Anda di halaman 1dari 73

BAB 2DEMAM BERDARAH DENGUE chapter II 90

2.1 Definisi
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic
fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia,
ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock
syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok
(Suhendro, Nainggolan, Chen, 2006).
2.2. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus
dengan diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat
6
molekul 4 x 10 .
Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue keempat
serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak.
Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow
fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus (Suhendro, Nainggolan, Chen).
2.3. Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah
tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989
hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per
100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun
hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama

A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan


sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu
bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air
lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue
yaitu :
-

1) Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor


di lingkungan, transportasi vektor dilingkungan, transportasi vektor dari satu
tempat ke tempat lain;

2) Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan


paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin;

3) Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk (WHO,


2000).

2.4. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa .Mekanisme
imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom
renjatan dengue. Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD
adalah :
-

a) Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berparan dalam proses


netralisasi virus, sitolisis yang dimeasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi
antibody. Antibody terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi
virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent
enhancement (ADE);

b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon
imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi
IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10;

c) Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi


antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan
sekresi sitokin oleh makrofag;
d)

Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan


terbentuknya C3a dan C5a.

Secondary heterologous infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang
terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda. Reinfeksi menyebabkan
reaksi anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang
tinggi. Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis
kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag.
Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T
sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma
akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti
TNF-, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL- 6 dan histamine yang
mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma.
Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang
juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme :
1) Supresi sumsum tulang,

2) Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.


Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan
hiposeluler dan supresi megakariosit. Terjadi peningkatan proses hematopoiesis
termasuk megakariopoiesis. Kadar tromobopoietin dalam darah pada saat terjadi
trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya
stimulasi tromobositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen
C3g, terdapatnya antibody VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan
sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme
gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromoboglobulin dan PF4 yang
merupakan petanda degranulasi tromobosit. Koagulopati terjadi sebagai akibat
interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel.

Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada demam


berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue
terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga
berperan melalui aktivasi factor Xia namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein
C1-inhibitor complex) (Price, Wilson, 2006).
2.5. Manifestasi klinis dan perjalanan penyakit
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa
demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok
dengue (SSD).
Pada umumnya pasien mengalami fase demam 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis
selam 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi
mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan tidak
adekuat (Kabra, Jain, Singhal, 1999).
2.6. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam
dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit
dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran
limfosit plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun
deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve Transcriptase
Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes
serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody
total, IgM maupun IgG.
Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain :
II.

Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma
biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan

meningkat.
III.

Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.

IV.

Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan


hematokrit 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3
demam.

V.Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP


pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan
darah.
VI.

Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.

VII.

SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.

VIII.

Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.

Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.

Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan diberikan
transfusi darah atau komponen darah.

Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM:
terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang
setelah 60-90 hari.IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.

Uji III: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari
perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.

2.6.2. Pemeriksaan radiologis


Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila
terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks.
Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien

tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi
dengan pemeriksaan USG. (WHO, 2006)
2.7. Diagnosis
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala
prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan
lelah.
2.7.1. Demam Dengue (DD).
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih
manifestasi klinis sebagai berikut:

Nyeri kepala.

Nyeri retro-oebital.

Mialgia / artralgia.
-

Ruam kulit.

Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bending positif).

Leukopenia. dan pemeriksaan serologi dengue positif, atau ditemukan pasien

DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.
2.7.2. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini di
bawah ini dipenuhi :
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik. Terdapat minimal
satu dari manifestasi perdarahan berikut : Uji bendung positif.Petekie, ekimosis, atau
purpura.Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau

perdarahan dari tempat lain.Hematemesis atau melena.


Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul).Terdapat minimal satu tanda-tanda
plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut : Peningkatan hematokrit >20%
dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin.Penurunan hematokrit
>20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit
sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia. Dari
keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada
DBD ditemukan adanya kebocoran plasma. (WHO, 1997)
2.8. Diagnosis Banding
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan
demam tiroid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis.
Sindrom Syok Dengue (SSD).
Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi
nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun ( 20 mmHg), hipotensi
dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah. (Suhendro,
Nainggolan L, Chen K, Pohan, 2006)
2.9. Derajat penyakit infeksi virus dengue
Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu diketahui
klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada tabel 1.

PIT 1 DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA DBD


BATASAN DAN URAIAN UMUM
DemamDengue merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus genus
Flavivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2,
DEN-3, DEN-4, dan ditularkan melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes
albopictus. Dari 4 serotipe dengue yang terdapat di Indonesia, DEN-3 merupakan
serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat, diikuti dengan

serotipe DEN-2. World Health Organization - South-East Asia Regional Office


(WHO-SEARO) melaporkan bahwa pada tahun 2009 terdapat 156052 kasus dengue
dengan 1396 jumlah kasus kematian di Indonesia dan case-fatality rates (CFR)0.79%.
Spektrum klinis infeksi dengue. Gambar 1. Skema kriteria diagnosis infeksi dengue
menurut WHO 2011 Sumber:World Health Organization-South East Asia Regional
Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011dengan modifikasi.
Manifestasi klinis menurut kriteria diagnosis WHO 2011, infeksi dengue dapat terjadi
asimtomatik

dan

simtomatik.

Infeksi

dengue

simtomatik

terbagi

menjadi

undifferentiated fever (sindrom infeksi virus) dan demam dengue (DD) sebagai
infeksi dengue ringan; sedangkan infeksi dengue berat terdiri dari demam berdarah
dengue (DBD) dan expanded dengue syndrome atau isolated organopathy.
Perembesan plasma sebagai akibat plasma leakage merupakan tanda patognomonik
DBD, sedangkan kelainan organ lain serta manifestasi yang tidak lazim
dikelompokkan ke dalam expanded dengue syndrome atau isolated organopathy.
Secara klinis, DD dapat disertai dengan perdarahan atau tidak; sedangkan DBD dapat
disertai syok atau tidak (Gambar 1).

Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue


Dalam perjalanan penyakit infeksi dengue, terdapat tiga fase perjalanan infeksi
dengue, yaitu :

Fase demam: viremia menyebabkan demam tinggi

Fase kritis/ perembesan plasma: onset mendadak adanya perembesan plasma


dengan derajat bervariasi pada efusi pleura dan asites

Fase recovery/ penyembuhan/ convalescence: perembesan plasma mendadak


berhenti disertai reabsorpsi cairan dan ekstravasasi plasma.

Gambar 2. Perjalanan penyakit infeksi dengue Sumber: Center for Disease Control
and Prevention. Clinicians case management. Dengue Clinical Guidance. Updated
2010.
Gambaran klinis
a. Undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)
Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dengan
penyebab virus lain. Demam disertai kemerahan berupa makulopapular, timbul saat
demam reda. Gejala dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering dijumpai.
b. Demam dengue (DD)
Anamnesis: demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot & sendi/tulang,
nyeri retro- orbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial flushed, lesu, tidak mau
makan, konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan depresi umum.
Pemeriksaan fisik
-

Demam: 39-40C, berakhir 5-7 hari

Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka, leher dan dada

Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/rubeolliform


Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada

IX.

kaki bagian dorsal, lengan atas, dan tangan

Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah

X.

yang pucat pada kulit yg normal, dapat disertai rasa gatal

Manifestasi perdarahan

XI.

o Uji bendung positif dan/atau petekieo Mimisan hebat, menstruasi yang lebih
banyak, perdarahan saluran cerna (jarang terjadi, dapat terjadi pada DD dengan
trombositopenia)
c. Demam berdarah dengue
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam, kritis, dan masa
penyembuhan (convalescence, recovery).
Fase demam
-

AnamnesisDemam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40C, serta terjadi kejang
demam. Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi,
nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan,

dan nyeri perut.


-

Pemeriksaan fisik

o Manifestasi perdarahan
Uji bendung positif (10 petekie/inch2) merupakan manifestasi perdarahan yang
paling banyak pada fase demam awal.

Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena.

Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.

Epistaksis, perdarahan gusi

Perdarahansalurancerna

Hematuria (jarang)
Menorrhagia
Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan fungsi hati
(transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.
Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal, perembesan
plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal), hipovolemia, dan
syok, karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Perembesan plasma yang
mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal
terjadi selama 24-48 jam.
Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa transisi dari
saat demam ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence) ditandai
dengan, peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar.
-

Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada dinding
kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus = RLD) dan

ultrasonografi dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut.


-

Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g% yang merupakan
bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma

Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis, nafas
cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi 20 mmHg,
dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary refill time memanjang
(>3 detik). Diuresis menurun (< 1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria.

Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit,


kegagalan multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok tidak dapat segera diatasi.
Fase penyembuhan (convalescence, recovery) Fase penyembuhan ditandai dengan
diuresis membaik dan nafsu makan kembali merupakan indikasi untuk menghentikan
cairan pengganti. Gejala umum dapat ditemukan sinus bradikardia/ aritmia dan
karakteristik confluent petechial rash seperti pada DD. d. Expanded dengue syndrome
Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ seperti hati, ginjal, otak,dan
jantung. Kelainan organ tersebut berkaitan dengan infeksi penyerta, komorbiditas, atau
komplikasi dari syok yang berkepanjangan. Diagnosis Diagnosis DBD/DSS ditegakkan
berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium (WHO, 2011).
Kriteria klinis

Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama
2-7 hari

Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, purpura, ekimosis,


epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan/melena

Pembesaran hati

Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (20 mmHg),
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
Kriteria laboratorium
- Trombositopenia (100.000/mikroliter)

- Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20% dari nilai dasar /


menurut standar umur dan jenis kelamin Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan,
- Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi/
peningkatan hematokrit20%.
- Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma
- Dijumpai tanda perembesan plasma
- Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)
- Hipoalbuminemia P
erhatian
- Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang jelas,
mendukung diagnosis DSS.
- Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok sepsis.
Diagnosis infeksi dengue:Gejala klinis + trombositopenia + hemokonsentrasi,
dikonfirmasi dengan deteksi antigen virus dengue (NS-1) atau dan uji serologi anti
dengue positif(IgM anti dengue atau IgM/IgG anti dengue positif).
Komplikasi
Demam Dengue
Perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptik, trombositopenia hebat, dan
trauma.
Demam Berdarah Dengue
1.

Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.

2.

Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal ginjal


akut.

3. Edema paru dan/ atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading
pemberian cairan pada masa perembesan plasma

4. Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik & perdarahan


hebat (DIC, kegagalan organ multipel)
5. Hipoglikemia / hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia akibat syok
berkepanjangan dan terapi cairan yang tidak sesuai.
Diagnosis banding

Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DBD dari demam dengue dan
penyakit virus lain yang ditemukan di daerah tropis. Maka untuk membedakan dengan
campak, rubela, demam chikungunya, leptospirosis, malaria, demam tifoid, perlu
ditanyakan gejala penyerta lainnya yang terjadi bersama demam. Pemeriksaan
laboratorium diperlukan sesuai indikasi.

Penyakit darah seperti trombositopenia purpura idiopatik (ITP), leukemia, atau


anemia aplastik, dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap
disertai pemeriksaan pungsi sumsum tulang apabila diperlukan.

Penyakit infeksi lain seperti sepsis, atau meningitis, perlu difikirkan apabila anak
mengalami demam disertai syok. Pemeriksaan penunjang.

Laboratorium
- Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis, hematokrit, dan
trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah demam dan akan
menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke-5-6. Deteksi antigen virus ini
dapat digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya infeksi dengue, namun
tidak dapat membedakan penyakit DD/DBD.
- Uji serologi IgM dan IgG anti dengue
- Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5 sakit, mencapai
puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan menurun/ menghilang pada akhir
minggu keempat sakit.
- Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit ke-14.
dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada infeksi sekunder

IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke-2.


- Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari infeksi sekunder.
Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan infeksi primer namun apabila IgM:IgG
rasio <1,2 menunjukkan infeksi sekunder.
Tabel 2. Interpretasi uji serologi IgM dan IgG pada infeksi dengue

Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas indikasi:
- Distres pernafasan/ sesak
- Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan
radiologis terjadi apabilapada perembesan plasma telah mencapai 20%-40%
- Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk menilai edema paru
karena overload pemberian cairan.
- Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah
hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak dibandingkan yang kiri, kubah
diafragma kanan lebih tinggi daripada kanan, dan efusi pleura.
- Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan dinding vesika felea,
dan dinding buli-buli.
Tanda kegawatan
Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit infeksi
dengue, seperti berikiut :
-

Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa transisi
ke fase bebas demam / sejalan dengan proses penyakit

Muntah yg menetap, tidak mau minum

Nyeri perut hebat

Letargi dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku mendadak

Perdarahan: epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi yang


hebat, warna urin gelap (hemoglobinuria)/hematuria.

- Giddiness (pusing/perasaan ingin terjatuh)


- Pucat, tangan - kaki dingin dan lembab
- Diuresis kurang/tidak ada dalam 4-6 jam Monitor perjalanan penyakit DD/DBD
Parameter yang harus dimonitor mencakup :Keadaan umum, nafsu makan, muntah,
perdarahan, dan tanda dan gejala lain
- Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda syok, serta
mudah dan cepat utk dilakukan tanda vital: suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah,
diperiksa minimal setiap 2-4 jam pada pasien non syok & 1-2 jam pada pasien syok.

Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan lebih sering pada
pasien tidak stabil/ tersangka perdarahan.

Diuresis setiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan setiap jam pada pasien dengan
syok berkepanjangan / cairan yg berlebihan.

Jumlah urin harus 1 ml/kg berat badan/jam ( berdasarkan berat badan ideal) Indikasi
pemberian cairan intravena

Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral ataumuntah

Hematokrit meningkat 10%-20% meskipun dengan rehidrasi oral

Ancaman syok atau dalam keadaan syok Prinsip umum terapi cairan pada DBD
I.
II.

Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa kritis.


Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma
hebat, dan tidak ada respon pada minimal volume cairan kristaloid yang
diberikan.

III.

Volume cairan rumatan + dehidrasi 5% harus diberikan untuk menjaga volume


dan cairan intravaskular yang adekuat.

IV.

Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan untuk
menghitung volume cairan.

Sumber:World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive


Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever.
India: WHO; 2011dengan modifikasi.
-

Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan keadaan klinis.

Transfusi suspensi trombosit pada trombositopenia untuk profilaksis


tidak dianjurkan

Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok saat tidak ada
perbaikan klinis walaupun penggantian volume sudah cukup, maka perhatikan ABCS
yang terdiri dari, A Acidosis: gas darah, B Bleeding: hematokrit, C Calsium:
elektrolit, Ca++ dan S Sugar: gula darah (dekstrostik) Tata laksana infeksi dengue
berdasarkan fase perjalanan penyakit Fase Demam Pada fase demam, dapat diberikan
antipiretik + cairan rumatan / atau cairan oral apabila anak masih mau minum,
pemantauan dilakukan setiap 12-24 jam.

Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin.o


Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antacid anti
emetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.o Kortikosteroid
diberikan pada DBD ensefalopati apabila terdapat perdarahan saluran cerna
kortikosteroid tidak diberikan. o Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.
- Supportif : cairan peroral + cairan intravena rumatan per hari + 5% defisito Diberikan
untuk 48 jam atau lebiho Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan kecepatan
kehilangan plasma, sesuai keadaan klinis, tanda vital, diuresis, dan hematokrit.
Gambar 4. Tata laksana DBD dengan syok (DSS)
Sumber:World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive
Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever.
India: WHO; 2011dengan modifikasi.

DBD dengan syok berkepanjangan (DBD derajat IV)


-

Cairan: 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-15 menit, bila tekanan darah sudah didapat
cairan selanjutnya sesuai algoritma pada derajat III.

Bila syok belum teratasi: setelah 10ml/kg pertama diulang 10 ml/kg, dapat diberikan
bersama koloid 10-30ml/kgBB secepatnya dalam 1 jam dan koreksi hasil laboratorium
yang tidak normal.

Transfusi darah segera dipertimbangkan sebagai langkah selanjutnya (setelah


review hematokrit sebelum resusitasi).

Monitor ketat (pemasangan katerisasi urin, katerisasi pembuluh darah vena pusat /
jalur arteri).
- Inotropik dapat digunakan untuk mendukung tekanan darah Apabila jalur intravena
tidak didapatkan segera, coba cairan elektrolit per oral bila pasien sadar atau jalur
intraoseus. Jalur intraoseus dilakukan dalam keadaan darurat atau setelah dua kali
kegagalan mendapatkan jalur vena perifer atau setelah gagal pemberian cairan melalui
oral. Cairan intraosesus harus dikerjakan secara cepat dalam 2-5 menit .
- Apabila sumber perdarahan dapat diidentifikasi, segera hentikan. Transfusi darah segera
adalah darurat tidak dapat ditunda sampai hematokrit turun terlalu rendah. Bila darah
yang hilang dapat dihitung, harus diganti. Apabila tidak dapat diukur, 10 ml/kg darah
segar atau 5 ml/kg PRC harus diberikan dan dievaluasi. Pada perdarahan saluran cerna,
H2 antagonis dan penghambat pompa proton dapat digunakan. Tidak ada bukti yang
mendukung penggunaan komponen darah seperti suspense trombosit, plasma darah
segar/cryoprecipitate. Penggunaan larutan tersebut ini dapat menyebabkan kelebihan
cairan. DBD ensefalopati DBD ensefalopati dapat terjadi bersamaan dengan syok atau
tidak.
- Ensefalopati yang terjadi bersamaan dengan syok hipovolemik, maka penilaian
ensefalopati harus diulang setelah syok teratasi.
- Apabila kesadaran membaik setelah syok teratasi, maka kesadaran menurun atau kejang
disebabkan karena hipoksia yang terjadi pada syok

- Pertahankan oksigenasi jalan napas yg adekuat dengan terapi oksigen.Jika


ensefalopati terjadi pada DBD tanpa syok dan masa krisis sudah dilewati maka, cegah /
turunkan peningkatan tekanan intrakranial dengan,
o

Memberikan cairan intravena minimal untuk mempertahankan volume


intravaskular, total cairan intravena tidak boleh >80% cairan rumatan

Ganti ke cairan kristaloid dengan koloid segera apabila hematokrit terus meningkat
dan volume cairan intravena dibutuhkan pada kasus dengan perembesan plasma yang
hebat.

Diuretik diberikan apabila ada indikasi tanda dan gejala kelebihan cairan

Posisikan pasien dengan kepala lebih tinggi 30 derajat.

Intubasi segera untuk mencegah hiperkarbia dan melindungi jalan napas.

Dipertimbangkan steroid untuk menurunkan tekanan intrakranial, dengan


pemberian deksametasone 0,15mg/kg berat badan/dosis intravena setiap 6-8 jam.
o Menurunkan produksi amonia
- Berikan laktulosa 5-10 ml setiap 6 jam untuk menginduksi diare osmotik.
- Antibiotik lokal akan mengganggu flora usus maka tidak diperlukan pemberian
o Pertahankan gula darah 80-100 mg/dl, kecepatan infus glukosa yang dianjurkan 4-6
mg/kg/jam.o Perbaiki asam basa dan ketidakseimbangan elektrolito Vitamin K1 IV
dengan dosis:umur < 1tahun: 3mg, <5 tahun: 5mg, >5 tahun:10mg.o Anti kejang
phenobarbital, dilantin, atau diazepam IV sesuai indikasi.
o Transfusi darah, lebih baik PRC segar sesuai indikasi. Komponen darah lain seperti
suspense trombosit dan plasma segar beku tidak diberikan karena kelebihan cairan
dapat meningkatkan tekanan intrakranial.o Terapi antibiotik empirik apabila disertai
infeksi bakterial.
o Pemberian H2 antagonis dan penghambat pompa proton untuk mencegah
perdarahan saluran cerna.

o Hindari obat yang tidak diperlukan karena sebagai besar obat dimetabolisme di hati.
Hemodialisis pada kasus perburukan klinis dapat dipertimbangkan.
Fase Recovery
Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral, serta monitor tiap
12-24 jam.
Indikasi untuk pulang
Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai berikut :

Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik

Nafsu makan telah kembali

Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi teratur

Diuresis baik

Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok

Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites

Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada umumnya
jumlah trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5 hari.
Daftar Pustaka

World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive


Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic
Fever. India: WHO; 2011.p.1-67.

Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance.


Updated
2010
sept
1.
Available
from:
http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.

Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment prevention and control.


Edisi kedua. WHO, Geneva, 1997.

WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1-146

Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid
therapy. Pediatrics 1957;19:823

Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter


Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana Kasus
DBD. Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting. Balai Penerbit, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005.

DF_FACTSHEET_INDONESIA
Demam Berdarah
Definisi
Demam berdarah adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengue, yang
ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini ditemukan di daerah tropis dan subtropis di
seluruh dunia. Contohnya, demam berdarah merupakan penyakit endemik di banyak
negara di Asia Tenggara. Virus dengue mencakup 4 varietas berbeda, masing-masing
dapat menyebabkan demam berdarah dan demam berdarah dengue berat (disebut juga
'demam berdarah dengue').
Tanda-tanda klinis
Demam berdarah secara klinis ditandai dengan serangan demam tinggi yang
mendadak, sakit kepala hebat, rasa sakit di belakang mata, nyeri otot dan sendi,
hilangnya nafsu makan, mual dan ruam. Beberapa orang yang terinfeksi mungkin
tidak menunjukkan gejala yang terlihat, dan beberapa mungkin hanya menunjukkan
gejala ringan, misalnya anak kecil mungkin menunjukkan penyakit demam tidak
spesifik yang disertai dengan ruam kulit.
Gejala pada infeksi pertama biasanya ringan. Setelah pulih, daya tahan tubuh terhadap
varietas virus dengue akan berkembang namun infeksi berikutnya dengan varietas
virus dengue lainnya mungkin berakibat pada demam berdarah dengue berat. Demam
berdarah dengue berat adalah demam berdarah komplikasi yang parah dan berpotensi
fatal.Tanda-tanda awalnya, termasuk demam tinggi, selama 2 7 hari dan dapat
o
meningkat hingga 40 41 C, wajah kemerahan dan gejala lainnya yang menyertai
demam berdarah. Berikutnya, dapat muncul kecenderungan pendarahan seperti

memar, hidung dan gusi berdarah, dan juga pendarahan dalam tubuh. Pada kasus yang
sangat parah, mungkin berlanjut pada kegagalan saluran pernapasan, shock dan
kematian.
Setelah terinfeksi oleh salah satu dari empat jenis virus, tubuh akan memiliki
kekebalan terhadap virus itu. Namun, tidak ada perlindungan efektif yang menjamin
kekebalan terhadap 3 jenis virus lainnya.
Cara penularan
Demam berdarah ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk betina Aedes yang
terinfeksi virus dengue. Apabila pasien yang menderita demam berdarah digigit oleh
nyamuk perantara, nyamuk tersebut terinfeksi dan nyamuk ini dapat menyebarkan
penyakit dengan cara menggigit orang lain. Penyakit ini tidak dapat menular secara
langsung melalui manusia ke manusia. Penyebar utama virus dengue yaitu nyamuk
Aedes aegypti, tidak ditemukan di Hong Kong, namun virus dengue juga dapat
disebarkan oleh spesies lain yaitu Aedes albopictus.Masa inkubasi adalah 3 14 hari,
umumnya 4 7 hari.
Penanganan
Tidak ada perawatan khusus untuk demam berdarah dan demam berdarah dengue
berat. Demam berdarah biasanya membatasi diri. Obat-obatan diberikan untuk
meringankan demam dan rasa sakit. Penderita demam berdarah dengue berat harus
segera dirawat dengan penanganan yang mendukung. Perawatan yang utama adalah
menjaga jumlah cairan tubuhnya. Dengan perawatan yang tepat dan tepat waktu,
tingkat kematian kurang dari 1%.
Pencegahan
Saat ini, tidak ada vaksin demam berdarah yang terdaftar secara lokal di Hong Kong.
Pencegahan terbaik di Hong Kong adalah dengan menghilangkan genangan air yang
dapat menjadi sarang nyamuk, dan menghindari gigitan nyamuk.
Langkah umum untuk mencegah penyakit yang disebarkan oleh nyamuk:
1. Kenakan pakaian longgar, berwarna cerah, lengan panjang dan celana panjang, dan

gunakan obat penangkal serangga yang mengandung DEET pada bagian tubuh yang
terpapar.
2. Lakukan perlindungan tambahan saat beraktivitas di luar ruangan:
- Hindari menggunakan kosmetik yang berbau harum atau produk perawatan kulit
- Gunakan obat penangkal serangga sesuai petunjuk Catatan khusus bila bepergian ke
luar negeri: Jika mengunjungi daerah atau negara yang terdampak, rencanakan jadwal
konsultasi dengan dokter setidaknya 6 minggu sebelum perjalanan, dan melakukan
perlindungan ekstra untuk mencegah gigitan nyamuk. Selama perjalanan, jika
bepergian ke kawasan pedesaan yang terkena wabah penyakit, bawalah kelambu
portabel dan gunakan permethrin (semacam insektisida) pada kelambu. Permethrin
TIDAK boleh digunakan untuk kulit. Segera cari pertolongan pertama secepat
mungkin bila merasa tidak sehat. Pelancong yang kembali dari area yang terdampak
harus menggunakan obat serangga selama 14 hari setelah sampai di Hong Kong.
Apabila merasa tidak sehat misalnya, terkena demam, segera berobat secepatnya, dan
berikan rincian perjalanan pada dokter.
Bantu mencegah perkembangbiakan nyamuk
1.Cegah timbulnya genangan air: ganti air di vas bunga seminggu sekali, bersihkan air
di cawan yang berada di bawah tanaman pot setiap minggu, tutup rapat semua wadah
air, pastikan wadah tetesan air pada AC bersih dari genangan air, buang kaleng dan
botol bekas di tempat sampah yang tertutup Kendalikan penyakit dan pusat penyakit
menular, simpan makanan dan buanglah sampah dengan benar.
2. Ibu hamil dan anak 6 bulan ke atas dapat menggunakan obat penangkal serangga
yang mengandung DEET. Untuk rincian penggunaan obat penangkal serangga dan
poin penting yang harus dipatuhi, silakan merujuk ke 'Kiat menggunakan obat anti
serangga'.
PATOGENESIS INFEKSI VIRUS DENGUE
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara endemi Dengue dengan kasus tertinggi di Asia Tenggara.

Pada 2006 Indonesia melaporkan 57% dari kasus Dengue dan hampir 80% kematian
dengue dalam daerah Asia Tenggara (1132 kematian dari jumlah 1558 kematian
dalam wilayah regional). Di Indonesia infeksi virus Dengue selalu dijumpai sepanjang
tahun di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan
Bandung. Perbedaan pola klinis kejadian infeksi Dengue ditemukan setiap tahun.
Perubahan musim secara global, pola perilaku hidup bersih dan dinamika populasi
masyarakat (adanya perang dunia, perkembangan kota yang pesat setelah perang dan
dan mudahnya transportasi) berpengaruh terhadap kejadian penyakit infeksi virus
Dengue.
World Health Organization memperkirakan terjadi 50 juta kasus infeksi Dengue di
seluruh dunia setiap tahun. Di Indonesia kasus pertama dengan pemeriksaan serologis
dibuktikan pada tahun 1969 di Surabaya. Angka kematian karena infeksi virus
Dengue menurun secara drastis dari 41,3% ditahun 1968 menjadi kurang dari 3%
ditahun 1991, namun Sindroma Syok Dengue masih merupakan kegawatan yang sulit
diatasi. Morbiditas dan mortalitas karena DBD/DSS yang dilaporkan berbagai negara
bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan
vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan
keadaan meteorologis.
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik
(mild undifferentiated febrile illness), demam dengue, demam berdarah dengue
(DBD), dan dengue shock syndrome.
Terdapat berbagai teori yang terkait dengan patofisiologi infeksi virus Dengue seperti
hipotesis (ADE), teori virulensi virus yang mendasarkan pola perbedaan serotipe virus
dengue Den-1, Den-2, Den-3, dan Den- 4. Teori antigen-antibodi, yang mendasarkan
kenyataan bahwa pada penderita DBD terjadi penurunan aktifitas sistem komplemen
yang ditandai dengan penurunan dari kadar C3,C4,dan C5.Teori mediator, dimana
makrofag yang terinfeksi virus Dengue akan melepaskan mediator-mediator seperti
interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lain- lain. Diperkirakan berbagai mediator
tersebut bertanggung jawab atas terjadinya syok septik, demam dan peningkatan
permeabilitas kapiler. Teori Th1/Th2 pada infeksi memperkirakan adanya faktor
genetik merupakan perkembangan teori yang menarik.

Tetapi berbagai teori tersebut masih belum mampu menjelaskan imunopatogenesis


infeksi virus Dengue ataupun membedakan dengan jelas kelompok klinis mana yang
akan terjadi pada penderita, Demam Dengue, atau Demam Berdarah Dengue atau
bahkan yang lebih fatal yaitu Sindroma Syok Dengue. Ini disebabkan kurangnya
model invitro dan invivo penyakit infeksi virus dengue.
ETIOLOGI: VIRUS DENGUE
Virus Dengue termasuk dalam kelompok B arthropode-borne virus (arbovirus) dan
sekarang dikenal dengan genus flavivirus, famili Flaviviridae. Di Indonesia sekarang
telah dapat diisolasi 4 serotipe yang berbeda namun memiliki hubungan genetik satu
dengan yang lain, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Ternyata DEN-2 dan
DEN-3 merupakan serotipe yang paling banyak sebagai penyebab. Nimmanitya
(1975) di Thailand melaporkan bahwa serotipe DEN-2 yang dominan.sedangkan di
Indonesia paling banyak adalah DEN-3, walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan
didominasi oleh virus DEN-2.
Penelitian epidemiologik yang dilakukan oleh Aryati 2005, Fedik 2007 menemukan
bahwa virus Den-2 adalah serotipe yang dominan di Surabaya. Studi epidemiologi
(Yamanaka et al) tahun 2009 dan 2010 pada penderita Demam Dengue (DD) dan
Demam Berdarah Dengue (DBD) ditemukan virus D1 genotype IV yang
menunjukkan manifestasi klinik yang berat.
Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap
serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain.
Disamping itu urutan infeksi serotipe merupakan suatu faktor risiko karena lebih dari
20% urutan infeksi virus DEN-1 yang disusul DEN-2 mengakibatkan renjatan,
sedangkan faktor risiko terjadinya renjatan untuk urutan virus DEN-3 yang diikuti
oleh DEN-2 adalah 2%.
Virus Dengue seperti famili Flavivirus lainnya memiliki satu untaian genom RNA
(single-stranded positive-sense genome) disusun didalam satu unit protein yang
dikelilingi diding icosahedral yang tertutup oleh selubung lemak.Genome virus
Dengue terdiri dari 11-kb + RNA yang berkode dan terdiri dari 3 stuktur Capsid (C)
Membran (M) Envelope (E) protein dan 7 protein non struktural (NS1, NS2A, NS2B,
NS3, NS4, NS4B, dan NS5).

Di dalam tubuh manusia, virus bekembangbiak dalam sistem retikuloendothelial


dengan target utama adalah APC (Antigen Presenting Cells) dimana pada umumnya
berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupfer di sinusoid hepar.
VEKTOR PENULARAN VIRUS DENGUE
Virus-virus Dengue ditularkan oleh nyamuk-nyamuk dari famili Stegomya, yaitu
Aedes aegypti, Aedes albopticus, Aedes scuttelaris, Aedes polynesiensis dan Aedes
niveus. Di Indonesia Aedes aegypti dan Aedes albopticus merupakan vektor utama.
Keempat virus telah ditemukan dari Aedes aegypti yang terinfeksi. Spesies ini dapat
berperan sebagai tempat penyimpanan dan replikasi virus.
PATOFISIOLOGI DEMAM DENGUE
Perbedaan klinis antara Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue disebabkan
oleh mekanisme patofisiologi yang berbeda. Adanya renjatan pada Demam Berdarah
Dengue disebabkan karena kebocoran plasma (plasma leakage) yang diduga karena
proses imunologi. Hal ini tidak didapati pada demam dengue.
Virus Dengue yang masuk kedalam tubuh akan beredar dalam sirkulasi darah dan
akan ditangkap oleh makrofag (Antigen Presenting Cell). Viremia akan terjadi sejak 2
hari sebelum timbul gejala hingga setelah lima hari terjadinya demam.
Antigen yang menempel pada makrofag akan mengaktifasi sel T- Helper dan menarik
makrofag lainnya untuk menangkap lebih banyak virus. Sedangkan sel T-Helper akan
mengaktifasi sel T- Sitotoksik yang akan melisis makrofag. Telah dikenali tiga jenis
antibodi yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi fiksasi
komplemen.
Proses ini akan diikuti dengan dilepaskannya mediator-mediator yang merangsang
terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan gejala lainnya.
Juga bisa terjadi aggregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia ringan.
Demam tinggi (hiperthermia) merupakan manifestasi klinik yang utama pada
penderita infeksi virus dengue sebagai respon fisiologis terhadap mediator yang
muncul.

Sel penjamu yang muncul dan beredar dalam sirkulasi merangsang terjadinya panas.
Faktor panas yang dimunculkan adalah jenis-jenis sitokin yang memicu panas seperti
TNF-, IL-1, IL-6, dan sebaliknya sitokon yang meredam panas adalah TGF-, dan
IL-10.
Beredarnya virus di dalam plasma bisa merupakan partikel virus yang bebas atau
berada dalam sel platelet, limfosit, monosit, tetapi tidak di dalam eritrosit. Banyaknya
partikel virus yang merupakan kompleks imun yang terkait dengan sel ini
menyebabkan viremia pada infeksi virus.
Antibodi yang dihasilkan pada infeksi virus dengue merupakan non netralisasi
antibodi yang dipelajari dari hasil studi menggunakan stok kulit virus C6/C36, viro sel
nyamuk dan preparat virus yang asli.
Respon innate immune terhadap infeksi virus Dengue meliputi dua komponen yang
berperan penting di periode sebelum gejala infeksi yaitu antibodi IgM dan platelet.
Antibodi alami IgM dibuat oleh CD5 + B sel, bersifat tidak spesifik dan memiliki
struktur molekul mutimerix. Molekul hexamer IgM berjumlah lebih sedikit
dibandingkan molekul pentameric IgM namun hexamer IgM lebih efisien dalam
mengaktivasi komplemen.Antigen Dengue dapat dideteksi di lebih dari 50%
Complex Circulating Imun. Kompleks imun IgM tersebut selalu ditemukan di
dalam dinding darah dibawah kulit atau di bercak merah kulit penderita dengue. Oleh
karenanya dalam penentuan virus dengue level IgM merupakan hal yang spesifik.
PATOFOSIOLOGI DBD
Pada DBD dan DSS peningkatan akut permeabilitas vaskuler merupakan patofisiologi
primer.Hal ini akan mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler,
sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Pada kasuskasus berat volume plasma menurun lebih dari 20% meliputi efusi pleura,
hemokonsentrasi dan hipoproteinemia. Lesi destruktif vaskuler yang nyata tidak
terjadi.
Terdapat tiga faktor yang menyebabakan perubahan hemostasis pada DBD dan DSS
yaitu: perubahan vaskuler, trombositopenia dan kelainan koagulasi. Hampir semua
penderita dengue mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan trombositopeni, serta

koagulogram yang abnormal.


Infeksi virus dengue mengakibatkan muncul respon imun humoral dan seluler, antara
lain anti netralisasi, anti hemaglutinin, anti komplemen. Antibodi yang muncul pada
umumnya adalah IgG dan IgM, mulai muncul pada infeksi primer, dan pada infeksi
sekunder kadarnya telah meningkat.
Pada hari kelima demam dapat ditemukan antibodi dalam darah, meningkat pada
minggu pertama hingga minggu ketiga dan menghilang setelah 60-90 hari.pada
infeksi primer antibodi IgG meningkat pada hari ke-14 demam sedangkan pada
infeksi sekunder kadar IgG meningkat pada hari kedua. Karenanya diagnosis infeksi
primer ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari kelima sakit,
sedangkan pada infeksi sekunder diagnosis dapat ditegakkan lebih dini.
Pada infeksi primer antibodi netralisasi mengenali protein E dan monoclonal antibodi
terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus dengue sehingga terjadi aktifitas netralisasi
atau aktifasi komplemen sehingga sel yang terinfeksi virus menjadi lisis. Proses ini
melenyapkan banyak virus dan penderita sembuh dengan memiliki kekebalan
terhadap serotipe virus yang sama.
Apabila penderita terinfeksi kedua kalinya dengan virus dengue serotipe yang
berbeda, maka virus dengue tersebut akan berperan sebagai super antigen setelah
difagosit oleh makrofag atau monosit. Makrofag ini akan menampilkan Antigen
Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang
berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC II).
Antigen yang bermuatan peptida MHC II akan berikatan dengan CD4+ (TH-1 dan
TH-2) dengan perantaraan T Cell Receptor (TCR) sebagai reaksi terhadap
infeksi.Kemudian limfosit TH-1 akan mengeluarkan substansi imunomodulator yaitu
INF, IL-2, dan Colony Stimulating Factor (CSF). IFN akan merangsang makrofag
untuk mengeluarkan IL-1 dan TNF.Interleukin-1 (IL-1) memiliki efek pada sel
endotel, membentuk prostaglandin, dan merangsang ekspresi intercelluler adhasion
molecule 1 (ICAM 1).
Colony Stimulating Factor (CSF) akan merangsang neutrophil, oleh pengaruh ICAM
1 Neutrophil yang telah terangsang oleh CSF akan beradhesi dengan sel endothel dan

mengeluarkan lisosim yang mambuat dinding endothel lisis dan endothel terbuka.
Neutrophil juga membawa superoksid yang akan mempengaruhi oksigenasi pada
mitokondria

dan

siklus

GMPs,

sehingga

endothel

menjadi

nekrosis

dan

mengakibatkan terjadi gangguaan vaskuler.


Antigen yang bermuatan MHC I akan diekspresikan di permukaan virus sehingga
dikenali oleh limfosit T CD8+ yang bersifat sitolitik sehingga menhancurkan semua
sel yang mengandung virus dan akhirnya disekresikan IFN dan TNF.
PATOGENESIS
Virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes menyerang organ RES seperti sel
kupfer di sinusoid hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang
serta paru-paru. Dalam peredaran darah virus akan difagosit oleh monosit.
Setelah genom virus masuk ke dalam sel maka dengan bantuan organel- organel sel
genom virus akan memulai membentuk komponen-komponen strukturalnya.setelah
berkembang biak di dalam sitoplasma sel maka virus akan dilepaskan dari sel.
Diagnosis pasti dengan uji serologis pada infeksi virus dengue sulit dilakukan karena
semua flavivirus memiliki epitope pada selubung protein yang menghasilkan cross
reaction atau reaksi silang.
Infeksi oleh satu serotipe virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap
serotipe tersebut, tetapi tidak ada cross protektif terhadap serotipe virus yang lain.
Virion dari virus DEN ekstraseluler terdiri dari protein C (capsid), M (membran) dan
E (envelope). Virus intraseluler terdiri dari protein pre-membran atau preM.Glikoprotein E merupakan epitope penting karena: mampu membangkitkan
antibodi spesifik untuk proses netralisasi, mempunyai aktifitas hemaglutinin, berperan
dalam proses absorbsi pada permukaan sel, (reseptor binding), mempunyai fungsi
fisiologis antara lain untuk fusi membran dan perakitan virion.
Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi fisiologis:
netralisasi virus, sitolisis komplemen, Antibodi Dependent Cell-mediated Cytotoxicity
(ADCC) dan Antibodi Dependent Enhancement.

Secara invivo antibodi terhadap virus DEN berperan dalam 2 hal yaitu:
a. Antbodi netralisasi memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi infeksi
virus.
b. Antibodi non netralising memiliki peran cross-reaktif dan dapat meningkatkan
infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS Perubahan patofidiologis
dalam DBD dan DSS dapat dijelaskan oleh 2 teori yaitu hipotesis infeksi sekunder
(teori secondary heterologous infection) dan hipotesis antibody dependent
enhancement (ADE). Teori infeksi sekunder menjelaskan bahwa apabila seseorang
mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, maka akan terdapat kekebalan
terhadap infeksi virus jenis tersebut untuk jangka waktu yang lama.
Pada infeksi primer virus dengue antibodi yang terbentuk dapat menetralisir virus
yang sama (homologous). Namun jika orang tersebut mendapat infeksi sekunder
dengan jenis virus yang lain, maka virus tersebut tidak dapat dinetralisasi dan terjadi
infeksi berat. Hal ini disebabkan terbentuknya kompleks yang infeksius antara
antibodi heterologous yang telah dihasilkan dengan virus dengue yang berbeda.
Selanjutnya ikatan antara kompleks virus-antibodi (IgG) dengan reseptor Fc gama
pada sel akan menimbulkan peningkatan infeksi virus DEN. Kompleks antibodi
meliputi sel makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi dan
internalisasi sehingga makrofag akan mudah terinfeksi sehingga akan memproduksi
IL-1, IL-6 dan TNF dan juga Platelet Activating Factor
Selanjutnya dengan peranan TNF akan terjadi kebocoran dinding pembuluh darah,
merembesnya plasma ke jaringan tubuh karena endothel yang rusak, hal ini dapat
berakhir dengan syok.
Proses ini juga menyertakan komplemen yang bersifat vasoaktif dan prokoagulan
sehingga menimbulkan kebosoranplasma dan perdarahan yang dapat mengakibatkan
syok hipovolemik.
Pada bayi dan anak-anak berusia dibawah 2 tahun yang lahir dari ibu dengan riwayat
pernah terinfeksi virus DEN, maka dalam tubuh anak tersebut telah terjadi Non
Neutralizing Antibodies sehingga sudah terjadi proses Enhancing yang akan

memacu makrofag sehingga mengeluarkan IL-6 dan TNF juga PAF. Bahan-bahan
mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel pembuluh darah dan sistem
hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan.
Pada teori kedua (ADE) , terdapat 3 hal yang berkontribusi terhadap terjadinya DBD
dan DSS yaitu antibodies enhance infection, T-cells enhance infection, serta limfosit T
dan monosit. Teori ini menyatakan bahwa jika terdapat antibodi spesifik terhadap
jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi
sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh tidak dapat menetralisir
penyakit, maka justru dapat menimbulkan penyakit yang berat.
Disamping kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain yang berusaha menjelaskan
patofisiolog DBD, diantarnya adalah teori virus yang mendasarkan pada perbedaan
keempat serotipe virus Dengue yang ditemukan berbeda antara satu daerah dengan
yang lainnya. Sedangkan teori antigen-antibodi mendasarkan pada kenyataan bahwa
terjadi penurunan aktifitas sistem komplemen yang ditandai dengan penurunan C3,
C4, dan C5. teori juga didukung dengan adanya pengaruh kompleks imun pada
penderita DBD terhadap aktifitas komponen sistem imun.
Penelitian oleh Azaredo El dkk, 2001 membuktikan bahwa patogenesis DBD/DSS
umumnya disebabkan oleh disregulasi respon imunologik. Monosit/makrofag yang
terinfeksi virus Dengue akan mensekresi monokin yang berperan dalam patogenesis
dan gambaran klinis DBD/DSS.
Penelitian invitro oleh Ho LJ dkk 2001 menyebutkan bahwa Dendritic Cell yang
terinfeksi virus dengue dapat mengekspresi antigen HLA B7-1, B7-2, HLA-DR,
CD11b dan CD83.Dendritic Cell yang terinfeksi virus dengue ini sanggup
memproduksi TNF- dan IFN- namun tidak mensekresi IL-6 dan IL-2. Oberholzer
dkk, 2002 menjelaskan bahwa IL-10 dapat menekan proliferasi sel T.
Pada infeksi fase akut terjadi penurunan populasi limfosit CD2+, CD4+, dan CD8+.
Demikian pula juga didapati penurunan respon prroliferatif dari sel-sel mononuklear.
Di dalam plasma pasien DBD/DSS terjadi peningkatan konsentrasi IFN-, TNF- dan
IL-10. peningkatan TNF- berhubungan dengan manifestasi perdarahan sedangkan
IL-10 berhubungan dengan penurunan trombosit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
terjadi penekanan jumlah dan fungsi limfosit T, sedangkan sitokin proinflamasi TNF-

berperan penting dalam keparahan dan patogenesis DBD/DSS, dan meningkatnya


IL-10 akan menurunkan fungsi limfosit T dan trombosit.
Lei HY dkk, 2001 menyatakan bahwa infeksi virus dengue akan mempengaruhi
sistem imun tubuh berupa perubahan rasio CD4/CD8, overproduksi dari sitokin dan
dapat menginfeksi sel-sel endothel dan hepatosit yang akan menyebabkan terjadinya
apoptosis dan disfungsi dari sel-sel tersebut. Demikian pula sistem koagulasi dan
fibrinolisis yang ikut teraktivasi. Kerusakan trombosit akibat dari reaksi silang
otoantibodi anti-trombosit, karena overproduksi IL-6 yang berperan besar dalam
terbentuknya antibodi anti- trombosit dan anti-sel endotel, serta meningkatnya level
dari tPA dan defisiensi koagulasi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebocoran plasma pada DBD/DSS merupakan
akibat dari proses kompleks yang melibatkan aktivasi komplemen, induksi kemokin
dan kematian sel apoptosis. Dugaan bahwa IL-8 berperan penting dalam kebocoran
plasma dibuktikan secara invitro oleh Bosch dkk (2002) melalui kultur primer
monosit manusia yang diinfeksi oleh virus DEN-2, diperkirakan hal ini disebabkan
aktifasi dari NF-kappa 8. Penelitian dari Bethel dkk (1998) terhadap anak di vietnam
dengan DBD dan DSS menyebutkan terjadi penurunan level IL-6 dan soluble
intercelluler molecule-1 pada anak dengan DSS. Ini berarti ada kehilangan protein
dalam sirkulasi karena kebocoran plasma.
MEKANISME KEBOCORAN PLASMA
Kebocoran plasma disebabkan oleh injury pada endotel akibat dari peran sitokin,
kemokin komplemen, mediator inflamasi atapun karena infeksi virus dengue secara
langsung.
PERAN SITOKIN DAN KOMPLEMEN
Sitokin adalah protein terlarut yang dihasilkan oleh sel-sel hematopoetik dan non
hematopoetik dalam keadaan inflamasi ataupun infeksi. Sitokin berfungsi dalam
proses imun, misalnya IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, TNF dan IFN.IL-1, IL-6 dan TNF
adalah pirogen endogen yang akan merangsang demam di hipotalamus dan juga
berfungsi sebagai vasoaktif sitokin yang meningkatkan permeabilitas endotel
pembuluh darah. Endotel juga akan menekspresikan ICAM 1, VCAM 1 dan P-

Selectin, molekul adhesive yang menyebabkan ekstravasasi sel inflamasi. Pemaparan


endotel dengan TNF dapat menyebabkan apoptosis.
TNF dan IL-1 menstimulasi radang dengan mengaktivasi berbagai sel radang. TNF,
IL-1 dan IL-6 dapat menstimulus hepatosit menghasilkan acute phase protein. IL-1
mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah kapiler dan menginduksi endothel
untuk memproduksi dan mensekresi IL-6 dan TNF (King 2000).
Ikatan virus dengue dengan antibodi heterolog akan mengaktifasi komplemen
jalur klasik yang berakhir dengan dilepaskannya faktor C3a, C4a dan C5a yang
disebut anafilatoksin. Anafilatoksin dan melepaskan histamin, serotonin dan Platelet
Activating Factor (PAF). Histmin, serotonin dan PAF merangsang peningkatan
permebilitas pembuluh darah, agregasi trombosit. Sel mast juga mensintesa asam
arakidonat menjadi prostaglandin, prostasiklin, leukotrien dan tromboksan yang
berperan dalam patogenesis DBD yang lebih parah.
Pada infeksi virus dengue, endotel sebagai sel pelapis bagian dalam pembuluh darah
dapat langsung terinfeksi oleh virus dengue. Respon yang terjadi adalah dengan
disekresikannya sitokin antara lain IL-8 dan TNF. Pemaparan endotel dengan TNF
dapat menyebabkan apoptosis.
Inflammatory cytokines, mediator inflamasi, anafilatoksin dan kemokin menyebabkan
endothel berkontraksi dan menyebabkan timbulnya celah pada pembuluh darah yang
berakibat plasma keluar dari pembuluh darah ke ruang interstitial. Dengan adanya
apoptosis endotel dan vasodilatasi maka plasma leakage semakin menghebat.
Trombositopenia pada DD dan DBD melibatkan dua mekanisme utama, yaitu
penurunan produksi dan peningkatan destruksi perifer atau peningkatan penggunaan.
Penurunan produksi dikarenakan supresi sumsum tulang. Pada DBD yang lebih
penting adalah mekanisme yang menyebabkan peningkatan destruksi dan peningkatan
penggunaan.
Supresi sumsum tulang pada DBD mungkin mengenai tiga faktor utama, yang
pertama cedera langsung pada sel progenitor hematopoetik. Kedua, infeksi sel stromal
dan ketiga perubahan regulator dalam sumsum tulang. Supresi yang lebih berat telah

diamati pada DSS, diikuti DBD dan DB.


Nakoa dkk menunjukkan bahwa virus dengue tipe 4 dapat bereplikasi dalam sel
mononuklear sumsum tulang. Replikasi tersebut dapat menyebabkan inhibisi
proliferasi dari BFU-E (Burst-forming unit erythroid) dan CFU-GM (Colony forming
unit granulosit-makrofag). Murgur dkk 1997 menunjukkan secara invitro bahwa virus
DEN-3 dapat menginfeksi cord blood mononuclear cell dan hal ini dapat mensupresi
pertumbuhan sel progenitor pada kultur.Infeksi virus dengue juga bisa mengenai sel
stromal sumsum tulang sehingga dapat menghambat pertumbuhan sel progenitor
homopoietik awal pada kultur. Selama infeksi dilepaskan sitokin diantaranya
macrophage inflammatory protein-1 (MIP- 1a), IL6 dan IL-8. Berbagai sitokin
tersebut dapat menghambat pertumbuhan sel progenitor hemopotetik awal. Juga
terjadi penurunan Stem Cell Factor (SCF) yang menyebabkan penurunan sel
progenitor hemopoetik pada kultur.
Infeksi virus dengue akan menginduksi MIP-1 dan MIP-1. Proses ini terjadi pada
myelomono cell line, pada peripheral blood mononuclear cells dan supresi sumsum
tulang.
Sitokin yang mensupresi haemopoesis dilepaskan ke dalam aliran darah pada fase
awal demam dengue, yaitu tumor necroting factor (TNF-), interleukins (IL-2, IL-6,
IL-8) dan interferon (INF- dan INF-). Parahnya kondisi klinis penderita infeksi
virus dengue dan periode terjadinya supresi sumsum tulang tergantung dari kadar
sitokin tersebut.
Penurunan produksi di sumsum tulang atau perusakan di sistem monosit- makrofag
yang

berlebihan

akan

berakhir

dengan

jumlah

trombosit

yang

rendah.

Konsekuansinya adalah terjadi pesmbesaran hati dan limpa.


Teori mutakhir tentang patogenesis DBD adalah teori Mimikri Molekuler yang
menunjukkan adanya peran auto-antibodi pada infeksi virus dengue. Wiwanitkit
mengamati bahwa nonstructural-1 protein (NS1) dari virus dengue yang merangsng
antibodi memiliki epitop yang sama dengan fibrinogen dan integrin/protein adhesin
pada trombosit. Kedua jenis protein tersebut memiliki hubungan filogenetik dengan
NS-1.

Reaksi silang yang terjadi antara antibodi dengan sel endotel akan menginduksi
kerusakan yang berat. Aktivasi sel endotel inflamasi terjadi melalui faktor transkripsi
NF-Kb-regulated pathway. Sitokin dan kemokin yang diproduksi yaitu IL-6, IL-8 dan
MCP-1.Kemudian terjadi peningkatan ekspresi ICAM-1 dan kemampuan PBMC
menempel pada endotel. Dan selanjutnya sel endotel akan mengalami apoptosis yang
ditandai dengan terpaparnya fosfatidylserine pada permukaan sel dan fragmentasi
DNA. Hal ini diamati oleh Lin.dkk (2002).
Pada kasus Dengue Shock Syndrome, ditengarai ada mediator inflamasi yang
berperan dalam kebocoran plasma. Inilah yang menjadi dasar teori Mediator dalam
patogensis DBD. Diketahui beberapa sitokin yang beredar pada aliran darah penderita
DBD yaitu TNF, IL-1, 1L-6, IFN , IFN, IL-2, IL-10, IL-12, IL-13, IL-18, dan
beberapa mediator yang berfungsi sebagai kemokin antara lain IL-8, MCP-1
(Monocyte Chemoattractant Proteins-1), MIP-1 (Macrophage Inflammatory Protein1), MIP-1, RANTES (Regulated Upon Activation Normal T cell Express
Sequence ) dan PF-4 (Platelet Factor-4). Keberadaan IL-8 yang tinggi dalam darah
tepi, cairan ascites dan efusi pleura menjawab masalah kebocoran plasma dan
perdarahan pada syok karena DBD.
DAFTAR PUSTAKA
Soegijanto, Soegeng. 2010. Patogenesa Infeksi Virus Dengue Recent Update. Applied
Management of Dengue Viral Infection in Children. 6 November 2010. halaman 1145.
Chaudry S, Swaminathan S, Khanna N.Viral Genetics as a Basis of Dengue
Pathogenesis. Setiawan MW, Samsi TW, Wulur H, Sugianto D, Pool TN. Dengue
haemorrhagic fever: ultrasound as an aid to predict the severity of the disease.
Pediatric Radiology [serial on the internet].1997 Jan 15 [cited 1997 June 2].Available
from:http://www.springerlink.com
Wang WK, Chao DY. High Levels of Plasma Dengue Viral Load during
Defervescence in Patients with Dengue Hemorrhagic Fever: Implications for
Pathogenesis.Virology (serial on the internet).2002 July 31 (cited 2003 Jan 31).
Available from: www.sciencedirect.com/science?_ob=article

Juffrie M, Van Der Meer GM, Hack CE, Hasnoot K, Sutaryo, Veerman AJP, Thijs LG
et al. Inflammatory Mediators in Dengue Virus Infection in Children:Interleukin-8 and
Its Relationship to Neutrophil Degranulation.Infection and Immunity (serial on the
internet).1999

Nov

(cited

2000

Feb),p.702-707.Available

from:

iai.asm.org/cgi/reprint/68/2/702
SimmonsCP, Chau TNB, Thuy TT, Tuan MN, Hoang DM, Thien NT et al.Maternal
Antibody and Viral Factors in The Pathogenesis of Dengue Virus in Infants. (cited
2007

August

1).Available

from:www.exa.unne.edu.ar/bioquimica/immu

noclinica/documentos/maternal_antibody.pdf
IPPI78871
PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue (DBD) meru- pakan penyakit yang banyak ditemukan di
sebagian besar wilayah tropis dan subtro- pis, terutama asia tenggara, Amerika tengah, Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus
den- gue yang termasuk ke dalam famili Flaviri- dae dan genus Flavivirus, terdiri dari
1
4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den -4 , ditularkan ke manusia melalui
gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nya- muk Aedes aegypti dan Ae.
albopictus

yang terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia.

Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar antara 3
sampai 14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari masa
inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari.

Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa gejala demam, demam dengue (DD) dan
DBD, ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari; pendarahan
diatesis seperti uji tourniquet positif, trom- bositopenia dengan jumlah trombosit
9
2
100 x 10 /L dan kebocoran plasma akibat pen- ingkatan permeabilitas pembuluh.
Tiga tahap presentasi klinis diklasifi- kasikan sebagai demam, beracun dan pemulihan. Tahap beracun, yang berlangsung 24-48 jam, adalah masa paling kritis, dengan

4
kebocoran plasma cepat yang mengarah ke gangguan peredaran darah. Terdapat 4
tahapan derajat keparahan DBD, yaitu derajat I dengan tanda terdapat demam disertai
gejala tidak khas dan uji torniket + (positif); derajat II yaitu derajat I ditambah ada
perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain, derajat III

Gambar 1.Virus Dengue dengan TEM Micrograph


yang ditandai adanya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah serta penurunan
tekanan nadi (<20 mmHg), hipotensi (sistolik menurun sampai <80 mmHg), sianosis
di sekitar mulut, akral dingin, kulit lembab dan pasen tampak gelisah; serta derajat IV
yang ditandai dengan syok berat (profound shock) yaitu nadi tidak dapat diraba dan
5
tekanan darah tidak terukur.
Walaupun DD dan DBD disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme
patofisiologisnya berbeda dan menyebab- kan perbedaan klinis. Perbedaan utama
adalah adanya renjatan yang khas pada DBD yang disebabkan kebocoran plasma yang

diduga karena proses immunologi, pada demam dengue hal ini tidak terjadi.

Manifestasi klinis DD timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus yang
berkembang di dalam peredaran darah dan ditangkap oleh makrofag. Selama 2 hari
akan terjadi viremia (sebelum timbul gejala) dan berakhir setelah lima hari tim- bul
gejala panas. Makrofag akan menjadi antigen presenting cell (APC) dan mengaktifasi
sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih ban- yak virus. Thelper akan mengaktifasi sel T. Sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah
memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas an- tibodi. Ada 3 jenis
antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemaglutinasi,
antibodi fiksasi komplemen. Proses tersebut akan menyebabkan ter- lepasnya
mediator-mediator yang merang- sang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri
sendi, otot, malaise dan gejala lainnya.

Patofisiologi primer DBD dan dengue syock syndrome (DSS) adalah peningkatan
akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang
ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan
darah. Pada kasus berat, volume plasma menurun lebih dari 20%, hal ini didukung
penemuan post mortem meliputi efusi pleu- ra, hemokonsentrasi dan hipoproteinemi.

Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus dengue berkembang biak dalam sel
retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari.
Akibat infeksi ini, muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain anti
netralisasi, anti-hemaglutinin dan anti komplemen. Antibodi yang muncul pada
umumnya adalah IgG dan IgM, pada in- feksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada jadi meningkat.

Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari
ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah
60-90 hari. Kinetik kadar IgG ber- beda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh
karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder.
Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 se- dang pada
infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa

dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah
hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan
adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat.

Aspirator Vol. 2 No. 2 Tahun 2010 : 110 119. Respon Primer dan Sekunder
Infeksi Virus Dengue

(7)

Patofisiologi DBD dan DSS sampai sekarang belum jelas, oleh karena itu mun- cul
banyak teori tentang respon imun. Pada infeksi pertama terjadi antibodi yang memiliki aktivitas netralisasi yang mengenali protein E dan monoklonal antibodi ter- hadap
NS1, Pre M dan NS3 dari virus penyebab infeksi akibatnya terjadi lisis sel yang telah
terinfeksi virus tersebut melalui aktivitas netralisasi atau aktifasi komple- men.
Akhirnya banyak virus dilenyapkan dan penderita mengalami penyembuhan,
selanjutnya terjadilah kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang sama,
tetapi apabila terjadi antibodi non- netralisasi yang memiliki sifat memacu replikasi
virus, keadaan penderita akan menjadi parah apabila epitop virus yang masuk tidak
sesuai dengan antibodi yang tersedia di hospest. Pada infeksi kedua yang dipicu oleh
virus dengue dengan serotipe yang berbeda, virus dengue berperan sebagai super

antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag. Makrofag ini menampilkan
antigen presenting cell (APC) yang membawa muatan polipeptida spesifik yang
berasal dari mayor histocom- patibility complex (MHC).

Epidemiologi DBD
Demam berdarah dengue (DBD) ada- lah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang
paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai ren- jatan
9
atau dengue shock syndrome (DSS) ; ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae.
albopictus yang terinfeksi.

10

Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah vi-

rus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri
1
dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4. Dalam 50 tahun terakhir, kasus
DBD meningkat 30 kali lipat dengan pen- ingkatan ekspansi geografis ke negaranegara baru dan, dalam dekade ini, dari kota ke lokasi pedesaan.

Penderitanya

banyak ditemukan di sebagian besar wila- yah tropis dan subtropis, terutama Asia
Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia.

Virus dengue dilaporkan telah men- jangkiti lebih dari 100 negara, terutama di daerah
perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain Amerika
Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan
sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di rumah sakit dan
mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun; diperkirakan 2,5 miliar orang atau
hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang
memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan nya- muk setempat.

11

Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik
bahkan cenderung terus mening- kat

12

dan banyak menimbulkan kematian pada

8
13
anak 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap
tahunnya selalu terjadi KLB di be- berapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998

dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800
orang lebih.

14

Pada tahun-tahun beri- kutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah

kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus
tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality
rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan ke- matian
1.384 orang atau CFR 0,89%.

15

Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk subgenus
Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus sebagai vektor primer dan
Ae. polynesiensis, Ae.scutellaris serta Ae (Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder,

selain itu juga terjadi penularan transexsual dari nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui perkawinan
turunannya.

16-17

serta penularan transovarial dari induk nyamuk ke ke-

Ada juga penularan virus dengue melalui transfusi darah seperti ter-

jadi di Singapura pada tahun 2007 yang berasal dari penderita asimptomatik

(18)

. Dari

beberapa cara penularan virus dengue, yang paling tinggi adalah penularan me- lalui
gigitan nyamuk Ae. aegypti.

19

Masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nya- muk)

berlangsung sekitar 8-10 hari, se- dangkan inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia)
berkisar antara 4-6 hari dan dii- kuti dengan respon imun.

20

Penelitian di Jepara dan Ujungpandang menunjukkan bahwa nyamuk Aedes spp.


berhubungan dengan tinggi rendahnya in- feksi virus dengue di masyarakat; tetapi
infeksi tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia karena masih tergantung pada faktor lain seperti vector capaci- ty, virulensi virus dengue, status kekebalan
host dan lain-lain.

21

Vector capacity di- pengaruhi oleh kepadatan nyamuk yang

terpengaruh iklim mikro dan makro, frek- uensi gigitan per nyamuk per hari, lamanya
siklus gonotropik, umur nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus dengue serta
pemilihan Hospes.

22

Frekuensi nya- muk menggigit manusia, di antaranya di-

pengaruhi oleh aktivitas manusia; orang yang diam (tidak bergerak), 3,3 kali akan
lebih banyak digigit nyamuk Ae. aegypti dibandingkan dengan orang yang lebih ak-

tif, dengan demikian orang yang kurang aktif akan lebih besar risikonya untuk tertular virus dengue. Selain itu, frekuensi nya- muk menggigit manusia juga dipengaruhi
keberadaan atau kepadatan manusia; se- hingga diperkirakan nyamuk Ae. aegypti di
rumah yang padat penghuninya, akan lebih tinggi frekuensi menggigitnya terhadap
manusia dibanding yang kurang padat.

22

Kekebalan host terhadap infeksi di-

pengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah usia dan status gizi, usia lanjut
akan menurunkan respon imun dan penyerapan gizi.

23

Status status gizi yang salah

satunya dipengaruhi oleh keseim- bangan asupan dan penyerapan gizi, khususnya zat
gizi makro yang berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh.

24

Selain zat gizi makro,

disebutkan pula bahwa zat gizi mikro seperti besi dan seng mempengaruhi respon
kekebalan tubuh, apabila terjadi defisiensi salah satu zat gizi mikro, maka akan
merusak sistem imun.

25

Status gizi adalah keadaan kesehatan akibat interaksi makanan, tubuh manusia dan
lingkungan yang merupakan hasil interaksi antara zat-zat gizi yang masuk da- lam
tubuh manusia dan penggunaannya. Tanda-tanda atau penampilan status gizi dapat
dilihat melalui variabel tertentu [indikator status gizi] seperti berat badan, tinggi
badan, dan lain lain.

26

Sumber lain mengatakan bahwa status gizi adalah keadaan

yang diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi dan jumlah
yang dibutuhkan [requirement] oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis:
[pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lain
lain].

27

Status gizi sangat berpengaruh terhadap status kesehatan manusia karena zat gizi
mempengaruhi fungsi kinerja berbagai sistem dalam tubuh. Secara umum
berpengaruh pada fungsi vital yaitu kerja otak, jantung, paru, ginjal, usus; fungsi
aktivitas yaitu kerja otot bergaris; fungsi pertumbuhan yaitu membentuk tulang, otot
& organ lain, pada tahap tumbuh kembang; fungsi immunitas yaitu melindungi tubuh
agar tak mudah sakit; fungsi perawatan jaringan yaitu mengganti sel yang rusak; serta
fungsi cadangan gizi yaitu persediaan zat gizi menghadapi keadaan darurat.

28

Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi adalah pada kelompok umur <15
tahun (95%) dan mengalami pergerseran dengan adanya peningkatan proporsi
penderita pada kelompok umur 15 -44 tahun, sedangkan proporsi penderita DBD pada
kelompok umur >45 tahun san- gat rendah seperti yang terjadi di Jawa Ti- mur
berkisar 3,64%.

29

Munculnya kejadian DBD, dikare- nakan penyebab majemuk, artinya muncul- nya
kesakitan karena berbagai faktor yang saling berinteraksi, diantaranya agent (virus
dengue), host yang rentan serta lingkungan yang memungkinan tumbuh dan berkembang biaknya nyamuk Aedes spp.

30

Selain itu, juga dipengaruhi faktor predisposisi

diantaranya kepadatan dan mobilitas penduduk, kualitas perumahan, jarak antar


rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, golongan umur, suku bangsa, kerentanan
terhadap penyakit, dan lainnya.

31

Patogenesis DBD
Nyamuk Aedes spp yang sudah terin- fesi virus dengue, akan tetap infektif sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepa- da individu yang rentan pada saat meng9
gigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus de-ngue
akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan, sel
monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel
dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan membentuk
komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen struktur dirakit,
7
virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini menimbulkan reaksi immunitas protektif
terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective terhadap serotipe
virus lainnya.

32

Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi biologis yaitu
netralisasi virus, sitolisis komplemen, anti- body dependent cell-mediated cytotoxity
(ADCC) dan ADE.

33

Berdasarkan perannya, terdiri dari antobodi netralisasi atau

neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah in- feksi
virus, dan antibody non netralising serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan
dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam pathogenesis DBD dan DSS

(7)

Terdapat dua teori atau hipotesis im- munopatogenesis DBD dan DSS yang masih
kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan antibody
dependent enhancement (ADE).

Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder

disebutkan, bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus
dengue, akan terjadi proses kekebalan ter- hadap infeksi serotipe virus dengue
tersebut untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan
infeksi sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang
be- rat. Ini terjadi karena antibody heterologus yang terbentuk pada infeksi primer,
akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru yang berbeda
yang tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks yang infeksius
dan bersifat oponisasi internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi IL1, IL- 6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet activating factor (PAF);
7
akibatnya akan terjadi peningkatan (enhancement) infeksi virus dengue. TNF alpha
akan menyebabkan kebocoran dind- ing pembuluh darah, merembesnya cairan plasma
ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang
mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.

34

Pendapat lain

menjelaskan, kompleks imun yang ter- bentuk akan merangsang komplemen yang
farmakologisnya cepat dan pendek dan ber- sifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga
menimbulkan kebocoran plasma (syock hipolemik) dan perdarahan.

35

Anak di bawah

usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue dan terjadi infeksi dari
ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing antibodies akaibat
adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus dengue pada anak
tersebut, maka akan langsung terjadi proses enhancing yang akan memacu makrofag
mudah terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga
36-37
PAF.

Gambar 3.Bagan Kejadian Infeksi Virus Dengue


Pada teori ADE disebutkan, jika ter- dapat antibodi spesifik terhadap jenis virus
tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi
sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan
menimbulkan penyakit yang berat. Kinetik immunoglobulin spesifik virus dengue di
dalam serum penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3.

38

Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis DBD, di
antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan serotipe
virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya dapat
ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan lainnya.
Selanjutnya ada teori antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita atau kejadian
DBD terjadi penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai penurunan kadar
C3, C4 dan C5. Disamping itu, pada 48- 72% penderita DBD, terbentuk kompleks
imun antara IgG dengan virus dengue yang dapat menempel pada trombosit, sel B dan
sel organ tubuh lainnya dan akan mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun
yang lain. Selain itu ada teori modera- tor yang menyatakan bahwa makrofag yang
terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6,

IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersa- ma endotoksin bertanggungjawab pada ter39
jadinya sok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler.
Pada infeksi virus dengue, viremia ter- jadi sangat cepat, hanya dalam beberapa hari
dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian karena infeksi virus; kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh gangguan metabolic.

Faktor Risiko Penularan Demam Berdarah Dengue


Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk perkotaan
yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana
transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi sehingga
memungkin terjadinya KLB.

40

Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan yang

mengakibatkan orang tidak mempunyai ke- mampuan untuk menyediakan rumah


yang layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang benar.

11

Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih makmur
terutama yang biasa bepergian.

41

Dari penelitian di Pekanbaru Provinsi Riau,

diketahui faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah pendidikan dan
pekerjaan masyara- kat, jarak antar rumah, keberadaan tempat penampungan air,
keberadaan tanaman hias dan pekarangan serta mobilisai penduduk; sedangkan
tataletak rumah dan keberadaan jentik tidak menjadi faktor risiko.

42

Faktor risiko yang menyebabkan mun- culnya antibodi IgM anti dengue yang
merupakan reaksi infesksi primer, berdasar- kan hasil penelitian di wilayah Amazon
Brasil adalah jenis kelamin laki-laki, kem- iskinan, dan migrasi. Sedangkan faktor
risiko terjadinya infeksi sekunder yang me- nyebabkan DBD adalah jenis kelamin
laki- laki, riwayat pernah terkena DBD pada periode sebelumnya serta migrasi ke
daerah perkotaan.

43

Vektor Demam Berdarah Dengue

Demam berdarah dengue ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti yang menjadi vektor
utama serta Ae. albopictus yang menjadi vektor pendamping. Kedua spesies nyamuk
itu ditemukan di seluruh wilayah Indonesia, hidup optimal pada ketinggian di atas
1000 di atas permukaan laut,

10

tapi dari beberapa laporan dapat ditemukan pada

44
daerah dengan ketinggian sampai dengan 1.500 meter, bahkan di India dilaporkan
dapat ditemukan pada ketinggian 2.121 meter serta di Kolombia pada ketinggian
45
2.200 meter. Nyamuk Aedes berasal dari Brazil dan Ethiopia, stadium dewasa
berukuran lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lainnya.

Kedua spesies nyamuk tersebut terma- suk ke dalam Genus Aedes dari Famili Culicidae. Secara morfologis keduanya sangat mirip, namun dapat dibedakan dari strip
putih yang terdapat pada bagian sku- tumnya.

46

Skutum Ae. aegypti berwarna hitam

dengan dua strip putih sejajar di ba- gian dorsal tengah yang diapit oleh dua garis
lengkung berwarna putih. Sedangkan skutum Ae. albopictus yang juga berwarna
hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya.

11

Nyamuk Ae. aegypti mempunyai dua subspesies yaitu Ae. aegypti queenslanden- sis
dan Ae. aegypti formosus. Subspesies pertama hidup bebas di Afrika, sedangkan
subspecies kedua hidup di daerah tropis yang dikenal efektif menularkan virus DBD.
Subspesies kedua lebih berbahaya dibandingkan subspecies pertama.

11

DAFTAR PUSTAKA
-

Kurane I. Dengue Hemorrhagic Fever with Spesial Emphasis on Immunopathogenesis.


Comparative Immunology, Microbiology & Infectious Disease. 2007; Vol 30:329-40.

WHO. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah
Dengue. Jakarta: WHO & Depar- temen Kesehatan RI; 2003.

Lestari K. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Indo- nesia.
Farmaka. Desember 2007; Vol. 5 No. 3: hal . 12-29.

Chuansumrit A, Tangnararatchakit K. Path- ophysiology and Management of Dengue


Hemorrhagic Fever. Bangkok: Department of Pediatrics, Faculty of Medicine, Ra- mathibodi
Hospital, Mahidol University; 2006.

5. Hadinegoro, Rezeki S, Soegianto S, Soeroso T, Waryadi S. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue

di Indonesia. Jakarta: Ditjen PPM&PL Depkes&Kesos R.I; 2001.


6. Harikushartono, Hidayah N, Dar- mowandowo W, Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue: Ilmu
Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan. Jakarta: Salemba Medika; 2002.
7. Soegijanto S. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue.
www.pediatrikcom/buletin/20060220- 8ma2gi-buletindoc; 2002 [cited 2010]; Available from:
www.pediatrikcom/ buletin/20060220-8ma2gi-buletindoc.
8. Novriani H. Respon Imun dan Derajat Kesakitan Demam Berdarah Dengue dan Dengue Syndrome
Pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran. 2002;Vol 134:46-9.
9. WHO. Dengue: Guidlines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. New Edition. Geneva:
World Health Organiza- tion; 2009.
-

Supartha I, editor. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes aegypti (Linn.)
dan Aedes albopic- tus (Skuse) (Diptera:Culicidae). Pertemuan Ilmiah Dalam Rangka Dies Natalis
2008 Universitas Udayana; 3-6 September 2008; Denpasar: Universitas Udayana Denpasar.

Knowlton K, Solomon G, Rotkin-Ellman M, Pitch F. Mosquito-Borne Dengue Fever Threat Spreading


in the Americas. New York: Natural Resources Defense Council Issue Paper; 2009.

Weissenbock H, Hubalek Z, Bakonyi T, Noowotny K. Zoonotic Mosquito-borne Flaviviruses:


Worldwide Presence of Agent with Proven Pathogenesis and Po- tential candidates of Future Emerging
Dis- eases. Vet Microbiol. 2010;Vol 140:271- 80.

Malavinge G, Fernando S, Senevirante S. Dengue Viral Infection. Postgraduate Medical Journal.


2004;Vol 80:p. 588-601.

Kusriastuti R. Kebijaksanaan Penanggu- langan Demam Berdarah Dengue Di Indo- nesia. Jakarta:
Depkes R.I; 2005.
XII.

Kusriastuti R. Data Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia tahun 2009 dan Tahun 2008.
Jakarta: Ditjen PP & PL Depkes RI; 2010.

XIII.

Josi V, Sharma R. Impact of Vertically- transmitted Dengue Virus on Viability of Eggs of


Virus-Inoculated Aedes aegypti. Dengue Bulletin. 2001;Vol 25:103-6.

XIV.

Rohani A, Zamree I, Lee HL, I M. Detec- tion of Transovarian Dengue for Field Caught
Aedes aegypti and Aedes albopic- tus Mosquitoes Using C6/36 Cool Line Culture and RTPCR. Institue for Medical Research press. Kuala Lumpur; 2005.

XV.

Tambyah PA, Koay ESC, Poon MLM, Lin RVTP, Ong BKC. Dengue Hemorrhagic Fever
Transmitted by Blood Transfusion. The England Journal of Medicine. 2008; Vol. 359: p. 15267.

XVI.

Gubler DJ. Epidemic Dengue Hemorrhag- ic Fever as a Public Health, Sosial and Economic
Problem in Tha 21st Century. Trends Microbiol. 2002; Vol. 10: p. 100- 13.

XVII.

Kristina, Ismaniah, Wulandari L. Kajian Masalah Kesehatan : Demam Berdarah Dengue. In:
Balitbangkes, editor.: Tri Djoko Wahono. . 2004. p. hal 1-9.

XVIII. Lubis I. Peranan Nyamuk Aedes dan Babi Dalam Penyebaran DHF dan JE di Indonesia.
Cermin Dunia Kedokteran. 1990; Vol. 60.
XIX.

Canyon D. Advances in Aedes aegypti Biodynamis and Vector Capacity: Tropical Infectious
and Parasitic Diseases Unit, School of Public Health and Tropical Medicine, James Cook

University; 2000.
XX.

Fatmah. Respons Imunitas Yang Rendah Pada Tubuh Manusia Usia Lanjut. Makara
Kesehatan. 2006 Juni 2006; Vol. 10 No. 1: hal. 47-53.

XXI.

Harahap H. Masalah Gizi Mikro Utama dan TumbuhKembang Anak Di Indonesia.: Makalah
Pribadi Falsafah Sains (PPS 702). Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Per- tanian Bogor.;
2004.

XXII.

Husaini MA, Siagian UL, Suharno J. Ane- mia Gizi: Suatu Kompilasi Informasi da- lam
Menunjang Kebijaksanaan Nasional

dan Pengembangan Program. Direktorat Gizi dan Puslitbang Gizi, Depkes R.I; 2003.
26. WHO-NHD. Nutrition for Health and De- velopment : A global agenda for combat- ing
malnutrition. Geneva: World Health Organization; 2000.
27. Zerfas AJ, Jelliffe DB, Jelliffe PEF. Epide- miology and Nutrion in Human Growth. : A
comprehensive Treatise Edisi 2, Meth- odology Ecological, Genetics, and Nutri- tional Effects on
Growth. New York.: Ple- num Press. p. 475 1986.
28. Gibson RS. Anthropometric Assessment. Dalam: Principles of Nutritional. New York: Oxford
Univ.Press. Madison Av. p. 45-7; 1990.
29. Wirahjanto A, Soegijanto S. Epidemilogi Demam Berdarah Dengue, dalam Demam Berdarah
Dengue Edisi 2. Surabaya: Air- langga University Press. Hal 1-10.; 2006.
30. Kasjono H, Kristiawan H. Intisari Epide- miologi. Jakarta: Mitra Cendikia Press; 2008.
31. Sari CIN. Pengaruh Lingkungan Terhadap Perkembangan Penyakit Malaria Dan Demam Berdarah
Dengue. Bogor: IPB; 2005.
32. Koraka P, Suharti C, Setiati CE, Mairuhu AT, Van Gorp E, Hack CE, et al. Kinetics of Dengue
Virus-specific Immunoglobulin Classes and Subclasses Correlate with Clinical Outcome of Infection. J
Clin Mi- crobio. 2001;Vol. 39 4332-8.
33. Darwis D. Kegawatan Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Naskah lengkap, pelatihan bagi dokter
spesialis anak dan dokter spesialis penyakit dalam pada tata laksana kasus DBD. Jakarta: Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indone- sia; 1999.
34. Dewi BE, Takasaki T, Sudiro TM, Nelwan R, Kurane I. Elevated Levels of Solube Tumour
Necrosis Factor Receptor 1, Thrombomodulin and Solube Endothelial Cell adhesion Molecules in
Patients with Dengue Hemorrhagic Fever. Dengue Bul- letin. 2007;Vol 31:103-10.
-

Gibson RV. Dengue Conundrums. Interna- tional Journal of Antimicrobial Agents. 2010;Vol
36(26-39).

Sowandoyo E, editor. Demam Berdarah Dengue pada Orang Dewasa, Gejala Klinik dan
Penatalaksanaannya. Seminar Demam Berdarah Dengue di Indonesia 1998; RS Sumberwaras.
Jakarta.

Wang S, Patarapotikul HR. Antibody- Enhanced Binding of Dengue Vitus to Hu- man
Platelets. J Virology. 1995;Vol. 213:1254-7.

Soegijanto S. Prospek Pemanfaatan Vaksin Dengue Untuk Menurunkan Prevalensi di


Masyarakat. Dipresentasikan di Peringatan 90 Tahun Pendidikan Dokter di FK Unair;
Surabaya; 2003.

Avirutnan P, Malasit P, Seliger B, Bhakti S, Husmann M. Dengue Virus Infection of Human


Endothelial Cells Leads to Chem- okin Production, Complement Activation, and Apoptosis. J
Immunol. 1998;Vol 161:6338-46.

Wilder-Smith A, Gubler D. Geographic Expansion of Dengue: the Impact of Inter- national


Travel. Med Clin NAm. 2008; Vol. 92: p. 1377-90.

U.S.D.T. International Travel and Trans- portation Trends. Washington D. C.: Bu- reau of
Transportation Statistics of U.S. Department of Transportation; 2006.

Roose A. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan dengan Kejadian Penyakit Demam


Berdarah Dengue (DBD) di Keca- matan Bukit Raya Kota Pekanbaru. Medan: Universitas
Sumatera Utara; 2008.

Silva-Nunes MD, Souza V, Pannuti CS, Sperana MA, Terzian ACB, Nogueira ML. Risk
Factors for Dengue Virus Infec- tion in Rural Amazonia: Population-based Cross-sectional
Surveys. Am J Trop Med Hyg. 2008; Vol 79 (4): p. 48594.

Noor R. Nyamuk Aedes aegypti. 2009 [cited 24 Desember 2010]; Available from:
http://id.shvoong.com/medicine-and- health/epidemiology-public- health/2066459-nyamukaedes-aegypti.

45. WHO. Insect and Rodent Control Through Environmental Management. Geneva: World Health
Organization; 1992.
46. Depkes RI. Pencegahan dan Pemberanta- san Demam Berdarah dengue di Indonesia. Jakarta:
Depkes RI; 2005.

JTPUNIMUS-GDL-WIWIKDURRO
A.1. Definisi Demam Berdarah Dengue
Demam Dengue adalah penyakit febris virus akut yang seringkali disertai dengan
gejala sakit kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam dan lekopenia. Demam
Berdarah Dengue ditandai dengan manifestasi klinis utama yaitu demam tinggi,
fenomena hemoragik, sering dengan hepatomegali dan pada kasus berat ada tandatanda kegagalan sirkulasi. Pasien dapat mengalami syok hipovolemik (penurunan
cairan) akibat kebocoran plasma. Syok ini disebut Dengue Shock Syndrome (DSS)
dan dapat menjadi fatal yaitu kematian.

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
Dengue yang berat yang ditandai gejala panas yang mendadak, perdarahan dan
kebocoran plasma yang dapat dibuktikan dengan adanya penurunan jumlah trombosit,
peningkatan hematokrit, ditemukan efusi pleura disertai dengan penurunan kadar

albumin, protein dan natrium. Dengue Syok Syndrome (DSS) sebagai manifestasi
klinis Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan ditandai syok yang dapat mengancam
kehidupan penderita.

A.2. Etiologi dan Cara Penularan Demam Berdarah Dengue


Penyakit demam berdarah disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B,
yaitu Arthropod-borne virus dan ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti
dengan bintik hitam putih pada tubuhnya. Virus dengue merupakan virus RNA rantai
tunggal, genus flavivirus dari family Flaviviridae, terdiri atas 4 tipe virus yaitu D1,
D2, D3 dan D4. Struktur antingen ke-4 serotipe ini sangat mirip satu dengan yang
lain, namun antibodi terhadap masing masing tipe virus tidak dapat saling
memberikan perlindungan silang. Variasi genetik yang berbeda pada ke-4 serotipe ini
tidak hanya menyangkut antar tipe virus, tetapi juga di dalam tipe virus itu sendiri
tergantung waktu dan daerah penyebarannya.
Perantara pembawa virus dengue, dalam hal ini nyamuk Aedes disebut vector.
Biasanya nyamuk Aedes yang menggigit tubuh manusia adalah nyamuk betina,
sedangkan nyamuk jantanya lebih menyukai aroma yang manis pada tumbuh
tumbuhan.

A.3. Patogenesis
Patogenesis Demam Berdarah Dengue sampai saat ini masih kontrovesial dan belum
dapat diketahui secara jelas. Terdapat dua teori yang dikemukakan dan paling sering
dianut adalah : Virulensi virus dan Imunopatologi yaitu Hipotesis Infeksi Sekunder
Heterolog (The Secondary Heterologous Infection). Teori lainnya adalah teori endotel,
endotoksin, mediator, dan apoptosis. Virulensi VirusVirus Dengue merupakan
keluarga flaviviridae dengan empat serotip (DEN 1, 2, 3, 4). Terdiri dari genom RNA
stranded yang dikelilingi oleh nukleokapsid. Virus Dengue memerlukan asam nukleat
untuk bereplikasi, sehingga mengganggu sintesis protein sel pejamu. Kapasitas virus
untuk mengakibatkan penyakit pada pejamu disebut virulensi. Virulensi virus
berperan melalui kemampuan virus untuk :
-

Menginfeksi lebih banyak sel,

Membentuk virus progenik,

Menyebabkan reaksi inflamasi hebat,

Menghindari respon imun mekanisme efektor.

Penelitian terakhir memperkirakan bahwa terdapat perbedaan tingkatan virulensi virus


dalam hal kemampuan mengikat dan menginfeksi sel target. Perbedaan manifestasi
klinis demam dengue, DBD dan Dengue Syok syndrome mungkin disebabkan oleh
varian-varian virus dengue dengan derajat virulensi yang berbeda-beda.
-

Teori ImunopatologiHipotesis infeksi sekunder oleh virus yang heterologous


(secondary heterologous infection) menyatakan bahwa pasien yang mengalami infeksi
kedua kalinya dengan serotype virus dengue yang heterolog akan mempunyai risiko
yang lebih besar untuk menderita Demam Berdarah Dengue dan Sindrom Syok
Dengue. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenali virus lain
yang telah menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang
kemudian berikatan dengan reseptor dari membrane sel leukosit, terutama makrofag.
Antibodi yang heterolog menyebabkan virus tidak dinetralisasi oleh tubuh sehingga
akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai
antibody dependent enhancement (ADE), yaitu suatu proses yang akan meningkatkan
infeksi sekunder pada replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear yaitu
terbentuknya komplek imun dengan virus yang berkadar antibodi rendah dan bersifat
subnetral dari infeksi primer. Komplek imun melekat pada reseptor sel mononukleus
fagosit (terutama makrofag) untuk mempermudah virus masuk ke sel dan
meningkatkan multiplikasi. Kejadian ini menimbulkan viremia yang lebih hebat dan
semakin banyak sel makrofag yang terkena. Sedangkan respon pada infeksi tersebut
terjadi sekresi mediator vasoaktif yang mengakibatkan terjadinya keadaan
hipovolemia dan syok.

Teori EndotoksinSyok pada DBD menyebabkan iskemia usus, yang kemudian


menyebabkan translokasi bakteri dari lumen usus ke dalam sirkulasi. Endotoksin
sebagai komponen kapsul luar bakteri gram negative akan mudah masuk ke dalam
sirkulasi pada keadaan iskemia berat. Telah dibuktikan oleh peneliti sebelumnya
bahwa endotoksin berhubungan erat dengan kejadian syok pada demam berdarah

dengue. Endotoksinemia terjadi pada 75% Sindrom Syok Dengue dan 50% Demam
Berdarah Dengue tanpa syok.
- Teori Mediator Makrofag yang terinfeksi virus Dengue mengeluarkan sitokin yang disebut
monokin dan mediator lain yang memacu terjadinya peningkatan permeabilitas vaskuler dan
aktivasi koagulasi dan fibrinolisis sehingga terjadi kebocoran vaskuler dan perdarahan.
- Teori ApoptosisApoptosis adalah proses kematian sel secara fisiologis yang merupakan reaksi
terhadap beberapa stimuli. Akibat dari apoptosis adalah fragmentasi DNA inti sel,
vakuolisasi sitoplasma, peningkatan granulasi membran plasma menjadi DNA subseluler
yang berisi badan apoptotik.

- Teori EndotelVirus Dengue dapat menginfeksi sel endotel secara in vitro dan
menyebabkan pengeluaran sitokin dan kemokin. Sel endotel yang telah terinfeksi
virus

Dengue

menyebabkan

dapat

menyebabkan

peningkatan

aktivasi

permeabilitas

komplemen
vaskuler

dan

dan

selanjutnya

dilepaskannya

trombomodulin yang merupakan pertanda kerusakan sel endotel. Bukti yang


mendukung adalah kebocoran plasma yang berlangsung cepat dan meningkatnya
hematokrit dengan mendadak.

9,10

A.4. Patofisiologi
Patofisiologi primer pada Demam Berdarah Dengue (DBD) terjadi peningkatan akut
permeabilitas vaskuler yang mengarah pada kebocoran plasma ke dalam ruang ekstra
vaskuler, sehingga akan menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah.
Volume plasma menurun mencapai 20% pada kasus berat yang diikuti efusi pleura,
hemokonsentrasi dan hipoproteinemia. Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh,
cairan ekstravasasi diabsorbsi dengan cepat dan menimbulkan penurunan hematokrit.
Perubahan hemostasis pada Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Syok
Syndrome (DSS) yang akan melibatkan 3 faktor yaitu: (1) perubahan vaskuler; (2)
trombositopenia; dan (3) kelainan koagulasi.
Setelah virus Dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak didalam
sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7
hari. Respon imun humoral atau seluler muncul akibat dari infeksi virus ini. Antibodi
yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi Dengue primer
antibodi mulai terbentuk dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang ada telah

meningkat.
Antibodi terhadap virus Dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam pada
hari ke 5, meningkat pada minggu pertama sampai minggu ketiga dan menghilang
setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat pada demam hari ke14 sedangkan pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua.
Diagnosis dini pada infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi
antibodi IgM setelah hari kelima, sedangkan pada infeksi sekunder dapat ditegakkan
lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat.

Trombositopenia merupakan kelainan hematologi yang sering ditemukan pada


sebagian besar kasus Demam Berdarah Dengue. Trombosit mulai menurun pada masa
demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat
meningkat pada masa konvalesen dan nilai normal biasanya tercapai pada 7-10 hari
sejak permulaan sakit. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap
sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD.
Gangguan hemostasis melibatkan perubahan vaskuler, pemeriksaan tourniquet positif,
mudah mengalami memar, trombositopenia dan koagulopati. DBD stadium akut telah
terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis, Disseminated Intravaskular Coagulation
(DIC) dapat dijumpai pada kasus yang berat dan disertai syok dan secara potensial
dapat terjadi juga pada kasus DBD tanpa syok. Terjadinya syok yang berlangsung
akut dapat cepat teratasi bila mendapatkan perawatan yang tepat dan melakukan
observasi disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostatis.

11

A.5. Manifestasi Klinik


Gejala Demam Berdarah Dengue (DBD) ditandai dengan manifestasi klinis, yaitu
demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan
peredaran darah (circulatory failure). Patofisiologi yang membedakan dan
menentukan drajat penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Demam Dengue
(DD) yaitu peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume
plasma, trombositopeni, dan distesis hemoragik.

11

Umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti dengan fase
kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi
mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapatkan pengobatan yang
adekuat.

12

Gejala Demam Berdarah Dengue yaitu demam tinggi mendadak antara 38 40 % C


selama 2 7 hari, demam tidak dapat teratasi maksimal dengan penularan panas
biasa, mual, muntah, nafsu makan menurun, nyeri sendi atau nyeri otot (pegal
pegal), sakit kepala, nyeri atau rasa panas di belakang bola mata, wajah kemerahan,
13
sakit perut (diare), kelenjar pada leher dan tenggorokan terkadang ikut membesar.
Gejala lanjutannya terjadi pada hari sakit ke 3 5, merupakan saat- saat yang
berbahaya pada penyakit demam berdarah dengue yaitu suhu badan akan turun, jadi
seolaholah anak sembuh karena tidak demam lagi. Perlu di perhatikan tingkah laku
si anak, apabila demamnya menghilang, si anak tampak segar dan mau bermain serta
mau makan atau minum, biasanya termasuk demam dengue ringan. Tetapi apabila
demam menghilang tetapi si anak bertambah lemah, ingin tidur, dan tidak mau makan
atau minum apapun apabila disertai nyeri perut, ini merupakan tanda awal terjadinya
syok. Keadaan syok merupakan keadaan yang sangat berbahaya karena semua organ
tubuh kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat.
Hari ke 6 demam dan seterusnya, merupakan saat penyembuhan. Saat ini demam telah
menghilang dan suhu menjadi normal kembali, tidak dijumpai lagi perdarahan baru,
dan nafsu makan timbul kembali. Pada umumnya, setelah sembuh dari sakit, si anak
masih tampak lemah, muka agak sembab disertai perut agak tegang tetapi beberapa
hari kemudian kondisi badan anak pulih kembali normal tanpa gejala sisa.

14

Proses penyembuhan DBD dengan atau tanpa adanya syok berlangsung singkat dan
sering kali tidak dapat diramalkan, bahkan dalam kasus syok stadium lanjut, segera
setelah syok teratasi, pasien sembuh dalam waktu 2 3 hari. Timbulnya kembali
selera makan merupakan prognostik yang baik. Fase penyembuhan ditandai dengan
adanya sinus bradikaridia atau aritmia jantung serta petekie yang menyeluruh
sebagaimana biasanya terjadi pada kasus DD.

14

Sebagai tanda penyembuhan kadangkala timbul bercak-bercak merah menyeluruh di


kedua kaki dan tangan dengan bercak putih di antaranya. Pada anak besar mengeluh
gatal di bercak tersebut. Jadi, bila telah timbul bercak merah yang sangat luas di kaki
dan tangan anak itu pertanda telah sembuh dan tidak perlu di rawat.

14

A.6. Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO (1997). Terdiri dari Kriteria
klinis dan Laboratorium sebagai berikut :
1) Kriteria Klinis
- Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7
hari.
- Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan uji tourniquet positif, petekie,
ekimosis, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan melena
- Pembesaran hati
- Shock ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi,
kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
2) Laboratorium

3
Trombositopenia (< 100.000/mm )

Hemokonsentrasi (kadar Ht > 20% dari normal)


WHO (1997) membagi derajat penyakit DBD dalam 4 derajat yaitu :
Derajat I : Demam dengan uji bendung positif.
Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain.
Derajat III : Ditemui kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekan nadi
menurun (< 20mmHg) atau hipotensi disertai kulit yang lembab dan pasien menjadi

gelisah.
Derajat IV : Shock berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat
15
diukur.
A.7. Penatalaksanaan
Pengobatan Demam Berdarah Dengue (DBD) pada dasarnya bersifat suporatif, yaitu
untuk mengatasi kehilangan suatu cairan plasma sebagai akibat dari peningkatan
permeabilitas kapiler dan perdarahan. Umumnya penderita demam berdarah
dianjurkan untuk dirawat dirumah sakit di ruang perawatan biasa, akan tetapi pada
kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan komplikasi diperlukan perawatan
yang intensif. Untuk dapat melakukan perawatan Demam Berdarah Dengue (DBD)
dengan baik perlu dokter dan perawat yang terampil serta laboratorium yang
memadai, cairan kristaloid dan koloid serta bang darah yang siap bila diperlukan.
Untuk mengurangi angka kematian perlu dilakukan diagnosis dini dan edukasi untuk
dirawat bila terdapat tanda syok. Kunci keberhasilan penanganan penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) terletak pada keterampilan dokter dalam mengatasi
peralihan fase, dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan
baik.

11

1) Keterangan gambar 1Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/gejalanya tidak


spesifik, oleh karena itu masyarakat atau orang tua diharapkan untuk waspada jika
melihat tanda atau gejala yang mungkin merupakan gejala awal perjalanan penyakit
DBD. Petama tama ditentukan terlebih dahulu adakah tanda kedaruratan yaitu tanda
syok (gelisah, nafas cepat, bibir biru, tangan dan kaki dingin, kulit lembab), muntah
terus menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, berak hitam, maka pasien
perlu dirawat (tatalaksana disesuaikan). Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan,
periksa uji tourniquet: apabila uji tourniquet positif lanjutkan dengan pemeriksaan
trombosit, apabila trombosit 100.000/ul pasien dirawat untuk observasi. Apabila uji
tourniquet positif dengan trombosit >100.000/ul atau normal atau uji tourniquet
negativ, pasien boleh pulang dengan pesan untuk datang kembali setiap hari sampai
suhu turun. Nilai gejala klinis dan lakukan pemeriksaan Hb,Ht dan trombosit setiap
kali selama anak masih demam. Bila terjadi penurunan kadar Hb dan/atau

peningkatan kadar Ht,segera rawat. Beri nasehat kepada orang tua : anak dianjurkan
minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah, dan lain lain, serta
diberikan obat antipiretik golongan parasetamol (kontraindikasi golongan salisilat).
Bila klinis menunjukkan tandatanda syok seperti anak menjadi gelisah, ujung
kaki/tangan dingin, muntah, lemah, dianjurkan segera dibawa berobat ke dokter atau
ke puskesmas, dan rumah sakit.
Kriteria memulangkan pasien
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa pemberian
antipiretik, nafsu makan membaik, tampak terdapat perbaikan secara klinis, Ht stabil,
tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit >50.000/ul dan cenderung meningkat,
serta tidak dijumpai distress pernafasan yang biasanya disebabkan oleh efusi pleura
atau asidosis.

10

K1000060097
1. Definisi
a. Demam berdarah dengueDemam berdarah dengue adalah demam yang berlangsung
akut baik menyerang orang dewasa maupun anak-anak, tetapi lebih banyak
menimbulkan korban pada anak-anak berusia di bawah 15 tahun, disertai dengan
pendarahan dan dapat menimbulkan renjatan (syok) yang dapat mengakibatkan
kematian penderita. Penyebabnya adalah virus dengue dan penularannya terjadi
melalui gigitan nyamuk Aedes aegepti (Soedarto, 1995) dengan manifestasi klinis
demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang
ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di
rongga tubuh (Anonim, 2006).
2. Etiologi
Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus
Flavivirus, keluarga Flaviviradae. Flavirus merupakan virus dengan diameter 30nm
terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Terdapat 4
serotip virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat

menyebabkan demam berdarah dengue. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue
dengan flavirus lain (Anonim, 2007).
3. Patogenesis
Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes aegepti dan Aedes albopicnus sebagai
vektor ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Virus akan bereplikasi di
nodus limfatikus regional dan menyebar ke jaringan lain, terutama ke sistem
retikuloendotelial dan kulit secara bronkogen maupun hematogen. Tubuh akan
membentuk kompleks virus antibody dalam sirkulasi darah sehingga akan
mengaktivasi sistem komplemen yang berakibat dilepaskannya anafilatoksin C3a dan
C5a permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat (Anonim, 1999).
4. Klasifikasi
Mengingat derajat beratnya penyakit Demam Berdarah Dengue bervariasi dan sangat
erat kaitanya dengan pengelolaan dan prognosis.
5. Diagnosis
Masa inkubasi dengue pada manusia sekitar 4-5 hari. Gejala dan keluhan awal dengue
yang tidak spesifik berlangsung sekitar 1-5 hari, berupa demam ringan, sakit kepala,
lemah, letih dan lesu. Demam yang terjadi berlangsung secara mendadak untuk
kemudian dalam waktu 2-7 hari menurun menuju suhu normal. Bersamaan dengan
berlangsungnya demam, gejala klinis yang tidak spesifik misalnya anoreksia, nyeri
punggung, nyeri tulang dan sendi, rasa lemah dan nyeri kepala dapat menyertainya.
Penderita demam berdarah dengue biasanya mengalami pendarahan pada hari kedua
dari demam, yang terutama terjadi di tempat vena pungsi (Soedarmo, 2007).
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah
ini dipenuhi :
- Demam atau riwayat demam, 2-7 hari dan biasanya bifasik.
- Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/l).
- Terdapat minimal satu dari manifestasi dari pendarahan sebagai berikut : Uji

tourniquest positif, patekei, ekimosis atau purpura, pendarahan mukosa,


hematemesis atau melena.
- Terdapat minimal satu tanda- tanda kebocoran plasma sebagai berikut :
1) Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin.
2) Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
3) Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia (Anonim, 2007).
Parameter nilai laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:
- Trombosit: Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8 (jumlah trombosit
< 100.000/l).
- Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya penumpukan
hematokrit > 20% dari hematokrit awal.
- Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PTM, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP
pada keadaan yang dicurigai terjadi pendarahan atau kelainan pembekuan darah.
- Golongan darah: Bila akan diberikan transfusi darah atau komponen darah.
- Elektrolit: Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan (Anonim, 2006).
6. Penatalaksanaan
Dasar penatalaksanaan penderita DBD adalah pengganti cairan yang hilang sebagai
akibat dari kerusakan dinding kapiler yang menimbulkan peninggian permeabilitas
sehingga mengakibatkan kebocoran plasma. Selain itu, perlu juga diberikan obat
penurun panas (Rampengan, 2007).Secara umum Demam Berdarah Dengue (DBD)
dibagi 4 derajat, terapi yang biasa dilakukan, yaitu :
a. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue (DBD) Tanpa Syok

1. Penggantian volume cairan pada DBD


Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma yang terjadi pada fase penurunan
suhu sehingga dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang.
Penggantian cairan awal dihitung untuk 23 jam pertama, sedangkan pada kasus syok
lebih sering sekitar 3060 menit. Tetesan 2448 jam berikutnya harus selalu
disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit dan jumlah volume urin. Apabila
terdapat kenaikan hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang
diberikan harus sama dengan plasma.
Kebutuhan cairan pada rehidrasi ringan-sedang
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat
badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi
yang terjadi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan
ideal untuk anak umur yang sama (Hadinegoro dkk., 2002).
Kebutuhan cairan rumatan
Dengan melihat keterangan tabel diatas dapat diperhitungkan misalnya jika anak
dengan berat badan 40 kg maka cairan rumatan yang diberikan adalah sebanyak 2300
ml dan jumlah cairan rumatan ini diperhitungkan untuk 24 jam. Oleh karena
kecepatan perembesan plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat
pada saat suhu turun), volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan
dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit
(Rampengan, 2007).

Berat Badan (Kg)

Jumlah Cairan (ml/kg BB/hari)

<7

220

7 11

165

12 18

132

>18

88

Berat badan (Kg)

Jumlah cairan (ml)


10

100 per Kg BB

10 20

1000 + 50 x BB (untuk BB diatas 10 kg)

>20

1500 + 20 x BB (untuk BB diatas 20 kg)

2. Antipiretika
Antipiretika yang diberikan ialah parasetamol, tidak disarankan diberikan golongan
salisilat karena dapat menyebabkan bertambahnya pendarahan (Rampengan, 2007).
Dosis parasetamol dapat dikelompokkan menurut umur tiap kali pemberian yang
ditampilkan pada tabel 4 berikut ini :
3.Antikonvulsan
- Apabila timbul kejang kejang diatasi dengan pemberian antikonvulsan.
-

Diazepam: diberikan dengan dosis 0,5 mg/KgBB/kali secara intravena dan dapat
diulang apabila diperlukan.

Phenobarbital: diberikan dengan dosis, pada anak berumur lebih dari satu tahun
diberikan luminal 75 mg dan dibawah satu tahun 50 mg secara intramuscular. Bila
dalam waktu 15 menit kejang tidak berhenti dapat diulangi dengan dosis 3mg/Kg BB
secara intramuskular (Anonim, 1985).
4. Pengamatan PenderitaPengamatan penderita dilakukan terhadap tandatanda dini
syok. Pengamatan ini meliputi: keadaan umum, denyut nadi, tekanan darah, suhu,
pernafasan, dan monitoring Hb, Hct dan trombosit (Anonim, 1985).
Umur (tahun)

Dosis (mg)

Tablet (500mg)

<1

60

1/8

1-3

60-125

1/8-1/4

4-6

125-250

1/4-1/2

6-12

250-500

1/2-1

Algoritma Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue

4-4-1 KEGAWATDARURATAN ANAK Sari Pediatri, Vol. 4, No. 4, Maret 2003


Anak sakit gawat ialah anak nyawanya terancam oleh kekurangan suplai oksigen dan
nutrien yang disebabkan oleh disfungsi respirasi dan kardiovaskular atau peningkatan
kbutuhan oksigen pada berbagai keadaan stres seperti trauma, tindakan bedah, luka
bakar, sepsis, demam tinggi, keracunan, syok, malformasi kongenital, keganasan,
henti jantung-paru dan sakit gawat lain.1-4 Defisiensi oksigen selular berpengaruh
buruk pada fungsi sistem saraf pusat, kardiovaskular, respirasi, gastrointestinal, renal,
dan hematologi yang bila berlangsung lama dapat menimbulkan gangguan
transportasi oksigen global, disfungsi sistem organ multipel dan kematian.5-9Tubuh
dipertahankan tetap dalam keadaan normal oleh sistem homeostasis yaitu mekanisme
kompensasi fisiologik yang meliputi seluruh respons stres otonomik dan hormonal
dengan meningkatkan curah jantung dan pelepasan oksigen di organ vital secara
optimal.5,10 Pada keadaan suplai oksigen rendah, mekanisme neu- rohumoral
terutama sistem saraf simpatis diaktifkan sehingga terjadi vasokonstriksi dan
pengalihan aliran darah dari kulit, ginjal, saluran cerna dan otot rangka ke otak dan
jantung. Perangsangan sistem saraf simpatis juga menyebabkan pelepasan
norepinefrin dan epinefrin, katekolamin yang memberi efek serupa dengan stimulasi
sistem saraf simpatis.5
Penurunan perfusi ginjal menyebabkan pelepasan renin, angiotensin II, aldosteron dan
arginine vasopressin (AVP) sehingga terjadi retensi air dan sodium serta peningkatan
volume intravaskular. Penurunan pH susunan saraf pusat merangsang kemoreseptor di
daerah medula sehingga terjadi peningkatan volume tidal, frekuensi pernapasan,
hiperventilasi, volume pernapasan semenit, dan alkalosis respiratorik. Secara umum
pada anak sakit gawat, peningkatan aktivitas neurohumoral membantu pelepasan
oksigen melalui hiperventilasi, vasokonstriksi, redistribusi aliran darah, peningkatan
volume intravaskular, tekanan darah, denyut jantung dan kontraktilitas miokard.5,10
Penanganan awal seorang anak sakit gawat dilakukan melalui pendekatan pada

disfungsi multisistem. Diarahkan pada optimalisasi mekanisme kompensasi pelepasan


nutrien terutama oksigen karena itu selalu dimulai dengan tunjangan hidup dasar atau
resusitasi jantung paru (resusitasi ABC), disamping tatalaksana penyakit primer.5,1113
Kegawatan Demam Berdarah Dengue
Manifestasi klinik utama demam berdarah dengue (DBD) adalah demam tinggi
(>39oC sampai hiper- pireksi 40-41oC), hepatomegali, fenomena perdarahan dan
gagal sirkulasi. Sering terdapat keluhan epigastrik, nyeri tekan pada pinggir kosta
kanan, nyeri abdomen menyeluruh dan mungkin disertai kejang.14 Kegawatan DBD
adalah kegawatan medik akut yang terutama melibatkan sistem hematologi dan
kardiovaskular.14
Fenomena perdarahan pada DBD berkaitan dengan perubahan vaskular, penurunan
jumlah trombosit (<100.000/l) dan koagulopati. Tendensi perdarahan terlihat pada
uji tourniquet positif, petekie, purpura, ekimosis, dan perdarahan saluran cerna berupa
hematemesis dan melena.14
Disfungsi sirkulasi atau syok pada DBD, (sindrom syok dengue = SSD) yang
biasanya terjadi antara hari sakit ke 2-7, disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
vaskular sehingga terjadi plasma leakage, efusi cairan serosa ke rongga pleura dan
peritoneum,

hipo-

proteinemia,

hemokonsentrasi

dan

hipovolemia,

yang

mengakibatkan berkurangnya venous return, preload miokard, volume sekuncup dan


curah jantung, sehingga terjadi disfungsi sirkulasi dan penurunan perfusi organ.
Gangguan perfusi ginjal ditandai dengan oliguria atau anuria, sedangkan gangguan
perfusi susunan saraf pusat ditandai oleh penurunan kesadaran.5,14 Pada fase awal
SSD fungsi organ vital dipertahankan dari hipovolemia oleh sistem homeostasis
dalam bentuk takikardia, vasokonstriksi, penguatan kontraktilitas miokard, takipnea,
hiperpnea dan hiperventilasi. Vasokonstriksi perifer mengurangi perfusi non esensial
di kulit yang menyebabkan sianosis, penurunan suhu permukaan tubuh dan
pemanjangan waktu pengisian kapiler (>5 detik). Perbedaan suhu kulit dan suhu

tubuh lebih dari 2oC menunjukkan mekanisme homeostasis masih utuh. Pada tahap
SSD kompensasi curah jantung dan tekanan darah normal kembali. 5,14 Penurunan
tekanan darah merupakan manifestasi lambat pada SSD, yang berarti sistem
homeostasis terganggu, kelainan hemodinamik berat, dan telah terjadi dekompensasi.
Mula-mula tekanan nadi turun kurang dari 20mmHg misalnya 100/90, oleh karena
tekanan sistolik turun sesuai dengan penurunan venous return dan volume sekuncup,
sedangkan tekanan diastolik meninggi sesuai dengan peningkatan tonus vaskular.5,14
Sindrom syok dengue berlanjut dengan kegagalan mekanisme homeostasis.
Efektivitas dan integritas sistem kardiovaskular rusak, perfusi miokard dan curah
jantung menurun, sirkulasi makro dan mikro terganggu, terjadi iskemia jaringan,
kerusakan fungsi sel secara progresif dan ireversibel, sehingga terjadi kerusakan sel
dan organ dan pasien akan meninggal dalam 12-24 jam.5,14
Prognosis kegawatan DBD tergantung pada pengenalan, pengobatan tepat, segera dan
pemantauan syok secara ketat. Sekali SSD teratasi walaupun berat, penyembuhan
akan terjadi dalam 2-3 hari. Tanda prognosis baik adalah membaiknya takikardia,
takipneu dan kesadaran, diuresis cukup dan nafsu makan timbul. Lama perjalanan
DBD berat adalah 7- 10 hari. Pada masa konvalesen DBD biasanya terdapat
bradikardia atau aritmia.14
Tata laksana Kegawatan Demam Berdarah Dengue
Transisi SSD terkompensasi ke ireversibel berlangsung cepat sekali, karena itu
intervensi agresif untuk penyelamatan hidup perlu dilakukan segera. Intervensi
dilakukan sebelum terjadi anuria, hipotensi, asidosis dan koma, yaitu saat terdapat
tanda hipovolemia, hipoperfusi dan takikardia.5,14 Tata laksana kegawatan DBD
berorientasi pada pendekatan patofisiologi multisistem terpadu yang diarahkan pada
pemenuhan kebutuhan oksigen dan nutrien, melalui optimalisasi curah jantung dan
perfusi jantung, otak dan ginjal sehingga fungsi homeostasis kembali normal, nutrisi
dapat diberikan dan kesembuhan dapat diharapkan.
Urutan tata laksana kegawatan DBD

- Penimbangan berat badan. Berat badan perlu ditimbang saat pasien datang sebagai
dasar perhitungan pengobatan dan untuk menilai perjalanan penyakit. Pada tahap
awal, pe- nimbangan berat badan dilakukan 23 kali sehari (dengan timbangan
gantung), selanjutnya paling kurang satu kali sehari. Perkiraan berat badan dapat
dihitung berdasarkan rumus: BB (kg) = 2 x umur (tahun) + 4.15
- Pemberian tunjangan hidup dasar. Obat pertama yang harus diberikan pada
kegawatan DBD adalah oksigen. Hipoksemia harus dicegah dan dikoreksi. Dimulai
dengan resusitasi jantung paru yang memastikan jalan napas terbuka dan
pernafasan adekuat. Saturasi oksigen dipertahankan antara 95100% dan kadar
hemoglobin cukup.
- Pemasangan akses vena. Buat akses vena dan ambil contoh darah untuk analisis gas
darah, kadar hemoglobin, hemotokrit, jumlah trombosit, golongan darah dan
crossmatch, ureum, kreatinin, elektrolit Na, K, Cl, Ca, Mg, P dan asam laktat.
- Pemasangan kateter urin.Pasang kateter urin dan lakukan penampungan urin,
pemeriksaan urinalisis, dan pengukuran berat jenis urin. Jumlah diuresis dihitung
setiap jam (normal: 2-3 ml/kgbb/jam). Bila diuresis kurang dari 1 ml/kgbb/jam
berarti terdapat hipoperfusi ginjal. Oliguria lebih dahulu muncul dari pada
penurunan tekanan darah dan takikardia.
- Pemasangan pipa oro / nasogastrik.Pemasangan pipa oro / nasogastrik pada anak
sakit gawat berguna untuk dekompresi, memantau perdarahan saluran cerna (stres
gastritis) dan melakukan bilasan lambung dengan garam fisiologik.11-13 Stres
Gastritis biasanya memberi respons baik terhadap pembilasan lambung dan koreksi
hemodinamik.16
- Resusitasi cairan. Resusitasi cairan adalah pemberian bolus cairan resusitasi secara
cepat melalui akses intravaskular atau intraoseal pada keadaan hipovolemia.
Tujuan resusitasi cairan adalah menyelamatkan otak dari gangguan hipoksikiskemik, melalui peningkatan preload dan curah jantung, mengembalikan volume
sirkulasi efektif, mengembalikan oxygen-carrying capacity dan mengoreksi

gangguan metabolik dan elektrolit.5,15 Jenis cairan resusitasi Cairan kristaloid


isotonik efektif mengisi ruang intersisial, mudah disediakan, tidak mahal, tidak
menimbulkan reaksi alergik; namun hanya seperempat bagian bolus tetap berada di
ruang intravaskular, sehingga diperlukan volume yang lebih besar 4-5 kali defisit
dengan risiko terjadi edema jaringan terutama paru. Contoh cairan kristaloid
isotonik adalah garam fisiologik (NaCl 0.9%), ringer laktat dan ringer asetat. 5,1415

Cairan koloid berada lebih lama di ruang intravaskular, mampu

mempertahankan tekanan onkotik, namun selain lebih mahal, dapat menye- babkan
reaksi sensitivitas dan komplikasi lain. Contoh cairan koloid adalah albumin 5%,
hetastarch, dextran 40% dan gelatin.5,14-15
Darah,

fresh

frozen-plasma

dan

komponen

darah

lain

diberikan

untuk

mempertahankan Hb, menaikkan daya angkut oksigen, memberikan faktor


pembekuan untuk mengoreksi koagulopati. Produk darah perlu dihangatkan terlebih
dahulu sebelum diberikan. Risiko penggunaan darah dalam jumlah besar dan cepat
adalah infeksi blood-borne, hipotermia dan hipo- kalsemia, karena clearance sitrat
tidak adekuat sehingga dapat mengganggu fungsi miokard.15
Cairan yang mengandung glukosa tidak diberikan dalam bentuk bolus karena dapat
menyebabkan hiperglikemia, diuresis osmotik dan memperburuk cedera serebral
iskemik. Hiperglikemik yang sering terdapat pada pasien syok akan terkontrol tanpa
insulin oleh perbaikan fungsi homeostatik apabila syok teratasi.5,15
Cara pemberian cairan resusitasi
Resusitasi cairan paling baik dilakukan pada tahap syok hipovolemik kompensasi,
sehingga dapat mencegah terjadinya syok dekompensasi dan ireversibel.5-15
Bolus kristaloid isotonik 10-30 ml/kgbb diberikan dalam 6-10 menit, (WHO kurang
dari 20 menit) melalui akses intravaskular atau intraoseal dengan bantuan syringe
pump dan three-way stopcock.10,12 Setiap selesai pemberian bolus dilakukan
penilaian keadaan anak. Bila masih terdapat tanda syok diberikan bolus kristaloid

kedua 10-30 ml/kgbb/6-10menit. Bolus selanjutnya baik kristaloid maupun koloid


diberikan sampai perfusi sistemik membaik dan syok teratasi. Anak yang mengalami
syok hipovolemik sering memerlukan cairan resusitasi 60-80 ml/kgbb dalam satu jam
pertama dan 200 ml/kgbb dalam beberapa jam kemudian. 12 Ekspansi volume
intravaskular secara cepat dengan panduan diuresis dapat mengembalikan tekanan
darah dan perfusi perifer. Cairan resusitasi dapat diberikan secara aman sampai 30%
volume intravaskular. Hal yang membatasi resusitasi cairan ialah apabila peningkatan
preload atau pengisian ventrikel tidak diikuti oleh peningkatan curah jantung, tidak
memperbaiki perfusi perifer dan vascular bed , atau malah meningkatkan tekanan
vena, kebocoran vaskular, dan edema.5-15Bila volume yang diberikan lebih dari 50100 ml/ kgbb dalam 1-2 jam pertama perlu dilakukan pemantauan invasif tekanan
vena sentral (CVP) atau tekanan atrium kanan untuk menilai fungsi miokard. Bila
CVP <10 mmHg berarti fungsi miokard masih baik dan resusitasi cairan dapat
diteruskan. Bila CVP >10 mmHg berarti terdapat disfungsi miokard atau penurunan
kontraktilitas ventrikel kanan, peningkatan resistensi vaskular paru (afterload
ventrikel kanan) atau syok kardiogenik.5-15
Perawatan di PICU (Pediatric Intensive Care Unit)
Anak yang menderita SSD perlu dirawat di PICU untuk memantau dan
mengantisipasi perubahan sirkulasi dan metabolik dan memberikan tindakan suportif
intensif.
Pemberian obat-obatan
Umumnya kegawatan DBD cukup diatasi dengan tunjangan ventilasi, pemberian
oksigen dan resusitasi cairan. Pada SSD berat obat yang mungkin pula perlu diberikan
saat resusitasi adalah bolus epinefrin, sodium bikarbonat, atropin, glukosa dan
kalsium klorida, dan pasca resusitasi untuk stabilitas hemodinamik adalah infus
epinefrin, dopamin dan dobutamin.15 Bolus obat resusitasi dapat diberikan secara
intravena (IV), intraoseal (IO) atau endotrakeal. Penyuntikan obat resusitasi
intrakardial tidak dilakukan lagi mengingat risiko terjadinya laserasi arteri koroner,
tamponade dan aritmia jantung disamping pijatan jantung terpaksa harus dihentikan

sementara.15 Infus obat resusitasi disiapkan dengan dekstrosa 5%, garam fisiologik
atau ringer laktat menurut rule of six yaitu 6 mg obat x BB (kg) dilarutkan dalam 100
mL, diberikan dengan kecepatan 1 mL/jam = 1.0 g/kgbb/menit.15
Epinefrin
Bolus epinefrin diberikan pada henti jantung, bradikadia dan hipotensi yang nonresponsif terhadap resusitasi jantung paru dan resusitasi cairan. Dosis bolus epinefrin
IV dan IO inisial adalah 0.01 mg/kgbb (0.1 ml/kgbb epinefrin 1:10.000). Bila perlu
dosis IV dan IO dinaikkan menjadi 0.1-0.2 mg/kgbb (0.1-0.2 ml epinefrin 1:1000),
yang diulang tiap 3-5 menit. Dosis epinefrin endotrakeal adalah 0.1 mg/kgbb (0.1mL/
kgbb epinefrin 1:1000).lah 0.01 mg/kg (0.1 mL/kgbb cairan 1:10.000) yang bila perlu
dinaikkan menjadi 0.1-0.2 mg/kgbb (0.1-0.2 mL/kgbb cairan 1:1000). Infus epinefrin
diberikan bila masih terdapat hipotensi, bradikardia dan perfusi sistemik buruk. Dosis
infus epinefrin adalah 0.1-1.0 mg/kgbb/menit
Epinefrin atau adrenalin adalah katekolamin endogen dengan efek a dan b adrenergik
yang bekerja langsung pada reseptor adrenergik tanpa melalui pelepasan norepinefrin,
karena itu dapat diberikan kepada bayi dan anak walaupun cadangan norepinefrin
miokard terbatas. Efek b-adrenergik epinefrin yang muncul pada dosis rendah (<0.3
g/kgbb/menit) adalah peningkatan kontraktilitas miokard, laju denyut jantung,
tekanan sistolik dan nadi, relaksasi otot polos vascular bed otot rangka dan bronkus.
Efek a-adrenergik epinefrin yang muncul pada dosis tinggi (>0.3 g/ kgbb/menit)
adalah vasokonstriksi splanknik, renal, mukosa usus dan kulit yang mengalihkan
aliran darah ke otak dan jantung, meningkatkan resistensi vaskular sistemik, tekanan
darah sistolik dan diastolik, meningkatkan perfusi koroner dan pelepasan oksigen di
jantung. Masa paruh epinefrin sekitar 2 menit, karena itu kecepatan infus epinefrin
disesuaikan setiap 5 menit dengan memperhatikan laju denyut jantung, tekanan darah
dan perfusi. Untuk mencegah eks- travasasi, infus epinefrin diberikan melalui kateter
vena atau kateter vena sentralis. Asidosis yang menekan katekolamin perlu dikoreksi
dengan pemberian oksigen, hiperventilasi dan perbaikan perfusi sistemik. Epinefrin
tidak aktif pada cairan alkali karena itu tidak dicampurkan pada cairan bikarbonat atau
alkali lain Epinefrin tersedia dalam vial 1 mg/mL. Larutan epinefrin 1:10.000

disiapkan untuk IV dan IO dosis rendah, larutan epinefrin 1:1000 disiapkan untuk IV
dan IO dosis tinggi dan endotrakeal, masing-masing larutan perlu diberi label supaya
tidak terjadi kesalahan. Infus epinefrin disiapkan menurut rule of six. (0.6 mg
epinefrin x BB kg) dalam 100 mL bila diinfuskan dengan kecepatan 1mL/jam akan
memberikan epinefrin 0.1 g/kg/menit.
Sodium bikarbonat
Sodium bikarbonat hanya diberikan pada henti jantung lama dan keadaan
hemodinamik tidak stabil yang menyebabkan asidosis berat dan hiperkalemia. Bila
dengan resusitasi jantung paru, pijat jantung dan pemberian bolus epinefrin masih
terdapat henti jantung, di berikan bolus sodium bikarbonat 1 mEq/kgbb IV/
IO (tidak endotrakeal). Sesudah sirkulasi spontan terjadi, dosis sodiumbikarbonat
selanjutnya didasarkan pada pemeriksaan pH dan PaCO2. Bila pemeriksaan analisis
gas darah tidak dapat dilakukan diberikan sodium bikarbonat 0.5 mEq/kgbb tiap 10
menit secara infus pelan selama 1-2 menit. Pemberian bikarbonat akan
menimbulkanreaksi H++HCO-HCOHO + CO2 di dalam darah sehingga pH
plasma meningkat. Larutan sodium bikarbonat 8.4% (1 mEq/L) sangat hiperosmolar
(2000

mOsm/L)

dibandingkan

plasma

280

mOsm/L,

dapat

menyebabkan

hiperosmolaritas, dan hipernatremia. Pipa IV dan IO harus dibilas dulu dengan garam
fisiologik sebelum dan sesudah dipakai untuk memberikan sodium bikarbonat.
Sodium bikarbonat menyebabkan katekolamin tidak aktif dan pengendapan garam
kalsium. Sodium bikarbonat tidak diberikan melalui endotrakeal Ekstravasasi sodium
bikarbonat menyebabkan sklerosis vena dan nekrosis jaringan.
Atropin
Curah jantung pada anak adalah rate dependent, karena itu bardikardia simptomatik
(<60 kali/menit) akibat perfusi buruk, hipotensi dan hipoksemia harus diobati dengan
resusitasi jantung paru, pemberian epinefrin atau atropin. Atropin adalah obat
parasimpatolitik yang mempercepat sinus atau pacemaker atrial dan konduksi
atrioventrikular. Atropin digunakan juga untuk mencegah bradikardia karena refleks
vagal pada tindakan intubasi endotrakeal.

Dosis atropin harus cukup untuk menimbulkan efek vagolitik dan mencegah
bradikardi paradoks. Dosis atropin 0.02 mg/kgbb dengan dosis minimal 0.1 mg, Dosis
atropin tunggal maksimal adalah 0.5 - 1 mg/kali yang dapat diulang tiap 5 menit
dengan dosis total maksimal 1 mg untuk anak dan 2 mg untuk remaja. Atropin dapat
diberikan melalui IV/IO dan endotrakeal. Atropin tersedia dalam kemasan 0.4 mg/mL.
Glukosa
Glukosa hanya diberikan bila terdapat hipoglikemia dan pasien tidak memberikan
respons terhadap tindakan resusitasi standar. Cadangan glikogen bayi dan anak sakit
gawat terbatas dan cepat habis. Gejala hipoglikemia serupa dengan gejala hipoksemia
yaitu perfusi buruk, takikardia, hipotermia, letargi dan hipotensi, karena hipoglikemia
menekan fungsi miokard. Glukosa diberikan dengan dosis 0.5-1.0 g/ kg secara IV atau
IO. Bolus D10W 5-10 ml/kgbb atau D5W atau D5 NaCl 0.9% atau RL 10-20
mL/kgbb dapat diberikan dalam 20 menit untuk mengobati hipoglikemia, walaupun
cairan resusitasi mengandung glukosa tidak rutin digunakan. Konsentrasi mak- simum
D25W hanya diberikan secara IV.
Kalsium klorida
Kalsium

diberikan

untuk

mengobati

hipokalsemia,

hiperkalemia

dan

hipermagnesemia. Kandungan elemen kalsium pada kalsium glukonat 10% adalah 9


mg/mL dan pada kalsium klorida 10% adalah 27.2 mg/mL. Dosis kalsium klorida
10% adalah 0.2-0.5 mL/kgbb atau 5-7 mg/kgbb elemen kalsium sama dengan 20-25
mg/kgbb garam kalsium yang diberikan secara infus pelan (100 mg/menit) untuk
mencegah bradikardia dan asistol. Dosis ini dapat diulangi satu kali lagi sesudah 10
menit. Dosis selanjutnya hanya diberikan biila dilakukan pengukuran kadar kalsium.Kalsium tidak dicampur dengan sodium bikarbonat karena dapat terjadi
pengendapan.
Dopamin
Dopamin diberikan untuk mengobati hipotensi atau perfusi perifer buruk pada anak
dengan volume intravaskular cukup dan irama jantung stabil. Dopamin tersedia dalam
kemasan 40 mg/mL. Cairan infus dopamin disiapkan menururt rule of six, yaitu 6 x

BB(kg) mg dopamin dalam cairan 100 ml. Apabila diinfuskan dengan kecepatan
1ml/jam akan mem- berikan dopamin 1 mg/kgbb/menit. Masa paruh dopamin pendek
karena itu diberikan secara infus kontinu dengan bantuan pompa infus. Infus dopamin
harus diberikan melalui kateter vena yang besar atau kateter vena sentraliis.
Ekstravasasi dopamin dapat menyebabkan iskemia dan nekrosis jaringan lokal.
Dopamin dan katekolamin lain tidak diberikan bersamaan dengan sodium bikarbonat
karena di nonaktifkan. Infus dopamin dimulai dengan 10mL/ jam atau
10mg/kgbb/menit yang selanjutnya disesuaikan dengan penilaian diuresis, perfusi
sistemik, dan tekanan darah. Pada dosis rendah (25mg/kgbb/ menit), efek langsung
dopamin pada reseptor b- adrenergik jantung sedikit, namun pada vascular bed
dopamin merangsang reseptor dopaminergik dengan efek vasodilatasi yang
meningkatkan aliran darah renal, splangnik, koroner dan serebral. Pada dosis tinggi
(>5mg/kgbb/menit) dopamin memberi efek langsung dan tidak langsung melalui
pelepasan norepinefrin saraf simpatis jantung pada reseptor -adrenergik jantung dan
efek vasokonstriksi -adrenergik. Efek inotropik dopamin pada anak terbatas sesuai
dengan inervasi simpatis miokard ventrikel yang belum sempurna. Infus dopamin 510 mg/kgbb/menit meningkatkan kontraktilias jantung tanpa efek pada tekanan darah
dan denyut jantung. Infus dopamin 10-20 mgbb/kg/ menit terjadi vasokonstriksi dan
peningkatan tekanan darah namun timbul masalah takikardia. Infus dopamin
>20mg/kgbb/menit menyebabkan vaso- konstriksi perifer hebat dan iskemia tanpa
tambahan efek inotropik. Karena itu bila diperlukan efek inotropik, dopamin
>20mg/kgbb/menit

diberikan

secara

infus

untuk

memperoleh

efek

dan

adrenergik lebih kuat.


Dobutamin
Dobutamin diberikan pada pengobatan hipoperfusi yang berhubungan dengan
peninggian resistensi vaskular sistemik. Dobutamin adalah katekolamin sintetik
dengan efek selektif langsung pada reseptor b- adrenergik dan tidak tergantung pada
cadangan norepinefrin. Dobutamin tidak mempunyai efek dopaminergik dan tidak
berpengaruh pada aliran darah renal dan splangnik. Dobutamin paling efektif untuk
mengobati gagal jantung kongestif atau syok kar- diogenik terutama yang disebabkan
oleh kardiomiopati karena merendahkan resistensi vaskular paru dan sistemik
sehingga meningkatkan curah jantung. Dobutamin kurang efektif dibandingkan

epinefrin pada syok septik dan hipotensi karena memperburuk vasodilatasi sistemik
yang sudah terjadi. Karena masa paruhnya rendah dobutamin diberikan secara infus
kontinu melalui kateter vena dengan bantuan pompa infus. Dobutamin tersedia dalam
vial 25 mg dan 12.5 mg/mL. Infus dobutamin disiapkan menurut rule of six.
Ekstravasasi dobutamin dapat menyebabkan iskemia jaringan dan nekrosis lokal.
Dobutamin non aktif dalam cairan alkali. Infus dopamin dimulai dengan dosis 5-10
mg/kgbb/menit (5-10 mL/jam). Kecepatan infus dobutamin disesuaikan dengan
tekanan darah dan perfusi pasien. Biasanya tidak diperlukan dosis dobutamin yang
lebih besar daripada 20 mg/kgbb/menit.
Daftar Pustaka
1. Blumer JL. The critically ill child and the pediatric in- tensive care unit. Dalam: Blumer JL,
penyunting. A prac- tical guide to pediatric intensive care. Edisi ke-3. St. Louis: Mosby 1990. h. 3-5.
2. Zimmerman JJ. The pediatric critical care patient. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting.
Pe- diatric critical care. Edisi ke-2. St Louis: Mosby 1998. h. 1-5.
3. McConnell MS, Perkin RM. Shock sates. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting. Pediatric
criti- cal care. Edisi ke-2. St Louis: Mosby 1998. h. 293-306.
4. Zimmerman JJ. Sepsis/septic shock. Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ, penyunting. Pediatric
critical care. Edisi ke-2. St Louis: Mosby 1998. h. 1088-100.
5. Tobin JR, Wetzel RC. Shock and multiple-organ system failure. Dalam: Rogers Mc, penyunting.
Textbook of Pediatric Intensive Care. Edisi ke-3. Baltimore: Williams & Wilkins,

Anda mungkin juga menyukai