propaganda sudah tidak cocok untuk diterapkan dewasa ini. Pola Soeharto
(Orde Baru) yang bersifat doktriner-dogmatis (Misal, Penataran P4) juga tidak
relevan lagi. Tetapi di era reformasi belum ditemukan formula yang tepat untuk
melakukan pendidikan politik yang sistematis kepada masyarakat. Akibatnya, di
era reformasi banyak muncul politisi baru (dadakan) yang tidak berproses dan
tidak memiliki latar belakang aktifitas politik yang cukup. Sehingga perilaku
mereka cenderung menjauh dari sikap dan sifat negarawan, melainkan lebih
menonjolkan perilaku politik yang mengedepankan kepentingan sesaat dan
kurang terpuji. Hampir semua kalangan menilai politisi dewasa ini lebih
dominan kepentingan pragmatisnya ketimbang berpikir ideologis. Ada adagium
tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik melainkan yang ada adalah
kepentingan yang sama merupakan contoh kecil betapa cara berpikir mereka
sangat kerdil. Ada semacam pergesaran nilai-nilai yang signifikan antara
pemimpin pada masa lalu (founding fathers) yang condong berpikir besar untuk
bangsa dan negara dengan pemimpin sekarang (elit lokal/nasional) yang lebih
dominan mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Gejala ini tentu menjadi
keprihatinan bersama yang harus mendapat perhatian yang serius dari segenap
anak bangsa.
Fakta empirik juga menunjukkan bahwa makna politik dipahami beragam oleh
masyarakat. Politik dalam bahasa sehari-hari ditafsirkan secara bervariasi, mulai
dari pengertian yang positif: misalnya kekuasaan, partai, negara, pemerintahan,
kebijakan pemerintah terhadap kehidupan masyarakat, dan lain-lain. Hingga
pada pengertian yang negatif dan ironis, misalnya tipu daya, perlakuan kotor,
manipulasi, kelicikan, penindasan, pembelengguan, kemunafikan dan lain
sebagainya (Kartono, 1996).
Menilik beberapa definisi mengenai politik, tentu akan mencerahkan khalayak
bahwa pengertian politik tidak selalu berkonotasi negatif. Sekedar menyebut
contoh: Aristoteles melihat politik sebagai suatu asosiasi warga Negara yang
berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ikhwal yang menyangkut
kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat (Ramlan Surbakti, 1999). Roger
F. Soltau menggagas bahwa ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari Negara,
tujuan-tujuan Negara, dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan
itu; hubungan antara Negara dengan warga negaranya serta dengan Negaranegara lain (Miriam Budiarjo, 2010). Sedangkan Harold D. Laswell dan A.
Kaplan dalam Power dan Society; menyebutkan bahwa ilmu politik itu
mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan. Fokusnya adalah
bagaimana memperjuangkan kekuasaan, mempertahankan kekuasaan,
melaksanakan kekuasaan, mempengaruhi orang lain, dan menentang
pelaksanaan kekuasaan itu. Sementara Joy Mitchell dalam Political Analysis
and Public Policy, mengatakan bahwa politik adalah pengambilan keputusan
Tinjauan Historis
Menurut Roeslan Abdulgani (1995) dalam sejarah perjuangan kemerdekaan
kita, mulai dulu hingga sekarang, tidak ada suatu istilah yang banyak diagungagungkan tetapi juga paling banyak dicemooh-kan dan yang paling sering di
salahgunakan daripada istilah politik. Pernah kata politik ditakuti matimatian. Yaitu di zaman Hindia Belanda; oleh kaum kolonialis dan para kaki
tangannya, terutama kaum birokrat kolonial. Karena rakyat yang memiliki
kesadaran politik dianggap bahaya besar bagi dirinya. Dan bangkitnya
pergerakan politik di Indonesia dianggap sebagai bunyi lonceng kematian
kolonialisme. Hancurnya kedudukan mereka, dus, kata politik adalah tabu.
Dan pergerakan rakyat ditindas.
Sebaliknya, bagi pemimpin-pemimpin rakyat kita waktu itu, berpolitik berarti
sikap hidup nasionalistik dan patriotik. Berani melawan penjajahan. Dengan
segala resikonya, berani hidup melarat bersama-sama dengan rakyat. Berani
menderita dan berkorban. Kata Dr. Setiabudi politik is karakter, politik adalah
watak. Siapa mau berpolitik harus berwatak. Berwatak teguh, berwatak tegak.
Teguh tegak badaniah dan teguh tegak batiniah. Untuk kemerdekaan,
kehormatan dan kejayaan bangsa dan tanah air.
tantangan tersebut di era reformasi ini. Formulasi yang relevan tentunya tidak
bersifat doktriner, seperti pola yang digunakan Orde Baru karena
disalahgunakan untuk menciptakan kepatuhan kepada penguasa. Begitu pula
model agitasi propaganda gaya Soekarno juga kurang pas untuk konsumsi
masyarakat yang mulai kritis dan adaptif terhadap situasi global. Pola yang
mendekati ideal adalah membuat materi dan metode pendidikan politik yang
kritis dan bisa beradaptasi dengan perubahan. Strategi yang digunakan bisa
bervariasi, bisa melalui mekanisme pendidikan formal atau informal maupun
melalui sarana dan media yang tersedia.
Dengan kata lain pendidikan politik mutlak dan mendesak untuk segera
dilakukan karena alasan yang bersifat sistemik yakni terbukanya kran
berdemokrasi (kebebasan). Disisi lain ada alasan yang bersifat kultural dimana
dewasa ini muncul kemerosotan moral yang menghinggapi para politisi yang
ujung-ujungnya merugikan masyarakat. Dan masyarakat mulai mengalami
apatisme politik dan kegerahan sikap karena menyaksikan perilaku elit politik
yang makin jauh dari standart moralitas publik. Artinya pendidikan politik
menjadi kebutuhan yang sangat urgen agar rakyat sadar politik, sistem politik
menghasilkan pemimpin/politisi yang bermoral yang ditunjang oleh atmosfer
berdemokrasi yang makin baik.
Kesimpulan
Seiring dengan era keterbukaan yang dihasilkan oleh gerakan reformasi,
terciptalah peluang dalam mencerahkan dan mencerdaskan rakyat melalui
berbagai upaya yang taktis dan strategis. Ada kesempatan yang cukup luas di
era reformasi untuk melakukan proses pendidikan politik kepada warga Negara.
Bahkan peluang itu bisa menjadi kebutuhan yang mendesak manakala kita
melihat perilaku elit politik yang perilakunya mengalami distorsi dari normanorma sosial yang ada. Bahkan sikap dan tindakan politiknya seringkali
bertentangan dengan kehendak dan nurani publik. Karena itu dibutuhkan model
pendidikan politik yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat khususnya
kepada para elit dan calon elit yang akan memasuki dunia politik praktis.
Harapannya dengan pendidikan politik yang memadahi akan melahirkan
generasi pemimpin bangsa yang berkualitas dan bermoral positif.
Memang pendidikan politik akan mengalami tantangan yang berat karena harus
beradaptasi dengan dinamika masyarakat. Perubahan situasi global yang
menggejala di semua lapisan masyarakat harus menjadi pertimbangan tersendiri
guna menghasilkan pola pendidikan politik yang kontekstual dan relevan
dengan era reformasi. Yang terjadi adalah kebutuhan akan metode dan
Daftar Pustaka:
Azyumardi Azra, 2010, dalam Merajut Nusantara ,Rindu Pancasila, Jakarta;
penerbit Kompas
Kartini Kartono, 1996, Pendidikan Politik, Sebagai bagian dari Pendidikan
orang Dewasa, Bandung: Mandar Maju.
Margaret S. Branson, 1999, Belajar Civic Education dari Amerika, Yogyakarta:
LkiS
Wawan Kokotiasa. Urgensi Pendidikan Politik Jurnal Prodi PPKn [online]. , vol.
, no. [seen [now]]