Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ekonomi Islam adalah wujud dari upaya menerjemahkan Islam
sebagai rahmatan lil alamin, dimana Islam memiliki nilai-nilai universal yang mampu
masuk ke dalam setiap sendi kehidupan manusia tidak hanya aspek spiritual semata namun
turut pula masuk dalam aspek duniawi termasuk di dalamnya, dalam aktivitas ekonomi
masyarakat.
Ekonomi Islam yang tengah berkembang saat ini baik tataran teori maupun praktik
merupakan wujud nyata dari upaya operasionalisasi Islam sebagai rahmatan lil alamin,
dengan melalui proses panjang dan akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan
jaman. Perkembangan teori ekonomi Islam telah dimulai pada masa Rasulullah dengan
turunnya ayat-ayat Al-Quran yang berkenaan dengan ekonomi seperti QS Al-Baqarah
ayat 275 dan 279 tentang jual beli dan riba; QS Al-Baqarah ayat 282 tentang pencatatan
transaksi muamalah; QS Al-Maidah ayat 1 tentang akad; QS Al-Araf ayat 31, An-Nisaa
ayat 5 dan 10 tentang pengaturan pencarian, penitipan dan pembelanjaan harta; serta masih
banyak ayat lainnya yang menjelaskan tentang berbagai aktivitas ekonomi masyarakat.
Ayat-ayat di atas ini memperlihatkan bahwa Islam pun telah menetapkan pokok aturan
mengenai ekonomi meskipun pada masih bersifat umum dan praktik implementasi di
lapangan akan saling berbeda antar generasi dan jaman.
Para pemikir muslim yang mendalami ekonomi Islam juga hingga kini belum ada
kesatuan pandangan dalam mengkonstruksi teori ekonomi Islam. Terdapat perbedaan
penafsiran, pendekatan, dan metodologi yang dibangun dalam membentuk konsep
ekonomi Islam. Hal ini karena adanya perbedaan latar belakang pendidikan, keahlian, dan
pengalaman yang dimiliki. Beberapa definisi dan pengertian Ekonomi Islam telah
dikemukakan oleh para pakar yang mengembangkan keilmuan ini.
Maqashid al-Syariah menjelaskan pengertian yang terkandung dalam istilah, yaitu
tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang diletakkan Allah dan terkandung dalam setiap
hukum untuk keperluan pemenuhan manfaat umat. Atau tujuan dari Allah menurunkan
syariat,adalah untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana konsep etika bisnis menurut pandangan islam?
2. Bagaimana etika bisnis dalam perspektif islam berdasarkan pemikiran Imam
Al Ghazali, Syekh Haider Naqvi dan Dr. Supawi Pawenang, SE, MM.?
C. Tujuan Penulisan
1

1. Untuk mengetahui maksud dari etika bisnis islam.


2. Untuk mengetahui dan membandingkan pemikiran teori ekonomi dan etika
dalam berbisnis menurut Imam Al Ghazali, Syekh Haider Naqvi dan Dr.
Supawi Pawenang.
D. Manfaat Penulisan
Agar dapat bermanfaat bagi pembaca untuk menambah pengetahuan dan wawasan
serta dapat dijadikan referensi pengusaha untuk berperilaku sesuai etika dalam syariat
islam.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Etika
Secara etimologi, kata etika berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti sikap,
cara berpikir, watak kesusilaa atau adat. Kata ini identik dengan perkataan moral yang
berasal dari kata mos yang dalam bentuk jamaknya mores yang berarti juga adat atau cara
hidup. Etika dan moral memiliki arti yang sama, namun dalam pemakaian sehari-harinya
ada sedikit perbedaan.
Menurut K. Bertens dalam buku Etika, merumuskan pengertian etika kepada tiga
pengertian ; Pertama, etika digunakan dalam pengertian nilai-niai dan norma-norma moral
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Kedua, etika dalam pengertian kumpulan asas atau nilai-nilai moral atau kode
etik. Ketiga, etika sebagai ilmu tentang baik dan buruk. Penulis lainnya Magnis
Suseno(1989) dan sony keraf (1991) yang intinya menyatakan bahwa untuk memahami
etika perlu dibedakan moralitas. Moralitas adalah suatu system nilai tentang bagaimana
seseorang harus berperilaku sebagai manusia. Sedangkan etika berbicara mengenai nilai
dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Menurut Fafik Issa
Beekun, etika dapat didefinisikan sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan
baik dan buruk.
Jadi secara etimologis etika adalah ajaran atau ilmu tentag adat kebiasaan yang
berkenaan dengan kebiasaan baik dan buruk, yangditerima umum mengenai sikap,
perbuatan, kewajiban dansebagainya. Di Indonesia, pengabaian etika bisnis sudah banyak
terjadi khususunya oleh para konglomerat. Munculnya penolakan terhadap etika bisnis,
dilatari oleh sebuah paradigma klasik, bahwa ilmu ekonomi harus bebas nilai (value free).
Etika bisnis hanyalah mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. Padahal, prinsip
ekonomi, menurut mereka, adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.
B. Pengertian etika bisnis
Etika bisnis merupakan salah satu bagian dari prinsip etika yang diterapkan dalam
dunia bisnis (Lozano, 1996). Epstein (1989) menyatakan etika bisnis sebagai sebuah
perpektif analisis etika di dalam bisnis yang menghasilkan sebuahh proses dan sebuah
kerangka kerja untuk membatasi dan mengevaluasi tindakan-tindakan individu, organisasi
dan terkadang masyarakat social. David (1998). Etika bisnis adalah aturan main prinsip
dalam organisasiyang menjadi pedoma membuat keputusan dan tingkah laku. Etika bisnis
adalah etika pelaku bisnis, bisa saja manajer, karyawan, konsumen dan masyarakat.
3

Sebagai cabang filsafat etika, maka etika bisnis tidak lain merupakan penerapan prinsipprinsip etika dengan pendekatan filsafat dalam kegiatan dan program bisnis.
C. Pengertian etika bisnis dari perspektif islam
Dalam kaitannya dengan paradigma Islam tetntang etika bisnis, maka landasan
filosofis yang harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan
manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya.
Pada dasarnya, etika berpengaruh terhadap para pelaku bisnis, terutama dalam hal
kepribadian, tindakan dan perilakunya. Etika ialah teori tentang perilaku perbuatan
manusia, dipandang dari nilai baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
Etika lebih bersifat teori yang membicarakan bagaimana seharusnya, sedangkan moral
lebih bersifat praktik yang membicarakan bagaimana adanya. Etika lebih kepada
menyelidik, memikirkan dan mempertimbangkan tentang yang baik dan buruk sedangkan
moral menyatakan ukuran yang baik tentang tindakan manusia dalam kesatuan social
tertentu. Ihwal pentingnya etika dalam bisnis, A. Sonny Keraf, mengatakan, Jika bisnis
tidak punya etika, apa gunanya kita berbicara mengenai etika dan apa pula gunanya kita
berusaha merumuskan berbagai prinsip moral yang dapat dipakai dalam bidang kegiatan
yang bernama bisnis. Paling tidak adalah tugas etika bisnis untuk pertama-tama
memperlihatkan bahwa memang bisnis perlu etika, bukan hanya berdasarkan tuntutan etis
belaka melainkan juga berdasarkan tuntutan kelangsungan bisnis itu sendiri. Etika bersama
agama berkaitan erat dengan manusia, tentang upaya pengaturan kehidupan dan
perilakunya. Islam meletakkan Teks Suci sebagai dasar kebenaran, sedangkan filsafat
Barat meletakkan Akal sebagai dasar. Etika dapat didefinisikan sebagai seperangkat
prinsip moral yang membedakan yang baik dari yang buruk. Etika bisnis, kadangkala
merujuk pada etika manajemen atau etika organisasi, yang sederhana membatasi kerangka
acuannya pada konsepsi sebuah organisasi. Secara sederhana mempelajari etika dalam
bisnis berarti mempelajari tentang mana yang baik atau buruk, benar atau salah dalam
dunia bisnis berdasarkan kepada prinsip-prinsip moralitas.
Dalam Islam, istilah yang paling dekat berhubungan dengan istilah etika didalam alQuran adalah khuluq. Tindakan yang terpuji disebut sebagai shalihat dan tindakan tercela
disebut sayyiat. Teori etika Islam pasti bersumber dari prinsip keagamaan. Teori etika
yang bersumber dari keagamaan tidak akan hilang substansi teorinya. Keimanan
menentukan perbuatan, keyakinan menentukan perilaku. Substansi utama tentang etika
dalam Islam antara lain:
1. Hakikat Benar (birr) dan salah.
4

2. Masalah Free Will dan hubungannya dengan kemahakuasaan Tuhan dan tanggung
jawab manusia
3. Keadilan Tuhan dan realitas keadilan-Nya dihari kemudian.
Etika Islam memiliki aksioma (asumsi), yaitu:
1. Unity (persatuan): konsep tauhid, aspek sosekpol dan alam, semuanya milik Allah,
dimensi vertikal, dan menghindari diskriminasi di segala aspek, serta menghindari
kegiatan yang tidak etis.
2. Equilibrium (keseimbangan): konsep adil, dimensi horizontal, jujur dalam
bertransaksi, tidak saling merugikan.
3. Free will (kehendak bebas): kebebasan melakukan kontrak namun menolak laizez
fire (invisible hand), karena nafs amarah cenderung mendorong pelanggaran sistem
responsibility (tanggungjawab), manusia harus bertanggungjawab atas
perbuatannya. Apabila orang lain melakukan hal yang tidak etis tidak berarti boleh
ikut-ikutan.
4. Benevolence (manfaat/ kebaikan hati): ihsan atau perbuatan harus yang
bermanfaat.
Sejumlah pedoman umum menuntun kode etik Islam dalam hubungannya dengan
kehidupan sehari-hari maupun dalam bisnis. Kaum muslim dituntut untuk bertindak secara
Islami dalam bisnis mereka karena Allah SWT akan menjadi saksi dalam setiap transaksi
yang mereka lakukan. Secara prinsip aktifitas bisnis didalam Islam tidak boleh lepas dari
nilai-nilai spiritual. sebagaimana aktifitas bisnis tidak dapat terpisahkan dari nilai-nilai
akhlaqi. Sehingga antara agama, etika dan bisnis saling berkaitan antara satu sama lain.
Dalam hal ini bisnis yang menguntungkan adalah bisnis yang sesuai dengan ajaran Qurani
yaitu yang didalamnya terdapat kolaborasi antara bisnis, etika dan agama. Dapat
disimpulkan bahwa makna etika didalam bisnis sangatlah penting. Ini tidak hanya berlaku
dalam bisnis Islam tetapi juga bisnis pada umumnya. Karena dengan adanya etika, aktifitas
bisnis dapat berjalan rapi, seimbang dan tentunya dengan hasil yang memuaskan. Dengan
adanya etika, maka aturan-aturan dalam dunia bisnis dapat terbentuk. Tentunya akan lebih
utama apabila aturan-aturan dalam bisnis dapat menerapkan etika yang Islami sesuai
dengan ajaran syari. Begitu pula dengan adanya etika, akan semakin menurun adanya
praktik-praktik bisnis yang kejam serta bisnis-bisnis yang semakin membuat orang lain
semakin miskin.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Pandangan Al-Ghazali tentang Etika Bisnis
Menurut al-Ghazali akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya
suatu perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung
untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong
maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan resiko. Demikian juga
orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.
Etika atau akhlak menurut pandangan al-Ghazali bukanlah pengetahuan (marifah) tentang
baik dan jahat atau kemauan (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fiil)
yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap. Menurut al-Ghazali
watak manusia pada dasarnya ada dalam keadaan seimbang dan yang memperburuk itu
adalah lingkungan dan pendidikan. Kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu
tercantum dalam syariah dan pengetahuan akhlak.
Berikut adalah beberapa gagasan Imam Al-Ghazali tentang etika yang harus
disertakan dalam aktivitas bisnis.
1. Keseimbangan Dunia dan Akhirat
Salah satu gagasan Al-Ghazali yang paling penting mengenai urusan
ekonomi dan bisnis ialah bahwasannya segala kerja keras yang dilakukan di dunia
ini bukan hanya untuk kehidupan sesaat, namun lebih dari itu, yaitu kehidupan
hakiki di akhirat kelak. Kegiatan ekonomi seorang muslim meliputi waktu yang
lebih luas, dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, Islam senantiasa menyerukan umatnya untuk bekerja dan
melarang segala bentuk kemalasan dan berpangku tangan. Islam memerintah kerja
sebagai sebuah kewajiban bagi seluruh kaum muslim, dimana status manusia yang
paling hakiki ditentukan oleh produktivitas kerjanya.
2. Kemashlahatan (Kesejahteraan Sosial)
Pandangan Al-Ghazali tentang sosial-ekonominya didasarkan pada konsep
yang disebut dengan fungsi kesejahteraan social (Mashlahah). Menurut Mustafa
Anas Zarqa, Al-Ghazali merupakan cendikiawan muslim pertama yang
merumuskan konsep fungsi kesejahteraan (maslahah) sosial. Al-Ghazali
mengajukan teori maqshid al-syariah dengan membatasi pemeliharaan syariah
pada lima unsur utama yaitu agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda.Tema
yang menjadi pangkal tolak ukur dari seluruh karyanya adalah konsep maslahat
6

atau kesejahteraan sosial, yakni konsep yang mencangkup semua aktivitas manusia
dan membuat kaitan yang erat antara individu dengan masyarakat. Ia menjabarkan
kesejahteraan sosial tersebut dalam kerangka hiraki kebutuhan individu dan sosial.
Adapun hirarki tingkatan tersebut adalah:
a. Dharuriyyah, terdiri dari seluruh kativitas dan hal-hal yang bersifat esensial untuk
memelihara kelima prinsip tersebut.
b. Hajjiyyah, terdiri dari seluruh aktivitas dan hal-hal yang tidak vital bagi
pemeliharaan kelima prinsip tersebut, tetapi dibutuhkan untuk meringankan dan
menghilangkan rintangan dan kesukaran hidup.
c. Tahsiniyyah, yaitu berbagi aktivitas dan hal-hal yang melewati batas hajah.
3. Nilai-nilai Kebaikan
Dalam praktek ekonomi dan bisnis Al-Ghazali memberikan rekomendasi
agar para ekonom atau pembisnis Islam memperhatikan masalah moral dalam
berbisnis. Ia menyebutkan beberapa cara untuk mempraktekan perilaku baik dalam
a.
b.
c.
d.
e.

berbisnis, diantaranya ialah:


Menghindari diri untuk mengambil keuntungan secara berlebihan.
Rela merugi ketika melakukan transaksi dengan orang miskin.
Kemurahan hati dalam menagih hutang.
Kemuran hati dalam membayar hutang.
Mengabulkan permintaan pembeli jika untuk membatalkan jual beli jika pihak

pembeli menghendakinya atau sebaliknya.


f. Menjual makanan kepada orang miskin dengan cara angsuran dengan maksud tidak
meminta bayaran bilamana mereka belum mempunyai uang dan membebaskan
mereka dari pembayaran jika meninggal dunia.
4. Jauh dari Perbuatan Riba
Dalam Al-Quran, Riba telah jelas keharamannya. Oleh sebab itu al-Ghazali
mengingatkan bagi para pedagang mata uang dan memperjualbelikan emas dan
perak, serta bahan makanan pokok untuk berhati-hati menjaga diri dari riba nasiah
dan fadl. Bagi al-Ghazal, larangan riba adalah bersifat muthlak. Argument yang
dikemukakan beliau adalah bukan hanya sebagai perbuatan dosa, namun
memberokan kemungkinan terjadinya eksploitasi dan ketidakadilan dalam
transaksi.
Oleh sebab itu, seorang ekonom/pembisnis Islam harus menjauhkan
aktivitas ekonomi dan bisnisnya dari perbuatan yang berbau unsur riba. Dan jangan
berharap dengan melakukan tansaksi riba uang atau hartanya akan bertambah.
B. Pandangan Syekh Haider Naqvi tentang Etika Bisnis
a. Hakekat Ilmu Ekonomi Islam
7

Dalam Islam, kegiatan ekonomi merupakan satu bagian dari mu'amalah,


dengan kegiatan politik dan sosial sebagai bagian lainnya. Kegiatan ekonomi itu
sendiri dapat diturunkan lagi menjadi pola konsumsi, simpanan dan investasi. Islam
adalah agama yang sarat etika. Dengan etika konsumsi dalam Islam, perlu
ditegaskan dengan prinsip-prinsip etika dalam Islam. Menegnai etika Islam banyak
dikemukakan oleh para ilmuwan, sedang pengembangan yang sistematis dengan
latar belakang ekonomi tentang sistem etika Islam secara garis besar dapat dibagi
menjadi empat kelompok aksioma, sebagaimana dikupas Naqvi (1985). Naqvi
mengelompokkan ke dalam empat aksioma pokok, yaitu Kesatuan (Unity atau
Tauhid), Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium atau Al-Adl wal Ihsan),
Kebebasan (Free will atau Ikhtiyar), Tanggungjawab (Responsibility atau Fardh)
1. Tauhid (unity/kesatuan)
Karakteristik utama dan pokok dalam Islam adalah "tauhid". Menurut
Qardhawi membagi tauhid menjadi dua kriteria, yaitu Rabbaniyyah ghayyah
(tujuan) dan wijhah (sudut pandang). Kriteria yang pertama menunjukkan maksud
bahwa tujuan akhir dan sasaran Islam adalah jauh ke depan, yaitu menjaga
hubungan dengan Allah secara baik dan mencapai ridha-Nya, sehingga pengabdian
kepada Tuhan merupakan tujuan akhir, sasaran, puncak cita-cita, usaha, dan kerja
keras manusia dalam kehidupan (fana) ini. Ini berarti bahwa Islam (baik sebagai
syari'at, bimbingan) semata-mata dimaksudkan hanya untuk menyiapkan manusia
supaya menjadi seorang yang muhsin, sehingga ruh dan globalitas Islam adalah
tauhid.
2. 'Adl (equillibrium/keadilan). 'Adl merupakan salah satu pokok etika Islam. Kata
al-'adl berarti sama (rata) sepadan, ukuran (takaran), keseimbangan. Sehubunagn
dengan masalah adil atau keadilan, Muthahhari mendefinisikan keadilan menjadi
empat pengertian, yaitu: 1) keadaan sesuatu yang seimbang; 2) persamaan dan
penafikan segala bentuk diskriminasi; 3) pemeliharaan hak-hak individu dan
pemberian hak kepada setiap orang yang berhak menerima; dan 4) memelihara hak
bagi kelanjutan eksistensi (keadilan Tuhan). Keadilan adalah hak-hak nyata yang
mempunyai realitas, artinya bahwa keadilan tidak dapat disamakan dengan
keseimbangan. Sementara itu, Khursid Ahmad mengatakan, kata 'adl dapat
diartikan seimbang (balance) dan setimbang (equilibrium). Atas dasar ini, ia
menyebutkan bahwa konsep 'adl dalam persepsi Islam adalah "keadilan ilahi".
3. Free Will (kehendak bebas)

Dalam kerangka, kehendak bebas atau otonomi manusia untuk bertingkah


laku, bukan berarti bahwa "Tuhan telah mati", sebagaimana yang dikemukakan
oleh Neitzsche dan Sartrein. Kehenbdak bebas yang dimaksud adalah prinsip yang
mengantarkan seorang muslim meyakini bahwa Allah SWT memiliki kebebasan
mutlak dna Dia menganugerahkan kepada manusia kebebasan untuk memilih jalan
(baik maupun buruk) yang terbentang di hadapannya. Dengan demikian, manusia
yang baik di sisi-Nya adalah manusia yang mampu menggunakan kebebasan itu
dalam rangka penerapan tauhid dan al'adl.
4. Amanah (responsibility/pertanggungjawaban).
Efek dari kehendak bebas adalah pertanggungjawaban. Dengan kata lain,
setelah manusia melakukan perbuatan maka ia harus mempertanggung-jawabkan
perbuatannya. Prinsip tanggungjawab dalam Islam dikenalkan dengan
tanggungjawab secara individu maupun kolektif, yaitu konsep fardhu 'ain dan
fardhu kifayah.
Naqvi mampu membuktikan bagaimana konsep tauhid dan keseimbangan dapat
digunakan sebagai sarana-sarana analitis untuk menyusun landasan teori ekonomi Islam.
Meskipun sebagian dari kesimpulan-kesimpulannya agak terlalu sederhana, ,dia
menyediakan bukan hanya sarana-sarana bagi analisis dan menuntun pencarian, tetapi juga
menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk dijalankan. Namun demikian, Naqvi
belum mampu menemukan dan membangun lembaga-lembaga yang dapat menyingkirkan
bunga. Oleh karena itu, riba-yang bertentangan dengan kerangka aksiomatis yang
disusunnya-dapat menjalankan fungsi-fungsi yang diinginkan dalam masyarakat dan
memainkan peranan yang berguna untuk hendaknya diterima sampai tiba waktunya ketika
bunga dapat digantikan oleh mekanisme finansial yang dibenarkan dalam Islam dan terjadi
perubahan-perubahan struktural yang bercakupan.
C. Pandangan Dr. Supawi Pawenang tentang Etika Bisnis
Menurut Dr. Supawi Pawenang Islam memandang manusia dalam suatu keutuhan.
Gambaran singkatnya tentang manusia seperti tertuang dalam QS Ali Imron (3):110.
Konsep tentang umat yang baik ditandai dengan melakuka tiga hal yang ada dalam ayat
tadi, yaitu amar maruf (kebaikan), anil munkar (upaya membebaskan diri dan manusia
lain dari ketertindasan dan keterkekangan, yang ini juga diistilahkan sebagai liberasi), dan
beriman kepada Tuhan (yang ini merupakan proses transendensi). Rahmatan lil alamin

pada intinya adalah pesan dasar al Quran. Indikator tercapainya rahmatan lil alamin
adalah ketika amr maruf nahy munkar itu tegak.
Dalam konteks ini, kita mewujudkan perintah Tuhan, yaitu ajakan kepada yang
maruf dan khayr. Dua-duanya berarti kebaikan, tetapi ada perbedaannya. Khayr itu
kebaikan yang bersifat universal, sedang maruf itu sesuatu yang dikenal sebagai baik dan
ada kaitannya dengan adat dan kontekstual, terkait dengan ruang dan waktu. Khayr bersifat
normatif universal,sedangkan maruf bersifat operatifkondisional.20 Jadi, umat Islam
seharusnya mengangkat ajaran Islam pada tataran high level generalization (alkhayr), dan
mengkonkritkan dalam al maruf. Manusia tidak boleh menyalahgunakan, memonopoli,
ataupun mengeksploitasi. Kalau ini terjadi, maka itulah rahmatan lil alamin tercapai. Hal
ini yang harus diterapkan dalam melaksanakan aktivitas bisnis. Jadi antara ibadah dan
muamalah harus seimbang.

10

Kesimpulan
Prakek berbisnis sangat erat kaitannya dengan permasalahan etika. Hal ini yang
seringkali menjadikan bisnis terkadang dianggap kejam, tidak berperikemanusiaan, dan
sebagainya. Oleh karenanya Islam menginginkan bisnis haruslah berdasarkan pada etika.
Karena apabila bisnis tidak diatur dalam etikanya seringkali bisnis menghalalkan segala
cara. Dalam Islam etika bisnis sangat dijaga agar nantinya dalam prakteknya bisnis tetap
dapat berada dalam koridor keIslaman dan tidak menyalahi aturan yang seharusnya.
Etika berbisnis menurut Islam menyangkut tentang sedikitnya tiga hal. Yang
pertama hakikat benar dan salah. Kedua, tentang masalah free will dan hubungan
kemahakuasaan Tuhan dan tanggung jawab manusia. Ketiga, Keadilan Tuhan dan Realitas
keadilan-Nya dihari kemudian. Hal yang ketiga ini menjadi puncak pengembaraan dalam
berbisnis. Karena penentuan mengenai praktek bisnis yang selama ini dilakukan akan
mendapatkan keadilan Tuhan. Tentunya realitas keadilan Tuhan akan ditunjukkan pada
hari kemudian. Oleh karenanya dalam berbisnis haruslah benar-benar dikonsep secara
sistematis, sesuai dengan apa yang telah dianjurkan oleh agama. Sehingga nantinya dari
konsep berbisnis tersebut dapat dipertanggungjawabkan di depan Allah SWT.Inti dari
kesemuanya itu setelah mengetahui tentang bisnis secara Islami, kemudian mengetahui
bidang-bidang bisnis yang dapat dijadikan sebagai peluang usaha serta mengetahui etika
berbisnis dalam Islam, diharapkan nantinya pelaku bisnis dapat menjalankan bisnisnya
secara halal, penuh berkah dan manfaat, serta dapat dipandang sebagai ibadah

11

DAFTAR PUSTAKA
Al-Cayet, http://alcayet.blogspot.com/2012/02/etika-imam-al-ghazali-selayangpandang.html
Bertens, K., 1997.Etika,Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
David, Fredd R., 1998, Konsep Manajemen Strategi (terjemahan Drs. Alexander
sindoro) Jakarta : PT Prenhallindo.
Fafik Issa Beekun, 1995, Islamic Business Ethics. IIIT
Epstein, E.M. 1989,Business Ethics, Corporate Good Citizenship and The Corporate
Social Process: A View From United States. Journal of Business Ethics, vol.8.
Ernawan, Erni R., 2011.Business Ethics, Bandung: Alfabeta
Keraf, Sony, 2002, Etika Lingkungan, Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Magnis-Suseno, Frans, 1989, Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral,
Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Muhammad Kamal Zubair, M. Ag., Aksioma Etika dalam Ilmu Ekonomi Islam
Supawi Pawenang, Genealogi Sekularisme Pada Ilmu Manajemen
Supawi Pawenang, Islam Dan Manajemen Kebenaran
http://maulidahidaratri.blogspot.co.id/2016/01/makalah-etika-bisnis-islam.html

12

Anda mungkin juga menyukai