Anda di halaman 1dari 3

ISU GENDER DALAM POLITIK

MASALAH
:
Bagaimana Keseteraan Gender bagi Perempuan Indonesia di dalam dunia perpolitikan, baik
Eksekutif
maupun
Legislatif
?
ANALISIS
:
Politik adalah unsur yang penting dalam pemerintahan suatu Negara. Politik
merupakan sebuah aspek utama yang memegang pengaruh terhadap bidang bidang lainnya.
Baik itu pendidikan, ekonomi, keamanaan, kini semua ditentukan oleh politik. Negara yang
maju adalah Negara yang berhasil dalam politiknya. Melalui politik inilah nantinya jalan
menuju kesejahteraan dan keberhasilan suatu Negara ditentukan, tinggal bagaimana suatu
negara
itu
menentukan
cara
politik
dalam
negaranya.
Seperti diketahui, Sistem Pemilu di Indonesia sejak refomasi adalah Pemilu Langsung,
dimana rakyat memilih secara langsung Calon Anggota Legislatif (DPR, DPRD, dan DPD)
serta Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Baik itu Pemilu legislatif maupun Pemilu
Presiden yang diadakan 5 tahun sekali adalah langkah awal bagi pemerintahan Indonesia.
Oleh karana itu harapan untuk pemilihan sosok orang yang tepat sangatlah dituntut karena
menentukan masa depan Indonesia 5 tahun ke depan, baik itu dalam hal integritas,
kapabilitas,
loyalitas,
dan
lainnya.
Bagaimana dengan Perempuan? Inilah yang menjadi isu gender dalam politik di Indonesia.
Dapat kita lihat bahwasanya kesetaraan gender belum seutuhnya terwujud dalam hal
keberadaan perempuan baik itu dalam legislative (DPR & DPRD), maupun eksekutif
(kementrian/cabinet
presiden).
Walaupun jatah untuk perempuan sudah dialokasikan untuk menempati kursi legislative,
nyatanya hal ini belum bisa dimaksimalkan oleh perempuan perempuan Indonesia. Seperti
diketahui dalam UU No. 10 tahun 2008, dalam hal pemilu legislatif, partai harus menyertakan
perempuan sebanyak 30 % dalam daftar calon anggota legislatif mereka dari partai masing
masing. Bagi kebanyakan perempuan, hal ini dirasa sudah cukup. Padahal mereka lupa dan
terlena
bahwa
kesetaraan
gender
tidak
cukup
hanya
dengan
30%.
Memang untuk berbaur dalam Dunia Politik bagi perempuan tidaklah seperti mudahnya
membalikan telapak tangan. Perempuan mempunyai kewajiban tersendiri dan tidak hanya
melulu mengurus urusan politik, mengurus keluarga misalnya adalah merupakan tugas
terpenting perempuan. Oleh karena itu caleg perempuan tidak akan dapat berkonsentrasi
penuh seperti caleg laki laki untuk memenangkan pemilu melalui kampanye kampanye,
sosialisasi,
dan
sebagainya.
Dalam perjalanannya, perempuan kembali dihadapkan kepada polemik baru. Dimana dalam
pemilu 2009 tidak lagi menggunakan sistem nomor urut yang digunakan untuk menentukan
keterpilihan seorang caleg. Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi, Sistem suara

terbanyak yang dikenal dengan nama tarung bebas digunakan dalam menentukan calon
anggota legislative. Mengahadapi hal ini, perempuan kembali menghadapi masalah gender.
Mereka merasa hal ini jutru akan semakin mematikan langkah perempuan untuk berperan
dalam
politik
Indonesia.
Bukan tanpa alasan mereka berpikiran seperi itu. Mind set atau cara berpikir orang orang
Indonesia kebanyakan lebih mendahulukan laki laki daripada perempuan. Sehingga secara
otomatis orang orang akan lebih banyak memilih Caleg Pria ketimbang Caleg Wanita.
Inilah sebenarnya paradigma yang harus diubah oleh orang orang Indonesia, bahwa tak
selamanya anggapan bahwa Laki laki itu selalu lebih baik dari perempuan adalah benar.
Sebagai Contoh adalah Menkeu kita Sri Mulyani yang memiliki kecerdasan luar biasa yang
diakui
oleh
Internasional
dsb.
Mengingat electabilitas perempuan yang kecil, tak salah bila perempuan khawatir tidak akan
dapat tempat, baik dalam struktur pemerintahan dan legislatif. Contoh yang paling nyata
adalah sudah dirasakan oleh Partai PDI Perjuangan. Dimana dalam Pemilihan Presiden,
Megawati Soekarno Putri (Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) sebagai
pihak mewakili Perempuan Indonesia sudah 2 kali merasakan kekalahan dari pria, yaitu
dari Gus Dur (1999) dan SBY (2004). Padahal kala itu, partai yang memenangkan pemilu
tahun 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang meraup sekitar 30% suara
nasional dengan 165 kursi di DPR, yang secara matematis seharusnya Megawati dapat
dengan mudah melenggang menjadi Presiden. Namun nyatanya ia tetap kalah dalam Pilpres
malawan Gus Dur dari Partai Kebangkitan Bangsa yang hanya mendapat 50 kursi DPR.
Hal ini cukup dilemma, lucu, dan cenderung konyol bagi perempuan. Mengapa? Sejak jaman
dahulu, Perempun terus mengangkat tema mengenai persamaan gender hingga sekarang.
Namun setelah terdapat seorang RA. Kartini di zaman modern (Bu Mega-red), yang maju
untuk mengubah nasib perempuan, perempuan sendiri malah berpaling dan tak
mendukungnya. Cukup tragis memang, seorang perempuan tidak memilih perempuan
lainnya. Padahal perempuan harusnya sadar, bahwa yang dapat merubah nasib mereka
hanyalah perempuan sendiri, bukan laki laki. Bukan bermaksud untuk menyombongkan
Mantan Presiden kita itu,mungkin saja hanya ia Perempuan satu satunya di Indonesia yang
dapat meraih jabatan Presiden Indonesia walau hanya sebentar (2 tahun). Sekarang
pertanyaannya adalah, apa yang harus dilakukan oleh Perempuan apabila sudah tidak ada
lagi Perempuan yang berani mencalonkan diri sebagai Capres? atau yang lebih ekstrim,
siapa lagi yang dapat perempuan andalkan setelah Megawati tidak lagi mencalonkan diri
sebagai Presiden? Kalaupun dilihat, hingga saat ini hanya Puan Maharani (Putri Megawati),
yang gencar maju dalam pemerintahan. Itu pun belum maksimal. Selama Perempuan selalu
bersikap pragmatis dan tidak mau bekerja sama bersama perempuan lainnya dalam
mamperjuangkan kesetaraan bagi mereka sendiri, mungkin semua itu hanya akan menjadi
mimpi
dan
angan

angan
belaka.
Kita tak bisa pungkiri memang ada pendeskriminasian perempuan dalam politik di Indonesia.
Sekarang hal yang bisa dilakukan oleh perempuan adalah menunjukkan kemampuan

maksimal mereka agar para pemilih memberikan suara mereka untuk Caleg Perempuan.
Perempuan tidak hanya bisa menunggu dan mengharapkan keajaiban agar Pemilih
memberikan suaranya. Caleg perempuan harus bersikap lebih aktif dan aktraktif untuk
menggalang
dukungan
dan
keterpilihan
mereka
dalam
pemilu.
KESIMPULAN:
Perempuan terjebak dalam Paradigma kuno, yang menganggap laki laki lebih baik dari
perempuan dalam segala hal, apalagi hal politik. Sehingga Perempuan terkesan malas
untuk berubah, dan cenderung mengikuti arus yang sudah terbentuk. Padahal yang dapat
merubah nasib perempuan adalah perempuan itu sendiri bukan laki laki. Dan Politik
sebenarnya adalah langkah yang paling riil yang harus diikuti oleh perempuan bila ingin
mengubah nasibnya, dikarenakan politik mencakup segala aspek kehidupan modern.
SARAN
:
Hal
yang
harus
dilakukan
perempuan
adalah
=
1. Jangan Hanya menunggu munculnya seorang juru selamat, seperti RA. Kartini dan
Megawati. Perempuan harus aktif mulai berubah dari diri sendiri. Bila hanya menunggu,
mungkin hanya akan muncul sosok perempuan pembawa perubahan selama 100 tahun sekali.
Semetara bila perempuan bergerak aktif, tentunya tidak akan menunggu selama itu.
2. Perempuan sudah selayaknya mendukung Perempuan. Sebab, hanya perempuan sendirilah
yang dapat mengubah nasib perempuan lainnya, dikarenakan sepaham dan serasa. Jangan
lupa kriteria dalam hal kapabilitas dan kapasitas juga diperhitungkan.
3. Perempuan harus membuktikan bahwa ideologi Laki laki lebih baik dari perempuan
adalah salah besar. Caranya? tentu saja perempuan harus berprestasi seperti laki laki tanpa
membuang sifat kewanitaannya..

Anda mungkin juga menyukai