Anda di halaman 1dari 119

Penulis

Mulia Astuti dkk.

KEBIJAKAN KESEJAHTERAAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Studi Kasus Evaluasi Program Kesejahteran Sosial Anak
di Provinsi DKI Jakarta, DI. Yogyakarta,
dan Provinsi Aceh

Editor
Drs. Edi Suharto, Ph.D.

P3KS Press (Anggota IKAPI)


Tahun 2013

PERPUSTAKAAN NASIONAL: KATALOG DALAM TERBITAN (KDT)


Mulia Astuti, dkk
Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak. Studi Kasus:
Evaluasi Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) di Provinsi DKI
Jakarta, DI. Yogyakarta dan Provinsi Aceh; Jakarta 2013.
P3KS Press. vii + 111 hlm. 14.8cm x 21cm.
Editor:
Drs. Edi Suharto, Ph.D.
Penulis:
1. Dra. Mulia Astuti, M.Si.
2. Ir. Ruaida Murni
3. Drs. Ahmad Suhendi, M.Si.
Design Cover :
Kreasi
Tata letak:
Kreasi
Foto Cover:
Peneliti
Cetakan Pertama: Desember 2013
ISBN: 978-979-698-365-0
Penerbit
: P3KS Press
Alamat Penerbit : Jl. Dewi Sartika No. 200 Cawang III Jakarta - Timur
Telp. (021) 8017126

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00
(satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait
sebagaimana di maksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

PENGANTAR PENERBIT

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas


limpahan nikmat-Nya, buku hasil Studi Kebijakan Kesejahteraan dan
Perlindungan Anak (Studi Kasus Evaluasi Program Kesejahteraan Sosial
Anak) dapat diselesaikan.
Dalam buku ini memuat informasi menarik tentang Kebijakan
Kesejahteraan dan Perlindungan Anak, khususnya terkait implementasi
Program Kesejahteraan Sosial Anak. Oleh karena itu buku hasil studi ini
layak untuk diterbitkan.
Buku hasil studi ini dapat memberikan manfaat bagi unit
kerja terkait di lingkungan Kementerian Sosial Republik Indonesia,
pemerintah daerah setempat dalam upaya pengembangan kebijakan
kesejahteraan dan perlindungan anak, serta pembaca pada umumnya
yang berkecimpung dalam bidang kesejahteraan dan perlindungan anak.
Pada siklus perumusan kebijakan sosial, studi ini sesungguhnya
dapat menjadi keharusan dalam upaya mengetahui sejauhmana kebijakan
sosial yang dibuat telah menjawab kebutuhan dan permasalahan anak
yang dihadapi masyrakat.
Kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran pelaksanaan
studi ini, diucapkan terima kasih. Diharapkan buku hasil studi ini layak
untuk dibaca

Jakarta, November 2013

Penerbit

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

iii

PENGANTAR EDITOR
Puji syukur patut kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas
berkah dan rahmatNya, penulisan buku ini dapat selesai pada waktunya.
Buku ini, sesuai dengan judulnya, berisi tentang Kebijakan Kesejahteraan
dan Perlindungan Anak.
Permasalahan anak menjadi perhatian besar sejak lama.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (2006), jumlah anak Indonesia
usia di bawah 18 tahun mencapai 79.898.000 jiwa, dan mengalami
peningkatan menjadi 85.146.600 jiwa pada tahun 2008. Sementara itu,
Kementerian Sosial melalui Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA),
sejak tahun 2005 sampai 2013, rata-rata baru bisa menangani 3,7% atau
sekitar 170.000 anak/tahun.
Pada tahun 2013, penerima manfaat Program Kesejahteraan
Sosial Anak sebesar 175.611 anak. Program ini bertujuan mewujudkan
pemenuhan hak dasar anak dan perlindungan terhadap anak dari
keterlantaran, kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi sehingga tumbuh
kembang, kelangsungan hidup dan partisipasi anak dapat terwujud.
Program Kesejahteraan Sosial Anak merupakan bagian dari
sistem Kesejahteraan Sosial secara luas. Kesejahteraan sosial sendiri
adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial
warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan
diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya (menurut UndangUndang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial). Dalam
konsep kesejahteraan sosial, harus terdapat aspek pencegahan (primer),
penanganan resiko (sekunder), maupun penanganan korban (tersier).
Program Kesejahteraan Sosial Anak juga mencakup aspek
perlindungan anak. Disini, titik berat ada pada penanganan masalah
yang dialami anak. Konsep ini masuk dalam pelayanan tersier. Dalam
PKSA, terdapat 5 cluster pelayanan anak. Cluster tersebut adalah, Anak
Balita Terlantar, Anak Terlantar yang tercakup di dalamnya Anak Jalanan,

iv

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

Anak Berhadapan dengan Hukum, Anak dengan Kedisabilitasan, dan


Anak Memerlukan Perlindungan Khusus.
Buku Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak ini
berisikan isu-isu anak, keluarga, dan masyarakat dalam lingkup
kesejahteraan, pengasuhan, dan perlindungan anak, Lalu, bagaimana
respon Kementerian Sosial dan Kementerian/Lembaga lain terhadap
isu-isu tersebut. Dan, apakah Program Kesejahteraan Sosial Anak sudah
berjalan efektif. Buku ini juga berupaya menyajikan alternatif kebijakan
dan rekomendasi kebijakan prioritas dalam kebijakan kesejahteraan dan
perlindungan anak.
Kami berharap, buku Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan
Anak ini bermanfaat bagi Kementerian Sosial dalam menjalankan
Program Kesejahteraan Sosial Anak. Lebih luas lagi, semoga buku ini
berguna bagi masyarakat umum. Terutama, Kementerian/Lembaga lain,
Dinas Sosial, dan semua pihak yang bergerak dalam bidang kesejahteraan
dan perlindungan anak.
Pada akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada tim
peneliti, dan semua pihak yang telah membantu. Dengan dukungan
berbagai pihak, buku Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak
ini dapat tersusun.

EDITOR

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

DAFTAR ISI
PENGANTAR PENERBIT .................................................................. iii
PENGANTAR EDITOR ....................................................................... iv
DAFTAR ISI ........................................................................................... vi
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................. 1
BAB II : KESEJAHTERAN, PENGASUHAN,
DAN PERLINDUNGAN ANAK ........................................ 13
A. Kesejahteraan Anak .......................................................... 13
B. Pengasuhan Anak ............................................................. 14
C. Perlindungan Anak .......................................................... 16
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan,
Pengasuhan dan Perlindungan Anak ............................. 24
BAB III : MASALAH DAN KEBIJAKAN KESEJAHTERAAN,
PENGASUHAN DAN PERLINDUNGAN ANAK ........... 27
A. Masalah Kesejahteraan, Pengasuhan dan
Perlindungan Anak ........................................................... 27
B. Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan dan
Perlindungan Anak .......................................................... 52
BAB IV : EFEKTIVITAS PROGRAM
KESEJAHTERAAN SOSIAL ANAK .................................. 75
A. Dampak PKSA terhadap Penguatan Kelembagaan
Kesejahteraan Sosial Anak .............................................. 76
B. Dampak PKSA terhadap Penguatan Tanggung
Jawab Orangtua/ Keluarga dalam Pengasuhan
dan Perlindungan Anak ................................................ 84
C. Dampak PKSA terhadap Kesejahteraan Anak ........... 87
BAB V : ALTERNATIF KEBIJAKAN ............................................. 93
A. Alternatif Kebijakan ...................................................... 93
B. Analisis dan Evaluasi Alternatif Kebijakan ................. 94

vi

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

BAB VI : REKOMENDASI KEBIJAKAN PRIORITAS .................. 97


A. Tujuan Kebijakan ........................................................... 97
B. Sasaran ............................................................................ 97
C. Strategi ............................................................................ 97
D. Komponen Program ...................................................... 98
E. Kelembagaan .................................................................. 98
F. Indikator Kebijakan ....................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 101
INDEK ................................................................................................. 106
SEKILAS PENULIS ............................................................................ 109

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

vii

BAB I
PENDAHULUAN

Kesejahteraan dan perlindungan anak di Indonesia telah diatur


oleh berbagai kebijakan dan program, antara lain mulai dari Undang
Undang Dasar 1945, dimana anak terlantar dan fakir miskin
dipelihara oleh Negara. Undang Undang Republik Indonesia Nomor
4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak telah mengatur tentang
hak anak yaitu anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan
dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya
maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang
dengan wajar, dan tanggung jawab orangtua yaitu bahwa orangtua
bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak.
Pada tahun 1990 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak
Anak (KHA) melalui Keppres 36/1990 pada tanggal 25 Agustus 1990
dimana substansi inti dari KHA adalah adanya hak asasi yang dimiliki
anak dan ada tanggung jawab Negara-Pemerintah-Masyarakat-dan
Orangtua untuk kepentingan terbaik bagi anak agar meningkatnya
efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak secara optimal.
Kemudian KHA dikuatkan dengan terbitnya Undang Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang mengatur
tentang Hak dan Kewajiban Anak, serta kewajiban dan tanggug
jawab negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua. Di
samping itu juga diatur tentang kuasa asuh, perwalian, pengasuhan
dan pengangkatan anak, serta penyelenggaraan perlindungan.
Permasalahan anak telah direspon oleh berbagai Kementerian/
Lembaga terkait, antara lain Kementerian Sosial, Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, Kesehatan, Pendidikan,
Agama, Dalam Negeri, Tenaga Kerja, Hukum dan HAM, Kepolisian,
Pengadilan Negeri, Lembaga donor dan lembaga kesejahteraan sosial

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

di tingkat nasional maupun wilayah. Di lingkup Kementerian Sosial


(selanjutnya disebut Kemensos) untuk mempercepat penanganan
masalah sosial anak, pada tahun 2009 Direktorat Kesejahteraan
Sosial Anak mulai mengembangkan Program Kesejahteraan Sosial
Anak (PKSA) melalui kegiatan uji coba penanganan anak jalanan
di lima wilayah yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Lampung, Sulawesi
Selatan, dan Yogyakarta. PKSA dikuatkan melalui kebijakan
pemerintah yaitu keluarnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
2010 Tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan
Nasional, dimana diperlukan penyempurnaan program bantuan
sosial berbasis keluarga khususnya bidang kesejahteraan sosial
anak balita terlantar, anak terlantar, anak jalanan, anak dengan
disabilitas, anak yang berhadapan dengan hukum, dan anak yang
membutuhkan perlindungan khusus. Selanjutnya PKSA dikuatkan
lagi dengan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 Tentang
Program Pembangunan yang Berkeadilan, yang menetapkan PKSA
sebagai program prioritas nasional yang meliputi PKSA Balita,
PKSA Terlantar, PKS-Anak Jalanan, PKS-Anak yang Berhadapan
dengan Hukum, PKS-Anak Dengan Kecacatan, dan PKS-Anak yang
Membutuhkan Perlindungan Khusus.
Sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden, telah ditetapkan
Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 15A/HUK/2010 Tentang
Panduan Umum Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA), dan
untuk operasionalisasi PKSA telah diterbitkan Pedoman Operasional
Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) melalui Keputusan
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Nomor: 29/RS-KSA/2011
Tentang Pedoman Operasional PKSA. Mulai tahun 2010, layanan
PKSA telah diperluas jangkauan target sasaran maupun wilayahnya.
PKSA dikembangkan dengan perspektif jangka panjang sekaligus
untuk menegaskan komitmen Kementerian Sosial untuk merespon
tantangan dan upaya mewujudkan kesejahteraan sosial anak yang
berbasis hak. Perwujudan dari kesungguhan Kementerian Sosial

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

mendorong perubahan paradigma dalam pengasuhan, peningkatan


kesadaran masyarakat, penguatan tanggung jawab orangtua/
keluarga, dan perlindungan anak yang bertumpu pada keluarga dan
masyarakat, serta mekanisme pemenuhan kebutuhan dasar anak
yang dapat merespon keberagaman kebutuhan melalui tabungan.
PKSA merupakan respon sistemik dalam perlindungan anak,
termasuk memberikan penekanan pada upaya pencegahan melalui
lima komponen program yaitu: 1) pemenuhan kebutuhan dasar,
2) aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar, 3) pengembangan
potensi dan kreativitas anak, 4) penguatan tanggung jawab
orangtua, dan 5) penguatan lembaga kesejahteraan sosial anak.
Secara konseptual PKSA lebih komprehensif dan berkelanjutan
dibandingkan program pelayanan sosial anak pada tahun-tahun
sebelumnya karena sudah berdasarkan pendekatan kepada anak,
orangtua atau keluarga (family base care), dan kepada masyarakat
yaitu lembaga kesejahteraan sosial yang khusus menangani anak
(LKSA).
Sebelumnya, pengasuhan anak dan masalah-masalah
perlindungan anak hanya difokuskan pada anak. Keluarga dan
masyarakat belum banyak disentuh. Misalnya penanganan anak
terlantar, anak jalanan, anak berhadapan dengan hukum lebih
banyak diserahkan ke lembaga atau panti sosial dimana di dalam
penanganannya orangtua atau keluarga pengganti kurang dilibatkan.
Anak lebih banyak dicabut dari lingkungan keluarga. Isu ini
dipertegas dengan banyaknya jumlah panti asuhan.
Hasil penelitian Save the Children, Depsos RI dan Unicef, 2007,
memperkirakan terdapat 5.250 hingga 8.610 panti asuhan seluruh
Indonesia atau terdapat 225.750 hingga 315.000 anak jika jumlah
panti sebanyak 5.250 dan 370.230 hingga 516.600 anak jika jumlah
panti 8.610. Walaupun orangtua mereka masih lengkap, karena
faktor kemiskinan dan agar anak dapat terpenuhi kebutuhan dasar

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

serta memperoleh layanan sosial dasar (pendidikan dan kesehatan)


mereka memasukkan anaknya ke panti asuhan.
Tiga tahun terakhir ini (2010, 2011, dan 2012), jumlah anak yang
telah dilayani melalui panti, luar panti, jumlah tenaga, dan jumlah
lembaga yang telah diintervensi melalui PKSA adalah sebagai
berikut:
Tabel 1. Jumlah anak melalui Panti dan Luar Panti, SDM
dan Lembaga yang telah di Intervensi melalui PKSA
No.

Jenis Pelayanan

1.

Pelayanan dalam panti

2.

Pelayanan luar panti

3.

Sumber daya manusia (Pekerja Sosial)

Lembaga kesejahteraan sosial

2010

2011

2012

2.575

2.470

2.460

138.641

158.015

170.461

350

855

1.111

5.833

5.833

6.728

Sumber: Direktorat Kesejahteraan Anak, 2013.

Dari hasil evaluasi Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak


dalam implementasi PKSA masih terdapat kendala antara lain: 1)
PKSA belum memiliki data prevalensi yang baik tentang masalah
perlindungan anak dan kebijakan perlindungan anak yang
komprehensif, 2) Ada beberapa kasus pemanfaatan bantuan yang
digunakan tidak mendorong perubahan perilaku seperti digunakan
untuk modal usaha, memenuhi kebutuhan keluarga, membayar sewa
rumah dan utang serta membeli hewan peliharaan, 3) Belum adanya
rumusan indikator tentang orangtua/keluarga yang dapat merawat
dan melindungi anak-anak dengan kecacatan, dan 4) Terbatasnya
lembaga pelayanan sosial masyarakat, sarana dan prasarananya
dalam menangani masalah sosial anak dengan kecacatan.
Pada tahun 2011 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS) bekerjasama dengan Pusat Kajian Perlindungan Anak
Universitas Indonesia, dan Bank Dunia telah melakukan kajian
yang berfokus pada PKSA yaitu menganalisis proses pelaksanaan
program serta kontribusinya terhadap pengembangan pendekatan

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

perlindungan. Hasil kajian tersebut menunjukkan antara lain: PKSA


memberikan manfaat yang sangat berharga kepada mereka yang
membutuhkan, meskipun pelaksanaan program tersebut masih
memiliki banyak kekurangan. Dari hasil penelitian ini juga terungkap
bahwa pelaksana PKSA belum memiliki data dasar untuk mengukur
keberhasilannya sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan yaitu:
1) Jumlah anak terlantar (termasuk anak balita), anak jalanan, anakanak berhadapan dengan hukum, anak-anak penyandang cacat, dan
anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang mampu
mengakses layanan dasar meningkat. 2) Persentase orangtua atau
keluarga yang bertanggung jawab dalam perawatan dan perlindungan
anak meningkat. 3) Jumlah anak yang mengalami masalah sosial
menurun. 4) Jumlah lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan
jasa perlindungan bagi anak-anak meningkat. 5) Jumlah pelayanan
yang diberikan LKSA (Lembaga Pelaksana PKSA) meningkat. 6)
Jumlah pekerja sosial, tenaga kesejahteraan sosial dan relawan
sosial di bidang kesejahteraan sosial meningkat. 7) Jumlah kerangka
hukum yang mengatur perawatan dan perlindungan anak sebagai
dasar hukum PKSA bertambah. Hasil penelitian ini mengharapkan
KEMENSOS dan BAPPENAS harus bekerja dengan lebih terstruktur
untuk mempromosikan integrasi perlindungan anak dalam kebijakan
Negara di bidang sosial ekonomi. Untuk itu diperlukan suatu
pengkajian dan bukti yang dapat membantu pengembangan sistem
kesejahteraan, pengasuhan, dan perlindungan anak.
Sehubungan dengan masih adanya permasalahan dalam
implementasi kebijakan kesejahteraan, pengasuhan, dan perlindungan
anak khususnya dalam pelaksanaan PKSA, maka Pusat Penelitian
dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial memandang perlu
melakukan penelitian kebijakan ini. Diharapkan hasil penelitian ini
dapat memberikan bukti terbaik dalam mendukung pengembangan
kebijakan, memperjuangkan penyusunan peraturan yang memadai,
berpusat pada anak, keluarga, dan masyarakat serta non diskriminatif.

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

Walaupun sudah banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah


untuk kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak mulai dari
Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Instruksi Presiden sampai dengan Keputusan Menteri, namun
dalam implementasinya belum didukung oleh sumber daya manusia
(SDM), anggaran, sarana dan prasarana serta sistem yang memadai,
sehingga masih banyak bermunculan permasalahan pemenuhan
hak-hak dan perlindungan anak. Pada 2011 jumlah Anak Balita
Terlantar 1.224.168 jiwa atau sekitar 5,77 persen dari 21,22 juta jiwa
anak Balita, Anak Terlantar 3.115.777 jiwa atau 5,36 persen dari 58,17
juta jiwa anak usia 5-17 tahun (Kementerian Sosial RI Dalam Angka
2012), dan anak dengan disabilitas pada tahun 2009 berjumlah
438,39 ribu jiwa atau 0,55 persen dari jumlah seluruh anak (Profil
PMKS, 2011). Disamping permasalahan konvensional tersebut, saat
ini banyak muncul permasalahan kontemporer seperti anak dengan
narkoba atau HIV/AIDS yang belum terakomodir dalam substasi
peraturan perundang-undangan. Jumlahnyapun belum terdata
secara regular oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tetapi tergantung
dari pelaporan keluarga ataupun masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan permasalahan pokok
dalam penelitian adalah:
1. Apa saja masalah/isu-isu anak, keluarga, dan masyarakat dalam
lingkup kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak?
2. Bagaimana respon Kemensos dan K/L lain terhadap masalah/
isu-isu tersebut?
3. Bagaimana efektivitas Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)?
Tujuan penelitian yang diharapkan dapat tercapai adalah:
1. Mengetahui masalah/isu-isu anak, keluarga dan masyarakat
dalam lingkup kesejahteraan kesejahteraan, pengasuhan dan
perlindungan anak.
2. Mengetahui respon Kementerian Sosial RI dan K/L lain terhadap
masalah/isu-isu tersebut dalam bentuk kebijakan.

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

3. Mengetahui efektivitas Program Kesejahteraan Sosial Anak


(PKSA).
4. Menyusun rekomendasi pengembangan kebijakan kesejahteraan
anak yang memadai, yaitu berpusat pada anak dan keluarga,
serta masyarakat.
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan bagi
pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan dan program
yang terkait dengan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan
anak, serta sebagai wacana pengembangan keilmuan, terkait dengan
perlindungan Anak.
Untuk menyamakan persepsi tentang istilah yang digunakan
dalam penelitian ini, maka dirumuskan definisi operasional sebagai
berikut:
1. Kebijakan adalah suatu ketetapan pemerintah, memuat prinsipprinsip yang mengarahkan cara-cara bertindak untuk mencapai
tujuan tertentu.
2. Kebijakan Sosial adalah suatu ketetapan pemerintah yang
memberi arah atau petunjuk cara-cara bertindak yang
diimplementasikan dalam bentuk program dan kegiatan yang
dirancang untuk mencapai tujuan peningkatan kualitas hidup.
3. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
4. Kesejahteraan Sosial Anak adalah kondisi terpenuhinya
kebutuhan material, spiritual, dan sosial anak agar dapat
hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya.
5. Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) adalah upaya
yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan
pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk
pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar anak, yang
meliputi bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, aksesibilitas

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

pelayanan sosial dasar, peningkatan potensi diri dan kreativitas


anak, penguatan orangtua/keluarga dan penguatan lembaga
kesejahteraan sosial anak.
6. Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) adalah organisasi
sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan Program
Kesejahteraan Sosial Anak, yang dibentuk oleh masyarakat atau
difasilitasi pemerintah, baik yang berbadan hukum maupun yang
tidak berbadan hukum.
7. Pendamping PKSA adalah Pekerja Sosial Profesional, Tenaga
Kesejahteraan Sosial Anak, atau Relawan Sosial yang memenuhi
syarat kompetensi untuk melakukan pendampingan, yang
direkrut oleh dan bekerja untuk LKSA, yang fungsinya adalah
melaksanakan tugas-tugas pelayanan kesejahteraan sosial
dan perlindungan khusus kepada anak dan keluarga yang
menjadi penerima manfaat PKSA, serta lingkungan komunitas/
masyarakat.
8. Pengasuhan Anak. Dalam kerangka hak anak, keluarga adalah
tempat pengasuhan yang utama. Selain itu dalam kerangka hak
anak, pengasuhan bukan karena anak adalah properti/milik
orangtua, tetapi lebih karena duty (kewajiban). Dalam kerangka
hak anak, pengasuhan tidak hanya ada di tangan orangtua yang
melahirkannya, tetapi bisa dilakukan oleh orangtua yang lain
yang bisa menjamin anak akan tumbuh dan berkembang dengan
layak.
9. Pelayanan Pengasuhan adalah berbagai jenis pelayanan yang
diberikan untuk memenuhi kebutuhan anak akan pengasuhan,
baik dalam keluarganya maupun keluarga pengganti.
10. Pengasuhan Alternatif adalah pengasuhan yang diberikan oleh
pihak selain keluarga inti kepada anak, akibat ketidakmampuan
keluarga inti dalam menyediakan pengasuhan yang baik untuk
anak. Pengasuhan ini dapat dilakukan melalui orangtua asuh,
perwalian, dan adopsi.

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

11. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan


melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
menggunakan metode studi kasus pada PKSA. Lokasi penelitian
ditentukan di tiga provinsi. Sesuai dengan hasil konsulatasi dengan
Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, dipilih lokasi dimana PKSA
sudah dilaksanakan untuk semua kluster yaitu Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD), Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),
dan DKI Jakarta. Pada masing-masing provinsi ditentukan dua
kabupaten/kota. Pada masing-masing kabupaten/kota ditentukan
informan yaitu penerima PKSA (anak dan orangtua), pendamping,
LKSA, dan tokoh masyarakat.
Selain itu juga ada beberapa informan dari pemangku kepentingan
antara lain: Pada tingkat pusat: Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial,
Direktur Kesejahteraan Sosial Anak, Direktur Pemberdayaan
Keluarga dan Kelembagaan Sosial Masyarakat, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bappenas,
Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
UNICEF, Komnas Perlindungan Anak, dan Komite Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI). Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota:
Dinas Sosial Provinsi, Dinas Sosial kabupaten/kota, Anggota
DPRD provinsi, kabupaten/kota, Bappeda provinsi dan kabupaten/
kota, Dinas Kesehatan, Badan Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Dinas Pendidikan, Kepolisian RI, Pengadilan
Anak, Forum LKSA, TPA/KB, Rumah Singgah, FKKADK, PSAA,
Pendamping PKSA, Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA),
Tokoh Masyarakat, Orangtua/anak, Seksi Sosial Kecamatan, dan
unsur terkait lainnya.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam
secara perorangan dan kelompok (FGD), observasi, dan studi
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

kepustakaan/dokumentasi dengan menggunakan pedoman. Secara


rinci jumlah informan yang terkait dengan penerima PKSA dapat
dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Jumlah Informan Berdasarkan Lokasi dan Fokus
Penelitian
Lokus
Aceh:
xx Kabupaten Aceh
Besar
xx Kota Banda Aceh

DKI:
xx Jakarta Timur
xx Jakarta Pusat

Fokus
xx ABT
xx ABH
xx ADK
xx Antar
xx ABH
xx AMPK
xx ABT
xx Anjal

DIY:
xx Antar
xx Kabupaten Sleman xx AMPK
xx Kota Yogyakarta xx ADK
xx Anjal

Informan
Anak
Orangtua
LKS
Pendamping
Pengawas kab & prov
Tokoh masyarakat
Anak
Orangtua
LKS
Pendamping
Pengawas kab & prov
Tokoh masyarakat
Anak
Orangtua
LKS
Pendamping
Pelaksana kab & prov
Tokoh masyarakat

Jumlah
8 orang
8 orang
4 orang
4 orang
3 orang
4 orang

Keterangan
Masing-masing fokus 2
anak+ 2 Ortu + 1 SP +1
LKS +1 petugas prov + 2
petugas kab/kota + tokoh
masyarakat 4

8 orang
8 orang
4 orang
4 orang
3 orang
4 orang

Jumlah di setiap lokus


(prov) 31 orang

8 orang
8 orang
4 orang
4 orang
3 orang
4 orang

Jumlah keseluruhan
93 orang

Dalam pelaksanaan pengumpulan data terdapat berbagai


hambatan antara keterbatasan waktu di lapangan sehingga tidak
semua informan yang direncanakan dapat dihubungi dan terkait
dengan informan yang sulit dihubungi karena kesibukan mereka
sebagai pelaksana kebijakan, baik di tingkat nasional maupun di
provinsi dan kabupaten/kota.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
analisis retrospektif yaitu mengkaji kebijakan sosial setelah kebijakan
itu diimplementasikan. Fokus kajian menggunakan model analisis
dampak yaitu mengevaluasi efektivitas kebijakan sosial berdasarkan
tujuan atau hasil-hasil yang ingin dicapai oleh kebijakan tersebut.
Penelitian ini mengkaji kebijakan kesejahteraan dan perlindungan

10

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

anak yang sudah diimplementasikan dengan studi kasus mengevaluasi


pelaksanaan PKSA selama 3 tahun terakhir (2010-2012).
Data yang telah terkumpul dilakukan pengelompokan, kemudian
dianalisis secara kualitatif dengan model analisis sebagai berikut:
Gambar 1. Model Analisis Kebijakan

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

11

12

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

BAB II
KESEJAHTERAN, PENGASUHAN,
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak adalah tiga
konsep yang tidak terpisahkan dimana untuk mencapai kesejahteraan,
anak membutuhkan pengasuhan dan perlindungan. Bab ini
menguraikan tentang ketiga konsep tersebut dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
A. Kesejahteraan Anak
Sebagaimana diuraikan dalam Child and Family Services Review
process, ada tiga variabel kesejahteraan. Tiga variabel kesejahteraan
dikonseptualisasikan dalam kerangka berikut yaitu: Pertama,
kesejahteraan dalam arti keluarga memiliki peningkatan kapasitas
untuk memenuhi kebutuhan anak-anak mereka. Konsep ini
mencakup pertimbangan kebutuhan dan pelayanan kepada anakanak, orangtua, dan orangtua asuh serta keterlibatan anak-anak,
remaja, dan keluarga dalam perencanaan pemecahan masalah.
Dalam hal ini kunjungan pekerja sosial dengan anak-anak dan
orangtua merupakan hal yang penting, karena hasil penelitian pada
52 negara bagian dan teritori telah menemukan hubungan yang kuat
dan positif yang signifikan secara statistik antara kunjungan petugas
sosial dengan anak-anak dan hasil keselamatan dan/kesejahteraan
anak. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Biro Anak, ada nilai
"kekuatan" untuk kunjungan petugas sosial dengan anak yang
berkaitan secara bermakna dengan nilai pencapaian substansial
untuk peringkat kelima dari tujuh hasil (www.acf.hhs.gov/program/
cb, diambil September 28, 2004). Kedua, kesejahteraan dalam
arti: anak-anak dan remaja menerima layanan yang sesuai untuk
memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. Ketiga, kesejahteraan
dalam arti: anak-anak dan remaja menerima pelayanan yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan fisik dan kesehatan mental
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

13

mereka. (CHILD WELFARE, For The Twenty-First Century, 2005)


Dalam kenyataannya, yang pertama adalah yang paling umum dan
paling luas cakupannya.
Menurut Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979, diamanatkan
bahwa Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan
penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun
sosial.
B. Pengasuhan Anak
Pengasuhan adalah sebuah proses mengasuh, merawat,
membimbing, dan mendukung anak baik secara fisik, sosial,
intelektual, dan beragam aspek perkembangan lainnya. Sebesar
apa sense of giving pelaku pengasuhan menjadi kunci yang akan
menentukan kualitas proses pengasuhan yang didapatkan anak
(Goldenline, STIF in Padang, 10_12_2013). Anak merupakan
anugerah yang tidak dapat dinilai oleh apapun bagi pasangan suami
isteri yang membentuk dalam suatu keluarga. Karena tidak setiap
pasangan suami isteri diberikan keturunan berupa anak. Setiap anak
yang dilahirkan ke dunia ini harus mendapatkan kehidupan yang
layak. Sampai seorang Aristoteles, mengatakan bahwa anak layaknya
bagian tubuh orangtuanya, oleh sebab itu orangtua memiliki hak atas
pengasuhan anaknya. Pendapat senada juga dikemukakan oleh John
Lock, yang mengatakan anak diproduksi atas jerih payah orangtua,
oleh sebab itu orangtua punya hak atas pengasuhan anaknya.
Bahkan menurut teori property dikatakan, bahwa anak adalah milik
orangtua. Oleh karena itu, anak wajib diasuh dengan sebaik-baiknya
agar dapat tumbuh dan berkembang dengan semestinya.
Menurut Mohamad Afrizal, pengasuhan anak merupakan salah
satu faktor yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan
anak, terutama pada masa kritis yaitu usia 0-8 tahun. Kehilangan
pengasuhan yang baik, misalnya perceraian, kehilangan orangtua,

14

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

baik untuk sementara maupun selamanya, bencana alam dan


berbagai hal yang bersifat traumatis lainnya sangat mempengaruhi
kesehatan fisik dan psikologisnya. Dengan demikian, kehilangan
atau berpisah dari keluarga ini akan meningkatkan risiko kesehatan,
perkembangan, dan kesejahteraan anak secara keseluruhan. Risiko
ini akan meningkat, apabila kehilangan ini terjadi dalam masa
kritis pertumbuhan anak, yaitu masa awal kanak-kanak. Akibat
bencana alam, perang, perceraian, kematian orangtua dan anggota
keluarga lainnya, dan kelahiran tak dikehendaki seorang anak
dapat mengalami kesulitan berkembang menjadi manusia dewasa
seutuhnya.
Lebih lanjut dikatakan dengan mengacu kepada konsep dasar
tumbuh kembang, maka secara konseptual pengasuhan adalah
upaya dari lingkungan agar kebutuhan-kebutuhan dasar anak untuk
tumbuh kembang (asah, asih, dan asuh) terpenuhi dengan baik dan
benar, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
Akan tetapi, praktiknya tidaklah sesederhana itu karena praktik ini
berjalan secara informal, sering dibumbui dengan hal-hal yang tanpa
disadari dan tanpa disengaja serta lebih diwujudkan oleh suasana
emosi rumah tangga sehari-hari yang terjadi dalam bentuk interaksi
antara orangtua dan anaknya serta anggota keluarga lainnya. Dengan
demikian hubungan inter dan intra personal orang-orang di sekitar
anak tersebut dan anak itu sendiri sangat memberi warna pada
praktik pengasuhan anak.
Menurut Sunarwati dalam Mohamad Afrizal (2007), pengasuhan
anak oleh substitusi ibu, baik yang paruh waktu (misalnya di
tempat penitipan anak) maupun yang punya waktu (misalnya oleh
pramusiwi) harus selalu memperhatikan hal-hal tersebut di atas
yaitu pada dasarnya agar prinsip asah, asih, dan asuh didapatkan
anak dengan baik dan benar. Oleh karena itu, dalam pengasuhan
anak ada empat hal yang harus dipenuhi, yaitu bahwa setiap anak
membutuhkan orangtua, dan tumbuh secara alamiah dengan saudara
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

15

kandung yang dimilikinya, di dalam rumah mereka sendiri, dan di


dalam lingkungan yang mendukungnya (http://mohamadafrizal.
wordpress.com/paud/pengasuhan-anak/, diunduh 10_12_2013).
C. Perlindungan Anak
Di Indonesia, Perlindungan Anak diatur dalam Undang Undang
Nomor 23 Tahun 2002 yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi. Sedangkan Perlindungan khusus
adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi
darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok
minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan,
perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental,
anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan
penelantaran.
Azas dan Tujuan Perlindungan Anak
Penyelenggaraan perlindungan anak berazaskan Pancasila dan
berlandaskan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak
meliputi: non diskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi anak;
hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
dan penghargaan terhadap pendapat anak. Perlindungan anak
bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya
anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

16

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

Sejalan dengan tujuan tersebut, maka hakekat perlindungan anak


Indonesia adalah perlindungan keberlanjutan, karena merekalah
yang akan mengambil alih peran dan perjuangan mewujudkan citacita dan tujuan bangsa Indonesia. Negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga, dan orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab
terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Layanan Perlindungan Anak (Child Protective Services/ CPS)
Program layanan perlindungan anak ( CPS) merupakan program
inti di semua lembaga kesejahteraan anak yang mengupayakan
keselamatan anak bekerjasama dengan lembaga masyarakat. Lebih
luas, CPS mengacu pada perangkat hukum yang sangat khusus,
mekanisme pendanaan, respon lembaga bersama pemerintah untuk
melaporkan penyalahgunaan dan penelantaran anak (Waldfogel,
1999). Dasar program CPS berasal dari hukum yang dibentuk di
setiap negara yang mendefinisikan kekerasan dan penelantaran
anak serta menentukan bagaimana lembaga CPS harus menanggapi
laporan penganiayaan anak. Pekerja sosial di lembaga-lembaga CPS
memiliki tanggung jawab untuk mengatasi efek dari penganiayaan,
menerapkan respon layanan yang akan menjaga anak-anak
dan remaja aman dari penyalahgunaan dan penelantaran, serta
bekerjasama dengan keluarga untuk mencegah kemungkinan
terjadinya penganiayaan di masa yang akan datang (Depanfilis &
Salus 2003, Departemen Kesehatan dan Layanan Manusia US, 1988).
Dalam mendukung kesejahteraan anak dan remaja para penulis
(Altman; Cohen, Hornsby, and Priester; Kemp, Allen- Eckard,
Ackroyd, Becker, and Burke; and Chahine and Higgins) dalam
tulisannya Systemic Issues in Child Welfare, fokus pada beberapa
faktor kunci dalam bekerja dengan keluarga yaitu melibatkan
anak dan remaja, keluarga dan masyarakat dalam proses asesmen
melalui konfrensi tim. Filosofi layanan perlindungan anak menurut
De Panfilis dan Salus 2003, Lembaga Layanan Perlindungan Anak

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

17

bekerja berdasarkan keyakinan filosofis bahwa setiap anak memiliki


hak untuk pengasuhan dan pengawasan yang memadai dan bebas dari
penyalahgunaan, penelantaran, dan eksploitasi. Hukum melindungi
anak-anak dan remaja, menganggap bahwa itu adalah tanggung
jawab orangtua untuk memperhatikan kebutuhan fisik, mental,
emosional, dan kesehatan anak-anak mereka terpenuhi secara
memadai. Asumsi lainnya adalah bahwa Layanan Perlindungan Anak
harus campur tangan ketika orangtua meminta bantuan atau gagal,
atau lalai dalam memenuhi kebutuhan dasar anak-anak mereka dan
menjaga mereka agar aman dari penyalahgunaan atau penelantaran,
seperti yang didefinisikan oleh undang-undang negara sipil (Gerald
P. Mallon and Peg Mc Cartt Hess, 2005).
Penyalahgunaan dan Penelantaran Anak
Penelantaran dapat didefinisikan sebagai kelalaian dalam
pengasuhan oleh orang yang bertanggung jawab (misalnya, orangtua
atau pengasuh lainnya), yang mengakibatkan kerugian signifikan atau
risiko bahaya yang signifikan terhadap anak dan remaja (Dubowitz,
2000). Penelantaran lebih lanjut dapat didefinisikan sebagai kegagalan
untuk memenuhi kebutuhan dasar anak-anak dalam perawatan fisik,
pengawasan, dan perlindungan, pemeliharaan, pendidikan, dan
kesehatan.
Kekerasan fisik dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang
ditimbulkan oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan
anak atau remaja itu, yang mengakibatkan cedera fisik yang signifikan
atau risiko cedera tersebut (Dubowitz, 2000). Contoh tindakan yang
ditimbulkan termasuk meninju, memukul, menendang, menggigit,
mengguncangkan, melempar, menusuk, mencekik, membakar, atau
memukul dengan tangan, tongkat, tali, atau benda lain (Goldman &
Salus, 2003).
Pelecehan seksual dapat didefinisikan sebagai tindakan seksual
tanpa kesepakatan, motivasi perilaku seksual yang melibatkan anak

18

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

dan remaja, atau eksploitasi seksual terhadap anak (Berliner, 2000)


oleh orang yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Pelecehan
seksual anak termasuk perilaku yang lebih luas, seperti oral, anal
penetrasi penis, atau alat kelamin, digital anal atau genital atau
penetrasi lain, kontak kelamin dengan non intrusi, cumbuan payudara
anak atau pantat, penampilan senonoh, supervisi yang tidak memadai
atau tidak dari kegiatan sukarela seksual anak, dan penggunaan anak
atau remaja dalam prostitusi, pornografi, kejahatan internet, atau
kegiatan seksual eksploitatif lainnya (Goldman & Salus, 2003).
Penganiayaan psikologis dapat didefinisikan sebagai pola
berulang dari perilaku atau kejadian ekstrim oleh orang yang
bertanggung jawab atas pengasuhan anak yang menyampaikan
kepada anak bahwa ia tidak berharga, cacat, tidak dicintai, tidak
diinginkan, terancam, atau hanya bernilai jika menemukan orang
lain yang membutuhkan, oleh orang yang bertanggung jawab
atas pengasuhan anak (Masyarakat profesional Amerika tentang
Penyalahgunaan Anak, 1995). Penganiayaan psikologis meliputi
baik tindakan pelecehan terhadap anak atau remaja dan kelalaian
dalam pengasuhan. Bentuk penganiayaan psikologis termasuk
penolakan secara angkuh (misalnya, perilaku bermusuhan menolak
dan merendahkan); teror (misalnya, ancaman untuk menyakiti
anak atau seseorang yang penting untuk anak), mengeksploitasi
atau merusak (misalnya, mendorong anak atau remaja untuk
berpartisipasi dalam merusak diri sendiri atau perilaku kriminal);
menyangkal respon emosional (misalnya, mengabaikan atau gagal
untuk mengekspresikan kasih sayang), dan mengisolasi (misalnya,
membatasi anak mendapatkan pengalaman sesuai dengan tahapan
perkembangan) (Brassard & Hart, 2000).
Tahapan proses Layanan Perlindungan Anak
Untuk memenuhi tujuan perlindungan anak, CPS menerima
laporan penganiayaan anak yang dicurigai, menilai risiko

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

19

dan keamanan anak-anak dan remaja, dan menyediakan atau


mengatur layanan untuk meningkatkan keamanan, kestabilan dan
kesejahteraan anak-anak dan remaja yang telah disalahgunakan atau
diabaikan atau yang beresiko disalahgunakan atau ditelantarkan.
Setiap penanganan masalah dilakukan melalui satu atau lebih
rangkaian tahapan proses CPS yaitu: (1) penerimaan, (2) asesmen
awal/investigasi, (3) penilaian keluarga, (4) perencanaan intervensi,
(5) penyediaan layanan, (6) Evaluasi kemajuan kasus, dan (7)
penutupan kasus. Keputusan kunci bervariasi pada masing-masing
tahapan proses (De Panfilis & Salus, 2003).
Intake (penerimaan)
CPS bertanggung jawab untuk menerima dan menanggapi
laporan pelecehan dan penelantaran anak yang dicurigai. Keputusan
kunci pada tahap ini adalah: (1) menentukan apakah informasi
yang dilaporkan sesuai kriteria yang ada dalam pedoman lembaga
untuk penganiayaan anak yang didasarkan hasil kontak tatap-muka
dengan anak atau remaja dan keluarganya dan (2) untuk menentukan
urgensinya, lembaga harus menanggapi laporan tersebut. Petugas
penerimaan mewawancarai orang yang menelepon tentang laporan
pelecehan atau penelantaran anak yang dicurigai untuk membuat
keputusan.
Asesmen awal
Setelah menerima laporan, CPS melakukan penilaian awal/
penyelidikan dengan mewawancarai anak atau remaja, saudara,
orangtua atau pengasuh lainnya, dan individu lain yang mungkin
memiliki informasi mengenai dugaan penganiayaan. Jika informasi
menunjukkan bahwa kejahatan mungkin telah dilakukan, kontakkontak dengan CPS biasanya dikoordinasikan dengan penegak
hukum. Dua penilaian utama yang dilakukan pada tahap ini adalah
penilaian terhadap keselamatan anak (misalnya, apakah ada risiko
besar akan kerusakan parah) dan penilaian risiko penganiayaan

20

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

(yaitu, kemungkinan penganiayaan anak di masa depan).


Keputusan kunci pada tahap ini adalah untuk menentukan: (1)
apakah penganiayaan anak terjadi seperti yang didefinisikan oleh
hukum negara, (2) apakah kelangsungan keselamatran anak atau
pemuda mengkhawatirkan dan, jika demikian, intervensi yang akan
dilakukan untuk menjamin perlindungan anak, (3) apakah ada risiko
penganiayaan masa depan dan tingkat resikonya, dan (4) apakah
jasa keagenan terus diperlukan untuk membantu keluarga menjaga
keamanan anak, mengurangi risiko penganiayaan di masa depan,
dan mengatasi efek penganiayaan anak. Beberapa kasus ditutup pada
tahap ini jika tidak ada dasar untuk memberikan layanan kepada
anak atau remaja dan keluarga.
Asesmen keluarga
Asesmen keluarga adalah suatu proses yang komprehensif
untuk mengidentifikasi, mengingat, dan mencari faktor yang
mempengaruhi keselamatan, kestabilan dan kesejahteraan anak
atau remaja. Tujuan dari asesmen ini adalah untuk mengembangkan
kemitraan dengan keluarga, rencana pelayanan yang diperlukan
untuk menjamin keselamatan, kestabilan, dan kesejahteraan anak
(Department Kesehatan dan Layanan Manusia US, 2000). Pada
tahap ini, pekerja CPS melibatkan anggota keluarga dalam proses
untuk memahami kekuatan, risiko, dan kebutuhan intervensi.
Keputusan kunci pada tahap ini adalah untuk menentukan: (1)
faktor risiko yang menyebabkan kekhawatiran bahwa anak dapat
dianiaya di masa depan, (2) faktor-faktor protektif atau kekuatan yang
dapat mengurangi kemungkinan penganiayaan masa depan, (3) efek
penganiayaan yang diamati pada anak dan/atau anggota keluarga
lainnya, dan (4) tingkat motivasi atau kesiapan anggota keluarga
untuk berpartisipasi dalam intervensi yang akan mengurangi risiko
penganiayaan dan mengatasi efek penganiayaan.

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

21

Rencana Intervensi
Untuk mencapai hasil program CPS yaitu, keselamatan,
kestabilan, dan kesejahteraan anak, serta keluarga, intervensi harus
direncanakan dan bertujuan. Hasil ini dicapai melalui tiga jenis
rencana: (1) rencana keselamatan, yang dikembangkan berdasarkan
bahwa anak berada pada risiko kerusakan parah dalam waktu
dekat, (2) rencana kasus, yang mengikuti asesmen keluarga dan
menetapkan hasil dan tujuan dan menjelaskan bagaimana keluarga
bekerja menuju hasil tersebut, dan (3) jika seorang anak atau
remaja telah ditempatkan dalam pengasuhan luar rumah (out-ofhome care), dalam waktu bersamaan disusun rencana kasus dengan
mengidentifikasi bentuk-bentuk alternatif bagaimana penyatuan
kembali atau keajekan dengan orangtua baru dapat tercapai jika
usaha untuk menyatukan kembali gagal.
Keputusan penting pada tahap perencanaan kasus adalah
untuk menentukan: (1) hasil kasus yang menjadi target intervensi
(misalnya, fungsi keluarga ditingkatkan, mengontrol perilaku emosi,
meningkatkan harga diri, meningkatkan interaksi orangtua-anak),
(2) tujuan kasus yang akan membantu anggota keluarga berhasil, (3)
intervensi terbaik yang mendukung pencapaian tujuan-tujuan dan
hasil, dan (4) penyedia terbaik intervensi.
Penyediaan layanan
Tahap di mana rencana kasus diimplementasikan. Pada tahap
ini peran pekerja CPS adalah untuk mengatur, memberikan,
dan/atau mengkoordinasikan pelayanan kepada anak-anak
yang teraniaya, orangtua atau pengasuh lainnya, serta keluarga.
Pelayanan selektif untuk membantu keluarga mencapai manfaat
dan tujuan berdasarkan kesesuaian pelayanan dengan tujuan dan
prinsip-prinsip praktak terbaik. Keputusan penting pada tahap ini
meliputi: (1) mengidentifikasi layanan khusus yang akan diberikan
dan intensitas serta durasi pelayanan, (2) menentukan siapa yang

22

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

terbaik diposisikan untuk memberikan layanan ini, (3) menentukan


interval yang tepat untuk mengevaluasi kemajuan keluarga, dan (4)
menetapkan mekanisme untuk mengkoordinasikan para penyedia
layanan (misalnya, mengembangkan berbagi informasi, jadwal
pertemuan tim).
Evaluasi kemajuan
Penilaian adalah proses yang berkelanjutan yang dimulai dengan
kontak dengan klien dan berlanjut sepanjang penanganan kasus.
Kemajuan pencapaian hasil dan tujuan harus dievaluasi secara resmi
setidaknya setiap 3 bulan. Keputusan kunci yang harus dibuat selama
tahap proses ini mencakup penilaian: (1) status keamanan anak atau
remaja saat ini, (2) tingkat pencapaian manfaat keluarga, (3) tingkat
pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas sesuai rencana kasus, (4)
perubahan risiko dan faktor perlindungan yang telah diidentifikasi,
dan (5) tingkat keberhasilan dalam mengatasi salah satu dari efek
penganiayaan pada anak atau remaja dan anggota keluarga lainnya.
Penutupan kasus
Proses mengakhiri hubungan antara pekerja CPS dan keluarga
dengan melibatkannya dalam proses penilaian kemajuan kasus sejak
dari awal, tengah, dan akhir. Secara optimal kasus ditutup ketika
keluarga telah mencapai manfaat dan tujuan mereka, yaitu anakanak atau remaja aman, dan risiko penganiayaan telah dikurangi
atau dihilangkan. Kasus kadang-kadang ditutup, namun keluarga
masih membutuhkan bantuan. Bila kebutuhan masih jelas, upaya
lain dilakukan untuk membantu keluarga menerima layanan melalui
lembaga masyarakat yang sesuai. Untuk mengukur keberhasilan
perlindungan anak menurut ASFA (1997) lembaga CPS merancang
pengukuran pencapaian hasil program perlindungan anak yaitu: 1)
anak dan remaja dalam keadaan aman, 2) anak dan remaja stabil
hidup dalam keluarga, 3) anak dan remaja sejahtera, dan 4) keluarga
sejahtera (Courtney, 2000).

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

23

D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan, Pengasuhan


dan Perlindungan Anak
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan,
pengasuhan dan perlindungan anak antara lain: pelaksanaan peran
dan fungsi keluarga atau keluarga pengganti, dan keberfungsian
lembaga perlindungan anak dan penerapan sanksi terhadap pelaku
perlakuan salah terhadap anak. Setiap keluarga memiliki sejumlah
peranan yang mesti dilaksanakan. Menurut Jhonson (1988), peranan
keluarga menggambarkan seperangkat perilaku antar pribadi, sifat,
kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi
tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga didasari oleh harapan dan
pola perilaku keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan
yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut: 1) Ayah
sebagai suami dan ayah dari anak-anak, berperan sebagai pencari
nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala
keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai
anggota masyarakat dari lingkungannya. 2) Ibu sebagai istri dan ibu
dari anak-anaknya, mempunyai peranan untuk mengurus rumah
tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung
dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai
anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu ibu juga dapat
berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya. 3)
Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat
perkembangannya, baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Selain memiliki peranan, setiap keluarga juga memiliki sejumlah
fungsi yang mesti dilaksanakan. Menurut Zastrow (1999), beberapa
fungsi keluarga, yaitu: 1) Replacement of the population. Replacement
yang berarti adanya fungsi regenerasi. 2) Care of the young, yang
berarti pengasuhan dan perawatan, sampai anak memasuki usia
remaja. Dalam posisi seperti ini keluarga merupakan meta institusi
di dalam kehidupan anak. 3) Sosialization of new members, fungsi
untuk mensosialisasikan nilai-nilai budaya, norma, bahasa, dan

24

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

lain-lain kepada anggota keluarga. 4) Regulation of Sosial behavior,


fungsi pengaturan perilaku sosial. Kegagalan pengaturan perilaku
sosial akan menghasilkan ketidakcocokan dengan harapan yang
diinginkan. 5) Source of affection. Fungsi untuk memberikan kasih
sayang, cinta yang tulus kepada semua anggota keluarga. Bilamana
hal ini mengalami kegagalan, maka keluarga akan menjadi kurang
harmonis.
Berdasarkan uraian tentang konsep kesejahteraan, pengasuhan
dan perlindungan anak dan remaja sebagaimana telah diuraikan di
atas, maka dalam merumuskankan kebijakan, pelaksanaan program
dan kegiatan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak
seyogyanya memperhatikan kaidah-kaidah dari konsep tersebut.

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

25

26

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

BAB III
MASALAH DAN KEBIJAKAN KESEJAHTERAAN,
PENGASUHAN DAN PERLINDUNGAN ANAK
Anak merupakan anggota masyarakat yang mempunyai posisi
strategis dalam menentukan kelangsungan hidup bangsa. Anak yang
tumbuh kembang secara wajar dapat memberikan kontribusi positif
bagi masyarakat dan pembangunan bangsa. Sebaliknya jika mereka
mengalami berbagai hambatan dalam tumbuh kembangnya akan
menjadi beban bagi masyarakat dan Negara. Hambatan dalam tumbuh
kembang anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain
tidak terpenuhi hak-haknya oleh orangtua, keluarga, msyarakat, dan
pemerintah.
Bab tiga ini menguraikan tentang masalah/isu-isu dalam kontek
kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak serta kebijakan
Kementerian Sosial RI dan K/L lainnya dalam merespon masalah/isuisu tersebut. Masalah dan kebijakan yang disajikan merupakan hasil
kajian data sekunder maupun primer hasil penelitian lapangan.
A. Masalah Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak
Masalah/isu-isu yang terkait dengan kesejahteraan, pengasuhan
dan perlindungan anak tidaklah berdiri sendiri, tetapi saling
mempengaruhi. Kesejahteraan sosial anak sangat dipengaruhi
oleh kewajiban orangtua dalam pengasuhan anak, dan kewajiban
orangtua, keluarga, masyarakat dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya melindungi anak dari tindak kekerasan dan
perlakuan salah. Ditinjau dari kesejahteraan sosial, permasalahan
anak disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan anak baik
jasmani, rohani, dan sosial sehingga akan mempengaruhi tumbuh
kembang anak secara wajar. Bila dilihat dari konvensi hak anak,
permasalahan anak disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak
anak yaitu 1) Hak sipil dan kebebasan fundamental, 2) Kesehatan,

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

27

gizi, air dan sanitasi lingkungan, 3) Lingkungan keluarga dan


perawatan alternatif, 4) Pendidikan, waktu bersantai dan main &
kegiatan budaya, dan 5) Perlindungan khusus.
Permasalahan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak
dapat bersumber dari berbagai pihak yaitu anak itu sendiri, keluarga,
lingkungan masyarakat, sekolah, dan lingkungan yang lebih luas lagi
yaitu kemajuan teknologi komunikasi dan globalisasi. Dalam tulisan
ini masalah/isu-isu tentang anak dilihat dalam konteks kesejahteraan,
pengasuhan dan perlindungan anak diuraikan berikut ini.
1. Masalah/Isu-isu dalam konteks Kesejahteraan Anak
Dalam konteks kesejahteraan sosial anak, permasalahannya
adalah belum terpenuhinya hak-hak dasar anak seperti hak sipil dan
kebebasan fundamental, kesehatan, gizi, air dan sanitasi lingkungan,
dan pendidikan. Kondisi anak yang demikian kita kenal dengan
keterlantaran pada anak, baik pada anak Balita maupun pada anak
usia 6-17 tahun. Kondisi Balita terlantar di Indonesia dapat dilihat
pada uaraian berikut.
Diagram 1. Perkiraan Persentase
Balita menurut
Kategori Keterlantaran

Jumlah
Balita
di
Indonesia pada tahun 2009
diperkirakan 21,22 juta jiwa
(Susenas, 2009). Persentase
Balita Terlantar tercatat 5,77
persen, hampir terlantar
20,17 persen, dan tidak
terlantar 74,06. Kebanyakan
mereka barada di Perdesaan
yaitu 6,25 persen dan di
Perkotaan 5,23 persen.

Sumber: BPS RI - Susenas MSPB 2009

28

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

Menurut Profil PMKS (2011:h.104), Anak Balita Terlantar adalah


anak berumur 0-4 tahun yang karena suatu sebab, orangtuanya
melalaikan kewajibannya sehingga tidak dapat terpenuhi
kebutuhannya dengan wajar, baik secara jasmani, rohani, maupun
sosial. Kriteria keterlantaran pada Balita antara lain: 1) Balita yang
tidak pernah diberi air susu ibu (ASI), 2) Balita tidak mempunyai
bapak/ibu kandung, 3) Frekunsi makan makan pokok Balita, 4)
Frekuensi makan lauk pauk berprotein tinggi, 5) Ibu Balita yang
bertanggung jawab, bekerja, 6) Balita sakit tidak diobati, dan 7)
Pengasuh Balita.
Balita terlantar menurut BPS dalam Pusdatin 2011, pada Tahun
2009 kondisinya adalah sebagai berikut:
a. Balita yang tidak diberi ASI selama seminggu terakhir 74,44
persen.
b. Sebagian besar yaitu 97,72 persen Balita Terlantar masih punya
orangtua. Balita yang orangtuanya tidak lengkap persentasenya
cukup kecil yaitu 2,28 persen yang terdiri dari yatim 1,16 persen
dan piatu 0,62 persen, dan yatim piatu 0,41 persen.
c. Balita terlantar yang makan makanan pokok kurang dari 14 kali
sebesar 83,33 persen.
d. Persentase Balita terlantar yang makan makanan berprotein
tinggi nabati kurang dari 4 kali seminggu adalah 84,65 persen,
sedangkan untuk protein hewani yang kurang dari dua kali
seminggu berjumlah 82,80 persen. Hal ini diduga karena
ketidakmampuan orangtua/penanggung jawab Balita untuk
membeli pangan yang harganya cukup mahal.
e. Persentase Balita terlantar yang sakit, namun tidak diobati relatif
masih tinggi yaitu pada tahun 2009 sebesar 17,05 persen.
f. Sebanyak 63,15 persen Balita terlantar memiliki ibu kandung/
penanggung jawab yang aktifitas utamanya bekerja dan
34,99 persen yang aktifitasnya mengurus rumah tangga dan
kegiatan lainnya sebesar 1,86 persen. Bagi mereka yang bekerja
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

29

mayoritas lapangan usaha utamanya adalah di sektor pertanian


(42,79 persen), perdagangan (22,19 persen), dan jasa (19,87
persen). Sebagian besar Balita terlantar memiliki ibu kandung/
penanggung jawab, bekerja sebagai pekerja tidak dibayar (33,05
persen), buruh/karyawan 32,21 persen, dan berusaha sendiri 16,
77 persen.
Peran ibu dalam proses kehidupan Balita sangat dominan. Ibulah
yang berperan besar dalam tumbuh kembang Balita. Sejak bayi lahir,
ibu yang menyusui dan menyuapi makanan ke mulut bayi. Pada masa
Balita, anak masih sangat tergantung pada perawatan dan pengasuhan
ibunya. Namun pada kenyataannya masih banyak anak Balita yang
terlantar karena kemiskinan sehingga ibu bekerja. Akibatnya ibu
kurang mengurus anak dan bila sakit tidak memeriksakannya ke
dokter/Puskesmas bahkan ke Posyandu pun belum pernah dibawa.
Hal ini bisa dilihat dari hasil wawancara berikut:
..... anak saya terlepas dari bersih atau belum bersih mandi sendiri dan
mengambil baju sendiri yang sudah disiapkan di lemari. Saya hanya
menyiapkan peralatan mandi dan mengawasi. Ketika anak sakit, saya
memberi obat yang dibeli dari warung dan langsung sembuh. Sampai
saat ini saya belum pernah membawa anak berobat ke dokter ketika
anak sakit, karena tidak mau membiasakan anak berobat ke dokter,
karena takut ketagihan obat dokter dan mahal. Saya tidak punya kartu
KJS karena saya bukan penduduk DKI, dan sampai saat ini saya belum
pernah memberikan vitamin kepada anak.

Keluarga ini tinggal di rumah kontrakan Rp. 250.000/bulan,


dengan ukuran 3x3 m, tidak memiliki ruang dapur, ruang tidur,
dan lain-lain (satu ruang untuk semua kegiatan rumah tangga
kecuali masak di luar rumah/di teras). Sumber air sumur pompa,
MCK umum (bersama) dengan para warga yang mengontrak
rumah. Frekuensi makan makanan pokok dan lauk pauk berprotein
tinggi, melihat penghasilan keluarga masih dirasakan kurang belum
mencukupi. Anak mandi sendiri bahkan sudah bisa memandikan
adiknya yang berusia 3,5 tahun, karena kesibukan orangtua mencari

30

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

nafkah, mereka tidak sempat merawat anaknya. Bila sakit orangtua


hanya memberi obat yang ada di warung, tidak sanggup untuk
membawa ke Puskesmas atau dokter.
Data di atas menunjukkan, bahwa keterlantaran Balita tersebut
disebabkan kedua orangtua bekerja di pasar dari pagi sampai siang,
tidak sempat merawat anak, makanan apa adanya sesuai perolehan
pendapatan. Keluarga ini juga belum mengakses pelayanan
kesehatan karena faktor kependudukan. Kondisi seperti ini dialami
oleh beberapa keluarga penerima manfaat Taman Anak Sejahtera
(PKS ABT).
Demikian pula halnya dengan Anak Terlantar yaitu anak yang
berusia 5-17 tahun tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar baik
jasmani, rohani, maupun sosial (Profil PMKS, 2011:h.104).
Diagram 2. Perkiraan Persentase
Anak 5-17 Tahun menurut
Kategori Keterlantaran 2009

Berdasarkan pendekatan
kebutuhan minimum, baik
kebutuhan jasmani, rohani,
dan sosial, jumlah anak
usia 5-17 tahun berjumlah
58,17 juta anak. Dilihat
dari kategori keterlantaran
jumlah anak dengan kategori
terlantar sebanyak 3,1 juta
anak (5,36 persen) dan
hampir terlantar 7,2 juta anak
(12,23 persen).

Sumber: BPS RI-Susenas Modul 2009

Bila dilihat dari jenis kelamin, proporsi anak terlantar lakilaki lebih besar dibanding anak terlantar perempuan (5,82 persen
dibanding 4,85 persen). Tempat tinggalnya lebih banyak di perdesaan
dibanding perkotaan (7,62 persen berbanding 2,69 persen).

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

31

Ketelantaran pada anak (Profil PMKS, 2011) dapat dilihat dari


beberapa aspek yaitu:
a. Pendidikan anak terlantar
Pendidikan dasar dimulai sejak usia 7 tahun sebagai awal usia
program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan Pemerintah.
Untuk itu anak yang berumur 7 tahun harus sekolah. Salah satu
penentu derajat keterlantaran anak adalah tingkat partisipasi
sekolah. Anak dikatakan tidak bersekolah apabila tidak/belum
pernah sekolah atau sudah tidak sekolah lagi. Pada tahun 2009,
tingkat partisipasi sekolah anak 66,04 persen yang tidak/belum
pernah sekolah sama sekali 8,99 persen dan tidak bersekolah lagi
24,96 persen. Adapun alasan anak terlantar tidak/belum pernah
atau tidak sekolah lagi sebagian besar adalah tidak ada biaya,
kemudian tidak suka/malu, bekerja, dan sekolah jauh.
b. Kesehatan anak terlantar
Sehat merupakan hak setiap manusia termasuk anak. Pada
tahun 2009 persentase anak terlantar yang mengalami keluhan
kesehatan selama sebulan terakhir menurut jenis keluhan adalah
panas (53,27 persen), batuk (53,80 persen), dan pilek (53,48
persen) merupakan keluhan yang paling banyak dirasakan.
Kemudian sakit kepala berulang (15,71 persen), sakit gigi (6,26
persen), dan diare (6,25 persen).
c. Kegiatan ekonomi anak terlantar
Anak usia 7-17 tahun seyogyanya masih menikmati dunia
bermain dan sekolah. Namun beberapa anak terpaksa harus
meninggalkan bangku sekolah karena situasi dan kondisi
keuangan keluarga tidak mencukupi untuk dapat mengakses
pendidikan, sehingga anak kehilangan kesempatan untuk
memperoleh haknya bersekolah. Kebutuhan hidup sehari-hari
semakin meningkat dan semakin sulit untuk dipenuhi menjadi

32

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

penyebab orangtua merelakan anaknya membantu mencari


nafkah, sehingga harus meninggalkan bangku sekolah.
Pada tahun 2009 persentase terbesar anak usia 10-14 bekerja
kurang dari 15 jam seminggu terakhir adalah 41,08 persen, dan
1528 jam sebesar 35,22 persen, dan anak terlantar usia 15-17
tahun sebagian besar (32,56 persen) bekerja lebih atau sama
dengan 35 jam perminggu.
d. Kegiatan sosial budaya anak terlantar
Seorang anak selayaknya melakukan aktivitas sosial dan
budaya bahkan proporsi yang lebih besar dari pada bekerja
seperti akses terhadap media massa. Sebagian besar (70,84
persen) anak terlantar mengases televisi, kemudian radio 13,15
persen, dan surat kabar/majalah paling sedikit diakses.
Kondisi anak terlantar sebelum masuk panti menurut anak
adalah sebagai berikut:
..... saya anak yatim yaitu anak ke 4 dari 5 bersaudara, usia
saya 14 tahun, saat ini tinggal di panti sejak 3 tahun yang lalu.
Sebelumnya saya tinggal di Bekasi bersama dengan ibu kandung
dan saudara-saudara. Tiga tahun lalu bapak saya meninggal
dunia. Saya sudah memiliki akte kelahiran sejak kecil.

Kasus di atas menujukkan keterlantaran hanya disebabkan


tidak punya ayah (anak yatim). Dari segi pendidikan sebelum
masuk panti anak sudah akses ke pendidikan. Hal ini dapat
dilihat dari umur dan kelas yang yang diduduki yaitu 14 tahun
di kelas 3 M.Ts (setingkat SMP). Kelihatannya orangtua hanya
tidak mampu menyekolahkannya karena ayahnya meninggal,
ibunya takut anaknya putus sekolah. Jadi anak diserahkan
pengasuhannya ke LKSA karena faktor kemiskinan dan untuk
akses anak ke pendidikan.

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

33

Kasus Anak Terlantar Luar Panti yang tinggal bersama


orangtuanya, permasalahannya sebagian besar karena
kemiskinan orangtua. Hal ini digambarkan oleh hasil wawancara
dengan anak dan observasi sebagai berikut:
..... Saat saya tinggal di Kampung Jawa Lr. 5 Dusun Tengku Muda
bersama dengan kedua orang tua dan ketiga adik-adik, tinggal di
area/lokasi sebuah penampungan barang-barang bekas. Memiliki
rumah yang sangat sederhana terbuat dari kayu bekas, dinding
kayu campur bekas kardus, atap yang terdiri dari berbagai jenis
atap (asbes, genteng, seng plastik bekas, dan lain-lain). Ruangan
yang ada terdiri dari 1 ruang yang disekat menjadi 2 ruang, 1
ruang makan merangkap ruang tidur anak ruang istirahat ruang
tamu dan lain-lain, 1 ruang tidur orang tua.

Anak akses terhadap sistem pendidikan dan kesehatan,


namun demikian kadang-kadang terlibat dalam membantu
orangtua mencari nafkah seperti hasil wawancara berikut:
Saat ini anak sekolah di SD kelas 2, anak tidak pernah meninggalkan
sekolah kecuali sedang sakit. Setiap tiga kali seminggu anak ikut
bimbingan belajar dengan Open Kommuniti yang diadakan oleh
Mahasiswa dan instansi lain (anak dan orang tua tidak tau dari
instansi mana). Anak tidak bekerja, sesekali ikut orang tua menjadi
pemulung, saat libur sekolah, atau hari minggu.

Kasus LA menggambarkan anak rawan terlantar, karena


kemiskinan orangtua, (pekerjaan orangtua sebagai pemulung)
dan tempat tinggal yang kurang layak huni di daerah kumuh,
dan anak kadang-kadang terlibat dalam pekerjaan memulung.
Anak jalanan merupakan bagian dari anak terlantar dapat
dikelompokkan menjadi empat kategori. Pengertian untuk kategori
pertama adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di
jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua
kelompok anak jalanan dalam kategori ini, yaitu anak-anak yang
tinggal bersama orangtuanya dan senantiasa pulang ke rumah setiap

34

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

hari, dan anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di


jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga
dengan cara pulang, baik berkala ataupun dengan jadual yang
tidak rutin. Kategori kedua adalah anak-anak yang menghabiskan
seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki
hubungan atau ia memutuskan hubungan dengan orangtua atau
keluarganya. Kategori ketiga adalah anak-anak yang menghabiskan
seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang
hidup atau tinggalnya juga di jalanan. Kategori keempat adalah
anak berusia 5-17 tahun yang rentan bekerja di jalanan, anak yang
bekerja di jalanan, dan/atau yang bekerja dan hidup di jalanan yang
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan
hidup sehari-hari (http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_jalanan).
Menurut Pusdatin Kementerian Sosial RI anak jalanan pada tahun
2011 berjumlah 135.983 jiwa.
Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan informan anak
jalanan diketahui bahwa Rudi (nama samaran) adalah tergolong
kategori tiga yaitu anak jalanan yang menghabiskan seluruh waktunya
di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga
di jalanan. Kondisi ini terjadi karena bapaknya meninggal. Hal ini
tergambar dari hasil wawancara berikut:
..... saya anak ketiga dari 3 bersaudara, kedua kakak (laki-laki dan
perempuan) telah berkeluarga. Pada tahun 2006 ayah kami meninggal
dunia, pada saat itu saya duduk di kelas 1 SMP, berhenti sekolah. Ibu
berusia 60 tahun menjadi pengemis dan pengamen di jalanan. Rifki
juga ikut mengamen di jalanan.

Kasus selanjutnya adalah Ratna (nama samaran) menurut


orangtuanya permasalahan Keluarga Ratna adalah sebagaimana
tergambar dari hasil wawancara berikut ini.

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

35

Ratna lahir di Sleman, 11 Juni 1998 anak ke 2 dari dua bersaudara.


Jumlah anggota keluarga 4 orang, hubungan anak dengan kepala
keluarga anak angkat. Sejak bayi diangkat oleh seorang perempuan/
ibu istri dari bapak N dan diberi nama Ratna. Pada usia 1,5 tahun
ibu angkat Ratna meninggal dunia. Kemudian bapak N menikah lagi
dengan seorang perempuan bernama P yang telah mempunyai satu
orang anak perempuan. Jadi pasangan ini mengasuh dua orang anak
perempuan. Keduanya anak tiri dari N. Saya bekerja sebagai pemulung
dan P sebagai penarik becak dan buruh serabutan dan tinggal di daerah
pinggir dimana akses ke air bersih tidak ada. Semuanya dilakukan di
sungai.

Kasus Ratna dapat dikategorikan anak yang rentan menjadi anak


jalanan, karena orangtua miskin, tinggal di daerah di pinggiran kota
yang padat penduduk, ibu bekerja sebagai pemulung.
Data di atas menunjukkan bahwa masalah/isu-isu anak dalam
kontek kesejahteraan terkait dengan kurang terpenuhinya kebutuhan
pangan, pendidikan kesehatan, karena faktor kemiskinan dan
orangtua/orangtua pengganti sebagai pengemban tugas pengasuhan
sibuk bekerja. Hal ini sesuai dengan konsep kesejahteraan anak
yang diuraikan pada bab dua yaitu Pertama, kesejahteraan dalam
arti: Keluarga memiliki peningkatan kapasitas untuk memenuhi
kebutuhan anak-anak mereka. Kedua, Kesejahteraan dalam arti:
Anak-anak dan remaja menerima layanan yang sesuai untuk
memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. Ketiga, Kesejahteraan
dalam arti: Anak-anak dan remaja menerima pelayanan yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan fisik dan kesehatan mental
mereka.
Untuk mengatasi masalah anak tersebut perlu memperhatikan
peningkatan kapasitas keluarga untuk memenuhi hak-hak mereka
sesuai Konvensi Hak Anak, baik kapasitas di bidang ekonomi,
pengasuhan dan perlindungan terhadap anak-anak mereka.

36

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

2. Masalah/isu-isu dalam Konteks Pengasuhan Anak


Dalam konteks pengasuhan anak, permasalahan dilihat dari
pelaksanaan kewajiban orangtua atau orangtua pengganti dan
lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA) dalam pengasuhan anak.
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa keterlantaran disebabkan
oleh pengabaian kewajiban orangtua/orangtua pengganti dalam
pemenuhan hak-hak dasar anak. Anak adalah amanah yang
dititipkan pada orangtua untuk dijaga dan diasuh, serta dididik
dengan layak. Akan tetapi seiring dengan mobilitas kedua orangtua,
maka menjadikan anak diasuh bukan oleh kedua orangtuanya.
Banyak alternatif yang dipilih oleh orangtua dalam mencari
pengasuh pengganti selama orangtua bekerja atau beraktivitas. Pada
tahun 2009 mayoritas pengasuhan Balita terlantar yang ibu kandung/
penanggung jawabnya bekerja di luar rumah adalah dititipkan atau
diasuh oleh pihak lainnya (33,28 persen) yaitu diasuh tetangga, baby
sitter, pembantu, penitipan anak dan ditinggal sendiri. Kemudian
dititipkan ke family (25,99 persen) dan dibawa serta bekerja/
beraktivitas (21,96 persen). Pertanyaannya adalah apakah orangtua
pengganti selama ibu bekerja faham dengan konsep pengasuhan
pada anak?
Kondisi anak Balita terlantar temuan lapangan hasil wawancara
dengan ibu (Penerima PKSA Balita Terlantar) adalah: orangtua
mereka berasal dari keluarga miskin dimana kedua orangtua bekerja
di luar rumah. Hal ini dikemukakan oleh informan orangtua yaitu:
saya bekerja sebagai pengupas bawang dan bapaknya dagang sayur
di pasar induk dengan penghasilan kami berdua Rp.800.000,- per
bulan.

Keluarga ini tinggal di rumah kontrakan Rp.250.000/bulan,


dengan ukuran 3x3 m, tidak memiliki ruang dapur, ruang tidur dan
lain-lain (satu ruang untuk semua kegiatan rumah tangga kecuali
masak di luar rumah/di teras), Sumber air sumur pompa, MCK
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

37

umum (bersama dengan para warga yang mengintrak rumah).


Frekuensi makan makanan pokok dan lauk pauk berprotein
tinggi, melihat penghasilan keluarga masih dirasakan kurang belum
mencukupi. Hal ini terungkap dari pernyataan informan:
..... anak makan 3 kali sehari dengan menu makan nasi, sayur,
kadang-kadang pakai daging, atau ikan sekali-sekali ada buah.
Saya menyiapkan makanan, kadang-kadang mendampingi, sering
membiarkan kedua anak makan sendiri karena kedua orang tua
bekerja di pasar induk, berangkat pagi-pagi. Sedangkan anak kadangkadang tidak mau diajak ke pasar, sehingga anak harus mengambil
sendiri makanannya, dan mengambilkan makan untuk adiknya.

Anak juga mandi sendiri bahkan sudah bisa memandikan


adiknya yang berusia 3,5 tahun, karena kesibukan orangtua mencari
nafkah, mereka tidak sempat merawat anaknya. Bila sakit orangtua
hanya memberi obat yang ada di warung, tidak sanggup untuk
membawa ke Puskesmas atau dokter. Gambaran ini dapat dilihat
dari hasil wawancara berikut:
..... anak saya terlepas dari bersih atau belum bersih dan mengambil
baju sendiri yang sudah disiapkan di lemari. Saya hanya menyiapkan
peralatan mandi dan mengawasi. Ketika anak sakit saya memberi
obat yang dibeli dari warung dan langsung sembuh. Sampai saat ini
saya belum pernah membawa anak berobat ke dokter ketika anak
sakit, karena tidak mau membiasakan anak berobat ke dokter, karena
takut ketagihan obat dokter dan mahal. Saya tidak punya kartu KJS
karena saya bukan penduduk DKI dan sampai saat ini saya belum
pernah membrikan vitamin kepada anak.

Data di atas menunjukkan, bahwa keterlantaran Balita tersebut


disebabkan kedua orangtua bekerja di pasar dari pagi sampai siang,
tidak sempat merawat anak, makanan apa adanya sesuai perolehan
pendapatan. Keluarga ini juga belum mengakses pelayanan
kesehatan karena faktor kependudukan. Kondisi seperti ini dialami

38

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

oleh beberapa keluarga yang mengakses Taman Anak Sejahtera (PKS


ABT).
Selanjutnya pada anak terlantar usia 6-17 tahun juga terjadi
permasalahan pengasuhan oleh orangtua inti atau orangtua
penggati. Keberadaan orangtua kandung sangat berpengaruh pada
tumbuh kembang anak terutama perkembangan kepribadian dan
perilakunya. Tetapi tidak semua anak beruntung diasuh oleh kedua
orangtua mereka dalam masa tumbuh kembangnya. Keberadaan
orangtua kandung anak terlantar pada tahun 2009, sebagian besar
anak terlantar masih memiliki orangtua lengkap (97,72 persen), 1,16
persen adalah anak yatim, 0,62 persen piatu, dan 0,41 yatim piatu.
Aktivitas yang paling banyak dilakukan oleh anak terlantar adalah
menonton televisi dan makan bersama. Menurut BPS dari jumlah
anak terlantar 3,1 juta anak (5,36 persen), sebagian besar masih
memiliki orangtua lengkap (97,72 persen). Anak terlantar banyak
dikirim atau ditempatkan pada panti asuhan. Isu ini dipertegas lagi
dengan banyaknya jumlah panti asuhan. Diperkirakan terdapat 5.250
hingga 8.610 panti asuhan seluruh Indonesia. Walaupun orangtua
mereka masih lengkap, karena faktor kemiskinan dan agar anak
dapat terpenuhi kebutuhan dasar dan akses ke pendidikan mereka
memasukkan anaknya ke panti asuhan. Masalah pengasuhan yang
dilakukan oleh LKSA, beberapa temuan inti dari penelitian Save
the Children bekerjasama dengan Departemen Sosial RI dan Unicef
adalah:
a. Panti Sosial Asuhan Anak lebih berfungsi sebagai lembaga yang
menyediakan akses pendidikan kepada anak dari pada sebagai
lembaga alternatif terakhir pengasuhan anak yang tidak dapat
diasuh oleh orangtua atau keluarganya.
b. Anak-anak yang tinggal di panti umumnya (90 persen) masih
memiliki kedua orangtua dan dikirim ke panti dengan alasan
utama untuk melanjutkan pendidikan.

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

39

c. Berdasarkan tujuan panti ke arah pendidikan, anak-anak harus


tinggal lama di panti sampai lulus SLTA dan harus mengikuti
pembinaan dari pada pengasuhan yang seharusnya mereka terima.
d. Pengurus panti tidak memiliki pengetahuan memadai tentang
situasi anak yang seharusnya diasuh di dalam panti, dan
pengasuhan yang idealnya diterima anak.
Data di atas menunjukkan sebagian besar orangtua anak terlantar
masih ada, terutama ibu yang paling berperan dalam pengasuhan,
namun karena faktor kemiskinan mereka sibuk bekerja di luar
rumah baik di sektor pertanian, jasa maupun perdagangan. Keluarga
miskin ini pada umumnya pendidikannya juga rendah. Sehubungan
dengan itu kapasitanya dalam pengasuhan anak masih rendah. Untuk
memperoleh akses pendidikan sebagian mereka menitipkan di panti
sosial asuhan anak, baik milik masyarakat maupun pemerintah. Di
panti sosial pun belum fokus pada peran pengasuhan secara ideal
hanya dalam hal pemenuhan kebutuhan makan, tempat tinggal, akses
pendidikan, dan kesehatan. Untuk kasih sayangnya masih terabaikan.
3. Masalah/Isu-Isu Dalam Kontek Perlindungan Anak
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat tumbuh berkembang
dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tentang
Perlindungan Anak, diamanatkan salah satu hak anak adalah
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Terkait
dengan perlindungan, secara umum semua anak membutuhkan
perlindungan, baik dari orangtua, masyarakat, maupun pemerintah.
Namun dalam beberapa situasi, anak membutuhkan perlindungan
secara khusus.
Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan
kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan

40

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang


dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual (ngamen, ABH Panti)
anak yang diperdagangkan (contoh ABH Panti), anak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan,
perdagangan anak, korban kekerasan baik fisik dan/atau mental,
anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah
dan penelantaran. Peningkatan perlindungan bagi anak merupakan
salah satu prioritas pembangunan bidang sosial, salah satunya
perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan
anak yang memerlukan perlindungan khusus.
Dalam proses tumbuh kembang anak menuju generasi muda
yang berkualitas, banyak faktor yang dapat mempengaruhi, baik dari
dirinya sendiri maupun dari lingkungannya, yang menyebabkan
muncul permasalahan. Permasalahan yang dihadapi anak adalah
merupakan pelanggaran hak anak yang dilakukan oleh orang lain,
baik orang dewasa maupun teman sebaya, orang terdekat dengan
anak maupun orang lain. Pelanggaran hak anak yang dilakukan oleh
orang dekat anak (orangtua, kerabat dan lain-lain) pada umumnya
terkait dengan kondisi rumah tangga atau keluarga yang juga sedang
bermasalah. Seperti yang dikatakan bahwa terjadinya perdagangan
anak dikarenakan keterpaksaan orangtua dan kekhawatiran yang
sangat mendalam terhadap kondisi hidup mereka dalam membiayai
keluarganya. Mereka menyetujui anaknya ditukarkan dengan harga
uang, tidak sama sekali tahu menahu mau dikemanakan anak
mereka itu, mau diapain nanti anak mereka dirawat oleh orang lain.
Yang ada di pikiran mereka adalah ingin terhindar dari kesusahan
dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. (http://www.kpai.go.id/
artikel/maraknya-perdagangan-anak-akibat-pemerintah-terjebakmasalah-korups). Kerapuhan ekonomi dan kehidupan yang
serba kurang memberikan tekanan bagi keluarga, dan kemudian
memunculkan rasa frustasi. Keadaan frustasi ini, dengan pemicu

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

41

yang seringkali sederhana, mampu membangkitkan tingkah laku


agresi. Objeknya adalah sesama anggota keluarga, dan seringkali
anak karena posisinya yang lemah.
Menurut Liunir Z, faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap
anak antara lain: (1) Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental,
gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu, memiliki temperamen
lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, dan terlalu bergantung
kepada orang dewasa. (2) Kemiskinan keluarga, banyak anak, (3)
Keluarga pecah (broken home) akibat perceraian, ketiadaan ibu dalam
jangka panjang, atau keluarga tanpa ayah. (4) Keluarga yang belum
matang secara psikologis, ketidakmampuan mendidik anak, harapan
orangtua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted
child), anak lahir di luar nikah. (5) Penyakit gangguan mental pada
salah satu orangtua. (6) Pengulangan sejarah kekerasan: orangtua
yang dulu sering ditelantarkan atau mendapat perlakukan kekerasan
sering memperlakukan anak-anaknya dengan pola yang sama, serta
(7) Kondisi lingkungan sosial yang buruk, keterbelakangan (http://
file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._KESEJAHTERAAN_
KELUARGA/194903201974122-LIUNIR_ZULBACHRI/makalah_
Ke\ke rasan_terhadap_Anak.pdf).
Beberapa faktor lain yang sebenarnya menjadi fakta penyebab
pelanggaran hak anak bukan saja karena faktor kemiskinan tetapi
adalah karena rendahnya tingkat pendidikan, pengangguran,
lemahnya kesadaran hukum oleh orangtua/masyarakat sehingga
mampu melakukan tindakan pelanggaran hak anak dan lemahnya
penegak hukum atau tindakan hukum terhadap pelaku pelanggaran
hak anak.
Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak bahwa data dari
lembaga perlindungan anak yang ada di 30 provinsi di Indonesia dan
layanan pengaduan lembaga tersebut, pada tahun 2006 jumlah kasus
pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 13.447.921 kasus,

42

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

dan pada 2007 jumlahnya meningkat 40.398.625 kasus. Kemudian


Komnas Anak melaporkan bahwa selama periode Januari-Juni 2008
sebanyak 12.726 anak menjadi korban kekerasan seksual dari orang
terdekat mereka seperti orangtua kadung/tiri/angkat, guru, paman,
kakek dan tetangga. Pada tengah tahun 2013, menurut Sekjen
Komnas Perlindungan Anak, data pelanggaran hak anak sekitar
59.396.336 kasus dari 80 juta jumlah anak Indonesia, http://news.
detik. com/read/2013/07/18/154429/2307141/10/komnas-anak-59juta-dari-80-juta-anak-indonesia-dilanggar-haknya.
Selain itu, lembaga-lembaga perlindungan yang seyogyanya
memberikan perlindungan penuh terhadap anak sebagai penerima
pelayanan di lembaga tersebut, justru sering mengalami berbagai
tindak kekerasan. Ditemukan di lapangan, bahwa pengurus
lembaga tidak memahami hak anak yang harus dipenuhi oleh
lembaga tersebut. Kemudian lembaga yang mendidik kedisiplinan
terhadap anak dengan memberikan beban kerja yang tidak sesuai
dengan kemampuan anak, sehingga terjadi tindak kekerasan ketika
anak tidak mampu melakukannya, seperti bentakan, pukulan,
dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian anak belum
mendapatkan perlindungan, baik dari orangtua maupun lembaga,
dan lembaga dan orangtua telah melanggar hak anak. Keberadaan
lembaga yang belum mampu memberikan perlindungan terhadap
anak, terkait dengan kurangnya kuantitas dan kulitas SDM lembaga,
serta sarana dan prasarana yang dimiliki masih belum memenuhi
kriteria lembaga yang mampu memberikan perlindungan terhadap
anak. Perlindungan yang belum mampu diberikan oleh orangtua,
masyarakat maupun lembaga, merupakan pelanggaran hak anak.
Sebagai contoh anak yang dieksploitasi secara ekonomi adalah
anak yang sebagian besar waktunya berada dan/atau bekerja dan
hidup di jalanan. Menurut Pusdatin Kementerian Sosial RI, anak
jalanan pada tahun 2011 berjumlah 135.983 jiwa. Data lapangan
ditemukan anak yang sengaja menjadi pengamen di jalanan untuk
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

43

mendapatkan uang jajan. Berbagai penyebab anak harus berada di


jalan, diantaranya adalah karena orangtua (bapak meninggal dunia)
sehingga anak harus mencari sendiri kebutuhan hidupnya, karena
pencari kerja utama yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
hidup tidak ada lagi. Kemudian ditemukan juga anak yang terjebak
dalam perdagangan orang dan mengalami tindak kekerasan seksual.
Kemudian anak yang membutuhkan perlindungan khusus
lainnya adalah anak dengan disabilitas. Berdasarkan hasil Susenas
2006 dan 2009, bahwa persentase anak dengan disabilitas mengalami
kenaikan, baik dalam jumlah maupun persentase. Jumlah anak
dengan disabilitas pada tahun 2006 tercatat sebanyak 193,35 ribu
anak atau sekitar 0,26 persen dari jumlah anak. Sedangkan pada
tahun 2009 angka tersebut mengalami kenaikan dua kali lipat
menjadi 438,39 ribu anak atau 0,55 persen dari seluruh anak (Profil
PMKS, 2011:h.104).
Secara umum proporsi anak dengan disabilitas berdasarkan
jenisnya paling tinggi adalah disabilitas tubuh sebesar 31,71 persen,
diikuti anak disabilitas mental/tuna grahita sebesar 22,05 persen,
dan disabilitas wicara/bisu sebesar 13,75 persen. Sementara jenis
disabilitas rungu/tuli dan disabilitas jiwa merupakan yang paling
rendah dengan persentase masing-masing sebesar 5,16 persen dan
2,28 persen (Profil PMKS, 2011:h.103-106).
Beberapa hal yang saat ini sering juga didiskusikan adalah
banyaknya anak-anak yang terkena kasus-kasus yang mengakibatkan
anak tersebut mau tidak mau harus berhadapan dengan hukum. Anak
yang berhadapan dengan hukum merupakan salah satu dari anak
yang memerlukan perlindungan khusus. Kasus-kasus hukum yang
menjerat anak tidak terlepas dari berbagi persoalan yang ada, baik di
lingkungan keluarga, tetangga, teman sebaya (peers group), maupun
lingkungan sekolahnya. Berbagai kasus hukum yang menjerat anak
tersebut mulai dari kasus kriminal, eksploitasi, pelecehan seks

44

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

hingga penyalahgunaan zat adiktif dan tawuran pelajar, pelanggaran


lalu lintas, yang senyatanya masih berada pada jenjang tumbuh
kembang. Kasus itu bukanlah terjadi begitu saja, melainkan karena
ada faktor pemicu dan pemacunya. Mulai dari penyebab sangat
klasik, seperti desakan ekonomi (kemiskinan), dekadensi moral
yang dipicu dari tereduksinya kasih sayang orangtua (pengawasan
dan perhatian), hingga tekanan psikologis yang disebabkan manusia
dewasa dalam berbagai kasus yang menyertainya. Tidak ketinggalan
faktor kemudahan akses teknologi informasi memiliki andil besar
atas terjadinya kondisi yang mungkin dialami sebagian anak-anak
saat ini. Seperti juga yang terjadi pada kasus-kasus ABH yang
ditemukan dalam penelitian ini. Seorang anak harus berhadapan
dengan hukum karena perkenalannya yang secara singkat melalui
handphon dengan teman laki-lakinya, yang menyebabkan menjadi
korban tindak kekerasan seksual. Hal ini selain akses teknologi
yang semakin mudah, juga kurangnya pengawasan dan perhatian
orangtua sehingga anak lebih mudah melakukan apa yang dia
mau tanpa memperhatikan akibat negatif yang mungkin terjadi.
Kemudian anak yang harus melakukan kegiatan ekonomi karena
orangtua tidak mampu memenuhi kebutuhannya dan terjebak
dalam penjualan anak.
Secara konseptual Anak berhadapan dengan hukum adalah
anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban
tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anakanak tersebut berusia di bawah 18 tahun. Dalam Peraturan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI
Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Pedoman Umum Penanganan Anak
Yang Berhadapan Dengan Hukum, diperjelas, bahwa Anak yang
berhadapan dengan hukum termasuk korban, pelaku, dan saksi.
Berbagai permasalahan yang dihadapi ABH antara lain: (a) mereka
menghadapi proses persidangan dan dimasukkan dalam penjara; (b)
Seluruh ABH yang menjalani masa hukuman di Rumah Tahanan

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

45

tidak lagi melanjutkan sekolahnya; (c) Ruangan dan rumah tahanan


sangat tidak representatif untuk anak-anak karena ABH di rutan
bercampur dengan Napi dewasa; (d) ABH senantiasa mendapat
julukan/label dari masyarakat sebagai narapidana atau anak
nakal; (e) Kesadaran lembaga penegak hukum tentang pentingnya
perspektif anak dalam penanganan ABH dengan pendekatan
restoratif belum diselenggarakan sepenuhnya.
Menurut Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin, tercatat
ada 1.182 anak yang menjadi tahanan dan terjerat kasus asusila.
Jumlah ini berada di bawah tahanan anak, dan anak pidana yang
terjerat kasus pencurian sebanyak 1.957 orang, kasus narkotika 931
anak, kasus penganiayaan 358 anak dan kasus pembunuhan 224 anak.
Sedangkan berdasarkan kategori usia, masih didominasi anak-anak
berusia 17 dan 18 tahun. Namun ada enam orang tahanan anak yang
ada di kategori usia sekolah dasar (SD). Terdiri dari masing-masing
satu anak usia 9 dan 10 tahun serta empat anak usia 12 tahun, (http://
www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/07/23/mqdjhzmenkumham-kasus-asusila-di-kalangan-anak-sedang-tren.)
Sedangkan menurut data Komisi Nasional Perlindungan Anak
yang dilansir oleh Tempo online menyebutkan, bahwa tercatat 788
anak terjerat permasalahan hukum selama periode Januari hingga
Juli 2012. Sedangkan penyebab anak berhadapan dengan hukum
menurut Komnas Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa anak
yang berhadapan dengan hukum harus berada di kursi pesakitan
akibat melakukan berbagai jenis kejahatan, seperti pencurian,
kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan lainnya. Ketua
Komnas Perlindungan Anak, Arist M. Sirait dalam konferensi pers di
kantornya Senin, 23 Juli 2012 mengatakan; kemiskinan telah menjadi
akar utama permasalahan anak berhadapan dengan hukum, (http://
sosbud.kompasiana.com/2012/10/15/anak-dan-problematikabangsa-501440.html), 4 september 2013.

46

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

Komnas Perlindungan Anak juga mencatat sebanyak 774 kasus


anak yang berhadapan dengan hukum berasal dari kalangan ekonomi
bawah, 11 kasus dari kalangan menengah, dan tiga kasus berasal
dari kalangan atas. Jumlah tersebut sebagian besar adalah anak
dari keluarga miskin dan putus sekolah mencapai 420 kasus. http://
komnaspa.wordpreAni.com/2011/12/21/catatan-akhir-tahun-2011komisi-nasional-perlindungan-anak/.
Jumlah tersebut hanya jumlah yang tercatat pada instansiinstansi yang terkait dengan penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum dan instansi dan lembaga perlindungan anak, jumlah
yang dilaporkan oleh masyarakat maupun oleh lembaga-lembaga
yang menangani masalah anak. Jumlah tersebut bisa jadi akan lebih
banyak, karena banyak anak yang berhadapan dengan hukum, baik
pelaku maupun korban yang sengaja maupun karena ketidaktahuan
sehingga tidak dilaporkan kepada pihak yang seharusnya menangani
kasus tersebut.
Sebagai temuan lapangan ABH adalah secara konkrit masalah
anak berhadapan dengan hukum dari hasil studi kasus terhadap
empat orang informan ABH yaitu dua orang anak laki-laki sebagai
pelaku masing-masing Andi (bukan nama sebenarnya) pelaku
pencurian, dan Udin (bukan nama sebenarnya) pelaku tawuran,
perkelahian, bentrok dengan guru, dan dua orang anak perempuan
sebagai korban masing-masing Lia (bukan nama benarnya) korban
pelcehan seksual (percobaan perkosaan oleh pacar) dan Ani (bukan
nama sebenarnya) pelecehan seksual (pemerkosaan oleh kakak ipar)
dan perdagangan anak yang dilakukan oleh teman sekolahnya.
Dari hasil wawancara dengan anak, orangtua dan pendamping,
gambaran kasus ABH yang ditemukan di lapangan adalah seperti
kasus yang menimpa Udin, kasus pemukulan dan rentan berhadapan
dengan hukum, akibat dari kenakalan anak. Keluarga Udin tinggal
di lingkungan yang sering terjadi tawuran anak-anak sekolah dan

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

47

anak-anak yang disebut sebut sebagai anak kampung. Menurut


orangtuanya, Udin sering terpancing dengan ajakan temannya,
sehingga dikhawatirkan akan terlibat kasus dengan kepolisian.
Sampai saat ini Udin tidak mau lagi sekolah dan diarahkan ibunya
untuk bekerja.
Kemudian kasus pelecehan seksual dan perdagangan orang yang
dialami oleh Lia. Lia saat itu berusia 12 tahun mengalami dua kali
kasus; Pertama, kasus perkosaan oleh kakak iparnya dan kasus kedua
pelecehan seksual dan perdagangan orang oleh teman sekolahnya
(SMP). Lia terkecoh dengan janji yang diberikan temannya, teman
sekolahnya menawarkan pekerjaan, Lia tertarik dan dibawa ke
tempat yang telah dijanjikan sebagai pekerjaan, ternyata Lia dijual
temannya untuk menjadi pelayan orang dewasa. Ketertarikan Lia
dengan tawaran pekerjaan yang ditawarkan temannya karena Lia
membutuhkan uang jajan yang ia rasakan masih kurang diberikan
orangtuanya. Orangtuanya mengakui, tidak pernah tau kalau
anaknya ditawarkan pekerjaan oleh temannya.
Selanjutnya adalah pencurian, Andi sebagai pelaku pencurian
saat ini masih sekolah di SMP kelas 1(satu). Menurut orangtuanya,
andi merupakan anak baik, penurut, dan rajin belajar. Kegiatan
sehari-hari yang dilakukan Andi setelah pulang sekolah hanya
belajar, main di sekitar rumah dan pada malam harinya (kecuali
malam Sabtu) belajar mengaji di Masjid. Hal seperti ini dilakukan
Andi sejak sebelum terjadi masalah hukum yang menimpanya. Saat
Andi terlibat kasus hukum masih bersekolah di kelas 5 SD. Masalah
hukum yang terjadi pada Andi adalah masalah pencurian, yang
sebenarnya dilakukan oleh salah seorang temannya. Namun karena
saat itu Andi bersama dengan temannya yang melakukan pencurian,
maka Andi juga ikut terkena imbasnya. Andi bersama temannya
disidang oleh pemuka kampung untuk diadili.
Kemudian kasus selanjutnya merupakan pelecehan seksual yang
dialami oleh Ani. Ani anak ketiga dari tiga bersaudara. Menurut

48

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

Ani kronologis kejadian adalah pada saat itu Ani berkenalan


dengan seorang laki-laki melalui ponsel, setelah beberapa kali saling
telephon, Ani menjalin pertemanan bersama pelaku, sampai pada
akhirnya keduanya sepakat tidak saja hanya sebagai teman, tetapi
bersahabat dekat (pacaran). Pada satu kesempatan, Ani diajak jalanjalan ke rumah pelaku, saat itu situasi di rumah pelaku sepi, tidak ada
orang. Ani dibuatkan minuman oleh pelaku, setelah Ani meminum
minuman yang dihidangkan pelaku, tiba-tiba Ani merasa pusing, dan
saat itu pelaku mencoba memperkosa Ani.
Kemudian salah satu permasalahan anak membutuhkan
perlindungan khusus lainnya yang ditemukan di lapangan adalah
Anak dengan HIV/AIDS (ADHA).
Secara umum masalah yang dihadapi anak dengan HIV/AIDS
(ADHA) bersumber pada 2 (dua) pihak secara bersamaan. Pertama,
bersumber dari anak dan keluarga anak itu sendiri, Masalah yang
bersumber dari anak terkait dengan stabilitas atau daya tahan
mental (aspek psikologis) anak sebagai penyandang masalah. Hal
ini sekaligus terkait dengan kemampuan keluarga anak dalam
memberikan dukungan kepada anak (baik dukungan sosial,
emosional, dan ekonomi). Dukungan ini sekaligus tercermin dalam
pola pengasuhan yang diterapkan keluarga terhadap anak sebagai
penyandang masalah. Kedua, bersumber dari masyarakat sekitar
anak dan keluarga anak itu. Masalah yang bersumber dari masyarakat
sekitar terkait dengan pengetahuan, persepsi, sikap dan atau perilaku
masyarakat lingkungan sekitar anak dan keluarga sehubungan
dengan statusnya sebagai penyandang HIV/AIDS. Masalah
uatamanya adalah stigma yang berkembang di tengah masyarakat
yang kemudian tercermin dalam sikap dan perilaku aktual dalam
bentuk prasangka dan diskriminasi. Stigma berkembang di tengah
masyarakat dalam bentuk pemberian cap atau label negatif kepada
anak dan penyandang HIV/AIDS dan keluarganya didasarkan pada
penilaian subjektif. Sebenarnya kata orang sih, tidak menular kalau
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

49

cuma berteman biasa. Tapi kita tetap takut, buktinya anak itu tertular
dari orangtuanya. Jadi kita tetap aja was-was menjaga diri, demikian
pengakuan seorang tetangga anak yang menjadi informan.
Dari hasil wawancara dengan pendamping, gambaran kasus anak
terinfeksi HIV/AIDS adalah sebagai berikut:
Pada bulan Maret klien opname di rumah sakit selama dua
minggu. Di rumah sakit ini klien diperiksa penyakit dan gejala
penyakit lainnya. Orangtua setuju anaknya diperiksa HIV. Orangtua
tidak menduga anaknya positif HIV, karena anak pertama dan kedua
hasilnya negatif. Namun orangtua baru menyadari ketika melahirkan
klien, saat itu mereka sudah positif HIV. Keluarga lain tidak ada yang
tahu kecuali orangtua klien, bahkan klien saja tidak mengetahui
bahwa mereka menderita HIV/AIDS.
Dahulu ayah klien sering mabuk-mabukan dan masuk penjara.
Dua tahun yang lalu keluar dari penjara. Setelah keluar dari penjara
ayah klien sudah tobat dan sekarang ayah banyak berdiam di rumah.
Ketika ada orang yang menawarkan kerjaan serabutan ia kerjakan.
Isteri yang menderita sakit HIV saat ini tetap bekerja untuk
kebutuhan hidup dalam keluarganya.
Kasus klien di atas, anak terinfeksi melalui ibunya. Dan ibu
terkena karena bapaknya yang suka mabuk-mabukan dan pernah
masuk penjara. Jadi permasalahan tidak hanya dialami anak tetapi
juga orangtua. Selanjutnya penilaian subjektif ini menghambat
proses tumbuh kembang anak secara maksimal karena masyarakat
cenderung membatasi diri dalam interaksi sosialnya. Secara langsung
atau tidak langsung, sadar atau tidak disadari, anak menjadi sulit
mengakses layanan sosial yang dibutuhkan, bahkan mengalami
pengucilan dalam pergaulannya. Kondisi ini terungkap dari
pengakuan seorang nenek yang merawat cucunya yang mengalami
HIV/AIDS, sebagai berikut:

50

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

Kalo sepintas sih gak ada masalah, mereka baik-baik aja melihat
cucu saya, tapi sebagai neneknya, saya kan bisa merasakan. Gimana ya,
mereka agak jaga jarak, ngomong seperlunya, dan kayak dibuat-buat,
gitu lo mas.

Pada saat yang bersamaan stigma dan diskriminasi ini


menimbulkan ketidakadilan terhadap ODHA dan keluarganya
sekaligus mempengaruhi kapasitas individu ADHA, keluarga, dan
masyarakat, bahkan menjadi menghadapi akibat epidemi ini.
Berdasarkan wawancara dengan sejumlah informan dan didukung
dengan hasil diskusi kelompok, permasalahan ini terjadi karena
beberapa hal seperti: (1) ketidaktahuan (keterbatasan) masyarakat
akan informasi HIV/AIDS secara utuh; (2) berkembangnya mitosmitos tertentu tentang HIV di masyarakat; (3) adanya ketakutan
irasional akan tertular HIV/AIDS; dan (4) HIV/AIDS sering
dikaitkan dengan isu-isu moral.
Lebih jauh hal ini mempengaruhi pemahaman anak dan
keluarganya akan dirinya sendiri sehingga pada sisi tertentu merasa
cap buruk yang diberikan kepadanya sudah sewajarnya diterima
sebagai suatu kenyataan, merasa malu, dan rendah diri. Perasaan ini
membawa tekanan psikologis, sehingga pada saat tertentu keluarga
cenderung merahasiakan keberadaan anak dengan penyakitnya. Hal
ini dikemukakan oleh informan masyarakat lingkungan (tetangga)
seorang ADHA yaitu:
..... sebenarnya apa sih penyakit anak itu pak, kok bisa dapat bantuan
khusus dari negara. Soalnya kalau mereka ditanya, jawabannya suka
berubah-ubah.

Sikap tertutup ini juga ditunjukkan keluarga ADHA kepada


penulis selaku peneliti dengan melarang memotret anak yang
menderita HIV/AIDS dengan menyatakan:

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

51

..... wah jangan difoto mas, takutnya beredar kemana-mana, makin


banyak yang tahu masalah ini, kan makin gede bebannya?.

Situasi umum ini mencerminkan kompleksitas permasalahan


anak dengan HIV/AIDS yang dialami anak bersama keluarganya.
Dalam suasana kekalutan seperti ini PKSA hadir di tengah
masyarakat dengan mengandalkan tenaga pendamping sebagai
ujung tombaknya.
Berdasarkan observasi dan wawancara, diketahui bahwa ADHA
pada umumnya terinfeksi dari orangtuanya. Orangtua ADHA
yang juga penderita AIDS pada umumnya tidak lengkap. Dengan
demikian ADHA mempunyai status yatim, piatu, dan yatim piatu.
Dengan demikian pengasuhan berlangsung timpang karena
dilaksanakan oleh orangtua yang tidak utuh atau bahkan orangtua
pengganti seperti nenek-kakek atau anggota kerabat lainnya yang
pada umumnya juga mempunyai latar belakang kemiskinan.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa, masih banyak anakanak yang belum dapat terpenuhi hak-haknya dalam mendapatkan
perlindungan baik oleh orangtua maupun lembaga. Hal ini akibat dari
keterbatasan orangtua maupun lembaga yang berkewajiban memberi
perlindungan. Keterbatasan lembaga terlihat dari keterbatasan SDM,
baik kuantitas maupun kwalitas, sarana prasarana, dan dana.
B. Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak
1. Kebijakan Kesejahteraan, dan Perlindungan di Indonesia
Gambaran Umum Perlindungan Sosial
Mengacu pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
Negara Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state).
Sejalan dengan hal ini, bagi Indonesia proses bernegara dan
berbangsa dimaksudkan untuk menciptakan kesejahteraan bagi
warganya. Ini berarti bahwa para pemimpin, pembuat kebijakan,

52

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

dan siapa saja yang tergerak membangun Indonesia harus


menengok dan memperkuat konsepsi manajemen pemerintahan
berdasarkan tujuan negara yang digagas oleh para pendiri bangsa
dan negara (Suharto, 2006), sebagaimana tercantum dalam
pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 ..... melindungi segenap
bangsa dan tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum,
dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih jauh (Suharto,
2006) menjelaskan, sebagai negara kesejahteraan, Indonesia
harus fokus pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial
yang melembaga bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya
hak kewarganegaraan (right of citizenship) di satu pihak dan
kewajiban negara di lain pihak (state obligation).
Perlindungan dan jaminan sosial merupakan hak setiap
warga negara sebagai mana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal
27 Ayat 2: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Lebih jauh Pasal 34
Ayat 2 Perubahan UUD 1945 Tahun 2002 menyatakan bahwa,
Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat ....... Beberapa pasal lain di dalam UUD 1945 lebih
mempertegas pentingnya penghidupan yang layak bagi setiap
warga negara, misalnya: Pasal 31 ayat 1 Tiap-tiap warga negara
berhak mendapat pendidikan. Pasal 34 ayat 1 Fakir miskin dan
anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Perlindungan Sosial di Indonesia
Sebagaimana dijelaskan oleh Yohandarwati, dkk. (2003)
gambaran umum sistem perlindungan dan jaminan sosial yang
ada di Indonesia diawali oleh adanya beberapa permasalahan
pokok, yaitu:
a. Belum adanya kepastian perlindungan dan jaminan sosial
untuk setiap penduduk (WNI) agar dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya sebagaimana yang diamanatkan dalam

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

53

Perubahan UUD 1945 tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu


Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh
rakyat. Perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini
belum mampu mencakup seluruh warga negara Indonesia
termasuk anak dengan disabilitas.
b. Belum adanya satu lembaga dan peraturan perundangundangan yang melandasi pelaksanaan sistem perlindungan
dan jaminan sosial yang berlaku secara universal bagi seluruh
warga Negara Indonesia. Pelaksanaan masing-masing jenis
perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini masih
dilandasi oleh UU dan atau PP yang berbeda-beda. Hal
ini menyebabkan skema perlindungan dan jaminan sosial
yang ada masih terpisah-pisah dan bahkan tumpang tindih,
sehingga benefit (kuantitas dan kualitas) yang diperoleh juga
masih terbatas.
Saat ini memang sudah ada Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial atau BPJS. Lembaga ini dibentuk untuk menyelenggarakan
program jaminan sosial di Indonesia menurut Undang Undang
Nomor 40 Tahun 2004 dan Undang Undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Sesuai Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional, BPJS merupakan badan hukum
nirlaba. Berdasarkan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011,
BPJS akan menggantikan sejumlah lembaga jaminan sosial yang
ada di Indonesia yaitu lembaga asuransi jaminan kesehatan
PT Askes, dan lembaga jaminan sosial ketenagakerjaan PT
Jamsostek. Transformasi PT Askes dan PT Jamsostek menjadi
BPJS dilakukan secara bertahap. Pada awal tahun 2014, PT Askes
akan menjadi BPJS Kesehatan, selanjutnya pada 2015 giliran PT
Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan.
Lembaga ini bertanggung jawab terhadap Presiden. BPJS
berkantor pusat di Jakarta, dan bisa memiliki kantor perwakilan
di tingkat provinsi serta kantor cabang di tingkat kabupaten/

54

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

kota. Setiap warga negara Indonesia dan warga asing yang sudah
berdiam di Indonesia selama minimal enam bulan wajib menjadi
anggota BPJS. Ini sesuai Pasal 14 UU BPJS. Setiap perusahaan
wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai anggota BPJS. Sedangkan
orang atau keluarga yang tidak bekerja pada perusahaan wajib
mendaftarkan diri dan anggota keluarganya pada BPJS. Setiap
peserta BPJS akan ditarik iuran yang besarnya ditentukan
kemudian. Sedangkan bagi warga miskin, iuran BPJS ditanggung
pemerintah melalui program bantuan iuran. Menjadi peserta
BPJS tidak hanya wajib bagi pekerja di sektor formal, namun juga
pekerja informal. Pekerja informal juga wajib menjadi anggota
BPJS Kesehatan. Para pekerja wajib mendaftarkan dirinya dan
membayar iuran sesuai dengan tingkatan manfaat yang diinginkan.
Jaminan kesehatan secara universal diharapkan bisa
dimulai secara bertahap pada 2014, dan pada 2019 diharapkan
seluruh warga Indonesia sudah memiliki jaminan kesehatan
tersebut. Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi menyatakan BPJS
Kesehatan akan diupayakan untuk menanggung segala jenis
penyakit namun dengan melakukan upaya efisiensi. Ini berarti
bahwa hingga saat ini perlindungan sosial sebagai serangkaian
hak dasar dan bantuan sosial langsung yang memungkinkan
dan memberdayakan semua anggota masyarakat untuk dapat
mengakses barang dan jasa minimum kapan saja belum
terlaksana di Indonesia. Secara ekplisit kenyataan di lapangan
masih menunjukkan belum semua warga memiliki akses
terhadap perawatan kesehatan pokok dan pendidikan, belum
semua anak mendapatkan jaminan untuk memastikan akses
terhadap nutrisi, pendidikan, dan pengasuhan.
2. Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan
Sosial Anak di Indonesia
Untuk merespon masalah/isu-isu tentang anak, berbagai
kebijakan telah dikeluarkan Pemerintah sebagai dasar dalam
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

55

mewujudkan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan bagi


anak Indonesia yang diawali oleh Pancasila dan UUD RI 1945
sebagaimana telah diuraikan di atas. Lebih spesifik lagi yaitu
Undang Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak. Undang-undang ini mengatur tentang kesejahteraan anak,
usia anak, hak anak termasuk hak anak yang tidak mempunyai
orangtua, anak yang tidak mampu, anak yang mengalami masalah
kelakuan, dan anak cacat. Undang-undang ini juga mengatur
tentang tanggung jawab orangtua terhadap kesejahteraan anak,
dan usaha kesejahteraan anak.
Selanjutnya, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak
(KHA) melalui Keputusan Presiden RI Nomor 36/1990, pada
25 Agustus 1990, dan sesuai ketentuan dalam KHA, tiga puluh
hari kemudian KHA berlaku di Indonesia yakni mulai tanggal
5 Oktober 1990. Konsekuensi dari mengadopsi dan meratifikasi
KHA adalah Masyarakat, Bangsa, dan Negara Indonesia wajib
mengakui dan memenuhi hak-hak Anak yang dirumuskan
dalam KHA. Dalam wacana HAM, Anak (manusia) sebagai
pemegang hak; sedang Negara adalah pihak yang berkewajiban
memenuhi hak anak. Negara-negara peserta ratifikasi, akan
mengambil semua langkah legislatif, administratif, dan lain
sebagainya. Untuk mengimplementasikan KHA, di Indonesia
ditandai dengan lahirnya Undang Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tanggal 22 Oktober 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Sebagai tindak lanjut dari kebijakan tersebut dibentuk Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang independent
(Pasal 74 UU PA).
Prinsip-prinsip umum KHA yaitu non diskriminasi,
menghargai pendapat anak, kepentingan terbaik bagi anak, dan
hak hidup; kelangsungan hidup; perkembangan (UU PA Pasal
2). Hak anak dalam KHA meliputi: hak sipil dan kebebasan

56

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

fundamental, hak kesehatan, gizi, air dan sanitasi lingkungan,


hak lingkungan keluarga dan perawatan alternatif, hak
pendidikan, waktu bersantai dan main & kegiatan budaya, dan
hak perlindungan khusus. Dalam hal ini anak adalah sebagai
pemangku hak yang bertanggung jawab untuk bertindak dan
menyatakan hak-hak mereka; dan Negara sebagai pengemban
tugas yang bertanggung jawab untuk bertindak dan memenuhi/
melindungi/menghormati hak-hak pemangku hak. Dalam
undang-undang ini dijelaskan Peran Keluarga yaitu: keluarga
paling berkewajiban mengakui dan memenuhi hak-hak anak,
keluarga berada pada posisi sentral dan utama dalam memberikan
perlindungan pada anak, keluarga adalah lingkungan terdekat
bagi anak dan keluargalah yang paling mengenali kebutuhan
dan kondisi anak (Pasal 26 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak); Peran Masyarakat yaitu: Masyarakat
berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan
dalam perlindungan anak, peran masyarakat dilakukan oleh
orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga
sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga
pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media
massa, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Pasal 72 UU Nomor 23
Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak); dan Peran Pemerintah
yaitu: bertanggung jawab atas pelaksanaan tahapan pada aspek
legislatif, administratif, dan lainnya dengan memaksimalkan
sumber yang ada, bertanggung jawab dalam hal pembuatan
laporan kepada PBB dan masyarakat, dan bertanggung jawab
untuk melakukan diseminasi KHA baik kepada semua pihak
termasuk anak-anak.
Pada tahun 2009 lahir Undang Undang RI Nomor 11
Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial yang mengatur
penyelenggaraan kesejahteraan sosial, penanggulangan

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

57

kemiskinan, tanggung jawab dan wewenang pemerintah dan


pemerintah daerah, sumber daya penyelenggaraan kesejahteraan
sosial, peran masyarakat, pendaftaran dan perizinan lembaga
kesejahteraan sosial, akreditasi dan sertifikasi, pembinaan
dan pengawasan serta pemantauan dan evaluasi. Undangundang ini juga mengatur bahwa Negara bertanggung jawab
atas penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Pada Pasal 6
diamanatkan bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial
ditujukan kepada: 1) perseorangan; 2) keluarga; 3) kelompok;
4) dan/atau masyarakat. Penyelenggaraan sejahteraan sosial
diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang
tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah
sosial yaitu: kemiskinan; ketelantaran; kecacatan; keterpencilan;
ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; korban bencana;
dan/atau korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi: rehabilitasi sosial;
jaminan sosial; pemberdayaan sosial; dan perlindungan sosial.
Salah satu respon pemerintah terhadap pemecahan masalah
Balita Terlantar adalah melalui pengangkatan anak. Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, mengenai
Pengangkatan Anak dalam PP ini adalah suatu perbuatan hukum
yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan
orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak
tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkat. PP ini
juga mengatur tentang jenis pengangkatan anak, syarat-syarat
pengangkatan anak, tata cara pengangkatan anak, bimbingan
dalam melaksanakan pengangkatan anak, pelaksanaan
pengawasan pengangkatan anak, dan pelaporan. Secara lebih rinci
persyaratan pengangkatan anak diatur melalui Peraturan Menteri
Sosial Republik Indonesia Nomor 110/HUK/2009. Selanjutnya
untuk operasionalisasi perlu dibentuk suatu tim yang diatur

58

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

dengan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 37/


HUK/2010 tentang Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan
Anak Pusat. Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak
Pusat yang selanjutnya disebut Tim PIPA Pusat adalah Tim yang
memberikan pertimbangan kepada Menteri dalam memberikan
izin pengangkatan anak yang dilaksanakan antara Warga Negara
Indonesia dengan Warga Negara Asing atau pengangkatan anak
yang salah satu Calon Orangtua Angkat Warga Negara Asing atau
pengangkatan anak oleh orangtua tunggal. Tim Pertimbangan
Perizinan Pengangkatan Anak Daerah yang selanjutnya disebut
Tim PIPA daerah adalah Tim yang memberikan pertimbangan
kepada gubernur c.q. kepala instansi sosial dalam memberikan
izin pengangkatan anak yang dilaksanakan antar Warga negara
Indonesia.
Respon terhadap masalah pengasuhan anak di dalam panti
atau lembaga kesejahteraan sosial (LKSA), Kementerian Sosial
Republik Indonesia telah menetapkan standar pengasuhan
melalui Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor
30/HUK/2011 tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak
untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial. Permen ini mengatur
tentang prinsip-prinsip utama pengasuhan alternatif untuk
anak, standar penentuan respon yang tepat bagi anak
(standar peran LKSA dalam pelayanan bagi anak dan standar
perencanaan pengasuhan), standar pelayanan pengasuhan
(standar pendekatan awal dan penerimaan rujukan, standar
pelayanan pengasuhan oleh LKSA, standar pelayanan berbasis
LKSA, standar pelaksana pengasuhan dan standar evaluasi dan
pengakhiran pelayanan), standar kelembagaan yang mencakup
visi, misi, perizinan, dan fasilitas. Untuk masalah kesehatan
bagi anak terlantar dalam panti, Kementerian Kesehatan telah
mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1259/Menkes/SK/XII/2009 tentang Program Jamkesmas bagi

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

59

Penghuni Panti Sosial, Korban Bencana dan Penghuni Lapas


dan Rutan. Sebagai petunjuk pelaksanaanya, pada tahun 2011
dikeluarkan Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Panti oleh
Direktorat Bina Kesehatan Anak, Direktorat Jenderal Bina Gizi
dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kementerian Kesehatan.
Dalam merespon akses kesehatan anak dan remaja, Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun tahun 2009
tentang Kesehatan telah mengatur tentang kesehatan anak dan
remaja (Pasal 128 s/d Pasal 137) yang menjelaskan: (1) Setiap
bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan
selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis; (2) Selama
pemberian air susu ibu, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh
dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus; dan (3) Penyediaan
fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di
tempat kerja dan tempat sarana umum (Pasal 128). Selanjutnya
Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam
rangka menjamin hak bayi untuk mendapatkan air susu ibu secara
eksklusif (Pasal 29) dan Pemerintah wajib memberikan imunisasi
lengkap kepada setiap bayi dan anak (Pasal 30).
Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus
ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan datang
yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan
angka kematian bayi dan anak. Upaya pemeliharaan kesehatan
anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan,
setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.
Pada ayat (3) upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi
tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi orangtua, keluarga,
masyarakat, dan pemerintah, dan pemerintah daerah (Pasal
131). Anak yang dilahirkan wajib dibesarkan dan diasuh secara
bertanggung jawab sehingga memungkinkan anak tumbuh

60

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

dan berkembang secara sehat dan optimal. Setiap anak berhak


memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan yang
berlaku untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat
dihindari melalui imunisasi (Pasal 132).
Selanjutnya setiap bayi dan anak berhak terlindungi
dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi dan tindak
kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya. Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban untuk
menjamin terselenggaranya perlindungan bayi dan anak dan
menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
(Pasal 133). Pemerintah berkewajiban menetapkan standar dan/
atau kriteria terhadap kesehatan bayi dan anak serta menjamin
pelaksanaannya dan memudahkan setiap penyelenggaraan
terhadap standar dan kriteria tersebut. Standar dan/atau kriteria
dimaksud harus diselenggarakan sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai agama, dan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan (Pasal 134).
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib
menyediakan tempat dan sarana lain yang diperlukan untuk
bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh dan
berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara
sehat. Tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan dimaksud
wajib dilengkapi sarana perlindungan terhadap risiko kesehatan
agar tidak membahayakan kesehatan anak (Pasal 135). Demikian
pula Upaya pemeliharaan kesehatan remaja harus ditujukan
untuk mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehat dan
produktif, baik sosial maupun ekonomi. Upaya pemeliharaan
kesehatan remaja dimaksud, termasuk untuk reproduksi remaja
dilakukan agar terbebas dari berbagai gangguan kesehatan yang
dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi
secara sehat dan dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat (Pasal 136).
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

61

Pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat


memperoleh edukasi, informasi, dan layanan mengenai
kesehatan remaja agar mampu hidup sehat dan bertanggung
jawab. Pada ayat (2) Ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah
dalam menjamin agar remaja memperoleh edukasi, informasi,
dan layanan mengenai kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai,
agama, dan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan (Pasal 137).
Respon terhadap akses pendidikan anak dan remaja,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Pendidikan Nasional, telah mengatur mengenai Hak dan
Kewajiban Warga Negara. Pada undang-undang ini diamanatkan,
bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu. Warga negara yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau
sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Warga negara di
daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Setiap warga
negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan
sepanjang hayat (Pasal 5). Setiap warga negara yang berusia tujuh
sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
penyelenggaraan pendidikan (Pasal 6).
Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum
jenjang pendidikan dasar. Pendidikan anak usia dini dapat
diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/
atau informal. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan
formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal
(RA), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia
dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok

62

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain


yang sederajat. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan
informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang
diselenggarakan oleh lingkungan (Pasal 28).
Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang
terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial,
dan tidak mampu dari segi ekonomi (Pasal 32).
Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI, Menteri Agama RI, Menteri Sosial RI, dan
Menteri Dalam Negeri RI Nomor 0318/P/1984, Nomor 43/HUK/
KEP/VII/1984 tentang Bantuan terhadap Anak Kurang Mampu,
Anak dengan Kecacatan, dan Anak bertempat tinggal di daerah
Terpencil dalam rangka pelaksanaan Wajib Belajar.
Respon terhadap masalah/isu anak jalanan, telah
diatur dalam Kesepakatan Bersama antar: Kementerian
Sosial Republik Indonesia, Kementerian Dalam Negeri RI,
Kementerian Pendidikan Nasional RI, Kementerian Kesehatan
RI, Kementerian Agama RI, Kementerian Hukum dan HAM
RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak RI, dan Kepolisian RI tentang Peningkatan Kesejahteraan
Sosial Anak Jalanan. Kesepakatan bersama ini bertujuan untuk
meningkatkan koordinasi dalam upaya penanganan dan
peningkatan kesejahteraan sosial anak jalanan yang berbasis hak
anak. Pada kesepakatan bersama ini diatur tentang tugas dan
tanggung jawab pihak-pihak yang bersepakat.

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

63

Bagi penanganan anak dengan disabilitas dasar hukumnya


tidak ada secara khusus tetapi sama dengan penyandang
disabilitas secara umum yaitu Undang Undang Nomor 4 Tahun
1979 Tentang Penyandang Cacat dan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2011 Tentang Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas. Belum ada kebijakan yang mengatur secara khusus
anak dengan disabilitas.
Perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum
telah diatur melalui Kesepakatan Bersama antara Direktur
Jenderal PRS Departemen Sosial RI dengan Direktur Jenderal
PAS Departemen Hukum dan HAM RI Nomor 20/PRS-2/
KEP/2005, tentang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Didik
Pemasyarakatan dan Kesepakatan Bersama Menteri Sosial RI,
Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Pendidikan Nasional,
Menteri Kesehatan RI, Menteri Agama RI, Kepolisian Negara
RI Nomor: 12/PRS-2/KPTS/2009, Nomor M.HH.04.MH.0302.
Tahun 2009; Nomor 11/XII/2009; Nomor 1220/Menkes/SKB/
XII/2009; Nomor 06/XII/2009; Nomor B/43/XII/2009, tentang
Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan
dengan Hukum. Pengadilan bagi anak berhadapan dengan
hukum telah diatur oleh Undang Undang RI Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-undang
ini diantaranya mengatur tentang keadilan restoratif, diversi, dan
acara peradilan anak.
Yang dimaksud Keadilan Restoratif adalah penyelesaian
perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan
bukan pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian
perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana. Selanjutnya Kementerian Pemberdayaan

64

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

Perempuan dan Perlindungan Anak juga mengaturnya melalui


Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak RI Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pedoman
Umum Penanganan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum.
Bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus (AMPK)
secara spesifik belum ada kebijakan yang mengaturnya. Dalam
penanganannya berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku umum untuk semua usia seperti: Pertama,
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Undang-undang ini melarang kekerasan
baik fisik, psikologis, maupun seksual dalam rumah tangga
termasuk terhadap orang yang bekerja dalam rumah tangga, dan
memberikan sanksi bagi para pelanggarnya. Pembantu rumah
tangga termasuk pihak yang dilindungi oleh undang-undang
ini (pasal 2). Kedua, Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Perdagangan Manusia. Kebijakan ini memberikan dasar
hukum bagi pelarangan perdagangan manusia termasuk anak.
Disamping itu memberikan kekuatan bagi para aparat penegak
hukum untuk mengivestigasi dan menuntut para pelanggar
berbagai bentuk perdagangan manusia. Ketika seorang korban
adalah anak-anak, maka kebijakan ini menambahkan 1/3 sanksi
tambahan (ayat 17). Undang-undang ini juga memberikan
layanan perlindungan sangsi.
Respon Kementerian/Lembaga lainnya terkait dengan
pekerja anak yaitu Undang Undang Republik Indonesia Nomor
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada Bab sembilan
mengatur tentang perlindungan, pengupahan, dan kesejahteraan
yaitu pengusaha dilarang mempekerjakan anak (pasal 68) dan
dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas)
tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan
pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan
dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Pengusaha yang
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

65

mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan harus memenuhi


persyaratan: a) izin tertulis dari orangtua atau wali, b) perjanjian
kerja antara pengusaha dengan orangtua atau wali, c) waktu
kerja minimal 3 jam, d) dilakukan pada siang hari dan tidak
mengganggu waktu sekolah, e) keselamatan dan kesehatan kerja,
f) adanya hubungan kerja yang jelas, dan g) menerima upah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Kecuali bagi anak yang bekerja
pada usaha keluarganya. Selanjutnya pasal 75 mengamanatkan
Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan
anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Maksudnya adalah
untuk menghapuskan atau mengurangi anak yang bekerja di luar
hubungan kerja. Upaya ini harus dilakukan secara terencana,
terpadu, dan terorganisasi dengan instansi terkait.
Respon terhadap isu perkawinan dini, Undang Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 6 mengamanatkan untuk melangsungkan perkawinan
seseorang yang belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun harus
mendapat izin kedua orangtua, dan pasal 7 mengatur bahwa
perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai usia 16
(enam belas) tahun.
Dalam rangka pemenuhan hak sipil, Peraturan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pedoman
Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran Dalam Rangka
Perlindungan Anak. Pedoman ini dimaksudkan untuk menjadi
panduan bagi pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan
masyarakat dalam melaksanakan percepatan kepemilikan Akta
Kelahiran bagi anak Indonesia. Dalam melaksanakan pedoman
ini Deputi Bidang Perlindungan Anak membentuk Forum
Koordinasi Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran dan forum
ini menyelenggarakan rapat koordinasi secara berkala, sekurang-

66

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

kurangnya 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) tahun yang diikuti oleh


anggota Forum Koordinasi wakil dari kementerian/lembaga
terkait.
Pemenuhan Hak Sipil Anak dimana setiap anak berhak atas
identitas diri yang diwujudkan dalam bentuk Akta Kelahiran
yang merupakan Hak Dasar Anak oleh undang-undang
diatur dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan yang mewajibkan setiap penduduk
untuk melaporkan peristiwa kependudukan termasuk kelahiran
anak kepada instansi yang melaksanakan pelayanan dalam
urusan administrasi kependudukan, serta mengamanatkan
Pemerintah untuk melakukan pelayanan pencatatan sipil dengan
mengeluarkan Akta Kelahiran. Pada pelaksanaan undangundang ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
2007 tentang pelaksanaan Undang Undang Nomor 23 tentang
Administrasi Kependudukan. Berhubung di masyarakat masih
banyak anak-anak Indonesia yang belum memiliki akta kelahiran,
maka pada tahun 2012 Kemnterian KPP-PA mengeluarkan
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Nomor 06 Tahun 2012 tentang Pedoman
Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran Dalam Rangka
Perlindungan Anak. Pedoman ini dimaksudkan untuk menjadi
panduan bagi pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, dan
masyarakat dalam melaksanakan percepatan kepemilikan akta
kelahiran bagi anak Indonesia.
3. Kebijakan Provinsi dan Kabupaten/Kota
Pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak di
daerah baik di provinsi maupun kabupaten/kota seyogyanya
diatur melalui Peraturan Daerah (Perda). Namun belum semua
kebijakan pusat atau di tingkat nasional ditindaklanjuti di
daerah provinsi, apalagi di tingkat kabupaten/kota. Berdasarkan

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

67

hasil penelitian di tiga lokasi sampel, Provinsi Nanggroe Aceh


Darussalam sudah menindaklanjuti Undang Undang Nomor 23
Tahun 2002 dengan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Perlindungan Anak, dan peraturan perundang-undangan
lainnya yang dapat dijadikan acuan didalam membuat kebijakan
kesejahteraan dan perlindungan anak.
Untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta khusus
kesejahteraan dan perlindungan anak secara umum belum ada,
tetapi sudah ada kebijakan khusus untuk anak yang hidup di jalan
yaitu Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Anak yang
Hidup di Jalan. Peraturan ini mengatur tugas dan kewenangan
pemerintah daerah, pelaksanaan perlindungan anak yang
hidup di jalan yang meliputi upaya perlindungan, pencegahan,
penjangkauan, dan upaya pemenuhan hak-hak (identitas, hak
pengasuhan, kebutuhan dasar, kesehatan, pendidikan dan hak
mendapatkan bantuan dan perlindungan hukum). Disamping
itu juga mengatur kewajiban anak, Lembaga Kesejahteraan
Sosial, Forum Perlindungan Anak yang hidup di Jalan.
Operasionalisasinya diatur melalui Peraturan Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta Nomor 31 Tahun 2012 Tentang Tata Cara
Penjangkauan dan Pemenuhan Hak Anak yang Hidup di Jalan,
mengatur tata cara penjangkauan (pembentukan tim, pemetaan,
dan pendataan), pemenuhan hak anak (penempatan, pelayanan
hak anak), penelusuran keluarga, pengembalian ke keluarga asal
dan pengawasan. Mengenai keanggotaaan forum diatur melalui
Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 181/
KEP/2012 Tentang Pembentukan Forum Perlindungan Anak
yang Hidup di Jalan mengatur tentang keanggotaan forum dan
tugas forum yaitu melaksanakan koordinasi antar lembaga dalam
upaya perlindungan anak yang hidup di jalan yaitu: 1) melakukan
koordinasi dengan Dinas/Instansi/Lembaga/Yayasan terkait
dalam pemenuhan hak-hak anak sesuai dengan bidang tugas

68

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

masing-masing, 2) menyiapkan bahan dan merumuskan konsep


kebijakan berkaitan dengan penanganan dan pelayanan anak
yang hidup di jalan, 3) menerima laporan program dan kegiatan
perlindungan anak yang hidup di jalan, 4) menyebarluaskan
informasi dan peraturan yang berkaitan dengan penanganan
anak yang hidup di jalan, dan 5) monitoring dan evaluasi
pelaksanaan perlindungan anak yang hidup di jalan. Forum
Perlindungan Anak yang Hidup di Jalan dalam melaksanakan
tugasnya bertanggung jawab kepada Gubernur.
Bagi anak dengan disabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta
telah terdapat Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4
Tahun 2012 Tentang Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
sebagai penjabaran dari Undangn Undang Nomor 19 Tahun 2011
Tentang Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
Penyandang Disabilitas disini termasuk anak dengan disabilitas.
Dalam rangka mendukung perumusan kebijakan daerah
tentang kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak,
Unicef sedang menyusun Pedoman Penyusunan Peraturan
Daearah terkait dengan Perlindungan Anak. Pedoman ini
masih dalam proses penyusunan. Diharapkan dengan selesainya
pedoman ini dapat mejadi acuan bagi pemerintah daerah,
baik provinsi maupun kabupaten/kota dalam menyusun Perda
tentang Perlindungan Anak.
4. Pendapat Informan tentang Implementasi Kebijakan
Kesejahteraan, Pengasuhan dan Perlindungan Anak
Hasil wawancara dengan berbagai pemangku kepentingan
yang terkait dengan kesejahteraan dan perlindungan anak
diketahui bahwa antara peraturan perundang-undangan yang
satu dan lainnya belum harmonis, seperti masalah batasan usia
anak dan para pelaksana belum mempunyai pemahaman yang
sama tentang isi peraturan perundang-undangan tersebut,

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

69

dan antara peraturan nasional belum sinkron atau masih ada


yang belum menindaklanjuti, dengan peraturan daerah (Perda).
Hal ini dapat dilihat dari hasil FGD dan wawancara mendalam
dengan informan sebagai berikut:
Di antara perundangan-undangan belum ada harmonisasi antar
undang-undang yang ada, contoh batasan usia anak pada undangundang perkawinan dengan undang-undang tenaga kerja dan
undang-undang perlindungan anak (hasil FGD di DKI).

Hal serupa juga di kemukakan oleh informan dari KPPPA,


yang menyatakan sebagai berikut:
Masih sangat terbatas peraturan perundang-undangan yang
harmonis, misalnya undang-undang perkawinan dan undangundang perlindungan anak. Demikian pula antara pusat dan
daerah, banyak yang belum menindaklanjuti dengan Perda.

Sedangkan informan UNICEF, menyatakan bahwa kebijakan


yang telah dibuat merupakan tantangan di dalam implementasi
di lapangan sebagaimana yang dikemukakan sebagai berikut:
Tantangan kebijakan antara lain berbagai undang-undang tidak
harmonis seperti masalah umur dan pemahaman dan bagaimana
perundangan-undangan di tingkat pusat terimplementasi di
tingkat daerah.

Namun dalam pelaksanaannya menurut KPAI, mengenai


umur atau usia anak tetap mengacu kepada Undang Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Permasalahan lain adalah belum ada pemahaman yang sama
tentang subsantsi peratutan perundang-undangan, misalnya
tentang eksploitasi pada anak. Hal ini dapat dilihat dari salah
satu pernyataan informan:

70

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

Saya dan salah satu pengasuh baru saja mengikuti sosialisasi


Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tetang Perlindungan
Anak, sekarang saya merasa takut menugaskan anak-anak dalam
kegiatan-kegiatan domestik panti, seperti mencuci piring, menyapu,
karena takut dikatakan mengeksploitasi, apakah itu eksploitasi?

Demikian pula pemahaman tentang kekerasan pada anak


ini juga menjadi polemik dalam masyarakat. Hal ini disebabkan
masyarakat Indonesia memiliki berbagai budaya dan norma
yang berbeda di tiap-tiap daerah (pluralisme) dalam budaya
dan agama. Contohnya memukul anak dalam penerapan
disiplin melaksanakan shalat dalam agama Islam ada hadis yang
menyatakan:
Suruhlah anak-anakmu shalat bila berumur tujuh tahun
dan gunakan pukulan jika mereka sudah berumur sepuluh
tahun, dan pisahlah tempat tidur mereka (putera-puteri) (HR.
Abu Dawud).
Pukulan ini bila dterjemahkan secara harafiah merupakan
salah satu tindak kekerasan terhadap anak. Sehubungan dengan
itu pukulan seperti apa yang dibolehkan? belum ada kesepakatan
atau definisi yang operasional untuk seluruh budaya dan agama
yang terdapat di Indonesia. Di lain pihak Jamal Abdurrahman
Athfal al-Muslimin, kaifa Rabbahum an-Nabiy al-Amin
dalam Liza (2010), Pola Asuh Orangtua Anak Menurut Ajaran
Rasullullah, antara lain menyatakan:
Nabi tidak pernah memukul anak-anak selamanya, tetapi
beliau menjelaskan prinsip-prinsip dasar dan aturan dalam
memukul. Kaidah-kaidahnya adalah sebagai berikut: 1) Pukulan
tidak boleh diberikan sebelum usia sepuluh tahun. 2) Pukulan
boleh diberikan pada anggota tubuh yang memungkinkan, batas
maksimal hukuman hanya sepuluh kali itupun hanya kepada
anak yang baligh dan mukallaf. Dan jangan memukul terlalu

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

71

keras sehingga sampai terangkat ketiak, dan jangan tempat


sensitif seperti wajah atau kepala.
Sehubungan dengan itu agar tidak terjadi pemahaman yang
berbeda-beda diperlukan sosialisasi dan perumusan definisi
operasioanal setiap konsep yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan, sehingga pengasuh dapat bertndak secara
terukur.
Sistem pemerintahan otonomi memerlukan adanya peraturan
di tingkat provinsi dan kabupaten/kota (Perda) yang mengatur
kesejahteraan dan perlindungan anak sebagai implementasi
dari kebijakan pemerintah (nasional). Dari hasil penelitian
menunjukkan beberapa daerah sudah menindaklanjuti undangundang perlindungan anak dan juga ada yang belum, misalnya
kasus DIY menurut informan (DPRD Provinsi):
Perda yang sudah ada terkait dengan Perlindungan Anak antara
lain; HIV, Anak yang Hidup di Jalan, Pemenuhan Hak Penyandang
Disabilitas termasuk anak dengan disabilitas, Narkoba.
Implementasinya belum cukup, masih banyak anak yang hidup
di jalan. Hal ini disebabkan adanya kendala koordinasi dengan
kabupaten/kota dan dengan Polda.
Alokasi anggaran untuk perlindungan anak sebenarnya tidak ada
masalah bagi DPRD, yang penting diajukan dengan dukungan
data yang lengkap oleh SKPD terkait, pasti akan di support.
Dalam menangani anak jalanan misalnya perlu dilakukan
secara komprehensif dari segala aspek. Untuk itu perlu dibentuk
satu tim adhoc seperti KPK, perlu manajemen Adhoc dan diberi
rentang waktu misalnya dua tahun melalui SK Gubernur untuk
menangani kasus perkasus seperti Sekber Kartomantul dalam
menangani pariwisata.
Pembuatan Perda Anak yang Hidup di Jalan adalah inisiatif
eksekutif, Narkotika inisiatif DPRD, Penyandang Disabilitas
inisiatif eksekutif, HIV inisiatif DPRD.

72

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

Menurut informan DPRD Kabupaten Sleman dalam FGD


menyatakan:
Persoalan anak adalah persolan mendasar, contoh perlindungan
anak untuk tidak menonton tontonan yang dapat merusak.
Masalah ini cukup serius dengan adanya globalisasi dan kemajuan
teknologi komunikasi. Seperti yang terjadi satu bulan terakhir ada
10 kejadian anak menikah di bawah umur akibat hamil.
Perlu dipikirkan upaya pencegahannya misalnya pelarangan
penggunaan HP, atau penataan pengelolaan warnet.
Lemahnya kontrol sosial perlu ditingkatkan kearifan lokal.
Regulasi berupa Perda baru dibahas atas inisiatif DPRD baru
sampai naskah akademis yaitu Raperda Perlindungan Anak.
Pembahsan awal bukan dari Komisi D karena di Komisi D
overload, tetapi ditangani oleh Komisi lain.

Implentasi kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan


anak dalam bentuk program dan kegiatan di provinsi dan
kabupaten/kota sudah dialokasikan di berbagai SKPD terkait.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa setiap SKPD terkait
dengan kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan anak
sudah menganggarkan dalam bentuk kegiatan, namun dalam
pelaksanaan masing-masing SKPD masih berjalan sendirisendiri atau belum ada sinkronisasi ataupun koordinasi. Seperti
untuk pendidikan wajib belajar 9 tahun belum menyentuh
anak jalanan dengan berbagai alasan seperti anak belum punya
akta, atau tidak bisa diterima karena berbagai macam alasan.
Dua kasus anak jalanan di Kota Yogyakarta keduanya sekolah
di sekoalah swasta yang setiap bulannya harus membayar uang
sekolah. Dari hasil diskusi juga terungkap masih minimnya
sarana dan prasarana pendukung dalam perlindungan anak

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

73

misalnya rumah aman, lapas anak, dan masih kurangnya jumlah


dan kapasitas SDM yang memahami tentang masalah dan
kebijakan perlindungan anak.

74

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

BAB IV
EFEKTIVITAS PROGRAM KESEJAHTERAAN
SOSIAL ANAK
Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) dirancang sebagai upaya
yang terarah, terpadu dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial dan
bantuan kesejahteraan sosial anak bersyarat (conditional cash transfer)
yang meliputi: 1). Bantuan sosial/subsidi pemenuhan hak dasar (akta
kelahiran, tempat tinggal, nutrisi, air bersih, dan lain-lain) 2) Peningkatan
aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar (akses pendidikan dasar,
akses pelayanan kesehatan, akses pelayanan rehabilitasi sosial, dan lainlain 3) Pengembangan potensi diri dan kreatifitas anak. 4) Penguatan
tanggung jawab orangtua/keluarga dalam pengasuhan dan perlindungan
anak 5) Penguatan kelembagaan kesejahteraan sosial anak.
Anak sebagai penerima manfaat PKSA dikelompokkan dalam
enam kluster yaitu, anak Balita Terlantar, Anak Terlantar, Anak Jalanan,
Anak dengan Kecacatan, Anak yang Berhadapan dengan Hukum dan
Anak yang membutuhkan Perlindungan Khusus. Hasil evaluasi terhadap
PKSA masing-masing kluster disajikan pada uraian berikut ini.
Populasi penyandang masalah kesejahteraan sosial anak masingmasing kluster dapat dilihat pada gambar berikut:
Diagram 3. Populasi PMKS anak

Sumber: Profil PMKS 2011, Dirjen PAS 2012, Pusdatin 2010


Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

75

Diagram 4. Penerima Manfaat PKSA 2011-2013

Sumber: Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak September 2013

Bab empat ini menguraikan hasil evaluasi terhadap hasil yang


dicapai dari PKSA dilihat dari dampaknya terhadap penguatan
kelembagaan kesejahteraan sosial anak, penguatan tanggung jawab
orangtua/keluarga dalam pengasuhan dan perlindungan anak dan
manfaatnya terhadap pemenuhan hak dasar (akta kelahiran, tempat
tinggal, nutrisi, air bersih, peningkatan aksesibilitas terhadap pelayanan
sosial dasar, akses pendidikan dasar, akses pelayanan kesehatan, akses
pelayanan rehabilitasi sosial).
A. Dampak PKSA terhadap Penguatan Kelembagaan Kesejahteraan
Sosial Anak
Pelaksana program kesejahteraan sosial anak adalah lembaga
kesejahteraan sosial (LKSA) dan didalamnya terdapat Sakti Peksos
yang ditempatkan di LKSA, tenaga kesejahteraan sosial dan relawan
sosial yang berperan sebagai pendamping. Sakti Peksos adalah tenaga
profesional yang khusus ditempatkan sebagai pendamping dalam
PKSA, namun jumlahnya tidak seimbang dengan jumlah LKSA yang
mengelola PKSA. Hal ini dapat dilihat pada diagram berikut.

76

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

Diagram 5. Sasaran LKSA dan SDM Pelaksana PKSA


Tahun 2013-2012

Sumber: Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak 2013

Data di atas menunjukkan bahwa jumlah LKSA yang telah


diintervensi untuk mengelola PKSA jauh lebih banyak dibandingkan
jumlah Sakti Peksos (SDM) yang difasilitasi sebagai pelaksana
pendampingan dalam melaksanakan PKSA. Pada tahun 2012
terdapat 6.728 PKSA pelaksana PKSA, sedangkan pendampingnya
yang berasal dari Sakti Peksos hanya 1.111 orang. Hal ini berarti
bahwa sebagian besar LKSA tidak memiliki pendamping yang
berasal dari Sakti Peksos. Bagi mereka yang tidak memiliki Sakti
Peksos, pendampingan dilakukan oleh SDM yang dimiliki dan
difasilitasi oleh LKSA jumlahnya cukup banyak yaitu sekitar 83,5 %.
Hal ini akan berpengaruh pada hasil yang dicapai.
Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa 6 LKSA yang
dijadikan kasus, 3 LKSA diantaranya yaitu Panti Asuhan Pengayoman
(AT-DKI) , Rumah Singgah Ahmad Dahlan (Anjal- DIY) dan Seksi
Sosial Kecamatan (ADK-DKI) tidak mempunyai Sakti Peksos. Pada
LKSA Ahmad Dahlan sebelumnya ada satu orang Sakti Peksos, tetapi
pada saat penelitian sudah mengundurkan diri karena mendapatkan
pekerjaan baru. Tugas pendampingan dilakukan oleh Peksos Rumah
Singgah. Pada LKSA Pengayoman pendampingan dilakukan oleh

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

77

pengasuh yang belum mempunyai kompetensi secara khusus.


Sedangkan untuk SSK pendampingan dilakukan oleh PSM.
Dampak PKSA terhadap penguatan LKSA adalah peningkatan
tugas dalam perlindungan anak dapat dilihat dari dua aspek yaitu
pelaksanaan tugas LKSA dan tugas pendamping yang ditunjuk untuk
melaksanaan pendampingan terhadap penerima bantuan.
Pelaksanaan Tugas LKSA
Keberhasilan LKSA dapat dilihat dari pelaksanaan tugasnya dalam
mengelola PKSA sesuai dengan Pedoman Operasional PKSA yaitu:
1. Menyiapkan data PKSA secara lengkap (by name by address,
karaktaristis masalah dan potensi dan sumber daya sosial
ekonomi). Kegiatan ini sudah dilakukan dengan baik untuk
hal data nama dan alamat lengkap. Namun untuk karaktaristik,
kebutuhan dan sumber daya sosial dan ekonomi belum dilakukan
secara lengkap dan terinci, terutama bagi LKSA yang tidak
mempunyai Sakti Peksos.
2. Melakukan penjangkauan dan pendampingan sosial terhadap
anak yang membutuhkan layanan PKSA dengan melibatkan
Pekerja Sosial Anak, TKSA dan Relawan Sosial Anak. Kegiatan
ini sudah dilakukan namun belum maksimal karena keterbatasan
pengetahuan dan keterampilan pendamping, keterbatasan
anggaran yang tersedia untuk melakukan kunjungan dan rasio
yang cukup besar.
3. Memfasilitasi penyelenggaraan layanan bagi anak dan keluarga
yang menjadi penerima manfaat PKSA termasuk mendampingi
anak dan orangtua/wali dalam proses pembukaan Tabungan
Kesejahteraan Sosial Anak pada Bank setempat atau Lembaga
Keuangan Mikro yang berbadan hukum. Kegiatan ini sudah
dilakukan dengan pendamping.
4. Menangani kasus yang melibatkan profesional dan instansi
terkait, sudah dilaksanakan tapi belum maksimal.

78

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

5. Melakukan pembinaan, supervise, monitoring dan evaluasi.


Kegiatan yang dilakukan baru sebatas monitoring masalah
keuangan, tetapi belum mengevaluasi hasil. Hal ini terlihat dari
belum tersedianya data keberhasilan. Misalnya seorang anak
diterminasi belum ada yang berhasil, tetapi karena usianya sudah
17 tahun atau melakukan pelanggaran terhadap penggunaan uang.
6. Melakukan advokasi sosial kepada lembaga-lembaga mitra
penyelenggaraan kesejahteraan sosial anak. Kegiatan ini belum
sempat dilakukan karena kesibukan mengurusi hal-hal yang
sifatnya administrates.
7. Membangun jaringan dengan pihak terkait. Kegiatan ini sudah
dilakukan dalam akses terhadap pendidikan, kesehatan dan akta
kelahiran.
8. Membuat laporan pelaksana PKSA sesusi dengan tugas-tugas dan
kewenangan yang dimiliki. Pelaporan sebagian besar substansinya
masih terbatas pada pertanggungjawaban administratif, belum
menyangkut penilaian pencapaian target fungsional.
Dari uraian di atas terlihat bahwa sebagaian besar tugas pokok
LKSA dalam melindungi anak masih terbatas. Hal ini disebabkan
antara lain ketergantungan LKSA dalam pelaksanaan tugasnya
kepada dana operasional yang jumlahnya terbatas dan keterbatasan
jumlah dan kualitas pendamping.
Pelaksanaan Tugas Pendamping
Tugas pendampingan pada umumnya sudah dilakukan, namun
belum sumuanya melakukan sesuai dengan tugas pokoknya sebagai
pendamping. Dari hasil wawancara dengan beberapa orang informan
ada 4 kategori asal pendamping yaitu dari pengasuh pada panti
asuhan, dari sakti peksos yang ditempatkan pada LKSA, dari pekerja
sosial LKSA (TKSA) dan dari pekerja sosial masyarakat (PSM)
yang kegiatannya tidak melalui LKSA. Adapun pelaksanaan tugas
pendamping dari empat kategori tersebut adalah sebagai berikut:

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

79

1. Pendamping dari panti asuhan (pengasuh), hasil penelitian


menunjukkan bahwa Sampai saat ini informan tidak pernah
dilibatkan dalam hal penerimaan anak dan administrasi,
demikian juga dengan PKSA. Informan hanya diberi tugas sebagai
pengasuh. Kondisi anak asuh di panti, saat masuk banyak yang
belum memiliki akta kelahirann, Yayasan berusaha mengurus
akta lahir, namun sampai saat ini belum semua anak asuh dapat
memiliki akta lahir, karena kesulitan dengan perbedaan tempat
tinggal orangtua dan tempat lahir anak dengan tempat tinggal
anak saat ini. Informasi tersebut menunjukkan bahwa tugastugas pendampingan belum diketahui dan dilaksanakan.
2. Pendamping (Sakti Peksos) yang sudah melaksanakan tugasnya,
hasil wawancara dengan informan menunjukkan:
a. Melakukan pendekatan dengan orangtua tentang pengasuhan
dan masalah anak, (1)menanyakan apakah butuh dukungan
lain atau sumber lain, kalau ya maka pendamping akan
(2)menghubungkan dengan sumber lain. (3) melihat
perkembangan anak dan melakukan bimbingan kepada
anak. (4) melakukan asesmen kebutuhan dan asesmen pada
anak dan keluarga yang membutuhkan, dilakukan untuk
pencairan dana. Anak yang didampingi tidak semua dapat
dikunjungi dalam satu priode, karena lokasi jauh dan tidak
setiap berkunjung belum tentu bertemu.
b. Pendamping juga melakukan layanan peningkatan potensi
diri anak dengan cara membuka kesempatan anak untuk
mengikuti les, baik oleh lembaga maupun perorangan.
Kadang-kadang pendamping ikut membimbing ketika akan
mengikuti ulangan/ujian/ujian nasional.
c. Penguatan tanggung jawab orangtua/keluarga: bimbingan
tentang pengasuhan anak.
d. Untuk pencairan dana, kadang orangtua sudah belanja
duluan, sehingga asesmen tidak dilakukan, berdasarkan bon
belanja, maka dilakukan penarikan dari bank.

80

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

e. Memonitor pemanfaatan bantuan dengan meminta bukti


pembelian barang dan menyesuaikan dengan hasil asesmen
kebutuhan
f. Mengevaluasi pelayanan, melaporkan hasil dan menindaklanjuti hasil evaluasi.
g. Melakukan koordinasi dengan sekolah anak.
h. Mencatat dan mendokumentasikan kegiatan, data anak dan
keluarga. Membuat laporan penanganan kasus setiap terjadi
kasus, membuat laporan tertulis per triwulan dan dikirim ke
Subdit Anak Terlantar Kementerian Sosial RI melalui Pos.
3. Pendamping dari TKSA (Pekerja Sosial LKSA)
Kegiatan Pendampingan PKSA yang diakukan (mulai dari
merencanakan, melaksanakan sampai pada melaporkan) antara
lain: penjangkauan, identifikasi masalah anak, melakukan
rujukan ke panti, ke RPSA dan reunifikasi dengan keluarga
asalnya, serta membuat laporan lemabaga.
Jenis Kegiatan yang dilakukan:
a Mengidentifikasi anak yang mengalami masalah dengan
pengasuhan dan perlindungan caranya Pendekatan ke anak.
b Melakukan pendekatan terhadap orangtua/keluarga sebagai
penanggung jawab pengasuhan dan perlindungan anak
melalui wawancara dan observasi.
c Menyeleksi data awal penerima layanan dengan memilahmilah data.
d Melakukan kunjungan ke tempat tinggal anak/orangtua/
keluarga melalui observasi dan wawancara.
e Melakukan asesmen kebutuhan pada anak dan keluarga yang
membutuhkan.
f Merencanakan intervensi dan melaksanakan pelayanan sesuai
dengan permasalahan dan kebutuhan penerima manfaat
dengan mengadakan diskusi dengan orangtua dan anak.

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

81

g Peningkatan akses terhadap pelayanan sosial dasar dengan


mengembalikan anak ke sekolah dan berobat ke Puskemas
bila sakit.
h Peningkatan potensi diri dan kreativitas anak melalui
kerjasama dengan voluntir dan pengusaha lokal.
i Membantu proses membuka rekening tabungan atas nama
anak melalui pendekatan ke bank BPD.
j Memonitor pemanfaatan bantuan sesuai dengan
peruntukkannya, setiap pengambilan melalui usulan dengan
formulir yang telah disediakan.
k Melakukan koordinasi dengan lembaga rujukan melalui
surat, rapat, dan telp untuk menentukan titik operasi bersama
l Mencatat dan mendokumentasikan data anak/orangtua/
keluarga penerima manfaat.
m Membuat laporan penanganan kasus setiap terjadi kasus dan
dikirim ke dinas sosial provinsi.
n Membuat laporan tertulis per triwulan yang ditujukan kepada
Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak dan dikirim melalui
dinas sosial provinsi sebagai laporan lembaga akhir tahun.
Informasi di atas menunjukkan bahwa tenaga kesejahteraan
sosial pada LKSA sudah cukup mumpuni dalam melaksanakan
kegiatan PKSA. Hal ini dipengaruhi oleh pendidikan dan
pelatihan yang dimiliknya dan dukunagan masyarakat dalam
pelaksanaan kegiatan seperti dana, sarana dan prasarana, jiwa
kerelawanan pendamping itu sendiri.
4. Pendampingan dilakukan oleh pendamping sosial yang juga
sebagai pembimbing sosial masyarakat terhadap anak-anak
yang menjadi klien PKSADK. Menurut kepala SSK Pasar Rebo,
pendamping melakukan kegiatannya mulai dari pekerjaan
administrasi terkait dengan lembaga, mengecek permintaan
kebutuhan klien, sampai pelaksanaan monitoring dan evaluasi
melalui kunjungan rumah (home visit) jika diperlukan. Jika

82

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

klien sakit, orangtuanya datang ke lembaga untuk melapor agar


dapat mencairkan dana tabungan termasuk ketika akan membeli
kebutuhan ADK.
Secara umum dari informasi di atas, hasil pengamatan dilapangan
dan data sekunder yang diperoleh menunjukkan bahwa sebagian
besar waktunya digunakan untuk mengurus hal-hal yang sifatnya
administratif seperti mencatat dan menyetujui penggunaan uang
oleh anak dan membuat laporan-laporan untuk pertangungjawaban
administrative. Selain itu pendamping sudah melakukan penguatan
keluarga, tetapi sifatnya massal dan hanya satu kali, belum
melakukannya secara individual sesuai dengan situasi masalah anak
dan keluarga. Pendamping yang berasal dari sakti peksos jauh lebih
profesional dari pendamping yang berasal dari LKSA.
Dapat dikatakan bahwa manfaat bagi lembaga yang terlibat dalam
proses pelaksanaan, PKSA bukan hanya sekedar meringankan beban
tanggung jawab kelembagaan dalam menjalankan programnya.
Lebih jauh, lembaga juga merasakan efek pencerahan sehingga
lembaga juga sekaligus mengalami pemberdayaan. LKSA pelaksana
PKSA mengalami peningkatan akses dan jaringan. Sementara SDM
lembaga mengalami perbaikan kapasitas seperti kemampuan dalam
melakukan pendampingan walaupun belum sepenuhnya memenuhi
harapan.
Keberhasilan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya
dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain:
1. Pengetahuan dan keterampilan pendamping tentang masalah
anak didampingi misalnya pendamping Anjal, ABH, ADK dan
AMPK harus memiliki pengetahuan khusus tentang anak yang
didamping misalnya untuk ABH pendamping harus mengerti
tentang hukum dan peradilan anak. Hal ini belum diperoleh dari
penguatan yang pernah mereka terima.
2. Dana untuk home visit, hanya diberikan untuk dua kali kunjungan
ke penerima manfaat. Sedangkan untuk memulihkankan AMPK
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

83

dan ABH dperlukan lebih dari itu misalnya 10 kali per anak per
tahun.
3. Rasio penerima pendamping dan manfaat. Hasil penelitian
menunjukkan belum ada ketentuan tentang hal ini. Dari 6 kasus
LKSA yang ada sangat bervariasi misalnya untuk Puspelkesos di
Aceh 87 anak didampingi oleh 2 orang pendamping, di LKSA
Akur Kurnia Jakarta 272 anak didampingi oleh dua orang Sakti
Peksos bahkan banyak yang tidak didampingi oleh Sakti Peksos.
4. Dukungan masyarakat, adanya sumbangan dari tingkat
gampong/kecamatan/kabupaten yaitu berupa ATK dan dana
operasional sebesar Rp1.750.000,- di tahun 2013 termasuk dari
Dinas Sosial Provinsi sudah memberikan ATK sebanyak dua
kali. Masyarakat pada umumnya mendukung kegiatan PKSA,
namun belum banyak yang tau persis tentang kegiatan PKSA.
5. Dukungan sarana dan prasarana seperti alat transportasi (motor).
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dampak PKSA
terhadap penguatan kelembagaan kesejahteraan sosial anak adalah
peningkatan peran LKSA dalam perlindungan anak walaupun
peningkatan belum maksimal. Hal ini disebabkan karena lembaga
belum didukung oleh pedoman pelaksanaan LKSA (masing-masing
kluster), manajemen SDM, manajemen keuangan dan manajemen
data yang memadai.
B. Dampak PKSA terhadap Penguatan Tanggung Jawab Orangtua/
Keluarga dalam Pengasuhan dan Perlindungan Anak
Salah satu aspek dalam kesejahteraan sosial sebagaimana
konsep yang telah dikemukakan pada bab dua adalah peningkatan
kapasitas orangtua/orangtua pengganti dalam pengasuhan anak.
Aspek ini juga merupakan tujuan PKSA yaitu penguatan tanggung
jawab orangtua/keluarga dalam pengasuhan dan perlindungan
anak. Dampak PKSA tehadap penguatan tanggung jawab orangtua/
keluarga dalam pengasuhan dan perlindungan anak hasil penelitian
adalah sebagai berikut:

84

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

1. Peran Orangtua dalam Peningkatan Kesejahteraan Anak


a. Meningkatnya peran orangtua dalam pemenuhan makan
bergizi, hal ini dapat dilihat dari 1) orangtua menyiapkan
makanan anak tiga kali sehari, komposisi makan: nasi,
ikan, kadang-kadang sayur dan buah dan kadang-kadang
susu, sesuai kemampuan, 2) orangtua menyediakan alat
kebersihan (sabun mandi, odol, sikat gigi), membimbing
membersihkan lingkungan, membiasakan membersihkan
tempat tidur sendiri terutama pada penerima manfaat anak
Balita terlantar.
b. Orangtua sudah mengakseskan anaknya ke pelayanan
kesehatan dapat dilihat dari: bila anak sakit orangtua sudah
membawa anak ke Puskesmas dengan menggunakan
Jamkesmas. Disamping itu keluarga juga mempunyai Kartu
Menuju Sejahtera (KMS) untuk Kota Yogyakarta. Namun
demikian masih ada orangtua yang enggan memeriksakan
kesehatan anak karena keterbatasan waktu (orangtua bekerja)
dan biaya seperti yang dikemukakan informan (orangtua
anak Balita) di bawah ini.
ketika anak sakit, saya memberi obat yang dibeli dari warung
dan langsung sembuh, sampai saat ini saya belum pernah
membawa anak berobat ke dokter ketika anak sakit, karena tidak
mau membiasakan anak berobat ke dokter, takut ketagihan obat
dokter dan mahal. Saya tidak memiliki kartu Jamkesmas karena
tidak memiliki KTP DKI.

c. Orangtua telah mengakseskan anaknya ke pelayanan


pendidikan, hal ini dapat dilihat dari: 1) Bagi anak Balita
orangtua membawa anak ke Taman Anak Sejahtera (TAS)
untuk belajar pra sekolah. Selain belajar di TAS orangtua juga
membimbing anak belajar di rumah (berhitung, membaca
dan lain-lain). Sedangkan untuk pendidikan agama, selain
belajar mengaji di Masjid, orangtua mengajarkan anak
mengaji di rumah. 2) Bagi anak usia sekolah yang tadinya

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

85

rumah/putus sekolah sudah kembali ke sekolah. 3) Semua


peralatan dan keperluan sekolah disediakan orangtua
memakai dana bantuan PKSA.
2. Peran Orangtua Dalam Pengembangan Potensi Diri dan
Kreatifitas Anak.
a. Orangtua mengantarkan/memasukkan anak les bahasa
Inggris dan mengaji di pesantren setelah pulang sekolah.
b. Mengikutsertakan anak dalam kegiatan ekstra kulikuler
sekolah dan memfasilitasi dengan biaya transportasi
perlengkapan kegiatan, bayaran seperti kegiatan berkemah.
3. Peningkatan Tanggung Jawab Orangtua Terhadap Pengasuhan
dan Perlindungan Anak
a. Bertambahnya pengetahuan orangtua tentang cara mengurus
dan membimbing anak dengan baik, pola makan yang baik
dan sehat, belajar anak yang baik, dan menjaga kebersihan
anak agar tetap sehat.
b. Orangtua lebih memperhatikan kebutuhan dan hak anak.
c. Kalau anak melakukan kesalahan, orangtua menasehati,
tidak dengan memarahi.
Dalam pelaksanaan pengasuhan dan perlindungan anak oleh
orangtua/orangtua pengganti penerima PKSA terdapat dukungan
dan hambatan. Adapun faktor pendukung antara lain bantuan
yang telah diberikan kepada anak, dan adanya dukungan dari dinas
sosial provinsi melalui Tim Reaksi Cepat. Sedangkankan factor
penghambatnya adalah: 1) Masih adanya kesulitan dalam mengurus
akta kelahiran, karena asal usul anak yang sulit ditemukan. 2)
Motivasi/niat anak dan orangtua rendah untuk ke luar dari jalan,
anak dieksploitasi orangtua mulai bayi (Anjal). 3) Kebanyakan anak
tidak mau diajak ke orangtua, takut kena marah, karena anak harus
setor ke orangtua. 4) Orangtua juga bermasalah, sehingga tidak
mampu mengasuh dan melindungi anaknya. 5) Biasanya orangtua

86

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

tidak mendukung anak keluar dari jalan, karena akan mengurangi


penghasilan dengan alasan anak saya terserah saya.
Bagi keluarga penerima PKSA secara psikologis dimaknai sebagai
titik balik atau momentum penyadaran kembali akan pelaksanaan
tanggung jawab terhadap anak. Dikatakan demikian karena keluarga
pengasuh justru lebih menyadari adanya fungsi pengasuhan yang
tidak terlaksana sebagaimana mestinya sebelum kehadiran PKSA.
Ini berarti bahwa kehadiran PKSA membawa perbaikan dalam pola
dan proses pengasuhan keluarga terhadap anak walaupun belum
mencapai tahap ideal. Pada saat yang bersamaan, keluarga sangat
merasakan berkurangnya beban tanggung jawab keuangan.
C. Dampak PKSA terhadap Kesejahteraan Anak
Keberadaan PKSA membawa dampak positif bagi banyak pihak,
antara lain bagi penerima manfaat (klien), keluarga, masyarakat,
dan pemerintah daerah. Dampak dalam hal ini difokuskan kepada
penerima manfaat yang dapat dilihat dari sisi sebelum dan sesudah,
PKSA diimplementasikan.
1. Bagi Anak Balita Terlantar
Anak terpenuhi kebutuhan nutrisi, transport berobat,
pemenuhan kebutuhan sekolah yaitu akses terhadap Taman
Anak Sejahtera (TAS).
2. Bagi Anak Terlantar
Kasus Anak Terlantar Dalam Panti
a. Meningkatnya pemenuhan kebutuhan akan makanan
bergizi, yang sebelumnya menu makanan seadanya, setelah
mendapatkan batuan dari PKSA menu makanan menjadi
lebih baik sebagaimana dikemukakan anak yang berada di
dalam panti.

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

87

pelayanan yang diberikan panti sudah sangat mencukupi, baik dari


segi makan, pakaian, keperluan sekolah dan lain-lain. Makan sehari
3x, kadang-kadang ada makan tambahan seperti kacang hijau,
susu, buah dan lain-lain. Untuk ke sekolah tidak membutuhkan
transportasi karena sekolah tempat anak bersekolah adalah milik
panti dan hampir menyatu dengan panti. Jika sakit anak diberi obat
oleh petugas panti, tapi bila belum sembuh maka maka dibawa
berobat oleh petugas panti ke Puskesmas.

b. Anak menjadi lebih sehat.


c. Anak akses ke pelayanan pendidikan.
d. Anak akses ke pelayanan kesehatan.
e. Anak akses memiliki akta kelahiran, walaupun masih ada
beberapa anak yang belum selesai pengurusannya karena adanya
hambatan seperti alamat orangtua, dan anak tidak sama.
Sebenarnya anak di dalam panti tidak memahami bantuan
yang diberikan melalui PKSA, yang dia tau adalah semua yang
didapat (makan, pakaian, peralatan sekolah, jajan sekolah dan
lain-lain), merupakan pemberian dari panti, sehingga ketika
ditanya pelayanan yang diberikan, anak sama sekali tidak
tau, kecuali pelayanan panti. Menurut anak, pelayanan yang
diberikan panti sudah sangat mencukupi, baik dari segi makan
pakaian, keperluan sekolah dan lain-lain.
Anak Terlantar di Luar Panti
a. Anak terpenuhi kebutuhan makanan bergizi (makan sehari
tiga kali, terdiri dari nasi, sayur, lauk, kadang-kadang ada
buah, tanpa susu)
b. Anak akses ke pendidikan dasar, Anak baru masuk sekolah
setelah mendapatkan bantuan PKSA, kegiatan seharihari anak sekolah, belajar, dan sesekali masih ikut ayahnya
mencari barang bekas. 3 x seminggu ikut bimbingan belajar
yang diadakan oleh Oven Komuniti. Menurut anak, materi

88

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

bimbingan belajar memuat semua pelajaran sekolah (MTK,


IPA, CALISTUNG dan lain-lain), bercerita, bermain
(bermain sambil belajar).
c. Kebutuhan akan buku pelajaran dan alat tulis, buku seragam,
dan kebutuhan sekolah, menurut informan semua lengkap.
d. Anak bergaul dengan teman sebaya di lingkungan tempat
tinggalnya dan dengan teman sekolah bermain dan belajar
bersama.
e. Kegiatan lingkungan yang diikuti oleh anak adalah kegiatan
keagamaan, hari besar Islam maupun nasional.
f Anak juga akses ke kesehatan, mendapat kemudahan dalam
berobat dengan menunjukkan KK dan KTP orangtua.
g. Akses dalam pengurusan akta lahir oleh pendamping.
3. Untuk Kasus Anak Jalanan:
a Anak kembali ke sekolah, mendapat akses ke Puskesmas bila
sakit melalui Kartu sehat.
b Persentase anak turun ke jalan menurun baik dari segi jumlah
dan lama di jalan yang tadinya 5 jam menjadi 3 jam misalnya.
Namun masih ada 2 % yang masih turun di jalan lebih dari 5
jam seperti untuk ABT 19 % masih ada di jalan selama 5 - 9
jam, yaitu 12 % untuk 5 jam dan 7 % untuk 9 jam, 15 % masih
di jalan 3 jam dan 66 % sudah tidak di jalan sama sekali (0
jam).
c Memperoleh kemudahan dalam mendapatkan akses fasilitas
dan pengobatan kesehatan, tetapi tidak untuk makanan bergizi
d Memperoleh kemudahan dalam mendapatkan informasi
tentang bahaya-bahaya termasuk bahaya di jalanan
e Memperoleh kemudahan mendapatkan perlindungan dari
tindak kekerasan, termasuk pelecehan seksual
f Memperoleh kemudahan mendapatkan
termasuk penelantaran dari ibunya.

perlindungan

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

89

Untuk mengeluarkan anak dari jalan diperlukan dukungan


keluarga dan lingkungan, namun dalam kenyataannya masih ada
keluarga yang kurang mendukung (masih menyuruh anaknya
ke jalan membantu ekonomi keluarga) dan juga masih ada
lingkungan yang kurang mendukung yaitu masih memberikan
stigma kepada anak jalanan dan belum melibatkan anak di
kegiatan lingkungan.
4. Untuk Kasus Anak dengan Kecacatan
Dengan adanya batuan keluarga dapat terbantu untuk
memenuhi kebutuhan anaknya seperti pemenuhan kebutuhan
nutrisi, transport berobat, pemenuhan kebutuhan sekolah,
sehingga bebannya berkurang, orangtua lebih percaya diri, dan
anak lebih terlihat sehat. Hal ini dapat diketahui dari informan
orangtua sebagai berikut:
Sebelum:
Orangtua yang mempunyai ADK masih enggan/malu diketahui
orang luar rumah, ADK tidak disekolahkan/kurang perhatian, dan
tidak mengurus akta kelahiran ADK. Sedangkan Keluarga dalam
memberikan pemenuhan kebutuhan kepada anaknya dilakukan
apa adanya sesuai dengan kemampuan, orangtua ada yang minder
karena mempunyai ADK, anak kelihatan kurang segar/sehat, dan
anak tidak sekolah, hanya baru mengikuti kegiatan rehabilitasi
berbasis masyarakat di rumah pendamping sosial.
Sesudah
Keluarga mau terbuka/tidak malu dengan orang lain, sudah bisa
sekolah, dibuatkan akta kelahiran secara kolektif sebanyak 13 anak,
jika sakit dibawa ke Puskesmas, dan ada yang dapat bantuan kursi
roda untuk aktivitas ADK.

5. Bagi Anak Berhadapan dengan Hukum


Manfaat PKSA bagi anak berhadapan dengan hukum adalah
anak akses terhadap pelayanan pendidikan dan kesehatan dan
terpenuhinya hak dasar anak yaitu memiliki akta kelahiran dan

90

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

adanya perubahan perilaku anak. Hal ini diketahui dari informan


pendamping dan LKSA sebagai berikut:
Informan Pendamping
Sebelum: anak tidak melanjutkan sekolah, jika anak sakit berobat
harus bayar, kurang informasi dan pemahaman tentang
pembuatan akta kelahiran
Sesudah: anak dapat melanjutkan sekolah, dapat berobat gratis, dan
mengetahui proses pembuatan akta, orangtua/keluarga
dan masyarakat sangat mendukung PKSA dengan ikut
berpartisipasi.

Informan Pengurus LKSA


Sebelum: minum obat-obatan terlarang, tingkah laku tidak
normative, belum akses akta kelahiran
Sesudah: tingkah laku sudah mulai normatif, sudah tidak
tawuran,akses ke akta kelahiran

6. Bagi Anak Membutuhkan Perlindungan Khusus


Sejalan dengan tujuan PKSA, anak sangat terbantu dalam
pemenuhan kebutuhan dasar anak, baik kebutuhan fisik, sosial,
dan psikologis. Pada aspek fisik anak terbantu dalam kebutuhan
makanan dan minuman. Walaupun masih jauh dari standar
gizi, paling tidak anak peserta program ini sudah makan secara
teratur dengan menu yang relatif lebih baik dari sebelumnya.
Bagi anak penyandang HIV/AIDS manfaat fisik ini semakin
terasa sehubungan dengan tuntutan penyakit yang diderita.
ya setelah ikut program ini, makan lebih teratur anaknya.
Demikian pengakuan seorang nenek yang mengasuh cucunya.
Manfaat sosial psikologis yang dirasakan akan terlihat
dengan meningkatnya interaksi sosial anak dengan keluarga dan
masyarakat sekitar. Kunjungan Pendamping PKSA dan pejabat

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

91

terkait ketika menjalankan supervisi, monitoring, dan evaluasi


menjadikan anak ini pusat perhatian. Sejalan dengan hal ini,
anak merasa mendapat dukungan sosial dalam berbagai bentuk.

92

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

BAB V
ALTERNATIF KEBIJAKAN

A. Alternatif Kebijakan
Dari hasil studi kebijakan sebagaimana telah diuraikan pada
bab-bab sebelumnya dapat dikatakan bahwa: Pertama, masalah/
isu-isu tentang kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan
anak sebenarnya sudah banyak direspon oleh pemerintah sebagai
pengemban tugas bertanggung jawab untuk bertindak dan
memenuhi/melindungi/menghormati hak-hak pemangku hak
(anak). Namun dalam implementasi dari kebijakan tersebut oleh K/L
terkait masih terdapat kelemahan dan hambatan, seperti masalah
manajemen SDM, data, dana, pemahaman pelaksana, koordinasi
pelaksanaan sehingga hasilnya masih belum maksimal. Kedua,
PKSA baru bermanfaat bagi anak yaitu dalam hal pemenuhan
kebutuhan makan dan gizi, akses ke pelayanan sosial dasar seperti
pendidikan (membeli perlengkapan dan peralatan sekolah,
transportasi dan bahkan untuk uang sekolah) dan kesehatan
(transportasi kerumah sakit atau tempat rehabilitasi). Orangtua
atau keluarga dan masyarakat yang direpresentasikan melalui LKSA
belum begitu menjadi sasaran utama sebagaimana diprogramkan
pada Panduan Umum PKSA yaitu 1) pemenuhan kebutuhan dasar,
2) aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar, 3) pengembangan
potensi dan kreatifitas anak, 4) penguatan tanggung jawab orangtua,
dan 5) penguatan lembaga kesejahteraan sosial anak. Secara
konseptual kesejahteraan dan perlindungan sangat tergantung pada
peran orangtua dan masyarakat dalam hal ini adalah LKSA. Oleh
sebab itu peningkatan kapasitas orangtua dalam pengasuhan dan
perlindungan anak untuk memenuhi kebutuhan anak-anak mereka
adalah kegiatan sangat strategis yang perlu mendapat perhatian
khusus program kesejahteraan sosial anak.

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

93

Sehubungan dengan itu ada beberapa alternatif kebijakan yang


perlu dipertimbangkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan,
pengasuhan dan perlindungan anak yaitu:
1. Perumusan Peraturan Pemerintah yang mengatur penanganan
masalah/isu-isu kesejahteraan, pengasuhan dan perlindungan
anak secara terintegrasi antar K/L terkait
2. Perumusan Peraturan Menteri Sosial tentang Integrasi
Pelaksanaan PKSA dengan Direktorat terkait di lingkungan
Kementerian Sosial RI.
3. Perumusan Pedoman Kerja LKSA tentang Kesejahteraan,
Pengasuhan dan Perlindungan Anak
Dari ketiga alternatif kebijakan tersebut dapat ditetapkan
alternatif mana yang diprioritaskan untuk dilaksanakan lebih dahulu
melalui analisis dan evaluasi alternatif kebijakan.
B. Analisis dan Evaluasi Alternatif Kebijakan
Kriteria pemilihan alternatif kebijakan menggunakan metode
analisis SWOPA yaitu mengukur alternatif kebijakan dari segi
kekuatan (strengtheness), kelemahan (weaknessess), peluang
(opportunities), masalah (problem) dan aksi (action).
1. Kekuatan (strengtheness), merupakan keunggulan kebijakan
dilihat dari dampaknya terhadap kehidupan masyarakat yang
mengalami masalah sosial, dukungan publik dan beban anggaran.
2. Kelemahan (weaknessess) merupakan kekurangan kebijakan
dilihat dari alternatif yang ditawarkan seperti beban anggaran
yang besar, kurang menarik secara politis, serta kelembagaan
yang kurang pas.
3. Peluang (opportunities), melihat kesempatan/peluang eksternal
apa yang akan mendukung diterimanya kebijakan ini oleh
policy audience dari political agenda (kebijakan ini sejalan
dengan kebijakan pemerintah), public interest, sejalan dengan
meningkatkan kualitas SDM/investasi sosial, Global Trend,

94

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

kebijakan akan didukung oleh masyarakat luas yang sedang


gandrung meningkatkan praktak good governance jika kebijakan
tersebut mengarah pada hal tersebut.
4. Masalah (problem), masalah-masalah apa yang mungkin
menghambat diterimanya kebijakan oleh policy audience dilihat
dari alternatif yang ada.
5. Tindakan (action), tindakan atau langkah apa yang dapat atau
perlu dilakukan untuk mengatasi kelemahan dan masalah
dari masing-masing alternatif kebijakan. Penilaian kelayakan
mencakup apakah kebijakan ini realistis atau mengawang-awang,
sulit untuk diimplementasikan. Pertanyaannya apakah tindakan
yang dilakukan akan mencapai tujuan dan sasaran yang ingin
dicapai, sesuai atau tidak besaran tindakan sebagai solusi dengan
target masalah yang akan dipecahkan.

02
Kekuatan
(Sthrengtheness)

01

Kelemahan
(Weaknesses)

No

Kriteria

Perbandingan Kelebihan dan Kekurangan dari Alternatif Kebijakan

Peluang (Opportunities)

PP yang mengatur
Penanganan Masalah Anak
secara Terintegrasi antar
K/L Terkait
03

Permensos ttg Integrasi


PKSA dengan Direktorat
Terkait di lingkungan
Kementerian Sosial
04

xx Berdampak luas terhadap xx Jangkauan pelayanan bisa


kesejahteraan dan
lebih banyak
Perlindungan Anak
xx Kualitas pelayanan lebih
xx Komitmen KPPPA
baik
sebagai Koordinator
xx Anggaran dari masingkebijakan
masing direktorat lebih
efisien penggunaannya
xx Ruang Lingkupnya
xx Kurang menarik bagi
Nasional
direktorat terkait
xx Pelaksanaan Koordinasi xx Ego direktorat masih ada
masih lemah
xx Ego sektor di masingmasing K/L
xx Komitmen DPRD dan
xx Kebijakan akan didukung
SKPD terkait
oleh masyarakat peduli
kesejahteraan dan
xx Masing-masing SKPD
Perlindungan Anak
memiliki anggaran yang
cukup besar
xx Dana dari masing2 direk
torat terkait akan terfokus
pada kesejahteraan dan
perlindungan anak
xx Daerah akan menindak
lanjuti melalui SKPD terkait

Pedoman Kerja LKSA


tentang Pelaksanaan
Kesejahteran dan
Perlindungan Anak
05
xx LKSA lebih
professional
xx Anak lebih sejahtera
dan terlindungi

xx Keterbatasan
SDM untuk
mensosialisasikan
xx Keterbatasan
anggaran
xx Meningkatnya
partisipasi
masyarakat dalam
pelaksanaan
kesejahteraan dan
perlindungan anak
xx Beban pemerintah
akan berkurang

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

95

02
Masalah (Problem)

01
4

Tindakan
(Action)

03
xx Hambatan dalam
koordinasi perencanaan,
antar K/L terkait
xx Hambatan di tingkat
pelaksana yang paling
bawah

04
05
xx Hambatan dalam koordinasi xx Besarnya Jumlah
perencanaan antar
LKSA dan tersebar di
direktorat terkait
seluruh Indonesia
xx Pengetahuan
LKSA tentang
Kesejahteraan anak
terbatas
xx MoU di tingkat pelaksana xx Menyusun Perencanaan
xx Sosialisasi ke seluruh
di pusat, provinsi dan
yang dikoordinasikan Biro
LKSA
kabupaten/Kota
Perencanan
xx Pelatihan
xx Koordinasi dalam
Pendamping/
pelaksanaan, terutama
xx Pekerja Sosial LKSA
dalam penentuan sasaran

Berdasarkan analisis dan evaluasi dari ketiga alternatif, maka


alternatif yang memiliki kekuatan yang lebih banyak, kelemahan
paling sedikit, peluang yang lebih besar walaupun masalahnya
lebih banyak, dan memiliki banyak tindakan yang memungkinkan
dilakukan untuk mengatasi kelemahan dan masalah adalah alternatif
dua yaitu Merumuskan Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan dan
Perlindungan Anak dalam bentuk Peraturan Menteri Sosial RI
Tentang Integrasi Pelaksanaan PKSA dengan Direktorat Terkait di
Lingkungan Kementerian Sosial. Disamping itu Alternatif ini dipilih
didasarkan pada: 1) dengan asumsi bahwa penyusunan kebijakan
dalam ruang lingkup Kementerian Sosial lebih memungkinkan
dilaksanakan dalam waktu dekat, 2) telah mendapat dukungan dari
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial, dan 3) sesuai dengan perubahan
paradigma kesejahteraan sosial anak dan keluarga yaitu:

96

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

BAB VI
REKOMENDASI KEBIJAKAN PRIORITAS
Dari tiga alternatif kebijakan yang dikemukan dalam bab lima,
setelah melakukan analisis dengan menggunakan SWOPA, dan dengan
mempertimbangkan kemungkinan dapat dilaksanakan dengan segera,
maka dipilih suatu kebijakan yang dianggap dapat memperluas jangkauan
dan meningkatkan kualitas penerima manfaat yaitu Perumusan
Peraturan Menteri Sosial RI Tentang Integrasi PKSA dengan Direktorat
Terkait di lingkungan Kementerian Sosial.
A. Tujuan Kebijakan
1. Pemenuhan kebutuhan dan hak Anak, melalui penguatan
kapasitas orangtua/orangtua pengganti dan penguatan lembaga
kesejahteraan sosial dan masyarakat lingkungan dalam
penagsuhan dan perlindungan anak.
2. Meningkatkan jangkauan pelayanan dan fungsi pencegahan
3. Meningkatkan kualitas hidup anak
B. Sasaran
1. Anak
2. Orangtua /orangtua pengganti
3. Masyarakat lingkungannya
4. LKSA
5. Pendamping/Pekerja Sosial Anak yang ada di LKSA
C. Strategi
1. Sosialisasi Peraturan Menteri Sosial dan PKSA
2. Pemberdayaan (ekonomi dan parenting skill)
3. Partisipasi masyarakat (community development)

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

97

D. Komponen Program
1. Penyuluhan Sosial
2. Bantuan Sosial
3. Pemberdayaan Keluarga Miskin dan Pengembangan Masyarakat
4. Diklat pendamping /Tenaga Kesejahteraan Sosial Anak
5. Penguatan orangtua /orangtua pengganti dalam hal Parenting Skill
E. Kelembagaan
1. Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak
Peran dan tugas Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak
diarahkan pada penguatan keluarga dalam rangka peningkatan
kapasitas keluarga untuk memenuhi kebutuhan anak-anak
mereka. Peningkatan kapasitas keluarga atau keluarga pengganti
dilakukan oleh pekerja sosial anak yang bernaung di bawah
lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA), melalui kunjungan
rumah.
Dalam mendukung kesejahteraan anak dan remaja pekerja
sosial fokus pada beberapa faktor kunci dalam bekerja dengan
keluarga yaitu melibatkan anak dan remaja, keluarga dan
masyarakat dalam proses asesmen melalui suatu konfrensi tim.
Secara filosofis dengan pendekatan keterlibatan berpengaruh
terhadap efektivitas penilaian, yang pada gilirannya, ditemukan
kesepakan dalam merumuskan rencana pelaksanaan pemecahan
masalah dan akhirnya bermanfaat bagi anak-anak, remaja, dan
keluarga.
2. Direktorat Jaminan Sosial - Ditjen Jaminan dan Perlindungan
Sosial
Peran dan tugas Direktorat Jaminan Sosial diarahkan
pada Bantuan langsung tunai bersyarat terhadap anak untuk
pemenuhan kebutudan dasar, akses ke pelayanan sosial dasar
pendidikan dan kesehatan. Kegiatan ini bisa digabung dengan

98

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

proram keluarga harapan (PKH) karena tujuannya sama yaitu


untuk kesejahteraan anak.
3. Pemberdayaan Keluarga dan Karang Taruna - Ditjen
Pemberdayaan Sosial
Pada kegiatan pemberdayaan keluarga yang dulu disebut
Asistensi Kesejahteraan Sosial Keluarga (AKSK) dan sekarang
diberi nama Family Care Unit (FCU) yang sedang diujicobakan
dapat dimanfaatkan bagi keluarga muda, miskin dan memiliki
anak (sesuai sasaran PKH) sebagai kegiatan Family Support
dalam rangka mendukung kesejahteraan dan perlindungan anak.
Peran Direktorat Pemberdayaan Keluarga adalah pemberdayaan
ekonomi keluarga agar mereka mampu membiayai anaknya
melalui usaha ekonomi produktif (UEP) atau kelompok usaha
bersama (KUBE).
Keegiatan Karang Taruna juga bisa disinergikan dengan
PKSA dalam hal pencegahan masalah anak jalan, keterlantaran,
kenakalan pada anak dengan kegiatan-kegiatan pengisian waktu
luang dan kegiatan-kegiatan peningkatan kreatifitas anak.
4. Pusat Penyuluahan Sosial - Sekretariat Jenderal
Pusat Penyuluhan Sosial dapat berperan dalam
mensosialisakan PKSA dan Perlindungan Anak baik secara
langsung maupun melalui media massa, sebagai gerak dasar
pembangunan kesejahteraan sosial.
5. Badiklit Kesejahteraan Sosial
Untuk meningkatkan kapasitas pendamping/pekerja
sosial dari LKSA di bidang kesejahteraan dan perlindungan
anak khususnya lagi dalam penanganan masing-masih
kluster (ABT, AT, Anjal, ABH, ADK dan AMPK) diperlukan
pendidikan pelatihan. Kegiatan ini bisa dilaksanakan oleh Pusat
Pendidikan dan Latihan Kesejahteraan Sosial di Jakarta dan
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

99

Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial yang


keberadaanya ada di enam wilayah kerja yaitu Padang, Bandung,
Yogyakarta, Banjarmasin, Makasar dan Papua.
F. Indikator Kebijakan
1. Dikeluarkannya Peraturan Menteri Sosial RI tentang Cross
Cutting program antar direktorat/balai besar di lingkungan
Kementerian Sosial RI
2. Meningkatnya jumlah orangtua/keluarga yang mempunyai
kapasitas dalam pengasuhan dan perlindungan anak
3. Meningkatnya kualitas pekerja sosial pendamping anak
4. Meningkatnya jumlah TKSA yang profesional dalam memberikan
pelayanan
5. Meningkatnya jumlah anak yang terpenuhi hak-haknya
6. Meningkatnya jumlah anak yang terlindungi
7. Meningkatnya kesejahteraan sosial anak
Pelaksanaan Permensos ini akan efektif bila ada suatu keinginan
bersama para pihak terkait dalam merencanakan, melaksanakan
dan melakukan pemantauan secara bersama, dengan sasaran yang
sama yaitu keluarga miskin yang mempunyai masalah anak. Masingmasing direktorat terkait punya target atau indikator sendiri-sendiri
sesuai perannya masing-masing. Keuntungan dari integrasi program
ini adalah anggaran tidak menumpuk di satu direktorat dan dapat
menyelesaikan masalah besar yaitu kemiskinan dan meningkatkan
kualitas hidup anak dan terlindunginya anak-anak Indonesia dari
tindak kekerasan dan perlakuan salah.

100

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan:
UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2.
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia.
Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS).
Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional.
Undang Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Undang Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
Undang Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Penyandang Cacat.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Konvensi Mengenai
Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, mengenai Pengangkatan
Anak.
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan
yang Berkeadilan.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan
Prioritas Pembangunan Nasional.

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

101

Keputusan Presiden RI Nomor 36/1990, pada 25 Agustus 1990 Tentang


Pengesahan Convention On The Rights of The Child (Konvensi Te
ntang Hak-Hak Anak).
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 110/HUK/2009
Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.
Keputusan Menteri Sosial Nomor 15A/HUK/2010 tentang Panduan
Umum Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA).
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 37/HUK/2010
tentang Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak Pusat.
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 30/HUK/2011
tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak untuk Lembaga
Kesejahteraan Sosial.
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak RI Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum
Penanganan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum.
Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1259/Menkes/SK/
XII/2009 tentang Program Jamkesmas bagi Penghuni Panti
Sosial, Korban Bencana dan Penghuni Lapas dan Rutan.
Kesepakatan Bersama antara Direktur Jenderal PRS Departemen Sosial
RI dengan Direktur Jenderal PAS Departemen Hukum dan
HAM RI Nomor 20/PRS-2/KEP/2005, tentang Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial Anak Didik Pemasyarakatan.
Kesepakatan Bersama Menteri Sosial RI, Menteri Hukum dan HAM
RI, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Kesehatan RI,
Menteri Agama RI, Kepolisian Negara RI Nomor: 12/PRS-2/
KPTS/2009, Nomor M.HH.04.MH.0302. Tahun 2009; Nomor
11/XII/2009; Nomor 1220/Menkes/SKB/XII/2009; Nomor 06/
XII/2009; Nomor B/43/XII/2009, tentang Perlindungan dan
Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum.

102

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Perlindungan Anak.


Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun
2011 Tentang Perlindungan Anak yang Hidup di Jalan.
Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 31 Tahun
2012 Tentang Tata Cara Penjangkauan dan Pemenuhan Hak
Anak yang Hidup Di Jalan.
Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 181/
KEP/2012 Tentang pembentukan Forum Perlindungan Anak
yang Hidup di Jalan.
Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Nomor: 29/RSKSA/2011 tentang Pedoman Operasional PKSA. Direktorat
Kesejahteraan Sosial Anak, Direktorat Jenderal Rehabilitasi
Sosial.
Buku-buku:
Kementerian Sosial RI, Badan Pusat Statistik. (2012). Profil PMKS,
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, INDONESIA 2011.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial RI.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI bekerjasama dengan
Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia dan
Bank Dunia. (2011). Membangun Sistem Perlindungan Anak di
Indonesia, Sebuah Kajian Pelaksanaan PKSA Kementerian Sosial
RI dan Kontribusinya terhadap Sistem Perlindungan Anak.
Hikmat, Hari. (2006). Pedoman Analisis Kebijakan Kesejahteraan Sosial,
Pada Tgl 05 Maret 2008 Disampaikan dalam Kegiatan Finalisasi
Pedoman Analsis Kebijakan Kesejahteraan Sosial, Departemen
Sosial RI.
Mallon, Gerald P and Peg McCartt Hess. (2005). Child Welfare For The
Twenty-First Century. A Handbook of Practices, Policies, and
Program. Columbia University Press.

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

103

Nota Kesepahaman Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri,


Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Menteri
Pendidikan Nasional, Menteri Sosial, Menteri Agama, Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang
Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran dalam Rangka
Perlindungan Anak.
David S, Sawicki, & Carl V. Patton. (1993). Basic Methods of Policy
Analysis and Planning, Prentice Hall. Englewood Cliffs, New
Jersey 07632.
William N., Dunn. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi
Kedua, Gajah Mada University Press.
Suradi. (2011). Studi Kebijakan Penanggulangan Anak Jalanan di DKI
Jakarta. Jakarta: P3KS Press.
Unicef, Child Protection Task Force Workshop, 2 Juli 2013, JakartaIndonesia, Better Gavernance for Indonesias Child Protection
System.
Website:
Anak Jalanan: http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_jalanan.
Data Penyandang Masalah Sosial (PMKS) dan Potendi Kesejahteraan
Sosial (PSKS). (2011). http://database.kemsos.go.id/modules.
php?name=Pmks2011.
Catatan Akhir Tahun 2011 Komisi Nasional Perlindungan Anak:
Menggugat Peran Negara, Pemerintah, Masyarakat dan
Orangtua Dalam Menjaga dan Melindungi Anak. http://
komnaspa.wordpreAni.com/2011/12/21/catatan-akhir-tahun2011-komisi-nasional-perlindungan-anak/www.acf.hhs.gov/
program/cb, diambil September 28, 2004.

104

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

Menkumham: Kasus Asusila di Kalangan Anak Sedang Tren. http://


www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/07/23/mqdjhzmenkumham-kasus-asusila-di-kalangan-anak-sedang-tren,4
september 2013.
Dinda Satria: Anak dan Problematika Bangsa, http://sosbud. kompasiana.
com/2012/10/15/anak-dan-problematika-bangsa-501440.html.
diakses 4 september 2013.

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

105

INDEK

ABH 11, 41, 45, 46, 47, 84, 101


ABT 10, 31, 39, 48, 89, 101
Action 94, 95, 96
ADHA 49, 51, 52
ADK 10, 77, 83, 84, 90
Aktivitas 33, 37, 39, 90
Alternatif kebijakan 12, 93, 94,
95, 99
AMPK 10, 65, 84, 101
Anak 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77,
78, 79, 80, 81, 82, 83, 84,
85, 86, 87, 88, 89, 90, 91,
92, 93, 94, 95, 96, 97, 98,
99, 101, 102
Analisis 10, 11, 12, 94, 96, 99
Analisis Retrospektif 10
Anjal 10, 77, 87, 101
Asesmen 17, 20, 21, 80, 81, 100
ASI 29

Bantuan langsung tunai


bersyarat 100
Bappenas 4, 5, 9
BPJS 54, 55
BPS 6, 28, 29, 31, 39
Broken home 42

Community development 99
CPS 17, 19, 20, 21, 22, 23
Cross cutting program 102

106

Dekadensi moral 45
Disabilitas 2, 6, 44, 54, 63, 64, 69
DIY 9, 10, 72, 77
DKI 2, 9, 10, 30, 38, 70, 77, 83
Duty 8

Efektif 102
Eksploitasi 18, 19, 44, 58, 70
Evaluasi 4, 20, 58, 59, 69, 75, 76,
79, 81, 83, 92, 94, 96

FCU 101
FGD 10, 70, 73
FKKADK 9
Fundamental 27, 28, 57

Hak dasar 28, 55, 67, 75, 76, 91


HIV/AIDS 6, 49, 50, 51, 52, 92
Home visit 83, 84

Indikator 4, 5, 12, 102


Intake 20
Intelektual 14, 62

KB 9, 62
Kebijakan 1, 2, 4, 5, 6, 7, 10, 11,
12, 25, 27, 52, 55, 56, 60,

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

64, 65, 66, 67, 68, 69, 70,


71, 72, 74, 93, 94, 95, 96, 99
Kebijakan sosial 7, 10, 11
Kekerasan 9, 16, 17, 18, 27, 40,
41, 42, 43, 44, 45, 46, 58,
61, 65, 71, 90, 102
Kekerasan fisik 18
Kelompok minoritas 16, 41
Kendala 4, 72
Kesejahteraan sosial anak 2, 3, 4,
6, 7, 8, 9, 12, 27, 28, 37, 63,
75, 76, 78, 79, 82, 84, 93,
96, 100, 102
Keterlantaran Balita 31, 38
KHA 9, 56, 70
Konvensional 6
KPAI 9, 56, 70
KUBE 101

LKSA 3, 5, 8, 9, 33, 37, 39, 59,


76, 77, 78, 79, 81, 82, 83,
84, 91, 93, 94, 95, 96, 99,
100, 101

MCK 30, 37
Monitoring 69, 79, 83, 92

NAD 9, 14
NAPZA 16, 41

Optimal 9, 15, 16, 23, 40, 60

Parenting skill 99, 100


Peers group 44
Pelecehan seksual 18, 19, 47, 48,
90
Pendamping 8, 9, 10, 47, 50, 52,
76, 77, 78, 79, 80, 81, 82,
83, 84, 89, 90, 91, 92, 96,
99, 100, 101, 102
Penelantaran 16, 17, 18, 20, 41,
90
Penganiayaan psikologis 19
Pengasuhan alternatif 8, 59
Pengasuhan anak 3, 8, 11, 14,
15, 16, 18, 19, 27, 37, 39,
40, 59, 80, 85
Perlindungan khusus 2, 5, 8, 16,
28, 40, 41, 44, 49, 57, 65,
75, 91
PKH 101
PKSA 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,
12, 37, 52, 75, 76, 77, 78,
79, 80, 81, 84, 85, 86, 87,
88, 89, 91, 92, 93, 94, 95,
96, 99, 101
PKSADK 82
Pluralisme 71
PMKS 6, 29, 31, 32, 44, 75
Prioritas 2, 41, 58, 94, 99
Problem 94, 95, 96
PSAA 109

Observasi 10, 34, 52, 81


Opportunities 94, 95
Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

107

Qanun Aceh Nomor 11 Tahun


2008, 68

Sakti Peksos 76, 77, 78, 79, 80,


83, 84
SDM 4, 6, 43, 52, 74, 77, 83, 84,
93, 94, 95
SKPD 72, 73, 95
Strengtheness 94
Substitusi 15
Supervisi 19
SWOPA 94, 99

UEP 99
Undang Undang Dasar 1945 1,
52
Undang Undang RI Nomor 11
Tahun 2009, 57, 64
Undang Undang RI Nomor 4
Tahun 1979, 56
Unicef 3, 9, 39, 69, 70

Wawancara mendalam 10, 70


Weaknessess 94

Target 2, 22, 79, 95, 102


TAS 86, 88
Terisolasi 16, 41
TPA 9, 62
Traumatis 15

108

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

SEKILAS PENULIS
Dra. Mulia Astuti, M.Si. Lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat

(1954). Pendidikan terakhir Pasca Sarjana (S2) Program Kajian


Ketahanan Nasional (UI 1997). Mengawali karir sebagai pegawai
negeri sipil Departemen Sosial RI (1978) ditempatkan di Badan
Penelitian dan Pengembangan Sosial. Mulai menjadi peneliti
(1987). Pernah ditempatkan pada jabatan struktural sebagai
Kepala Bidang Program pada Pusat Penelitian Kesejahteraan
Sosial(2000), Kepala Bidang Pemberdayaan Pranata Sosial
(2001) dan Kepala Bidang Kerjasama dan Publikasi (2006)
pada Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat.
Kemudian di mutasi ke Direktorat Jenderal Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial sebagai Kepala Sub Direktorat Pelayanan
Sosial Anak Terlantar (2007), terakhir Kasubdit Kelembagaan,
Perlindungan dan Advokasi Sosial (2009). Pernah mengikuti
Asean Training-Overview of Sosial Services (1991) di Singapura
dan pernah mengajar pada Universitas Satya Negara Indonesia
(USNI) untuk jurusan Kesejahteraan Sosial (1989-1994). Pada
tahun 2010 kembali pindah ke Puslibang Kesejahteraan sebagai
peneliti. Sejak tahun 1987 sampai sekarang aktif mengikuti
kegiatan-kegiatan penelitian baik kelompok maupun
perorangan, kegiatan seminar dan menulis buku, artikel yang
dimuat di Jurnal maupun majalah ilmiah.

Ir. Ruaida Murni. Lahir di Takengon tanggal 17 Juli 1962, menyelesaikan

S1 di Universitas Negeri Jambi. Saat ini menjabat sebagai Peneliti


Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan
Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial,
Kementerian Sosial RI. Dan sebagai anggota tim penilai jabatan
fungsional Litkayasa Kementerian Sosial RI. Penelitian yang
telah dilaksanakan antara lain Peranan Pelayanan dan Bantuan
Sosial Proyek Atma Brata CCF Terhadap Kesejahteraan Sosial
Keluarga Miskin di Kecamatan Cilincing; Pengembangan

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

109

Metode dan Teknik Penyuluhan dan Bimbingan Sosial


Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan; Kebutuhan Pelayanan
Kesejahteraan Sosial di Kawasan Industri; Metode dan Teknik
Pelayanan Anak Pada Kelompok Bermaian dan Taman
Penitipan Anak; Permasalahan Sosial Migran Perkotaan di
Propinsi Riau; Penelitian Kemandirian Penerima Pelayanan
Panti Sosial Asuhan Anak dan Panti Sosial Bina Netra; Model
Rehabilitasi Sosial Penyalahguna NAFZA di Beberapa Institusi
Swasta; Pengembangan Uji Coba Model Pemberdayaan Remaja
Melalui Karang Taruna; Akreditasi Panti; Uji Coba Model
Pengentasan Anak Terlantar Melalui Kekerabatan; Pergeseran
Pola Relasi Gender Ex TKW; Pemberdayaan Sosial Keluarga
Pasca Bencana Alam; dan Uji Coba Model Pemberdayaan Sosial
Keluarga Pasca Bencana Alam, Studi Kebijakan Penanganan
Korban Tindak Kekerasan: Kasus Perdagangan Perempuan
di Wilayah Perbatasan dan Studi Kebijakan Pengembangan
Kegiatan Sakti Peksos di Panti Sosial Masyarakat

Drs. Ahmad Suhendi, M.Si. Lahir di Tangerang pada tanggal 30

Juni 1958, menyelesaikan pendidikan Sarjana Kesejahteraan


Sosial pada tahun 1992 di STKS Bandung dam Pasca Sarjana
Jurusan Kesejahteraan Sosial UI Jakarta tahun 2006. Bekerja di
Kementerian Sosial RI sejak tahun 1982 sebagai Staf Peneliti.
Saat ini sebagai Peneliti Madya pada Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan
dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI.
Diklat yang diikuti antara lain: Latihan Prajabatan Tingkat II,
Pelatihan Tenaga Peneliti Bidang Kesejahteraan Sosial Tingkat
Dasar, Diklat Analisa Data Angkatan II, Pemantapan Petugas
Penyuluh dan Bimbingan HIV/AIDS Bidang Sosial, Diklat
Adum, Pelatihan Metodologi Penelitian Kebijakan Responsif
Gender Tingkat Analis, Diklat SKTA, Dilat Peneliti Tingkat
Lanjutan. Penelitian yang dilakukan antara lain: Studi Penjajagan

110

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

Aspek Sosial Kemiskinan, Permasalahan Sosial di Perkotaan,


Pelaksanaan Program Pemberian Beasiswa Sekolah Dasar oleh
PT. Indofood Sukses Makmur Tbk Sebagai Wujud Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan (Studi Kasus di Sekolah Dasar Negeri
06 Desa Sukadanau Kecamatan Cikarang Barat Kabupaten
Bekasi), Indikator Ketahanan Sosial Keluarga, Replikasi Model
Desa Berketahanan Sosial melalui Pemberdayaan Pranata
Sosial di Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah
dan Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi, Pengembangan Desa
Berketahanan Sosial melalui Pemberdayaan Pranata Sosial
(Replikasi Model di Empat Provinsi), Analisis Kebutuhan Sosial
Dasar dalam Pemberdayaan Masyarakat Daerah Tertinggal:
Studi Kasus di Desa Simpur Kabupaten Pulang Pisau, dan
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan: Studi Evaluasi
Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni bagi Keluarga
Miskin di Perkotaan.

Penelitian Kebijakan Kesejahteraan, Pengasuhan Dan Perlindungan Anak

111

Anda mungkin juga menyukai

  • Asmaul Husna
    Asmaul Husna
    Dokumen80 halaman
    Asmaul Husna
    Luffy Jemari Luffy Jemari
    Belum ada peringkat
  • Resume LP IBS-1 Panjang
    Resume LP IBS-1 Panjang
    Dokumen11 halaman
    Resume LP IBS-1 Panjang
    Luffy Jemari Luffy Jemari
    Belum ada peringkat
  • LP Hipertensi
    LP Hipertensi
    Dokumen3 halaman
    LP Hipertensi
    Luffy Jemari Luffy Jemari
    Belum ada peringkat
  • LP Ulkus Ganggren
    LP Ulkus Ganggren
    Dokumen18 halaman
    LP Ulkus Ganggren
    Luffy Jemari Luffy Jemari
    Belum ada peringkat
  • Analisa Kateter
    Analisa Kateter
    Dokumen6 halaman
    Analisa Kateter
    Luffy Jemari Luffy Jemari
    Belum ada peringkat
  • Analisa Kateter
    Analisa Kateter
    Dokumen6 halaman
    Analisa Kateter
    Luffy Jemari Luffy Jemari
    Belum ada peringkat
  • Askep Jiwa
    Askep Jiwa
    Dokumen186 halaman
    Askep Jiwa
    Luffy Jemari Luffy Jemari
    100% (1)