Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS PEDIATRI

KEJANG DEMAM SEDERHANA DAN FARINGITIS AKUT

OLEH :
BAIQ TRISNA SATRIANA
H1A 008 042

PEMBIMBING :

dr. Reza Kurnia, Sp.A

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF


ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA MATARAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat
darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali
kejang selama hidupnya. Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis.
Keadaan tersebut merupakan keadaan darurat. Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti

sendiri dan sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari
penyakit berat, atau cenderung menjadi status epileptikus (Karnia, 2007).
Kejang demam merupakan kelainan terbanyak di antara penyakit saraf pada anak.
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal di
atas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranial. Menurut Consensus Statement on
Febrile Seizures, kejang demam adalah kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara
umur 6 bulan sampai 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya
infeksi intrakranial, gangguan elektrolit, atau metabolik. Anak yang pernah kejang tanpa
demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu (< 1 bulan) tidak termasuk kejang demam.
Derajat tingginya demam yang dianggap cukup untuk diagnosis kejang demam adalah 38oC
atau lebih, walaupun suhu sebenarnya pada waktu kejang sering tidak diketahui. Kejang
demam terjadi pada 2-4% anak berumur antara 6 bulan sampai 5 tahun. Anak laki-laki
umumnya lebih sering menderita kejang demam dibandingkan anak perempuan dengan
perbandingan berkisar antara 1.4 : 1 dan 1.2 : 1 (Purwanti & Maliya, 2008; UKK Neurologi
IDAI, 2006).
Dalam praktek sehari-hari orang tua sering cemas bila anaknya mengalami kejang,
karena setiap kejang kemungkinan dapat menimbulkan epilepsi dan trauma pada otak.
Hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi dikaitkan faktor risiko yang penting adalah
demam. Demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan atas, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih. Faktor risiko lainnya adalah riwayat
keluarga kejang demam, problem pada masa neonatus, serta kadar natrium yang rendah.
Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau
lebih, dan kira-kira 9% akan mengalami 3 kali rekurensi atau lebih (Purwanti & Maliya,
2008).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
.1. DEFINISI
Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah bangkitan kejang
2

pada bayi dan anak, biasanya terjadi antara umur 6 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan
demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab lain (Deliana, 2002).
Menurut The International League Against Epilepsy (ILAE), kejang demam adalah
kejang yang terkait dengan demam (suhu rektal lebih dari 38C), dimana tidak ditemukan
kaitan dengan infeksi CNS atau ketidakseimbangan elektrolit yang akut pada anak usia > 1
bulan tanpa ada riwayat kejang di luar demam sebelumnya (ILAE, 1993).
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang yang
didahului oleh demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP atau epilepsi yang
kebetulan terjadi bersama demam (UKK Neurologi IDAI, 2006).
.2. EPIDEMIOLOGI
Pendapat para ahli tentang usia penderita saat bangkitan kejang demam tidak sama,
Pendapat para ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan
sampai dengan 5 tahun. Menurut The American Academy of Pediatrics (AAP) usia termuda
bangkitan kejang demam yaitu 6 bulan.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak,
terutama pada anak umur 6 bulan sampai 5 tahun. Hampir 3% dari anak yang berumur
dibawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Insiden kejang demam 2,2-5% pada anak
di bawah usia 5 tahun. Anak laki-laki lebih sering dari pada perempuan dengan perbandingan
1.21.6 : 1. Saing B (1999), menemukan 62,2%, kemungkinan kejang demam berulang pada
90 anak yang mengalami kejang demam sebelum usia 12 tahun, dan 45% pada 100 anak yang
mengalami kejang setelah usia 12 tahun. Kejang demam kompleks dan khususnya kejang
demam fokal merupakan prediksi untuk terjadinya epilepsi. Sebagian besar peneliti
melaporkan angka kejadian epilepsi di kemudian hari sekitar 2-5% (Deliana, 2002).

.3. FAKTOR RESIKO


Faktor resiko kejang demam termasuk diantaranya yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

keterlambatan perkembangan
keluar dari unit neonatus setelah 28 hari
day care attendance
infeksi virus
riwayat keluarga dengan kejang demam,
vaksinasi tertentu (fluvax junior dan fluvax, difteri dan tetanus toxoid (DPT), measles,

mumps dan rubella (MMR))


7. kemungkinan defisiensi besi dan zinc (Graves, 2012).
3

Menurut Hassan & Alatas, dkk (2007), dengan penanggulangan yang tepat dan cepat,
prognosis pada kejang demam baik atau tidak perlu menyebabkan kematian. Risiko yang
dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung dari faktor :
1. Riwayat kejang tanpa demam dalam keluarga
2. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang
demam.
3. Kejang yang berlangung lama atau kejang fokal (Hassan & Alatas, 2007).
Faktor resiko berulangnya kejang pada kejang demam adalah :
1.
2.
3.
4.
5.

Riwayat kejang demam dalam keluarga,


Usia < 18 bulan,
Suhu tubuh saat kejang,
Demamnya lama saat awitan kejang, dan
Riwayat epilepsi dalam keluarga (ayah, ibu atau saudara kandung) (Al-Ajlouni &
Kodah, 2000).
Faktor resiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah:

1.
2.
3.
4.

Adanya gangguan neurodevelopmental,


Kejang demam kompleks,
Riwayat epilepsi dalam keluarga (ayah, ibu atau saudara kandung),
Demamnya lama saat awitan kejang dan lebih dari satu kali kejang demam kompleks
(Al-Ajlouni & Kodah, 2000).

.4. ETIOLOGI
Penyebab kejang demam masih belum dapat dipastikan. Etiologi dan patogenesis tidak
diketahui tetapi tampaknya ada pengaruh genetik yang kuat karena frekuensi kejang demam
meningkat di antara anggota keluarga. Insiden pada orang tua berkisar antara 8% - 22% dan
pada saudara kandung 9% - 17% . Adanya riwayat keluarga yang pernah mengalami kejang
demam pada penderita mengindikasikan adanya predisposisi genetik pada kejang demam.
Kemungkinan adanya predisposisi genetik ini semakin dikuatkan oleh temuan gen yang
terlibat dalam kejang demam pada kromosom 19p dan 18q13-21, yang diwariskan dalam pola
pewarisan kromosom dominan (Ali, 2006).
2.5.
PATOGENESIS
Penyebab kejang demam belum diketahui secara pasti. Namun, kejang demam muncul
pada demam yang disebabkan oleh infeksi ekstrakranial seperti infeksi saluran pernapasan

atas, radang telinga tengah, infeksi saluran cerna, dan infeksi saluran kemih (Purwanti &
Maliya, 2008).

Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi (hiperpireksia), terkadang demam
yang tidak terlalu tinggi dapat menyebabkan kejang. Hal ini diduga terkait dengan berbagai
faktor risiko yang mungkin ada pada anak, yang menyebabkan rendahnya batas ambang
pencetusan kejang sehingga kejang lebih mudah dibangkitkan. Hal ini mungkin terkait
dengan faktor herediter, dimana diketahui bahwa terdapat faktor genetik yang menyebabkan
kejang demam. Pada anak dengan kejang demam, 41,2% memiliki riwayat keluarga dengan
kejang demam. Sedangkan pada anak normal hanya 3% yang memiliki riwayat keluarga
dengan kejang demam. Diketahui bahwa kejang demam diturunkan secara herediter dominan
(Purwanti & Maliya, 2008).
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan
permukaan luar adalah ionic. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium (K +) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya, konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi
dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel terdapat keadaan sebaliknya). Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi di dalam dan di luar sel, maka disebut potensial membrane.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membrane diperlukan energi dan bantuan enzim NaK-ATPase yang terdapat pada permukaan sel (Hassan & Alatas, 2007).
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Kenaikan suhu tubuh tertentu dapat
mempengaruhi keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi
difusi dari ion kalium dan natrium dari membran tadi, dengan akibat lepasnya muatan listrik.
Lepasnya muatan listrik ini demikan besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun
membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang (Hassan &
Alatas, 2007).

Tiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda. Pada anak yang ambang kejangnya
rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang
tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih. Kejang demam yang berlangsung
singkat tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi kontraksi otot skelet yang akhirnya menyebabkan hipoksemia,
hiperkapnea, asidosis lactate, dan hipotensi. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis
setelah kejang berlangsung lama yang dapat menjadi matang di kemudian hari, sehingga
terjadi serangan epilepsi spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat
menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi (Hassan & Alatas, 2007).
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung
singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau
akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak memberi

reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun
dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf (Purwanti & Maliya, 2008).
.5. KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIS
Penggolongan kejang demam menurut kriteria National Collaborative Perinatal
Project adalah kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam
sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat (< 15 menit), berbentuk umum
tonik dan atau klonik, dan kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam
sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam pada anak. Kejang demam
kompleks adalah kejang demam yang berlangsung lebih lama dari 15 menit, baik bersifat
fokal maupun parsial, dan berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam (UKK Neurologi
IDAI, 2006).

Source : Fetveit A. Assessment of Febrile Seizure in Children. Eur J. Pediatri (2008) 167 : 17-27.

Umumnya kejang demam pada anak berlangsung pada permulaan demam akut, berupa
serangan kejang klonik umum atau tonik klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda neurologi
post-iktal. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama
7

terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi atau kejang
umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam
1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara
anak-anak yang mengalami kejang demam (Deliana, 2002; UKK Neurologi IDAI, 2006).
.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi
dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan
lain seperti gastroenteritis dehidrasi yang disertai demam. Pemeriksaan laboratorium
yang dapat dikerjakan, misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah.
2. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Pemeriksaan pungsi lumbal diindikasikan pada saat pertama kali timbul kejang demam
untuk menyingkirkan adanya proses infeksi intrakranial, perdarahan subaraknoid atau
gangguan demielinisasi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6-6,7%. Bila
yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. Namun, pada
bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis
karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal pada :
a) Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan, bahkan diwajibkan.
b) Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
c) Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin dilakukan
3. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan gelombang lambat di
daerah belakang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral. Pemeriksaan
EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan
kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang
demam kompleks pada anak usia > 6 tahun, kejang demam fokal, atau anak yang
mempunyai risiko untuk terjadinya epilepsi.
4. Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti CT-scan atau MRI jarang sekali dikerjakan
dan tidak rutin dilakukan, kecuali atas indikasi seperti kelainan neurologis fokal yang
menetap (hemiparesis), paresis nervus VI, papiledema (UKK Neurologi IDAI, 2006).
8

.7. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk :

Mencegah kejang demam berulang


Mencegah status epilepsi
Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi
Normalisasi kehidupan anak dan keluarga (Deliana, 2002)

1. Pengobatan Fase Akut (Saat Kejang)


Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan
nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah
aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi juga dapat berlangsung
terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur,
kalau perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit
harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat dan
pemberian antipiretik, yaitu Asetaminofen oral 10 mg/kgBB 4 kali sehari atau Ibuprofen
oral 20 mg/kgBB 4 kali sehari (Deliana, 2002).
Saat ini, diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut,
karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat diberikan secara
intravena atau rektal, jika diberikan intramuskular absorbsinya lambat. Dosis diazepam
intravena pada anak adalah 0,3-0,5 mg/kgBB, diberikan secara perlahan-lahan dengan
kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.
Jika jalur intravena belum terpasang, diazepam dapat diberikan per rektal dengan dosis
0,5-0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10
mg pada berat badan lebih dari 10 kg. Pemberian diazepam secara rektal aman dan
efektif serta dapat pula diberikan oleh orang tua di rumah (Deliana, 2002; UKK
Neurologi IDAI, 2006).
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di RS dapat
diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB. Bila kejang tetap belum
berhenti, berikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB/kali
pemberian dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila
kejang berhenti, dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kgBB/hari dimulai 12 jam setelah

dosis awal. Bila dengan pemberian fenitoin kejang belum berhenti, maka pasien harus
dirawat di ruang perawatan intensif (UKK Neurologi IDAI, 2006).
Bila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan Luminal suntikan intramuskular
dengan dosis awal 30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan 1 tahun, dan 75
mg untuk usia lebih dari 1 tahun (Deliana, 2002).
2. Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang
Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan keluarga
dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Terdapat
2 cara profilaksis, yaitu profilaksis intermittent pada waktu demam dan profilaksis terus
menerus dengan antikonvulsan (Deliana, 2002).
a) Profilaksis Intermittent Pada Waktu Demam
Pengobatan profilaksis intermittent dengan antipiretik dan antikonvulsan segera
diberikan pada waktu pasien demam (suhu rektal lebih dari 38C). Pilihan
antipiretik Paracetamol dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari
atau Ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali diberikan 3-4 kali sehari.
Diazepam diberikan melalui oral atau rektal. Pemakaian diazepam oral dengan
dosis 0,3 mg/kgBB tiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulangnya
kejang pada 30-60% kasus. Dosis per rektal tiap 8 jam pada suhu > 38,5oC adalah
0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Efek samping diazepam adalah ataksia, iritabel,
sedasi, dan hipotoni yang cukup berat pada 25-39% kasus (Deliana, 2002; UKK
Neurologi IDAI, 2006).
b) Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Rumatan
Indikasi pemberian profilaksis terus menerus pada saat ini adalah :
Sebelum atau sesudah kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau
gangguan perkembangan neurologis, seperti hemiparesis, cerebral palsy,
retardasi mental, hidrosefalus.
Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua
atau saudara kandung.
Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan
neurologis sementara atau menetap.
Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi
kejang berulang 2 kali dalam satu episode demam, dan kejang demam > 4
kali per tahun (UKK Neurologi IDAI, 2006).

10

Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah


kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah berulangnya
kejang demam berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian
hari. Pemberian fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang (UKK Neurologi IDAI, 2006).
Pemberian fenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1-2 dosis dengan kadar
sebesar 16 mg/mL dalam darah menunjukkan hasil yang bermakna untuk
mencegah berulangnya kejang demam. Efek samping fenobarbital ialah iritabel,
hiperaktif, pemarah dan agresif ditemukan pada 30-50% kasus. Fenobarbital juga
dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus.
Efek samping fenobarbital dapat dikurangi dengan menurunkan dosis. Obat lain
yang dapat digunakan adalah asam valproat yang memiliki khasiat sama dengan
fenobarbital. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3
dosis. Efek samping yang ditemukan adalah hepatotoksik, tremor dan alopesia
(Deliana, 2002; UKK Neurologi IDAI, 2006).

11

BAB III
LAPORAN KASUS
Tanggal Masuk RSUD Mataram
No. RM
Diagnosis Masuk
Tanggal Pemeriksaan

:
:
:
:

30 Agustus 2013
085228
Kejang Demam Sederhana + Bronkopneumonia
31 Agustus 2013

IDENTITAS
Identitas Pasien
Nama Lengkap
Jenis Kelamin
Umur
Agama
Alamat

:
:
:
:
:

An. A. Y.
Perempuan
3 Tahun
Islam
Dusun Tempit

Identitas Keluarga
Identitas

Ibu

Ayah

Nama

Ny. S

Tn. M

Umur

23 tahun

26 tahun

Pendidikan

SMP

SMA

Pekerjaan

IRT

Wiraswasta

HETEROANAMNESIS
Keluhan Utama : Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Mataram dibawa oleh orang tuanya dengan keluhan
kejang sebanyak 1 kali selama + 5 menit di rumah. Kejang terjadi saat pasien sedang
beristirahat dalam posisi terlentang, badan serta tangan dan kaki kaku, mata mendelik ke
atas, namun dari mulut tidak keluar busa, pasien tidak sadar saat kejang. Saat kejang,
pasien juga dalam keadaan demam, namun orang tua pasien tidak mengukur suhu tubuh
anaknya saat itu. Demam dirasakan muncul mendadak tinggi di pagi hari ( 6 jam
sebelum kejang) , terus menerus sepanjang hari, keluarga tidak memberikan obat apapun
ataupun memberi kompres pada anak. Setelah mengalami kejang, pasien tetap sadar,
walaupun tampak lemah.
Pasien juga mengalami batuk sejak pagi hari sebelum MRS bersamaan dengan
munculnya demam, batuk berdahak putih encer, tenggorokan terasa gatal, suara serak (-),
sulit menelan (-), sesak (-). Pasien juga muntah sebanyak 2 kali, 1 kali saat di rumah dan
12

1 kali saat di ruangan bangsal, muntah saat pasien diberikan minum obat, muntah berisi
makanan dan cairan. Pasien BAB 1x sejak pagi hari, konsistensi cair, berwarna kuning,
ampas masih ada, tidak disertai lendir maupun darah. BAK (+) lancar berwarna kuning
jernih.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat penyakit/keluhan serupa sebelumnya disangkal. Riwayat trauma kepala juga
tidak pernah dialami oleh pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Saudara sepupu pasien (keponakan ayah pasien) juga pernah mengalami keluhan yang
serupa.
Riwayat epilepsi (-), riwayat asma (-), riwayat alergi (-), riwayat TB (-).
Riwayat Kehamilan dan Persalinan :
Selama hamil, ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya di Posyandu (> 4 kali selama
kehamilan). Ibu pasien mengaku selama hamil dirinya tidak pernah mengalami mual
muntah yang berlebihan, tekanan darah tinggi, kejang, asma, kencing manis, perdarahan,
demam yang lama, ataupun trauma. Ibu pasien juga rutin mengkonsumsi tablet penambah
darah dan vitamin selama kehamilan.
Pasien lahir di Puskemas melalui persalinan normal dan ditolong oleh bidan. Pasien lahir
pada usia kehamilan cukup bulan dengan berat badan lahir 3000 gram dan langsung
menangis. Riwayat kejang, biru, atau kuning setelah lahir disangkal.
Riwayat Nutrisi :
Pasien mendapatkan ASI eksklusif sampai usia 6 bulan. Selanjutnya pasien diberi ASI
dan susu formula, karena ibu mengaku ASI-nya hanya keluar sedikit. Sejak usia 6 bulan
hingga kini, pasien telah mendapat makanan tambahan (MP-ASI), dan sekarang sudah
diberikan makan nasi dan lauk pauk lainnya. Nafsu makan pasien baik sebelum sakit.
Riwayat Imunisasi (Vaksinasi) :
Imunisasi

Usia

BCG

(+) 1x

Usia 1 bulan

Hepatitis B

(+) 4x

Usia 0, 2, 3,4 bulan

Polio

(+) 4x

Usia 0, 2, 3,4 bulan

DPT

(+) 3x

Usia 2, 3,4 bulan

Campak

(+) 1x

Usia 9 bulan
13

Riwayat Perkembangan dan Kepandaian


Motorik Kasar
Pasien

sudah

Motorik Halus
bisa Pasien sudah bisa Pasien

menaiki tangga
Pasien

sudah

berdiri

dengan

menggunakan

Bicara
sudah

Sosial
bisa Pasien sudah bisa

alat berbicara, dan seluruh menggunakan baju

untuk pembicaraan
bisa tulis
dimengerti
satu mencoret-coret

sendiri

kaki

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : sedang
Kesadaran
: compos mentis, GCS: E4V5M6
Tanda Vital
Frekuensi nadi
: 122 x/menit, reguler, kuat angkat
Frekuensi napas
: 34 x/menit
Suhu
: 39,1oC
CRT
: < 2 detik
Status Gizi
BB
TB
LK

: 10,7 Kg
: 86 cm
: 48 cm (normal)

Z-score (Grafik WHO)

BB/PB
BB/U
PB/U

= -0,8 SD
= -1,6 SD
= -2,5 SD

= gizi baik
= normal
= pendek

Pemeriksaan Fisik Umum


Kepala/Leher

Bentuk
Mata

: normocephali, UUB tertutup datar


: anemis (-), ikterik (-), Rp (+/+) isokor, edema palpebra (-/-),
mata cowong (-/-), kornea/konjungtiva kering (-), air mata (+/+)
Telinga
: bentuk normal, nyeri tekan tragus (-/-), otorrhea (-/-), perdarahan (-/-)
Hidung
: bentuk normal, deviasi septum (-), krepitasi (-), rinorrhea (-).
Mulut
: mukosa bibir basah, pucat (-), sianosis sentral (-), mukosa buccal
dbn, lidah kemerahan dengan papil (-), gigi geligi dbn.
Tenggorok : hiperemis (+), tonsil T1-T1
Leher
: pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-), peningkatan JVP (-)
14

Thoraks
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

Auskultasi

: bentuk normal, deformitas (-), retraksi (-)


: pengembangan dinding dada simetris, vokal fremitus (+/+) normal
: Pulmo sonor
Cor batas jantung dextra: parasternal dextra
batas jantung sinistra : linea midklavikularis sinistra
batas jantung superior : ICS II parasternal dextra
batas jantung inferior : ICS V linea midklavikularis sinistra
: Cor S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo vesikuler (+/+), stridor (-/-), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen :
Inspeksi
: distensi (-), jejas (-), scar/luka bekas operasi (-)
Auskultasi
: bising usus (+) normal
Perkusi
: timpani
Palpasi : nyeri tekan (-), H/L/R tak teraba, turgor kulit normal
Ekstremitas
Pemeriksaan

Ekstremitas Atas

Ekstremitas Bawah

Dextra

Sinistra

Dextra

Sinistra

Akral hangat

Edema

Nyeri tekan

Pucat

Refleks Fisiologis

Refleks Patologis
Kekuatan Otot

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap

HGB
HCT
RBC
WBC

:
:
:
:

9,8 g/dl
30,6 %
4,45 x 106/L
15,59 x 103/L

PLT
MCV
MCH
MCHC

:
:
:
:

334 x 103/L
60,5 fl
18,8 pg
31,0 g/dl

Rontgen Thorax : kesan C/P dbn

15

RESUME

Pasien perempuan usia 3 tahun datang dengan keluhan kejang 1 kali +

5 menit. Saat kejang badan serta tangan dan kaki kaku, mata mendelik ke atas, tidak
sadar. Saat kejang, pasien juga dalam keadaan demam, demam muncul mendadak
tinggi di pagi hari ( 6 jam sebelum kejang), terus menerus sepanjang hari, tidak
diberikan obat apapun ataupun kompres. Setelah mengalami kejang, pasien tetap
sadar, walaupun tampak lemah. Pasien juga mengalami batuk sejak pagi hari sebelum
MRS bersamaan dengan munculnya demam, batuk berdahak putih encer, tenggorokan
terasa gatal, suara serak (-), sulit menelan (-), sesak (-). Pasien juga muntah sebanyak
2 kali, 1 kali saat di rumah dan 1 kali saat di ruangan bangsal, muntah saat pasien
diberikan minum obat, muntah berisi makanan dan cairan. RPD (-), Saudara sepupu
pasien (keponakan ayah pasien) juga pernah mengalami keluhan yang serupa.

Dari pemeriksaan fisik, keadaan umum: sedang, kesadaran: compos


mentis, N: 122 x/menit, reguler, kuat angkat; RR: 34 x/menit; T: 39,1 oC. Status gizi,
TB/U: pendek. Pemeriksaan tenggorokan hiperemis. Hasil pemeriksaan darah lengkap
HGB:9,8 g/dl, WBC:15,59 x 103/L, PLT:334 x 103/L, MCV:60,5 fl, MCH:18,8 pg,
MCHC:31,0 g/dl

DIAGNOSIS
Kejang Demam Sederhana
Faringitis Akut
Anemia hipokromik mikrositik e.c susp. Anemia defisiensi besi
RENCANA TERAPI
Terapi medikamentosa
Parasetamol syr 4 x 11 cc (3/4 cth)
Injeksi Diazepam 3,5 mg IV pelan atau Stesolid 10 mg supp jika pasien kejang
Terapi non-medikamentosa
KIE orang tua:
o meyakinkan bahwa kejang demam jika berlangsung < 15 menit pada
umumnya tidak berbahaya
o memberikan informasi kemungkinan kejang kembali
o menerangkan cara penanganan kejang di rumah, perlunya menyediakan
diazepam rectal untuk menghentikan kejang dan hal yang harus dikerjakan
orang tua bila terjadi kejang di rumah

16

BAB IV
PEMBAHASAN

Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi

pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh proses
ekstrakranium. Penggolongan kejang demam menurut kriteria National Collaborative
Perinatal Project adalah kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang
demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat (< 15 menit), berbentuk
umum tonik dan atau klonik, dan kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam, setelah terjadi
kejang tidak didapatkan adanya defisit neurologis, serta kejang demam terjadi pada anak usia
6 bulan sampai 5 tahun. Sedangkan kejang demam kompleks dimana durasi >15 menit, dapat
muncul sebagai serial kejang dalam waktu terbatas, kejang selanjutnya muncul sebelum 24
jam, kejang fokal dengan berbagai kemungkinan bentuk. Pasien pada laporan kasus ini
didiagnosis mengalami kejang demam sederhana karena tidak ada satupun kriteria yang
memenuhi kejang demam komples, dan kejang yang dialami pasien sesuai dengan kriteria
kejang demam sederhana.

Kejang demam biasanya muncul pada demam yang disebabkan oleh infeksi
ekstrakranial seperti infeksi saluran pernapasan atas, radang telinga tengah, infeksi saluran
cerna, dan infeksi saluran kemih. Pada pasien ini didapatkan bahwa kejang demam terkait
dengan adanya infeksi pada saluran napas, yaitu faringitis akut.

Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktivitas listrik yang


berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain
secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut salah satunya dapat
dipengaruhi oleh kenaikan suhu 1C pada keadaan demam mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat mempengaruhi keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang
singkat terjadi difusi dari ion kalium dan natrium dari membran tadi, dengan akibat lepasnya
muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini demikan besar sehingga dapat meluas ke seluruh
sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang.

Pasien pada kasus ini memiliki beberapa faktor resiko terjadi kejang demam,
yang dapat diidentifikasi yaitu adanya riwayat keluarga yaitu sepupu (keponakan ayah
pasien) yang juga mengalami kejang pada saat demam. Dari pemeriksaan penunjang
laboratorium pasien mengalami anemia hipokromik mikrositer yang dicurigai akibat
defisiensi besi, pada suatu penilitian dikatakan anak dengan kejang demam memiliki

insidensi 2 kali lipat juga mengalami anemia defisiensi besi, dibandingkan pasien kejang
tanpa demam.

Pada pasien ini diberikan terapi fase akut (saat kejang) dan pengobatan
profilaksis intermitten (saat demam). Pengobatan yang diberikan yaitu antipiretik dan
antikonvulsan yakni paracetamol 11 cc / cth (110 mg) dan diazepam bisa diberikan 3,5 mg
IV ataupun supp 10 mg hanya saat kejang. Pasien tidak diberikan terapi profilaksis terus
menerus dikarenakan tidak adanya indikasi pemberian, dan umumnya kejang demam
sederhana ini tidak berbahaya.

Penting untuk melakukan edukasi pada orang tua. Bila anaknya mengalami
kejang demam, edukasi yang harus diberikan adalah penjelasan yang meyakinkan bahwa
kejang demam jika berlangsung < 15 menit pada umumnya tidak berbahaya, memberikan
informasi kemungkinan kejang kembali, menerangkan cara penanganan kejang di rumah,
perlunya menyediakan diazepam rectal untuk menghentikan kejang. Hal yang harus
dikerjakan orang tua bila terjadi kejang di rumah adalah bersikap tenang tidak panik,
kendorkan pakaian yang ketat, posisikan anak terlentang dengan kepala miring, bersihkan
muntahan dan lendir dari mulut dan hidung, dan jangan memasukkan sesuatu ke dalam
mulut, walau ada kemungkinan lidah tergigit. Memasukkan benda apapun kedalam mulut saat
anak kejang dapat menghalangi jalan nafas dan dapat membahayakan nyawa anak. Ukur
suhu, catat lama kejang dan bentuk kejang, beri diazepam rectal (jangan diberikan bila kejang
sudah berhenti) dan bawa ke rumah sakit bila kejang berlangsung lebih dari 5 menit.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ajlouni SF, Kodah IH. 2000. Febrile Convulsions in Children. Neurosciences,


Vol. 5 (3), p.151-155. Department of Pediatrics, King Hussein Medical Center,

Amman : Jordan.

Accessed on 03 September 2013.


Ali W., et al. 2006. Basics Of Convulsive Disorders: Febrile Seizures. JK-

Practitioner Vol.13, No. 3, July- September 2006. Accessed on 04 September 2013


Deliana M. 2002. Tata Laksana Kejang Demam Pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 4,
No. 2, September 2002, p. 59-62. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-USU, RSUP H.
Adam Malik : Medan. Accessed on 03 September 2013
Fetveit A. 2008. Assessment of Febrile Seizure in Children. Eur J. Pediatri, Vol. 167,

September 2008, p. 17-27. Department of General Practice and Community Medicine,


University of Oslo : Norway. Accessed on 03 September 2013.
Graves R.C, et al. 2012. Febrile Seizures: Risks, Evaluation, and Prognosis.

Volume 85, Number 2

January 15, 2012. American Family Physician,

www.aafp.org/afp. Accessed on 03 September 2013.


Hassan R, Alatas H, editor. 2007. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Cetakan

Kesebelas. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia : Jakarta.
Kania, N. 2007. Kejang Pada Anak. Available at: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-

content/uploads/2010/02/kejang_pada_anak.pdf. Accessed on 05 September 2013


Purwanti OS, Maliya A. 2008. Kegawatdaruratan Kejang Demam Pada Anak. Berita
Ilmu Keperawatan, Vol. 1, No. 1, Juni 2008, p. 97-100. Jurusan Keperawatan, FIKUMS : Surakarta. Accessed on 07 November 2012.
Pusponegoro HD, Widodo DW, Ismael S, editor. 2006. Konsensus Penatalaksanaan

Kejang Demam. UKK Neurologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai