Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih merupakan masalah utama
kesehatan yang dapat menimbulkan kesakitan (morbiditas) dan kematian
(mortalitas) (Aditama & Chairil, 2002). Diperkirakan sekitar sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun
1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di
seluruh dunia (Depkes RI, 2006).
Angka kejadian TB di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di
dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000
kasus TB baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi TB di
Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi
pada lebih dari 70% usia produktif (15-50 tahun) (WHO, 2010).
Strategi penanganan TB berdasarkan World Health Organization (WHO)
tahun 1990 dan International Union Against Tuberkulosa and Lung Diseases
(IUATLD) yang dikenal sebagai strategi Directly observed Treatment Shortcourse (DOTS) secara ekonomis paling efektif (cost-efective), strategi ini juga
berlaku di Indonesia. Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan
selama 6-8 bulan dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan
dalam bentuk kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua
kuman dapat dibunuh. Obat-obat yang dipergunakan sebagai obat anti
tuberkulosis (OAT) yaitu : Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z),
Streptomisin (S) dan Etambutol (E). Efek samping OAT yang dapat timbul
antara lain tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan
sampai rasa terbakar di kaki, gatal dan kemerahan kulit, ikterus, tuli hingga
gangguan fungsi hati (hepatotoksik) dari yang ringan sampai berat berupa
nekrosis jaringan hati. Obat anti tuberkulosis yang sering hepatotoksik adalah
INH, Rifampisin dan Pirazinamid. Hepatotoksitas mengakibatkan peningkatan
kadar transaminase darah (SGPT/SGOT) sampai pada hepatitis fulminan,
akibat pemakaian INH dan/ Rifampisin (Depkes RI, 2006; Arsyad, 1996;
Sudoyo, 2007).

Pembahasan lebih lanjut mengenai TB paru akan dibahas pada referat ini.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi,
etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, dan penatalaksanaan TB
paru.

BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. W

Umur

: 65 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

: Pedagang

Status

: Menikah

Masuk RS

: 15 Desember 2016

ANAMNESIS
Autoanamnesis
Keluhan Utama
Sesak napas makin memberat 3 hari terakhir
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit
(SMRS). Sesak napas timbul setelah pasien pulang bekerja dari berdagang, pasien
merasa tiba tiba sesak nafas. Sebulan sebelumnya pasien sering batuk batuk setiap
harinya, batuk dirasakan lebih berat ketika malam hari dan sedikit membaik ketika
sudah beristirahat, pasien merasa batuknya makin memberat dan berdahak hijau
kental, akhir akhir ini ketika pasien sesak nafas setelah sebelumnya terbatuk
batuk, sesak nafas juga dirasakan memberat ketika bekerja dan membaik ketika
istirahat, ketika malam hari pasien juga merasa sesak nafasnya memberat, sesak
nafas yang dirasakan pasien seperti terikat dibagian dada, sulit menarik nafas dan
sulit membuang nafas, pasien harus duduk terlebih dahulu agar bisa bernafas lebih
baik, atau ketika tidur mengunakan 2-3 bantal agar nyaman ketika istirahat, setiap
kali pasien ingin tidur malam pasien merasa ada bunyi mengi pada saat menarik
dan membuang nafas.
Pasien merasa demam sudah 2 minggu pada setiap malam, dan pada pagi
hari demam akan turun, demam dirasakan tidak terlalu tinggi pada malam hari tapi
cukup menganggu karena pasien berkeringat dingin, pasien sudah mencoba
meminum obat anti demam dan hanya merasa sedikit perbaikan, pasien mengeluh

berat badan menurun selama 1 bulan belakangan sebanyak 3 kg tanpa diketahui


sebabnya, pasien merasa nafsu makannya pun jauh berkurang dari sebelum
sebelumnya, bahkan bisa hanya makan 1x sehari dengan porsi yang sedikit.
Pasien mengeluhkan nyeri pada dada terutama tiap kali batuk seperti ada
nyeri yang menjalar ke dada seperti terbakar dan akan membaik tidak lama
setelahnya. Nyeri tekan dan lepas pada perut bagian tengah. Pasien mengeluhkan
jantung sering terasa berdebar-debar, Psien tidak ada keluhan BAB dan BAK
warana dan bentuk normal.
Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien memiliki riwayat asma dan baru diketahui 10 tahun belakangan,


sesak napas timbul bila pasien terpapar debu dan udara dingin. Sesak
napas dirasakan > 1 kali dalam seminggu, < 1 kali dalam sehari, dan saat
malam hari > 2 kali dalam sebulan.

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung

Pasien memiliki riwayat hipertensi

Pasien memiliki riwayat alergi, seperti alergi udara dingin dan debu, tidak
ada alergi pada makanan

Pasien memiliki riwayat pengobatan TB tuntas

Pasien idak memiliki riwayat diabetes melitus

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada yang menderita asma di keluarga

Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Kesadaran

: Komposmentis

Keadaan umum

: tampak sakit berat

Tekanan darah

: 160/100 mmHg

Nadi

: 104 x/menit

Nafas

: 32 x/menit

: 37,2 C0

Suhu
Keadaan Spesifik
Kepala

Bentuk normocephale

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor,
refleks cahaya +/+

Leher

Tidak ada pembesaran KGB

Thoraks

Paru
o Inspeksi

: Bentuk dada normal kanan dan kiri sama, tidak ada

kelainan kulit, tidak terlihat adanya massa, benjolan atau luka pada
dada, gerakan dada kanan tertinggal dari pada dada kiri.
o Palpasi

: Tidak terdapat nyeri tekan dan lepas pada dada

kanan dan kiri, tidak teraba krepitasi, tidak teraba massa atau
benjolan, pada perabaan terdapat perbedaan gerakan dada kanan
tertinggal dari pada dada kiri, dan pada pemeriksaan iktus kordis
dekat mediastinum.
o Perkusi

: sonor pada seluruh lapangan paru

o Auskultasi

: vesikuler dan bronchial (+) kanan dan kiri simetris,

ronkhi +/+, wheezing +/+ pada saat inpirasi terutama dan ekspirasi

Jantung
o Inspeksi

: iktus kordis tidak terlihat

o Palpasi

: iktus kordis teraba di ICS 5

o Perkusi

: batas jantung kanan : Linea Sternalis Dekstra

batas jantung kiri : Linea Midclavicularis sinistra


o Auskultasi

: Bunyi jantung I-II regular, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen

Inspeksi

: perut datar, asites (-)

Palpasi

: Nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), hepar dan lien tidak

teraba

Perkusi

: timpani

Auskultasi

: bising usus normal

Genital
Tidak diperiksa
Ekstremitas (Superior et Inferior)
Akral hangat, edema (-), clubbing finger (-)
Pemeriksaan Penunjang
Sabtu, 21 July 2016 pukul 11.07
LAB

RESULT

WBC

13,41

RBC

4,97

HGB

FLAGS

UNIT

NORMAL

103/Ul

5.2-12.4

106/Ul

4,2-6,1

12,6

g/dL

11,5-16,5

HCT

37,5

37-52

MCV

75,6

Fl

80-99

MCH

25,5

Pg

27-31

MCHC

33.7

g/dL

33-37

RDW

13,5

11,5-14,5

PLT

195

103/ul

150-450

Segmen

70.9

40-74

Limfosit

13,7

19-48

Monosit

6,4

3,4-9

Eosinophil

5.7

0-7

Basophil

0.7

0-1,5

Stab

2,7

0-4

115

mg/dl

70-140

KIMIA KLINIK
GDS

Pemeriksaan Radiologi

RESUME
Tn. W 65 tahun datang dengan keluhan sesak nafas yang memberat sudah
3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas bertambah berat ketika beliau

bekerja dan pada malam hari, sesak nafas diawali dengan batuk, dan berkurang
pada kondisi istirahat. Batuk pasien sudah dirasa 1 bulan dan memberat dimalam
hari dan ketika beraktivitas, batuknya berdahak berwarna hijau. Dari pemeriksaan
fisik didapatkan frekuensi nafas meningkat, inspeksi dada pasien kanan tertinggal
daripada kiri, pada pemeriksaaan palpasi pun dirasakan sensasi berbeda dada
kanan tertinggal dari pada dada kiri, dan pada ausultasi terdengar rhonki dan
wheezing dikedua lapangan paru.
DAFTAR MASALAH

Sesak Nafas
Batuk
Demam
Penurunan Berat Badan
TB
Asma

RENCANA PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa :

Hindari faktor pencetus

Medikamentosa :

IVFD RL 20 gtt/menit

Oksigen 4 liter/menit

Nebu meptin 3 amp / 8 jam

Ranitidin 2 x 1 mg

Follow-up
Senin, 25 Juli 2016
S

: sesak napas (+) terakhir pada minggu malam, sesak biasanya setelah
terpapar oleh debu dan udara dingin, sesak disertai batuk berdahak (+),
dahak tidak bias keluar, Nyeri pada dada (+) tiap kali batuk, nyeri pada
perut tengah, habis dilakukan pemberian uap jam 10 pagi

: TD

: 130/100 mmHg,
8

Nadi

: 104 x/menit

RR

: 30 x/menit

: 37.00C

Kepala

Bentuk normocephale

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor,
diameter 3 mm, refleks cahaya +/+

Leher

Tidak ada pembesaran KGB

Thoraks

Paru
o Inspeksi

: Bentuk dada normal kanan dan kiri sama, tidak ada

kelainan kulit, tidak terlihat adanya massa, benjolan atau luka pada
dada, gerakan dada kanan tertinggal dari pada dada kiri.
o Palpasi

: Tidak terdapat nyeri tekan dan lepas pada dada

kanan dan kiri, tidak teraba krepitasi, tidak teraba massa atau
benjolan, pada perabaan terdapat perbedaan gerakan dada kanan
tertinggal dari pada dada kiri, dan pada pemeriksaan iktus kordis
dekat mediastinum.
o Perkusi

: sonor pada seluruh lapangan paru

o Auskultasi

: vesikuler dan bronchial (+) kanan dan kiri simetris,

ronkhi +/+, wheezing +/+ pada saat inpirasi terutama dan ekspirasi

Jantung
o Inspeksi

: iktus kordis tidak terlihat

o Palpasi

: iktus kordis teraba di ICS 5

o Perkusi

: batas jantung kanan : Linea Sternalis Dekstra


batas jantung kiri : Linea Midclavicularis sinistra

10

o Auskultasi

: Bunyi jantung I-II regular, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen

Inspeksi

: perut datar, asites (-)

Palpasi

: Nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), hepar dan lien tidak

teraba

Perkusi

: timpani

Auskultasi

: bising usus normal

Genital
Tidak diperiksa
Ekstremitas (Superior et Inferior)
Akral hangat, edema (-), clubbing finger (-)
A : TB Aktif
Hipertensi gr. 1
Asma Bronkial
P : IVFD RL 20 gtt/menit

Oksigen 4 liter/menit

Nebu meptin 3 amp / 8 jam

Metil Prednisolon 2 x 10 mg

Ranitidin 2 x 1 mg

OAT

Selasa, 29 Desember 2015


S

: sesak napas (+), batuk berdahak (+), dahak tidak bisa keluar, sesak tiap
kali batuk, nyeri perut tengah (+), jantung sering terasa berdebar-debar.
O : TD

: 130/90 mmHg

10

Nadi

: 84 x/menit

RR

: 26 x/menit

T : 36.70C
Kepala

Bentuk normocephale

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor,
diameter 3 mm, refleks cahaya +/+

Leher

Tidak ada pembesaran KGB

Thoraks

Paru
o Inspeksi

: Bentuk dada normal kanan dan kiri sama, tidak ada

kelainan kulit, tidak terlihat adanya massa, benjolan atau luka pada
dada, gerakan dada kanan tertinggal dari pada dada kiri.
o Palpasi

: Tidak terdapat nyeri tekan dan lepas pada dada

kanan dan kiri, tidak teraba krepitasi, tidak teraba massa atau
benjolan, pada perabaan terdapat perbedaan gerakan dada kanan
tertinggal dari pada dada kiri, dan pada pemeriksaan iktus kordis
dekat mediastinum.
o Perkusi

: sonor pada seluruh lapangan paru

o Auskultasi

: vesikuler dan bronchial (+) kanan dan kiri simetris,

ronkhi +/+, wheezing +/+ pada saat inpirasi terutama dan ekspirasi

Jantung
o Inspeksi

: iktus kordis tidak terlihat

o Palpasi

: iktus kordis teraba di ICS 5

o Perkusi

: batas jantung kanan : Linea Sternalis Dekstra


batas jantung kiri : Linea Midclavicularis sinistra

11

12

o Auskultasi

: Bunyi jantung I-II regular, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen

Inspeksi

: perut datar, asites (-)

Palpasi

: Nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), hepar dan lien tidak

teraba

Perkusi

: timpani

Auskultasi

: bising usus normal

Genital
Tidak diperiksa
Ekstremitas (Superior et Inferior)
Akral hangat, edema (-), clubbing finger (-)
A : Asma bronkial
P A

: TB Aktif

Hipertensi gr. 1
Asma Bronkial
P : IVFD RL 20 gtt/menit

Oksigen 4 liter/menit

Nebu meptin 3 amp / 8 jam

Metil Prednisolon 2 x 10 mg

Ranitidin 2 x 1 mg

OAT

12

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium

tuberculosis.

Sebagian

besar

kuman

Mycobacterium

tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh


lainnya. Penyakit ini merupakan infeksi bakteri kronik yang ditandai oleh
pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi
hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell mediated hypersensitivity).
Penyakit tuberkulosis yang aktif bisa menjadi kronis dan berakhir dengan
kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang efektif (Daniel, 1999).
Klasifikasi penyakit tuberkulosis berdasarkan organ tubuh yang
diserang kuman Mycobacterium tuberculosis terdiri dari tuberkulosis paru
dan tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Sedangkan
tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru misalnya, pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium),
kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain (Depkes RI, 2006).
2.2 Kuman tuberkulosis
Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri batang tipis lurus berukuran
sekitar 0,4 x 3 m (Brooks,et al 2004).

Gambar 2.1
Mycobacterium tuberculosis pada pewarnaan tahan asam

13

14

Gambar di atas adalah Mycobacterium tuberculosis

yang dilihat

dengan pewarnaan tahan asam dan berwarna merah. Sebagian besar bakteri
ini terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinoman. Lipid
inilah yang menyebabkan kuman mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Bakteri Tahan
Asam (BTA) (Daniel, 1999).
Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit
intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri ini adalah
aerob, sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit
tuberkulosis (Bahar, 2007).
2.3 Cara penularan
Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+).
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk droplet (percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat
menginfeksi individu lain bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman
tuberkulosis yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, saluran pernafasan, atau penyebaran langsung ke
bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2006).
2.4 Risiko penularan
Risiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =
ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada
daerah dengan ARTI sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya
diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang
terinfeksi tidak akan menderita tuberkulosis, hanya sekitar 10% dari yang
terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis (Depkes RI, 2006).
2.5 Patogenesis tuberkulosis

14

2.5.1 Infeksi primer


Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat
melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke
alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis
berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di paru yang
mengakibatkan radang dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman ke
kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut kompleks primer. Waktu
terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadi perubahan reaksi tuberkulin
dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung
kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler).
Pada umumnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan
perkembangan kuman tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa kuman
menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya
tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya
dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi pasien tuberkulosis.
Masa inkubasi mulai dari seseorang terinfeksi sampai menjadi sakit,
membutuhkan waktu sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2006).
2.5.2 Tuberkulosis pasca primer (post primary tuberculosis)
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun
akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari
tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan
terjadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes RI, 2006).
2.6 Diagnosis tuberkulosis
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan
dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
radiologis.
2.6.1 Diagnosis klinis

15

16

Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada atau


tidaknya gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama adalah
batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala
tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas dan rasa
nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa
kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan
dan demam/meriang lebih dari sebulan (Depkes RI, 2006).
2.6.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam
(subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik
pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan terutama pada kasus-kasus
dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Pada TB paru lanjut
dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot
interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga
paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam pernapasan, perkusi
memberikan suara pekak, auskultasi memberikan suara yang lemah sampai
tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis TB sering asimtomatik
dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada
pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif (Bahar, 2007).
2.6.3 Pemeriksaan radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih
memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier
yang pada pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB
umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus bawah atau
daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih
menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologinya berupa bercakbercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah
diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas
yang tegas dan disebut tuberkuloma (Depkes RI, 2006).

16

Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat


dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas
dengan penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun
pada satu bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat berupa
bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan
paru. Pada TB yang sudah lanjut, foto dada sering didapatkan bermacammacam bayangan sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi,
kavitas maupun atelektasis dan emfisema (Bahar, 2007).
Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto
rontgen dada di bawah ini :

(Bahar, 2007)
Gambar 2.2
Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada
2.6.4 Pemeriksaan bakteriologis
a. Sputum
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan
dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif (Depkes RI, 2006).
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih
lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. 1).
Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis

17

18

sebagai penderita TB BTA positif. 2). Kalau hasil rontgen tidak mendukung
TB, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas
(misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak
ada perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan
dahak SPS. 1). Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita
tuberkulosis BTA positif. 2). Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan
pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB.
a. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA
negatif rontgen positif
b. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.
Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2006),
sebagaimana bisa dilihat di bawah ini :
Tersangka
Penderita TB
(suspek TB)
Periksa Dahak Sewaktu, Pagi,
Sewaktu (SPS)
Hasil BTA
+++
++-

Hasil BTA
+--

Periksa Rontgen
Dada

Hasil
Mendukung
TB

Hasil BTA
---

Beri Antibiotik
Spektrum Luas

Hasil Tidak
Mendukung
TB

Tidak Ada
Perbaikan

Ada
Perbaikan

Ulangi Periksa Dahak


SPS
Penderita
Tuberkulosis BTA
Positif

Gambar 2.3
Alur Diagnosis TB paru

Hasil BTA
--Hasil
Rontgen
Negatif

Hasil BTA
+++
++-

Periksa Rontgen Dada

TB BTA
Hasil
Negatif
Mendukun
g TB
Rontgen
Positif

Bukan
TBC,
Penyakit
Lain

18

Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan kriteria


pada pasien TB paru menjadi : a). Pasien dengan sputum BTA positif adalah
pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan
BTA, sekurang kurangnya pada 2 kali pemeriksaan/1 sediaan sputumnya
positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif /1
sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif. b). Pasien dengan
sputum BTA negatif adalah pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara
mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif
(Bahar, 2007).
b. Darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang
sedikit meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit
masih di bawah normal. Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila
penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah
limfosit masih tinggi, LED mulai turun ke arah normal lagi. Hasil
pemeriksaan darah lain juga didapatkan: anemia ringan dengan gambaran
normokrom normositer, gama globulin meningkat, dan kadar natrium darah
menurun (Depkes RI, 2006).
c. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa tes
tuberkulin hanya untuk menyatakan apakah seorang individu sedang atau
pernah mengalami infeksi Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium
patogen lainnya (Depkes RI, 2006).
Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin
P.P.D (Purified Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar tes tuberkulin ini
adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan,
akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat
limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen
tuberkulin. Cara penyuntikan tes tuberkulin dapat dilihat pada gambar di
bawah ini (Bahar, 2007):

19

20

(Bahar, 2007)
Gambar 2.4
Penyuntikan Tes Tuberkulin
Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam (Bahar,
2007): a). Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux negatif = golongan no
sensitivity. Di sini peran antibodi humoral paling menonjol. b). Indurasi 6-9
mm : Hasil meragukan = golongan normal sensitivity. Di sini peran antibodi
humoral masih menonjol. c). Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif =
golongan low grade sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang. d).
Indurasi > 15 mm : Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini
peran antibodi seluler paling menonjol.
Biasanya hampir seluruh penderita TB paru memberikan reaksi mantoux
yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini adalah adanya positif palsu yakni
pada pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain, negatif
palsu pada pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis, anergi,
penyakit sistemik serta (Sarkoidosis, LE), penyakit eksantematous dengan
panas yang akut (morbili, cacar air, poliomielitis), reaksi hipersensitivitas
menurun pada penyakit hodgkin, pemberian obat imunosupresi, usia tua,
malnutrisi, uremia, dan penyakit keganasan. Untuk pasien dengan HIV
positif, tes mantoux 5 mm, dinilai positif (Bahar, 2007).
2.7 Komplikasi tuberkulosis
Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dini antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura,
empiema, laringitis, usus Poncets arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut

20

dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor


pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering
terjadi pada TB milier dan kavitas TB) (Bahar, 2007).
2.8 Tipe penderita tuberkulosis
Tipe

penderita

tuberkulosis

berdasarkan

riwayat

pengobatan

sebelumnya, yaitu :
a. Kasus baru
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kambuh (relaps)
Kambuh

(relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh, kemudian


kembali lagi berobat dengan pemeriksaan dahak BTA positif.
c. Pindahan (transfer in)
Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di
suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.
Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah (form TB.
09).
d. Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out)
Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang
sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih,
kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Gagal
Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau pada akhir pengobatan. Atau penderita dengan hasil BTA
negatif rontgen positif pada akhir bulan kedua pengobatan.
f. Kasus kronis
Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang baik.
g. Tuberkulosis resistensi ganda

21

22

Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan


resistensi terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya (Depkes
RI, 2006).
2.9 Pengobatan Tuberkulosis Paru
2.9.1 Prinsip pengobatan
Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas
bakterisid di mana obat bersifat membunuh kumankuman yang sedang
tumbuh (metabolismenya masih aktif) dan aktivitas sterilisasi, obat bersifat
membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya
kurang aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut
membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan
hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan). Aktivitas sterilisasi
diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan. Hampir semua
OAT mempunyai sifat bakterisid kecuali Etambutol dan Tiasetazon yang
hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah resistensi
kuman terhadap obat. Rifampisin dan Pirazinamid mempunyai aktivitas
sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan Streptomisin menempati urutan lebih
bawah (Bahar & Amin, 2007).
2.9.2 Kemoterapi TB
Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan
sejak tahun 1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai yaitu
Isoniazid (H), Para Amino Salisilik Asid (PAS), Streptomisin (S), Etambutol
(E), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z). Sejak tahun 1994 program
pengobatan TB di Indonesia telah mengacu pada program Directly observed
Treatment Short-course (DOTS) yang didasarkan pada rekomendasi WHO,
strategi ini memasukkan pendidikan kesehatan, penyediaan OAT gratis dan
pencarian secara aktif kasus TB. Pengobatan ini memiliki 2 prinsip dasar :
Pertama, terapi yang berhasil memerlukan minimal 2 macam obat yang
basilnya peka terhadap obat tersebut dan salah satu daripadanya harus
bakterisidik. Obat anti tuberkulosis mempunyai kemampuan yang berbeda
dalam mencegah terjadinya resistensi terhadap obat lainnya. Obat H dan R
merupakan obat yang paling efektif, E dan S dengan kemampuan mencegah,

22

sedangkan Z mempunyai efektifitas terkecil. Kedua, penyembuhan penyakit


membutuhkan pengobatan yang baik setelah perbaikan gejala klinisnya,
perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeleminasi basil yang
persisten (Bahar & Amin, 2007).
Regimen pada pengobatan sekitar tahun 1950-1960 memerlukan waktu
18-24 bulan untuk jaminan menjadi sembuh. Dengan metode DOTS
pengobatan TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari berbagai jenis OAT,
dalam jumlah yang cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua
kuman dapat dibunuh. Pengobatan diberikan dalam 2 tahap, tahap intensif dan
tahap lanjutan. Pada tahap intensif penderita mendapat obat baru setiap hari
dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua
jenis OAT terutama Rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut
diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita tuberkulosis BTA
positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat
dalam tahap ini sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit tetapi dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap ini bertujuan untuk membunuh kuman
persisten (dormant) sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan (Bahar
& Amin, 2007; Depkes RI, 2006).
2.9.3 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat
lapis pertama dan obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke
penghentian pertumbuhan basil, pengurangan basil dormant dan pencegahan
resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari Isoniazid, Rifampisin,
Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin. Obat-obatan lapis dua mencakup
Rifabutin, Ethionamid, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine,
Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones. Obat lapis kedua ini
dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus multi drug resistance. Obat
tuberkulosis yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah Isoniazid,
Rifampisin, dan Etambutol (Bahar & Amin, 2007).

23

24

Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah
ini:
Tabel 2.1 Jenis dan Sifat OAT
Jenis OAT
Isoniazid
(H)

Sifat
Bakterisid

Keterangan
Obat ini sangat efektif terhadap kuman

terkuat

dalam keadaan metabolik aktif, yaitu


kuman

yang

sedang

berkembang.

Mekanisme kerjanya adalah menghambat


Rifampisin

bakterisid

(R)

cell-wall biosynthesis pathway


Rifampisin dapat membunuh kuman semidormant (persistent) yang tidak dapat
dibunuh

oleh

Isoniazid.

Mekanisme

kerjanya adalah menghambat polimerase


DNA-dependent ribonucleic acid (RNA)
M. Tuberculosis
Pirazinamid

bakterisid

(Z)

Pirazinamid dapat membunuh kuman yang


berada dalam sel dengan suasana asam.
Obat ini hanya diberikan dalam 2 bulan

Streptomisin

bakterisid

(S)
Etambutol

pertama pengobatan.
obat ini adalah suatu antibiotik golongan
aminoglikosida dan bekerja mencegah

bakteriostatik

pertumbuhan organisme ekstraselular.


-

(E)
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007).
2.9.4 Regimen pengobatan (metode DOTS)
Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar
dapat mencegah perkembangan resistensi obat, oleh karena itu WHO telah
menerapkan strategi DOTS dimana petugas kesehatan tambahan yang
berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan
kepatuhannya. Oleh karena itu WHO juga telah menetapkan regimen
pengobatan standar yang membagi pasien menjadi 4 kategori berbeda menurut

24

definisi kasus tersebut, seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini (Bahar &
Amin, 2007) :
Tabel 2.2 Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan
Kategori
pengobatan

Paduan pengobatan TB alternatif


Fase awal
Fase lanjutan

Pasien TB

(setiap hari / 3 x

TB
I

II

Kasus baru TB paru

seminggu)
2 EHRZ

6 HE

dahak positif; kasus baru

(SHRZ)

4 HR

TB paru dahak negatif

2 EHRZ

4 H3 R3

dengan kelainan luas di

(SHRZ)

paru; kasus baru TB

2 EHRZ

ekstra-pulmonal berat

(SHRZ)

Kambuh, dahak positif;

5 HRE

gagal;

HRZE

pengobatan

setelah

2 SHRZE / 1
HRZE

Kasus baru TB paru


dahak

negatif

(selain

dari kategori I); kasus


baru

TB

pulmonal
IV

5 H3R3E3

pengobatan
terputus
III

2 SHRZE / 1

yang

ekstratidak

2 HRZ atau

6 HE

2H3R3Z3
2 HRZ atau

2 HR/4H

2H3R3Z3
2 HRZ atau

2 H3R3/4H

berat
Kasus

kronis

(dahak

2H3R3Z3
TIDAK DIPERGUNAKAN

masih

positif

setelah

(merujuk ke penuntun WHO

menjalankan pengobatan

guna pemakaian obat lini kedua

ulang)

yang diawasi pada pusat-pusat


spesialis)

(Crofton, 2002; Bahar & Amin, 2007)

25

26

Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah (Bahar & Amin, 2007):
Kategori I : 2HRZE (S) / 6HE.
Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari
selama 2 bulan obat H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah
2 bulan diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase
lanjutan 4HR atau 4 H3 R3 atau 6 HE. Apabila sputum BTA masih positif
setelah 2 bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa
melihat apakah sputum sudah negatif atau tidak.
Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H,
Z, E, setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama.
Apabila sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai.
Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4
obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih
positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum
untuk uji kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3
atau 5 HRE.
Kategori III : 2HRZ/2H3R3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H 3R3, yang dilanjutkan
dengan fase lanjutan 2HR atau 2 H3R3.
Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup
Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda,
sputumnya harus dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup
diberikan H saja sesuai rekomendasi WHO atau menggunakan pengobatan
TB resistensi ganda (MDR-TB).
Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan (HRZE).
Obat sisipan akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan
kategori II pada tahap akhir intensif pengobatan (setelah melakukan
pengobatan selama 2 minggu), hasil pemeriksaan dahak/sputum masih BTA
positif (Depkes RI, 2006).
2.9.5 Dosis obat

26

Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara
harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien (Bahar &
Amin, 2007):
Tabel 2.3 Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia
Jenis

Dosis

harian : 5mg/kg BB
intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu
harian = intermiten : 10 mg/kgBB

harian : 25mg/kg BB
intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu

Streptomisin (S)

Etambutol (E)

harian = intermiten : 15 mg/kgBB


usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari
usia > 60 th : 0,50 gr/hari
harian : 15mg/kg BB
intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu

Isoniazid (H)
Rifampisin (R)
Pirazinamid (Z)

(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)


2.9.6 Kombinasi obat
Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD merekomendasikan pemakaian obat
kombinasi dosis tetap 4 obat sebagai dosis yang efektif dalam terapi TB untuk
menggantikan paduan obat tunggal sebagai bagian dari strategi DOTS.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan memudahkan
pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai.
Tersedia obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) untuk paduan OAT
kategori I dan II. Tablet OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4 jenis obat
dalam 1 tablet. Dosisnya (jumlah tablet yang diminum) disesuaikan dengan
berat badan pasien, paduan ini dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1
masa pengobatan. Dosis paduan OAT-KDT untuk kategori I, II dan sisipan
dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Depkes RI, 2006) :
Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)3
Berat badan

30 37 kg

Tahap Intensif tiap hari

Tahap Lanjutan 3x seminggu

selama 56 hari

selama 16 minggu

RHZE (150/75/400/275)
2 tablet 4KDT

RH (150/150)
2 tablet 4KDT
27

28

38 54 kg
3 tablet 4KDT
55 70 kg
4 tablet 4KDT
> 71 kg
5 tablet 4KDT
(Depkes RI, 2006)

3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT

Tabel 2.5 Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3


Berat

Tahap Intensif tiap hari

Tahap Lanjutan3x seminggu

badan

RHZE (150/75/400/275)

RH (150/150) + E (400)

+S
Selama 58 hari
30 37 kg 2 tab 4KDT + 500mg

Selama 28 hari Selama 2 Minggu


2 tab 4KDT
2 tab 2KDT + 2 tab

Streptomisin inj
38 54 kg 3 tab 4KDT + 750mg

3 tab 4KDT

Etambutol
3 tab 2KDT + 3 tab

4 tab 4KDT

Etambutol
4 tab 2KDT + 4 tab

5 tab 4KDT

Etambutol
5 tab 2KDT + 5 tab

Streptomisin inj
55 70 kg 4 tab 4KDT + 1000mg
> 71 kg

Streptomisin inj
5 tab 4KDT + 1000mg

Streptomisin inj
(Depkes RI, 2006)

Etambutol

Tabel 2.6 Dosis OAT untuk Sisipan


Berat Badan

Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari


RHZE (150/75/400/275)

30 37 kg
38 54 kg
55 70 kg
71 kg
(Depkes RI, 2006)

2 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT

2.9.7 Efek samping pengobatan


Dalam pemakaian OAT sering ditemukan efek samping yang
mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin

28

OAT masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tapi bila efek
samping ini sangat mengganggu OAT yang bersangkutan harus dihentikan
dan pengobatan dapat diteruskan dengan OAT yang lain (Bahar & Amin
2007).
Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap
pasien, lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2.7 Efek Samping Pengobatan dengan OAT
Jenis Obat
Isoniazid (H)

Ringan
tanda-tanda
keracunan
pada

syaraf

Berat
Hepatitis, ikhterus

tepi,

kesemutan, nyeri otot dan


gangguan

kesadaran.

Kelainan

yang

menyerupai

lain

defisiensi

piridoksin (pellagra) dan


kelainan

kulit

bervariasi

antara

yang
lain

gatal-gatal.
Rifampisin (R)

gatal-gatal

kemerahan

Hepatitis,

sindrom

kulit, sindrom flu, sindrom

respirasi

yang

perut.

dengan

sesak

nafas,

kadang

disertai

dengan

kolaps

atau

ditandai

renjatan

(syok), purpura, anemia


hemolitik yang akut, gagal
Pirazinamid (Z)

Reaksi hipersensitifitas :

ginjal
Hepatitis,

demam,

serangan arthritis gout

mual

dan

nyeri

sendi,

kemerahan
Streptomisin (S)

Reaksi hipersensitifitas :

Kerusakan saraf

demam,

yang

sakit

kepala,

berkaitan

VIII
dengan

29

30

Etambutol (E)

muntah dan eritema pada

keseimbangan

kulit
Gangguan

pendengaran
Buta warna untuk warna

berupa

penglihatan
berkurangnya

dan

merah dan hijau

ketajaman penglihatan
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)
Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan
pemeriksaan kontrol, seperti (Bahar & Amin, 2007):
a. Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol
b. Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin
c. Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin,
darah perifer dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan
Pirazinamid)
2.10 Hasil pengobatan tuberkulosis
World

Health

Organization

(1993)

menjelaskan

bahwa

hasil

pengobatan penderita tuberkulosis paru dibedakan menjadi :


a. Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya negatif
2 kali atau lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir
pengobatannya.
b. Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan sesuai
jadwal yaitu selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau hanya
1 kali follow up dengan hasil BTA negatif pada 2 bulan terakhir
pengobatan.
c. Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan dan
seterusnya sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih positif pada
akhir pengobatan.
Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA
terkhir masih positif.
Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada bulan ke-2
dari pengobatan.
d. Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih dari
2 bulan sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif.
e. Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa
melihat sebab kematiannya.
2.11 Evaluasi pengobatan

30

Bayupurnama (2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode


yang bisa digunakan untuk evaluasai pengobatan TB paru :
a. Klinis: biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya 2
minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai
akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhankeluhan pasien seperti batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu
makan bertambah, berat badan meningkat dll.
b. Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA
mulai menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan
sekali sebulan. WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA
langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4 dan 6. Pemeriksaan
resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif
setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang
mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif,
sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut.
Bila BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan), maka pasien
yang sebelumnya telah sembuh mulai kambuh lagi.
c. Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada
akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti
timbul kasus kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya
tetap batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis dapat dilihat
keadaan TB parunya atau adakah penyakit lain yang menyertainya.
Karena perubahan gambar radiologis tidak secepat perubahan
bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali
(Bayupurnama, 2007).

31

32

BAB IV
PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS
A TB MILIER
Rawat inap
Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinis, radiologi
dan

evaluasi

pengobatan,

maka pengobatan

lanjutan

dapat

diperpanjang
Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
-

Tanda / gejala meningitis

Sesak napas

Tanda / gejala toksik

Demam tinggi

B. PLEURITIS EKSUDATIVA TB (EFUSI PLEURA TB)


Paduan

obat:

2RHZE/4RH.

- Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien


dan

dapat

diberikan

kortikosteroid

- Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.

32

- Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan


C. TB

PARU

DENGAN

DIABETES

MELITUS

(DM)

- Paduan OAT pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat
kadar

gula

darah

terkontrol

- Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan

sampai

bulan

- Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol


pada mata; sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan
pada

mata

- Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi


efektiviti obat oral antidiabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu
ditingkatkan
- Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk
mengontrol

mendeteksi

dini

bila

terjadi

kekambuhan

D. TB PARU DENGAN HIV / AIDS


Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan
kemungkinan koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV
diindikasikan

untuk

seluruh

TB

pasien

sebagai

bagian

dari

penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah,


konseling dan pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien TB dengan
keluhan dan tanda tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada
pasien

TB

dengan

riwayat

risiko

tinggi

terpajan

HIV.

Jadi tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru
tertentu
a. Ada
b. Hasil
c. MDR

saja
riwayat

yang

memerlukan

perilaku

pengobatan
TB

risiko
OAT
/

uji

HIV,

tinggi

misalnya:

tertular

HIV

tidak

memuaskan

TB

kronik

Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis


TB paru adalah pemeriksaan BTA dahak, foto toraks dan jika
memungkinkan dilakukan pemeriksaan CD4. Gambaran penderita HIV-TB
dapat dilihat pada tabel 7 berikut.
Tabel 7. Gambaran TB-HIV
Infeksi dini
Infeksi lanjut
33

34

Sputum mikroskopis
TB ekstra pulmonal
Mikobakterimia
Tuberkulin
Foto toraks

(CD4>200/mm3)
Sering positif
Jarang
Tidak ada
Positif
Reaktivasi TB, kaviti di

(CD4<200/mm3)
Sering negatif
Umum/ banyak
Ada
Negatif
Tipikal primer TB milier /

Adenopati

puncak
Tidak ada

interstisial
Ada

Tidak ada

Ada

hilus/

mediastinum
Efusi pleura
Pengobatan

OAT

pada

TB-HIV:

- Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa


HIV/AIDS.
- Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat
dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepa
- Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena
akan

menyebabkan

efek

toksik

berat

pada

kulit

- Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali
pakai

yang

steril.

- Desensitisasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena


mengakibatkan

toksik

yang

serius

pada

hati

- Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap


pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus
dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat
korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan,
karenanya dosis standar OAT yang diterima suboptimal sehingga
konsentrasi

obat

rendah

dalam

serum

- Saat pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan


jumlah limfosit CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada (seperti
terlihat pada tabel 8)
Tabel 8. Pengobatan TB-HIV

34

Rejimen

yang

Keterangan

dianjurkan
Mulai terapi TB
Mulai

ART

Dianjurkan ART:
segera

EFV merupakan kontra indikasi untuk ibu hamil atau perempu

setelah terapi TB dapat

subur tanpa kontrasepsi efektif.

ditoleransi

EFV dapat diganti dengan:

(antara

minggu hingga 2 bulan)


Paduan

- SQV/RTV 400/400 mg 2

yang

kali sehari

mengandung EFVb,c.d

- SQV/ r 1600/200 4 kali


sehari (dalam formula soft
gel-sgc) atau
- LPV/RTV 400/400 mg 2
kali sehari
ABC
Pertimbangan ART

Mulai terapi TB
-

Mulai salah satu paduan di bawah ini setelah selesai fase


(mulai lebih dini dan bila penyakit berat):
Paduan yang mengandung EFV:b
(AZT atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau 800 mg/hari) atau

- Paduan yang mengandung NVP bila paduan TB fase lanjuta


menggunakan rifampisin (AZT atau d4T) + 3TC+NVP
Tunda ART
Perimbangan ART

Mulai terapi TB
Mulai terapi TB

Keterangan:
a. Saat mengawali ART harus didasarkan atas pertimbangan klinis
sehubungan dengan adanya tanda lain dari imunodefisiensi. Untuk TB
ekstraparu, ART harus diberikan secepatnya setelah terapi TB dapat
ditoleransi,

tanpa

memandang

CD4

b. Sebagai alternatif untuk EFV adalah: SQV/r (400/400 mg 2 kali sehari


atau cgc 1600/200 1 kali sehari), LPV/r (400/400 mg 2 kali sehari) dan
ABC

(300

mg

kali

sehari)

c. NVP (200 mg sehari selama 2 minggu diikuti dengan 200 mg 2 kali


35

36

sehari) sebagai pengganti EFV bila tidak ada pilihan lain. Rejimen yang
mengandung

NVP

adalah

d4T/3TC/NVP

atau

ZDV/3TC/NVP

d. Paduan yang mengandung EFV adalah d4T/3TC/EFV dan ZDV / 3TC /


EFV
e. Kecuali pada HIV stadium IV, mulai ART setelah terapi TB selesai
f. Bila tidak ada tanda lain dari imunodefisiensi dan penderita
menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi TB, ART diberikan
setelah terapi TB diselesaikan
Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)
Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya efek toksik OAT
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV
golongan nukleosida, kecuali Didanosin (ddI) yang harus
diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat
-

sebagai buffer antasida


Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ART golongan
nonnukleotida dan inhibitor protease. Rifampisin jangan
diberikan bersama dengan nelfinavir karena rifampisin dapat
menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin dapat
menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi sampai saat
ini

belum

ada

peningkatan

dosis

nevirapin

yang

direkomendasikan
Jenis ART
Tabel 9. Obat ART
Golongan Obat
Nukleosida RTI (NsRTI)

Dosis

Abakavir (ABC)

300 mg 2x/hari atau 400 mg 1x/hari

Didanosin (ddl)

250 mg 1x/hari (BB<60 Kg)

Lamivudin (3TC)

150 mg 2x/hari atau 300 mg 1x/hari

Stavudin (d4T)

40 mg 2x/hari (30 mg 2x/hari bila BB<60 Kg)

Zidovudin (ZDV)
Nukleotida RTI

300 mg 2x/hari

TDF
Non nukleosid RTI (NNRTI)

300 mg 1x/hari

Efavirenz (EFV)

600 mg 1x/hari

36

Nevirapine (NVP)

200 mg 1x/hari untuk 14 hari kemudian 200


mg 2x/hari

Protease inhibitor (PI)


Indinavir/ritonavir (IDV/r)

800 mg/100 mg 2x/hari

Lopinavir/ritonavir (LPV/r)

400 mg/100 mg 2x/hari

Nelfinavir (NFV)

1250 mg 2x/hari

Saquinavir/ritonavir (SQV/r)

1000mg/ 100 mg 2x/hari atau 1600 mg/200

Ritonavir (RTV/r)

mg 1x/hari

Kapsul 100 mg, larutan oral 400 mg/5 ml.


E. TB PARU PADA KEHAMILAN DAN MENYUSUI
Obat antituberkulosis harus tetap diberikan kecuali
streptomisin, karena efek samping streptomisin pada gangguan
-

pendengaran janin
Pada pasien TB yang menyusui, OAT dan ASI tetap dapat
diberikan, walaupun beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI,
akan tetetapi konsentrasinya kecil dan tidak menyebabkan

toksik pada bayi


Pada perempuan usia produktif yang mendapat pengobatan TB
dengan rifampisin, dianjurkan untuk tidak menggunakan
kontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi interaksi obat yang

menyebabkan efektiviti obat kontrasepsi hormonal berkurang.


Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan

kehamilan
F. TB PARU PADA GAGAL GINJAL
Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan kapreomisin
Sebaiknya hindari penggunaan etambutol, karena waktu
paruhnya memanjang dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam
keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat diberikan dengan
-

pengawasan kreatinin
Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT,

ureum, kreatinin)
Rujuk ke ahli Paru
G. TB PARU DENGAN KELAINAN HATI
Bila ada kecurigaan penyakit hati, dianjurkan pemeriksaan faal
-

hati sebelum pengobatan


Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan
37

38

Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2

SHRE/6 RH atau 2 SHE/10 HE


Pada pasien hepatitis akut dan atau klinis ikterik , sebaiknya
OAT

ditunda

penyembuhan.

sampai
Pada

hepatitis

keadaan

akutnya

sangat

mengalami

diperlukan

dapat

diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitis


menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH
Sebaiknya rujuk ke dokter spesialis paru
H. HEPATITIS IMBAS OBAT
Adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat
-

hepatotoksik (drug induced hepatitis)


Penatalaksanaan
.
Bila klinis (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah
.
.

[+]) OAT Stop


Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali,: OAT stop
Bila gejal klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan:
Bilirubin
SGOT,

>

2 OAT

SGPT > 5

kali

Stop
OAT

stop

SGOT, SGPT > 3 kali teruskan pengobatan, dengan


pengawasan
Paduan OAT yang dianjurkan :
Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
Setelah itu, monitor klinis dan laboratorium. Bila klinis dan
laboratorium kembali normal (bilirubin, SGOT, SGPT), maka
tambahkan H (INH) desensitisasi sampai dengan dosis penuh
(300 mg).

Selama itu perhatikan klinis dan periksa

laboratorium saat INH dosis penuh , bila klinis dan


laboratorium

kembali

normal,

tambahkan

rifampisin,

desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan).


Sehingga paduan obat menjadi RHES
Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi
I. TUBERKULOSIS PADA ORGAN LAIN
Paduan OAT untuk pengobatan tuberkulosis di berbagai organ tubuh sama
dengan TB paru menurut ATS, misalnya pengobatan untuk TB tulang, TB
sendi dan TB kelenjar lama pengobatan OAT dapat diberikan 9 12 bulan.
Paduan

OAT

yang

diberikan

adalah

2RHZE

7-10

RH.

38

Pemberian kortikosteroid pada perikarditis TB untuk menurunkan


kebutuhan intervensi operasi dan menurunkan kematian, pada meningitis
TB untuk menurunkan gejala sisa neurologis. Dosis yang dianjurkan ialah
0,5 mg/kgBB/ hari selama 3-6 minggu.

39

BAB V
KESIMPULAN
1. Tuberkulosis adalah penyakit infeksi bakteri kronis yang menular, sebagian
besar menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya.
2. Tuberkulosis

paru

disebabkan

oleh

infeksi

bakteri

Mycobacterium

tuberculosis.
3. Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA (+) saat batuk/bersin, bakteri
menyebar ke udara dalam bentuk droplet.
4. Patogenesis TB paru adalah saat droplet terhirup melewati sistem pertahanan
mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan menetap di
sana. Kelanjutan dari proses ini bergantung dari daya tahan tubuh masingmasing individu.
5. Diagnosis

ditegakan

berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik

dan

pemeriksaan penunjang.
6. Gejala klinis utama TB apru adalah batuk terus menerus dan berdahak selama
3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk
darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun,
berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam
walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan
7. Komplikasi TB paru antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura, empiema,
laringitis, usus Poncets arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering terjadi pada TB
milier dan kavitas TB)
8. Tipe pasien TB paru berdasarkan riwayat pengobatan dibagi menjadi: kasus
baru, relaps, drop out, gagal, pindahan, kasus kroinis dan tuberkulosis
resistensi ganda.
9. Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan selama 6-8 bulan
dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan dalam bentuk
kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua kuman dapat
dibunuh. Obat-obat yang dipergunakan sebagai obat anti tuberkulosis (OAT)

40

yaitu : Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan
Etambutol (E)
10. Hasil pengobatan TB paru dbedakan menjadi: sembuh, pengobatan lengkap,
gagal, putus berobat, dan meninggal.
11. Evaluasi pengobatan dapat mengguanakn metode klinis, bakteriologis, dan
radiologis.

41

42

DAFTAR PUSTAKA
Aditama, TY,. Chairil, AS,. 2002. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Jakarta :
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.
Amirudin, Rifai. 2007. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 415-419
Arsyad, Zulkarnain. 1996. Evaluasi FaaI Hati pada Penderita Tuberkulosis Paru
yang Mendapat Terapi Obat Anti Tuberkulosis dalam Cermin Dunia
Kedokteran No. 110, 1996 15.
Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II,
Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994.
Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 9951000.
Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474.
Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A., 2004.

Jawetz, Melnick &

Adelberghs: Mikrobiologi Kedokteran. Buku I, Edisi I, Alih bahasa:


Bagian Mikrobiologi FKU Unair, Jakarta : Salemba Medika.
Crofton, John. 2002. Tuberkulosis Klinis Edisi 2. Jakarta : Widya Medika.
Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam Edisi
13 Volume 2. Jakarta : EGC : 799-808
Departemen

Kesehatan

Republik

Indonesia.

2006.

Pedoman

Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.


Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit,
Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta:
EGC.
Thomson, A.D dan Cotton, R.E. 1997. Catatan Kuliah Patologi. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.

42

Widmann. 1995. Tinjauan Klinis Atas Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta :


penerbit Buku Kedokteran EGC.
World Health Organization. 1993. Treatment of Tuberculosis : Guidelines for
National programmes. Geneva : 3-15
World Health Organization. 2010. Epidemiologi tuberkulosis di Indonesia diakses
pada 23 Maret 2010 pukul 14:39 WIB
<http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-tb-diindonesia/article/55/000100150017/2>

43

Anda mungkin juga menyukai