ABSTRAK
Studi strategi penyelesain konflik nelayan dalam pemanfaatan ruang
wilayah penangkapan ikan di Pesisir Kabupaten Maros Provensi Selawesi
Selatan ini bertujuan untuk mengetahui bentuk penyelesaian konflik yang
telah dilakukan dan yang terlibat dalam proses penyelesaian konflik nelayan,
serta mengajukan strategi pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan.
Bentuk penyelesaian konflik pemanfaatan ruang wilayah penangkapan
ikan yang telah dilakukan melalui media negoisasi dan mediasi dengan
melibatkan tokoh masyarakat nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik dan
trawl mini, unsur Muspida Maros, unsur Muspika Bontoa, DPRD, Dinas
Perhubungan dan Komunikasi, Sub Dinas Perikanan dan Kelautan, PPNS
Perikanan, BPP Perikanan, dan Kepala Desa.
Strategi penyelesaian konflik yang perlu dilakukan adalah; (1) tingkatkan
pengawasan terhadap alat tangkap yang digunakan nelayan dalam
melakukan operasi penangkapan ikan di wilayah perairan dengan mematuhi
jalur-jalur penangkapan yang telah ditetapkan pemerintah, (2) optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah perairan lepas pantai dengan
mengarahkan perahu yang memiliki daya jelajah besar, (3) optimalkan peran
PPNS perikanan dan polisi air dalam melakukan pengawasan terhadap alat
tangkap yang tidak selektif, produktif, dan merusak lingkungan, (4) tingkatkan
ukuran tonase perahu yang telah memiliki mesin, (5) kembangkan teknologi
alat tangkap yang telah ada dengan memperhatikan kepentingan
stakeholders lainnya, (6) pembuatan tata ruang wilayah penangkapan ikan di
wilayah pesisir dengan memperhatikan SK Mentan No. 392 tahun 1999, (7)
penataan tata ruang wilayah penangkapan ikan harus melibatkan semua
stakeholders yang berkepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya
perairan, dan (8) petugas PPNS perikanan dan polisi air harus aktif
memberikan pembinaan dan penyuluhan kepada nelayan tentang jenis alat
tangkap yang izinkan berserta wilayah operasinya.
Kata Kunci : Konflik, wilayah penangkapan ikan, jaring klitik, trawl mini
PENDAHULUAN
mengarah
pada
suatu
pola
pemanfaatan
yang
merusak
hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya (sub sistem) bukan untuk
tujuan komersial. Ketika jumlah penduduk sudah banyak, kualitas kehidupan
masyarakat tinggi, dan teknologi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut
sudah semakin canggih, maka asas akses terbuka akan membawa
kemusnahan sumberdaya (tragedy of the commons). Hal ini disebabkan oleh
perilaku (attitude) pengguna sumberdaya yang berprinsip memaksimalkan
keuntungan pribadi, tanpa menghiraukan kelestarian sumberdaya dan
kepentingan pengguna (stakeholders) lain. Konsekuensi lain yang ditimbulkan
akibat asas akses terbuka adalah konflik pemanfaatan ruang maupun
sumberdaya alam di wilayah pesisir lebih sering terjadi daripada wilayah
daratan maupun lautan (Farida, 2003).
Di samping itu, Pollnac (1984) dalam Wahyono dkk. (2000)
mengemukakan bahwa, salah satu sumber konflik di wilayah pesisir dan laut
adalah peningkatan intensitas eksploitasi sumberdaya. Hal ini berkaitan erat
dengan pertambahan unit eksploitasi, pertambahan penduduk (demografi),
lapangan kerja, perubahan tingkat komersialisasi (permintaan pasar), kondisi
ekologis sumberdaya, dan perubahan teknologi.
Tingkat eksploitasi perikanan tangkap Propinsi Sulawesi Selatan
pada tahun 2001 sebesar 306.115 ton. Dengan nilai total potensi lestari
maksimun (Maximum Sustainable Yield) untuk jenis ikan-ikan yang terdapat di
perairan Selat Makassar, Laut Flores, dan Teluk Bone, yaitu sekitar 620.480
ton/tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan, 2003),
maka tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah tersebut telah
mencapai 49%. Dengan demikian, peluang pemanfaatan secara optimal dan
lestari adalah sebesar 31% jika dipertimbangkan hanya sebesar 80% dari total
potensi lestari yang dapat dimanfaatkan sebagaimana digariskan FAO (Satria
dkk., 2002).
Berdasarkan kenyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa untuk
mencapai hasil tangkapan yang maksimal agar mencukupi kebutuhan hidup
dan meningkatkan kesejahteraannya, nelayan cenderung menggunakan
beberapa jenis dan metode penangkapan yang bersifat ilegal dan dapat
membahayakan kelestarian sumberdaya serta keseimbangan ekosistem laut
Pengoperasian
trawl
mini
inilah
yang
menimbulkan
konflik
nelayan
dalam
pemanfaatan
ruang
wilayah
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakaan pada Oktober 2008 sampai dengan
Januari 2009 di Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi
Selatan, dimana banyak terdapat nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik
dan trawl mini.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua nelayan pengguna alat
tangkap jaring klitik dan trawl mini yang telibat dalam konflik pemanfaatan
pertimbangan
tertentu
dan
sesuai
dengan
tujuan
penelitian
(Nasution,1982).
Berdasarkan hal tersebut, maka sampel dalam penelitian ini adalah
nelayan pengguna alat tangkap jaring klitik dan trawl mini yang terlibat konflik
pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan di lokasi penelitian, dan juga
informan kunci (key informant) yang terdiri dari tokoh masyarakat nelayan
pengguna alat tangkap jaring klitik dan trawl mini, serta beberapa kalangan
dari lembaga terkait, seperti Subdin Perikanan dan Kelautan, HNSI, DPRD
Maros, PPNS Perikanan, dan BPP Perikanan.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara; (1) pengamatan
(observasi), (2) wawancara (interview), dan (3) Particypatory Rapid Appraisal
(PRA). Metode analisis digunakan adalah analisis SWOT. Analisis SWOT
adalah model analisis yang membandingkan antara faktor eksternal peluang
(opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan
(strengths) dan kelemahan (weaknesses) yang digunakan untuk analisis
kasus yang bersifat strategis (Hamid, 1999).
pemanfataan
sumberdaya
perikanan
dan
kelautan
melalui
Perikanan
mengatakan
bahwa
untuk
melaksanakan
10
Bentuk
penyelesaian
konflik
pemanfaatan
ruang
wilayah
ikan
nelayan
tradisional
(0-3
mil)
dan
hanya
11
setiap
perahu/kapal,
dan
(c)
tidak
mengoperasikan
dan
memproduksi lagi alat tangkap ikan yang dimodifikasi yang fungsi dan
kegunaan seperti alat tangkap trawl dan hanya mengoperasikan alat
sesuai dengan izin yang dimiliki.
3) Bilamana kedua belah pihak yang berkonflik tidak mentaati kesepakatan
tersebut, maka pihak yang melanggar akan mendapat sanksi berupa ; (a)
izin operasinya dicabut oleh pihak yang berwenang dan tidak lagi
diperkenankan melakukan operasi, dan (b) menanggung kerugian yang
dialami oleh pihak yang dirugikan dan akan dituntut sesuai hukum yang
berlaku.
Kesepakatan tersebut dimediasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Maros, yang terdiri dari unsur Muspida Kabupaten Maros, DPRD Maros,
Subdin Perikanan dan Kelautan Maros, unsur Muspika Kecamatan Bontoa,
dan PPNS Perikanan.
12
13
4.
5.
6.
7.
8.
Faktor Internal
Daerah penangkapan relatif dekat dan
masih baik kondisinya.
Sumberdaya laut dapat dimanfaatkan
oleh nelayan kapan dan dimana saja.
PPNS perikanan dan Polisi air dan
udara (Polairud) siap menegakkan
hukum di wilayah perairan.
Daerah penangkapan relatif dekat dan
masih baik kondisinya.
Sering terjadi konflik kepentingan antar
stakeholders di daerah penangkapan
ikan.
Adanya perbedaan persepsi nelayan
terhadap laut sebagai sumberdaya
milik bersama.
Jumlah PPNS perikanan dan Polairud
sangat terbatas.
Masih banyak alat tangkap yang
Faktor Eksternal
1. Banyak kegiatan stakeholders yang
merusak kondisi perairan.
2. Belum
ada
tata
ruang
wilayah
penangkapan ikan.
3. Sarana yang mendukung (seperti speed
boad) upaya penegakan hukum di wilayah
perairan sangat terbatas.
4. Banyak alat tangkap yang motode
operasinya merusak lingkungan perairan.
5. Perairan lepas pantai belum dimanfaatkan
secara optimal.
6. Nelayan
menyadari
arti
penting
sumberdaya laut sebagai sumberdaya
milik bersama.
7. Political will dari pemerintah terhadap
upaya penegakan hukum di wilayah
perairan besar.
8. Alat tangkap masih memungkinkan untuk
14
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
berteknologi tradisional.
Kapal/perahu sebagian besar ukuran
tonasenya kecil.
Perahu sudah banyak menggunakan
mesin.
Tokoh masyarakat nelayan sangat
mendukung
upaya
penyelesaian
konflik.
Kepres No. 39 tahun 1980 dan SK
Mentan No. 392 tahun 1999.
Manyarakat nelayan terbuka untuk
diajak
berdialog
tentang
upaya
penyelesaian konflik yang sedang
terjadi.
Jumlah nelayan meningkat setiap
tahun.
Belum adanya kesamaan persepsi
nelayan tentang alat tangkap yang
dilarang penggunaannya.
Nelayan mulai pesimis terhadap model
penyelesaian konflik
yang telah
dilaksanakan.
Pemahaman nelayan terhadap Kepres
No. 39 tahun 1980 dan SK Mentan No.
392 tahun 1999 sangat rendah.
Tingkat pendidikan nelayan masih
rendah.
dikembangkan.
9. Kapal/perahu
yang
ada
masih
memungkinkan
untuk
dikembangkan
ukuran tonasenya.
10. Kapal/perahu hanya sebagian kecil
mampu beroperasi pada perairan lepas
pantai.
11. Meningkatnya
penggunaan
teknologi
usaha penangkapan.
12. Dukungan pemerintah daerah terhadap
upaya
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan cukup baik.
13. Nilai
kepatutan
terhadap
tokoh
masyarakat masih tinggi.
14. Nelayan dapat menjadi profesional apabila
dibina dengan baik.
15. Lemahnya penegakan hukum terhadap
penggunaan alat/cara penangkapan ilegal.
16. Sosialisasi Kepres No. 39 tahun 1980 dan
SK Mentan tahun 1999 terhadap nelayan
masih rendah.
17. Kurangnya pembinaan dan penyuluhan
yang dilakukan instansi terkait.
18. Banyak nelayan pendatang dari daerah
lain.
Peluang (O)
1. Meningkatnya penggunaan teknologi
usaha penangkapan.
2. Dukungan pemerintah daerah terhadap
upaya
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan cukup baik.
3. Nelayan
menyadari
arti
penting
sumberdaya laut sebagai sumberdaya
milik bersama.
4. Nilai
kepatutan
terhadap
tokoh
masyarakat masih tinggi.
5. Perairan
lepas
pantai
belum
dimanfaatkan secara optimal.
6. Alat tangkap masih memungkinkan untuk
dikembangkan.
15
tahun.
7. Nelayan dapat menjadi profesional
8. PPNS perikanan dan Polisi air dan udara
apabila dibina dengan baik.
(Polairud) siap menegakkan hukum di 8. Political will dari pemerintah terhadap
wilayah perairan.
upaya penegakan hukum di wilayah
9. Perahu sudah banyak menggunakan
perairan besar.
mesin.
9. Kapal/
perahu
yang
ada masih
memungkinkan untuk dikembangkan
ukuran tonasenya.
Kelemahan (W)
Ancaman (T)
1. Belum
adanya kesamaan persepsi 1. Lemahnya penegakan hukum terhadap
nelayan tentang alat langkap yang
pengguna alat/cara penangkap ilegal.
dilarang penggunaannya.
2. Belum
ada
tata
ruang
wilayah
2. Adanya perbedaan persepsi nelayan
penangkapan ikan.
terhadap laut sebagai sumberdaya milik 3. Sosialisasi Kepres No. 39 tahun 1980
bersama.
dan SK Mentan No. 392 tahun 1999
3. Nelayan mulai pesimis terhadap model
terhadap nelayan masih rendah.
penyelesaian
konflik
yang
telah 4. Kurannya pembinaan dan penyuluhan
dilaksanakan.
yang dilakukan instansi terkait.
4. Pemahaman nelayan terhadap Kepres 39 5. Banyak kegiatan stakeholders yang
tahun 1980 dan SK Mentan No. 392 tahun
merusak kondisi perairan.
1999 sangat rendah.
6. Banyak alat tangkap yang motode
5. Sering terjadi konflik kepentingan antar
operasinya merusak lingkungan perairan.
stakeholders di daerah penangkapan ikan. 7. Banyak nelayan pendatang dari daerah
6. Masih banyak alat tangkap yang
lain.
8. Sarana yang mendukung (seperti speed
berteknologi tradisional.
boad) upaya penegakan hukum di
7. Tingkat pendidikan nelayan masih rendah.
8. Jumlah PPNS perikanan dan Polairud
wilayah perairan sangat terbatas.
sangat terbatas.
9. Kapal/ perahu hanya sebagian kecil
9. Kapal/ perahu sebagian besar ukuran
mampu beroperasi pada perairan lepas
tonasenya kecil.
pantai.
16
faktor
terhadap
kondisi
penyelesaian
konflik
nelayan
dalam
17
penangkapan ikan diberi nilai satu (1), sedangkan pemberian nilai kelemahan
adalah sebaliknya. Jika kelemahan besar diberi nilai satu (1), tetapi bila
kelemahannya kecil diberi nilai empat (4).
Tabel 4. Faktor strategi eksternal
Faktor Strategi Eksternal
Peluang (O)
1. Perairan lepas pantai belum
dimanfaatkan secara optimal.
2. Nelayan
menyadari
arti
penting
sumberdaya
laut
sebagai sumberdaya milik
bersama.
3. Political will dari pemerintah
terhadap upaya penegakan
hukum di wilayah perairan.
4. Alat
tangkap
masih
memungkinkan
untuk
dikembangkan.
5. Kapal/ perahu yang ada masih
memungkinkan
untuk
dikembangkan
ukuran
tonasenya.
Ancaman (T)
1. Banyak kegiatan stakeholders
yang
merusak
kondisi
perairan.
2. Belum ada tata ruang wilayah
penangkapan ikan.
3. Sarana yang mendukung
(seperti speed boad) upaya
penegakan hukum di wilayah
perairan sangat terbatas.
4. Banyak alat tangkap yang
metode operasinya merusak
lingkungan perairan.
5. Kapal/
perahu
hanya
sebagian kecil beroperasi
pada perairan lepas pantai.
Total Skor
Bobot
(B)
Rating
(R)
BxR
Komentar
0,15
0,60
0,10
0,30
0,18
0,54
0,10
0,40
- Peluang
utama
yaitu : (1) perairan
lepas pantai belum
dimanfaatkan
secara optimal, dan
(2) kapal/ perahu
yang ada masih
memungkinkan
untuk
dikembangkan
tonasenya.
- Nilai
rata-rata
:
0,488
0,15
0,60
0,05
0,05
0,07
0,14
0,10
0,20
0,05
0,05
0,05
0,10
1,00
Ancaman
utama
yaitu : (1) banyak
kegiatan
stakeholders yang
merusak
kondisi
perairan, dan (2)
banyak alat tangkap
yang
metode
operasinya merusak
lingkungan perairan.
- Nilai
rata-rata
:
0,108
2,98
18
konflik
antar
Bobot
(B)
Rating
(R)
BxR
Komentar
0,10
0,30
0,10
0,40
0,15
0,60
0,10
0,30
- Kekuatan
utama
yaitu : (1) kesiapan
PPNS
perikanan
dan Polairud untuk
menegakkan
hukum, dan (2)
sudah
banyak
perahu
yang
menggunakan
mesin.
- Nilai
rata-rata
:
0,410
0,15
0,45
0,08
0,08
- Kelemahan utama
yaitu : (1) sering
19
2.
3.
4.
5.
stakeholders
di
daerah
penangkapan ikan.
Adanya perbedaan persepsi
nelayan terhadap laut sebagai
sumberdaya milik bersama.
Jumlah PPNS perikanan dan
Polairud sangat terbatas.
Masih banyak alat tangkap
yang berteknologi tradisional.
Kapal/ perahu sebagian besar
ukuran tonasenya kecil.
Total Skor
0,10
0,20
0,10
0,10
0,10
0,20
0,07
1,00
0,07
2,70
terjadi
konflik
kepentingan
stakeholders
di
daerah
penangkapan ikan,
dan
(2)
keterbatasan jumlah
PPNS
perikanan
dan Polairud.
- Nilai
rata-rata
:
0,130
20
di
wilayah
perairan
lepas
pantai
dengan
mengarahkan
21
Tabel
Kekuatan (S)
IFAS
EFAS
Kelemahan (W)
1.
2.
3.
4.
5.
Peluang (O)
1. Perairan lepas pantai belum
dimanfaatkan secara optimal.
2. Nelayan
menyadari
arti
penting
sumberdaya
laut
sebagai sumberdaya milik
bersama.
3. Political will dari pemerintah
terhadap upaya penegakan
hukum di wilayah perairan.
4. Alat
tangkap
masih
memungkinkan
untuk
dikembangkan.
5. Kapal/perahu yang ada masih
memungkinkan
untuk
dikembangkan
ukuran
tonasenya.
Strategi SO
1.
2.
Ancaman (T)
1.
2.
3.
4.
5.
Banyak
kegiatan
stakeholders yang merusak
kondisi perairan.
Belum ada tata ruang wilayah
penangkapan ikan.
Sarana yang mendukung
(seperti speed boad) upaya
penegakan hukum di wilayah
perairan sangat terbatas.
Banyak alat tangkap yang
metode operasinya merusak
lingkungan perairan.
Kapal/perahu
hanya
sebagian kecil beroperasi
Optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya perikanan di
wilayah perairan lepas
pantai
dengan
mengarahkan kapal/perahu
yang memiliki daya jelajah
yang besar.
Tingkatkan
pengawasan
terhadap alat tangkap yang
dimiliki
nelayan
dalam
melakukan
operasi
penangkapan
ikan
di
wilayah perairan dengan
mematuhi
jalur-jalur
penangkapan yang telah
ditetapkan.
Strategi WO
1.
2.
Strategi ST
1.
2.
Sering
terjadi
konflik
kepentingan
antar
stakeholders di daerah
penangkapan ikan.
Adanya
perbedaan
persepsi nelayan terhadap
laut sebagai sumberdaya
milik bersama.
Jumlah PPNS perikanan
dan
Polairud
sangat
terbatas.
Masih banyak alat tangkap
yang
berteknologi
tradisional.
Kapal/perahu
sebagian
besar ukuran tonasenya
kecil.
Kembangkan
teknologi
alat tangkap yang telah
ada
dengan
memperhatikan
kepentingan stakeholders
lainnya.
Penataan
jalur-jalur
daerah penangkapan ikan
berdasarkan SK Mentan
No. 392 tahun 1999.
Strategi WT
1.
2.
22
pemanfaatan sumberdaya
perikanan dan lautan.
3.2. Strategi ST
Kekuatan terbesar dalam upaya penyelesaian konflik nelayan dalam
pemanfaatan ruang wilayah penangkapan ikan adalah; (1) sebagian besar
perahu nelayan yang telah menggunakan mesin, (2) alat tangkap yang
digunakan
nelayan
cukup
bervasiasi,
(3)
adanya
kesiapan
aparat
23
dan (2) pembuatan tata ruang wilayah penangkapan ikan di wilayah pesisir
Kabupaten Maros dengan memperhatikan SK Mentan No. 392 tahun 1999
tentang pengaturan jalur-jalur penangkapan ikan di wilayah perairan
Indonesia.
3.4. Strategi WT
Kelemahan terbesar dalam upaya pemanfaatan ruang wilayah
penangkapan ikan di Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros adalah; (1) sering
terjadi konflik kepentingan stakeholders di daerah penangkapan ikan
khususnya pada jalur I (0-6 mil laut), (2) adanya perbedaan persepsi nelayan
terhadap laut sebagai sumberdaya milik bersama, (3) masih banyak alat
tangkap
yang
digunakan
nelayan
berteknologi
tradisional,
dan
(4)
keterbatasan jumlah dan sarana yang dimiliki PPNS perikanan dan Polairud
dalam melakukan pengawasan di wilayah perairan Kabupaten Maros.
Strategi yang dipilih adalah; (1) petugas PPNS perikanan dan Polairud
yang telah ada, harus aktif memberikan pembinaan dan penyuluhan terhadap
nelayan tentang jenis-jenis alat tangkap yang izinkan berserta wilayah
operasinya, dan (2) penataan tata ruang wilayah penangkapan ikan harus
melibatkan semua stakeholders yang berkepentingan terhadap pemanfaatan
sumberdaya perikanan dan lautan, sehingga kebijakan penganturan wilayah
penangkapan ikan tersebut dapat diterima oleh semua pihak.
KESIMPULAN
Berdasarkan dari hasil dan pembahasan dalam penilitian ini, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
2.
24
yang
telah
ada
dengan
memperhatikan
kepentingan
ikan
harus
melibatkan
semua
stakeholders
yang
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S. 2003. Masalah dan Konflik yang Terjadi Antara Nelayan Tangkap
Trawl Mini dengan Nelayan Tradisional di Kabupaten Maros. Makalah
disajikan pada FKPPS Propinsi Sulawesi Selatan. Dinas Pertanian
Kabupaten Maros, Maros.
Dahuri, R. 2001. Kebijakan Nasional Pengelolaan Wilayah Pesisir. Makalah
disajikan dalam Lokakarya dan Dialog Kebijaksanaan Pengendalian
25
Pembangunan
Sub-Sektor
Perikanan
se-Sulawesi,
26