PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih merupakan masalah utama
kesehatan yang dapat menimbulkan kesakitan (morbiditas) dan kematian
(mortalitas) (Aditama & Chairil, 2002). Diperkirakan sekitar sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun
1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di
seluruh dunia (Depkes RI, 2006).
Angka kejadian TB di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di
dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000
kasus TB baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi TB di
Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi
pada lebih dari 70% usia produktif (15-50 tahun) (WHO, 2010).
Strategi penanganan TB berdasarkan World Health Organization (WHO)
tahun 1990 dan International Union Against Tuberkulosa and Lung Diseases
(IUATLD) yang dikenal sebagai strategi Directly observed Treatment Shortcourse (DOTS) secara ekonomis paling efektif (cost-efective), strategi ini juga
berlaku di Indonesia. Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan
selama 6-8 bulan dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan
dalam bentuk kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua
kuman dapat dibunuh. Obat-obat yang dipergunakan sebagai obat anti
tuberkulosis (OAT) yaitu : Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z),
Streptomisin (S) dan Etambutol (E). Efek samping OAT yang dapat timbul
antara lain tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan
sampai rasa terbakar di kaki, gatal dan kemerahan kulit, ikterus, tuli hingga
gangguan fungsi hati (hepatotoksik) dari yang ringan sampai berat berupa
nekrosis jaringan hati. Obat anti tuberkulosis yang sering hepatotoksik adalah
INH, Rifampisin dan Pirazinamid. Hepatotoksitas mengakibatkan peningkatan
kadar transaminase darah (SGPT/SGOT) sampai pada hepatitis fulminan,
akibat pemakaian INH dan/ Rifampisin (Depkes RI, 2006; Arsyad, 1996;
Sudoyo, 2007).
Pembahasan lebih lanjut mengenai TB paru akan dibahas pada referat ini.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi,
etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, dan penatalaksanaan TB
paru.
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. W
Umur
: 65 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: Pedagang
Status
: Menikah
Masuk RS
: 15 Desember 2016
ANAMNESIS
Autoanamnesis
Keluhan Utama
Sesak napas makin memberat 3 hari terakhir
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit
(SMRS). Sesak napas timbul setelah pasien pulang bekerja dari berdagang, pasien
merasa tiba tiba sesak nafas. Sebulan sebelumnya pasien sering batuk batuk setiap
harinya, batuk dirasakan lebih berat ketika malam hari dan sedikit membaik ketika
sudah beristirahat, pasien merasa batuknya makin memberat dan berdahak hijau
kental, akhir akhir ini ketika pasien sesak nafas setelah sebelumnya terbatuk
batuk, sesak nafas juga dirasakan memberat ketika bekerja dan membaik ketika
istirahat, ketika malam hari pasien juga merasa sesak nafasnya memberat, sesak
nafas yang dirasakan pasien seperti terikat dibagian dada, sulit menarik nafas dan
sulit membuang nafas, pasien harus duduk terlebih dahulu agar bisa bernafas lebih
baik, atau ketika tidur mengunakan 2-3 bantal agar nyaman ketika istirahat, setiap
kali pasien ingin tidur malam pasien merasa ada bunyi mengi pada saat menarik
dan membuang nafas.
Pasien merasa demam sudah 2 minggu pada setiap malam, dan pada pagi
hari demam akan turun, demam dirasakan tidak terlalu tinggi pada malam hari tapi
cukup menganggu karena pasien berkeringat dingin, pasien sudah mencoba
meminum obat anti demam dan hanya merasa sedikit perbaikan, pasien mengeluh
Pasien memiliki riwayat alergi, seperti alergi udara dingin dan debu, tidak
ada alergi pada makanan
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Kesadaran
: Komposmentis
Keadaan umum
Tekanan darah
: 160/100 mmHg
Nadi
: 104 x/menit
Nafas
: 32 x/menit
: 37,2 C0
Suhu
Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk normocephale
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor,
refleks cahaya +/+
Leher
Thoraks
Paru
o Inspeksi
kelainan kulit, tidak terlihat adanya massa, benjolan atau luka pada
dada, gerakan dada kanan tertinggal dari pada dada kiri.
o Palpasi
kanan dan kiri, tidak teraba krepitasi, tidak teraba massa atau
benjolan, pada perabaan terdapat perbedaan gerakan dada kanan
tertinggal dari pada dada kiri, dan pada pemeriksaan iktus kordis
dekat mediastinum.
o Perkusi
o Auskultasi
ronkhi +/+, wheezing +/+ pada saat inpirasi terutama dan ekspirasi
Jantung
o Inspeksi
o Palpasi
o Perkusi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
: Nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), hepar dan lien tidak
teraba
Perkusi
: timpani
Auskultasi
Genital
Tidak diperiksa
Ekstremitas (Superior et Inferior)
Akral hangat, edema (-), clubbing finger (-)
Pemeriksaan Penunjang
Sabtu, 21 July 2016 pukul 11.07
LAB
RESULT
WBC
13,41
RBC
4,97
HGB
FLAGS
UNIT
NORMAL
103/Ul
5.2-12.4
106/Ul
4,2-6,1
12,6
g/dL
11,5-16,5
HCT
37,5
37-52
MCV
75,6
Fl
80-99
MCH
25,5
Pg
27-31
MCHC
33.7
g/dL
33-37
RDW
13,5
11,5-14,5
PLT
195
103/ul
150-450
Segmen
70.9
40-74
Limfosit
13,7
19-48
Monosit
6,4
3,4-9
Eosinophil
5.7
0-7
Basophil
0.7
0-1,5
Stab
2,7
0-4
115
mg/dl
70-140
KIMIA KLINIK
GDS
Pemeriksaan Radiologi
RESUME
Tn. W 65 tahun datang dengan keluhan sesak nafas yang memberat sudah
3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas bertambah berat ketika beliau
bekerja dan pada malam hari, sesak nafas diawali dengan batuk, dan berkurang
pada kondisi istirahat. Batuk pasien sudah dirasa 1 bulan dan memberat dimalam
hari dan ketika beraktivitas, batuknya berdahak berwarna hijau. Dari pemeriksaan
fisik didapatkan frekuensi nafas meningkat, inspeksi dada pasien kanan tertinggal
daripada kiri, pada pemeriksaaan palpasi pun dirasakan sensasi berbeda dada
kanan tertinggal dari pada dada kiri, dan pada ausultasi terdengar rhonki dan
wheezing dikedua lapangan paru.
DAFTAR MASALAH
Sesak Nafas
Batuk
Demam
Penurunan Berat Badan
TB
Asma
RENCANA PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa :
Medikamentosa :
IVFD RL 20 gtt/menit
Oksigen 4 liter/menit
Ranitidin 2 x 1 mg
Follow-up
Senin, 25 Juli 2016
S
: sesak napas (+) terakhir pada minggu malam, sesak biasanya setelah
terpapar oleh debu dan udara dingin, sesak disertai batuk berdahak (+),
dahak tidak bias keluar, Nyeri pada dada (+) tiap kali batuk, nyeri pada
perut tengah, habis dilakukan pemberian uap jam 10 pagi
: TD
: 130/100 mmHg,
8
Nadi
: 104 x/menit
RR
: 30 x/menit
: 37.00C
Kepala
Bentuk normocephale
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor,
diameter 3 mm, refleks cahaya +/+
Leher
Thoraks
Paru
o Inspeksi
kelainan kulit, tidak terlihat adanya massa, benjolan atau luka pada
dada, gerakan dada kanan tertinggal dari pada dada kiri.
o Palpasi
kanan dan kiri, tidak teraba krepitasi, tidak teraba massa atau
benjolan, pada perabaan terdapat perbedaan gerakan dada kanan
tertinggal dari pada dada kiri, dan pada pemeriksaan iktus kordis
dekat mediastinum.
o Perkusi
o Auskultasi
ronkhi +/+, wheezing +/+ pada saat inpirasi terutama dan ekspirasi
Jantung
o Inspeksi
o Palpasi
o Perkusi
10
o Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
: Nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), hepar dan lien tidak
teraba
Perkusi
: timpani
Auskultasi
Genital
Tidak diperiksa
Ekstremitas (Superior et Inferior)
Akral hangat, edema (-), clubbing finger (-)
A : TB Aktif
Hipertensi gr. 1
Asma Bronkial
P : IVFD RL 20 gtt/menit
Oksigen 4 liter/menit
Metil Prednisolon 2 x 10 mg
Ranitidin 2 x 1 mg
OAT
: sesak napas (+), batuk berdahak (+), dahak tidak bisa keluar, sesak tiap
kali batuk, nyeri perut tengah (+), jantung sering terasa berdebar-debar.
O : TD
: 130/90 mmHg
10
Nadi
: 84 x/menit
RR
: 26 x/menit
T : 36.70C
Kepala
Bentuk normocephale
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor,
diameter 3 mm, refleks cahaya +/+
Leher
Thoraks
Paru
o Inspeksi
kelainan kulit, tidak terlihat adanya massa, benjolan atau luka pada
dada, gerakan dada kanan tertinggal dari pada dada kiri.
o Palpasi
kanan dan kiri, tidak teraba krepitasi, tidak teraba massa atau
benjolan, pada perabaan terdapat perbedaan gerakan dada kanan
tertinggal dari pada dada kiri, dan pada pemeriksaan iktus kordis
dekat mediastinum.
o Perkusi
o Auskultasi
ronkhi +/+, wheezing +/+ pada saat inpirasi terutama dan ekspirasi
Jantung
o Inspeksi
o Palpasi
o Perkusi
11
12
o Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
: Nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), hepar dan lien tidak
teraba
Perkusi
: timpani
Auskultasi
Genital
Tidak diperiksa
Ekstremitas (Superior et Inferior)
Akral hangat, edema (-), clubbing finger (-)
A : Asma bronkial
P A
: TB Aktif
Hipertensi gr. 1
Asma Bronkial
P : IVFD RL 20 gtt/menit
Oksigen 4 liter/menit
Metil Prednisolon 2 x 10 mg
Ranitidin 2 x 1 mg
OAT
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium
tuberculosis.
Sebagian
besar
kuman
Mycobacterium
Gambar 2.1
Mycobacterium tuberculosis pada pewarnaan tahan asam
13
14
yang dilihat
dengan pewarnaan tahan asam dan berwarna merah. Sebagian besar bakteri
ini terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinoman. Lipid
inilah yang menyebabkan kuman mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Bakteri Tahan
Asam (BTA) (Daniel, 1999).
Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit
intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri ini adalah
aerob, sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit
tuberkulosis (Bahar, 2007).
2.3 Cara penularan
Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+).
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk droplet (percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat
menginfeksi individu lain bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman
tuberkulosis yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, saluran pernafasan, atau penyebaran langsung ke
bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2006).
2.4 Risiko penularan
Risiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =
ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada
daerah dengan ARTI sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya
diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang
terinfeksi tidak akan menderita tuberkulosis, hanya sekitar 10% dari yang
terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis (Depkes RI, 2006).
2.5 Patogenesis tuberkulosis
14
15
16
16
(Bahar, 2007)
Gambar 2.2
Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada
2.6.4 Pemeriksaan bakteriologis
a. Sputum
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan
dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif (Depkes RI, 2006).
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih
lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. 1).
Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis
17
18
sebagai penderita TB BTA positif. 2). Kalau hasil rontgen tidak mendukung
TB, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas
(misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak
ada perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan
dahak SPS. 1). Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita
tuberkulosis BTA positif. 2). Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan
pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB.
a. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA
negatif rontgen positif
b. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.
Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2006),
sebagaimana bisa dilihat di bawah ini :
Tersangka
Penderita TB
(suspek TB)
Periksa Dahak Sewaktu, Pagi,
Sewaktu (SPS)
Hasil BTA
+++
++-
Hasil BTA
+--
Periksa Rontgen
Dada
Hasil
Mendukung
TB
Hasil BTA
---
Beri Antibiotik
Spektrum Luas
Hasil Tidak
Mendukung
TB
Tidak Ada
Perbaikan
Ada
Perbaikan
Gambar 2.3
Alur Diagnosis TB paru
Hasil BTA
--Hasil
Rontgen
Negatif
Hasil BTA
+++
++-
TB BTA
Hasil
Negatif
Mendukun
g TB
Rontgen
Positif
Bukan
TBC,
Penyakit
Lain
18
19
20
(Bahar, 2007)
Gambar 2.4
Penyuntikan Tes Tuberkulin
Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam (Bahar,
2007): a). Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux negatif = golongan no
sensitivity. Di sini peran antibodi humoral paling menonjol. b). Indurasi 6-9
mm : Hasil meragukan = golongan normal sensitivity. Di sini peran antibodi
humoral masih menonjol. c). Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif =
golongan low grade sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang. d).
Indurasi > 15 mm : Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini
peran antibodi seluler paling menonjol.
Biasanya hampir seluruh penderita TB paru memberikan reaksi mantoux
yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini adalah adanya positif palsu yakni
pada pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain, negatif
palsu pada pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis, anergi,
penyakit sistemik serta (Sarkoidosis, LE), penyakit eksantematous dengan
panas yang akut (morbili, cacar air, poliomielitis), reaksi hipersensitivitas
menurun pada penyakit hodgkin, pemberian obat imunosupresi, usia tua,
malnutrisi, uremia, dan penyakit keganasan. Untuk pasien dengan HIV
positif, tes mantoux 5 mm, dinilai positif (Bahar, 2007).
2.7 Komplikasi tuberkulosis
Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dini antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura,
empiema, laringitis, usus Poncets arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut
20
penderita
tuberkulosis
berdasarkan
riwayat
pengobatan
sebelumnya, yaitu :
a. Kasus baru
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kambuh (relaps)
Kambuh
21
22
22
23
24
Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
Tabel 2.1 Jenis dan Sifat OAT
Jenis OAT
Isoniazid
(H)
Sifat
Bakterisid
Keterangan
Obat ini sangat efektif terhadap kuman
terkuat
yang
sedang
berkembang.
bakterisid
(R)
oleh
Isoniazid.
Mekanisme
bakterisid
(Z)
Streptomisin
bakterisid
(S)
Etambutol
pertama pengobatan.
obat ini adalah suatu antibiotik golongan
aminoglikosida dan bekerja mencegah
bakteriostatik
(E)
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007).
2.9.4 Regimen pengobatan (metode DOTS)
Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar
dapat mencegah perkembangan resistensi obat, oleh karena itu WHO telah
menerapkan strategi DOTS dimana petugas kesehatan tambahan yang
berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan
kepatuhannya. Oleh karena itu WHO juga telah menetapkan regimen
pengobatan standar yang membagi pasien menjadi 4 kategori berbeda menurut
24
definisi kasus tersebut, seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini (Bahar &
Amin, 2007) :
Tabel 2.2 Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan
Kategori
pengobatan
Pasien TB
(setiap hari / 3 x
TB
I
II
seminggu)
2 EHRZ
6 HE
(SHRZ)
4 HR
2 EHRZ
4 H3 R3
(SHRZ)
2 EHRZ
ekstra-pulmonal berat
(SHRZ)
5 HRE
gagal;
HRZE
pengobatan
setelah
2 SHRZE / 1
HRZE
negatif
(selain
TB
pulmonal
IV
5 H3R3E3
pengobatan
terputus
III
2 SHRZE / 1
yang
ekstratidak
2 HRZ atau
6 HE
2H3R3Z3
2 HRZ atau
2 HR/4H
2H3R3Z3
2 HRZ atau
2 H3R3/4H
berat
Kasus
kronis
(dahak
2H3R3Z3
TIDAK DIPERGUNAKAN
masih
positif
setelah
menjalankan pengobatan
ulang)
25
26
Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah (Bahar & Amin, 2007):
Kategori I : 2HRZE (S) / 6HE.
Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari
selama 2 bulan obat H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah
2 bulan diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase
lanjutan 4HR atau 4 H3 R3 atau 6 HE. Apabila sputum BTA masih positif
setelah 2 bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa
melihat apakah sputum sudah negatif atau tidak.
Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H,
Z, E, setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama.
Apabila sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai.
Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4
obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih
positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum
untuk uji kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3
atau 5 HRE.
Kategori III : 2HRZ/2H3R3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H 3R3, yang dilanjutkan
dengan fase lanjutan 2HR atau 2 H3R3.
Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup
Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda,
sputumnya harus dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup
diberikan H saja sesuai rekomendasi WHO atau menggunakan pengobatan
TB resistensi ganda (MDR-TB).
Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan (HRZE).
Obat sisipan akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan
kategori II pada tahap akhir intensif pengobatan (setelah melakukan
pengobatan selama 2 minggu), hasil pemeriksaan dahak/sputum masih BTA
positif (Depkes RI, 2006).
2.9.5 Dosis obat
26
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara
harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien (Bahar &
Amin, 2007):
Tabel 2.3 Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia
Jenis
Dosis
harian : 5mg/kg BB
intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu
harian = intermiten : 10 mg/kgBB
harian : 25mg/kg BB
intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu
Streptomisin (S)
Etambutol (E)
Isoniazid (H)
Rifampisin (R)
Pirazinamid (Z)
30 37 kg
selama 56 hari
selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275)
2 tablet 4KDT
RH (150/150)
2 tablet 4KDT
27
28
38 54 kg
3 tablet 4KDT
55 70 kg
4 tablet 4KDT
> 71 kg
5 tablet 4KDT
(Depkes RI, 2006)
3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT
badan
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150) + E (400)
+S
Selama 58 hari
30 37 kg 2 tab 4KDT + 500mg
Streptomisin inj
38 54 kg 3 tab 4KDT + 750mg
3 tab 4KDT
Etambutol
3 tab 2KDT + 3 tab
4 tab 4KDT
Etambutol
4 tab 2KDT + 4 tab
5 tab 4KDT
Etambutol
5 tab 2KDT + 5 tab
Streptomisin inj
55 70 kg 4 tab 4KDT + 1000mg
> 71 kg
Streptomisin inj
5 tab 4KDT + 1000mg
Streptomisin inj
(Depkes RI, 2006)
Etambutol
30 37 kg
38 54 kg
55 70 kg
71 kg
(Depkes RI, 2006)
2 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT
28
OAT masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tapi bila efek
samping ini sangat mengganggu OAT yang bersangkutan harus dihentikan
dan pengobatan dapat diteruskan dengan OAT yang lain (Bahar & Amin
2007).
Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap
pasien, lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2.7 Efek Samping Pengobatan dengan OAT
Jenis Obat
Isoniazid (H)
Ringan
tanda-tanda
keracunan
pada
syaraf
Berat
Hepatitis, ikhterus
tepi,
kesadaran.
Kelainan
yang
menyerupai
lain
defisiensi
kulit
bervariasi
antara
yang
lain
gatal-gatal.
Rifampisin (R)
gatal-gatal
kemerahan
Hepatitis,
sindrom
respirasi
yang
perut.
dengan
sesak
nafas,
kadang
disertai
dengan
kolaps
atau
ditandai
renjatan
Reaksi hipersensitifitas :
ginjal
Hepatitis,
demam,
mual
dan
nyeri
sendi,
kemerahan
Streptomisin (S)
Reaksi hipersensitifitas :
Kerusakan saraf
demam,
yang
sakit
kepala,
berkaitan
VIII
dengan
29
30
Etambutol (E)
keseimbangan
kulit
Gangguan
pendengaran
Buta warna untuk warna
berupa
penglihatan
berkurangnya
dan
ketajaman penglihatan
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)
Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan
pemeriksaan kontrol, seperti (Bahar & Amin, 2007):
a. Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol
b. Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin
c. Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin,
darah perifer dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan
Pirazinamid)
2.10 Hasil pengobatan tuberkulosis
World
Health
Organization
(1993)
menjelaskan
bahwa
hasil
30
31
32
BAB IV
PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS
A TB MILIER
Rawat inap
Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinis, radiologi
dan
evaluasi
pengobatan,
maka pengobatan
lanjutan
dapat
diperpanjang
Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
-
Sesak napas
Demam tinggi
obat:
2RHZE/4RH.
dapat
diberikan
kortikosteroid
32
PARU
DENGAN
DIABETES
MELITUS
(DM)
- Paduan OAT pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat
kadar
gula
darah
terkontrol
- Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan
sampai
bulan
mata
mendeteksi
dini
bila
terjadi
kekambuhan
untuk
seluruh
TB
pasien
sebagai
bagian
dari
TB
dengan
riwayat
risiko
tinggi
terpajan
HIV.
Jadi tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru
tertentu
a. Ada
b. Hasil
c. MDR
saja
riwayat
yang
memerlukan
perilaku
pengobatan
TB
risiko
OAT
/
uji
HIV,
tinggi
misalnya:
tertular
HIV
tidak
memuaskan
TB
kronik
34
Sputum mikroskopis
TB ekstra pulmonal
Mikobakterimia
Tuberkulin
Foto toraks
(CD4>200/mm3)
Sering positif
Jarang
Tidak ada
Positif
Reaktivasi TB, kaviti di
(CD4<200/mm3)
Sering negatif
Umum/ banyak
Ada
Negatif
Tipikal primer TB milier /
Adenopati
puncak
Tidak ada
interstisial
Ada
Tidak ada
Ada
hilus/
mediastinum
Efusi pleura
Pengobatan
OAT
pada
TB-HIV:
menyebabkan
efek
toksik
berat
pada
kulit
- Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali
pakai
yang
steril.
toksik
yang
serius
pada
hati
obat
rendah
dalam
serum
34
Rejimen
yang
Keterangan
dianjurkan
Mulai terapi TB
Mulai
ART
Dianjurkan ART:
segera
ditoleransi
(antara
- SQV/RTV 400/400 mg 2
yang
kali sehari
mengandung EFVb,c.d
Mulai terapi TB
-
Mulai terapi TB
Mulai terapi TB
Keterangan:
a. Saat mengawali ART harus didasarkan atas pertimbangan klinis
sehubungan dengan adanya tanda lain dari imunodefisiensi. Untuk TB
ekstraparu, ART harus diberikan secepatnya setelah terapi TB dapat
ditoleransi,
tanpa
memandang
CD4
(300
mg
kali
sehari)
36
sehari) sebagai pengganti EFV bila tidak ada pilihan lain. Rejimen yang
mengandung
NVP
adalah
d4T/3TC/NVP
atau
ZDV/3TC/NVP
belum
ada
peningkatan
dosis
nevirapin
yang
direkomendasikan
Jenis ART
Tabel 9. Obat ART
Golongan Obat
Nukleosida RTI (NsRTI)
Dosis
Abakavir (ABC)
Didanosin (ddl)
Lamivudin (3TC)
Stavudin (d4T)
Zidovudin (ZDV)
Nukleotida RTI
300 mg 2x/hari
TDF
Non nukleosid RTI (NNRTI)
300 mg 1x/hari
Efavirenz (EFV)
600 mg 1x/hari
36
Nevirapine (NVP)
Lopinavir/ritonavir (LPV/r)
Nelfinavir (NFV)
1250 mg 2x/hari
Saquinavir/ritonavir (SQV/r)
Ritonavir (RTV/r)
mg 1x/hari
pendengaran janin
Pada pasien TB yang menyusui, OAT dan ASI tetap dapat
diberikan, walaupun beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI,
akan tetetapi konsentrasinya kecil dan tidak menyebabkan
kehamilan
F. TB PARU PADA GAGAL GINJAL
Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan kapreomisin
Sebaiknya hindari penggunaan etambutol, karena waktu
paruhnya memanjang dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam
keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat diberikan dengan
-
pengawasan kreatinin
Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT,
ureum, kreatinin)
Rujuk ke ahli Paru
G. TB PARU DENGAN KELAINAN HATI
Bila ada kecurigaan penyakit hati, dianjurkan pemeriksaan faal
-
38
ditunda
penyembuhan.
sampai
Pada
hepatitis
keadaan
akutnya
sangat
mengalami
diperlukan
dapat
>
2 OAT
SGPT > 5
kali
Stop
OAT
stop
kembali
normal,
tambahkan
rifampisin,
OAT
yang
diberikan
adalah
2RHZE
7-10
RH.
38
39
BAB V
KESIMPULAN
1. Tuberkulosis adalah penyakit infeksi bakteri kronis yang menular, sebagian
besar menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya.
2. Tuberkulosis
paru
disebabkan
oleh
infeksi
bakteri
Mycobacterium
tuberculosis.
3. Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA (+) saat batuk/bersin, bakteri
menyebar ke udara dalam bentuk droplet.
4. Patogenesis TB paru adalah saat droplet terhirup melewati sistem pertahanan
mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan menetap di
sana. Kelanjutan dari proses ini bergantung dari daya tahan tubuh masingmasing individu.
5. Diagnosis
ditegakan
berdasarkan
anamnesis,
pemeriksaan
fisik
dan
pemeriksaan penunjang.
6. Gejala klinis utama TB apru adalah batuk terus menerus dan berdahak selama
3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk
darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun,
berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam
walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan
7. Komplikasi TB paru antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura, empiema,
laringitis, usus Poncets arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering terjadi pada TB
milier dan kavitas TB)
8. Tipe pasien TB paru berdasarkan riwayat pengobatan dibagi menjadi: kasus
baru, relaps, drop out, gagal, pindahan, kasus kroinis dan tuberkulosis
resistensi ganda.
9. Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan selama 6-8 bulan
dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan dalam bentuk
kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua kuman dapat
dibunuh. Obat-obat yang dipergunakan sebagai obat anti tuberkulosis (OAT)
40
yaitu : Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan
Etambutol (E)
10. Hasil pengobatan TB paru dbedakan menjadi: sembuh, pengobatan lengkap,
gagal, putus berobat, dan meninggal.
11. Evaluasi pengobatan dapat mengguanakn metode klinis, bakteriologis, dan
radiologis.
41
42
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, TY,. Chairil, AS,. 2002. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Jakarta :
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.
Amirudin, Rifai. 2007. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 415-419
Arsyad, Zulkarnain. 1996. Evaluasi FaaI Hati pada Penderita Tuberkulosis Paru
yang Mendapat Terapi Obat Anti Tuberkulosis dalam Cermin Dunia
Kedokteran No. 110, 1996 15.
Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II,
Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994.
Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 9951000.
Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474.
Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A., 2004.
Kesehatan
Republik
Indonesia.
2006.
Pedoman
Nasional
42
43