Anda di halaman 1dari 14

UNDANG-UNDANG DASAR 1945

KELAS: N
KELOMPOK 3
Disusun Oleh:
1. Reny Teja Febriyani
2. Hilman Hasyim F.
3. Kumala Purbasari

(155040201111093)
(155040201111094)
(155040201111138)

AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD
1945 atau UUD'45, adalah hukum

dasar tertulis (basic

law), konstitusi

pemerintahan

negara Republik Indonesia saat ini. UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara
oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Sejak tanggal 27 Desember 1949, di Indonesia
berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS
1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan
secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959. Pada kurun waktu tahun 1999-2002,
UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen), yang mengubah susunan lembagalembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah dan perkembangan UUD 1945 ?
2. Bagaimana perilaku konstitusional lembaga negara dan warga negara ?
3. Bagaimana UU TIPIKOR di Indonesia ?

2. PEMBAHASAN
2.1 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN UUD45
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD
1945 atau UUD 45, adalah hukum dasar tertulis (basic law), konstitusi pemerintahan
negara Republik Indonesia saat ini. UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara
oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Sejak tanggal 27 Desember 1949, di Indonesia
berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS
1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan
secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959. Pada kurun waktu tahun 19992002,
UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen), yang mengubah susunan lembagalembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia:
a. Tahun 1945-1949 Pada masa ini berlaku UUD 1945, walaupun pelaksanaannya tidak
sesuai dengan isi dan jiwa UUD 1945. Misalnya, menurut UUD 1945, sistem kabinet
adalah sistem kabinet presidential namun pelaksanaannya dirubah menjadi sistem kabinet
parlementer.
b. Tahun 1949-1950 Pada masa ini berlaku Konstitusi RIS tahun 1949. Konstitusi ini
sebagai hasil Perjanjian Meja Bundar antara Indonesia dengan Belanda. Dalam konstitusi
ini ditentukan bahwa bentuk negara adalah federal dengan demokrasi liberal.
c. Tahun 1950-1959 Pada masa ini berlaku UUDS 1950. UUD ini bersifat sementara
karena dibuat dalam keadaan darurat setelah negara Indonesia kembali kenegara
kesatuan. Untuk itu, didirikan badan pembuat konstitusi, yaitu badan konstituante.
d. Tahun 1959-sekarang Pada masa ini berlaku UUD 1945 yang dibagi menjadi 3 periode,
yaitu masa orde lama dengan demokrasi terpimpin, masa orde baru dengan demokrasi
Pancasila, dan masa reformasi dimana UUD diamandemen sebanyak empat kali.

2.2 PERILAKU KONSTITUSIONAL LEMBAGA NEGARA DAN WARGA NEGARA


Perilaku konstitusional diartikan sebagai perilaku yang sesuai dengan konstitusi sebuah
negara. Sebaliknya, perilaku inkonstitusional ialah perilaku yang tidak sesuai dan
bertentangan atau menyimpang dari konstitusi negara. Sebagai warga negara yang baik
adalah warga negara yang memiliki kesetiaan terhadap bangsa dan negara, yang meliputi
kesetiaan terhadap ideologi negara, kesetiaan terhadap konstitusi, kesetiaan terhadap
peraturan perundang-undangan, dan kesetiaan terhadap kebijakan pemerintah. Oleh sebab
itu, maka setiap warga negara harus dan wajib untuk memiliki perilaku positif terhadap
konstitusi (UUD), mempelajari isinya, mengkaji maknanya, melaksanakan nilai-nilai yang
terkandung didalamnya, mengamalkan dalam kehidupan, dan berani menegakkan jika
konstitusi dilanggar. Perilaku konstitusional wajib dimiliki dan diterapkan oleh semua warga
negara, karena perilaku konstitusional dapat menciptakan keadaan yang tertib, disiplin, dan
sesuai dengan hukum.
Sumarsono (2013) berpendapat bahwa perilaku konstitusional adalah perilaku-perilaku
yang senantiasa berdasar dan hanya berpijak pada aturan-aturan penyelenggaraan bernegara
yang tertuang dalam UUD 1945. Nurdiaman (2007:41) menjelaskan bahwa bangsa Indonesia
sudah bersepakat untuk menjadi golongan konstitusionalis, yaitu ingin berpegang teguh pada
konstitusi sebagai dasar hukum tertulis. Oleh karena itu, warga negara memegang peranan
yang penting dalam melaksanakan nilai-nilai konstitusional, dengan menunjukkan sikap yang
mencerminkan konstitusi.
Penerapan Perilaku Konstitusional
Agar perilaku Konstitusional dapat terwujud maka harus dilandasi dengan sikap yang
positif terhadap UUD 1945. Warga Negara yang mendukung berlakunya UUD 1945 akan
sangat mempengaruhi berlakunya sikap konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Menampilkan sikap positif yang sesuai dengan konstitusi dimaknai bahwa warga
negara harus berperilaku sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Inilah yang biasa disebut
dengan perilaku konstitusional. Agar perilaku konstitusional dapat dijalankan dengan baik
oleh setiap warga negara, maka perlu adanya kesadaran dalam setiap diri warga negara.
Pentingnya perilaku konstitusional adalah agar amanah konstitusi dapat dilaksanakan
dengan baik sehingga konstitusi itu sendiri akan bernilai normatif, yakni aturan-aturan dalam
konstitusi dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten, dijunjung tinggi, serta dilaksanakan
sepenuhnya.

Penerapan Perilaku Konstitusional :

a. Bersikap Terbuka
Sikap terbuka atau transparan merupakan sikap apa adanya berdasarkan apa yang dilihat,
didengar, dirasakan, dan dilakukan. Sikap terbuka sangat penting dilakukan sebagai upaya
menghilangkan rasa curiga dan salah paham sehingga dapat dipupuk rasa saling percaya dan
kerja sama guna menumbuhkan sikap toleransi dan kerukunan hidup. Dengan sikap terbuka
terhadap konstitusi Negara, kita belajar untuk memahami keberadaan sebagai warga Negara
yang akan melaksanakan ketentuan-ketentuan penyelenggara negara dengan se-optimal
mungkin.

b. Mampu Mengatasi Masalah


Setiap warga Negara harus memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai
permasalahan yang dihadapi. sikap ini penting untuk di kembangkan karena akan membentuk
kebiasaan menghadapi masalah, sehingga kalau sebelumnya hanya menjadi penonton,
pengkritik atau menyalahkan orang lain, sekarang menjadi orang yang mampu member solusi
(jalan keluar). kemampuan untuk mengatasi masalah konstitusi negara akan memberikan
iklim dan suasana yang semakin baik dalam menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
c. Menyadari Adanya Perbedaan
Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang memiliki masyarakat yang sangat
beragam sehingga tertanami istilah Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda namun tetap satu).
Perbedaan harus diterima sebagai suatu kenyataan atau realitas masyarakat di sekitar kita baik
agama, suku bangsa, adat istiadat, dan budayanya. Dengan bersikap seperti ini akan
memudahkan kesatuan dan persatuan Bangsa.

d. Memiliki Harapan Realistis


Negara Indonesia dengan wilayah yang luas dan jumlah penduduk terbesar keempat di
dunia memiliki permasalahan yang lebih kompleks dalam berbagai sektor kehidupan. Dalam
penyelenggara kehidupan Negara, sangat penting bagi warga Negara untuk mampu
memahami situasi dan kondisi Negara dalam kebijakan yang diambil, sehingga dalam
keputusan nanti akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi semua warga negara.
e. Penghargaan Terhadap Karya Bangsa Sendiri
Bangsa Indonesia harus bangga terhadap hasil karya bangsa sendiri. Salah satu karya
bangsa untuk kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia adalah kemerdekaan dan

kedaulatan bangsa dalam penyelenggaraan Negara. Karena bangsa lain akan menghargai
bangsa kita setelah kita menghargai bangsa sendiri.
f. Mau menerima dan memberi umpan balik
Kesadaran untuk tunduk dan patuh terhadap konstitusi Negara sangat diperlukan dalam
rangka menghormati produk-produk konstitusi yang dihasilkan oleh para penyelenggara
Negara.
Contoh perilaku konstitusional
Berdasarkan konstitusi yang berlaku di Indonesia saat ini penyelenggaraan Nagara
dilaksanakan oleh lembaga-lembaga Negara meliputi : MPR, Presiden, Kementerian Negara,
DPR, DPD, KPU, Badan Pemeriksa Keuangan, MA, MK, TNI, dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Lembaga-lembaga penyelenggara Negara tersebut melaksanakan tugas
atau kewajibannya berdasarkan wewenang yang dimiliki berdasarkan ketetapan konstitusi
Berikut adalah contoh sikap konstitusional :
A. Perilaku konstitusional bagi penyelenggara Negara
1. MPR
Mengubah dan menetapkan UUD
Melantik presiden dan wakil presiden
Memberhentikan presiden dan atau wakil presiden dalam masa jabatannya
menurut UUD
2. Presiden dan kementerian negara
Tidak pernah menghianati negara
Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas sebagai
presiden dan wakil presiden
Mengajukan rancangan UU kepada DPR
Menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan UU
3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Bersidang sedikitnya sekali dalam setahun
Membentuk undang-undang
Membahas rancangan undang-undang bersama presiden
4. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Mengajukan undang-undang tentang otonomi daerah, hubungan antar
pusat dan daerah
Pembentukan dan pemekaran atau penggabungan daerah, dll kepada DPR
5. Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Menyelenggarakan pemilu yang langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil
6. Badan Pemeriksa Keuangan (KPU)
Memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara

Menyerahkan laporan hasil pemeriksaan kepada DPR, DPD, DPRD


7. Mahkamah Agung (MA)
Menguji peraturan perundang-undangan di bawah indang-undang
8. Mahkamah Konstitusi (MK)
Memutuskan sengketa kewenangan yang diberikan UUD
Memutuskan pembubaran partai politik, perselisihan tentang hasil
pemilihan umum
9. Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia
Mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan serta kedaulatan

negara
Menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat

B. Perilaku konstitusional warga negara


1. Mengakui dan menghargai hak-hak asasi orang lain
2. Mematuhi dan menaati peraturan yang berlaku, baik peraturan lalu lintas, sekolah
3.
4.
5.
6.
7.
8.

dan lain sebagainya


Tidak main hakim sendiri
Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban
Adanya keterbukaan dan etika dalam menghadapi suatu permasalahan
Mengembangkan sikap sadar dan rasional
Menjalani persatuan dan kesatuan melalui berbagai kegiatan
Pelaksanaan pemilihan umum secara transparan, jujur, adil, dan bebas, serta sesuai

dengan peraturan yang berlaku


9. Pengambilan keputusan dengan musyawarah
10. Pelaksanaan demokrasi atau aksi-aksi secara damai bukan dengan kekerasan
11. Membayar pajak tepat waktu
12. Memberikan kritik atau saran pemerintah melalui wakil rakyat

Selain sikap Konstitusional seperti tadi juga terdapat beberapa sikap yang harus
dijunjung dalam menghargai dan menjalankan Konstitusi negara yaitu:
a. Memahami Pancasila dan UUD 1945
b. Berperan serta dalam menegakkan Pancasila dan UUD 1945
c. Mengembangkan pola hidup taat aturan
Berikut adalah contoh perilaku inkonstitusional yang perlu dihindari dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara:
a. Melanggar apa yang menjadi isi konstitusional atau melanggar aturan dan norma yang
telah ditetapkan di dalam konstitusi
b. Menyalahgunakan konstitusi untuk kepentingan pribadi atau kelompok, ataupun
untuk memperkaya diri sendiri (korupsi)

2.3 UU TIPIKOR (UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI)


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang:

a. bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945;
b. bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan
pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi;
c. bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat,
karena itu perlu diganti dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana
korupsi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud . dalam huruf a. b, dan c perlu
dibentuk Undang-undan .yang baru tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mengingat :
l. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/
1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31
TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
1. U M U M
Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat
Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur,
dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Di
tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk

memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam
kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar
yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu,
upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan
dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Undangundang ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi dan
mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan
memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada
umumnya. Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk
apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian
kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
(a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara,
baik di tingkat pusat maupun di daerah;
(b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang
menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian
Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan
asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan
Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan
kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Agar dapat menjangkau berbagai modus
operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih
dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan sedemikian
rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi secara "melawan hukum" dalam pengertian formil dan materiil. Dengan
perumusan tsb, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula
mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus
dituntut dan dipidana. Dalam Undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara
tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan
rumusan secara formil yang dianut dalam Undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah
dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan

tetap dipidana. Perkembangan baru yang diatur dalam Undang-undang ini adalah korporasi
Sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi. Hal ini tidak diatur
dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1971. Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif
untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat
ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan
ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati
yang merupakan pemberatan pidana. Selain itu, Undang-undang ini memuat juga pidana
penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan
berupa uang pengganti kerugian negara. Undang-undang ini juga memperluas pengertian
Pegawai Negeri, yang
a.l. adalah orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal
atau fasilitas dari Negara atau masyarakat. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan
istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar,
harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif, termasuk keringanan bea masuk atau
pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal baru
lainnya adalah dalam hal terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka
dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, sedangkan proses
penyidikan dan penuntutan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu penanganan tindak
pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak asasi manusia dari tersangka atau terdakwa.
Untuk memperlancar proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi,
Undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai
dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung meminta keterangan tentang
keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada bank dengan mengajukan hal tersebut
kepada Gubernur Bank Indonesia. Di samping itu, Undang-undang ini juga menerapkan
pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak
untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan
keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta
benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara ybs.,
dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Undang-undang ini juga
memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat berperan serta untuk membantu
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terhadap anggota
masyarakat yang berperan serta tsb diberikan perlindungan hukum dan penghargaan. Selain
memberikan peran serta masyarakat tsb, Undang-undang ini juga mengamanatkan

pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akan diatur dalam
Undang-undang tersendiri dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undangundang ini diundangkan. Keanggotaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdiri
atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat. Berdasarkan pertimbangan tsb di atas, Undangundang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu diganti
dengan Undang-undang ini.

3. PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
sesungguhnya materi muatan yang terkandung pada Konstitusi Indonesia (UUD 1945)
mencakup hal-hal mengenai politik, ekonomi, hukum dan HAM. Diaturnya hampir semua
elemen

kehidupan

manusia

ini

memberikan

konsekuensi

terhadap

pelaksanaan

ketatanegaraan yang harus berdasarkan kepada kepentingan rakyat banyak atau tujuan negara
itu sendiri. Mengenai ketentuan ekonomi pada konstitusi Indonesia sudah mengalami
perbaikan yang sangat berarti, jika dibandingkan dengan UUD 1945 sebelum di amandemen.
Harus juga dipahami prinsip perekonomian seperti halnya, kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, keseimbangan, kemajuan,
kesatuan ekonomi nasional .Seluruhnya harus dijadikan pedoman pelaksanaan perekonomian
di Indonesia. Terhadap ketentuan sosial yang terkandung tidak cukup menyejahterakan
rakyat, tetapi perlu juga diperhatikan demi kepentingan bersama untuk mencerdaskan bangsa.
Beberapa alasan diamandemennya UUD 1945 menjadi koreksi bagi pemerintah atau para
pelaksana perubahan UUD 1945 untuk secara langsung melibatkan kepentingan rakyat dan
aspirasi rakyat.
3.2 SARAN
Pendidikan kewarganegaraan perlu dipertahankan penerapannya pada semua tingkat
dari jenjang pendidikan karena pendidikan kewarganegaraan dapat memberikan kontribusi
yang sangat besar dalam membentuk kepribadian warga Negara untuk menanamkan dan
mengamalkan nilai-nilai karakter bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Carlton, Clymer. 1992. Pengantar ilmu politik. Jakarta :PT. Gramedia Pustaka Utama
Dimyanti, Hartono. 2009. Problematika dan solusi UUD 1945. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama
Mariam, Budiardjo. 1992. Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Nurdiaman, Aa. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan Berbangsa dan Bernegara. Bandung:
Primubi Mekar.
Sumarsono, Ilham. 2013. Perilaku Konstitusional dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara.
(Online). (
https://www.scribd.com/doc/176709900/Perilaku-Konstitusional-dalam
Hidup Berbangsa-dan-Bernegara-doc, diakses 25 September 2016).
Tim redaksi Pustaka Yustisia. 2009. UUD 1945 (Amandemen). Yogjakarta: Pustaka Yustisia
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Anda mungkin juga menyukai