopotnya dari pekerjaannya (menjaga baitil mal). Ketika Utsman mengetahui bahwa hadiah yang ia berikan kepada menantunya dari baitul
mal adalah penyebab pengunduran diri Zaid, ia berkata keheranan :
"Apakah engkau menangis karena aku menyambung silaturahmiku, wahai Ibnul Al-Arqom ! Kemudian laki-laki yang penuh ruh keislaman dalam
dirinya itu berkata : Tidak wahai Amirul Muminin, akan tetapi aku menangis karena engkau mengambil harta itu sebagai pengganti apa yang pernah
engkau infaqkan di jalan Allah pada masa Rasulullah shallallahualaihi wa sallam. Demi Allah, sudah sangat banyak jika engkau memberikan 100 dirham
saja. Maka Utsman marah kepada laki-laki yang tidak mampu menahan perasaannya melihat harta kaum muslimin diberikan kepada keluarga
khalifah.Utsman berkata kepada Zaid : Lemparkan kunci baitul mal itu wahai ibnu Al-Arqom, sesungguhnya kami akan mengangkat orang selain
kamu."
Perhatikanlah ! bagaimana Sayyid Qutub membawa cerita bohong ini tanpa menyebutkan sumber dan sanad cerita tersebut, sehingga kaum muslimin
dapat menilai cerita tersebut. Mana sifat kehati-hatiannya terhadap salah seorang yang dipastikan masuk surga oleh Rasulullah shallallahualaihi wa
sallam, kepada seorang yang Malaikatpun malu kepadanya ?.
Rasulullah bersabda : "Abu bakar dalam sorga, Umar dalam surga, Utsman dalam surga, Ali dalam surga.." (HR. Imam Ahmad
1/187,188,189, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Hakim)
Dan sabdanya juga :"Apakah aku tidak malu kepada orang yang malaikatpun malu kepadanya ?"(H.R Muslim)
Dalam buku yang sama, hal. 189, Sayyid Qutub mengatakan bahwa pemberontakan yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba (seorang Yahudi) lebih dekat
dengan Ruh Keislaman dibanding sikap Utsman dan pembantu-pembantunya dari bani Umayyah.
Ruh keislaman mana yang dimaksud oleh Sayyid Qutub ini ?. Sedangkan Rasulullah shallallahualaihi wa sallam bersabda kepada Utsman : "Wahai
Utsman, semoga Allah memberikan baju kepadamu setelah aku. Dan orang-orang munafiq menginginkan agar engkau menanggalkan baju
tersebut" (HR: Imam Ahmad)
Mungkin roh keislaman yang dimaksud Sayyid Qutub adalah ruh kemunafikan!

Sayyid Qutub mencela sahabat Muawiyyah dan Amr bin Ash.


Berkata Sayyid Qutbh dalam kitabnya "Kutub wa Syakhshiyat" hal.242, cet. Ke-tiga, Darus Syuruq : "Sesungguhnya Muawiyah dan Amr
(Amr bin Ash) tidaklah mampu mengalahkan Ali karena mereka berdua lebih tahu tentang rahasia-rahasia jiwa, lebih mengerti akan tindakan yang
bermanfaat pada waktu yang tepat. Akan tetapi karena mereka dengan bebas menggunakan semua senjata (segala cara). Hal ini berhubungan erat
dengan akhlaq mereka dalam memilih cara dalam pertarungan. Ketika Muawiyah dan temannya (Amr bin Ash) condong menggunakan kebohongan,
penipuan, kemunafikan, dan jual beli kehormatan. Sedangkan Ali tidak mampu menggunakan cara-cara rendah tersebut. maka jangan heran jika
keduanya sukses, sedangkan Ali gagal (kalah). Sesungguhnya itulah kekalahan yang lebih mulia dari segala kesuksesan" .
Ketika dibacakan perkataan Sayyid Qutub ini Syaikh Ibnu Baz berkata :
"Perkataan yang buruk ! Ini perkataan yang buruk!, celaan terhadap Muawiyah dan Amr bin Ash. Semua perkataan ini buruk, perkataan yang
mungkar. Muawiyyah dan Amr bin Ash mujtahid tapi salah. Mujtahid jika salah dimaafkan". Syaikh Soleh Al-Fauzan menambahkan :"Mujtahid
jika
benar akan mendapat dua pahala dan jika salah mendapat satu pahala"
Kemudian Syaikh bin Baz ditanya : "Apakah kita tidak membrendel kitab-kitab yang berisi perkataan ini?. Berkata Syaikh Ibnu Baz :"Pantas
untuk dirobek!".(Baraatu Ulamail Ummat min tazkiyati ahlil bidah wal madzammah, oleh Ashim bin Abdillah As-Sinani, hal. 32-33 ).
Sayyid Qutub bukanlah sahabat Rasulullah shallallahualaihi wa sallam dari kalangan muhajirin dan bukan pula dari kalangan Anshor. Bahkan dengan
celaan ini dia telah mengambil tempatnya sendiri di luar golongan yang disebutkan oleh Allah dalam surat Al-Hasyr ayat ke-10:
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudarasaudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang
beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".
Tidakkah ayat ini cukup membuat Sayyid Qutub lari dari mencela sahabat Rasulullah shallallahualaihi wa sallam ? Bagaimana mungkin Amr bin Ash orang
yang dipuji oleh Rasulullah shallallahualaihi wa sallam sebagai orang yang soleh dari bangsa quraisy ( HR. Ahmad:1/161) disifati dengan pengkhianatan ,
kedustaan dan kemunafikan. Bagaimana mungkin Muawiyyah yang didoakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam "Ya Allah jadikanlah ia
pemberi petunjuk, orang yang diberi petunjuk dan berilah petunjuk (kepada manusia) dengan perantaraannya. ( HR. Imam Ahmad : 4/216) disifati
dengan pengkhianatan, kedustaan dan kemunafikan.
[ Diambil dari arsip milis as sunnah ]
Untuk bukti silakan merujuk ke buku yang dimaksud, Insya Alloh akan anda temui.

Anda mungkin juga menyukai