No. RM:
Nama Pendamping :
dr. Dian Arissanthy
dr. Kamal Sumardin
Penyegaran
Manajemen
Bayi
Lansia
Perempuan, 51 tahun, datang
Tinjauan
Pustaka
Istimewa
Remaja
Masalah
Anak
Bumil
dengan keluhan sesak napas. Dari hasil
Kasus
Presentasi
dan
Audit
Pos
Diskusi
Data Pasien :
Nama: Ny.. J
Nama Klinik : RSUD Cilegon
Usia : 51 tahun
Telepon :
No Registrasi : 152934
Terdaftar Sejak :
dialami pasien hanya saat aktivitas saja, seperti berjalan, dan membaik dengan istirahat.
Namun, sejak 1 minggu SMRS, sesak makin memberat, timbul terutama pada malam hari,
dirasakan juga saat istirahat. Sesak nafas bertambah jika pasien berbaring atau tidur dan
berkurang jika pasien duduk. Jika tidur, pasien harus menggunakan tiga bantal untuk ganjalan.
Saat malam hari pasien mengaku sulit tidur karena sesak. Pasien juga mengeluh nyeri dada kiri
dan berdebar-debar sejak 1 minggu SMRS, hilang timbul, seperti tertindih benda berat,
menjalar ke lengan kiri, tidak tentu berapa lamanya. Pasien juga mengeluh mual, terkadang
muntah, dan merasa nyeri pada ulu hati. Nafsu makan pasien menurun sehingga tubuhnya
semakin kurus. Kedua kaki pasien tidak bengkak, namun pasien mengaku kedua kakinya
pernah bengkak sekitar 4 bulan SMRS dan sembuh setelah dibawa ke dokter. Selama 1 bulan
ini pasien merasakan kulitnya lebih kering dan terkadang gatal. Pasien juga merasa cepat lelah
dan lemas, terdapat batuk kering dan sakit kepala. Nyeri pinggang disangkal. Pasien mengaku
BAK normal, jumlahnya cenderung lebih sedikit daripada sebelumnya. BAB pasien normal.
Saat ini pasien sudah menopause. Riwayat penggunaan obat-obatan jangka panjang disangkal
Perkusi
:
o Batas kanan jantung di ICS 3 linea parasternal dextra
o Batas kiri jantung di ICS 5, 2 jari lateral linea midklavikula sinistra
o Pinggang jantung di ICS 3 linea parasternalis sinistra.
Auskultasi
: SI SII gallop (+) , tak ada murmur
Pulmo
Inspeksi
: simetris
Palpasi
: vokal fremitus simetris
Perkusi
: sonor
Auskultasi
: Nafas vesikuler, rhonki +/+ basah halus, wheezing -/Abdomen
Inspeksi
: datar
Perkusi
: pekak, shifting dullnes (-), nyeri ketok CVA (-)
Palpasi
: supel, hepar dan lien tidak teraba, ballotement (-)
Auskultasi
: bising usus positif normal
Ekstremitas
: akral hangat, edema -/Kulit
: pucat, tidak sianosis, tidak ikterik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG
Irama
Laju QRS
Regularitas
Aksis
Interval PR
Gelombang P
Sinus rhytm
115x/menit
Regular
devias aksis ke kanan (+)
0.12 detik
P mitral (?)
Interval QRS 0,08 detik, Hipertrofi ventrikel
Kompleks QRS
kanan (+), Hipertrofi ventrikel kiri (+)
ST elevasi/depresi
T inverted/flat
T inverted (+) di V4-V6
Kesan : LVH, RVH, LAH (?), Old Miocard Infark
b.
Trakhea di tengah
Pulmo: Corakan bronkovaskuler tak tampak. Tak tampak bercak infiltrat di kedua lapangan
paru.
c.
Hepar : Bentuk dan ukuran baik. Permukaan rata, tepi tajam. Echoparenkim homogen. Sistem
biliovaskuler baik. Tak tampak nodul/massa. Tak tampak dilatasi duktus biliaris intra/ekstra hepatis.
Ginjal Dextra : Kontur ginjal kurang jelas, ukuran 7,5 x 3 cm. Echoparenkim korteks meninggi.
Diferensiasi parenkim korteks dan medula tak jelas. Sistem pelviokalises baik. Tak tampak
batu/SOL.
Ginjal Sinistra : Kontur ginjal kurang jelas, ukuran 7,5 x 4,4 cm. Echoparenkim korteks meninggi.
Diferensiasi parenkim korteks dan medula tak jelas. Sistem pelviokalises baik. Tampak kista
multiple ukuran 2 cm x 1,8 cm.
Kesan:
CKD dextra dan sinistra
Kista multipel ginjal sinistra
Hematologi Lengkap
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
Kimia Darah
SGOT
: 13 U/L (0-31)
SGPT
: 13 U/L (0-31)
Gula sewaktu
Ureum
Kreatinin
Elektrolit Darah
Natrium
: 135.4 mmol/L
Kalium
: 5.24 mmol/L
Chlorida
: 96.2 mmol/L
Diagnosa awal
O2 3 lpm
Simvastatin 1 x 10 mg
Amlodipin 1 x 5 mg
Pro Hemodialisis
Subjective
Objective
Sesak (+) berkurang, sakit kepala (+), mual (+), tidak nafsu makan
(+) kulit gatal (+)
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos Mentis
Tanda vital:
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 100 kali / menit
Pernapasan : 28 kali / menit
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
Eritrosit
MCV
: 80 fl (80-100)
MCH
: 26 pg (27-32)
MCHC
: 32 gr/dl (33-36)
RDW
: 14,6 %
Morfologi Darah
Eritrosit
Leukosit
Jumlah
cukup,
limfosit
atipik,
hipersegmentasi netrofil
Trombosit
Assessment
Kimia Darah
Ureum
: 180 mg/dl
Kreatinin
: 11,3 mg/dl
Planning
Prorenal 3x1
Furosemid 2 x40 mg IV
Amlodipin 1x5 mg
Rencana HD
Subjective
Objective
Assessment
Ekstremitas
Planning
Prorenal 3x1
Furosemid 2 x40 mg IV
Ramipril 1 x 5 mg
ISDN 1 x 5 mg (k/p)
10
Edema kedua tungkai: -/Pemeriksaan Laboratorium ( 10 Feb 2016, Post Transfusi PRC 500cc)
Assessment
Hematologi Lengkap
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
: 25 % (Pr: 37-43)
Trombosit
Planning
Prorenal 3x1
Furosemid 2 x40 mg IV
Ramipril 1 x 5 mg
ISDN 1 x 5 mg (k/p)
Hasil Pembelajaran
1. Temuan pemeriksaan klinis pada CHF dan CKD
11
2.
3.
4.
5.
Ronkhi basah
Kardiomegali
S3 gallop
Hidrotoraks
12
2. Minor
0
Edema tungkai
Batuk malam
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardia (>120x/menit)
Berdasarkan kriteria Framingham, pada anamnesis pasien ditemukan gejala-gejala yang sesuai
dengan diagnosis CHF, yaitu:
o
Kardiomegali
Selanjutnya, berdasarkan tingkat keparahannya, CHF diklasifikasikan menurut NYHA (New York
Heart Association) menjadi:2
Class I
Tidak ada batasan dalam aktivitas fisik, aktivitas yang biasa tidak menimbulkan kelelahan,
dada berdebar-debar serta dispnea (nafas pendek).
Class II
Batasan ringan dalam aktivitas fisik. Aktivitas yang biasa menimbulkan kelelahan, dada
berdebar-debar serta dispnea (nafas pendek).
Class III
Batasan sedang dalam aktivitas fisik. Nyaman kalau beristirahat. Beraktivitas sedikit saja
sudah menimbulkan kelelahan, dada berdebar-debar serta dispnea (nafas pendek).
Class IV
Sudah tidak dapat beraktivitas dengan normal lagi tanpa ketidaknyamanan. Tanda-tanda
gangguan pada sistem kardiovaskular muncul dengan kuat. Bahkan saat istirahat,
ketidaknyamanan (sesak) akan langsung muncul.
13
Pada pasien ini, juga ditemukan gejala nyeri dada kiri dan berdebar-debar sejak 1 minggu
SMRS, hilang timbul, seperti tertindih benda berat, menjalar ke lengan kiri, tidak tentu berapa
lamanya. Awalnya gejala sesak dirasakan setelah pasien melakukan aktivitas. Namun, saat ini gejala
sesak nafas, nyeri dada kiri, dan berdebar-debar sudah muncul bahkan saat pasien dalam keadaan
istirahat (berbaring) sehingga dikategorikan ke dalam NYHA kelas IV.
Selain adanya keluhan sesak nafas dan nyeri dada kiri, pasien juga mengeluh mual, terkadang
muntah, dan merasa nyeri pada ulu hati. Nafsu makan pasien menurun sehingga tubuhnya semakin
mengurus. Hal ini menunjukkan adanya gangguan sistem gastrointestinal dan nutrisi. Kedua kaki
pasien tidak bengkak, namun pasien mengaku kedua kakinya pernah bengkak sekitar 4 bulan SMRS
dan menyembuh setelah dibawa ke dokter. Adanya riwayat kaki bengkak pada pasien, menunjukkan
gangguan keseimbangan cairan. Selama 1 bulan ini pasien merasakan kulitnya lebih kering dan
terkadang gatal. Pasien juga merasa cepat lelah, lemas, dan sakit kepala, sehingga dipikirkan
kemungkinan anemia. Gejala umum anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga
mendenging, mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas, dan dispepsia. 4 Pasien mengaku
BAK normal, jumlahnya cenderung lebih sedikit daripada sebelumnya. Hal ini dimungkinkan adanya
gangguan pada ginjal dan saluran kemih.
Selain sesak nafas yang dapat berasal dari penyakit jantung seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, sesak nafas pada pasien juga dapat disebabkan oleh gangguan ginjal. Hal ini ditegaskan
dengan adanya keluhan-keluhan tambahan seperti:
Gangguan gastrointestinal: anoreksia, mual, muntah, dan berat badan makin kurus.
Gejala anemia (Gangguan hematologi): Cepat lelah, lemas, penurunan kapasitas aktivitas, dan
sefalgia.
Insomnia
Gangguan keseimbangan cairan: adanya riwayat kedua kaki bengkak 4 bulan SMRS.
Gejala-gejala tersebut telah dialami pasien secara berulang dalam 6 bulan. Dengan demikian,
keluhan pada pasien sesuai dengan gejala pada penyakit ginjal kronik (CKD). Definisi yang diajukan
oleh The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney Foundation
(NKF) menyebutkan bahwa CKD (Chronic Kidney Disease) adalah:5
14
Mayor :
a.
b.
c.
d.
Kardiomegali
e.
Gallop
Minor
a.
c.
Takikardia (>120x/menit)
Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan pada pasien anemia sekaligus sebagai tanda-tanda
15
TDS (mmHg)
Normal
TDD (mmHg)
<120
Dan
<80
Prehipertensi
120-139
Atau
80-89
Hipertensi stage 1
140-159
Atau
90-99
Hipertensi stage 2
160
Atau
100
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
MCV
: 80 fl (80-100)
MCH
: 26 pg (27-32)
MCHC
: 32 gr/dl (33-36)
RDW
: 14,6 %
Dari hasil tersebut, dapat dijelaskan bahwa pasien mengalami anemia. Berdasarkan morfologinya,
anemia dibedakan menjadi:4
a. Anemia Mikrositik Hipokrom
b. Anemia Normositik Normokrom
c. Anemia Makrositik
Pada pasien telah dilakukan apusan sel darah tepi dengan hasil:
Eritrosit
16
Leukosit
Trombosit
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pasien menderita anemia normositik normokrom.
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik
terutama disebabkan oleh defisiensi eritopoitin. Hal hal yang ikut berperan dalam terjadinya anemia
adalah defisiensi besi kehilangan darah (misal; pendarahan saluran cerna, hematuri) masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang
oleh subtansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat
kadar hemoglobin < 10 g % atau hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besis
serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/ Total Iron Binding Capacity, feritin serum), mencari
sumber pendarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. 6
Pada pasien telah dilakukan transfusi darah PRC 500cc dan saat dilakukan pemeriksaan darah
lengkap ulang, anemia pada pasien telah terkoreksi dengan hasil:
a. Hemoglobin
b. Leukosit
c. Hematokrit
: 25 % (Pr: 37-43)
d. Trombosit
Selanjutnya, pasien juga telah diperiksa kimia darah pada tanggal 7 Feb 2016 dengan hasil:
a. SGOT
: 13 U/L (0-31)
17
b. SGPT
: 13 U/L (0-31)
c. Gula sewaktu
d. Ureum
e. Kreatinin
Kriteria diagnosis CKD adalah LFG <60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.
GFR = (140-U) x BB x 0,85 = (140-51) x 45 x 0,85 = 4,04
72 x Cr
72 x 11,7
Penjelasan
GFR
90
60-89
30-59
15-29
Gagal ginjal
<15/dialisis
18
Oliguria
Asidosis, hyperkalemia
Nokturia
Badan lemah
Hipertensi berat
b. Rontgen Thorax
Pada pemeriksaan rontgen thorax, didapatkan:
Trakhea di tengah
Pulmo: Corakan bronkovaskuler tak tampak. Tak tampak bercak infiltrat di kedua lapangan
paru.
19
Penyakit ginjal polikistik (PKD) adalah suatu kondisi genetik yang ditandai oleh pertumbuhan
kista pada ginjal. Hingga saat ini belum ada obatnya tetapi pengobatan medis dapat mengatasi gejala
dan mengurangi risiko komplikasi. Komplikasi yang mungkin terjadi infeksi saluran kemih, tekanan
darah tinggi, dan gagal ginjal.8
Terdapat 2 bentuk penyakit ginjal polikistik: 8
1. PKD Autosomal Dominan
PKD Autosomal Dominan dikenal juga dengan penyakit polikistik dewasa. Gangguan
autosom dominan ini merupakan penyebab gagal ginjal stadium akhir pada orang dewasa.
Penyebab PKD Autosomal Dominan adalah adanya defek genetik pada suatu lokus pada
20
mikroskopis. Kelainan yang menyertai dapat meliputi kista hati tanpa arti klinis dan
aneurisma pembuluh darah otak yang dapat menyebabkan pendarahan intracranial. 8
Kista yang besar dapat menyumbat sistem pelviokalises atau saluran kemih. Bisa
terjadi perdarahan di dalam kista atau daerah perineal, yang mengakibatkan rasa nyeri
yang sangat pada pasien. Kista ginjal juga dapat mengalami infeksi, bila meluas sampai
ke parenkim ginjal, sehingga dapat menyebabkan infeksi sistemik. Komplikasi lain
dapat berupa urolitiasis, nefrokalsinosis, dan keganasan. 8
Prognosis ginjal polikista ini sangat buruk, karena pasien akan jatuh pada kondisi
terminal. 8
2. PKD autosomal resesif
Penyakit ini juga dikenal sebagai penyakit polikistik infantile. Gangguan autosom resesif yang
jarang ini mungkin tidak terdeteksi sampai sesudah masa bayi. Selain kista pada ginjal, kista juga
ditemukan di dalam hati. 8
Kedua ginjal sangat membesar dan secara makroskopis ditemukan banyak sekali kista
di seluruh korteks dan medulla. Pemeriksaan mikroskopis menunjukan bahwa kista
merupakan dilatasi duktus
dengan
perkembangan fibrosis interstisial dan atrofi tubulus dapat menyebabkan gagal ginjal. 8
Pada sebagian penderita juga terdapat kista di dalam hati, pada kasus yang berat kista di dalam
hati dapat dihubungkan dengan sirosis, hipertensi portal, dan kematian karena pecahnya
varises esophagus. 8
PATOFISIOLOGI CHRONIC KIDNEY DISEASE
21
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor (TGF- ).
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas CKD
adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas
interindividual
untuk
terjadinya
sklerosis
dan
fibrosis
glomerulus
maupun
tubulointerstitial.7
Pada stadium paling dini CKD, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal
reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu
makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan
lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih infeksi
saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan
air seperti hipovolemia atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara
lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi
yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy) antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini
pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
22
AGD: pada CKD sering terjadi asidosis metabolik yang harus segera ditangani.
Profil lipid dan asam urat serum: untuk mencari etiologi yang dapat memperburuk
CKD selain hipertensi.
Waktu pembekuan dan waktu perdarahan: pada pasien CKD sering terjadi gangguan
perdarahan.
23
O2 3 lpm
O2 diberikan secara nasal kanul untuk mengurangi resiko hipoksia. Setiap peningkatan 1
L/menit akan meningkatkan konsentrasi oksigen yang terhirup sekitar 4%.
Furosemid 1x 40 mg (IV)\
Furosemid merupakan contoh diuretik kuat yang tergolong derivat sulfonamid. Obat ini
merupakan salah satu obat standar untuk gagal jantung dengan edema, asites, edema karena
penyakit gagal ginjal, dan edem paru. Furosemid bekerja dengan menghambat reabsorpsi
elektrolit Na+/K+/2Cl- di ansa Henle asendens bagian epitel tebal. Pada pemberian IV, obat ini
meningkatkan aliran darah ginjal tanpa disertai peningkatan filtrasi glomerulus. Pada CKD,
diperlukan dosis furosemid yang jauh lebih besar daripada dosis biasa. Hal ini karena
banyaknya protein dalam cairan tubuli yang mengikat furosemid sehingga menghambat
diuresis, dan pada pasien dengan uremia, sekresi furosemid melalui tubuli menurun. Dosis
awal furosemid adalah 1mg/kgBB diberikan bolus, untuk meningkatkan aliran urin selama 2
jam.
Pada pasien didapatkan dosis= 1x45= 45 mg atau 40 mg (1 ampul), sehingga pemberian dosis
furosemid pada pasien sudah tepat.
Bicnat 3 x1 tablet
Bicnat atau natrium bikarbonat diperlukan untuk mengatasi asidosis metabolik yang sering
terjadi pada pasien CKD.
24
Transfusi darah sebaiknya diberikan dengan kecepatan tetesan 1 ml/menit pada 15 menit
pertama dan bila tidak ada reaksi transfusi, dilanjutkan 4 ml/menit.
Inisiasi terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia,
dan malnutrisi. Indikasi hemodialisis pada CKD adalah: bila GFR < 15ml/menit, atau salah
satu dari kondisi:
25
Kelebihan cairan
Pada pasien ini sudah diindikasikan untuk melakukan hemodialisis karena LFG pasien <15
ml/menit/1,73 m2, termasuk CKD stage V.
26
<60 ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu
dianjurkan. Protein diberikan 0,6 - 0,8/kg.bb/ hari, yang 0,35 - 0,50 gr di antaranya merupakan
protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari.
Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak tidak disimpan dalam tubuh
tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui
ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan
ion anorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi
protein pada pasien CKD akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion
anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia.
Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom
uremik. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena
protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk
mencegah terjadinya hiperfosfatemia. 7
27
memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya
sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. 7
c. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting,
karena 40-45 % kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular.
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah,
pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian
anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
penyakit ginjal kronik secara keseluruhan. 7
a. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal
kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam
terjadinya anemia adalah, defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna,
hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
28
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. 7
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin 10 g% atau hematokrit 30%,
meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum, serum iron, kapasitas ikat besi
total/Total Iron Binding Capacity, feritin serum),mencari sumber perdarahan, morfologi
eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. 7
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab lain
bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam
pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi
dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tranfusi pada CKD harus dilakukan secara hati-hati,
berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan
secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan
pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.
7
b. Osteodistrofi renal
Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet
pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah
29
protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging
dan produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari.
Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari
terjadinya malnutrisi. 7
2.
Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam
Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent). Akhir- akhir ini
c.
30
itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti
buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,55,5 mEq/lt. Pembatasan
natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang
diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi. 7
Dengan demikian, diet yang dianjurkan pada pasien adalah:
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Zulkifli Amin. Manifestasi Klinik dan Pendekatan pada Pasien dengan Kelainan
Pernapasan. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Editor Sudoyo AW, dkk.
Edisi 6. Jakarta: FKUI; 2015.
2. Panggabean, Marulam M. Gagal Jantung. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. Editor Sudoyo AW, dkk. Edisi 5. Jakarta: FKUI; 2009.
3. Christanto, dkk. Kapita Selekta Kodokteran Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Media
Aesculaplus. 2014. Hal: 644-7.
4. Bakta, I Made, dkk. Anemia Defisiensi Besi. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. Editor Sudoyo AW, dkk. Edisi 5. Jakarta: FKUI; 2009.
5. National Kidney Foundation KDOQI Guidelines. Definition and classification of
stages
of
chronic
kidney
disease.
2012.
Cited
from:
http://www.kidney.org/PROFESSIONALS/kdoqi/guidelines_ckd/p4_class_g1.htm
6. Tessy Agus. Hipertensi pada Penyakit Ginjal. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. Editor Sudoyo AW, dkk. Edisi V. Jakarta: FKUI; 2015. hal 1086-89.
7. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II. Editor Sudoyo AW, dkk. Edisi 6. Jakarta: FKUI; 2015. Hal 1035-40.
8. Gearhart J.P., Baker L.A., 2001. Congenital Disease of The Lower Urinary Tract. In:
Comperhensive Urology, Editor : Robert M. Weiss, Nicholas J.R. George, Patrick H.
Oreally. Mosby International Limited, England.
9. Nafrialdi. Antihipertensi. Dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakolologi dan Terapeutik FKUI; 2007. hal. 354-58.
10. PERNEFRI. Konsensus Manajemen Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik. Edisi 2.
Jakarta: Perhimpunan Nefrologi Indonesia. 2011.
32