Anda di halaman 1dari 30

Hai, Bu, apa kabarmu di sana?

Semoga kampung halaman selalu menjagamu. Aku juga


berharap, semoga tanah rantau selalu setia menjadi lumbung
rindu dariku untukmu. Sehatlah selalu di sana, meski hanya doa
dan surat yang kuasa kukirim. Namun, ibu tak perlu risau
dengan kondisiku di sini. Hati kita tetap lekat, meski jarak
membentang sekian ratus kilometer antara kita. Toh, kita masih
berpijak di bumi yang sama.

Bu, rindu untukmu akan selalu ada.


Diam-diam aku selalu berdoa agar Ibu
diberi kesehatan dan panjang usia.

Semoga ibu diberi kesehatan dan panjang usia via www.wattpad.com

Selayaknya pria pada umumnya, aku memang cuek dan tak


perasa. Aku tak setiap hari mengirimkan pesan singkat maupun
menelponmu. Aku lebih gemar menunggumu yang memberi
kabar terlebih dahulu. Mendengar tuturanmu yang
menceritakan keadaan kampung halaman nan jauh di sana
mampu sedikit mengobati rasa rindu di dalam dada.

Selalu ada saat dimana aku merindukan suara bernada


khawatirmu, pertanyaan ingin tahu mengenai ini itu, atau
komentar yang kadang terdengar lucu. Seringnya lidah ini juga
rindu masakanmu. Melahap sarapan, makan siang, hingga
makan malam yang kau buat dengan penuh cinta. Sampai
kapanpun masakanmu selalu jadi juaranya.

Ibu harus tahu bahwa rindu untukmu selalu


ada di dalam dada.
Permasalahan memang tak pernah alpa
dari hidup kita. Pahit manis yang pernah
dirasa, semoga menempa kita menjadi
pribadi yang makin kuat ke depannya.

Terimakasih ibu via www.imagesource.com

Aku pun juga ingin menghaturkan maaf, aku sadar hingga detik
ini masih saja merepotkanmu. Belum lagi usiaku yang kian
bertambah saja. Tak pelak hal inilah yang membuat para
tetangga bergunjing ria. Membicarakan kelemahanku di sana
sini. Membuat hatimu terluka sekali lagi.
Maafkan aku Bu, karena cukup sering tak acuh padamu.
Larangan yang kau serukan serta imbauan yang kau harapkan

tak pernah kulakukan. Sekarang, hanya sesal yang bisa


kurasakan. Harusnya aku menuruti semua ucapanmu, agar kau
tak perlu malu ketika para tetangga mengomentariku.
Harusnya aku bisa menggeluti profesi sesuai keinginanmu,
tetapi aku tidak pernah menghiraukan saranmu. Aku lebih
gemar menghabiskan waktu di kamar, berkutat dengan buku,
atau bermain dengan teman.
Maafkan aku, Bu. Meski aku telah tamat sebagai sarjana dengan
gelar pendidikan di akhir nama, tapi aku masih belum bisa
membalas semua jerih payahmu. Untuk saat ini, sepertinya
hanya maaf yang bisa kukirim padamu selain doa. Tapi tenang
Bu, aku akan buktikan pada semua orang bahwa aku bukanlah
orang yang seperti mereka bayangkan. Aku bertekad akan
membuatmu bangga karena telah membawaku ke dunia.

Terimakasih kuucapkan untukmu yang


selalu memberikan cinta. Kini giliranku
yang sedia menjagamu di sisa usia.

Kini giliranku yang menjagamu di sisa usia via www.radio1.si

Sekali lagi, Bu. Jangan khawatirkan aku karena aku sudah


bukan anak kecil lagi. Meski terkadang aku selalu manja di
pelukanmu. Tapi persepsi jarak inilah yang membuatku sadar,
bahwa aku harus tegar.
Ibu, tunggu aku kembali. Tapi jangan terlalu berharap aku akan
menggeluti profesi yang kau ingini. Aku akan menggapai cita-

citaku sendiri. Melewati batas kemampuan dan mendobrak


halangan di depan mata. Yang kubutuhkan hanya doa restumu
yang tak ada putusnya. Sudah, itu saja.
Terima kasih untuk semua yang telah kau berikan padaku.
Untuk peluh yang terkucur demi buah hatimu. Untuk kasih
sayang yang tak ada batasnya. Untuk namaku yang selalu kau
selipkan di dalam doa. Terima kasih, Ibu, wanita luar biasa
dengan berjuta cinta.
Darimu, putra yang selalu menyayangimu

Entah berapa lama lagi, tapi aku


pasti akan menjadi seorang ibu.
Tapi, apakah aku bisa menjadi
sepertimu?
Ibu, sejujurnya aku ketakutan. Aku takut tak bisa menjadi
sepertimu, manusia paling sempurna yang pernah kulihat.

Kau wanita yang tak pernah


meneteskan air mata didepan anakanakmu, meskipun aku tahu betul
betapa terlukanya hatimu. Kau tak
pernah menghapus senyum bahagia
dari bibirmu, menyembunyikan rasa
sakit yang kau rasa.
Ibu, apakah aku bisa menjadi sepertimu? Aku bahkan sering
mengobral air mata saat hatiku sedikit tergores. Aku bahkan tak
akan bisa tersenyum tulus sepertimu, untuk menutupi rasa sakit
yang aku rasa. Bagaimana jika nanti aku menjadi seorang ibu?
Bisakah aku menjadi sepertimu, yang sanggup menahan
sakitnya hati, tersenyum tulus, dan tak biarkan anak-anakmu
melihat air matamu sekalipun?
Ibu, mengapa aku rasanya tak sanggup untuk menjadi
sepertimu? Menjadi seorang ibu yang bahkan tak pernah
berteriak kesal karena kelakuan nakal anak-anakmu. Ibu,
bagaimana caranya untuk bisa meredam amarahmu begitu
hebatnya? Kau seperti lautan yang tenang, bahkan tak pernah
sekalipun ku lihat riaknya. Aku malu bu, aku bahkan bisa

meledak hebat hanya karena hal kecil. Aku malu jika suatu saat
nanti anakku melihat bagaimana dahsyatnya ledakan
amarahku. Apa yang mereka pikirkan? Aku takut mereka
menganggapku seorang monster. Ibu, tolong ajari aku untuk
bisa tenang sepertimu.
Ibu, bisakah aku menjadi wanita kuat sepertimu? Kau tak
pernah mengeluh sedikitpun, walaupun aku tahu bagaimana
letihnya dirimu mengerjakan semua tugas sebagai ibu.

Kau bangun sebelum sebelum


matahari terbit, dan tak akan
pergi tidur sebelum memastikan
anakmu telah lelap.
Ibu, aku bahkan tak sanggup membayangkan bagaimana
lelahnya tugas untuk menjadi seorang ibu. Bagaimana caranya
untuk bisa menjadi sepertimu, ibu?
Ibu, bisakah kelak aku menjadi wanita yang ikhlas melakukan
apapun demi anakku? Bisakah aku menjadi sepertimu yang
berkata sangat kenyang ketika kau hanya memakan nasi, dan
memberikan lauknya untuk anakmu ini? Mungkinkah aku bisa

menahan rasa kantuk saat menjaga anakku nanti, seperti kau


yang tetap terjaga menjagaku saat aku sakit dulu? Ibu, tolong
berikan aku sedikit rasa ikhlas yang kau miliki, agar aku bisa
menjadi sepertimu.

Ibu, apakah kau tak pernah


merasa sedih sedikitpun? Apakah
kau tak pernah merasa marah
sekalipun? Atau mungkinkah kau tak
tahu ada kata lelah yang bisa kau
ucapkan saat tugasmu sebagai ibu
tak pernah usai? Ibu, mungkinkah
aku bisa menjadi sepertimu?
Sebenarnya aku tahu, bahwa aku tak akan pernah bisa menjadi
sepertimu. Tapi doakan dan tolonglah aku agar bisa menjadi ibu
yang baik, meskipun aku ingin menjadi ibu yang sempurna
sepertimu. Ibu, saat aku kelak telah memiliki anak dan menjadi
seorang ibu, tolong tegur aku jika kau melihatku menangis di
hadapan anakku. Ibu, tolong ingatkan aku untuk selalu
tersenyum di hadapan anakku meskipun aku merasakan sakit.
Ibu, bantulah aku untuk bisa tenang sepertimu, meskipun aku

sedang kecewa dan marah. Ibu, kau sering berkata bahwa


semua rasa ikhlas dan mengalah akan tumbuh saat kelak aku
menjadi seorang ibu. Jika memang hal itu benar, apakah aku
bisa menjadi sepertimu, ibu?

Aku tau kau adalah bagian dari sajak-sajak yang sering kutulis
atau sering kuceritakan pada langit malam. Malam ini aku
bercerita lagi, bersama bintang dan angin yang datang, mereka
terkadang bertanya, benarkah kalian benar-benar ada?
Benarkah kita pernah melakukan hal-hal gila? Mereka terkadang
menatapku tak percaya. Aku masih sama, seorang gadis
pelamun dan suka berkhayal. Dan malam ini udara sangat
sejuk, kalian tau 'kan jika aku sangat menyukai citylight? Aku
sekarang sedang menatap jutaan cahaya kota itu.
Bagaimana kabar kalian? Aku tau, kita sekarang berbeda
tempat. Ingat ketika kita berada di suatu ruangan yang sering
kita sebut kelas rahasia? Kemarin aku berkunjung ke sekolah
kita. Suasananya memang sudah berbeda, tapi kenangan kita
selalu tetap sama. Aku ingat sekali, kursi-kursi tua berwarna
cokelat itu, dulu kita duduk bersama, saling menatap dan
tersenyum dan akhirnya kita tertawa. Aku ingat sekali, pohon-

pohon itu, kita duduk setelah letih berolahraga bersama. Atau


kantin yang sering kita jadikan tempat untuk bercerita tentang
seseorang yang menurut kita pantas untuk dibicarakan, aku
ingat sekali, kau sangat menyukai soto ayam, sedangkan aku
sangat menyukai nasi uduk, kita sering tertawa tentang hal
yang konyol.
Ingat saat kita liburan bersama? Tahu tidak, jika saat itu Tuhan
mengizinkanku untuk menghentikan waktu sejenak, aku ingin
sekali menatap kalian lebih dalam, betapa aku merindukan
kalian sekarang. Hari itu aku ingat sekali, kau, aku dan matahari
yang terbenam itu, derap langkah kaki kita yang tak seirama,
walau hanya menjadi memori klasik yang terbawa arus ombak
perpisahan, tapi persahabatan kita tak lekang oleh waktu.
Kau adalah salah satu hal yang pergi jauh dalam hidupku, kita
tidak mengingat hari itu, tapi kita mengingat memori kita. Kau
sangat aneh dulu, dengan wajah lugumu kau berbicara tentang
ketidaksukaanmu padaku tapi kau masih saja ingin bermain
denganku.
Pantai itu dan kenangan itu, aku masih ingat dengan jelas,
teman. Angin pantai itu seolah mengisyaratkanku untuk
menatap mata kalian lebih dalam. Aku duduk sejenak karena
letih berlari, tapi kalian tetap berlari seolah tulang-tulang kalian

itu masih kuat untuk berlari. Aku menatap kalian sejenak, ada
rasa sedih saat melihat kalian.
Aku menatap laut di depan mataku, kupejamkan sejenak,
seandainya Tuhan memberiku kesempatan untuk menghentikan
waktu, aku ingin sekali melihat kalian bahagia sekali lagi.
Berpisah bukan hal yang membahagiakan.
Waktu kita hanya dua hari untuk bisa bersama, tapi kita lupa
untuk mengucapkan kata perpisahan, karena kita tahu, pergi
jauh meninggalkan memori-memori ini tidaklah menyenangkan.
Ada tangis saat kutatap kalian, kalimatku tak bisa menjelaskan
tentang kita.
Senja itu adalah senja istimewa, kita memandang senja itu
bersama, duduk bersama, menceritakan kenangan kita selama
ini, dan membuat air mata mengalir tak tertahan, senja itu
merupakan salah satu di antara banyak kenangan yang kita
buat. Lapangan basket, kantin, soto ayam, nasi uduk, kelas
rahasia, pintu kelas rahasia dan hal-hal menakjubkan
lainnya. Aku ingat semua itu, aku masih merasa jika kita belum
berpisah, aku masih ingat kau membelikan minuman
kesukaanku, aku masih ingat bagaimana raut wajah kesal kalian
saat aku memakan bekal kalian, aku ingat saat kita saling

mempertahankan ego kita masing-masing, aku ingat saat kita


berduka, aku ingat itu.
Aku menatap kotak rinduku, ternyata aku benar-benar
merindukan kalian, foto-foto milik kita yang usang dimakan
zaman, masih tersimpan rapi dalam kotak rinduku, jika nanti
kita bertemu aku akan membawanya, untuk mengingatkan
kalian tentang pantai rahasia kita. Saat aku menatap kalian
berlari di pinggir pantai, aku tersadar, bertemu kalian adalah
takdir dan menjadi teman kalian adalah pilihan, dan itu
membuatku tau bahwa kau benar-benar berharga.
Mari kita jadwalkan temu untuk melepas rindu yang selalu
bertanya tentang kalian dan kenangan bersama kalian, meski
kau jauh tapi ketahuilah, kau pernah menjadi bagian dari
hidupku, pernah menggoreskan kisah dalam cerita dongengku.
Nanti jika aku sudah tua aku ingin cucu-cucuku tahu, bahwa kita
punya seribu cerita yang dikemas rapi dalam rindu, agar cerita
kita tak menjadi sebuah aksara yang hanya akan tersimpan tak
bersisa.
Aku merindukan kalian, mari bertemu agar angin malam
percaya bahwa kita benar-benar nyata.

Kepada kamu, yang untuk kedua kalinya kita bertemu.

Surat ini adalah surat pertama yang kutulis untukmu. Bukan


untuk membuatmu menoleh padaku, hanya untuk pelipur
gelisah. Surat ini adalah yang kutulis diam-diam dan aku yakin
kamu tak akan pernah membacanya.
Masih lekat dalam ingatanku pertemuan pertama kita. Pun kata
yang pertama terlontar dari bibirmu. Bahkan lekuk senyummu
masih terekam jelas. Adalah sesuatu yang patut disayangkan
jika aku melewatkan senyum itu.
Perjumpaan kita bukanlah hal yang sering terjadi. Sapaan yang
kau lontarkan ditambah senyum yang kau ukir juga bukan hal
yang tiap hari kutemui. Kata "hai" nampak terasa lebih
istimewa jika itu berasal darimu. Mungkin aku terlalu
berlebihan, tapi perjumpaan kita adalah suatu keajaiban
semesta yang patut disyukuri.
Kamu tahu benar, selama ini, tak ada satu pun dari kita yang
bisa benar-benar memulai pembicaraan. Kita hanya saling
diam, dan saling melempar pandangan. Lalu kamu dengan
mudahnya melempar senyum menawan itu.

Aku tertawan, sejak pertama kali melihat senyum


manis itu.

Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan senyummu, selain


menamainya senyum paling puisi. Ya, hanya itu.
Bagiku, kita adalah maya. Kamu dan senyummu adalah segala
hal yang angan belaka. Seharusnya aku menyadari bahwa
batas itu ada. Bukan hanya tentang pesona, namun juga rasa.
Aku tak ingin diam. Namun melihatmu tak bergeming
memaksaku untuk tetap berdiri pada porosku. Aku tak ingin
mati rasa. Tapi pengabaianmu membuat tersiksa ketika aku
memaksa.
Untukmu,
Lelaki yang kusisipkan namanya dalam doa
Aku meyakinkan diri untuk menunggu. Membiarkan semua
menjadi kisah yang ditentukan waktu. Membiarkan namamu
mengisi pikiranku. Lalu perlahan mulai diam-diam
mendoakanmu.
Saat ini, aku berharap bisa membekukan waktu agar
bisa mengabadikan senyummu. Senyum paling puisi
milikmu.

Adalah senyummu,
Endorfin tanpa jemu

Puisi yang tak pernah habis makna


Adakah senyummu,
Menjadi tempat mekarnya rindu?
Atau hela nafas cinta tanpa cela?
Perempuan itu,
Masih berdiri terpaku
Berharap mampu membekukan waktu
Untuk mengabadikan senyummu

Apa kabar hujan? Dimana aku selalu terbiasa dengan hadirmu.


Kujalani hari-hariku seperti engkau jatuhkan buih-buih dari
langit. Tak beraturan, tak berirama meskipun sebagian orang
mengatakan irama hujan adalah romantis namun tetap saja
bagiku tak berirama seperti jatuhnya yang tak beraturan.
Apakah mungkin ada hal yang tak beraturan disebut sebagai
hal yang romantis? Lalu bagaimana dengan hidupku, yang
kuibaratkan seperti jatuhnya air dari langit, lalu menapaki bumi
dan diapun tak tahu di bagian bumi yang mana dia akan jatuh.

Ada kalanya dia jatuh di sungai yang mengalir kemudian lenyap


di muara yang hilang. Ada juga yang langsung jatuh ke laut,
bertemu dengan habitatnya karena dia tak perlu jauh-jauh
mengembara untuk sampai ke muara. Namun ada juga yang
hanya jatuh di emperan lalu berakhir di saluran pembuangan,
bercampur dengan sampah dan kotoran. Dimana keadaan
hidupku? Apakah aku adalah air yang jatuh disungai? Yang
harus melakukan perjalanan hidup yang panjang. Penuh lika
liku, menuruni bukit, menyusuri lembah dan harus melewati
celah bebatuan yang sempit dan masih banyak lagi rintangan
sebelum sampai ke muara. Atauaku adalah air yang jatuh di
laut, yang tak perlu harus melalui berbagai ujian panjang yang
menyengsarakan untuk sampai ke muara. Karena aku langsung
berada di habitatku, segalanya ada di sini, semua berkecukupan
di sini. Karena disini adalah tempatnya air, segala macam air
akan bermuara di sini.
Alangkah bahagianya diriku jika aku seperti air yang jatuh di
laut. Tapi, ternyata diriku seperti air yang hanya jatuh di
emperan rumah. Jatuhnya saja sudah teramat sakit, karena
harus membentur genteng terlebih dahulu sebelum aku benarbenar berada di tanah. Apakah cukup sampai di tanah? Ah,
ternyata tidak perjalananku masih teramat jauh. Setelah
benturan-benturan keras dengan genteng dan tanah, aku masih

di seret-seret melewati celah aliran tanah yang lain, yang


sempit dan berkerikil. Terkadang aku bertemu dengan
tumpukan sampah yang kotor dan bau. Terkadang juga aku
bertemu dengan batuan besar yang menghalangi jalanku.
Terkadang aku juga bertemu dengan jalan air yang memang di
khususkan untuk air selokan.red. Tapi kenyataannya meskipun
ini adalah jalan khusus untuk air namun tak seindah
peruntukannya. Ternyata di sini pun masih banyak sampah dan
kotoran yang aku temui. Begitu terus sampai aku merasa lelah
dengan sendirinya. Kadang aliranku berhenti, dan aku mengira
aku telah sampai di tujuanku.
Tapi ternyata tidak, aku hanya berhenti untuk memilih aliran
mana yang akan terus menjadi jalanku. Di persimpangan ini aku
berhenti sejenak. Tak ada yang tahu akan kemanakah aliranku
selanjutnya. Apakah akan menuju parit-parit untuk bertemu
dengan habitatku yang lain? Ataukah aku akan terus mengalir
lagi tanpa arah dan tujuan.Ah sebenarnya mau dikemanakan
aku ini? Aku sudah lelah, aku sudah kenyang dengan perjalanan
ini. Tak bisakah aku keluar dari jalan ini dan biar kucari sendiri
jalanku. Jalan yang menurut kemauanku. Tak bisakah aku
dibiarkan menentukan jalanku sendiri? Sudah cukup jauh aku
mengalir. Aku sudah banyak bertemu dengan macam-macam
benda yang menghalangiku. Aku sudah banyak belajar untuk

melewati mereka semua. Namun mengapa aku masih tetap


saja di suruh mengalir? Apa karena tak ada bekas luka pada
diriku sehingga dikira aku baik-baik saja. Apa kau tak tahu, air
itu mudah dibentuk tapi juga mudah untuk kembali seperti
semula. Makanya tak ada luka ataupun bekas luka pada diriku.
Apakah karena itu sehingga kau tak pernah puas untuk
menyuruhku terus mengalir? Karena kau tak melihat bekas luka
di diriku. Ya, aku memang baik-baik saja. Aku tak terluka
sedikitpun. Karena aku sudah cukup kuat, sudah cukup tangguh
menghadapi benda-benda yang berusaha menghalangi jalanku.
Pernahkah kau bayangkan, bagaimana wujud sampah yang
paling banyak menghalangiku? Kalau hanya sampah kertas,
plastik atau makanan sisa itu saja tak seberapa bagiku. Tapi
ketika aku bertemu dengan duri, pecahan kaca, besi-besi bekas
dan lainya itu akan sangat menyakitkanku. Bisa kau bayangkan
bagaimana luka yang dibuatnya, seberapa remuk tubuhku
menahan benturan-benturan dari benda-benda itu.Dan aku
menjadi kuat karenanya. Tak ada alasan lagi untuk mengeluh
tentang perjalananku. Entah akan berakhir di laut, di sungai
atau malah hanya terseret di selokan mengalir kesana kemari
tak tentu arah. Aku akan menjalaninya. Karena aku tak bisa
kembali ke langit tempat di mana aku berasal. Aku juga tak bisa
memilih di belahan bumi yang mana aku ingin di jatuhkan. Dan

aku juga tak bisa memilih dengan cara seperti apa aku ingin
dijatuhkan. Selalu ada alasan mengapa aku harus mengalir
seperti ini. Meskipun aku tak tahu apa itu, namun tak ada
sesuatu yang terjadi yang tanpa sebab. Terkadang aku ingin
menjadi arus yang kuat yang bisa menghalau benda apapun
yang menghalangi jalanku. Menghempaskannya agar aku bisa
mengalir dengan nyaman. Seberapa besar batu yang
menghadangku, seberapa banyak tumpukan sampah yang
menghalangiku aku ingin melewatinya atau bahkan
menghempaskanya. Tapi kadang aku juga hanyut bersamanya,
berbagi tempat dengannya. Meskipun aku tak
menginginkannya. Siapa juga yang ingin berjalan beriringan
dengan tumpukan sampah yang kotor dan bau? Yang ada
malah aku juga akan dianggap sama. Namun seberapa kuat
tekadku, apapun keinginanku, pada kenyataannya aku tetaplah
hanya buih, dan sampai kapanpun aku akan tetap menjadi buih
air hujan yang turun dan mengalir tak beraturan. Walaupun tak
sampai ke laut, namun akan kuciptakan muaraku sendiri. Akan
kuciptakan sungaiku sendiri, selokanku sendiri dan
persimpanganku sendiri. Dimana aku bisa memilih aliran mana
yang akan ku tuju. Dan sampai dimana waktu itu tiba aku akan
mengalir mengikuti tempat yang lebih rendah yang ada di
depanku. Karena aku tak bisa menanjak ataupun kembali lagi.

Sembari berdoa semoga di depan tak ada tumpukan sampah


lagi, tak ada batuan besar lagi dan tak ada persimpangan lagi
yang membuatku terseret tak tentu arah.

Kau adalah kumpulan doa-doa yang paling aku cintai


Tumpukan rasa rindu yang tak bisa di ungkapkan dengan kata,
hanya bisa di ungkapkan dengan doa. Aku bisa apa selain
mendoakanmu?
Doaku adalah cintaku dan cintaku adalah diamku.
Dan jika memang 'cinta dalam doaku' itu tak memiliki
kesempatan untuk berbicara di dunia nyata, biarkan ia tetap
menjadi doa.

"Kau adalah kumpulan doa-doa yang paling aku


cintai
Aku mencintaimu dalam doa, dengan isyarat yang tak kan
pernah tertangkap oleh indera, aku tahu ini adalah sebuah
kesalahan, namun aku dibuat tak berdaya oleh rasa ini. Berdoa,
menjadi caraku untuk mencintaimu. Diamku cara aku paling
mencintaimu.

Cintaku pada orang yang aku cintai dan sayangi, aku titipkan
pada Allah Ta'alaa. Sebab hanyalah Allah Ta'alaa yang Maha
Menjaga, di kala kita saling berjauhan, di kala aku memendam
rindu ingin bertemu, Allah menjaga dengan menenangkan
hatiku, melalui doa aku meminta Allah menjagamu.
Cintaku kepada orang yang sungguh-sungguh aku sayangi
adalah milik-Nya, jangan sampai cintaku kepadamu melebihi
cintaku kepada pencipta-Mu. Aku rela jika kau tak mengenalku,
tapi aku mau kau mengenal hatiku. Sebab bisa mengenalmu,
bagiku sudah syukur. Dan memilikimu adalah harta yang paling
berharga dalam hidupku.
Tetapi, untuk saat ini aku belum pantas kau cintai. Aku masih
menjadi prajurit yang tak bernama, tidak sekuat kesatria, tidak
semenawan pangeran. Ya, aku masih seorang prajurit, prajurit
yang sedang berjuang di medan perang.
Saat ini, cinta diam sama dengan cinta dalam hati. Cinta dalam
hati sama dengan cinta tak harus memiliki. Aku tidak bisa
memiliki fisik, aku cuma bisa menjaga jasadmu melalui doa.
Aku selalu berdoa, semoga Allah selalu menjaga cinta ini.
Walaupun aku tak bisa beri apa-apa yang kau doakan, yang aku
bisa lakukan hanya mengaminkan apa yang doakan itu.

Kau harus tau, "kau adalah kumpulan doa-doa yang paling aku
cintai. Sebab dengan mendoakanmu artinya aku memelukmu
dan menjagamu dari jauh. Tidak seperti dia, yang senantiasa
memegang erat tanganmu, yang senantiasa selalu berada di
sisimu.
Aku hanya bisa diam dari kejauhan, karena dalam diamku
tersimpan kekuatan, Kekuatan harapan, Hingga mungkin saja
Allah akan membuat harapan itu menjadi nyata hingga cintamu
yang diam itu dapat berbicara dalam kehidupan nyata.

Bukankah Allah tak akan pernah memutuskan


harapan hamba yang berharap pada-Nya?
Dan jika memang cinta dalam doaku itu tak memiliki
kesempatan untuk berbicara di dunia nyata, biarkan ia tetap
dalam doa, karena doa adalah bentuk cinta yang paling tulus.
Jika kau memang bukan milikku, biar melalui waktu akan
menghapus 'cinta dalam doaku' itu dengan memberi rasa yang
lebih indah dan orang yang tepat.
Biarkan 'cinta dalam doaku' itu menjadi memori tersendiri dan
sudut hatimu menjadi rahasia antara kau dengan Sang Pemilik
hatiku. Aku hanya bisa terus mendoakan yang terbaik
untukmu. Terus lakukan apa yang menurutmu baik, aku yakin
saat ini kamu sedang melalukan yang terbaik untuk hidupmu

dan masa depanmu. Walaupun saat ini aku dan kau belum
dipertemukan, aku hanya bisa mengatakan "kau adalah
kumpulan doa-doa yang paling aku cintai.

Selalu ada cerita tentang hujan. Hujan adalah sahabat baik bagi
para perindu. Hujan telah menjadi penghantar kerinduan yang
mengagumkan. Lewat rinainya sajak-sajak rindu meninggalkan
jejak. Suara hembusan angin menyenandungkan kidung-kidung
kerinduan yang syahdu dan hujan yang turun setelahnya
mengejawantahkan segenap duka dan rasa frustasiku akan
rindu yang kian menggerogoti dan membuat dadaku sesak.
Hujan adalah sebuah retorika alam, jawaban akan sebuah
harapan di kala kering, ketika getar peristaltik melemah karena
haus. Menanti hujan kini menjadi aktivitas favoritku. Seperti
makhluk hidup lainnya aku juga ingin merasakan karunia yang
dibawa oleh air dari langit itu. Melihat awan gelap
bergelantungan di udara, tak sabar rasanya ingin menikmati
butiran-butiran hujan. Aku menengadahkan wajah ke langit dan
memohon dengan penuh harap. Jika hujan benar-benar turun
aku akan segera berlari dan menari dibawah rinainya. Biar
hujan menghanyutkan sisi-sisa muhasabah diri masa-masa
kelam, agar tercipta ladang subur yang indah dan menjadi

dasar penggapaian masa depan. Namun angin segera


menggiringnya, awan mendungpun berarak pergi. Mungkin saat
ini ada bagian bumi lain yang lebih membutuhkan tetes-tetes
airnya.
Hujan, tentang sebuah siklus air. Air yang menguap,
mengendap, dan mengembun. Hingga pada titik jenuh ia akan
jatuh ke bumi. Menjatuhkan dirinya dengan ikhlas dan berharap
ia akan menjadi sumber kehidupan baru bagi seluruh makhluk
di bumi. Aku merindukan hujan dan aku pun ingin menjadi air
agar selalu bisa menjadi bagian dari siklusnya. Seperti air aku
ingin mengalir mengikuti titah Tuhan. Dalam ikhlas, berjalan di
alur yang sudah dirancang dengan hebat oleh-Nya.
Aku merindukan hujan yang selalu bisa membuatku merasa
cantik. Aku merindukan hujan yang selalu bisa menyejukkan
sanubari. Hujan yang mampu meleburkan berbagai masalah
yang berjejal di otakku. Hujan yang selalu mengajarkan untuk
bersyukur. Hujan yang selalu membuatku merasa damai. Hujan
yang mengajarkan tentang makna keikhlasan dalam hidup.
Hujan yang selalu bisa membangkitkan memori tentang
kejayaan di masa lalu dan mengobarkan semangat untuk
menapaki masa depan yang lebih gemilang. Hujan yang akan
mengantarkanku melihat keelokan pelangi.

Kini musim telah berganti, tak mudah untuk menemukan


dedaunan dan rumput-rumput yang basah karena hujan. Tak
banyak yang bisa ku lakukan. Hanya dalam simpul-simpul doa
aku sampaikan kerinduan. Tak ada lagi air mata, mungkin sudah
terlalu gersang. Jika sudah begini maka cinta tak lagi soal rasa
ingin memiliki namun tentang keikhlasan. Sudah barang tentu
segara perkaya di dunia ini sudah diatur oleh sang Maha Pemilik
Skenario. Seperti hujan yang menjatuhkan dirinya dengan
penuh keikhlasan dan ia berharap akan menjadi lebih
bermakna. Aku juga akan menjatuhkan hatiku dengan ikhlas,
entah akan berakhir remuk atau justru akan menjadi semakin
kuat.
Hujan kini tak datang lagi, maka aku akan mulai mencoba untuk
terbiasa bertahan di bawah terpaan terik matahari di musim
kemarau. Mungkin hujan tak akan pernah tahu tentang betapa
besar rinduku padanya. Aku akan tetap menunggu. Sekalipun
esok atau lusa hujan tak jua membasahi penjuru kota ini, aku
hanya akan tetap merindukannya. Hujan yang selalu bisa
membuatku merasa lebih hidup. Aku yakin ini hanya masalah
waktu dan perputaran takdir. Segalanya akan indah di waktu
yang tepat, hanya butuh sedikit lagi kesabaran dan usaha untuk
memperbaiki diri dan semakin dekat pada Sang Maha Pencipta.

Teruntuk sahabatku yang berharga, kita memang tak selalu


bertemu, tak selalu berbincang tiap hari dan jarak membentang
antara aku denganmu, sahabatku, tetapi tiap kalimat
penyemangatmu membuatku paham, persahabatan ini bukan
soal jarak.
Teruntuk sahabatku yang berharga, bukan sehari-dua hari aku
baru mengenalmu, kamu memahami karakterku dengan sangat
baik, mengerti keburukan-keburukan dalam diriku dan kamu
tetap menjadi sahabatku. Kamu mengingatkan diriku, bukan
menghina keburukanku. Kamu mengajakku dalam kebaikan,
bukan membiarkanku terjatuh lebih dalam. Kamu mengulurkan
tanganmu untuk membantuku bangkit, bukan mendorongku
agar terjerembab.
Teruntuk sahabatku yang berharga, kamu selalu mengingatkan
untuk menjaga ukhuwah ini, bahkan kamu katakan semoga kita
dapat bertemu kembali di surgaNya. Aku hanya bisa menahan
nafasku saat mendengarnya, menahan air mata ini agar tak
terjatuh. Aku semakin mengerti, persahabatan ini
mengajarkanku untuk tulus.
Teruntuk sahabatku yang berharga, denganmu aku bisa tertawa
lepas dengan candaan-candaan ringan sekalipun. Hanya hal-hal

sepele dan hal norak sekalipun saja bisa menjadikan kita


tertawa terbahak, lepas dan terkadang aku merasa kesedihankesedihan yang tersimpan seperti menguap begitu saja. Kamu
pernah bilang di sela-sela tawa kita, "Biasanya yang paling
kencang tawanya, yang paling sedih di dalamnya." Aku tertawa
mendengarnya, namun mengiyakan juga.

Teruntuk sahabatku yang berharga, yang mengerti


bagaimana saat menghadapi kawanmu ini ketika
patah hati, kamu menjadi pendengar yang sangat baik
tanpa banyak mengkritikku. Kamu paham, terkadang
aku hanya membutuhkan seorang pendengar.
Teruntuk sahabatku yang berharga, tak hanya soal
persahabatan ini saja kita saling menjaga, kamu juga tak lelah
mengingatkan soal keluarga. Keluarga adalah harta paling
berharga yang Tuhan berikan. Dan kamu harus tahu, kamu
bagian dari keluargaku. Tidak sekali-dua kali saja kita saling
menyampaikan salam seperti, "Salam ya untuk Ibu." "Salam ya
untuk Bapak." "Ibu apa kabar? Sehat?" "Bapak apa kabar?
Sehat?"
Persahabatan ini manis. Aku belajar banyak hal untuk saling
mengerti dan memahami karakter-karakter tiap individu. Terima
kasih tetap menjadi sahabatku.

Anda mungkin juga menyukai