Anda di halaman 1dari 13

Etika, Disiplin dan Profesionalisme Dokter

Eka Ayu Larasati


102013125/A6
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no. 6, Tanjung Duren, Jakarta Barat 11510
Email: ekaayularasati@gmail.com
Pendahuluan
Pelayanan

kesehatan

pada

dasarnya

bertujuan

untuk

melaksanakan

pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan


medis yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien
yang membutuhkan penyembuhan. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan
medis yang sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan media ini dapat berupa penegakan
diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan medik
sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar yang memang
diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya maksimal yang dilakukan
dokter ini adalah bertujuan agar pasien tersebut dapat memperoleh hak yang
diharapkannya dari transaksi yaitu kesembuhan ataupun pemulihan kesehatannya.
Agar setiap dokter dapat memberikan pelayanan yang maksimal maka dari itu
dibuatlah suatu kode etik. Kode etik dapat diartikan pola aturan, tata cara, tanda,
pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan
pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Dalam kaitannya dengan
profesi, bahwa kode etik merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standart
kegiatan anggota suatu profesi. Suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai
profesional suatu profesi yang diterjemahkan ke dalam standar perilaku anggotanya.
Nilai profesional paling utama adalah keinginan untuk memberikan pengabdian
kepada masyarakat. Nilai professional dapat disebut juga dengan istilah asas etis.
Chung (1981) mengemukakan empat asas etis, yaitu menghargai harkat dan martabat,
peduli dan bertanggung jawab, integritas dalam hubungan, tanggung jawab terhadap
masyarakat. Pada dasarnya kode etik memiliki fungsi ganda yaitu sebagai
perlindungan dan pengembangan bagi profesi.1

Etika Kedokteran
Etik merupakan seperangkat perilaku yang benar atau norma-norma dalam
suatu profesi. Etika kedokteran adalah pengetahuan tentang perilau professional para
dokter dan dokter gigi dalam menjalankan pekerjaannya, sebagaimana tercantum
dalam lafal sumpah dan kode etik masing-masing, yang telah disusun oleh organisasi
profesinya bersama-sama pemerintah.2
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia terdapat kewajiban umum, kewajiban
dokter terhadap sesama, kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban dokter terhadap
diri sendiri. Pada Pasal 10 KODEKI :Setiap harus dokter harus senantiasa mengingat
akan kewajiban melindungi hidup insane. Dalam arti bahwa segala perbuatan atau
tindakan dokter bertujuan untuk memelihara kesehatan pasien, karena itu kehidupan
manusia harus dipertahankan dengan segala daya. Namun kadangkala dokter harus
mengorbankan salah satu kehidupan untuk menyelamatkan kehidupan lain, yang lebih
penting. Misalnya terpaksa melakukan abortus provocatus medisinalis (abortus
terapetik), pada beberapa keadaan dimana keselamatan dan keadaan ibu mendapat
prioritas, karena besarnya peranan ibu dalam keluarga. 3
Dalam melakukan tindakan medik diperlukan adanya komunikasi antara
dokter-pasien. Bagian yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan dimulai dari
informed consent:3

Informasi merupakan bagian yang terpenting dalam pembicaraan mengenai


informed consent untuk memberikan informasi atau penjelasan yang perlu
disampaikan kepada pasien ataupun keluarganya. Informasi yang disampaikan
menyangkut informasi apa yang perlu disampaikan (what), kapan disampaikan
(when), siapa yang harus disampaikan (who), dan informasi mana yang peru
disampaikan (which)
Mengenai apa yang (what) yang harus disampaikan, tentu yang harus
berkaitan dengan penyakit pasien termasuk tindakan apa yang dilakukan,
prosedur yang dijalani pasien baik diagnostikmaupun terapi sehingga pasien
dan keluarganya dapat memahami tujuan, resiko, manfaat dan terapi tindakan
yang akan dilakukan.

Mengenai kapan (when) disampaikan tergantung waktu yang tersedia


dengan masud pasien dan keluarganya dapat menentukan keputusannya.
Yang menyampaikan (who) informasi, tergantung dari jenis tindakan
yang akan dilakukan. Dalam Permenkes dijelaskan dalam tindakan bedah dan
tindakan invasive lainnya harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan
tindakan.
Mengenai informasi yang mana (which) yang akan disampaikan dalam
permenkes dijelaskan haruslah selengkap-lengkapnya, kecuali dokter menilai
informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien
menolak diberikan informasi

Persetujuan haruslah didapat setelah pasien mendapat informasi yang adekuat.


Yang harus diperhatikan adalah bahwa yang berhak memberikan persetujuan
adalah pasien yang sudah dewasa ( diatas 21 tahun atau sudah menikah ) dan
dalam keadaan sehat mental. Pada kasus ini pasien bisa mengambil keputusan
atas persetujuan dari suami dan keluarganya.

Penolakan . Tidak selamanya pasien dan kelurga setuju dengan tindakan medic
yang akan dilakukan dokter . Dalam situasi demikian, kalangan dokter
maupun kalangan kesehatan lainnya harus memahami bahwa pasien atau
keluarga mempunyai hak untuk menolak usul tindakan yang akan
dilakukan.Tidak ada hak dokter untuk memaksa pasien mengikuti anjurannya,
walaupun dokter menggangap bahwa penolakan ini bias berakibat gawat atau
kematian pasien. Bila tindakan dokter gagal dalam meyakinkan pasien, untuk
keamanan dikemudian hari maka dokter atau rumah sakit meminta pasien atau
keluarganya untuk menandatangani surat penolakan terhadap anjuran tindakan
medic yang diperlukan.3

Disiplin Kedokteran
Disiplin kedokteran adalah aturan-aturan atau ketentuan penerapan keilmuan
dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter. Dalam disiplin
kedokteran terdapat beberapa pelanggaran seperti:
Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate information)
kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran. Penjelasan:

a.

Pasien mempunyai hak atas informasi tentang kesehatannya (the right to

information), dan oleh karenanya, dokter wajib memberikan informasi dengan bahasa
yang dipahami oleh pasien atau penterjemahnya, kecuali bila informasi tersebut dapat
membahayakan kesehatan pasien.
b.

Informasi yang berkaitan dengan tindakan medik yang akan dilakukan meliputi:

diagnosis medik, tata cara tindakan medik, tujuan tindakan medik, alternatif tindakan
medik lain, risiko tindakan medik, komplikasi yang mungkin terjadi serta prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan.
c. Pasien juga berhak memperoleh informasi tentang biaya pelayanan kesehatan yang
akan dijalaninya.
d. Keluarga pasien berhak memperoleh informasi tentang sebab-sebab terjadinya
kematian pasien, kecuali atas kehendak pasien
Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga
dekat atau wali atau pengampunya. Penjelasan:
a. Setelah menerima informasi yang cukup dari dokter dan memahami maknanya
(well informed) sehingga pasien dapat mengambil keputusan bagi dirinya sendiri (the
right to self determination) untuk menyetujui (consent) atau menolak (refuse)
tindakan medik yang akan dilakukan dokter kepadanya.
b. Setiap tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien, mensyaratkan
persetujuan (otorisasi) dari pasien yang bersangkutan. Dalam kondisi dimana pasien
tidak dapat memberikan persetujuan secara pribadi (dibawah umur atau keadaan
fisik/mental tidak memungkinkan), maka persetujuan dapat diberikan oleh keluarga
terdekat (suami/istri, bapak/ibu, anak atau saudara kandung) atau wali atau
pengampunya (proxy).
c. Persetujuan tindakan medik (informed consent) dapat dinyatakan secara tertulis
atau lisan, termasuk dengan menggunakan bahasa tubuh. Setiap tindakan medik yang
mempunyai risiko tinggi mensyaratkan persetujuan tertulis.
d. Dalam kondisi dimana pasien tidak memberikan persetujuan dan tidak memiliki
pendamping, maka dengan tujuan untuk penyelamatan atau mencegah kecacatan
pasien yang berada dalam keadaan darurat, tindakan medik dapat dilakukan tanpa
persetujuan pasien.
e. Dalam hal tindakan medik yang menyangkut kesehatan reproduksi persetujuan
harus dari pihak suami/istrif.

Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi. Penjelasan:
a. Dalam melaksanakan praktik kedokteran, tenaga medik wajib membuat rekam
medik secara benar dan lengkap serta menyimpan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
b.

Dalam hal dokter berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, maka penyimpanan

rekam medik merupakan tanggung jawab sarana pelayanan kesehatan yang


bersangkutan
Menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan dan etika profesi. Penjelasannya
a. Penghentian (terminasi) kehamilan hanya dapat dilakukan atas indikasi medik yang
mengharuskan tindakan tersebut.
b. Penentuan tindakan penghentian kehamilan pada pasien tertentu yang
mengorbankan nyawa janinnya dilakukan oleh setidaknya dua dokter.3,4

Sanksi disiplin yang dapat dikenakan oleh MKDKI berdasarkan Undang- undang No.
29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 69 ayat (3) adalah: 5
a) Pemberian peringatan tertulis
b) Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik;
dan/atau
c) Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi.

Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik yang
dimaksud dapat berupa Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat
Izin Praktik sementara selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau Rekomendasi pencabutan
Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik tetap atau selamannya;Kewajiban
mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau

kedokteran gigi yang dimaksud dapat berupa: a) Pendidikan formal, b) Pelatihan


dalam pengetahuan dan atau ketrampilan, magang di institusi pendidikan atau sarana
pelayanan kesehatan jejaringnya atau sarana pelayanan kesehatan yang ditunjuk,
sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun. 5

Hukum Kedokteran
Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu
kekuasaan.

Hukum

kesehatan

adalah

peraturan

perundang-undangan

yang

menyangkut pelayanan kesehatan. Pelanggaran etik kedokteran tidak selalu berarti


pelanggaran hukum, begitu pula sebaliknya pelanggaran hukum belum tentu berarti
pelanggaran etik kedokteran. Pelanggaran etik kedokteran diproses melalui MKEKIDI dan kalau perlu diteruskan ke P3EK-DEPKES, sedangkan pelanggaran hukum
diselesaikan melalui pengadilan6.
Dalam hukum kedokteran di Indonesia dan Undang-Undang Negara
menyatakan bahwa seorang dokter atau tenaga medis lainnya tidak diperbolehkan
melakukan tindakan pengguguran kandungan. Bahkan sejak awal seseorang yang
akan menjalani profesi sebagai seorang dokter atau tenaga kesehatan secara resmi
telah bersumpah dengan sumpah yang didasarkan atas Deklarasi Jenewa yang telah
menyempurnakan Sumpah Hippokrates, dimana ia akan menyatakan diri untuk
menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan. 7 Oleh karena itu, setiap
dokter ataupun tenaga medis harus mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani. Jika dokter atau tenaga medis melakukan pelanggaran maka akan
dikenakan sanksi bahwa telah melanggar aturan tersebut.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 pasal 15 ayat 1) Tindakan
medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena
bertentangan dengan norma hukum,norma agama, norma kesusilaan, dan norma
kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu
dan atau janin yang dikandungnya dapat diambil medis tertentu. 2) Butir A. Indikasi
medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan
tertentu, sebab tanpa tindakan medis tertentu itu, ibu hamil dan atau janinya terancam
bahaya maut. Butir B. Tenaga Kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis

tertentu adalah tenaga yang memiliki keahlian dan kewenangan utnuk melakukannya
yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan. Sebelum melakukan
tindakan medis tertentu tenaga kesehatan harus terlebih dahulu meminta
pertimbangan tim ahli yang dapat terdiri dari berbagai bidang seperti medis, agama,
hukum dan psikologi. Butir C. Hak utama untuk memberikan persetujuan ada pada
ibu hamil yang bersangkutan kecuali dalam keadaan tidak sadar stau tidak dapat
memberikan persetujuannya, dapat diminta dari suami atau keluarganya. Butir D.
Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan
yang memadai untuk tindakan tersebut dan telah ditunjuk oleh pemerintah. 3) Dalam
Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan dari Pasal ini dijabarkan antara lain
mengenai keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya,
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan, bentuk persetujuan dan
sarana kesehatan yang ditunjuk.7,8
Informed Consent segi Hukum dan Etika
Dalam sejarahnya, informed consent berakar pada banyak disiplin ilmu
pengetahuan, termasuk dalam ilmu kesehatan atau kedokteran, ilmu hukum, ilmu
perilaku sosial, dan ilmu filsafat moral/etika. Belakangan ini, bidang ilmu yang sangat
berpengaruh dalam hal informed consent adalah ilmu hukum dan ilmu filsafat moral
atau filsafat etika. Kedua disiplin ilmu ini, keduanya dengan metoda dan objektifnya
tersendiri, mempunyai fungsi sosial dan intelektual yang berbeda.6
Hukum memfokuskan diri terutama pada konteks klinis, tidak pada riset.
Dalam kacamata hukum, dokter mempunyai kewajiban untuk pertama memberi
informasi kepada pasiennya dan kedua untuk mendapatkan izinnya. Apabila seorang
pasien cedera akibat dokter lalai dengan tidak memberikan informasi yang lengkap
mengenai suatu pengobatan atau tindakan, maka pasien dapat menerima kompensasi
finansial dari si dokter karena telah menyebabkan cedera tersebut. Dalam masalah
informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat
oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat
melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun
hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan. 6

Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur
yang digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan
kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata
secara umum berlaku adagium barang siapa merugikan orang lain harus memberikan
ganti

rugi.

Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah
kesalahan berat (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada
pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk
menjatuhkan sanksi pidana. 6
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana
jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa
tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu
memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat
dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan
harus menghormatinya. 6
Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan
adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang
penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology
invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak
pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak
pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP. 6
Dari segi filsafat etika, informed consent terutama menyangkut pilihan secara
otonomi dari pasien dan subyek penelitian. Secara sederhana kita bisa menyingkat
kedua pendekatan ini sebagai berikut: Pendekatan hukum datang dari teori pragmatis.
Pasien mempunyai hak untuk memberi izin atau menolak, akan tetapi fokusnya adalah
pada dokter, yang mempunyai kewajiban dan mempunyai risiko membayar ganti rugi
apabila tidak melaksanakan kewajibannya. Pendekatan filsafat moral atau etika datang
dari prinsip menghargai otonomi, dan fokusnya adalah pada pasien atau subyek, yang
mempunyai hak untuk membuat pilihan secara otonomi. Dengan demikian, kedua

kerangka berfikir ini sangatlah sederhana, akan tetapi ternyata sulit untuk
diinterpretasikan dan diperbandingkan. Terdapat banyak sekali beda pendapat
mengenai hal ini. 6
Pemikiran etika mendasari diri pada prinsip, aturan, dan hak. Ada empat prinsip etika
di dalam informed concent : 6
1. Autonomy
Dalam semua proses pengambilan keputusan, dianggap bahwa keputusan yang
dibuat setelah mendapatkan penjelasan itu dibuat secara sukarela dan
berdasarkan pemikiran rasional. Di dalam dunia kedokteran, dokter
menghargai otonomi pasien berarti bahwa si pasien atau klien mempunyai
kemampuan untuk berlaku atau bertindak secara sadar dan intensional, dengan
pengertian penuh, dan tanpa pengaruh-pengaruh yang bisa menghilangkan
kebebasannya.6
2. Non-maleficence
Di dalam prinsip ini, dokter tidak boleh secara sengaja menyebabkan
perburukan atau cedera pada pasien, baik akibat tindakan (commission) atau
tidak dilakukannya tindakan (omission). Dalam bahasa sehari-hari: Akan
dianggap lalai apabila seseorang memaparkan risiko atau cedera yang tidak
layak

(unreasonable)

kepada

orang

lain.

Standar

perawatan

yang

meminimalkan risiko cedera atau perburukan merupakan hal yang diinginkan


masyarakat secara common sense. 6
3. Beneficence
Kewajiban petugas kesehatan untuk memberikan kemaslahatan, kebaikan,
kegunaan, benefit bagi pasien, dan juga untuk mengambil langkah positip
mencegah dan menghilangkan kecederaan dari pasien. 6
4. Justice
Keadilan di dalam pelayanan dan riset kesehatan digambarkan sebagai
kesamaan hak bagi pasien-pasien dengan kondisi yang sama. Di dalam
informed consent, penjelasan bagi pasien harus diberikan sampai dengan
pengobatan yang mungkin saja tidak terjangkau atau tidak dilindungi pihak
asuransinya. 6
Dalam PermenKes tentang persetujuan tindakan medis hal ini dinyatakan
bahwa dokter harus menyampaikannya kepada pasien diminta atau tidak diminta.
Artinya harus disampaikan, informasi itu meliputi :4

1.Diagnose
2.Terapi dan kemungkinan alternative terapi lain
3.Cara kerja dan pengalaman dokter yang melakukannya
4.Kemungkinan perasaan sakit atau perasaan lain misalnya gatal-gtal)
5.Risiko
6.Keuntungan terapi
7.Prognosa
Berpedoman kepada Peraturan Menteri Kesehatan tentang persetujuan
tindakan medis maka yang menadatangani perjanjian adalah pasien sendiri yang
sudah dewasa (diatas 21 tahun atau telah menikah) dan dalam keadaan sehat mental.
Dalam banyak perjanjian tindakan medis yang ada selama ini, penandatanganan
persetujuan ini sering tidak dilakukan oleh pasien sendiri, tetapi oleh keluarganya. Hal
ini berkaitan dengan kesangsian terhadap persiapan mental pasien untuk menerima
penjelasan tindakan opersi dan tindakan medis ynang invasive tadi serta keberanian
untuk menandatangani surat tersebut, sehingga beban demikian diambil alih oleh
keluarga pasien.
Untuk pasien dibawah umur 21 tahun, dan pasien penderita gangguan jiwa
yang menadatanganinya adalah orangtua/wali/keluarga terdekat. Untuk pasien dalam
keadaan tidak sadar, atau pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan
secara medis berada dalam keadaan gawat atau darurat yang memerlukan tindakan
medis segera, maka tidak diperlukan persetujuan dari siapapun (pasal 11 BAB IV
PerMenKes No.585).Mengenai saksi untuk keamanan sebaiknya dalam persetujuan
tindakan medis dari kalangan keluarga pasien dan dari kalangan rumah sakit turut
serta menadatangani persetujuan ini. Mengenai banyaknya saksi tidak terdapat
pedoman, begitu pula dengan hubungan atau kedudukan saksi. Dalam konsep yang
diajukan, jumlah saksi sebanyak 2 orang dengan pertimbangan satu mewakili pihak
pasien dan satu lagi mewakili pihak dokter atau rumah sakit.8
Jadi, pada hakekatnya informed consent adalah untuk melindungi pasien dari
segala kemungkinan tindakan medis yang tidak disetujui atau tidak diizinkan oleh
pasien tersebut, sekaligus melindungi dokter (secara hukum) terhadap kemungkinan
akibat yang tak terduga dan bersifat negatif. Yang tidak boleh dilupakan adalah dalam
memberikan informasi tidak boleh bersifat memperdaya menekan atau menciptakan

ketakutan sebab ketiga hal itu akan membuat persetujuan yang diberikan menjadi
cacat hukum. Sudah seharusnya informasi diberikan oleh dokter yang akan
melakukan tindakan medis tertentu, sebab hanya ia sendiri yang tahu persis mengenai
kondisi pasien dan segala seluk beluk dari tindakan medis yang akan dilakukan.3
Berikut adalah persamaan etik dan hukum adalah :2
1. Sama-sama merupakan alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakat
2. Sebagai objeknya adalah tingkah laku manusia
3. Mengandung hak dan kewajiban anggota-anggota masyarakat, agar tidak
saling merugikan
4. Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi
5. Sumbernya adalah hasil pemikiran para pakar dan pengalaman para
anggota senior
Sedangkan, perbedaan etik dan hukum adalah :6
1. Etik berlaku untuk lingkungan profesi, sedangkan hukum berlaku untuk umum
2. Etik disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi. Hukum disusun oleh
badan pemerintahan
3. Etik tidak seluruhnya tertulis. Hukum tercantum secara terinci dalam kitab
undang-undang dan lembaran /berita negara
4. Sanksi terhadap pelanggaran etik berupa tuntutan. Sanksi terhadap
pelanggaran hukum juga berupa tuntan
5. Pelanggaran etik diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK), yang dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan kalau perlu
diteruskan kepada panitia pertimbangan dan Pembinaan Etika Kedokteran
(P3EK), yang dibentuk oleh Departemen Kesehatan (DEPKES), pelanggaran
hukum diselesaikan melalui pengadilan. Pengadilan
6. Penyelesaian pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik. Namun,
penyelesaian pelanggaran hukum memerlukan bukti fisik
Kelalaian Medik
Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang
seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan
oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi
yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-perorang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan
oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan
telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain. 6

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan


nonfeasance.

Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak


tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis

tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis sudah improper).


Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi
dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya

melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.


Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan
kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentukbentuk error (mistakes, slips, and lapses), namun pada kelalaian harus
memenuhi keempat unsur kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian,
sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya
latent error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk.6
Kelalaian dalam arti perdata berbeda dengan arti pidana. Dalam arti pidana

(criminal), kelainan mennunjukan kepada adanya suatu sikap yang sifatnya lebih
serius, yaitu sikap yang sangat sembarangan atau sikap sangat tidak hati-hati terhadap
kemungkinan timbulnya resiko yang bisa meyebabkan orang lain terluka atau mati.
Sehingga harus bertanggung jawab terhadap tuntutan criminal oleh Negara. Jadi
permasalahan malpraktek menjadi hal yang sangat umum karena berkait dengan
banyak hal. Malpraktek sendiri memiliki arti harafiah, kegagalan melakukan tugas.
Kegagalan tersebut dapat disebabkan berbagai macam factor :6
1.

Adanya unsur kelalaian.

2.

Adanya unsur kesalahan bertindak.

3.

Adanya unsur pelanggaran kaidah profesi ataupun hukum.

4.

Adanya kesengajaan untuk melakukan tindakan yang merugikan.

Kesimpulan
Dalam penyelenggaraan kesehatan seharusnya ada komunikasi yang baik
antara dokter dan pasien sehingga pemeriksaan, penatalaksanaan dan hasil yang
diharapkan bisa tercapai dengan baik. Dalam hal ini pula seorang dokter harus
beretika yang baik, mengikuti disiplin dan hukum yang telah berlaku. Namun, dalam

segi etika dan disiplin kedokteran dokter P dianggap tidak profesional karena
menyalahi ikatan antara dokter-pasien dengan tidak melanjutkan pemberian pelayanan
dan keterangan yang cukup baik kepada pasien maupun kepada dokter pengganti yang
merupakan pelanggaran kewajiban dokter sehingga tidak terpenuhinya hak-hak
pasien.
Daftar Pustaka
1. Nasution BJ.Hukum kesehatan pertanggungjawaban dokter.Jakarta:Rineka
Cipta;2005.h.11-35
2. Samil RS. Etika kedokteran Indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
2013;4:45-6
3. Harafiah M, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Ed. 3. Jakarta
:EGC;1999: 22-25,95.
4. Cahyono JBSB. Membangun budaya keselamatan pasien dalam praktik
kedokteran. Yogyakarta: Penerbit Kanisius; 2008: 225-30.
5. Konsil Kedokteran Indonesia. Peraturan konsil kedokteran Indonesia nomor
15/KKI/PER/VIII/2006 tentang organisasi dan tata kerja majelis kehormatan
dan disiplin kedokteran Indonesia di tingkat provinsi. Diunduh dari
http://www.kki.go.id/assets/data/arsip/Buku_MKDKI.pdf, 2016.
6. Jacobalis,Samsi. Perkembangan ilmu kedokteran, etika medis, dan Bioetika.
Jakarta : Sagung Seto, 2005. Hal 228, 238-40.
7. Redaksi Best Publisher. Undang-undang kesehatan dan praktik kedokteran.
Yogyakarta: Penerbit Best Publisher;2009: 12.
8. Undang-undang republik Indonesia nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan
dan undang-undang republik Indonesia nomor 29 tahun 2004 tentang praktik
kedokteran. Jakarta: Visimedia; 2007: 40-41.

Anda mungkin juga menyukai