Anda di halaman 1dari 23

TUGAS UNDANG-UNDANG DAN ETIKA KEFARMASIAN

OBAT TRADISIONAL

Disusun oleh kelompok 4:


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Fx R Amomangan T
Khilmi Abdul Rahman
Adelinno Siska A
Zainah Rajab
Ichlasul Amalia A
Robiana Prihandini
Dewi Citrasari
Fitriana Yunus A

(152211101066)
(152211101069)
(152211101082)
(152211101090)
(152211101098)
(152211101106)
(152211101114)
(152211101123)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2015
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Obat tradisional telah berkembang secara luas di banyak negara dan semakin
populer. Di berbagai negara, obat tradisional bahkan telah dimanfaatkan dalam
pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan strata pertama. Negara-negara
maju yang sistem pelayanan kesehatannya didominasi pengobatan konvensional pun
kini menerima pengobatan tradisional, walaupun mereka menyebutnya dengan
pengobatan komplementer/alternatif (complementary and alternative medicine),
misalnya Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Di Asia, negara yang banyak
menggunakan obat tradisional adalah Cina, Korea, India, dan termasuk Indonesia.
Di Indonesia, penggunaan obat tradisional merupakan warisan nenek
moyang dan merupakan bagian dari budaya bangsa, telah dimanfaatkan masyarakat
sejak berabad-abad yang lalu dan secara luas disebut jamu. Indonesia terdiri dari
berbagai suku, dan menurut Badan Pusat Statistik jumlah suku di Indonesia adalah
1.128 yang tersebar di 33 provinsi. Keragaman tanaman obat dan obat tradisional di
berbagai provinsi dan penggunaannya oleh berbagai suku menunjukkan kekayaan
sumber obat dan pengobatan tradisional.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, menunjukkan bahwa 59,12
% penduduk Indonesia menggunakan jamu baik untuk menjaga kesehatan maupun
untuk pengobatan karena sakit. Dari penduduk yang pernah mengkonsumsi jamu,
sebanyak 95,6% menyatakan merasakan manfaat minum jamu. Dari hasil Riskesdas
tahun 2010 juga menunjukkan bahwa 55,3% masyarakat mengkomsumsi jamu dalam
bentuk cairan (infusum/decoct), sementara sisanya dalam bentuk serbuk, rajangan,
dan hanya 11,6% dalam bentuk pil/kapsul/tablet.
Hasil Riskesdas ini menunjukkan bahwa jamu sebagai bagian dari
pengobatan tradisional, telah diterima oleh masyarakat Indonesia dan sampai saat ini
masih diakui keberadaannya.
Hasil inventarisasi dokter praktik herbal se Jawa Bali tahun 2010
menunjukkan bahwa

terdapat 159 orang dokter yang tercatat sebagai anggota

perhimpunan seminat pengobatan tradisional. Sebanyak 76,9 % melakukan praktik

jamu, dan sebagaian besar juga melakukan cara pengobatan tradisional lainnya
terutama akupunktur.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam Strategi Pengembangan
Pelayanan Kesehatan Tradisional 2002-2005 (WHO Traditional Medicine Strategy
2002-2005), telah memberikan pedoman umum yang dapat dipakai oleh negara
anggota dalam mengembangkan pelayanan kesehatan tradisional (traditional
medicine) dan komplementer/alternatif. WHO merekomendasikan 4 (empat) strategi
dalam mengembangkan pengobatan tradisional, yakni (a) mengembangkan kerangka
regulasi dan kebijakan nasional tentang pengobatan tradisional, (b) mengembangkan
pelayanan kesehatan tradisional menjadi bermutu, aman, dan berkhasiat, (c)
menjamin akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan tradisional yang bermutu,
aman, dan berkhasiat, dan (d) menjamin penggunaan rasional terhadap pengobatan
tradisional.
Hasil inventarisasi penelitian tanaman obat dan obat tradisional di perguruan
tinggi di seluruh Indonesia, sebagian besar merupakan hasil uji pre-klinik. Sementara
uji klinik memiliki porsi yang sangat kecil. Bukti ilmiah mengenai mutu, keamanan
dan kemanfaatan jamu masih sangat diperlukan, karena hal ini merupakan salah satu
persyaratan agar jamu dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan formal.
Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan telah menetapkan
bahwa pengobatan tradisional adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan dari 17
intervensi kesehatan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tersebut.
Penggunaan obat tradisional tidak hanya dilakukan melalui pengobatan
sendiri/pengobatan rumah tangga dan pengobat tradisional (Battra), tetapi juga
melalui pengobatan medis oleh tenaga kesehatan (dokter, perawat) di praktik pribadi,
Puskesmas, atau rumah sakit.
Penyelenggaraan pengobatan tradisional oleh Battra diatur dalam Keputusan
Menteri Kesehatan No. 1076/MENKES/SK/VII/2003 sedangkan penyelenggaraan
pengobatan komplementer-alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1109/MENKES/Per/IX/2007. Tenaga
pengobatan komplementer alternatif terdiri dari dokter, dokter gigi, dan tenaga

kesehatan lainnya yang memiliki pendidikan terstruktur dalam bidang pengobatan


komplementer-alternatif, termasuk pengobatan dengan jamu.
Meskipun pengobatan tradisional, termasuk jamu, sudah banyak digunakan
oleh tenaga kesehatan profesional maupun Battra, namun banyak tenaga profesional
kesehatan yang menyangsikan terhadap keamanan dan kemanfaatan pengobatan jamu
dalam pelayanan kesehatan formal. Hal ini bisa dimengerti, karena sesuai dengan
Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dokter/dokter gigi
dalam memberikan pelayanan kesehatan harus memenuhi standar pelayanan medis5,
yang pada prinsipnya harus memenuhi kaidah praktik kedokteran berbasis bukti
(evidence based medicine). Di pihak lain, bukti-bukti ilmiah tentang mutu, keamanan
dan kemanfaatan (jamu) dinilai belum adekuat untuk dapat dipraktikkan pada
pelayanan kesehatan formal. Dengan kata lain, pengobatan jamu masih memerlukan
bukti ilmiah yang cukup untuk dapat digunakan oleh tenaga kesehatan profesional.
Dalam rangka menyediakan bukti ilmiah terkait keamanan dan kemanfaatan
jamu, maka Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI, telah
mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/MENKES/PER/I/2010 tentang
Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan.6 Salah satu
tujuannya adalah memberikan landasan ilmiah (evidenced based) penggunaan jamu
secara empirik melalui penelitian berbasis pelayanan yang dilakukan di sarana
pelayanan kesehatan, dalam hal ini klinik pelayanan jamu/dokter praktik jamu. Untuk
menjalankan Saintifikasi Jamu sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.
003/MENKES/PER/I/2010, maka telah ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 1334/Menkes/SK/IX/2010 tentang Komisi Nasional Saintifikasi Jamu, yang
salah satu tugasnya adalah menyusun pedoman penelitian jamu.
Saintifikasi Jamu adalah upaya terobosan dalam rangka integrasi jamu
kedalam pelayanan kesehatan formal, yakni dengan mengumpulkan bukti ilmiah
keamanan dan kemanfaatan jamu melalui penelitian berbasis pelayanan. Dengan
adanya bukti ilmiah maka jamu dapat digunakan oleh masyarakat secara aman dan
bermanfaat. Selanjutnya industri dapat mengembangkan jamu tersebut sebagai

sediaan berorientasi produk (product oriented) dengan mengikuti kaidah yang telah
ditentukan.
Karena pentingnya bukti ilmiah terkait keamanan dan kemanfaaan jamu
dalam rangka integrasi jamu ke dalam pelayanan kesehatan formal, maka penelitian
dan pengembangan (jamu) adalah sangat penting. Harus disadari bahwa jamu selalu
terkait dengan budaya dan kepercayaan masyarakat. Pengobatan jamu bersifat
holistik (lebih kepada healing dari pada curing), terapi biasanya bersifat simultan
(body, mind, and spirit), hubungan pengobat dan pasien sangat inten dan bersifat
individual.
Berangkat dari hal-hal yang spesifik pada pengobatan jamu tersebut, maka
diperlukan pedoman penelitian yang spesifik untuk jamu, khususnya terkait
keamanan dan kemanfaatan jamu. Pedoman ini dapat digunakan oleh semua pihak
untuk evaluasi keamanan dan kemanfaatan jamu. Hasil penelitian Saintifikasi Jamu
merupakan jamu saintifik yang dapat digunakan di fasilitas pelayanan kesehatan
formal (Puskesmas, klinik dan rumah sakit), serta dimanfaatkan oleh masyarakat
untuk menangani masalah kesehatan di tingkat komunitas (self-care dan pertolongan
pertama). Pada dasarnya, produk akhir dari kegiatan Saintifikasi Jamu adalah jamu
saintifik yang bersifat jamu generik yang dapat digunakan di pelayanan kesehatan
maupun

di

masyarakat

(komunitas).

Tidak

menutup

kemungkinan

untuk

dikembangkan ke jalur industri dengan mengikuti aturan yang berlaku di Badan


POM. Disamping itu, jamu saintifik dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi produk
paten.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan obat tradisional ?
2. Bagaimanakah peraturan perundang-undangan obat tradisional?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian obat tradisional
2. Mengetahui undang-undang yang mengatur obat tradisional

BAB 2
ISI
2.1 Pengertian Obat Tradisional
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan
tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman (Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan)
Berdasarkan PERMENKES RI No. 179/Men.Kes/Per/VII/1976 tentang
Produksi dan Distribusi Obat Tradisional, Obat tradisional adalah obat jadi atau obat
berbungkus yang berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral dan atau
sediaan galeniknya atau campuran bahan-bahan tersebut yang belum mempunyai data
klinis dan dipergunakan dalam usaha pengobatan berdasarkan pengalaman.
Tahun 1976 merupakan awal pengembangan obat tradisional di Indonensia
dengan dibentuknya direktorat pengawasan obat tradisional, pada direktorat
pengawan obat dan makanan (BPOM) dan departemen kesehatan.
Undang-undang yang mengatur tentang obat tradisional antara lain:
1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tahun 2012
Tentang Registrasi Obat Tradisional
2. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 06605/D/Sk/X/84 Tentang Tatacara
Produksi Obat Tradisional Dari Bahan Alam Dalam Sediaan Bentuk Kapsul
Dan Tablet
3. PERMENKES RI Nomor 006 Tahun 2012 Tentang Industri Dan Usaha Obat
Tradisional
2.2 Izin Edar Obat Tradisional
Obat tradisional yang beredar di Indonesia wajib memiliki izin edar yang
diberikan oleh kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pemberian izin edar
dilaksanakan melalui mekanisme registrasi sesuai dengan tatalaksana yang ditetapkan

dan berlaku selama 5 tahun. Berdasarkan Pasal 4 PERMENKES nomor 7 tahun 2012
dikecualikan terhadap:
a. Obat tradisional yag dibuat oleh usaha jamu racikan dan usaha jamu
gendong
b. Simplisia dan sediaan galenik untuk keperluan industri dan keperluan
layanan pengobatan tradisional
c. Obat tradisional yang digunakan untuk penelitian, sampel untuk registrasi
dan pameran dalam jumlah terbatas dan tidak diperjual belikan.
Obat tradisional yang dapat diberikan izin edar harus memenuhi beberapa
kriteria sebagai berikut:
a. Menggunakan bahan yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu
b. Dibuat dengan menerapkan CPOTB
c. Memenuhi persyaratan Farmakope Herbal Indonesia atau persyaratan lain
yang diakui
d. Berkhasiat yang dibuktikan secara empiris, turun temurun, dan/atau
secara ilmiah
e. Penandaan berisi informasi yang objektif, lengkap, dan tidak
menyesatkan
(Pasal 6, PERMENKES No. 7 tahun 2012)
Pemegang nomor izin edar berkewajiban untuk melakukan pemantauan
terhadap keamanan, khasiat/manfat, dan mutu produk yang beredar. Apabila terjadi
ketidaksesuaian maka pemegang nomor izin edar wajib melakukan penarikan produk
dari peredaran dan melaporkan kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Obat tradisional yang beredar dilarang mengandung:
a. Etil alcohol lebih dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang
pemakaiannya dengan pengenceran
b. Bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat
obat
c. Narkotik atau psikotropik
d. Bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan dan/atau
berdasarkan penelitian membahayakan kesehatan
(Pasal 7, PERMENKES No. 7 tahun 2012)
Selain itu, obat tradisional yang beredar di pasaran tidak boleh dibuat atau
diproduksi dalam bentuk:

a.
b.
c.
d.

Intravaginal
Tetes mata
Parenteral
Supositoria, kecuali untuk wasir

(Pasal 8, PERMENKES No. 7 tahun 2012)


2.3 Registrasi Obat Tradisional
Registrasi Obat Tradisional Produksi Dalam Negeri hanya dapat dilakukan
oleh Industri Obat Tradisional (IOT), Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT) atau
Usaha Mikro Obat Tradisional yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Registrasi Obat Tradisional Kontrak hanya dapat dilakukan oleh pemberi
kontrak dengan melampirkan dokumen kontrak. Obat tradisional kontrak adalah obat
tradisional yang seluruh atau sebagian tahapan pembuatan dilimpahkan kepada
industri obat tradisional atau usaha kecil obat tradisional berdasarkan kontrak.
Registrasi Obat Tradisional Lisensi hanya dapat dilakukan oleh Industri Obat
Tradisional, Usaha Kecil Obat Tradisional penerima lisensi yang memiliki izin sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Obat tradisional lisensi adalah obat
tradisional yang seluruh tahapan pembuatan dilakukan oleh industri obat tradisional
atau usaha kecil obat tradisional di dalam negeri atas dasar lisensi.
Registrasi Obat Tradisional Impor hanya dapat dilakukan oleh Industri Obat
Tradisional, Usaha Kecil Obat Tradisional, atau importir obat tradisional yang
mendapat penunjukan keagenan dan hak untuk melakukan registrasi dari industri di
negara asal. Obat tradisional impor adalah obat tradisional yang seluruh proses
pembuatan atau sebagian tahapan pembuatan sampai dengan pengemasan primer
dilakukan oleh industri di luar negeri, yang dimasukkan dan diedarkan di wilayah
Indonesia.
Registrasi Obat Tradisional Khusus Ekspor dilakukan oleh Industri Obat
Tradisional, Usaha Kecil Obat Tradisional atau Usaha Mikro Obat Tradisional yang
memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.

2.4 Peran Apoteker Terkait Obat Tradisional


Sejalan dengan meningkatnya perhatian masyarakat terhadap pengobatan
tradisional, dimana di dalamnya melibatkan penggunaan obat tradisional, baik
ramuan tradisional (jamu) maupun formula modern dalam bentuk obat tradisional,
pemerintah telah memberikan perhatian yang sangat besar baik dari segi pelayanan
maupun regulasi yang menyangkut produk obat tradisional tersebut. Berbagai
peraturan telah diterbitkan terkait dengan pemberi layanan pengobatan tradisional,
kesehatan tradisional, klasifikasi, registrasi dan pengawasan produk obat tradisional.
Program Saintifikasi Jamu melakukan pengembangan sumber daya manusia dengan
mendidik para dokter dan apoteker yang akan melaksanakan penelitian berbasis
pelayanan tersebutdi rumah sakit dan puskesmas, membangun infrastruktur layanan
kesehatan tradisonal dan menerbitkan Vademekum Tanaman Obat (Permenkes, 2013).
Pada dasarnya peran apoteker sangat penting dalam penggunaan obat
tradisional, hal tersebut juga tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 51 tahun 2009 tentang praktek kefarmasian menyebutkan bahwa:
Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan
Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan
obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Berdasarkan undangundang tersebut peran dan tanggung jawab apoteker dalam obat tradisional
(Saintifikasi jamu) meliputi proses pembuatan atau penyediaan simplisia dan
penyimpanan, pelayanan resep mencakup skrining resep, penyiapan obat, peracikan,
pemberian etiket, pemberian kemasan obat, penyerahan dan informsi obat/ konseling
serta pencatatan dan pelaporan. Hal ini sesuai dengan paradigma pelayanan
kefarmasian yang sekarang berkembang yaitu pelayanan kefarmasian yang
berazaskan pada konsep Pharmaceutical Care, yaitu bergesernya orientasi seorang
apoteker dari product atau drug oriented menjadi patient oriented. Konsep pelayanan
kefarmasian (pharmaceutical care) merupakan pelayanan yang dibutuhkan dan
diterima pasien untuk menjamin keamanan dan penggunaan obat termasuk obat
tradisional yang rasional, baik sebelum, selama, maupun sesudah penggunaan obat

termasuk obat tradisional. Dengan peran dan tanggung jawab tersebut maka seorang
apoteker harus memiliki kompetensi dalam praktik kefarmasian yang diperoleh dari
pendidikan formal, memiliki pengetahuan secara mendalam tentang jamu, memiliki
pengetahuan dan keterampilan mengelola jamu serta pemanfaatan jamu (Suharmiati
et al., 2012). Terkait dengan peran apoteker dalam obat tradisional mengenai proses
pembuatan atau penyediaan simplisia dan penyimpanan sampai pencatatan dan
pelaporan, telah di atur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor: 659/MENKES/SK/X/1991 tentang Cara pembuatan obat tradisional yang
baik (CPOTB) dan Lampiran Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
RI Nomor :HK.00.05.4.1380 yang menyatakan bahwa:
Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) meliputi seluruh
aspek yang menyangkut pembuatan obat tradisional, yang bertujuan untuk menjamin
agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan yang berlaku.
2.4.1 Landasan umum
1. Obat tradisional diperlukan masyarakat untuk memelihara kesehatan,
untuk mengobati gangguan kesehatan dan untuk memulihkan kesehatan
2. Untuk mencapai tujuan pada butir 1 perlu dilakukan langkah-langkah agar
obat tradisional yang dihasilkan senantiasa aman, bermanfaat dan
bermutu
3. Keamanan dan mutu obat tradisional tergantung pada bahan baku,
bangunan, prosedur dan pelaksanaan proses pembuatan, peralatan yang
digunakan, pengemas termasuk bahannya serta personalia yang terlibat
dalam pembuatan obat tradisional
4. CPOTB merupakan cara pembuatan obat tradisional yang diikuti dengan
pengawasan menyeluruh, dan bertujuan untuk menyediakan obat
tradisional yang senantiasa memenuhi persyaratan yang berlaku
Dalam Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 pasal 34 juga disebutkan
bahwa Tenaga Kefarmasian melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian pada: Fasilitas
Produksi Sediaan Farmasi berupa industri farmasi obat, industri bahan baku obat,

industri obat tradisional, pabrik kosmetika dan pabrik lain yang memerlukan Tenaga
Kefarmasian untuk menjalankan tugas dan fungsi produksi dan pengawasan
mutu.Berdasarkan undang-undang tersebut seorang epoteker juga berperan dalam
menjamin mutu, khasiat dan keamanan obat tradisional sebelum digunakan dan
setelah digunakan oleh masyarakat.
Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia No.
006/MENKES/PER/I/2012 tentang industri dan usaha obat tradisionalMenyatakan
bahwa Industri Obat Tradisional yang selanjutnya disebut IOT adalah industri yang
membuat semua bentuk sediaan obat tradisional. Industri Ekstrak Bahan Alam yang
selanjutnya disebut IEBA adalah industri yang khusus membuat sediaan dalam
bentuk ekstrak sebagai produk akhir. Usaha Kecil Obat Tradisional yang selanjutnya
disebut UKOT adalah usaha yang membuat semua bentuk sediaan obat tradisional,
kecuali bentuk sediaan tablet dan efervesen. Usaha Mikro Obat Tradisional yang
selanjutnya disebut UMOT adalah usaha yang hanya membuat sediaan obat
tradisional dalam bentuk param, tapel, pilis, cairan obat luar dan rajangan. Usaha
Jamu Racikan adalah usaha yang dilakukan oleh depot jamu atau sejenisnya yang
dimiliki perorangan dengan melakukan pencampuran sediaan jadi dan/atau sediaan
segar obat tradisional untuk dijajakan langsung kepada konsumen. Usaha Jamu
Gendong adalah usaha yang dilakukan oleh perorangan dengan menggunakan bahan
obat tradisional dalam bentuk cairan yang dibuat segar dengan tujuan untuk dijajakan
langsung kepada konsumen. Pada peraturan ini juga menjelaskan bentuk dari industri
dan usaha obat tradisional, juga perizinannya, tata cara penyelenggaraan dan
perubahan status dari usaha kecil obat tradisional menjadi industri obat tradisional.
Menurut Surat Keputusan Menteri RI No. 245/Menkes/SK/V/1990
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri
Farmasi Pasal 10, suatu industri farmasi obat jadi dan bahan baku obat setidaknya
harus mempekerjakan secara tetap minimal tiga orang apoteker WNI sebagai
manager atau penanggung jawab produksi, pengawasan mutu (Quality Control/QC),
dan pemastian mutu (Quality Assurance/QA).

QA bertanggung jawab untuk dengan berkaitan kualitas produk, sistem atau


pelayanan dan pelatihan. Peran apoteker dalam industri obat tradisional untuk kualitas
produk yaitu menentukan waktu panen tanaman obat, pengeringan, pembentukan
simplisia sampai kesediaan dan akhirnya diberikan kepada pasien.
1) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Amanat UU No. 36 Tahun 2009
- Pasal 47 dalam UU nomor 36 tahun 2009 menyebutkan bahwa upaya
kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara
-

terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan.


Pasal 48 ayat 1 butir b: Upaya Kesehatan melalui pelayanan kesehatan
tradisional. Integrasi pelayanan kesehatan tradisional dalam pelayanan
kesehatan formal merupakan suatu program pemerintah utamanya

Kementerian Kesehatan.
Pasal 48: Pelayanan kesehatan tradisional merupakan bagian integral dari

penyelenggaraan upaya kesehatan.


Pasal 100 ayat 1: Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat
dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau
pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya.

Pasal 100 ayat 2: Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan


bahan baku obat tradisional.

2.5 Contoh Kasus Mengenai Obat Tradisional


KASUS 1
Metrotvnews.com, Serang: Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
Serang menggerebek tiga pabrik jamu dan obat-obatan tradisional ilegal di tiga
wilayah di Tangerang, Banten. Total omzet ketiga pabrik itu mencapai Rp10 miliar.
Penggerebekan yang dilakukan bersama Polda Metro Jaya itu dilakukan
sepanjang September. Berawal pada 10 September, BPOM menggerebek agen jamu

PJ dan menyita jamu tanpa izin edar merk Akar Jiwo ukuran 600 mililiter sebanyak
1.117 botol dan ukuran 150 mililiter sebanyak 2.921 botol.
"Total yang kami sita senilai Rp40 juta sekaligus memeriksa pemiliknya
berinisial AR," kata Ketua BPOM Serang, Mohamad Kashuri, Jumat
(18/9/2015).
Pada 15 September petugas gabungan juga menggerebek perusahaan obat
tradisional di Tangerang Selatan (Tangsel) dan berhasil menyita 87 jenis obat herbal
sebanyak 2.921 botol.
"Puluhan jenis obat-obatan itu dipasarkan di toko obat sekaligus melayani
penjualan online di seluruh Indonesia dengan total sitaan mencapai Rp210
juta," katanya.
Pada 16 September tim kembali menggerebek pabrik obat di Jalan Raya
Serang kilometer 26, Balaraja, Kabupaten Tangerang. Petugas memeriksa MR dan
penanggung jawab IR.
Pabrik tersebut mempekerjakan 40 karyawan. Untuk mengelabui petugas,
pabrik beroperasi hanya pada malam hari. Padahal, pada 2014, pabrik tersebut pernah
ditutup BPOM dengan kasus yang sama.
Di pabrik itu tim pernah menyita obat-obatan dengan nilai Rp9 miliar. Alat
bukti yang disita mesin produksi, bahan kemasan, dan bahan baku obat ilegal tidak
memiliki izin edar.
Kashuri mengatakan obat-obat itu berbahaya karena mengandung
paracetamol, penil mutizon, sildenafil sitrat, kafein, dan heza methazon. "Jika
dikonsumsi secara terus-menerus akan mengganggu fungsi hati, jantung, ginjal,
hingga menyebabkan kematian," kata dia
2.5.1 PERMASALAHAN :
BPOM menggerebek 3 pabrik jamu dan obat tradisional ilegal di tiga
wilayah tangerang, banten Terjadi penyitaan mesin produksi, bahan kemasan, bahan
baku obat tradisional. Pada obat tradisional tersebut ditemukan bahan kimia obat,
diantaranya mengandung parasetamol,penil mutizon, sildenafil sitrat, kafein, dan heza

methazon. Jika dikonsumsi secara terus-menerus akan mengganggu fungsi hati,


jantung, ginjal, hingga menyebabkan kematian.
2.5.2 STUDI KASUS
Pembuatan usaha obat tradisional wajib memiliki izin sesuai dengan
permenkes no 006/2012 tentang industri dan usaha obat tradisional bab 3 pasal 6. Isi
pasal 6 yaitu
a. Setiap industri dan usaha di bidang obat tradisional wajib memiliki
izindari Menteri.
b. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untukusaha jamu gendong dan usaha jamu racikan.
c. Selain wajib memiliki izin, industri dan usaha obat tradisional
wajibmemenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidangpenanaman modal.
Pembuatan izin dilakukan satu kali dan berlaku untuk seterusnya sesuai
dengan permenkes no 006/2012 tentang industri dan usaha obat tradisional pasal 7. Isi
dari pasal 7 yaitu Izin industri dan usaha obat tradisional berlaku seterusnya selama
industri dan usaha obat tradisional yang bersangkutan masih berproduksi dan
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pabrik obat tradisional harus memiliki struktur organisasi perusahaan, bagian
produksi dan pengawasanmutu hendaklah dipimpin oleh orang yang berbeda dan
tidak ada keterkaitan tanggungjawab satu sama lain.Kepala bagian produksi
hendaklah memperoleh pelatihan yang memadaidan berpengalaman dalam
pembuatan obat tradisional. Kewenangan dan tanggungjawab dalammanajemen
produksi yang meliputi semua pelaksanaan kegiatan,peralatan, personalia produksi,
area produksi dan pencatatan.Kepala bagian pengawasan mutu hendaklah
memperoleh pelatihan yangmemadai dan berpengalaman dalam bidang pengawasan
mutu. Kewenangan dan tanggungjawab dalam semuatugas pengawasan mutu meliputi
penyusunan, verifikasi dan penerapansemua prosedur pengawasan mutu. Mereka
mempunyai kewenanganmenetapkan persetujuan atas bahan awal, produk antara,

produk ruahandan produk jadi yang telah memenuhi spesifikasi, atau


menolaknyaapabila tidak memenuhi spesifikasi, atau yang dibuat tidak
sesuaiprosedur dan kondisi yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan karena obat yang
dihasilkan harus sesuai dengan pasal 33 yaitu setiap industri dan usaha obat
tradisional berkewajiban menjamin keamanan, khasiat/manfaat dan mutu produk obat
tradisional yang dihasilkan.
Industri obat tradisional tidak dibolehkan menambahkan bahan kimia obat
dengan tujuan untuk memperoleh efekyang diharapkan. Hal ini telah diatur pada
permenkes 006/2012 pasal 37 yaituSetiap industri dan usaha obat tradisional dilarang
membuat:
a. Segala jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia hasil
isolasiatau sintetik yang berkhasiat obat;
b. Obat tradisional dalam bentuk intravaginal, tetes mata, sediaan
parenteral,supositoria kecuali untuk wasir; dan/atau
c. Obat tradisional dalam bentuk cairan obat dalam yang mengandung
etanol dengan kadar lebih dari 1% (satu persen).
Pada industri obat tradisional ini ditemukan bahan kimia obat, diantaranya
mengandung parasetamol,penil mutizon, sildenafil sitrat, kafein, dan heza methazon.
Hal in telah melangggar peraturan pada pasal 37. BKO di dalam obat tradisional
menjadi selling point bagi produsen Hal ini kemungkinan disebabkan kurangnya
pengetahuan produsen akan bahaya mengkonsumsi bahan kimia obat secara tidak
terkontrol baik dosis maupun cara penggunaannya atau bahkan semata-mata demi
meningkatkan penjualan karena konsumen menyukai produk obat tradisional yang
bereaksi cepat pada tubuh. Konsumen yang tidak menyadari adanya bahaya dari obat
tradisional yang dikonsumsinya, tidak memperhatikan adanya kontra indikasi
penggunaan beberapa bahan kimia bagi penderita penyakit tertentu maupun interaksi
bahan obat yang terjadi apabila pengguna obat tradisional sedang mengkonsumsi obat
lain.
Hal ini perlu dilakukan pengawasan secara berkesinambungan, antara lain
dilakukan melalui inspeksi pada sarana distribusi serta pengawasan produk di
peredaran dengan cara sampling dan pengujian laboratorium terhadap produk yang

beredar. Informasi adanya BKO didalam obat tradisional juga bisa diperoleh
berdasarkan laporan / pengaduan konsumen maupun laporan dari Yayasan Badan
Perlindungan Konsumen Nasional (Yabpeknas).
KASUS 2
TEMPO.COM, JAKARTA Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM) kembali mengumumkan daftar obat tradisional dan suplemen kesehatan
yang mengandung bahan kimia obat. Hingga November 2015, ditemukan 54 obat
tradisional yang mengandung bahan kimia obat, 47 di antaranya ilegal dan 7 lainnya
terdaftar tapi nomor izinnya telah dibatalkan.
Kepala BPOM Roy Alexander Sparringa mengatakan, obat tradisional
tersebut teridentifikasi dicampur bahan kimia, seperti parasetamol dan fenilbutazon.
"Itu tidak boleh dicampurkan sama sekali dalam obat tradisional," kata Roy di
Jakarta, Senin, 30 November 2015. Ia menjelaskan, penggunaan parasetamol yang
tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan hati. Sedangkan fenilbutazon bisa
mengakibatkan beragam gejala kesehatan mulai dari mual hingga gagal ginjal.
BPOM telah menarik dan memusnahkan 54 obat tradisional tersebut. Tahun
ini, BPOM telah memusnahkan obat tradisional senilai Rp 75,7 miliar dan bahan
baku obat tradisional seharga Rp 63,35 miliar. "Dalam dua tahun terakhir, 115 kasus
peredaran obat tradisional telah diungkap dan diajukan ke pengadilan," ujar Roy. Roy
menambahkan, masalah obat tradisional mengandung bahan kimia obat terjadi di
seluruh dunia. Berdasarkan informasi Post-Marketing Alert System (PMAS), World
Health Organization (WHO), dan US Food and Drug Administration (FDA), di
negara-negara ASEAN, Australia, dan Amerika Serikat, ditemukan 38 jenis obat
tradisional dan suplemen kesehatan yang mengandung bahan kimia obat dan bahan
terlarang lain dari produk luar negeri. Untuk mencegah peredaran di luar negeri,
BPOM telah bekerja sama dengan kepolisian dan kejaksaan. Yang terkini, hari ini,
BPOM menandatangani nota kesepahaman (MoU) kerja sama dengan Kementerian

Komunikasi dan Informatika, Komisi Penyiaran Indonesia, Pemerintah Daerah, dan


pelaku usaha dalam rangka penanggulangan obat tradisional yang mengandung bahan
kimia obat.
PERMASALAHAN :
BPOM menemui 54 obat tradisional mengandung bahan kimia obat, 47
ilegal, 7 terdaftar tetapi nomor ijin dibatalkan. Selain itu, ditemukan 38 jenis obat
tradisional dan suplemen kesehatan yang mengandung bahan kimia obat dan bahan
terlarang lain dari produk luar negeri. Obat tradisional tersebut teridentifikasi
dicampur bahan kimia, seperti parasetamol dan fenilbutazon. Penggunaan
parasetamol yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan hati. Sedangkan
fenilbutazon bisa mengakibatkan beragam gejala kesehatan mulai dari mual hingga
gagal ginjal.
STUDI KASUS
Untuk permasalahan BPOM menemui 54 obat tradisional mengandung
bahan kimia obat, 47 ilegal, 7 terdaftar tetapi nomor ijin dibatalkan. Menurut
Permenkes No 006 Tahun 2012 tentang industri dan usaha obat tradisional bab III
pasal 6 dan pasal 7, menyatakan bahwa:
Pasal 6
(1) Setiap industri dan usaha di bidang obat tradisional wajib memiliki izin
dari Menteri.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
usaha jamu gendong dan usaha jamu racikan.
(3) Selain wajib memiliki izin, industri dan usaha obat tradisional wajib
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
penanaman modal.
Pasal 7

Izin industri dan usaha obat tradisional berlaku seterusnya selama industri
dan usaha obat tradisional yang bersangkutan masih berproduksi dan memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk permasalahan ditemukannya 38 jenis obat tradisional dan suplemen
kesehatan yang mengandung bahan kimia obat dan bahan terlarang lain dari produk
luar negeri. Menurut Permenkes No 006 Tahun 2012 tentang industri dan usaha obat
tradisional bab IV Pasal 37 dan Permenkes no 7 thn 2012 ttg bab 7 tentang Sanksi
pasal 23, menyatakan bahwa:
Pasal 37
Setiap industri dan usaha obat tradisional dilarang membuat:
a. segala jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia hasil isolasi atau
sintetik yang berkhasiat obat;
b. obat tradisional dalam bentuk intravaginal, tetes mata, sediaan parenteral,
supositoria kecuali untuk wasir; dan/atau
c. obat tradisional dalam bentuk cairan obat dalam yang mengandung etanol
dengan kadar lebih dari 1% (satu persen).
Untuk permasalahan. Permenkes no 7 thn 2012 ttg bab 7 tentang Sanksi pasal 23
1. Kepala Badan dapat memberikan sanksi administratif berupa pembatalan izin edar
apabila:
a. obat tradisional tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
berdasarkan data terkini;

b. obat tradisional mengandung bahan yang dilarang sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 7;
c. obat tradisional dibuat dan/atau diedarkan dalam bentuk sediaan yang
dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
d. penandaan dan informasi obat tradisional menyimpang dari persetujuan izin
edar;
e. pemegang nomor Izin edar tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22;
f. izin IOT, UKOT, UMOT, dan importir OT yang mendaftarkan, memproduksi
atau mengedarkan dicabut;

g. pemegang nomor izin edar melakukan pelanggaran di bidang produksi


dan/atau peredaran obat tradisional;
h. pemegang nomor izin edar memberikan dokumen registrasi palsu atau yang
dipalsukan; atau
i. terjadi sengketa dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
2. Selain dapat memberikan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1,
Kepala Badan dapat memberikan sanksi administratif lain berupa perintah
penarikan dari peredaran dan/atau pemusnahan obat tradisional yang tidak
memenuhi standar dan/atau persyaratan.
Untuk permasalahan Obat tradisional tersebut teridentifikasi dicampur bahan
kimia, seperti parasetamol dan fenilbutazon. Penggunaan parasetamol yang tidak
tepat dapat menyebabkan kerusakan hati. Sedangkan fenilbutazon bisa
mengakibatkan beragam gejala kesehatan mulai dari mual hingga gagal ginjal.
Paracetamol: Parasetamol adalah obat penghilang sakit (analgesik) yang
sebenarnya aman jika digunakan sesuai aturannya. Obat ini banyak dijumpai pada
komponen obat flu maupun sakit kepala. Jika dicampurkan ke dalam jamu, misalnya
jamu pegel linu atau jamu rematik, tentu akan meningkatkan kemanjuran jamu
tersebut. Jika hanya dipakai sekali dua kali memang tidak berbahaya bagi kesehatan.
Tetapi masalahnya, masyarakat pada umumnya menganggap jamu itu aman dan
mereka cenderung mengkonsumsi setiap hari. Jika dipakai setiap hari, maka
parasetamol akan terakumulasi dalam tubuh. Pada dosis besar, parasetamol dapat
merusak hati/liver menyebabkan gangguan liver. Di dalam tubuh, parasetamol akan
dimetabolisir menghasilkan zat radikal bebas yang bernama N-acetyl-pbenzoquinoneimine (NAPQI). Dalam keadaan normal, NAPQI akan didetoksikasi
secara cepat oleh enzim glutation dari hati. Pada dosis berlebih, hati tidak mampu lagi
mendetoksikasinya, dan zat radikal bebas tersebut justru dapat merusak hati
Fenilbutazon: Fenilbutason juga merupakan obat penghilang sakit (analgesik) seperti
parasetamol, tetapi memiliki sifat yang berbeda. Obat ini sebenarnya sudah tidak
banyak digunakan lagi karena efek sampingnya yang besar. Obat ini banyak
digunakan untuk binatang seperti kuda. Di Amerika, obat ini bahkan sudah ditarik

dari peredaran karena banyak obat baru yang lebih aman. Efek samping khas dari
fenilbutason adalah penekanan pada sumsum tulang belakang yang berfungsi
menghasilkan sel-sel darah putih, sehingga menyebabkan turunnya jumlah sel
darah putih. Penurunan sel darah putih menyebabkan seseorang mudah terkena
infeksi. Selain itu, fenilbutason juga menyebabkan efek samping pada lambung,
karena menghambat prostaglandin yang dibutuhkan untuk perlindungan selaput
lendir lambung. Penggunaan yang terus-menerus dalam bentuk jamu tentu akan
memberikan efek samping yang berbahaya, bahkan bisa menyebabkan perdarahan
lambung. Repotnya, pasien tidak merasakan sakit pada lambungnya karena tertutupi
efek fenilbutazon sebagai penghilang rasa sakit, namun tahu-tahu mengalami anemia
atau tinjanya berwarna hitam (melena) akibat mengandung darah yang sudah kering.

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahanbahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman.
2. Undang-undang yang mengatur tentang obat tradisional antara lain:

a. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tahun


2012 Tentang Registrasi Obat Tradisional
b. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan
Departemen

Kesehatan

Republik

Indonesia

Nomor:

06605/D/Sk/X/84 Tentang Tatacara Produksi Obat Tradisional Dari


Bahan Alam Dalam Sediaan Bentuk Kapsul Dan Tablet
c. PERMENKES RI Nomor 006 Tahun 2012 Tentang Industri Dan
Usaha Obat Tradisional

DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2013 Tentang Rencana Induk
PengembanganBahan Baku Obat Tradisional.Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 1991. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor: 659/MENKES/SK/X/1991
Tentang Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.

Lampiran Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan MakananRI Nomor


:HK.00.05.4.1380 Tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang
Baik.
Permenkes. 2009. Tentang Pekerjaan Kefarmasan. Jakarta: Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.006/MENKES/PER/I/2012
tentang industri dan usaha obat tradisional
Suharmiati, dkk. 2012.Kajian Hukum Peran Apoteker Dalam Saintifikasi Jamu.
surabaya: Buletin Penelitian Sistem Kesehatan15(1):20-25
Surat Keputusan Menteri RI No. 245/Menkes/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi
UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Amanat UU No. 36 Tahun 2009.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 007 tahun 2012 tentang Registrasi Obat
Tradisional

Anda mungkin juga menyukai