Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

HEMAPTOE

A. Definisi
Hemaptoe (batuk darah) adalah darah berdahak yang dibatukkan yang berasal
dari saluran pernafasan bagian bawah. Dikatakan batuk darah masif apabila jumlah darah
yang keluar 600 ml dalam waktu 24 jam. Hemaptoe adalah ekspetorasi darah / mukus
yang berdarah (Anonimous, 2012). Hemaptoe (hemoptysis) adalah batuk dengan sputum
yang mengandung darah yang berasal dari paru atau percabangan bronkus (Kusmiati &
Laksmi, 2011).
Hemaptoe adalah gejala pernafasan non-spesifik dan memiliki hubungan yang
signifikan dengan TB paru (Tafti SF et al, 2005).
B. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya dikenal berbagai macam batuk darah (Sluiter HJ,
1985)
1. Batuk darah idiopatik atau esensial dimana penyebabnya tidak diketahui angka
kejadian batuk darah idiopatik sekitar 15% tergantung fasilitas penegakan diagnosis.
pria terdapat dua kali lebih banyak dari pada wanita, berumur sekitar 30 tahun,
biasanya perdarahan dapat berhenti sendiri sehingga prognosis baik. teori perdarahan
ini adalah sebagai berikut:
a. Adanya ulerasi mukosa yang tidak dapat dicapai oleh bronkoskopi.
b. Bronkiektasis yang tidak dapat ditemukan.
c. Infrak paru yang minimal.
d. Menstruasi vikariensis
e. Hipertensi pulmonal
2. Batuk darah sekunder, yang penyebabnya dapat dipastikan pada prinsipnya berasal
dari :
a. Saluran nafas
Yang sering ialah tuberculosis, bronkiektasis, tumor paru, pneumonia, dan abes
paru. Menurut Bannet, 82-86% batuk darah disebabkan oleh tuberculosis paru,
karsinoma paru dan bronkiektasis. Yang jarang dijumpai adalah penyakit jamur
(aspergilosis), silikosis, penyakit oleh karena cacing.
b. Sistem kardiovaskuler
Yang sering adalah stenosis mitral, hipertensi. yang jarang adalah kegagalan
jantung, infrak paru, aneurisma aorta.
c. Lain-lain.
Sistem Gawat Darurat | 1

Disebabkan oleh benda asing, ruda paksa, penyakit darah seperti hemophilia,
hemosiderosis, sindrom Goodpasture, eritematosus lupus sistemik, diathesis
hemoregik dan pengobatan dengan obat-obat antikoagulan.
Berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan maka hemoptisis dapat dibagi
menjadi (Rab T, 1996) :
1. Hemoptisis massif
Bila darah yang dikeluarkan adalah 100-160 cc dalam 24 jam.
2. Kriteria yang digunakan di rumah sakit Persahabatan Jakarta :
a. Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam
b. Bila perdarahan kurang dari 600 cc dan lebih 250 cc / 24 jam, akan tetapi Hb
kurangdari 10 g %.
c. Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam dan Hb kurang dari 10 g %, tetapi
dalam pengamatan 48 jam ternyata darah tidak berhenti (Rab T, 1996).
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada hemoptoe
selain terjadi vasokontriksi perifer, juga terjadi mobilisasi dari depot darah, sehingga
kadar Hb tidak selalau memberikan gambaran besarnya perdarahan yang terjadi.
Kriteria dari jumlah darah yang dikeluarkan selama hemoptoe juga mempunyai
kelemahan oleh karena :
1. Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum dan kadang-kadang
dengan cairan lambung, sehingga sukar untuk menentukan jumlah darah yang hilang
sesungguhnya.
2. Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan bersama-sama dengan tinja, sehingga
tidak ikut terhitung.
3. Sebagian dari darah masuk ke paru0paru akibat aspirasi.
Oleh karena itu sesuatu nilai kegawatan dari hemoptoe ditentukan oleh :
1. Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan hipovolemik
( hipovolemik shock ).

2. Apakah terjadi obstruksi total maupun persial dari bronkus yang dapat dinilai dengan
adanya iskemik miokardium, baik berupa gangguan aritmia, gangguan mekanik pada
jantung, maupun aliran darah serebral. Dalam hal kedua ini dilakukan pemantauan
terhadap gas darah, disamping menentukan fungsi fungsi vital. Oleh karena itu suatu
tingkat kegawatan hemoptoe dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk akut berupa
asfiksia, sedangkan bentuk yang lain berupa renjatan hipovolemik.
Bila terjadi hemoptoe, maka harus dilakukan penilaian terhadap :
1. Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis.
2. Lamanya perdarahan.
3. Terjadinya mengi ( wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi.
Sistem Gawat Darurat | 2

4. Keadaan umum pasien, tekanan darah , nadi, respirasi, dan tingkat kesadaran.
Klasifikasi menurut Pusel (Purwandianto A, 2009)
1. +
: batuk dngan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis garis dalam sputum
2. ++
: batuk dengan perdarahan 1 30 ml
3. +++ : batuk dengan perdarahan 30 150 ml
4. ++++ : batuk dengan perdarahan > 150 ml
Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis sedang,
positif empat termasuk didalam kriteria hemoptisis masif.
C. Etiologi
Penyebab dari batuk darah (hemoptoe) dapat dibagi atas (Rab T, 1996) :
1. Infeksi, terutama tuberculosis, abses paru, pneumonia, kaverne oleh karena jamur dan
2.
3.
4.
5.
6.

sebagainya.
Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta.
Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis bronkus.
Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).
Benda asing pada saluran pernafasan.
Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.
Penyebab terpenting dari hemoptisis masif adalah (Moxham, 1991)

1. Tumor :
a. Karsinoma
b. Adenoma
c. Metastasis endobronkial dari massa tumor ekstratorakal.

2. Infeksi :
a. Aspergilloma
b. Bronkhiektasis (terutama pada lobus atas)
c. Tuberkulosis paru
3. Infark paru
4. Udema paru, terutama disebabkan oleh mitral stenosis
5. Perdarahan paru
a. Sistemic Lupus Eritematosus (SLE)
b. Goodpastures syndrome
c. Idiopthic pulonary haemosiderosis
d. Bechets syndrome
6. Cedera pada dada/trauma
a. Kontusio pulmonal
b. Transbronkial biopsi
c. Transtorakal biopsi memakai jarum
7. Kelainan pembuluh darah
a. Malformasi arteriovena
b. Hereditary haemoragic teleangiectasis
8. Bleeding diathesis
Penyebab hemoptoe banyak, tapi secara sederhana dapat dibagi dalam 3 kelompok
yaitu : infeksi, tumor dan kelainan kardiovaskuler (Yusuf I, 1987).
Sistem Gawat Darurat | 3

D. Patofisiologi
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisaasi dari
cabang-cabang arteri broncialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi pada jaringan
paru bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk
pertukaran gas. Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna tuberkulosis yang
merupakan asal dari perdarahan pada hemotoe masih diragukan. Teori terjadinya
perdarahan akibat pecahnya aneurisma dari Ramussenn ini telah lama dianut, akan tetapi
beberapa laporan autopsi membbuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisaasi yang
merupakan percabangan dari arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari
perdarahan hemoptoe (Rab T, 1996).
Mekanisme terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :
1. Radang mukosa
Pada traakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah menjadi
rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup untuk menimbulkan batuk
darah.
2. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau mikroorganisme pada pembuluh darah,
seperti infeksi coccus, virus dan infeksi oleh jamur.
3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar seperti pada
dekompensasi cordis kiri akut dan mitral stenosis.
4. Kelainan membran alveolokapiler
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada Goodpastures
syndrome.
5. Perdarahan kavitas tuberkulosa
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang sering dikenal dengan
aneurisma Ramusen, pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang pembuluh
darah bronkial. Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan pemekaran pembuluh darah
cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis pembuluh
darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat menimbulkan
hemoptosis masif.
6. Invasi tumor ganas
7. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami transudasi ke
dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah.
E. Manifestasi Klinis
Gejala klinis harus dipastikan bahwa perdarahan dari nasofaring, dengan cara
memperhatikan ciri-ciri batuk darah (hemoptoe) sebagai berikut :
1. Batuk kronis
Sistem Gawat Darurat | 4

2.
3.
4.
5.
6.
7.

Perubahan pola napas


Pasien biasanya mengeluh nyeri dada
Dispnea
Demam
Didahului batuk keras yang tidak tertahankan.
Terdengar adanya gelembung-gelembung udara bercampur darah di dalam saluran

napas
8. Terasa asin / darah dan gatal di tenggorokan
9. Warna darah yang dibatukkan merah segar bercampur buih, beberapa hari kemudian
warna menjadi lebih tua atau kehitaman
10. pH alkalis
11. Bisa berlangsung beberapa hari
Sedangkan menurut Anonimous (2012) ciri-ciri hemoptoe adalah :
1. Pada hemaptoe, darah adalah berbusa karena dicampur dengan udara dan lendir dan
kadang-kadang lendir yang bernoda darah.
2. Kuantitas mungkin berbeda dengan jumlah yang kecil karena iritasi tenggorokan atau
jumlah yang besar dalam kasus kanker.
3. Darah mungkin berwarna merah terang atau mungkin berwarna kekuningan.
4. Jika batuk disertai dengan demam tinggi, sesak napas, pusing, nyeri dada dan darah
dalam urin atau feses, pasien harus mendapatkan perhatian medis yang mendesak
tanpa penundaan.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaaan laboratorium (Hb, Ht)
2. Bronkoskopi
3. CT scan dada. Mendeteksi adanya aneurysm dan malformasi arterivenous atau
bronchiectasis yang terkadang tidak terlihat pada radiografi dada.
4. X-Ray dada. Bermanfaat untuk menentukan sumber lokasi perdarahan jika terdapat
masa, lesi atau alveoli hemoragik.
5. Sputum sitologi
(Flores & Sunder, 2006)
G. Penatalaksanaan
Pada umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan biasanya
berhenti sendiri. yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptasis yang masif.
Tujuan poko terapi ialah :
1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku.
2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi.
3. Menghentikan perdarahan
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport kardiopulmonar dan
menghentikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebab utama
kematian pada pasien dengan hemoptasis masif.

Sistem Gawat Darurat | 5

Masalah utama dalam hemoptoe adalah terjadinya pembekuan dalam saluran


napas yang menyebabkan asfiksia. Bila terjadi asfiksia, tingkat kegawatan hemoptoe
paling tinggi daan menyebabkan kegagalan organ yang multipel. Hemoptoe dalam jumlah
kecil dengan refleks batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlah
banyak dapat menyebabkan renjatan hipovolemik.
1. Terapi konservatif
a. Pasien harus dalam keadaan posisi

istirahat,

yakni

posisi

miring

(trendelenburg/lateral decubitus). Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang sakit
untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat.
b. Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan
c. Batuk secara perlahan-lahan untuk mengeluarkan darah di dalam salurannapas
d.
e.
f.
g.
h.

untuk mencegah bahaya sufokasi.


Dada dikompres dengan es-kap, hal ini biasanya menenangkan penderita.
Pemberian obat-obatan penghenti perdarahan (obat-obat hemostasis).
Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan yang terjadi.
Pemberian oksigen.

Tindakan selanjutnya bila mungkin :


a. Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi.
b. Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah dengan
bronkoskopi dan pemberian adrenalin pada sumber perdarahan.
2. Terapi pembedahan
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan.
Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan :
a. Terjadinya hemoptisis massif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian pada
perdarahan yang massif menurun dari 70% menjadi 18% dengan tindakan operasi.
c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya hemoptoe yang
berulang dapat dicegah.
Busron (1978) juga menggunakan indikasi pembedahan sebagai berikut :
a. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc/ 24 jam dan dalam
pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
b. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc/ 24 jam dan lebih dari
250 cc/ 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkan batuk darahnya
terus berlangsung.
c. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc/ 24 jam dan lebih dari
250 cc/ 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi selama pengamatan 48
jam yang disertai dengan perawatan konservatif batuk darah tersebut tidak
berhenti.

Sistem Gawat Darurat | 6

Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal paru dan


dipastikan

asal

perdarahannya,

sedang jenis

pembedahan

berkisar

dari

segmentektomi, lobektomi, dan pneumonektomi dengan atau tanpa torakoplasi.


Penting juga dilakukan usaha-usaha untuk menghentikan perdarahan. Metode yang
mungkin digunakan adalah :
a. Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan bronkoskopi serat
lentur dengan posisi pada lokasi bronkus yang berdarah. Masukkan larutan
NaCl fisiologis pada suhu 40C sebanyak 50 cc., diberikan selama 30-60 detik.
Cairan ini kemudian dihisap dengan suction.
b. Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm penampang 8,5
mm.
H. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptoe, yaitu ditentukan
oleh tiga faktor :
1. Terjadinya sfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran pernapasan.
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptoe dapat menimbulkan
renjatan hipovolemik.
3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke dalam
jaringan paru yang sehat bersama inspirasi.

I. WOC
Tumor, infeksi, Infark paru, edema paru, cedera dada/ trauma,
kelainan pembuluh darah
hipervaskularisasi percabangan arteri bronkialis
pembuluh darah rapuh
pembuluh darah pecah
Sistem Gawat Darurat | 7

hemaptoe
Psikologis

Fisik
Perdarahan perfusi

Peningkatan hormon
epinefrin

Darah masuk ke saluran


nafas

Anxietas
Penyumbatan saluran
nafas
Nyeri dada

Penumpukan darah di
saluran nafas

Nyeri akut

Adanya reflek batuk terus

Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas

menerus
Terdapat lesi
Terjadinya proses infeksi
Hipermetabilisme
Mual, muntah
Anoreksia
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

ASUHAN KEPERAWATAN TEORI


A. Pengkajian (Anonimous, 2011)
1 Jumlah dan warnadarah
2 Lamanya perdarahan
3 Batuknya produktif atau tidak
4 Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan
5 Sakit dada, substernal atau pleuritik
6 Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakanfisik, posisibadan dan batuk
7 Wheezing
8 Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu
9 Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah
10 Perokok berat dan telah berlangsung lama
Sistem Gawat Darurat | 8

11 Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada


12 Hematuria yang disertai dengan batuk darah
13 Untuk membedakan antara batuk darah dengan muntah darah dapat digunakan petunjuk
sebagai berikut :
Keadaan
1. Prodromal

Hemoptoe
Rasa tidak

2. Onset

tenggorokan, ingin batuk


Darah dibatukkan, dapat Darah dimuntahkan dapat

enak

disertai batuk
3. 3. Penampilan Berbuih
darah
4. Warna
5. 4. Isi

disertai batuk
Tidak berbuih

Merah segar
Merah tua
Lekosit, mikroorganisme, Sisa makanan

makrofag, hemosiderin
6. 5. Reaksi
Alkalis (pH tinggi)
7. 6. Riwayat Menderita kelainan paru
Penyakit
Dahulu
8. 7. Anemi
9. 8. Tinja

Hematemesis
di Mual, stomach distress

Asam (pH rendah)


Gangguan
lambung,
kelainan hepar

Kadang-kadang
Warna tinja normal

Selalu
Tinja

Guaiac test (-)

hitam, Guaiac test (-)

bisa

berwarna

14 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dicari gejala/tanda lain di luar paru yang dapat mendasari
terjadinya batuk darah, antara lain : jari tabuh, bising sistolik dan opening snap,
pembesaran kelenjar limfe, ulserasi septum nasalis, teleangiektasi (Anonimous, 2011).
B. Diagnosa Keperawatan(NANDA International, 2009; Carpenito LJ, 2007)
1 Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d obstruksi jalan nafas (sekresi dibronkus,
2
3
4
5
6

mukus yang berlebihan); fisiologis (infeksi).


Nyeri akut b.d agen injuri (fisik).
Kurang pengetahuan b.d kurangnya paparan informasi.
Ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor biologi (hemaptoe).
Gangguan rasa nyaman
PK infeksi

C. Rencana Tindakan (Ackley & Ladwig, 2011; Carpenito LJ, 2007; Nurarif AH &
Hardhi K, 2013; MoorheadS, et all. 2008)
1 Diagnosa 1: Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d obstruksi jalan nafas (sekresi
dibronkus, mukus yang berlebihan); fisiologis (infeksi) ditandai dengan adanya batuk,
Sistem Gawat Darurat | 9

suara nafas tambahan (wheezing), perubahan pada pola dan respiratory rate, sputum
berlebihan.
Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 24 jam diharapkan bersihan jalan klien
menjadi efektif.
NOC: Patensi jalan napas, status respirasi.
Kriteria hasil:
a Suaranafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dipsneu (mampu mengeluarkan
b

sputum, mampu bernafas dengan mudah)


Menunjukkan jalan napas yang paten (irama nafas, frekuensi pernapasan dalam

rentang normal, tidak ada suara napas abnormal)


c Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan napas.
NIC label: Manajemen jalan napas
1

Auskultasi suara napas 1 -4 jam. Suara napas normal jelas atau krakels tersebar
dibagian dasar yang jelas dengan napas dalam. Adanya krakles kasar diakhir inspirasi
mengindikasikan adanya cairan di jalan napas, wheezing mengindikasikan adanya

sumbatan jalan napas (Fauci et al, 2008)


Pantau pola napas, meliputi rate, kedalaman dan upaya bernapas.Respiratory rate
normal untuk dewasa tanpa dispneu adalah 12-16 (Bickley & Szilagyi, 2009). Dengan

adanya sekresi pada jalan napas respiratori rate akan meningkat.


Berikan oksigen sesuai order.Pemberian oksigen dapat memperbaiki hipoksemia

(Wong & Elliot, 2009).


Observasi sputum, warna, bau, dan volume.Sputum normal adalah bening atau abuabu dan minimal; sputum abnormal adalah hijau, kuning atau terdapat bercak darah;

berbau; dan biasanya dalam jumlah banyak.


Dorong pemberian cairan lebih dari 2500ml/ hari kecuali klien dengan gangguan
jantung atau ginjal.Cairan membantu meminimalisasi keringnya mukosa dan

memaksimalkan kerja silia untuk mengeluarkan sekresi.


Berikan pengobatan seperti obat koagulan, dan antitusif. Obat koagulan diberikan
untuk menghentikan perdarahan dan obat golongan antitusif untuk mengurangi batuk

pada klien melalui penekanan pusat saraf batuk.


Berikan kompres dingin dibagian leher dan dada klien. Kompres dingin memberikan
efek vasokontriksi pada pembuluh darah sehingga perdarahan dapat dikontrol.

Diagnosa 2: Nyeri akut b.d agen injuri (fisik) ditandai dengan perubahan nafsu makan,
perubahan respiratory rate, melaporkan nyeri secara verbal.
Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 2 jam diharapkan nyeri yang dirasakan
klien berkurang.
NOC: Tingkat nyeri, kontrol nyeri.
Kriteria hasil:
a Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
Sistem Gawat Darurat | 10

b Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri


c Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi, dan tanda nyeri)
d Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
NIC label: Manajemen nyeri
1 Lakukan pengkajian menyeluruh pada nyeri termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi.Pengkajian menyeluruh pada nyeri termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi penting untuk menentukan penyebab utama nyeri dan pengobatan yang efektif
2

(Breivik et al, 2008; Ming Wah, 2008).


Kaji adanya nyeri secara rutin, biasanya dilakukan pada pemeriksaan TTV dan selama
aktivitas dan istirahat. Pengkajian nyeri merupakan tanda-tanda vital fisiologis yang
penting dan nyeri termasuk dalam kelima tanda-tanda vital (APS, 2008).Nyeri akut
sebaiknya dikaji saat istirahat (penting untuk kenyamanan) dan selama bergerak
(penting untuk fungsi dan menurunkan risiko terjadinya kardiopulmonari dan

tromboembolitik pada klien)(Breivik et al, 2008).


Minta klien untuk menjelaskan pengalaman nyeri sebelumnya, keefektifan intervensi
manajemen nyeri, respon pengobatan analgetik termasuk efek samping, dan informasi
yang dibutuhkan. Memperoleh riwayat nyeri individu membantu untuk mengidentifikasi
faktor potensial yang mungkin mempengaruhi keinginan pasien untuk melaporkan
nyeri, seperti intensitas nyeri, respon klien terhadap nyeri, cemas, farmakokinetik dari
analgesik (Kalkman et al, 2003; Deane & Smith, 2008; Dunwoody et al, 2008).
Regimen manajemen nyeri harus secara individu kepada klien dan mempertimbangkan

kondisi medis, psikologis dan fisiologis, usia, respon sebelumnya terhadap analgesik.
Manajemen nyeri akut dengan pendekatan multimodal. Multimodal analgesik
mengkombinasikan dua atau lebih pengobatan, metode (Pasero, 2003a, 2009a). Manfaat
dari pendekatan ini adalah dosis efektif terendah dari setiap obat bisa diberikan,
hasilnya efek samping dapat diminimalkan seperti terjadinya oversedasi dan depresi

respirasi (Pasero, 2003a; Parvizi et al, 2007; APS, 2008).


Jelaskan pada klien mengenai pendekatan manajemen nyeri, termasuk intervensi
farmakologi dan nonfarmakologi. Salah satu langkah penting untuk meningkatkan
kemampuan kontrol nyeri adalah klien memahami nyeri secara alami dengan baik,

pengobatannya dan peran klien dalam mengontrol nyeri (APS, 2008).


Minta klien untuk menjelaskan nafsu makan, eliminasi, dan kemampuan untuk istirahat
dan tidur. Administrasikan terapi dan pengobatan untuk meningkatkan/ memperbaiki
fungsi ini. Obat-obatan golongan opioid dapat menyebabkan konstipasi yang biasanya
terjadi dan menjadi masalah yang signifikan dalam manajemen nyeri. Opioid
menyebabkan konstipasi dengan cara menurunkan motilitas usus danmengurangi sekresi
mukosa (Friedman &Dello Buono, 2001; Panchal, Muller-Schwefe, Wurzelmann,
2007).
Sistem Gawat Darurat | 11

Sebagai tambahan administrasi obat analgesik, dukung klien untuk menggunakan


metode nonfarmakologi untuk membantu mengontrol nyeri, seperti distraksi, imaginary,
relaksasi dengan menarik napas dalam. Strategi perilaku-kognitif dapat menjadi sumber
kontrol diri klien, keberhasilan personal, dan berpartisipasi aktif dalam pengobatannya
sendiri.

Diagnosa 3: Kurang pengetahuan b.d kurangnya paparan informasi ditandai dengan


memverbalkan masalah yang dialami.
Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 30 menit (1X pertemuan) diharapkan
pengetahuan klien bertambah.
NOC: Pengetahuan: proses penyakit, pengobatan.
Kriteria hasil:
a Klien dan keluarga mampu menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi,
b

prognosis dan program pengobatan.


Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang telah dijelaskan perawat/

tim kesehatan lainnya.


NIC label: Mengajarkan: Proses penyakit (Ackley & Gail, 2010; Nurarif & Hardhi, 2013)
1 Pertimbangkan kemampuan dan kesiapan klien untuk belajar (mis. mental, kemampuan
melihat dan mendengar, adanya nyeri, kesiapan emosional, motivasi dan pengetahuan
sebelumnya) ketika mengajarkan klien. Mempermudah dalam memberikan penjelasan
2

pada klien.
Gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat. Memudahkan klien dalam

memahami proses penyakit.


Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit. Klien mengetahui tanda
dan gejala sehingga jika terjadi kegawatan, klien dapat melapor kepada petugas
kesehatan/ perawat dan mendapatkan penanganan yang tepat.

Diagnosa 4: Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor biologi
(hemaptoe) ditandai dengan berat badan turun dengan intake makanan yang tidak
adekuat, nyeri dada, kesulitan menelan makanan.
Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi klien
terpenuhi.
NOC: Status nutrisi, status nutrisi: intake makanan dan minuman, status nutrisi: intake
nutrisi, kontrol berat badan.
Kriteria hasil:
a Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan.
b Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi.
c Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti.
NIC label: Manajemen nutrisi (Ackley & Gail, 2010; Nurarif & Hardhi, 2013)
1 Pantau intake makanan. Pencatatan intake makanan membantu klien dan perawat,
mengakaji makanan yang biasa dimakan, pola makan ( Shay, Sorbert & Seibert, 2009.
Sistem Gawat Darurat | 12

Tawarkan makanan yang biasa klien makan. Setiap orang menyukai makanan yang

biasa dimakan, terutama ketika mereka sakit (ORegan, 2009).


Berikan pengobatan antiemetik dan nyeri sesuai order dan keperluan. Adanya mual/
muntah atau nyeri menimbulkan penurunan nafsu makan.

Diagnosa 5: Gangguan rasa nyaman ditandai dengan ansietas, takut, kurang istirahat,
ketidakmampuan untuk rileks.
Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 12 jam diharapkan klien merasa nyaman.
NOC: Ansietas, rasa nyaman.
Kriteria hasil:
a Mampu mengontrol kecemasan
b Kualitas tidur dan istirahat adekuat
NIC label: Inspirasi harapan (Ackley & Gail, 2010; Nurarif & Hardhi, 2013)
1

Kaji tingkat kenyaman klien saat ini. Langkah ini dapat digunakan untuk membantu
meningkatkan rasa nyaman klien. Sumber pengkajian data tingkat kenyamanan bisa
berupa subjektif, objektif, primer, sekunder, fokus (Kolcaba, 2003; Wilkinson &

VanLeuven, 2007).
Instruksikan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi. Mambantu klien untuk
mendapatkan rasa nyaman tanpa teknik farmakologi.

Diagnosa 6: PK Infeksi
Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 24 jam diharapkan infeksi dapat diatasi.
NOC (Carpenito, 2006)
Kriteria hasil:
a Komplikasi dapat dicegah
b Tidak terjadi distres pernapasan, tidak terjadi syok.

NIC label: Kontrol infeksi (Ackley & Gail, 2010; Nurarif & Hardhi, 2013)
1 Kaji tanda-tanda infeksi; suhu tubuh, nyeri, perdarahan, dan pemeriksaan labolatorium
2
3

,radiologi. Mengetahui keadaan pasien.


Kaji tanda-tanda syok dan distress pernapasan. Monitor komplikasi.
Kolaborasi pemberian antibiotik yangsesuai. Mengatasi penyabab.

Sistem Gawat Darurat | 13

DAFTAR PUSTAKA
Ackley BJ, Ladwig GB. 2011. Nursing Diagnosis Handbook an Evidence-Based Guide to
Planning Care. United Stated of America : Elsevier.
Anonimous.

2011.

Hemaptoe.

Diakses

pada

tanggal

22

April

2013.

http://uzanxwsdcito.blogspot.com/2011/07/hemaptoe.html
Anonimous. 2012. Asuhan keperawatan pada pasien hemaptoe (batuk darah). Diakses pada
22 April 2013. http://mydocumentku.blogspot.com/2012/03/asuhan-keperawatan-padapasien-hemaptoe.html

Sistem Gawat Darurat | 14

Bicley LS, Szilagy P. 2009. Guide to Physical Examination, Ed 10. Philadelphia: Lippincott,
Williams and Wilkins.
Breivik H, Borchgrevink PC, Allen SM et al. 2008. Assesment of Pain. Br J Anaesth; 101 (1):
17-24.
Carpenito, LJ.2007. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis. Jakarta : EGC.
Deane G, Smith HS. 2008. Overview of Pain Management in Older Persons. Clin Geriatr
Med; 24: 185-20.
.
Dunwoody CF, K
renzischek DA, Pasero C et al. 2008. Assesment, Physiologycal
Monitoring, and Consequences of Inadequately Treated Pain. J Perianesth Nurs; 23
(1A): S27.
Fauci A, Braunwald E, Kasper DL et al. 2008. Harrisons principles of internal medicine, ed
17. New York: McGraw-Hill.
Flores RJ, Sunder S. 2006. Massive Hemoptysis. Hospital Physician: 37-43.
Kalkman CJ, Visser K, Moen J et al. 2003. Preoperative Predication of Severe Postoperative
Pain. Pain; 57: 415-423.
Kusmiati T, Laksmi W. 2011. Terapi Bedah pada Penderita dengan Persistent Hemoptysis.
Majalah Kedokteran Respirasi, 2 (1); 26.
Ming Wah IJ. 2008. Pain Management in The Hospitalized Patient. Md Clin N Am; 92: 371385.
Moxham. 1991. Symptoms And Sign in Respiratory Disease. Medicine Internat. Par East.
ed.4(14): 3644-3649
NANDA International. 2009. Nursing Diagnosis: Definition and Classification 2009-2011.
USA: Willey Blackwell Publication.
Nurarif AH, Hardhi K. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis
dan Nanda Nic Noc. Jilid 2. Yogyakarta: Mediaction.
ORegan P. 2009. Nutrition for Patients in Hospital. Nurs Stand; 23 (32): 35-41.
Pasero C. 2003. Multimodal Balanced Analgesia in the PACU. J Perianesth Nurs; 18 (4): 265268.
Sistem Gawat Darurat | 15

Purwandianto A, Sampurna B. 2009. Kedaruratan Medik. ed.3. Jakarta : Bina Rupa Aksara
.p.19-20
Rab T. 1996. Prinsip Gawat Paru.ed 2. Jakarta : EGC. p. 185-201
Sluiter HJ, Leerboek Long Ziekten, Van Gorkom, Assen/Maastricht. 1985.
Tafti SF, Mehran M, Seyed MM, Mehdi KD. 2005. Outcome and Evaluation of Hemoptysis in
Patients with Old Pulmonary TB. Tanaffos; 4 (15) : 43-8.
Wong M, Elliot M. 2009. The Use of Medical Orders in Acute Care Oxygen Therapy. Br J
Nurs; 18 (8): 462-464.
Yusuf I, dkk. 1987. Manifestasi Klinis Penyakit Paru dalam Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
BP_FKUI.p.688

Sistem Gawat Darurat | 16

Anda mungkin juga menyukai