Anda di halaman 1dari 10

Urgensi Pendidikan Politik

warning: Creating default object from empty value in


/var/www/ejournal/sites/all/modules/ejournal/ejournal.module on line 2718.
Abstrak:
Pendidikan politik memegang peranan penting untuk kemajuan bangsa ini
kedepan. Selain untuk menyiapkan pemimpin bangsa masa depan yang moralis,
kapabel dan kredibel, pendidikan politik juga dimaksudkan untuk menjadikan
seluruh rakyat menjadi melek politik. Seiring dengan munculnya dinamika dan
kompleksitas masalah yang dihadapi masyarakat dibutuhkan pola pendidikan
politik yang relevan dengan situasi dan kondisi yang ada. Sejarah menunjukkan
corak pendidikan politik era Presiden Soekarno lebih bersifat agitatif dan
propaganda, sedangkan pada masa Presiden Soeharto ruang pendidikan politik
lebih didominasi oleh pola hegemoni dan doktriner untuk kepatuhan kepada
rezim. Sementara sejak bergulirnya reformasi pendidikan politik tanpa arah
yang jelas dan mengalami stagnasi. Karena itu dibutuhkan terobosan dan
inovasi agar kita memiliki model pendidikan politik yang sistematis, terencana,
relevan dan kontekstual dengan perkembangan masyarakat. Agar harapan kita
untuk menghasilkan politisi/pemimpin yang bermoral dan berkarakter akan
mendekati kenyataan. Disisi lain rakyat juga tercerahkan dan berpartisipasi aktif
sebagai warga negara sebagai implikasi pendidikan politik yang terstruktur dan
massif.
Pendahuluan
Dewasa ini publik sering disuguhi tontonan sandiwara politik yang dimainkan
oleh para elit politik. Melalui berbagai media massa baik cetak maupun
elektronik para pelaku politik atau yang lazim disebut politisi/politikus
acapkali mendemonstrasikan perilaku politik yang kurang terpuji menurut
takaran moralitas publik. Sebut saja mulai kasus korupsi, skandal seksual,
kebohongan publik, pencitraan untuk menutupi kelemahan dan kesalahan dan
perilaku lain yang intinya mengecewakan rakyat. Terutama masalah korupsi
yang mendera para politisi baik di level nasional maupun di daerah selain
merugikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) juga membikin rakyat makin apatis.
Muaranya tentu pada pengurangan hak-hak rakyat dan kesejahteraan
masyarakat yang makin terusik.
Korupsi adalah bentuk kejahatan bahkan ada yang mengklasifikasikannya
sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Istilah korupsi berasal dari
bahasa latin coruptio atau corruptus. Selanjutnya, korupsi itu juga bisa dianggap
berasal dari corrumpere, suatu kata Latin yang lebih luas artinya. Dan bahasa
Latin itulah kemudian diturunkan ke banyak bahasa lain di Eropa seperti;

Inggris (corruption, corrupt); Perancis : (corruption) dan bahasa


Belanda(corrupte, korruptie). Dan bahasa Belanda inilah kata itu turun ke
bahasa Indonesia menjadi "korupsi". Arti harafiah dari kata korupsi itu adalah
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, demikian pula 'kata-kata atau ucapan yang
menghina atau memfitnah'. Seperti dapat dibaca dalam The Lexicon Webster
Dictionary. Yang dimaksud corruption adalah : the act corruption or the state
of being corrupt; putrefactive decomposition, putridmatter; moral pervesition;
deprarity, prevesiution of integrity; corrupt or dishonest proceeding, bribery;
pervesition from a state of purty; debasement, as of a language a debased from
of a word. (Soekanto, 2002). Pengertian yang sederhana adalah korupsi
merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang dimiliki untuk kepentingan
pribadi, kelompok atau golongan.
Banyak faktor yang menjadi penyebab maraknya berbagai kasus korupsi yang
melibatkan para politikus itu. Mulai dari faktor ekonomi, logika materialisme,
perilaku hedonis, sikap pragmatis, gagap dengan kekuasaan dan lain
sebagainya. Namun faktor mentalitas dan moralitas mereka yang mendominasi
perbuatan menyimpang tersebut. Dan faktor demoralisasi politisi ini salah
satunya adalah makin menjauh dari nilai-nilai Pancasila yang menjadi
pandangan hidup bangsa. Pancasila seharusnya menjadi dasar dan pijakan bagi
para pelaku politik di negeri ini. Jikalau mengabaikan Pancasila sebagai sumber
inspirasi dalam bertindak dan bersikap, tentu yang didapat adalah fenomena
yang mengecewakan publik. Karena Pancasila tidak lagi menjadi jati diri dan
kepribadiannya dalam melakukan aktifitas politik.
Melemahnya implementasi Pancasila bersifat sistemik, sebagaimana
dikemukakan oleh Azyumardi Azra (2010): pertama, Pancasila masih
dipandang tercemar karena kebijakan rezim Soeharto yang pernah menjadikan
Pancasila sebagai alat politik mempertahankan status quo kekuasaan. Rezim
Soeharto juga mendominasi pemaknaan Pancasila yang diindoktrinasi melalui
penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Kedua,
liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan oleh Presiden BJ Habibie
tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organsasi yang memberikan
peluang bagi adopsi asas-asas ideologi lain, khususnya yang berbasis
agama. Ketiga, desentralisasi dan otonomi daerah yang sedikit banyak
memperkuat semangat kedaerahan, berbau nasionalisme lokal yang tumpang
tindih dengan etno-nasionalisme dan bahkan sentimen agama.
Fenomena melemahnya implementasi Pancasila sebagai kepribadian bangsa dan
dasar negara terutama di kalangan pemimpin, salah satu faktor penyebabnya
adalah belum adanya sistem pendidikan politik yang memadahi. Model
pendidikan politik ala Bung Karno (Orde Lama) yang bercirikan agitasi dan

propaganda sudah tidak cocok untuk diterapkan dewasa ini. Pola Soeharto
(Orde Baru) yang bersifat doktriner-dogmatis (Misal, Penataran P4) juga tidak
relevan lagi. Tetapi di era reformasi belum ditemukan formula yang tepat untuk
melakukan pendidikan politik yang sistematis kepada masyarakat. Akibatnya, di
era reformasi banyak muncul politisi baru (dadakan) yang tidak berproses dan
tidak memiliki latar belakang aktifitas politik yang cukup. Sehingga perilaku
mereka cenderung menjauh dari sikap dan sifat negarawan, melainkan lebih
menonjolkan perilaku politik yang mengedepankan kepentingan sesaat dan
kurang terpuji. Hampir semua kalangan menilai politisi dewasa ini lebih
dominan kepentingan pragmatisnya ketimbang berpikir ideologis. Ada adagium
tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik melainkan yang ada adalah
kepentingan yang sama merupakan contoh kecil betapa cara berpikir mereka
sangat kerdil. Ada semacam pergesaran nilai-nilai yang signifikan antara
pemimpin pada masa lalu (founding fathers) yang condong berpikir besar untuk
bangsa dan negara dengan pemimpin sekarang (elit lokal/nasional) yang lebih
dominan mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Gejala ini tentu menjadi
keprihatinan bersama yang harus mendapat perhatian yang serius dari segenap
anak bangsa.
Fakta empirik juga menunjukkan bahwa makna politik dipahami beragam oleh
masyarakat. Politik dalam bahasa sehari-hari ditafsirkan secara bervariasi, mulai
dari pengertian yang positif: misalnya kekuasaan, partai, negara, pemerintahan,
kebijakan pemerintah terhadap kehidupan masyarakat, dan lain-lain. Hingga
pada pengertian yang negatif dan ironis, misalnya tipu daya, perlakuan kotor,
manipulasi, kelicikan, penindasan, pembelengguan, kemunafikan dan lain
sebagainya (Kartono, 1996).
Menilik beberapa definisi mengenai politik, tentu akan mencerahkan khalayak
bahwa pengertian politik tidak selalu berkonotasi negatif. Sekedar menyebut
contoh: Aristoteles melihat politik sebagai suatu asosiasi warga Negara yang
berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ikhwal yang menyangkut
kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat (Ramlan Surbakti, 1999). Roger
F. Soltau menggagas bahwa ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari Negara,
tujuan-tujuan Negara, dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan
itu; hubungan antara Negara dengan warga negaranya serta dengan Negaranegara lain (Miriam Budiarjo, 2010). Sedangkan Harold D. Laswell dan A.
Kaplan dalam Power dan Society; menyebutkan bahwa ilmu politik itu
mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan. Fokusnya adalah
bagaimana memperjuangkan kekuasaan, mempertahankan kekuasaan,
melaksanakan kekuasaan, mempengaruhi orang lain, dan menentang
pelaksanaan kekuasaan itu. Sementara Joy Mitchell dalam Political Analysis
and Public Policy, mengatakan bahwa politik adalah pengambilan keputusan

kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya


(Gatara, 2009).
Karena itu diperlukan sosialisasi yang tepat tentang makna politik tersebut agar
tidak disalahtafsirkan oleh masyarakat luas terutama bagi mereka yang mau
terjun ke dunia politik praktis. Harus ada langkah konkret untuk mencerdaskan
dan mencerahkan rakyat melalui upaya pendidikan politik. Kesalahan
memaknai politik akan berakibat fatal dalam implementasi sistem politik yang
kita anut.
Karena itu pendidikan politik memegang peranan penting untuk kemajuan
bangsa ini kedepan. Selain untuk menyiapkan pemimpin bangsa masa depan
yang moralis, kapabel dan kredibel, pendidikan politik juga dimaksudkan untuk
menjadikan seluruh rakyat menjadi melek politik. Seiring dengan munculnya
kompleksitas masalah yang dihadapi masyarakat dibutuhkan pola pendidikan
politik yang relevan dengan situasi dan kondisi yang ada. Yang paling penting
harus mengikuti dinamika dan perubahan yang terjadi di masyarakat termasuk
pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pertanyaannya adalah
sejauh mana urgensi pendidikan politik dewasa ini?

Tinjauan Historis
Menurut Roeslan Abdulgani (1995) dalam sejarah perjuangan kemerdekaan
kita, mulai dulu hingga sekarang, tidak ada suatu istilah yang banyak diagungagungkan tetapi juga paling banyak dicemooh-kan dan yang paling sering di
salahgunakan daripada istilah politik. Pernah kata politik ditakuti matimatian. Yaitu di zaman Hindia Belanda; oleh kaum kolonialis dan para kaki
tangannya, terutama kaum birokrat kolonial. Karena rakyat yang memiliki
kesadaran politik dianggap bahaya besar bagi dirinya. Dan bangkitnya
pergerakan politik di Indonesia dianggap sebagai bunyi lonceng kematian
kolonialisme. Hancurnya kedudukan mereka, dus, kata politik adalah tabu.
Dan pergerakan rakyat ditindas.
Sebaliknya, bagi pemimpin-pemimpin rakyat kita waktu itu, berpolitik berarti
sikap hidup nasionalistik dan patriotik. Berani melawan penjajahan. Dengan
segala resikonya, berani hidup melarat bersama-sama dengan rakyat. Berani
menderita dan berkorban. Kata Dr. Setiabudi politik is karakter, politik adalah
watak. Siapa mau berpolitik harus berwatak. Berwatak teguh, berwatak tegak.
Teguh tegak badaniah dan teguh tegak batiniah. Untuk kemerdekaan,
kehormatan dan kejayaan bangsa dan tanah air.

Dokter Tjiptomangunkusumo dan Ki Hadjar Dewantara menambahkan


bahwapolitic is karate en ridderlijkgeest, politik adalah watak dan jiwa
ksatriaan. Siapa yang berpolitik adalah ibarat seorang ksatria yang membela si
lemah melawan si ganas, yang membela rakyat kecil menghadapi dasamuka
kolonialisme. Panggilan ksatria adalah panggilan hati nuraninya sendiri, atas
perintah yang Maha Tinggi, untuk berjuang demi keadilan dan kebenaran, dan
selalu bersikap jantan dan sportif. Itulah arti politik bagi Dr
Tjiptomangunkusumo dan Ki Hadjar Dewantara.
Bagi Bung Karno, Politik adalah menyusun kekuatan dan menggunakan
kekuatan itu untuk merobohkan system kolonialisme. Selain itu politik juga
harus menjadi jembatan emas yaitu Indonesia Merdeka dengan tujuan
masyarakat adil dan makmur. Masyarakat mesti berpolitik, sadar politik,
dipelajari sebagai ilmu dan alat perjuangan. Rakyat harus sadar hak dan
kewajibannya.
Pada masa kepemimpinan Soeharto, pendidikan politik lebih bercorak
untuk melanggengkan kekuasaan status quo. Melalui berbagai jejaring
kekuasaan yang ada, rezim Orde Baru mampu memanipulasi partisipasi rakyat
guna menopang dan melanggengkan kekuasaan. Pendidikan politik dilakukan
secara sistematis, terstruktur dan massif untuk menciptakan kepatuhan dan
ketaatan rakyat. Misalnya pola penataran P4, merupakan bentuk pendidikan
politik yang diarahkan untuk patuh penguasa, meski memiliki nilai-nilai positif
untuk menanamkan nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme.
Sistem politik Orde Baru cenderung menutup kesempatan partisipasi
murni bagi rakyat. Yang terjadi adalah mobilisasi yang massa agar rakyat mau
datang ke bilik suara untuk mengikuti rutinitas pesta demokrasi (pemilu).
Sehingga tidak salah ketika banyak kalangan menilai bahwa pemilu pada masa
Orde Baru lebih cenderung menjadi alat legitimasi penguasa ketimbang sebagai
realisasi dari kedaulatan rakyat. Persis seperti yang digambarkan MAS Hikam
(1999) bahwa pemilu pada masa kepemimpinan Soeharto adalah instrument
untuk melegitimasi dan melanggengkan gurita kuasa rezim Orde Baru. Karena
itu makna pendidikan politik pada masa ini mengalami distorsi sebagai bagian
dari skenario pelanggengan kekuasaan.

Urgensi Pendidikan Politik


Dalam iklim yang demokratis dewasa ini pendidikan politik sangat
dibutuhkan, karena tuntutan-tuntutan demokrasi itu sendiri. Demokrasi
memberikan banyak perubahan dan harapan-harapan baru. Karena itu materi
tentang pendidikan politik, baik itu isi, metode dan tujuannya harus parallel dan

sejalan dengan upaya membentuk sistem yang demokratis. Upaya menuju


demokratisasi harus bersinergi dengan teori dan praktek pendidikan politik dan
harus saling melengkapi (komplementer).
Pendidikan politik merupakan bagian dari pendidikan orang dewasa.
Khususnya diarahkan pada upaya membina kemampuan mengaktualisasikan
diri sebagai pribadi yang otonom bebas dan pada sosialiasi diri (pengembangan
dimensi sosialnya) dalam kaitan statusnya selaku warga negara di suatu negara.
Aktualisasi diri dapat ditafsirkan sebagai mengaktualkan segala bakat dan
kemampuan, sehingga pribadi bisa berkembang, lalu menjadi aktif kreatif,
berkarya. Aktualisasi diri dengan sendirinya juga mencakup realisasi diri
sebagai pribadi yang bertanggungjawab terhadap diri sendiri, terhadap sesama
makhluk hidup dan terhadap Tuhan. Selanjutnya dia berkewajiban memberikan
partisipasi sosialnya kepada masyarakat dan negara sebagai bentuk
tanggungjawabnya.
Untuk menjamin ruang aktualisasi itu terlaksana memang tidaklah
mudah. Sebab masyarakat telah berkembang dan menjadi masyarakat modern,
dimana struktur sosialnya makin kompleks, dimensi sosialnya makin bervariasi.
Sehingga mereka mengalami kesulitan untuk berpartisipasi dalam medan
politik. Disisi lain orang awam dan rakyat kebanyakan pada umumnya dengan
sengaja lebih banyak difungsikan sebagai obyek politik, konsumen politik dan
pengikut politik total patuh tunduk, tanpa mampu memahami kedudukan
pribadinya, peranan politik, hak dan kewajibannya selaku warga negara. Mereka
merupakan arus bawah yang pada umumnya tidak menyadari kalau dalam
kondisi terhegemoni dan terkooptasi oleh jejaring kekuasaan yang menggurita.
Karena itu pendidikan politik menjadi terabaikan. Faktor lain yang ikut
menumbuhsuburkan terabaikannnya pendidikan politik adalah kepasifan dan
apatisme politik dari rakyat. Kemudian fafsir politik bahwa politik adalah
urusan negara dan pemerintahan dan posisi rakyat dianggap sebagai
pengiring/penganut yang patuh saja. Ironisnya, kewarganegaraan hanya dibatasi
secara periodik dalam keikutsertaan dalam pemilu saja untuk mengesahkan
kekuasaan yang ada. Implikasinya rakyat mengalami keterbelakangan dan
ketidaktahuan politik. Untuk merangsang partisipasi politik secara aktif, maka
perlu adanya pendidikan politik di alam demokrasi seperti dewasa ini. Jadi
tujuan pendidikan politik itu sendiri antara lain, membuat rakyat menjadi sadar
politik/melek politik, lebih kreatif dalam partisipasi sosial politik, dan membuat
mereka lebih nyaman hidup di negara ini. (Kartono, 1996).
Pemerintahan yang demokratis seharusnya memandang pentingnya rakyat
melek secara politik. Rakyat harus dijadikan mitra yang aktif dalam usaha
pembangunan politik. Rakyat yang mandiri justru akan mengurangi beban

pemerintahan. Karena itu lembaga politik dan partai politik seharusnya


mengatur semua aspirasi yang berkembang ditengah masyarakat. Out put dari
pendidikan politik adalah terbentuknya pribadi yan demokratis dan
bertanggungjawab. Selain itu pendidikan politik akan menghasilkan
demokratisasi struktur-struktur kemasyarakatan untuk mencapai komunitas
sosial politik yang adil dan sejahtera. Ringkasnya keluaran pendidikan politik
adalah perubahan sikap politik rakyat dari sinisme, kepasifan dan apatisme
politik beralih menjadi antusiasme politik, kegairahan, partisipasi aktif, inovatif,
produktif dan optimisme politik.
Di era reformasi yang mengedepankan kebebasan dan keterbukaan, tentu
merupakan momentum yang tepat untuk melakukan pendidikan politik kepada
segenap komponen bangsa. Pendidikan politik harus diarahkan sejalan dengan
dinamika dan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Hal ini merupakan
peluang besar untuk melakukan pencerahan sekaligus mencerdaskan rakyat dan
para pemimpin menuju sebuah kemakmuran bersama sebagaimana tujuan
mendirikan negara ini.
Memang tidaklah mudah untuk memadukan dan mengkombinasikan materi dan
metode pendidikan politik dengan situasi yang berkembang di masyarakat.
Namun setidaknya ada kurikulum/acuan yang relevan untuk diterapkan di
tengah-tengah masyarakat yang terus mengalami perubahan seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di tengah percaturan dunia
yang semakin mengglobal juga harus menjadi bahan pertimbangan dalam
menyusun muatan materi dan strategi dalam melakukan pendidikan politik.
Artinya ini merupakan sebuah tantangan tersendiri dalam mengupayakan pola
yang tepat dan relevan untuk melaksanakan pendidikan politik kepada publik.
Arah pendidikan politik adalah pertama, Demokratisasi diri pribadi, agar dia
menjadi partisipan politik yang berkualitas tinggi. Kedua, Demokratisasi
struktur-struktur sosial dan politik atau dengan kata lain sebagai upaya
merealisasikan kebebasan dan dimensi- domensi sosialnya dalam konteks
negara (punya tanggungjawab moral/etis terhadap sesama manusia). Disamping
itu pendidikan politik memiliki tugas penting, pertama, menyadarkan individu
akan kedudukannya sebagai warga negara yang bebas, dengan hak-hak,
kewajiban dan tanggungjawab sosialnya. Kedua, konsistensi diri, agar ia
memahami kesulitan atau permasalahan sendiri. Ketiga, menyadari implikasi
sosial dan konsekuensi politik dari setiap perbuatannya di tengah
masyarakat.Keempat, menyadari bahwa ada dinamika dan kondisi
lingkungannya dengan segala relasinya di suatu wilayah Negara.
Sejalan dengan upaya pendidikan karakter yang lagi gencar didengungkan oleh
pemerintah, maka pendidikan politik adalah jawaban yang jitu untuk menjawab

tantangan tersebut di era reformasi ini. Formulasi yang relevan tentunya tidak
bersifat doktriner, seperti pola yang digunakan Orde Baru karena
disalahgunakan untuk menciptakan kepatuhan kepada penguasa. Begitu pula
model agitasi propaganda gaya Soekarno juga kurang pas untuk konsumsi
masyarakat yang mulai kritis dan adaptif terhadap situasi global. Pola yang
mendekati ideal adalah membuat materi dan metode pendidikan politik yang
kritis dan bisa beradaptasi dengan perubahan. Strategi yang digunakan bisa
bervariasi, bisa melalui mekanisme pendidikan formal atau informal maupun
melalui sarana dan media yang tersedia.
Dengan kata lain pendidikan politik mutlak dan mendesak untuk segera
dilakukan karena alasan yang bersifat sistemik yakni terbukanya kran
berdemokrasi (kebebasan). Disisi lain ada alasan yang bersifat kultural dimana
dewasa ini muncul kemerosotan moral yang menghinggapi para politisi yang
ujung-ujungnya merugikan masyarakat. Dan masyarakat mulai mengalami
apatisme politik dan kegerahan sikap karena menyaksikan perilaku elit politik
yang makin jauh dari standart moralitas publik. Artinya pendidikan politik
menjadi kebutuhan yang sangat urgen agar rakyat sadar politik, sistem politik
menghasilkan pemimpin/politisi yang bermoral yang ditunjang oleh atmosfer
berdemokrasi yang makin baik.

Kesimpulan
Seiring dengan era keterbukaan yang dihasilkan oleh gerakan reformasi,
terciptalah peluang dalam mencerahkan dan mencerdaskan rakyat melalui
berbagai upaya yang taktis dan strategis. Ada kesempatan yang cukup luas di
era reformasi untuk melakukan proses pendidikan politik kepada warga Negara.
Bahkan peluang itu bisa menjadi kebutuhan yang mendesak manakala kita
melihat perilaku elit politik yang perilakunya mengalami distorsi dari normanorma sosial yang ada. Bahkan sikap dan tindakan politiknya seringkali
bertentangan dengan kehendak dan nurani publik. Karena itu dibutuhkan model
pendidikan politik yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat khususnya
kepada para elit dan calon elit yang akan memasuki dunia politik praktis.
Harapannya dengan pendidikan politik yang memadahi akan melahirkan
generasi pemimpin bangsa yang berkualitas dan bermoral positif.
Memang pendidikan politik akan mengalami tantangan yang berat karena harus
beradaptasi dengan dinamika masyarakat. Perubahan situasi global yang
menggejala di semua lapisan masyarakat harus menjadi pertimbangan tersendiri
guna menghasilkan pola pendidikan politik yang kontekstual dan relevan
dengan era reformasi. Yang terjadi adalah kebutuhan akan metode dan

kurikulum yang sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di


masyarakat.
Dewasa ini sangat dibutuhkan bentuk-bentuk pendidikan politik terutama untuk
mengurangi demoralisasi yang terjadi pada aras politik praktis yang banyak
dihuni oleh politisi busuk, pragmatis, dan tidak berfikir negarawan. Karena itu
diperlukan formulasi yang tepat dimana harus memuat materi-materi sebagai
berikut: Pertama, pembentukan pribadi manusia sebagai partisipan politik yang
baik dan aktif, trampil dan susila. Kedua, pemberian wawasan dan informasi
yang cukup kepada partisipan politik itu agar mampu memahami peristiwaperistiwa politik dan kemasyarakatan dengan baik. Ketiga, pembentukan sikapsikap politik yang sehat dan realistik dalam menentukan pilihan
politik.Keempat, kemampuan menebar benih-benih kebajikan politik di tengah
masyarakat. Kelima, keberanian mengambil keputusan yang baik dan
bertanggungjawab.
Dengan kata lain pendidikan politik menurut hemat penulis harus memuat
materi tentang pelatihan kepekaan sosial, penyuburan sosialitas insani dan
pertanggungjawaban moril, pembangkitan kebajikan dan amal ditujukan pada
sesama warga masyarakat, pemupukan hati nurani politik dan etika politik
dilandasi prinsip demokrasi sebagai asas hidup. Komponen utama yang bermutu
adalah 1) Memuat tentang Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge),
2) Kecakapan-kecakapan Kewarganegaraan (Civic Skill), 3) Watak-watak
Kewarganegaraan (Civic Disposition)(Branson, 1999). Dipadukan dengan pola
pendidikan yang relevan dengan dinamika masyarakat kekinian, maka harapan
kita untuk menghasilkan politisi/pemimpin yang bermoral dan berkarakter akan
mendekati kenyataan. Disisi lain masyarakat juga tercerahkan sebagai dampak
implementasi pendidikan politik yang terstruktur, terencana, sistematis dan
massif.

Daftar Pustaka:
Azyumardi Azra, 2010, dalam Merajut Nusantara ,Rindu Pancasila, Jakarta;
penerbit Kompas
Kartini Kartono, 1996, Pendidikan Politik, Sebagai bagian dari Pendidikan
orang Dewasa, Bandung: Mandar Maju.
Margaret S. Branson, 1999, Belajar Civic Education dari Amerika, Yogyakarta:
LkiS

Miriam Budiardjo, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama
Muhamad A.S. Hikam, 1999, Politik Kewarganegaraan, Landasan
Redemokratiasi di Indoensia, Jakarta: Erlangga
Ramlan Surbakti, 1999, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo
Roeslan Abdulgani, 1995, Proses Pengembangan Pancasila, Yogyakarta:
Yayasan Widya Patria
Sahid Gatara, 2009, Ilmu Politik, Memahami dan Menerapkan, Bandung:
Pustaka Setia.
Soejono Soekanto, 2002, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Jakarta: Fajar Interpratama Offset

Wawan Kokotiasa. Urgensi Pendidikan Politik Jurnal Prodi PPKn [online]. , vol.
, no. [seen [now]]

Anda mungkin juga menyukai