Anda di halaman 1dari 27

1.

Latar Belakang
Kemampuan pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak suatu negara ditentukan
dengan perbandingan angka kematian ibu dan angka kematian perinatal. AKI
merupakan indikator keberhasilan pembangunan pada sektor kesehatan. AKI
mengacu pada jumlah kematian ibu mulai dari masa kehamilan, persalinan dan
nifas. Pada saat ini Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih sangat
tinggi, hal ini bisa dilihat dari hasil Berdasarkan Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia tahun 2007 (SDKI 2007), angka kematian ibu (AKI) di
Indonesia sebesar 228 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan
target yang ingin dicapai sesuai tujuan MDGS ke-5, pada tahun 2015 AKI
turun menjadi 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup, yaitu mengurangi
kematian maternal 75% dari tahun 1990 sampai dengan 2015 (BPS and Macro
International, 2007).
Menurut dr. Muliadi (2012), penyebab tersering kematian ibu di
Indonesia adalah perdarahan post partum, infeksi dalam kehamilan,
perdarahan selama kehamilan, infeksi yang bukan karena kehamilan serta
penyakit yang sudah ada sebelum kehamilan (MenKes RI, 2009)
Setiap tahun diperkirakan 529.000 wanita di dunia meninggal sebagai
akibat komplikasi yang timbul dari kehamilan dan persalinan, sehingga
diperkirakan terdapat angka kematian maternal sebesar 400 per 100.000
kelahiran hidup (WHO, 2000). World Health Organization (WHO)
memperkirakan sejumlah 150.000 wanita meninggal dunia setiap tahunnya
karena perdarahan postpartum.
Perdarahan postpartum adalah perdarahan atau hilangnya darah sebanyak
lebih dari 500cc yang terjadi setelah anak lahir baik sebelum, selama, atau
sesudah kelahiran plasenta. Menurut waktu kejadiannya, perdarahan
postpartum sendiri dapat dibagi atas perdarahan postpartum primer yang
terjadi dalam 24 jam setelah bayi lahir, dan perdarahan postpartum sekunder
yang terjadi lebih dari 24 jam sampai dengan 6 minggu setalah kelahiran bayi.
Atonia uteri menjadi penyebab lebih dari 90% perdarahan pasca
persalinan. Lebih dari separuh jumlah seluruh kematian ibu terjadi dalam
waktu 24 jam setelah melahirkan, sebagian besar karena terlalu banyak
1

mengeluarkan darah. Walaupun seorang perempuan dapat bertahan hidup


setelah mengalami perdarahan setelah persalinan, namun ia akan menderita
anemia berat (Faisal, 2008).
Insidensi perdarahan postpartum pada negara maju sekitar 5% dari
persalinan, sedangkan pada Negara berkembang bisa mencapai 28% dari
persalinan dan menjadi masalah utama dalam kematian ibu. Penyebabnya 90%
dari atonia uteri, 7% robekan jalin lahir, sisanya dikarenakan retensio plasenta
dan gangguan pembekuan darah (Parisaei, et all., 2008).
Di Indonesia diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam
kehamilan. Setiap tahunnya paling sedikit 128.000 perempuan mengalami
perdarahan sampai meninggal. Perdarahan pasca persalinan terutama
perdarahan postpartum primer merupakan perdarahan yang paling banyak
menyebabkan kematian ibu. Perdarahan postpartum primer yaitu perdarahan
pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran (Faisal, 2008)
Menurut Kementerian Kesehatan RI tahun 2010, tiga faktor utama
kematian ibu melahirkan adalah perdarahan (28%), eklampsia (24%), dan
infeksi (11%). Anemia dan kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil
menjadi penyebab utama terjadinya perdarahan dan infeksi yang merupakan
faktor utama kematian ibu. Menurut data WHO, di berbagai negara paling
sedikit seperempat dari seluruh kematian ibu disebabkan oleh perdarahan,
proporsinya berkisar antara kurang dari 10 persen sampai hampir 60 persen
(PP dan KPA, 2010).
Menurut WHO, Negara yang berkembang memiliki angka kematian ibu
25% kematian ibu itu disebabkan oleh Perdarahan Post Partum. Terhitung
lebih dari 100.000 kematian maternal pertahun. Menurut bulletin american
collage of obstetrician and gynecologists menempatkan perkiraan 140.000
kematian ibu pertahun.
Melalui dari permasalahan inilah muncul standar mutu pelayanan
kebidanan yaitu standar 21. Standar layanan merupakan bagian penting dari
layanan kesehatan itu sendiri dan memainkan peranan penting dalam mutu
layanan kesehatan. Secara garis besar, pemerintah telah menetapkan standar
21 dengan tujuan untuk memberikan keseragaman pelayanan yang diberikan
2

oleh para bidan dalam penanganan kegawatdaruratan obstetrik neonatal


(penanganan perdarahan post partum primer). Dengan harapan menurunkan
angka kematian dan angka kesakitan ibu akibat perdarahan post partum,
meningkatkan pemanfaatan pelayanan kebidanan, dan melakukan rujukan dini
pada ibu yang mengalami perdarahan post partum primer ke tempat rujukan
yang memiliki sarana pelayanan kebidanan yang memadai.
2. Penentuan Masalah (Perdarahan Postpartum Primer)
a. Pengertian Perdarahan Postpartum Primer
Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan pasca persalinan yang
terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan
postpartum primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta,
robekan jalan lahir dan inversio uteri (Manuaba, 1998).
b. Penyebab Perdarahan Postpartum Primer
1) Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi
setelah persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh,
melebar, lembek dan tidak mampu menjalankan fungsi oklusi
pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri ini adalah terjadinya
perdarahan. Perdarahan pada atonia uteri ini berasal dari pembuluh
darah yang terbuka pada bekas menempelnya plasenta yang lepas
sebagian atau lepas keseluruhan (Faisal, 2008).
Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan
bagian yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan
perdarahan pasca persalinan. Miometrum lapisan tengah tersusun
sebagai anyaman dan ditembus oeh pembuluh darah. Masing-masing
serabut mempunyai dua buah lengkungan sehingga tiap-tiap dua buah
serabut kira-kira berbentuk angka delapan. Setelah partus, dengan
adanya susunan otot seperti tersebut diatas, jika otot berkontraksi akan
menjepit pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium untuk
berkontraksi ini akan menyebabkan terjadinya pendarahan pasca
persalinan (Faisal, 2008).
3

Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat :


a) Partus lama
b) Pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil, seperti pada
hamil kembar, hidramnion atau janin besar
c) Multiparitas
d) Anestesi yang dalam
e) Anestesi lumbal
Selain karena sebab diatas, atonia juga dapat timbul karena salah
penanganan Kala III yaitu memijat uterus dan mendorongnya ke
bawah dalam usaha melahirkan plasenta, dimana sebenarnya plasenta
belum terlepas dari dinding uterus (Wiknjosastro, 2005).
2) Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir
setengah

jam

setelah

janin

lahir.

Hal

tersebut

disebabkan

(Wiknjosastro, 2005) :
a) Plasenta belum lepas dari dinding uterus
b) Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi
perdarahan, tapi bila sebagian plasenta sudah lepas akan terjadi
perdarahan dan ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya.
Plasenta belum lepas dari dinding uterus disebabkan :
a) Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta
adhesiva)
b) Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis
menembus desidua sampai miometrium (plasenta akreta)
c) Plasenta merekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis
menembus sampai di bawah peritoneum (plasenta perkreta).
Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena
salah penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran kontriksi pada
bagian

bawah

uterus

yang

(inkarserasio plasenta).
4

menghalangi

keluarnya

plasenta

3) Sisa Plasenta
Sewaktu suatu bagian dari plasenta tertinggal, maka uterus tidak
dapat berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan
perdarahan. Perdarahan postpartum yang terjadi segera jarang
disebabkan oleh retensi potongan-potongan kecil plasenta. Inspeksi
plasenta segera setelah persalinan bayi harus menjadi tindakan rutin.
Jika ada bagian plasenta yang hilang, uterus harus dieksplorasi dan
potongan plasenta dikeluarkan (Faisal, 2008).
4) Robekan Jalan Lahir
Robekan jalan lahir dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri.
Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik
biasanya disebabkan oleh robekan serviks atau vagina (Saifuddin,
2002). Setelah persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan vulva
dan perineum. Pemeriksaan vagina dan serviks dengan spekulum juga
perlu dilakukan setelah persalinan.
Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah
yang bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir
selalu harus dievaluasi yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga
dapat diatasi. Sumber perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina,
serviks, dan robekan uterus (ruptura uteri). Perdarahan dapat dalam
bentuk hematoma dan robekan jalan lahir dengan perdarahan bersifat
arterill atau pecahnya pembuluh darah vena. Untuk dapat menetapkan
sumber perdarahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan dalam dan
pemeriksaan spekulum setelah sumber perdarahan diketahui dengan
pasti, perdarahan dihentikan dengan melakukan ligasi (Manuaba,
1998).
5) Inversio Uteri
Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk ke
dalam kavum uteri, dapat secara mendadak atau terjadi perlahan
(Manuaba, 1998).
Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga
fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Peristiwa
5

ini jarang sekali ditemukan, terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera
setelah plasenta keluar. Sebab inversio uteri yang tersering adalah
kesalahan dalam memimpin kala III, yaitu menekan fundus uteri terlalu
kuat dan menarik tali pusat pada plasenta yang belum terlepas dari
insersinya. Menurut perkembangannya inversio uteri dibagi dalam
beberapa tingkat (Wiknjosastro, 2005) :
a) Fundus uteri menonjol ke dalam kavum uteri, tetapi belum keluar
dari ruang tersebut
b) Korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina
c) Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar
terletak di luar vagina.
Gejala-gejala inversio uteri pada permulaan tidak selalu jelas. Akan
tetapi, apabila kelainan itu sejak awal tumbuh dengan cepat, seringkali
timbul rasa nyeri yang keras dan bisa menyebabkan syok.
c. Faktor yang Memengaruhi Perdarahan Postpartum Primer
1) Umur
Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau
lebih dari 35 tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan
pasca persalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Hal ini
dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang
wanita belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada usia
diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami
penurunan

dibandingkan

fungsi

reproduksi

normal

sehingga

kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pasca persalinan terutama


perdarahan akan lebih besar (Faisal, 2008).
Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk
kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada
wanita hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5
kali lebih tinggi daripada kematian maternal yang terjadi pada usia 2029 tahun. Kematian maternal meningkat kembali sesudah usia 30-35
tahun (Wiknjosastro, 2005)

Menurut BKKBN (2007) bahwa jika ingin memiliki kesehatan


reproduksi yang prima seyogyanya harus menghindari 4 terlalu
dimana dua diantaranya adalah menyangkut dengan usia ibu. T yang
pertama yaitu terlalu muda artinya hamil pada usia kurang dari 20
tahun. Adapun risiko yang mungkin terjadi jika hamil di bawah 20
tahun antara lain keguguran, preeklampsia (tekanan darah tiggi,
oedema, proteinuria), eklampsia (keracunan kehamilan), timbulnya
kesulitan persalinan karena sistem reproduksi belum sempurna, bayi
lahir sebelum waktunya, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), fistula
vesikovaginal (merembesnya air seni ke vagina), fistula retrovaginal
(keluarnya gas dan tinja dari vagina) dan kanker leher rahim. T yang
kedua adalah terlalu tua artinya hamil di atas usia 35 tahun. Risiko
yang mungkin terjadi jika hamil pada usia terlalu tua ini antara lain
adalah terjadinya keguguran, preeklampsia, eklampsia, timbulnya
kesulitan pada persalinan, perdarahan, BBLR dan cacat bawaan
(Suryani, 2008).
Menurut

penelitian

Pardosi

(2005),

bahwa

pada

tingkat

kepercayaan 95% ibu yang berumur di bawah 20 tahun atau di atas 30


tahun memiliki risiko mengalami perdarahan postpartum 3,3 kali lebih
besar dibandingkan ibu yang berumur 20 sampai 29 tahun. Selain itu
penelitian Najah (2004) menyatakan bahwa pada tingkat kepercayaan
95% umur ibu di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun bermakna
sebagai faktor risiko yang memengaruhi perdarahan postpartum.
2) Pendidikan
Menurut Depkes RI (2002), pendidikan yang dijalani seseorang
memiliki pengaruh pada peningkatan kemampuan berfikir, dimana
seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan dapat mengambil
keputusan yang lebih rasional, umumnya terbuka untuk menerima
perubahan atau hal baru dibandingkan dengan individu yang
berpendidikan lebih rendah.
Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada
masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan
7

(praktik) untuk memelihara (mengatasi masalah-masalah), dan


meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan
ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadarannya melalui proses
pembelajaran (Notoatmodjo, 2003).
Wanita dengan pendidikan lebih tinggi cenderung untuk menikah
pada usia yang lebih tua, menunda kehamilan, mau mengikuti
Keluarga Berencana (KB), dan mencari pelayanan antenatal dan
persalinan. Selain itu, mereka juga tidak akan mencari pertolongan
dukun bila hamil atau bersalin dan juga dapat memilih makanan yang
bergizi.
Menurut Thadeus dan Maine (1990) yang dikutip dari Suryani
(2008), dari beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai negara
menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara penggunaan
pelayanan obstetri dan tingkat pendidikan ibu.
3) Paritas
Paritas merupakan faktor risiko yang memengaruhi perdarahan
postpartum primer. Pada paritas yang rendah (paritas 1) dapat
menyebabkan ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan
sehingga ibu hamil tidak mampu dalam menangani komplikasi yang
terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas. Sedangkan semakin
sering wanita mengalami kehamilan dan melahirkan (paritas lebih dari
3) maka uterus semakin lemah sehingga besar risiko komplikasi
kehamilan (Manuaba, 1998).
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut
perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian
maternal. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai
angka kejadian perdarahan pascapersalinan lebih tinggi. Lebih tinggi
paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas 1 dapat
ditangani dengan asuhan obstetrik yang lebih baik, sedangkan risiko
pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga

berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak


direncanakan (Wiknjosastro, 2005).
Menurut penelitian Herianto (2003) bahwa paritas lebih dari 3
bermakna sebagai faktor risiko yang memengaruhi perdarahan
postpartum primer (OR=2,87; 95% CI 1,23;6,73). Penelitian Miswarti
(2007) menyatakan proporsi ibu yang mengalami perdarahan
postpartum primer dengan paritas 1 sebesar 12%, paritas 2-3 sebesar
40% dan paritas lebih dari 3 sebesar 48%, serta terdapat hubungan
yang signifikan antara paritas dengan perdarahan postpartum primer.
Demikian juga dengan penelitian Milaraswati (2008) menyatakan
bahwa proporsi ibu yang mengalami perdarahan postpartum primer
dengan paritas >4 yaitu 69% dan didapatkan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara paritas dengan perdarahan postpartum primer.
4) Jarak Antar Kelahiran
Jarak antar kelahiran adalah waktu sejak kelahiran sebelumnya
sampai terjadinya kelahiran berikutnya. Jarak antar kelahiran yang
terlalu dekat dapat menyebabkan terjadinya komplikasi kehamilan.
Menurut Moir dan Meyerscough (1972) yang dikutip Suryani (2008)
menyebutkan jarak antar kelahiran sebagai faktor predisposisi
perdarahan postpartum karena persalinan yang berturut-turut dalam
jangka waktu yang singkat akan mengakibatkan kontraksi uterus
menjadi kurang baik. Selama kehamilan berikutnya dibutuhkan 2-4
tahun agar kondisi tubuh ibu kembali seperti kondisi sebelumnya.
Bila jarak antar kelahiran dengan anak sebelumnya kurang dari 2
tahun, rahim dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik. Kehamilan
dalam keadaan ini perlu diwaspadai karena ada kemungkinan
terjadinya perdarahan pasca persalinan.
Menurut penelitian Yuniarti (2004) proporsi kasus dengan jarak
antar kelahiran kurang dari 2 tahun sebesar 41% dengan OR jarak
antar kelahiran 2,82. Hal ini berarti ibu yang memiliki jarak antar
kelahiran kurang dari 2 tahun berisiko 2,82 kali mengalami perdarahan
pasca persalinan.
9

5) Riwayat Persalinan Buruk Sebelumnya


Riwayat persalinan di masa lampau sangat berhubungan dengan
hasil kehamilan dan persalinan berikutnya. Bila riwayat persalinan
yang lalu buruk petugas harus waspada terhadap terjadinya komplikasi
dalam persalinan yang akan berlangsung. Riwayat persalinan buruk ini
dapat berupa abortus, kematian janin, eklampsi dan preeklampsi,
sectio caesarea, persalinan sulit atau lama, janin besar, infeksi dan
pernah mengalami perdarahan antepartum dan postpartum.
Menurut Sulistiowati (2001) yang dikutip Suryani (2008), bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat persalinan buruk
sebelumnya dengan perdarahan pasca persalinan dan menemukan OR
2,4 kali pada ibu yang memiliki riwayat persalinan buruk dibanding
dengan ibu yang tidak memiliki riwayat persalinan buruk.
6) Anemia
Menurut World Health Organization (WHO) anemia pada ibu
hamil adalah kondisi dengan kadar hemoglobin (Hb) dalam darahnya
kurang dari 11,0 gr%.
Volume darah ibu hamil bertambah lebih kurang sampai 50% yang
menyebabkan konsentrasi sel darah merah mengalami penurunan.
Bertambahnya sel darah merah masih kurang dibandingkan dengan
bertambahnya plasma darah sehingga terjadi pengenceran darah.
Perbandingan tersebut adalah plasma 30%, sel darah 18% dan
haemoglobin 19%. Keadaan ini tidak normal bila konsentrasi turun
terlalu rendah yang menyebabkan hemoglobin sampai <11 gr%.
Meningkatnya volume darah berarti meningkatkan pula jumlah zat besi
yang dibutuhkan untuk memproduksi sel-sel darah merah sehingga
tubuh dapat menormalkan konsentrasi hemoglobin sebagai protein
pengankut oksigen (Winkjosastro, 2000).
Anemia dapat mengurangi daya tahan tubuh ibu dan meninggikan
frekuensi komplikasi kehamilan serta persalinan. Anemia juga
menyebabkan peningkatan risiko perdarahan pasca persalinan. Rasa
cepat lelah pada penderita anemia disebabkan metabolisme energi oleh
10

otot tidak berjalan secara sempurna karena kekurangan oksigen.


Selama hamil diperlukan lebih banyak zat besi untuk menghasilkan sel
darah merah karena ibu harus memenuhi kebutuhan janin dan dirinya
sendiri dan saat bersalin ibu membutuhkan hemoglobin untuk
memberikan energi agar otot-otot uterus dapat berkontraksi dengan
baik.
Pemeriksaan dan pengawasan hemoglobin dapat dilakukan dengan
menggunakan alat sahli. Hasil pemeriksaan dengan alat sahli dapat
digolongkan sebagai berikut (Manuaba, 1998) :
a) Hb > 11,0 gr% disebut tidak anemia
b) Hb 9,0 gr% - 10,9 gr% disebut anemia ringan
c) Hb 7,0 gr% - 8,9 gr% disebut anemia sedang
d) Hb < 6,9 gr% disebut anemia berat
Pemeriksaan darah dilakukan minimal dua kali selama kehamilan,
yaitu pada trimester I dan trimester III.
Menurut penelitian Herianto (2003) bahwa anemia bermakna
sebagai faktor risiko yang mempengaruhi perdarahan postpartum
primer. Ibu yang mengalami anemia berisiko 2,8 kali mengalami
perdarahan postpartum primer dibanding ibu yang tidak mengalami
anemia (OR= 2,76; 95% CI 1,25;6,12).
d. Penanganan Perdarahan Postpartum Primer
1) Pencegahan Perdarahan Postpartum Primer
Penanganan terbaik perdarahan postpartum adalah pencegahan.
Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus
yang disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan
pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin, namun sudah
dimulai sejak wanita hamil dengan antenatal care yang baik.
Pengawasan antenatal memberikan manfaat dengan ditemukannya
berbagai kelainan secara dini, sehingga dapat diperhitungkan dan
dipersiapkan langkah-langkah dalam pertolongan persalinannya.
Kunjungan pelayanan antenatal bagi ibu hamil paling sedikit 4 kali

11

kunjungan dengan distribusi sekali pada trimester I, sekali trimester II,


dan dua kali pada trimester III.
Anemia dalam kehamilan harus diobati karena perdarahan dalam
batas-batas normal dapat membahayakan penderita yang sudah
anemia. Kadar fibrinogen perlu diperiksa pada perdarahan yang
banyak, kematian janin dalam uterus dan solusio plasenta. Apabila
sebelumnya penderita sudah mengalami perdarahan postpartum,
persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Di rumah sakit diperiksa
keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah dan bila
mungkin tersedia donor darah. Sambil mengawasi persalinan,
dipersiapkan keperluan untuk infus dan obat-obatan penguat rahim
(uterus tonikum). Setelah ketuban pecah kepala janin mulai membuka
vulva, infus dipasang dan sewaktu bayi lahir diberikan ampul
methergin atau kombinasi 5 satuan sintosinon (sintometrin intravena)
(Mochtar, 1995).
Dalam kala III uterus jangan dipijat dan didorong ke bawah
sebelum plasenta lepas dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat
penting untuk mencegah perdarahan postpartum. Sepuluh satuan
oksitosin diberikan intramuskulus segera setelah anak lahir untuk
mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah plasenta lahir hendaknya
diberikan

0,2

mg

ergometrin

intramuskulus.

Kadang-kadang

pemberian ergometrin, setelah bahu depan bayi lahir dengan tekanan


pada fundus uteri plasenta dapat dikeluarkan dengan segera tanpa
banyak perdarahan. Namun salah satu kerugian dari pemberian
ergometrin setelah bahu depan bayi lahir adalah kemungkinan
terjadinya jepitan (trapping) terhadap bayi kedua pada persalinan
gemelli yang tidak diketahui sebelumnya (Wiknjosastro, 2005).
Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir dua hal harus
dilakukan, yakni menghentikan perdarahan secepat mungkin dan
mengatasi akibat perdarahan. Setelah plasenta lahir perlu ditentukan
apakah disini dihadapi perdarahan karena atonia uteri atau karena
perlukaan jalan lahir. Jika plasenta belum lahir (retensio plasenta),
12

segera dilakukan tindakan untuk mengeluarkannya (Wiknjosastro,


2005).
2) Manajemen Aktif Kala III
Manajemen aktif persalinan kala III terdiri atas intervensi yang
direncanakan

untuk

mempercepat

pelepasan

plasenta

dengan

meningkatkan kontraksi rahim dan untuk mencegah perdarahan pasca


persalinan dengan menghindari atonia uteri, komponennya adalah
(Shane, 2002) :
a) Memberikan obat uterotonika (untuk kontraksi rahim) dalam
waktu dua menit setelah kelahiran bayi
Penyuntikan obat uterotonika segera setelah melahirkan bayi
adalah salah satu intervensi paling penting yang digunakan untuk
mencegah perdarahan pasca persalinan. Obat uterotonika yang
paling umum digunakan adalah oxytocin yang terbukti sangat
efektif dalam mengurangi kasus perdarahan pasca persalinan dan
persalinan lama. Syntometrine (campuran ergometrine dan
oxytocin) ternyata lebih efektif dari oxytocin saja. Namun,
syntometrine dikaitkan dengan lebih banyak efek samping seperti
sakit

kepala,

mual,

muntah,

dan

tekanan

darah

tinggi.

Prostaglandin juga efektif untuk mengendalikan perdarahan, tetapi


secara umum lebih mahal dan memiliki bebagai efek samping
termasuk diarrhea, muntah dan sakit perut.
b) Menjepit dan memotong tali pusat segera setelah melahirkan
Pada manajemen aktif persalinan kala III, tali pusat segera
dijepit dan dipotong setelah persalinan, untuk memungkinkan
intervensi

manajemen

aktif lain.

Penjepitan

segera dapat

mengurangi jumlah darah plasenta yang dialirkan pada bayi yang


baru lahir. Diperkirakan penjepitan tali pusat secara dini dapat
mencegah 20% sampai 50% darah janin mengalir dari plasenta ke
bayi. Berkurangnya aliran darah mengakibatkan tingkat hematokrit
dan hemoglobin yang lebih rendah pada bayi baru lahir, dan dapat
mempunyai pengaruh anemia zat besi pada pertumbuhan bayi. Satu
13

kemungkinan manfaat bagi bayi pada penjepitan dini adalah


potensi berkurangnya penularan penyakit dari darah pada kelahiran
seperti HIV.
c) Melakukan penegangan tali pusat terkendali sambil secara
bersamaan melakukan tekanan terhadap rahim melalui perut
Penegangan tali pusat terkendali mencakup menarik tali pusat
ke bawah dengan sangat hati-hati begitu rahim telah berkontraksi,
sambil secara bersamaan memberikan tekanan ke atas pada rahim
dengan mendorong perut sedikit di atas tulang pinggang. Dengan
melakukannya hanya selama kontraksi rahim, maka mendorong tali
pusat secara hati-hati ini membantu plasenta untuk keluar.
Tegangan pada tali pusat harus dihentikan setelah 30 atau 40 detik
bila plasenta tidak turun, tetapi tegangan dapat diusahakan lagi
pada kontraksi rahim yang berikut.
3. Prioritas Masalah
Perdarahan menempati presentase tertinggi penyebab kematian ibu yaitu
sebesar 28%. Di berbagai Negara, paling sedikit seperempat dari seluruh
kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, proporsinya berkisar antara kurang
dari 10-60 %. Perdarahan pascapersalinan ada kalanya merupakan perdarahan
yang hebat dan menakutkan hingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh
kedalam keadaan syok. Setelah kita dapat mengidentifikasi penyebab
kematian ibu ini, yaitu salah satunya disebabkan oleh perdarahan, maka hal ini
dapat dijadikan sebagai penentu masalah yang wajib kita hadapi bersama
sebagai seorang bidan.
Untuk mengatasi hal tersebut maka kita perlu jeli dalam memprioritaskan
masalah terlebih dahulu, agar dapat melakukan upaya pencegahan dan
penanganan yang efektif sesuai masalah yang kita hadapi. Prioritas masalah
dalam hal ini adalah perdarahan post partum primer, yaitu perdarahan pasca
persalinan yang terjadi 24 jam pertama kelahiran, dikarenakan pada masa ini
ibu bersalin banyak mengeluarkan darah, sehingga jika dalam hal ini terjadi
perdarahan dalam 24 jam pertama persalinan, maka hal ini akan dapat
14

membahayakan nyawa ibu karena lebih dari separuh jumlah seluruh kematian
ibu terjadi dalam waktu 24 jam setelah melahirkan. Walaupun seorang ibu
akan tetap bertahan hidup setelah mengalami pendarahan pasca persalinan.
Namun selanjutnya akan mengalami kekurangan darah berat (anemia berat)
sehingga dapat mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan (WHO).
4. Penetapan dan Penyusunan Upaya Penyelesaian Program Menjaga Mutu
Setelah menentukan prioritas masalah, maka kita dapat memikirkan
bagaimana upaya penyelesaiannya. Untuk mengatasi permasalahan perdarahan
post partum primer ini, pemerintah telah menyusun standar pelayanan
kebidanan. Standar menunjuk pada keadaan yang sangat ideal yang harus
dicapai sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Dalam hal ini, standar
pelayanan kebidanan yang dimaksud adalah Standar 21 (Penanganan
Perdarahan Postpartum Primer).
Upaya ini sudah sesuai dengan program jaminan mutu pelayanan
kebidanan yang merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara
berkesinambungan, sistematis, objektif, dan terpadu dalam memantau dan
menilai mutu layanan kebidanan, menggunakan berbagai peluang yang
tersedia

untuk

meningkatkan

pelayanan

yang

diselenggarakan

dan

menyelesaikan berbagai masalah yang ditemukan.


Dengan adanya standar pelayanan kebidanan ini diharapkan dapat
menyelesaikan masalah sesuai kebutuhan klien, serta menilai hasil yang
dicapai dan menyusun saran tindak lanjut untuk agar dapat meningkatkan
mutu pelayanan selanjutnya pada kasus yang sama. Jadi, upaya penyelesaian
program jaminan mutu merupakan hal yang paling tepat, yaitu dengan
menetapkan standar pelayanan kebidanan dalam penanganan perdarahan post
partum primer.
5. Pelaksanaan Penyelesaian
a. Tujuan
Mengenali dan mengambil tindakan pertolongan kegawatdaruratan yang
tepat pada ibu yang mengalami perdarahan postpartum primer
15

b. Pernyataan Standar
Bidan mampu mengenali perdarahan yang berlebihan dalam 24 jam
pertama setelah persalinan (perdarahan postpartum primer) dan segera
melakukan pertolongan pertama kegawatdaruratan untuk mengendalikan
perdarahan.
c. Hasil
1) Penurunan kematian dan kesakitan ibu akibat perdarahan postparum
primer
2) Meningkatnya pemanfaatan pelayanan kebidanan
3) Rujukan secara dini kasus perdarahan pospartum primer ke rumah
sakit.
d. Prasyarat
1) Bidan terlatih dan terampil dalam menangani perdarahan postpartum,
termasuk pemberian obat oksitosika dan cairan IV, kompresi uterus
bimanual dan kompresi aorta.
2) Tersedianya peralatan/perlengkapan penting yang yang diperlukan
dalam kondisi DTT/steril, misalnya klem arteri, alat untuk penjahitan,
benang jahit, set infus dengan jarum berukuran 16 dan 18 G, alat
suntik sekali pakai, cairan IV, sarung tangan, kateter urine dari karet,
dalam keadaan siap pakai.
3) Tersedianya obat antibiotika dan oksitosika (oksitosin dan metergin)
serta tempat penyimpanannya.
4) Tersedianya sarana pencatatan: Kartu Ibu, Partograf
5) Tersedianya transpotasi untuk merujuk ibu direncanakan
6) Sistem rujukan yang efektif untuk perawatan kegawatdaruratan
obstetric dan fasilitas bank darah berfungsi dengan baik untuk merawat
ibu yang mengalami perdarahan postpartum.
e. Proses
Bidan harus :
1) Periksa gejala dan tanda perdarahan postpartum primer. Perdarahan
dari vagina sesudah bayi lahir yang lebih dari 500 ml, atau perdarahan
seberapapun dengan gejala dan tanda-tanda syok, dianggap sebagai
16

perdarahan postpartum. Keadaan ini perlu segera dirujuk ke rumah


sakit.
2) Segera setelah plasenta dan selaput ketuban dilahirkan, lakukan masase
uterus supaya berkontraksi (selama maksimak 15 detik) untuk
mengeluarkan gumpalan darah. Sambil melakukan masase fundus
uteri, periksa plasenta dan selaput ketuban untuk memastikan plasenta
utuh dan lengkap.
3) Selalu mencuci tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir
sebelum memberikan perawatan. Gunakan sarung tangan DTT/steril
untuk semua periksa dalam dan gunakan sarung tangan bersih
kapanpun menangani benda yang terkontaminasi oleh darah dan cairan
tubuh.
4) Jika perdarahan terus terjadi dan uterus teraba berkontraksi baik:
a) Berikan 10 unit oksitosin IM
b) Jika kandung kemih ibu bisa dipalpasi, dengan menggunakan
tehnik aseptik, pasang kateter ke dalam kandung kemih
(menggunakan keteter karet DTT/steril)
c) Periksa laserasi pada perineum, vagina dan serviks dengan
seksama menggunakan lampu yang terang. Jika sumber perdarahan
sudah diidentifikasi, jepit dengan klem arteri dan jahit laserasi
dengan menggunakan anestesi lokal (lidokain 1%) menggunakan
tehnik aseptik.
5) Jika uterus mengalami atoni, atau perdarahan terus terjadi:
a) Berikan 10 unit oksitosin IM
b) Lakukan masase uterus untuk mengeluarkan gumpalan darah.
Periksa lagi apakah plasenta utuh dengan tehnik aseptik,
menggunakan sarung tangan DTT/steril, usap vagina dan ostium
serviks untuk menghilangkan jaringan plasenta atau selaput
ketuban yang tertinggal.
c) Jika kandung kemih ibu bisa dipalpasi, dengan menggunakan
tehnik aseptik, pasang kateter ke dalam kandung kemih
(menggunakan keteter karet DTT/steril)
17

d) Gunakan sarung tangan DTT/steril, lakukan kompresi bimanual


internal maksimal 5 menit atau hingga perdarahan bisa
dikendalikan dan uterus berkontraksi dengan baik (mana yang
terjadi lebih dahulu).
e) Anjurkan keluarga untuk mulai mempersiapkan kemungkinan
rujukan
f) Jika perdarahan dapat dikendalikan dan uterus berkontraksi dengan
baik
-

Teruskan kompresi bimanual selama 1-2 menit atau lebih

Keluarkan tangan dari vagina dengan hati-hati

Pantau kala empat persalinan dengan seksama, termasuk sering


melakukan masase uterus untuk memeriksa atoni, mengamati
perdarahan dari vagina, tekanan darah dan nadi.

g) Jika perdarahan tidak terkendali dan uterus tidak berkontraksi


dalam waktu 5 menit setelah dimulainya kompresi bimanual pada
uterus :
-

Instruksikan salah satu anggota keluarga untuk melakukan


kompresi bimanual eksternal

Keluarkan tangan dari vagina dengan hati-hati

Jika tidak ada hipertensi pada ibu, berikan metergin 0,2 mg IM

Mulai IV Ringer Laktat 500 cc + 20 unit oksitosin


menggunakan jarum berlubang besar (16 atau 18 G) dengan
tehnik aseptik. Berikan 500 cc pertama secepat mungkin, dan
teruskan dengan IV Ringer Laktat + 20 unit oksitosin yang
kedua.

Jika uterus tetap atoni dan/atau perdarahan terus berlangsung


ulangi kompresi bimanual internal

Jika uterus berkontraksi, lepaskan tangan perlahan-lahan dan


pantau kala empat persalinan dengan cermat

Jika uterus tidak berkontraksi , rujuk segera.

18

Dampingi ibu ke tempat rujukan. Teruskan infus IV dengan


kecepatan 500cc/jam hingga ibu mendapatkan total 1,5 liter
dan kemudian turunkan kecepatan hingga 125 cc/jam.

6) Jika ibu menunjukkan tanda dan gejala syok rujuk segera dan lakukan
tindakan berikut :
a) Jika IV belum diberikan, mulai berikan dengan instruksi seperti
tercantum di atas
b) Pantau dengan cermat tanda-tanda vital ibu ( nadi, tekanan darah,
pernafasan ), setiap 15 menit pada saat perjalanan ke tempat
rujukan
c) Baringkan ibu dengan posisi miring agar jalan pernafasan ibu tetap
terbuka dan meminimalkan risiko aspirasi jika ibu muntah
d) Selimuti ibu, jaga ibu tetap hangat, tapi jangan membuat ibu
kepanasan
e) Jika mungkin, naikkan kakinya untuk meningkatkan darah yang
kembali ke jantung
Gejala dan tanda syok berat :
a) Nadi lemah dan cepat (110 kali/menit atau lebih)
b) Tekanan darah sangat rendah: tekanan sistolik < 90 mmHg
c) Nafas cepat dan dangkal (30 kali/menit atau lebih)
d) Urine < 30 cc/jam
f) Bingung, gelisah atau pingsan
g) Berkeringat atau kulit menjadi dingin dan basah
h) Pucat.
7) Bila perdarahan tetap berlangsung dan kontraksi uterus tetap tidak ada,
maka kemungkinan terjadi rupture uteri. (Syok cepat terjadi tak
sebanding dengan darah yang nampak keluar, abdomen teraba keras
da fundus mulai naik). Hal ini juga memerlukan rujukan segera ke
rumah sakit.
8) Bila kompresi bimanual pada uterus tidak berhasil, cobalah kompresi
aorta. Cara ini dilakukan pada keadaan darurat, sementara penyebab
perdarahan sedang dicari.
19

9) Perkirakan umlah darah yang keluar dan cek dengan teratur denyut
nadi, pernapasan dan tekanan darah.
10) Buat catatan yang seksama tentang semua penilaian, semua tindakan
yang dilakukan, dan semua pengobatan yang diberikan. Termasuk saat
pencatatan.
11) Jika syok tidak dapat diperbaiki, maka segera rujuk. Keterlambatan
akan berbahaya.
12) Jika perdarahan berhasil dikendalikan, ibu harus diamati dengan ketat
untuk gejala dan tanda infeksi. Berikan antibiotika jika terjadi tandatanda infeksi. (Gunakan antibiotika berspektrum luas, misalnya
Ampisilin 1 gr IM, diikuti 500 mg per oral setiap 6 jam ditambah
Metronidazol 400-500 mg per oral setiap 8 jam selama 5 hari.)
Kompresi Bimanual Uterus (dari LUAR)
a) Letakkan tangan kiri di atas fundus dan tekan ke bawah sejauh
mungkin di belakang uterus.
b) Tangan kanan dikepalkan dan ditekan ke bawah di antara simfisis
pubis dan pusat.
c) Lakukan cara diatas, kemudian tekan uterus dengan kedua tangan
secara bersama-sama.

Gambar Kompresi Bimanual Eksterna


Kompresi Bimanual Uterus (dari DALAM)
20

a) Cuci tangan dengan sabun dan air bersih, lalu keringkan dengan
handuk bersih. Gunakan sarung tangan panjang yang steril/DTT.
b) Letakkan tangan kiri seperti diatas (menekan fundus uteri dari
luar).
c) Masukkan tangan kanan dengan hati-hati ke dalam vagina dan buat
kepalan tinju.
d) Kedua tangan didekatkan dan secara bersama-sama menekan
uterus.
e) Lakukan tindakan ini sampai diperoleh pertolongan lebih lanjut,
bila diperlukan.
Prinsipnya adalah menekan uterus dengan cara manual agar terjadi hemostasis.

Gambar Kompresi Bimanual Interna


Kompresi Manual pada Aorta

21

Kompresi manual pada aorta hanya dilakukan pada perdarahan hebat


dan jika kompresi luar serta dalam tidak efektif.
a) Kompresi manual pada aorta adalah alternatif untuk kompresi
bimanual. Kompresi hanya boleh dilakukan pada keadaan darurat
sementara penyebab perdarahan sedang dicari.
b) Berikut ini adalah langkah-langkah kompresi manual pada aorta:
-

Lakukan tekanan ke arah bawah dengan kepalan tangan


langsung melalui dinding perut ke atas aorta abdominal.

Titik kompresi adalah tepat diatas pusar dan sedikit ke arah


kiri.

Pulsasi aorta bisa dirasakan dengan mudah melalui dinding


abdominal anterior pada periode postpartum segera.

Dengan tangan yang lain , palpasi pulsasi femoralis untuk


memeriksa kekuatan kompresi

Jika pulsasi bisa diraba selama kompresi, tekanan yang


digunakan tidak cukup kuat.

Jika pulsasi femoralis tidak dapat dipalpasi, tekanan yang


digunakan cukup.

Teruskan kompresi hingga perdarahan bisa dikendalikan.

Jika kompresi aorta tidak menghentikan perdarahan, bersiaplah


untuk membawa ibu ke tempat rujukan dengan segera.

22

Gambar Kompresi Aorta Abdominalis

INGAT!

Perdarahan sedikit mungkin menimbulkan syok pada ibu yang menderita anemia
berat

Ibu dapat kehilangan darah 350-560 cc/menit jika uterusnya tidak berkontraksi
dengan setelah kelahiran plasenta

Ibu dapat meninggal karena perdarahan postpartum dalam waktu 1 jam setelah
melahirkan. Karena itu penilaian dan penatalaksanaan yang cermat selama
persalinan kala tiga dan empat sangat penting

Perdarahan sedikit demi sedikit dan terus menerus atau perdarahan tiba-tiba
adalah keadaan darurat, lakukan tindakan secara dini dan proaktif.

Perdarahan postpartum dari episiotomi atau laserasi mungkin terjadi bersamaan


dengan atoni uteri selalu nilai keduanya bila terjadi perdarahan postpartum

Syok harus segera diatasi dan cairan yang hilang harus diganti.

Sedapat mungkin ibu dirujuk dengan anggota keluarganya yang akan menjadi
donor darah.

Berikan suplementasi zat besi setelah perdarahan

Perdarahan dapat terjadi kapan saja sesudah bayi lahir

Ruptura uteri dapat terjadi dalam persalinan tanpa tampak adanya perdarahan
keluar.

23

6. Pemantauan dan Penilaian Kembali


a. Daftar Tilik
Metoda :
1. Pengamatan langsung pada bidan saat memimpin persalinan.
2. Diskusi dengan bidan yang bersangkutan.
3. Diskusi dengan ibu hamil, suami, ataupun keluarga.
4. Mempelajari seluruh pencatatan.
Kriteria
Semua pencatatan tersedia untuk dikaji

Ya

Menggunakan KMS Ibu Hamil/Kartu Ibu


Semua pencatatan diisi lengkap dan benar
Bidan terlatih dalam penatalaksanaan Kala III
Bidan terlatih untuk memeriksa, apakah sudah lahir lengkap
Bidan terlatih untuk melaksanakan kompresi bimanual dan
kompresi aorta secara benar
Bidan terlatih untuk mengenali dan menangani perdarahan
postpartum primer
Seluruh penjelasan yang diberikan bidan benar
Tersedia perlengkapan yang diperlukan, termasuk sabun, air
bersih dan handuk bersih untuk cuci tangan, perlengkapan steril
untuk pemeriksaan vagina, forsep arteri, penyinaran yang cukup,
alat suntik/jarum steril, dan perlengkapan penjahitan steril
Tersedia perlengkapan untuk memberikan cairan IV, mengambil
contoh darah untuk pemeriksaan Hb.
Tersedia obat-obatan oksitosika dan fasilitas penyimpanannya
Menunjuk sesuai dengan keperluan
Seluruh rujukan ditindaklanjuti oleh bidan
Pedoman untuk aseptik dilaksanakan
Seluruh pemeriksaan dilaksanakan setelah meminta ijin dan
sesuai dengan standar

24

Tidak

b. Rencana Tindak Lanjut


Tujuan : Mengidentifikasi prasyarat atau proses yang memerlukan
perbaikan untuk menjamin bahwa pelaksanaan standar dapat
dicapai/dipertahankan.
Metoda : Pertemuan untuk mendiskusikan temuan (baik positif maupun
negatif) serta tindakan yang diperlukan untuk menjamin bahwa
pelaksanaan standar dapat dicapai/dipertahankan.
Apakah semua kriteria yang disebutkan dalam daftar tilik untuk
auditpencapaian standar telah dipenuhi?
Bila

ya

(semua

kriteria

Ya Tidak
telah Bila tidak (tidak semua kriteria

dipenuhi):
terpenuhi) :
Apakah ada hal lain yang dapat Apakah
meningkatkan

kualitas

proses?

semua

prasyarat

tersedia?

Jelaskan!

Ya Tidak
Bila tidak, sebutkan prasyarat

yang tidak tersedia.


Apakah seluruh proses telah
diikuti dengan tepat?

Apakah ada prasyarat lain yang

Ya Tidak
Apakah terdapat

perlu

sebagaimana

ditambahkan

guna

mempermudah proses? Sebutkan!

kesalahan

yang

tertulis

dalam proses?
Ya Tidak

Bila ya, sebutkan kesalahannya


Tindakan apa yang harus
dilakukan untuk memperbaiki
proses?

Jelaskan

dengan

spesifik.
Bila beberapa prasyarat ternyata
tidak terpenuhi :
Tindakan
dilakukan?
spesifik.
25

apa

yang

Jelaskan

perlu
dengan

Siapa yang harus melaksanakan


tindakan / upaya perbaikan terhadap
Tanggal dan hari Petugas
dimana

kondisi-kondisi tersebut diatas?


yang Tanggal dan hari Tanda

tindakan bertanggung

harus
dilaksanakan

selesai jawab

evaluasi selanjutnya

untuk

melaksanakan

tangan
auditor
supervisor

tindakan

26

DAFTAR PUSTAKA
Marie, Naomy Tando. 2013. Mutu Layanan Kebidanan dan Kebijakan
Kesehatan. Jakarta : IN Media.
Sondakh, Jenny, dkk. 2013. Mutu Pelayanan Kesehatan dan Kebidanan.
Jakarta : Salemba Medika.

27

Anda mungkin juga menyukai