2.1 Definisi
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic
fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia,
ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock
syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok
(Suhendro, Nainggolan, Chen, 2006).
2.2. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus
dengan diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat
6
molekul 4 x 10 .
Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue keempat
serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak.
Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow
fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus (Suhendro, Nainggolan, Chen).
2.3. Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah
tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989
hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per
100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun
hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama
2.4. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa .Mekanisme
imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom
renjatan dengue. Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD
adalah :
-
b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon
imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi
IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10;
Secondary heterologous infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang
terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda. Reinfeksi menyebabkan
reaksi anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang
tinggi. Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis
kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag.
Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T
sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma
akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti
TNF-, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL- 6 dan histamine yang
mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma.
Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang
juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme :
1) Supresi sumsum tulang,
Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma
biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan
meningkat.
III.
IV.
VII.
VIII.
Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan diberikan
transfusi darah atau komponen darah.
Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM:
terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang
setelah 60-90 hari.IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
Uji III: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari
perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.
tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi
dengan pemeriksaan USG. (WHO, 2006)
2.7. Diagnosis
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala
prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan
lelah.
2.7.1. Demam Dengue (DD).
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih
manifestasi klinis sebagai berikut:
Nyeri kepala.
Nyeri retro-oebital.
Mialgia / artralgia.
-
Ruam kulit.
DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.
2.7.2. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini di
bawah ini dipenuhi :
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik. Terdapat minimal
satu dari manifestasi perdarahan berikut : Uji bendung positif.Petekie, ekimosis, atau
purpura.Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau
dan
simtomatik.
Infeksi
dengue
simtomatik
terbagi
menjadi
undifferentiated fever (sindrom infeksi virus) dan demam dengue (DD) sebagai
infeksi dengue ringan; sedangkan infeksi dengue berat terdiri dari demam berdarah
dengue (DBD) dan expanded dengue syndrome atau isolated organopathy.
Perembesan plasma sebagai akibat plasma leakage merupakan tanda patognomonik
DBD, sedangkan kelainan organ lain serta manifestasi yang tidak lazim
dikelompokkan ke dalam expanded dengue syndrome atau isolated organopathy.
Secara klinis, DD dapat disertai dengan perdarahan atau tidak; sedangkan DBD dapat
disertai syok atau tidak (Gambar 1).
Gambar 2. Perjalanan penyakit infeksi dengue Sumber: Center for Disease Control
and Prevention. Clinicians case management. Dengue Clinical Guidance. Updated
2010.
Gambaran klinis
a. Undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)
Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dengan
penyebab virus lain. Demam disertai kemerahan berupa makulopapular, timbul saat
demam reda. Gejala dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering dijumpai.
b. Demam dengue (DD)
Anamnesis: demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot & sendi/tulang,
nyeri retro- orbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial flushed, lesu, tidak mau
makan, konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan depresi umum.
Pemeriksaan fisik
-
Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka, leher dan dada
Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada
IX.
X.
Manifestasi perdarahan
XI.
o Uji bendung positif dan/atau petekieo Mimisan hebat, menstruasi yang lebih
banyak, perdarahan saluran cerna (jarang terjadi, dapat terjadi pada DD dengan
trombositopenia)
c. Demam berdarah dengue
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam, kritis, dan masa
penyembuhan (convalescence, recovery).
Fase demam
-
AnamnesisDemam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40C, serta terjadi kejang
demam. Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi,
nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan,
Pemeriksaan fisik
o Manifestasi perdarahan
Uji bendung positif (10 petekie/inch2) merupakan manifestasi perdarahan yang
paling banyak pada fase demam awal.
Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena.
Perdarahansalurancerna
Hematuria (jarang)
Menorrhagia
Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan fungsi hati
(transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.
Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal, perembesan
plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal), hipovolemia, dan
syok, karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Perembesan plasma yang
mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal
terjadi selama 24-48 jam.
Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa transisi dari
saat demam ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence) ditandai
dengan, peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar.
-
Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada dinding
kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus = RLD) dan
Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g% yang merupakan
bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma
Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis, nafas
cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi 20 mmHg,
dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary refill time memanjang
(>3 detik). Diuresis menurun (< 1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria.
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama
2-7 hari
Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (20 mmHg),
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
Kriteria laboratorium
- Trombositopenia (100.000/mikroliter)
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.
2.
3. Edema paru dan/ atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading
pemberian cairan pada masa perembesan plasma
Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DBD dari demam dengue dan
penyakit virus lain yang ditemukan di daerah tropis. Maka untuk membedakan dengan
campak, rubela, demam chikungunya, leptospirosis, malaria, demam tifoid, perlu
ditanyakan gejala penyerta lainnya yang terjadi bersama demam. Pemeriksaan
laboratorium diperlukan sesuai indikasi.
Penyakit infeksi lain seperti sepsis, atau meningitis, perlu difikirkan apabila anak
mengalami demam disertai syok. Pemeriksaan penunjang.
Laboratorium
- Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis, hematokrit, dan
trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah demam dan akan
menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke-5-6. Deteksi antigen virus ini
dapat digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya infeksi dengue, namun
tidak dapat membedakan penyakit DD/DBD.
- Uji serologi IgM dan IgG anti dengue
- Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5 sakit, mencapai
puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan menurun/ menghilang pada akhir
minggu keempat sakit.
- Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit ke-14.
dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada infeksi sekunder
Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas indikasi:
- Distres pernafasan/ sesak
- Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan
radiologis terjadi apabilapada perembesan plasma telah mencapai 20%-40%
- Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk menilai edema paru
karena overload pemberian cairan.
- Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah
hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak dibandingkan yang kiri, kubah
diafragma kanan lebih tinggi daripada kanan, dan efusi pleura.
- Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan dinding vesika felea,
dan dinding buli-buli.
Tanda kegawatan
Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit infeksi
dengue, seperti berikiut :
-
Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa transisi
ke fase bebas demam / sejalan dengan proses penyakit
Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan lebih sering pada
pasien tidak stabil/ tersangka perdarahan.
Diuresis setiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan setiap jam pada pasien dengan
syok berkepanjangan / cairan yg berlebihan.
Jumlah urin harus 1 ml/kg berat badan/jam ( berdasarkan berat badan ideal) Indikasi
pemberian cairan intravena
Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral ataumuntah
Ancaman syok atau dalam keadaan syok Prinsip umum terapi cairan pada DBD
I.
II.
III.
IV.
Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan untuk
menghitung volume cairan.
Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok saat tidak ada
perbaikan klinis walaupun penggantian volume sudah cukup, maka perhatikan ABCS
yang terdiri dari, A Acidosis: gas darah, B Bleeding: hematokrit, C Calsium:
elektrolit, Ca++ dan S Sugar: gula darah (dekstrostik) Tata laksana infeksi dengue
berdasarkan fase perjalanan penyakit Fase Demam Pada fase demam, dapat diberikan
antipiretik + cairan rumatan / atau cairan oral apabila anak masih mau minum,
pemantauan dilakukan setiap 12-24 jam.
Cairan: 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-15 menit, bila tekanan darah sudah didapat
cairan selanjutnya sesuai algoritma pada derajat III.
Bila syok belum teratasi: setelah 10ml/kg pertama diulang 10 ml/kg, dapat diberikan
bersama koloid 10-30ml/kgBB secepatnya dalam 1 jam dan koreksi hasil laboratorium
yang tidak normal.
Monitor ketat (pemasangan katerisasi urin, katerisasi pembuluh darah vena pusat /
jalur arteri).
- Inotropik dapat digunakan untuk mendukung tekanan darah Apabila jalur intravena
tidak didapatkan segera, coba cairan elektrolit per oral bila pasien sadar atau jalur
intraoseus. Jalur intraoseus dilakukan dalam keadaan darurat atau setelah dua kali
kegagalan mendapatkan jalur vena perifer atau setelah gagal pemberian cairan melalui
oral. Cairan intraosesus harus dikerjakan secara cepat dalam 2-5 menit .
- Apabila sumber perdarahan dapat diidentifikasi, segera hentikan. Transfusi darah segera
adalah darurat tidak dapat ditunda sampai hematokrit turun terlalu rendah. Bila darah
yang hilang dapat dihitung, harus diganti. Apabila tidak dapat diukur, 10 ml/kg darah
segar atau 5 ml/kg PRC harus diberikan dan dievaluasi. Pada perdarahan saluran cerna,
H2 antagonis dan penghambat pompa proton dapat digunakan. Tidak ada bukti yang
mendukung penggunaan komponen darah seperti suspense trombosit, plasma darah
segar/cryoprecipitate. Penggunaan larutan tersebut ini dapat menyebabkan kelebihan
cairan. DBD ensefalopati DBD ensefalopati dapat terjadi bersamaan dengan syok atau
tidak.
- Ensefalopati yang terjadi bersamaan dengan syok hipovolemik, maka penilaian
ensefalopati harus diulang setelah syok teratasi.
- Apabila kesadaran membaik setelah syok teratasi, maka kesadaran menurun atau kejang
disebabkan karena hipoksia yang terjadi pada syok
Ganti ke cairan kristaloid dengan koloid segera apabila hematokrit terus meningkat
dan volume cairan intravena dibutuhkan pada kasus dengan perembesan plasma yang
hebat.
Diuretik diberikan apabila ada indikasi tanda dan gejala kelebihan cairan
o Hindari obat yang tidak diperlukan karena sebagai besar obat dimetabolisme di hati.
Hemodialisis pada kasus perburukan klinis dapat dipertimbangkan.
Fase Recovery
Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral, serta monitor tiap
12-24 jam.
Indikasi untuk pulang
Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai berikut :
Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi teratur
Diuresis baik
Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites
Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada umumnya
jumlah trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5 hari.
Daftar Pustaka
Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid
therapy. Pediatrics 1957;19:823
DF_FACTSHEET_INDONESIA
Demam Berdarah
Definisi
Demam berdarah adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengue, yang
ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini ditemukan di daerah tropis dan subtropis di
seluruh dunia. Contohnya, demam berdarah merupakan penyakit endemik di banyak
negara di Asia Tenggara. Virus dengue mencakup 4 varietas berbeda, masing-masing
dapat menyebabkan demam berdarah dan demam berdarah dengue berat (disebut juga
'demam berdarah dengue').
Tanda-tanda klinis
Demam berdarah secara klinis ditandai dengan serangan demam tinggi yang
mendadak, sakit kepala hebat, rasa sakit di belakang mata, nyeri otot dan sendi,
hilangnya nafsu makan, mual dan ruam. Beberapa orang yang terinfeksi mungkin
tidak menunjukkan gejala yang terlihat, dan beberapa mungkin hanya menunjukkan
gejala ringan, misalnya anak kecil mungkin menunjukkan penyakit demam tidak
spesifik yang disertai dengan ruam kulit.
Gejala pada infeksi pertama biasanya ringan. Setelah pulih, daya tahan tubuh terhadap
varietas virus dengue akan berkembang namun infeksi berikutnya dengan varietas
virus dengue lainnya mungkin berakibat pada demam berdarah dengue berat. Demam
berdarah dengue berat adalah demam berdarah komplikasi yang parah dan berpotensi
fatal.Tanda-tanda awalnya, termasuk demam tinggi, selama 2 7 hari dan dapat
o
meningkat hingga 40 41 C, wajah kemerahan dan gejala lainnya yang menyertai
demam berdarah. Berikutnya, dapat muncul kecenderungan pendarahan seperti
memar, hidung dan gusi berdarah, dan juga pendarahan dalam tubuh. Pada kasus yang
sangat parah, mungkin berlanjut pada kegagalan saluran pernapasan, shock dan
kematian.
Setelah terinfeksi oleh salah satu dari empat jenis virus, tubuh akan memiliki
kekebalan terhadap virus itu. Namun, tidak ada perlindungan efektif yang menjamin
kekebalan terhadap 3 jenis virus lainnya.
Cara penularan
Demam berdarah ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk betina Aedes yang
terinfeksi virus dengue. Apabila pasien yang menderita demam berdarah digigit oleh
nyamuk perantara, nyamuk tersebut terinfeksi dan nyamuk ini dapat menyebarkan
penyakit dengan cara menggigit orang lain. Penyakit ini tidak dapat menular secara
langsung melalui manusia ke manusia. Penyebar utama virus dengue yaitu nyamuk
Aedes aegypti, tidak ditemukan di Hong Kong, namun virus dengue juga dapat
disebarkan oleh spesies lain yaitu Aedes albopictus.Masa inkubasi adalah 3 14 hari,
umumnya 4 7 hari.
Penanganan
Tidak ada perawatan khusus untuk demam berdarah dan demam berdarah dengue
berat. Demam berdarah biasanya membatasi diri. Obat-obatan diberikan untuk
meringankan demam dan rasa sakit. Penderita demam berdarah dengue berat harus
segera dirawat dengan penanganan yang mendukung. Perawatan yang utama adalah
menjaga jumlah cairan tubuhnya. Dengan perawatan yang tepat dan tepat waktu,
tingkat kematian kurang dari 1%.
Pencegahan
Saat ini, tidak ada vaksin demam berdarah yang terdaftar secara lokal di Hong Kong.
Pencegahan terbaik di Hong Kong adalah dengan menghilangkan genangan air yang
dapat menjadi sarang nyamuk, dan menghindari gigitan nyamuk.
Langkah umum untuk mencegah penyakit yang disebarkan oleh nyamuk:
1. Kenakan pakaian longgar, berwarna cerah, lengan panjang dan celana panjang, dan
gunakan obat penangkal serangga yang mengandung DEET pada bagian tubuh yang
terpapar.
2. Lakukan perlindungan tambahan saat beraktivitas di luar ruangan:
- Hindari menggunakan kosmetik yang berbau harum atau produk perawatan kulit
- Gunakan obat penangkal serangga sesuai petunjuk Catatan khusus bila bepergian ke
luar negeri: Jika mengunjungi daerah atau negara yang terdampak, rencanakan jadwal
konsultasi dengan dokter setidaknya 6 minggu sebelum perjalanan, dan melakukan
perlindungan ekstra untuk mencegah gigitan nyamuk. Selama perjalanan, jika
bepergian ke kawasan pedesaan yang terkena wabah penyakit, bawalah kelambu
portabel dan gunakan permethrin (semacam insektisida) pada kelambu. Permethrin
TIDAK boleh digunakan untuk kulit. Segera cari pertolongan pertama secepat
mungkin bila merasa tidak sehat. Pelancong yang kembali dari area yang terdampak
harus menggunakan obat serangga selama 14 hari setelah sampai di Hong Kong.
Apabila merasa tidak sehat misalnya, terkena demam, segera berobat secepatnya, dan
berikan rincian perjalanan pada dokter.
Bantu mencegah perkembangbiakan nyamuk
1.Cegah timbulnya genangan air: ganti air di vas bunga seminggu sekali, bersihkan air
di cawan yang berada di bawah tanaman pot setiap minggu, tutup rapat semua wadah
air, pastikan wadah tetesan air pada AC bersih dari genangan air, buang kaleng dan
botol bekas di tempat sampah yang tertutup Kendalikan penyakit dan pusat penyakit
menular, simpan makanan dan buanglah sampah dengan benar.
2. Ibu hamil dan anak 6 bulan ke atas dapat menggunakan obat penangkal serangga
yang mengandung DEET. Untuk rincian penggunaan obat penangkal serangga dan
poin penting yang harus dipatuhi, silakan merujuk ke 'Kiat menggunakan obat anti
serangga'.
PATOGENESIS INFEKSI VIRUS DENGUE
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara endemi Dengue dengan kasus tertinggi di Asia Tenggara.
Pada 2006 Indonesia melaporkan 57% dari kasus Dengue dan hampir 80% kematian
dengue dalam daerah Asia Tenggara (1132 kematian dari jumlah 1558 kematian
dalam wilayah regional). Di Indonesia infeksi virus Dengue selalu dijumpai sepanjang
tahun di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan
Bandung. Perbedaan pola klinis kejadian infeksi Dengue ditemukan setiap tahun.
Perubahan musim secara global, pola perilaku hidup bersih dan dinamika populasi
masyarakat (adanya perang dunia, perkembangan kota yang pesat setelah perang dan
dan mudahnya transportasi) berpengaruh terhadap kejadian penyakit infeksi virus
Dengue.
World Health Organization memperkirakan terjadi 50 juta kasus infeksi Dengue di
seluruh dunia setiap tahun. Di Indonesia kasus pertama dengan pemeriksaan serologis
dibuktikan pada tahun 1969 di Surabaya. Angka kematian karena infeksi virus
Dengue menurun secara drastis dari 41,3% ditahun 1968 menjadi kurang dari 3%
ditahun 1991, namun Sindroma Syok Dengue masih merupakan kegawatan yang sulit
diatasi. Morbiditas dan mortalitas karena DBD/DSS yang dilaporkan berbagai negara
bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan
vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan
keadaan meteorologis.
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik
(mild undifferentiated febrile illness), demam dengue, demam berdarah dengue
(DBD), dan dengue shock syndrome.
Terdapat berbagai teori yang terkait dengan patofisiologi infeksi virus Dengue seperti
hipotesis (ADE), teori virulensi virus yang mendasarkan pola perbedaan serotipe virus
dengue Den-1, Den-2, Den-3, dan Den- 4. Teori antigen-antibodi, yang mendasarkan
kenyataan bahwa pada penderita DBD terjadi penurunan aktifitas sistem komplemen
yang ditandai dengan penurunan dari kadar C3,C4,dan C5.Teori mediator, dimana
makrofag yang terinfeksi virus Dengue akan melepaskan mediator-mediator seperti
interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lain- lain. Diperkirakan berbagai mediator
tersebut bertanggung jawab atas terjadinya syok septik, demam dan peningkatan
permeabilitas kapiler. Teori Th1/Th2 pada infeksi memperkirakan adanya faktor
genetik merupakan perkembangan teori yang menarik.
Sel penjamu yang muncul dan beredar dalam sirkulasi merangsang terjadinya panas.
Faktor panas yang dimunculkan adalah jenis-jenis sitokin yang memicu panas seperti
TNF-, IL-1, IL-6, dan sebaliknya sitokon yang meredam panas adalah TGF-, dan
IL-10.
Beredarnya virus di dalam plasma bisa merupakan partikel virus yang bebas atau
berada dalam sel platelet, limfosit, monosit, tetapi tidak di dalam eritrosit. Banyaknya
partikel virus yang merupakan kompleks imun yang terkait dengan sel ini
menyebabkan viremia pada infeksi virus.
Antibodi yang dihasilkan pada infeksi virus dengue merupakan non netralisasi
antibodi yang dipelajari dari hasil studi menggunakan stok kulit virus C6/C36, viro sel
nyamuk dan preparat virus yang asli.
Respon innate immune terhadap infeksi virus Dengue meliputi dua komponen yang
berperan penting di periode sebelum gejala infeksi yaitu antibodi IgM dan platelet.
Antibodi alami IgM dibuat oleh CD5 + B sel, bersifat tidak spesifik dan memiliki
struktur molekul mutimerix. Molekul hexamer IgM berjumlah lebih sedikit
dibandingkan molekul pentameric IgM namun hexamer IgM lebih efisien dalam
mengaktivasi komplemen.Antigen Dengue dapat dideteksi di lebih dari 50%
Complex Circulating Imun. Kompleks imun IgM tersebut selalu ditemukan di
dalam dinding darah dibawah kulit atau di bercak merah kulit penderita dengue. Oleh
karenanya dalam penentuan virus dengue level IgM merupakan hal yang spesifik.
PATOFOSIOLOGI DBD
Pada DBD dan DSS peningkatan akut permeabilitas vaskuler merupakan patofisiologi
primer.Hal ini akan mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler,
sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Pada kasuskasus berat volume plasma menurun lebih dari 20% meliputi efusi pleura,
hemokonsentrasi dan hipoproteinemia. Lesi destruktif vaskuler yang nyata tidak
terjadi.
Terdapat tiga faktor yang menyebabakan perubahan hemostasis pada DBD dan DSS
yaitu: perubahan vaskuler, trombositopenia dan kelainan koagulasi. Hampir semua
penderita dengue mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan trombositopeni, serta
mengeluarkan lisosim yang mambuat dinding endothel lisis dan endothel terbuka.
Neutrophil juga membawa superoksid yang akan mempengaruhi oksigenasi pada
mitokondria
dan
siklus
GMPs,
sehingga
endothel
menjadi
nekrosis
dan
Secara invivo antibodi terhadap virus DEN berperan dalam 2 hal yaitu:
a. Antbodi netralisasi memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi infeksi
virus.
b. Antibodi non netralising memiliki peran cross-reaktif dan dapat meningkatkan
infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS Perubahan patofidiologis
dalam DBD dan DSS dapat dijelaskan oleh 2 teori yaitu hipotesis infeksi sekunder
(teori secondary heterologous infection) dan hipotesis antibody dependent
enhancement (ADE). Teori infeksi sekunder menjelaskan bahwa apabila seseorang
mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, maka akan terdapat kekebalan
terhadap infeksi virus jenis tersebut untuk jangka waktu yang lama.
Pada infeksi primer virus dengue antibodi yang terbentuk dapat menetralisir virus
yang sama (homologous). Namun jika orang tersebut mendapat infeksi sekunder
dengan jenis virus yang lain, maka virus tersebut tidak dapat dinetralisasi dan terjadi
infeksi berat. Hal ini disebabkan terbentuknya kompleks yang infeksius antara
antibodi heterologous yang telah dihasilkan dengan virus dengue yang berbeda.
Selanjutnya ikatan antara kompleks virus-antibodi (IgG) dengan reseptor Fc gama
pada sel akan menimbulkan peningkatan infeksi virus DEN. Kompleks antibodi
meliputi sel makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi dan
internalisasi sehingga makrofag akan mudah terinfeksi sehingga akan memproduksi
IL-1, IL-6 dan TNF dan juga Platelet Activating Factor
Selanjutnya dengan peranan TNF akan terjadi kebocoran dinding pembuluh darah,
merembesnya plasma ke jaringan tubuh karena endothel yang rusak, hal ini dapat
berakhir dengan syok.
Proses ini juga menyertakan komplemen yang bersifat vasoaktif dan prokoagulan
sehingga menimbulkan kebosoranplasma dan perdarahan yang dapat mengakibatkan
syok hipovolemik.
Pada bayi dan anak-anak berusia dibawah 2 tahun yang lahir dari ibu dengan riwayat
pernah terinfeksi virus DEN, maka dalam tubuh anak tersebut telah terjadi Non
Neutralizing Antibodies sehingga sudah terjadi proses Enhancing yang akan
memacu makrofag sehingga mengeluarkan IL-6 dan TNF juga PAF. Bahan-bahan
mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel pembuluh darah dan sistem
hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan.
Pada teori kedua (ADE) , terdapat 3 hal yang berkontribusi terhadap terjadinya DBD
dan DSS yaitu antibodies enhance infection, T-cells enhance infection, serta limfosit T
dan monosit. Teori ini menyatakan bahwa jika terdapat antibodi spesifik terhadap
jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi
sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh tidak dapat menetralisir
penyakit, maka justru dapat menimbulkan penyakit yang berat.
Disamping kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain yang berusaha menjelaskan
patofisiolog DBD, diantarnya adalah teori virus yang mendasarkan pada perbedaan
keempat serotipe virus Dengue yang ditemukan berbeda antara satu daerah dengan
yang lainnya. Sedangkan teori antigen-antibodi mendasarkan pada kenyataan bahwa
terjadi penurunan aktifitas sistem komplemen yang ditandai dengan penurunan C3,
C4, dan C5. teori juga didukung dengan adanya pengaruh kompleks imun pada
penderita DBD terhadap aktifitas komponen sistem imun.
Penelitian oleh Azaredo El dkk, 2001 membuktikan bahwa patogenesis DBD/DSS
umumnya disebabkan oleh disregulasi respon imunologik. Monosit/makrofag yang
terinfeksi virus Dengue akan mensekresi monokin yang berperan dalam patogenesis
dan gambaran klinis DBD/DSS.
Penelitian invitro oleh Ho LJ dkk 2001 menyebutkan bahwa Dendritic Cell yang
terinfeksi virus dengue dapat mengekspresi antigen HLA B7-1, B7-2, HLA-DR,
CD11b dan CD83.Dendritic Cell yang terinfeksi virus dengue ini sanggup
memproduksi TNF- dan IFN- namun tidak mensekresi IL-6 dan IL-2. Oberholzer
dkk, 2002 menjelaskan bahwa IL-10 dapat menekan proliferasi sel T.
Pada infeksi fase akut terjadi penurunan populasi limfosit CD2+, CD4+, dan CD8+.
Demikian pula juga didapati penurunan respon prroliferatif dari sel-sel mononuklear.
Di dalam plasma pasien DBD/DSS terjadi peningkatan konsentrasi IFN-, TNF- dan
IL-10. peningkatan TNF- berhubungan dengan manifestasi perdarahan sedangkan
IL-10 berhubungan dengan penurunan trombosit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
terjadi penekanan jumlah dan fungsi limfosit T, sedangkan sitokin proinflamasi TNF-
berlebihan
akan
berakhir
dengan
jumlah
trombosit
yang
rendah.
Reaksi silang yang terjadi antara antibodi dengan sel endotel akan menginduksi
kerusakan yang berat. Aktivasi sel endotel inflamasi terjadi melalui faktor transkripsi
NF-Kb-regulated pathway. Sitokin dan kemokin yang diproduksi yaitu IL-6, IL-8 dan
MCP-1.Kemudian terjadi peningkatan ekspresi ICAM-1 dan kemampuan PBMC
menempel pada endotel. Dan selanjutnya sel endotel akan mengalami apoptosis yang
ditandai dengan terpaparnya fosfatidylserine pada permukaan sel dan fragmentasi
DNA. Hal ini diamati oleh Lin.dkk (2002).
Pada kasus Dengue Shock Syndrome, ditengarai ada mediator inflamasi yang
berperan dalam kebocoran plasma. Inilah yang menjadi dasar teori Mediator dalam
patogensis DBD. Diketahui beberapa sitokin yang beredar pada aliran darah penderita
DBD yaitu TNF, IL-1, 1L-6, IFN , IFN, IL-2, IL-10, IL-12, IL-13, IL-18, dan
beberapa mediator yang berfungsi sebagai kemokin antara lain IL-8, MCP-1
(Monocyte Chemoattractant Proteins-1), MIP-1 (Macrophage Inflammatory Protein1), MIP-1, RANTES (Regulated Upon Activation Normal T cell Express
Sequence ) dan PF-4 (Platelet Factor-4). Keberadaan IL-8 yang tinggi dalam darah
tepi, cairan ascites dan efusi pleura menjawab masalah kebocoran plasma dan
perdarahan pada syok karena DBD.
DAFTAR PUSTAKA
Soegijanto, Soegeng. 2010. Patogenesa Infeksi Virus Dengue Recent Update. Applied
Management of Dengue Viral Infection in Children. 6 November 2010. halaman 1145.
Chaudry S, Swaminathan S, Khanna N.Viral Genetics as a Basis of Dengue
Pathogenesis. Setiawan MW, Samsi TW, Wulur H, Sugianto D, Pool TN. Dengue
haemorrhagic fever: ultrasound as an aid to predict the severity of the disease.
Pediatric Radiology [serial on the internet].1997 Jan 15 [cited 1997 June 2].Available
from:http://www.springerlink.com
Wang WK, Chao DY. High Levels of Plasma Dengue Viral Load during
Defervescence in Patients with Dengue Hemorrhagic Fever: Implications for
Pathogenesis.Virology (serial on the internet).2002 July 31 (cited 2003 Jan 31).
Available from: www.sciencedirect.com/science?_ob=article
Juffrie M, Van Der Meer GM, Hack CE, Hasnoot K, Sutaryo, Veerman AJP, Thijs LG
et al. Inflammatory Mediators in Dengue Virus Infection in Children:Interleukin-8 and
Its Relationship to Neutrophil Degranulation.Infection and Immunity (serial on the
internet).1999
Nov
(cited
2000
Feb),p.702-707.Available
from:
iai.asm.org/cgi/reprint/68/2/702
SimmonsCP, Chau TNB, Thuy TT, Tuan MN, Hoang DM, Thien NT et al.Maternal
Antibody and Viral Factors in The Pathogenesis of Dengue Virus in Infants. (cited
2007
August
1).Available
from:www.exa.unne.edu.ar/bioquimica/immu
noclinica/documentos/maternal_antibody.pdf
IPPI78871
PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue (DBD) meru- pakan penyakit yang banyak ditemukan di
sebagian besar wilayah tropis dan subtro- pis, terutama asia tenggara, Amerika tengah, Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus
den- gue yang termasuk ke dalam famili Flaviri- dae dan genus Flavivirus, terdiri dari
1
4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den -4 , ditularkan ke manusia melalui
gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nya- muk Aedes aegypti dan Ae.
albopictus
Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar antara 3
sampai 14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari masa
inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari.
Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa gejala demam, demam dengue (DD) dan
DBD, ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari; pendarahan
diatesis seperti uji tourniquet positif, trom- bositopenia dengan jumlah trombosit
9
2
100 x 10 /L dan kebocoran plasma akibat pen- ingkatan permeabilitas pembuluh.
Tiga tahap presentasi klinis diklasifi- kasikan sebagai demam, beracun dan pemulihan. Tahap beracun, yang berlangsung 24-48 jam, adalah masa paling kritis, dengan
4
kebocoran plasma cepat yang mengarah ke gangguan peredaran darah. Terdapat 4
tahapan derajat keparahan DBD, yaitu derajat I dengan tanda terdapat demam disertai
gejala tidak khas dan uji torniket + (positif); derajat II yaitu derajat I ditambah ada
perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain, derajat III
diduga karena proses immunologi, pada demam dengue hal ini tidak terjadi.
Manifestasi klinis DD timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus yang
berkembang di dalam peredaran darah dan ditangkap oleh makrofag. Selama 2 hari
akan terjadi viremia (sebelum timbul gejala) dan berakhir setelah lima hari tim- bul
gejala panas. Makrofag akan menjadi antigen presenting cell (APC) dan mengaktifasi
sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih ban- yak virus. Thelper akan mengaktifasi sel T. Sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah
memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas an- tibodi. Ada 3 jenis
antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemaglutinasi,
antibodi fiksasi komplemen. Proses tersebut akan menyebabkan ter- lepasnya
mediator-mediator yang merang- sang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri
sendi, otot, malaise dan gejala lainnya.
Patofisiologi primer DBD dan dengue syock syndrome (DSS) adalah peningkatan
akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang
ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan
darah. Pada kasus berat, volume plasma menurun lebih dari 20%, hal ini didukung
penemuan post mortem meliputi efusi pleu- ra, hemokonsentrasi dan hipoproteinemi.
Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus dengue berkembang biak dalam sel
retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari.
Akibat infeksi ini, muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain anti
netralisasi, anti-hemaglutinin dan anti komplemen. Antibodi yang muncul pada
umumnya adalah IgG dan IgM, pada in- feksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada jadi meningkat.
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari
ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah
60-90 hari. Kinetik kadar IgG ber- beda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh
karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder.
Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 se- dang pada
infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa
dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah
hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan
adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat.
Aspirator Vol. 2 No. 2 Tahun 2010 : 110 119. Respon Primer dan Sekunder
Infeksi Virus Dengue
(7)
Patofisiologi DBD dan DSS sampai sekarang belum jelas, oleh karena itu mun- cul
banyak teori tentang respon imun. Pada infeksi pertama terjadi antibodi yang memiliki aktivitas netralisasi yang mengenali protein E dan monoklonal antibodi ter- hadap
NS1, Pre M dan NS3 dari virus penyebab infeksi akibatnya terjadi lisis sel yang telah
terinfeksi virus tersebut melalui aktivitas netralisasi atau aktifasi komple- men.
Akhirnya banyak virus dilenyapkan dan penderita mengalami penyembuhan,
selanjutnya terjadilah kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang sama,
tetapi apabila terjadi antibodi non- netralisasi yang memiliki sifat memacu replikasi
virus, keadaan penderita akan menjadi parah apabila epitop virus yang masuk tidak
sesuai dengan antibodi yang tersedia di hospest. Pada infeksi kedua yang dipicu oleh
virus dengue dengan serotipe yang berbeda, virus dengue berperan sebagai super
antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag. Makrofag ini menampilkan
antigen presenting cell (APC) yang membawa muatan polipeptida spesifik yang
berasal dari mayor histocom- patibility complex (MHC).
Epidemiologi DBD
Demam berdarah dengue (DBD) ada- lah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang
paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai ren- jatan
9
atau dengue shock syndrome (DSS) ; ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae.
albopictus yang terinfeksi.
10
rus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri
1
dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4. Dalam 50 tahun terakhir, kasus
DBD meningkat 30 kali lipat dengan pen- ingkatan ekspansi geografis ke negaranegara baru dan, dalam dekade ini, dari kota ke lokasi pedesaan.
Penderitanya
banyak ditemukan di sebagian besar wila- yah tropis dan subtropis, terutama Asia
Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia.
Virus dengue dilaporkan telah men- jangkiti lebih dari 100 negara, terutama di daerah
perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain Amerika
Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan
sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di rumah sakit dan
mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun; diperkirakan 2,5 miliar orang atau
hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang
memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan nya- muk setempat.
11
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik
bahkan cenderung terus mening- kat
12
8
13
anak 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap
tahunnya selalu terjadi KLB di be- berapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998
dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800
orang lebih.
14
Pada tahun-tahun beri- kutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah
kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus
tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality
rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan ke- matian
1.384 orang atau CFR 0,89%.
15
Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk subgenus
Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus sebagai vektor primer dan
Ae. polynesiensis, Ae.scutellaris serta Ae (Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder,
selain itu juga terjadi penularan transexsual dari nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui perkawinan
turunannya.
16-17
Ada juga penularan virus dengue melalui transfusi darah seperti ter-
jadi di Singapura pada tahun 2007 yang berasal dari penderita asimptomatik
(18)
. Dari
beberapa cara penularan virus dengue, yang paling tinggi adalah penularan me- lalui
gigitan nyamuk Ae. aegypti.
19
berlangsung sekitar 8-10 hari, se- dangkan inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia)
berkisar antara 4-6 hari dan dii- kuti dengan respon imun.
20
21
terpengaruh iklim mikro dan makro, frek- uensi gigitan per nyamuk per hari, lamanya
siklus gonotropik, umur nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus dengue serta
pemilihan Hospes.
22
pengaruhi oleh aktivitas manusia; orang yang diam (tidak bergerak), 3,3 kali akan
lebih banyak digigit nyamuk Ae. aegypti dibandingkan dengan orang yang lebih ak-
tif, dengan demikian orang yang kurang aktif akan lebih besar risikonya untuk tertular virus dengue. Selain itu, frekuensi nya- muk menggigit manusia juga dipengaruhi
keberadaan atau kepadatan manusia; se- hingga diperkirakan nyamuk Ae. aegypti di
rumah yang padat penghuninya, akan lebih tinggi frekuensi menggigitnya terhadap
manusia dibanding yang kurang padat.
22
pengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah usia dan status gizi, usia lanjut
akan menurunkan respon imun dan penyerapan gizi.
23
satunya dipengaruhi oleh keseim- bangan asupan dan penyerapan gizi, khususnya zat
gizi makro yang berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh.
24
disebutkan pula bahwa zat gizi mikro seperti besi dan seng mempengaruhi respon
kekebalan tubuh, apabila terjadi defisiensi salah satu zat gizi mikro, maka akan
merusak sistem imun.
25
Status gizi adalah keadaan kesehatan akibat interaksi makanan, tubuh manusia dan
lingkungan yang merupakan hasil interaksi antara zat-zat gizi yang masuk da- lam
tubuh manusia dan penggunaannya. Tanda-tanda atau penampilan status gizi dapat
dilihat melalui variabel tertentu [indikator status gizi] seperti berat badan, tinggi
badan, dan lain lain.
26
yang diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi dan jumlah
yang dibutuhkan [requirement] oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis:
[pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lain
lain].
27
Status gizi sangat berpengaruh terhadap status kesehatan manusia karena zat gizi
mempengaruhi fungsi kinerja berbagai sistem dalam tubuh. Secara umum
berpengaruh pada fungsi vital yaitu kerja otak, jantung, paru, ginjal, usus; fungsi
aktivitas yaitu kerja otot bergaris; fungsi pertumbuhan yaitu membentuk tulang, otot
& organ lain, pada tahap tumbuh kembang; fungsi immunitas yaitu melindungi tubuh
agar tak mudah sakit; fungsi perawatan jaringan yaitu mengganti sel yang rusak; serta
fungsi cadangan gizi yaitu persediaan zat gizi menghadapi keadaan darurat.
28
Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi adalah pada kelompok umur <15
tahun (95%) dan mengalami pergerseran dengan adanya peningkatan proporsi
penderita pada kelompok umur 15 -44 tahun, sedangkan proporsi penderita DBD pada
kelompok umur >45 tahun san- gat rendah seperti yang terjadi di Jawa Ti- mur
berkisar 3,64%.
29
Munculnya kejadian DBD, dikare- nakan penyebab majemuk, artinya muncul- nya
kesakitan karena berbagai faktor yang saling berinteraksi, diantaranya agent (virus
dengue), host yang rentan serta lingkungan yang memungkinan tumbuh dan berkembang biaknya nyamuk Aedes spp.
30
31
Patogenesis DBD
Nyamuk Aedes spp yang sudah terin- fesi virus dengue, akan tetap infektif sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepa- da individu yang rentan pada saat meng9
gigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus de-ngue
akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan, sel
monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel
dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan membentuk
komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen struktur dirakit,
7
virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini menimbulkan reaksi immunitas protektif
terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective terhadap serotipe
virus lainnya.
32
Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi biologis yaitu
netralisasi virus, sitolisis komplemen, anti- body dependent cell-mediated cytotoxity
(ADCC) dan ADE.
33
neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah in- feksi
virus, dan antibody non netralising serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan
dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam pathogenesis DBD dan DSS
(7)
Terdapat dua teori atau hipotesis im- munopatogenesis DBD dan DSS yang masih
kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan antibody
dependent enhancement (ADE).
disebutkan, bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus
dengue, akan terjadi proses kekebalan ter- hadap infeksi serotipe virus dengue
tersebut untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan
infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang
be- rat. Ini terjadi karena antibody heterologus yang terbentuk pada infeksi primer,
akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru yang berbeda
yang tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks yang infeksius
dan bersifat oponisasi internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi IL1, IL- 6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet activating factor (PAF);
7
akibatnya akan terjadi peningkatan (enhancement) infeksi virus dengue. TNF alpha
akan menyebabkan kebocoran dind- ing pembuluh darah, merembesnya cairan plasma
ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang
mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.
34
Pendapat lain
menjelaskan, kompleks imun yang ter- bentuk akan merangsang komplemen yang
farmakologisnya cepat dan pendek dan ber- sifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga
menimbulkan kebocoran plasma (syock hipolemik) dan perdarahan.
35
Anak di bawah
usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue dan terjadi infeksi dari
ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing antibodies akaibat
adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus dengue pada anak
tersebut, maka akan langsung terjadi proses enhancing yang akan memacu makrofag
mudah terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga
36-37
PAF.
38
Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis DBD, di
antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan serotipe
virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya dapat
ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan lainnya.
Selanjutnya ada teori antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita atau kejadian
DBD terjadi penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai penurunan kadar
C3, C4 dan C5. Disamping itu, pada 48- 72% penderita DBD, terbentuk kompleks
imun antara IgG dengan virus dengue yang dapat menempel pada trombosit, sel B dan
sel organ tubuh lainnya dan akan mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun
yang lain. Selain itu ada teori modera- tor yang menyatakan bahwa makrofag yang
terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6,
IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersa- ma endotoksin bertanggungjawab pada ter39
jadinya sok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler.
Pada infeksi virus dengue, viremia ter- jadi sangat cepat, hanya dalam beberapa hari
dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian karena infeksi virus; kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh gangguan metabolic.
40
11
Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih makmur
terutama yang biasa bepergian.
41
diketahui faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah pendidikan dan
pekerjaan masyara- kat, jarak antar rumah, keberadaan tempat penampungan air,
keberadaan tanaman hias dan pekarangan serta mobilisai penduduk; sedangkan
tataletak rumah dan keberadaan jentik tidak menjadi faktor risiko.
42
Faktor risiko yang menyebabkan mun- culnya antibodi IgM anti dengue yang
merupakan reaksi infesksi primer, berdasar- kan hasil penelitian di wilayah Amazon
Brasil adalah jenis kelamin laki-laki, kem- iskinan, dan migrasi. Sedangkan faktor
risiko terjadinya infeksi sekunder yang me- nyebabkan DBD adalah jenis kelamin
laki- laki, riwayat pernah terkena DBD pada periode sebelumnya serta migrasi ke
daerah perkotaan.
43
Demam berdarah dengue ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti yang menjadi vektor
utama serta Ae. albopictus yang menjadi vektor pendamping. Kedua spesies nyamuk
itu ditemukan di seluruh wilayah Indonesia, hidup optimal pada ketinggian di atas
1000 di atas permukaan laut,
10
44
daerah dengan ketinggian sampai dengan 1.500 meter, bahkan di India dilaporkan
dapat ditemukan pada ketinggian 2.121 meter serta di Kolombia pada ketinggian
45
2.200 meter. Nyamuk Aedes berasal dari Brazil dan Ethiopia, stadium dewasa
berukuran lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lainnya.
Kedua spesies nyamuk tersebut terma- suk ke dalam Genus Aedes dari Famili Culicidae. Secara morfologis keduanya sangat mirip, namun dapat dibedakan dari strip
putih yang terdapat pada bagian sku- tumnya.
46
dengan dua strip putih sejajar di ba- gian dorsal tengah yang diapit oleh dua garis
lengkung berwarna putih. Sedangkan skutum Ae. albopictus yang juga berwarna
hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya.
11
Nyamuk Ae. aegypti mempunyai dua subspesies yaitu Ae. aegypti queenslanden- sis
dan Ae. aegypti formosus. Subspesies pertama hidup bebas di Afrika, sedangkan
subspecies kedua hidup di daerah tropis yang dikenal efektif menularkan virus DBD.
Subspesies kedua lebih berbahaya dibandingkan subspecies pertama.
11
DAFTAR PUSTAKA
-
WHO. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah
Dengue. Jakarta: WHO & Depar- temen Kesehatan RI; 2003.
Lestari K. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Indo- nesia.
Farmaka. Desember 2007; Vol. 5 No. 3: hal . 12-29.
5. Hadinegoro, Rezeki S, Soegianto S, Soeroso T, Waryadi S. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue
Supartha I, editor. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes aegypti (Linn.)
dan Aedes albopic- tus (Skuse) (Diptera:Culicidae). Pertemuan Ilmiah Dalam Rangka Dies Natalis
2008 Universitas Udayana; 3-6 September 2008; Denpasar: Universitas Udayana Denpasar.
Kusriastuti R. Kebijaksanaan Penanggu- langan Demam Berdarah Dengue Di Indo- nesia. Jakarta:
Depkes R.I; 2005.
XII.
Kusriastuti R. Data Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia tahun 2009 dan Tahun 2008.
Jakarta: Ditjen PP & PL Depkes RI; 2010.
XIII.
XIV.
Rohani A, Zamree I, Lee HL, I M. Detec- tion of Transovarian Dengue for Field Caught
Aedes aegypti and Aedes albopic- tus Mosquitoes Using C6/36 Cool Line Culture and RTPCR. Institue for Medical Research press. Kuala Lumpur; 2005.
XV.
Tambyah PA, Koay ESC, Poon MLM, Lin RVTP, Ong BKC. Dengue Hemorrhagic Fever
Transmitted by Blood Transfusion. The England Journal of Medicine. 2008; Vol. 359: p. 15267.
XVI.
Gubler DJ. Epidemic Dengue Hemorrhag- ic Fever as a Public Health, Sosial and Economic
Problem in Tha 21st Century. Trends Microbiol. 2002; Vol. 10: p. 100- 13.
XVII.
Kristina, Ismaniah, Wulandari L. Kajian Masalah Kesehatan : Demam Berdarah Dengue. In:
Balitbangkes, editor.: Tri Djoko Wahono. . 2004. p. hal 1-9.
XVIII. Lubis I. Peranan Nyamuk Aedes dan Babi Dalam Penyebaran DHF dan JE di Indonesia.
Cermin Dunia Kedokteran. 1990; Vol. 60.
XIX.
Canyon D. Advances in Aedes aegypti Biodynamis and Vector Capacity: Tropical Infectious
and Parasitic Diseases Unit, School of Public Health and Tropical Medicine, James Cook
University; 2000.
XX.
Fatmah. Respons Imunitas Yang Rendah Pada Tubuh Manusia Usia Lanjut. Makara
Kesehatan. 2006 Juni 2006; Vol. 10 No. 1: hal. 47-53.
XXI.
Harahap H. Masalah Gizi Mikro Utama dan TumbuhKembang Anak Di Indonesia.: Makalah
Pribadi Falsafah Sains (PPS 702). Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Per- tanian Bogor.;
2004.
XXII.
Husaini MA, Siagian UL, Suharno J. Ane- mia Gizi: Suatu Kompilasi Informasi da- lam
Menunjang Kebijaksanaan Nasional
dan Pengembangan Program. Direktorat Gizi dan Puslitbang Gizi, Depkes R.I; 2003.
26. WHO-NHD. Nutrition for Health and De- velopment : A global agenda for combat- ing
malnutrition. Geneva: World Health Organization; 2000.
27. Zerfas AJ, Jelliffe DB, Jelliffe PEF. Epide- miology and Nutrion in Human Growth. : A
comprehensive Treatise Edisi 2, Meth- odology Ecological, Genetics, and Nutri- tional Effects on
Growth. New York.: Ple- num Press. p. 475 1986.
28. Gibson RS. Anthropometric Assessment. Dalam: Principles of Nutritional. New York: Oxford
Univ.Press. Madison Av. p. 45-7; 1990.
29. Wirahjanto A, Soegijanto S. Epidemilogi Demam Berdarah Dengue, dalam Demam Berdarah
Dengue Edisi 2. Surabaya: Air- langga University Press. Hal 1-10.; 2006.
30. Kasjono H, Kristiawan H. Intisari Epide- miologi. Jakarta: Mitra Cendikia Press; 2008.
31. Sari CIN. Pengaruh Lingkungan Terhadap Perkembangan Penyakit Malaria Dan Demam Berdarah
Dengue. Bogor: IPB; 2005.
32. Koraka P, Suharti C, Setiati CE, Mairuhu AT, Van Gorp E, Hack CE, et al. Kinetics of Dengue
Virus-specific Immunoglobulin Classes and Subclasses Correlate with Clinical Outcome of Infection. J
Clin Mi- crobio. 2001;Vol. 39 4332-8.
33. Darwis D. Kegawatan Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Naskah lengkap, pelatihan bagi dokter
spesialis anak dan dokter spesialis penyakit dalam pada tata laksana kasus DBD. Jakarta: Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indone- sia; 1999.
34. Dewi BE, Takasaki T, Sudiro TM, Nelwan R, Kurane I. Elevated Levels of Solube Tumour
Necrosis Factor Receptor 1, Thrombomodulin and Solube Endothelial Cell adhesion Molecules in
Patients with Dengue Hemorrhagic Fever. Dengue Bul- letin. 2007;Vol 31:103-10.
-
Gibson RV. Dengue Conundrums. Interna- tional Journal of Antimicrobial Agents. 2010;Vol
36(26-39).
Sowandoyo E, editor. Demam Berdarah Dengue pada Orang Dewasa, Gejala Klinik dan
Penatalaksanaannya. Seminar Demam Berdarah Dengue di Indonesia 1998; RS Sumberwaras.
Jakarta.
Wang S, Patarapotikul HR. Antibody- Enhanced Binding of Dengue Vitus to Hu- man
Platelets. J Virology. 1995;Vol. 213:1254-7.
U.S.D.T. International Travel and Trans- portation Trends. Washington D. C.: Bu- reau of
Transportation Statistics of U.S. Department of Transportation; 2006.
Silva-Nunes MD, Souza V, Pannuti CS, Sperana MA, Terzian ACB, Nogueira ML. Risk
Factors for Dengue Virus Infec- tion in Rural Amazonia: Population-based Cross-sectional
Surveys. Am J Trop Med Hyg. 2008; Vol 79 (4): p. 48594.
Noor R. Nyamuk Aedes aegypti. 2009 [cited 24 Desember 2010]; Available from:
http://id.shvoong.com/medicine-and- health/epidemiology-public- health/2066459-nyamukaedes-aegypti.
45. WHO. Insect and Rodent Control Through Environmental Management. Geneva: World Health
Organization; 1992.
46. Depkes RI. Pencegahan dan Pemberanta- san Demam Berdarah dengue di Indonesia. Jakarta:
Depkes RI; 2005.
JTPUNIMUS-GDL-WIWIKDURRO
A.1. Definisi Demam Berdarah Dengue
Demam Dengue adalah penyakit febris virus akut yang seringkali disertai dengan
gejala sakit kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam dan lekopenia. Demam
Berdarah Dengue ditandai dengan manifestasi klinis utama yaitu demam tinggi,
fenomena hemoragik, sering dengan hepatomegali dan pada kasus berat ada tandatanda kegagalan sirkulasi. Pasien dapat mengalami syok hipovolemik (penurunan
cairan) akibat kebocoran plasma. Syok ini disebut Dengue Shock Syndrome (DSS)
dan dapat menjadi fatal yaitu kematian.
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
Dengue yang berat yang ditandai gejala panas yang mendadak, perdarahan dan
kebocoran plasma yang dapat dibuktikan dengan adanya penurunan jumlah trombosit,
peningkatan hematokrit, ditemukan efusi pleura disertai dengan penurunan kadar
albumin, protein dan natrium. Dengue Syok Syndrome (DSS) sebagai manifestasi
klinis Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan ditandai syok yang dapat mengancam
kehidupan penderita.
A.3. Patogenesis
Patogenesis Demam Berdarah Dengue sampai saat ini masih kontrovesial dan belum
dapat diketahui secara jelas. Terdapat dua teori yang dikemukakan dan paling sering
dianut adalah : Virulensi virus dan Imunopatologi yaitu Hipotesis Infeksi Sekunder
Heterolog (The Secondary Heterologous Infection). Teori lainnya adalah teori endotel,
endotoksin, mediator, dan apoptosis. Virulensi VirusVirus Dengue merupakan
keluarga flaviviridae dengan empat serotip (DEN 1, 2, 3, 4). Terdiri dari genom RNA
stranded yang dikelilingi oleh nukleokapsid. Virus Dengue memerlukan asam nukleat
untuk bereplikasi, sehingga mengganggu sintesis protein sel pejamu. Kapasitas virus
untuk mengakibatkan penyakit pada pejamu disebut virulensi. Virulensi virus
berperan melalui kemampuan virus untuk :
-
dengue. Endotoksinemia terjadi pada 75% Sindrom Syok Dengue dan 50% Demam
Berdarah Dengue tanpa syok.
- Teori Mediator Makrofag yang terinfeksi virus Dengue mengeluarkan sitokin yang disebut
monokin dan mediator lain yang memacu terjadinya peningkatan permeabilitas vaskuler dan
aktivasi koagulasi dan fibrinolisis sehingga terjadi kebocoran vaskuler dan perdarahan.
- Teori ApoptosisApoptosis adalah proses kematian sel secara fisiologis yang merupakan reaksi
terhadap beberapa stimuli. Akibat dari apoptosis adalah fragmentasi DNA inti sel,
vakuolisasi sitoplasma, peningkatan granulasi membran plasma menjadi DNA subseluler
yang berisi badan apoptotik.
- Teori EndotelVirus Dengue dapat menginfeksi sel endotel secara in vitro dan
menyebabkan pengeluaran sitokin dan kemokin. Sel endotel yang telah terinfeksi
virus
Dengue
menyebabkan
dapat
menyebabkan
peningkatan
aktivasi
permeabilitas
komplemen
vaskuler
dan
dan
selanjutnya
dilepaskannya
9,10
A.4. Patofisiologi
Patofisiologi primer pada Demam Berdarah Dengue (DBD) terjadi peningkatan akut
permeabilitas vaskuler yang mengarah pada kebocoran plasma ke dalam ruang ekstra
vaskuler, sehingga akan menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah.
Volume plasma menurun mencapai 20% pada kasus berat yang diikuti efusi pleura,
hemokonsentrasi dan hipoproteinemia. Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh,
cairan ekstravasasi diabsorbsi dengan cepat dan menimbulkan penurunan hematokrit.
Perubahan hemostasis pada Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Syok
Syndrome (DSS) yang akan melibatkan 3 faktor yaitu: (1) perubahan vaskuler; (2)
trombositopenia; dan (3) kelainan koagulasi.
Setelah virus Dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak didalam
sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7
hari. Respon imun humoral atau seluler muncul akibat dari infeksi virus ini. Antibodi
yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi Dengue primer
antibodi mulai terbentuk dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang ada telah
meningkat.
Antibodi terhadap virus Dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam pada
hari ke 5, meningkat pada minggu pertama sampai minggu ketiga dan menghilang
setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat pada demam hari ke14 sedangkan pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua.
Diagnosis dini pada infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi
antibodi IgM setelah hari kelima, sedangkan pada infeksi sekunder dapat ditegakkan
lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat.
11
11
Umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti dengan fase
kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi
mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapatkan pengobatan yang
adekuat.
12
14
Proses penyembuhan DBD dengan atau tanpa adanya syok berlangsung singkat dan
sering kali tidak dapat diramalkan, bahkan dalam kasus syok stadium lanjut, segera
setelah syok teratasi, pasien sembuh dalam waktu 2 3 hari. Timbulnya kembali
selera makan merupakan prognostik yang baik. Fase penyembuhan ditandai dengan
adanya sinus bradikaridia atau aritmia jantung serta petekie yang menyeluruh
sebagaimana biasanya terjadi pada kasus DD.
14
14
A.6. Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO (1997). Terdiri dari Kriteria
klinis dan Laboratorium sebagai berikut :
1) Kriteria Klinis
- Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7
hari.
- Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan uji tourniquet positif, petekie,
ekimosis, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan melena
- Pembesaran hati
- Shock ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi,
kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
2) Laboratorium
3
Trombositopenia (< 100.000/mm )
gelisah.
Derajat IV : Shock berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat
15
diukur.
A.7. Penatalaksanaan
Pengobatan Demam Berdarah Dengue (DBD) pada dasarnya bersifat suporatif, yaitu
untuk mengatasi kehilangan suatu cairan plasma sebagai akibat dari peningkatan
permeabilitas kapiler dan perdarahan. Umumnya penderita demam berdarah
dianjurkan untuk dirawat dirumah sakit di ruang perawatan biasa, akan tetapi pada
kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan komplikasi diperlukan perawatan
yang intensif. Untuk dapat melakukan perawatan Demam Berdarah Dengue (DBD)
dengan baik perlu dokter dan perawat yang terampil serta laboratorium yang
memadai, cairan kristaloid dan koloid serta bang darah yang siap bila diperlukan.
Untuk mengurangi angka kematian perlu dilakukan diagnosis dini dan edukasi untuk
dirawat bila terdapat tanda syok. Kunci keberhasilan penanganan penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) terletak pada keterampilan dokter dalam mengatasi
peralihan fase, dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan
baik.
11
peningkatan kadar Ht,segera rawat. Beri nasehat kepada orang tua : anak dianjurkan
minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah, dan lain lain, serta
diberikan obat antipiretik golongan parasetamol (kontraindikasi golongan salisilat).
Bila klinis menunjukkan tandatanda syok seperti anak menjadi gelisah, ujung
kaki/tangan dingin, muntah, lemah, dianjurkan segera dibawa berobat ke dokter atau
ke puskesmas, dan rumah sakit.
Kriteria memulangkan pasien
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa pemberian
antipiretik, nafsu makan membaik, tampak terdapat perbaikan secara klinis, Ht stabil,
tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit >50.000/ul dan cenderung meningkat,
serta tidak dijumpai distress pernafasan yang biasanya disebabkan oleh efusi pleura
atau asidosis.
10
K1000060097
1. Definisi
a. Demam berdarah dengueDemam berdarah dengue adalah demam yang berlangsung
akut baik menyerang orang dewasa maupun anak-anak, tetapi lebih banyak
menimbulkan korban pada anak-anak berusia di bawah 15 tahun, disertai dengan
pendarahan dan dapat menimbulkan renjatan (syok) yang dapat mengakibatkan
kematian penderita. Penyebabnya adalah virus dengue dan penularannya terjadi
melalui gigitan nyamuk Aedes aegepti (Soedarto, 1995) dengan manifestasi klinis
demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang
ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di
rongga tubuh (Anonim, 2006).
2. Etiologi
Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus
Flavivirus, keluarga Flaviviradae. Flavirus merupakan virus dengan diameter 30nm
terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Terdapat 4
serotip virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat
menyebabkan demam berdarah dengue. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue
dengan flavirus lain (Anonim, 2007).
3. Patogenesis
Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes aegepti dan Aedes albopicnus sebagai
vektor ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Virus akan bereplikasi di
nodus limfatikus regional dan menyebar ke jaringan lain, terutama ke sistem
retikuloendotelial dan kulit secara bronkogen maupun hematogen. Tubuh akan
membentuk kompleks virus antibody dalam sirkulasi darah sehingga akan
mengaktivasi sistem komplemen yang berakibat dilepaskannya anafilatoksin C3a dan
C5a permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat (Anonim, 1999).
4. Klasifikasi
Mengingat derajat beratnya penyakit Demam Berdarah Dengue bervariasi dan sangat
erat kaitanya dengan pengelolaan dan prognosis.
5. Diagnosis
Masa inkubasi dengue pada manusia sekitar 4-5 hari. Gejala dan keluhan awal dengue
yang tidak spesifik berlangsung sekitar 1-5 hari, berupa demam ringan, sakit kepala,
lemah, letih dan lesu. Demam yang terjadi berlangsung secara mendadak untuk
kemudian dalam waktu 2-7 hari menurun menuju suhu normal. Bersamaan dengan
berlangsungnya demam, gejala klinis yang tidak spesifik misalnya anoreksia, nyeri
punggung, nyeri tulang dan sendi, rasa lemah dan nyeri kepala dapat menyertainya.
Penderita demam berdarah dengue biasanya mengalami pendarahan pada hari kedua
dari demam, yang terutama terjadi di tempat vena pungsi (Soedarmo, 2007).
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah
ini dipenuhi :
- Demam atau riwayat demam, 2-7 hari dan biasanya bifasik.
- Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/l).
- Terdapat minimal satu dari manifestasi dari pendarahan sebagai berikut : Uji
<7
220
7 11
165
12 18
132
>18
88
100 per Kg BB
10 20
>20
2. Antipiretika
Antipiretika yang diberikan ialah parasetamol, tidak disarankan diberikan golongan
salisilat karena dapat menyebabkan bertambahnya pendarahan (Rampengan, 2007).
Dosis parasetamol dapat dikelompokkan menurut umur tiap kali pemberian yang
ditampilkan pada tabel 4 berikut ini :
3.Antikonvulsan
- Apabila timbul kejang kejang diatasi dengan pemberian antikonvulsan.
-
Diazepam: diberikan dengan dosis 0,5 mg/KgBB/kali secara intravena dan dapat
diulang apabila diperlukan.
Phenobarbital: diberikan dengan dosis, pada anak berumur lebih dari satu tahun
diberikan luminal 75 mg dan dibawah satu tahun 50 mg secara intramuscular. Bila
dalam waktu 15 menit kejang tidak berhenti dapat diulangi dengan dosis 3mg/Kg BB
secara intramuskular (Anonim, 1985).
4. Pengamatan PenderitaPengamatan penderita dilakukan terhadap tandatanda dini
syok. Pengamatan ini meliputi: keadaan umum, denyut nadi, tekanan darah, suhu,
pernafasan, dan monitoring Hb, Hct dan trombosit (Anonim, 1985).
Umur (tahun)
Dosis (mg)
Tablet (500mg)
<1
60
1/8
1-3
60-125
1/8-1/4
4-6
125-250
1/4-1/2
6-12
250-500
1/2-1
hipo-
proteinemia,
hemokonsentrasi
dan
hipovolemia,
yang
tubuh lebih dari 2oC menunjukkan mekanisme homeostasis masih utuh. Pada tahap
SSD kompensasi curah jantung dan tekanan darah normal kembali. 5,14 Penurunan
tekanan darah merupakan manifestasi lambat pada SSD, yang berarti sistem
homeostasis terganggu, kelainan hemodinamik berat, dan telah terjadi dekompensasi.
Mula-mula tekanan nadi turun kurang dari 20mmHg misalnya 100/90, oleh karena
tekanan sistolik turun sesuai dengan penurunan venous return dan volume sekuncup,
sedangkan tekanan diastolik meninggi sesuai dengan peningkatan tonus vaskular.5,14
Sindrom syok dengue berlanjut dengan kegagalan mekanisme homeostasis.
Efektivitas dan integritas sistem kardiovaskular rusak, perfusi miokard dan curah
jantung menurun, sirkulasi makro dan mikro terganggu, terjadi iskemia jaringan,
kerusakan fungsi sel secara progresif dan ireversibel, sehingga terjadi kerusakan sel
dan organ dan pasien akan meninggal dalam 12-24 jam.5,14
Prognosis kegawatan DBD tergantung pada pengenalan, pengobatan tepat, segera dan
pemantauan syok secara ketat. Sekali SSD teratasi walaupun berat, penyembuhan
akan terjadi dalam 2-3 hari. Tanda prognosis baik adalah membaiknya takikardia,
takipneu dan kesadaran, diuresis cukup dan nafsu makan timbul. Lama perjalanan
DBD berat adalah 7- 10 hari. Pada masa konvalesen DBD biasanya terdapat
bradikardia atau aritmia.14
Tata laksana Kegawatan Demam Berdarah Dengue
Transisi SSD terkompensasi ke ireversibel berlangsung cepat sekali, karena itu
intervensi agresif untuk penyelamatan hidup perlu dilakukan segera. Intervensi
dilakukan sebelum terjadi anuria, hipotensi, asidosis dan koma, yaitu saat terdapat
tanda hipovolemia, hipoperfusi dan takikardia.5,14 Tata laksana kegawatan DBD
berorientasi pada pendekatan patofisiologi multisistem terpadu yang diarahkan pada
pemenuhan kebutuhan oksigen dan nutrien, melalui optimalisasi curah jantung dan
perfusi jantung, otak dan ginjal sehingga fungsi homeostasis kembali normal, nutrisi
dapat diberikan dan kesembuhan dapat diharapkan.
Urutan tata laksana kegawatan DBD
- Penimbangan berat badan. Berat badan perlu ditimbang saat pasien datang sebagai
dasar perhitungan pengobatan dan untuk menilai perjalanan penyakit. Pada tahap
awal, pe- nimbangan berat badan dilakukan 23 kali sehari (dengan timbangan
gantung), selanjutnya paling kurang satu kali sehari. Perkiraan berat badan dapat
dihitung berdasarkan rumus: BB (kg) = 2 x umur (tahun) + 4.15
- Pemberian tunjangan hidup dasar. Obat pertama yang harus diberikan pada
kegawatan DBD adalah oksigen. Hipoksemia harus dicegah dan dikoreksi. Dimulai
dengan resusitasi jantung paru yang memastikan jalan napas terbuka dan
pernafasan adekuat. Saturasi oksigen dipertahankan antara 95100% dan kadar
hemoglobin cukup.
- Pemasangan akses vena. Buat akses vena dan ambil contoh darah untuk analisis gas
darah, kadar hemoglobin, hemotokrit, jumlah trombosit, golongan darah dan
crossmatch, ureum, kreatinin, elektrolit Na, K, Cl, Ca, Mg, P dan asam laktat.
- Pemasangan kateter urin.Pasang kateter urin dan lakukan penampungan urin,
pemeriksaan urinalisis, dan pengukuran berat jenis urin. Jumlah diuresis dihitung
setiap jam (normal: 2-3 ml/kgbb/jam). Bila diuresis kurang dari 1 ml/kgbb/jam
berarti terdapat hipoperfusi ginjal. Oliguria lebih dahulu muncul dari pada
penurunan tekanan darah dan takikardia.
- Pemasangan pipa oro / nasogastrik.Pemasangan pipa oro / nasogastrik pada anak
sakit gawat berguna untuk dekompresi, memantau perdarahan saluran cerna (stres
gastritis) dan melakukan bilasan lambung dengan garam fisiologik.11-13 Stres
Gastritis biasanya memberi respons baik terhadap pembilasan lambung dan koreksi
hemodinamik.16
- Resusitasi cairan. Resusitasi cairan adalah pemberian bolus cairan resusitasi secara
cepat melalui akses intravaskular atau intraoseal pada keadaan hipovolemia.
Tujuan resusitasi cairan adalah menyelamatkan otak dari gangguan hipoksikiskemik, melalui peningkatan preload dan curah jantung, mengembalikan volume
sirkulasi efektif, mengembalikan oxygen-carrying capacity dan mengoreksi
mempertahankan tekanan onkotik, namun selain lebih mahal, dapat menye- babkan
reaksi sensitivitas dan komplikasi lain. Contoh cairan koloid adalah albumin 5%,
hetastarch, dextran 40% dan gelatin.5,14-15
Darah,
fresh
frozen-plasma
dan
komponen
darah
lain
diberikan
untuk
sementara.15 Infus obat resusitasi disiapkan dengan dekstrosa 5%, garam fisiologik
atau ringer laktat menurut rule of six yaitu 6 mg obat x BB (kg) dilarutkan dalam 100
mL, diberikan dengan kecepatan 1 mL/jam = 1.0 g/kgbb/menit.15
Epinefrin
Bolus epinefrin diberikan pada henti jantung, bradikadia dan hipotensi yang nonresponsif terhadap resusitasi jantung paru dan resusitasi cairan. Dosis bolus epinefrin
IV dan IO inisial adalah 0.01 mg/kgbb (0.1 ml/kgbb epinefrin 1:10.000). Bila perlu
dosis IV dan IO dinaikkan menjadi 0.1-0.2 mg/kgbb (0.1-0.2 ml epinefrin 1:1000),
yang diulang tiap 3-5 menit. Dosis epinefrin endotrakeal adalah 0.1 mg/kgbb (0.1mL/
kgbb epinefrin 1:1000).lah 0.01 mg/kg (0.1 mL/kgbb cairan 1:10.000) yang bila perlu
dinaikkan menjadi 0.1-0.2 mg/kgbb (0.1-0.2 mL/kgbb cairan 1:1000). Infus epinefrin
diberikan bila masih terdapat hipotensi, bradikardia dan perfusi sistemik buruk. Dosis
infus epinefrin adalah 0.1-1.0 mg/kgbb/menit
Epinefrin atau adrenalin adalah katekolamin endogen dengan efek a dan b adrenergik
yang bekerja langsung pada reseptor adrenergik tanpa melalui pelepasan norepinefrin,
karena itu dapat diberikan kepada bayi dan anak walaupun cadangan norepinefrin
miokard terbatas. Efek b-adrenergik epinefrin yang muncul pada dosis rendah (<0.3
g/kgbb/menit) adalah peningkatan kontraktilitas miokard, laju denyut jantung,
tekanan sistolik dan nadi, relaksasi otot polos vascular bed otot rangka dan bronkus.
Efek a-adrenergik epinefrin yang muncul pada dosis tinggi (>0.3 g/ kgbb/menit)
adalah vasokonstriksi splanknik, renal, mukosa usus dan kulit yang mengalihkan
aliran darah ke otak dan jantung, meningkatkan resistensi vaskular sistemik, tekanan
darah sistolik dan diastolik, meningkatkan perfusi koroner dan pelepasan oksigen di
jantung. Masa paruh epinefrin sekitar 2 menit, karena itu kecepatan infus epinefrin
disesuaikan setiap 5 menit dengan memperhatikan laju denyut jantung, tekanan darah
dan perfusi. Untuk mencegah eks- travasasi, infus epinefrin diberikan melalui kateter
vena atau kateter vena sentralis. Asidosis yang menekan katekolamin perlu dikoreksi
dengan pemberian oksigen, hiperventilasi dan perbaikan perfusi sistemik. Epinefrin
tidak aktif pada cairan alkali karena itu tidak dicampurkan pada cairan bikarbonat atau
alkali lain Epinefrin tersedia dalam vial 1 mg/mL. Larutan epinefrin 1:10.000
disiapkan untuk IV dan IO dosis rendah, larutan epinefrin 1:1000 disiapkan untuk IV
dan IO dosis tinggi dan endotrakeal, masing-masing larutan perlu diberi label supaya
tidak terjadi kesalahan. Infus epinefrin disiapkan menurut rule of six. (0.6 mg
epinefrin x BB kg) dalam 100 mL bila diinfuskan dengan kecepatan 1mL/jam akan
memberikan epinefrin 0.1 g/kg/menit.
Sodium bikarbonat
Sodium bikarbonat hanya diberikan pada henti jantung lama dan keadaan
hemodinamik tidak stabil yang menyebabkan asidosis berat dan hiperkalemia. Bila
dengan resusitasi jantung paru, pijat jantung dan pemberian bolus epinefrin masih
terdapat henti jantung, di berikan bolus sodium bikarbonat 1 mEq/kgbb IV/
IO (tidak endotrakeal). Sesudah sirkulasi spontan terjadi, dosis sodiumbikarbonat
selanjutnya didasarkan pada pemeriksaan pH dan PaCO2. Bila pemeriksaan analisis
gas darah tidak dapat dilakukan diberikan sodium bikarbonat 0.5 mEq/kgbb tiap 10
menit secara infus pelan selama 1-2 menit. Pemberian bikarbonat akan
menimbulkanreaksi H++HCO-HCOHO + CO2 di dalam darah sehingga pH
plasma meningkat. Larutan sodium bikarbonat 8.4% (1 mEq/L) sangat hiperosmolar
(2000
mOsm/L)
dibandingkan
plasma
280
mOsm/L,
dapat
menyebabkan
hiperosmolaritas, dan hipernatremia. Pipa IV dan IO harus dibilas dulu dengan garam
fisiologik sebelum dan sesudah dipakai untuk memberikan sodium bikarbonat.
Sodium bikarbonat menyebabkan katekolamin tidak aktif dan pengendapan garam
kalsium. Sodium bikarbonat tidak diberikan melalui endotrakeal Ekstravasasi sodium
bikarbonat menyebabkan sklerosis vena dan nekrosis jaringan.
Atropin
Curah jantung pada anak adalah rate dependent, karena itu bardikardia simptomatik
(<60 kali/menit) akibat perfusi buruk, hipotensi dan hipoksemia harus diobati dengan
resusitasi jantung paru, pemberian epinefrin atau atropin. Atropin adalah obat
parasimpatolitik yang mempercepat sinus atau pacemaker atrial dan konduksi
atrioventrikular. Atropin digunakan juga untuk mencegah bradikardia karena refleks
vagal pada tindakan intubasi endotrakeal.
Dosis atropin harus cukup untuk menimbulkan efek vagolitik dan mencegah
bradikardi paradoks. Dosis atropin 0.02 mg/kgbb dengan dosis minimal 0.1 mg, Dosis
atropin tunggal maksimal adalah 0.5 - 1 mg/kali yang dapat diulang tiap 5 menit
dengan dosis total maksimal 1 mg untuk anak dan 2 mg untuk remaja. Atropin dapat
diberikan melalui IV/IO dan endotrakeal. Atropin tersedia dalam kemasan 0.4 mg/mL.
Glukosa
Glukosa hanya diberikan bila terdapat hipoglikemia dan pasien tidak memberikan
respons terhadap tindakan resusitasi standar. Cadangan glikogen bayi dan anak sakit
gawat terbatas dan cepat habis. Gejala hipoglikemia serupa dengan gejala hipoksemia
yaitu perfusi buruk, takikardia, hipotermia, letargi dan hipotensi, karena hipoglikemia
menekan fungsi miokard. Glukosa diberikan dengan dosis 0.5-1.0 g/ kg secara IV atau
IO. Bolus D10W 5-10 ml/kgbb atau D5W atau D5 NaCl 0.9% atau RL 10-20
mL/kgbb dapat diberikan dalam 20 menit untuk mengobati hipoglikemia, walaupun
cairan resusitasi mengandung glukosa tidak rutin digunakan. Konsentrasi mak- simum
D25W hanya diberikan secara IV.
Kalsium klorida
Kalsium
diberikan
untuk
mengobati
hipokalsemia,
hiperkalemia
dan
BB(kg) mg dopamin dalam cairan 100 ml. Apabila diinfuskan dengan kecepatan
1ml/jam akan mem- berikan dopamin 1 mg/kgbb/menit. Masa paruh dopamin pendek
karena itu diberikan secara infus kontinu dengan bantuan pompa infus. Infus dopamin
harus diberikan melalui kateter vena yang besar atau kateter vena sentraliis.
Ekstravasasi dopamin dapat menyebabkan iskemia dan nekrosis jaringan lokal.
Dopamin dan katekolamin lain tidak diberikan bersamaan dengan sodium bikarbonat
karena di nonaktifkan. Infus dopamin dimulai dengan 10mL/ jam atau
10mg/kgbb/menit yang selanjutnya disesuaikan dengan penilaian diuresis, perfusi
sistemik, dan tekanan darah. Pada dosis rendah (25mg/kgbb/ menit), efek langsung
dopamin pada reseptor b- adrenergik jantung sedikit, namun pada vascular bed
dopamin merangsang reseptor dopaminergik dengan efek vasodilatasi yang
meningkatkan aliran darah renal, splangnik, koroner dan serebral. Pada dosis tinggi
(>5mg/kgbb/menit) dopamin memberi efek langsung dan tidak langsung melalui
pelepasan norepinefrin saraf simpatis jantung pada reseptor -adrenergik jantung dan
efek vasokonstriksi -adrenergik. Efek inotropik dopamin pada anak terbatas sesuai
dengan inervasi simpatis miokard ventrikel yang belum sempurna. Infus dopamin 510 mg/kgbb/menit meningkatkan kontraktilias jantung tanpa efek pada tekanan darah
dan denyut jantung. Infus dopamin 10-20 mgbb/kg/ menit terjadi vasokonstriksi dan
peningkatan tekanan darah namun timbul masalah takikardia. Infus dopamin
>20mg/kgbb/menit menyebabkan vaso- konstriksi perifer hebat dan iskemia tanpa
tambahan efek inotropik. Karena itu bila diperlukan efek inotropik, dopamin
>20mg/kgbb/menit
diberikan
secara
infus
untuk
memperoleh
efek
dan
epinefrin pada syok septik dan hipotensi karena memperburuk vasodilatasi sistemik
yang sudah terjadi. Karena masa paruhnya rendah dobutamin diberikan secara infus
kontinu melalui kateter vena dengan bantuan pompa infus. Dobutamin tersedia dalam
vial 25 mg dan 12.5 mg/mL. Infus dobutamin disiapkan menurut rule of six.
Ekstravasasi dobutamin dapat menyebabkan iskemia jaringan dan nekrosis lokal.
Dobutamin non aktif dalam cairan alkali. Infus dopamin dimulai dengan dosis 5-10
mg/kgbb/menit (5-10 mL/jam). Kecepatan infus dobutamin disesuaikan dengan
tekanan darah dan perfusi pasien. Biasanya tidak diperlukan dosis dobutamin yang
lebih besar daripada 20 mg/kgbb/menit.
Daftar Pustaka
1. Blumer JL. The critically ill child and the pediatric in- tensive care unit. Dalam: Blumer JL,
penyunting. A prac- tical guide to pediatric intensive care. Edisi ke-3. St. Louis: Mosby 1990. h. 3-5.
2. Zimmerman JJ. The pediatric critical care patient. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting.
Pe- diatric critical care. Edisi ke-2. St Louis: Mosby 1998. h. 1-5.
3. McConnell MS, Perkin RM. Shock sates. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting. Pediatric
criti- cal care. Edisi ke-2. St Louis: Mosby 1998. h. 293-306.
4. Zimmerman JJ. Sepsis/septic shock. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting. Pediatric
critical care. Edisi ke-2. St Louis: Mosby 1998. h. 1088-100.
5. Tobin JR, Wetzel RC. Shock and multiple-organ system failure. Dalam: Rogers Mc, penyunting.
Textbook of Pediatric Intensive Care. Edisi ke-3. Baltimore: Williams & Wilkins,