Anda di halaman 1dari 3

Senja mulai tiba, kedua bola mata tua itu terus menatap ke arah sebuah bukit yang setengah

gundul. Ia menanti tenggelamnya matahari di balik Bukit itu. Dengan mukena yang telah
terpakai, dan tubuh yang telah suci sehabis wudhu, perempuan tua itu terus mengarahkan
pandangannya ke arah bukit itu. Ia duduk di barisan salat wanita yang menghadap langsung
ke jendela luar. Sengaja kali ini Ia datang ke masjid lebih awal. Dalam renungan dan mata
yang terus memandang, perempuan tua itu kembali didatangi kisah pedih di masa lalunya. Di
bukit itulah suaminya tenggelam bersama matahari. Masih terngiang di pikirannya, saat
dimana suaminya dibunuh tanpa alasan yang jelas. Tertuduh sebagai pencuri kayu hutan,
hingga akhirnya Pak Lurah melaporkan suaminya. Sungguh tak adil! Tanpa bukti yang nyata,
suaminya ditangkap dengan kejam. Ia akan diasingkan sejauh-jauhnya. Sungguh manusia tak
berhati nurani, sampai hati mereka melakukan tindakan seperti itu di hadapan anak-anaknya
yang masih kecil.
Diiringi jerit tangis dan teriakan warga yang seolah mengadu domba, lelaki itu dibawa ke
sebuah hutan di bukit yang belum pernah terjamah manusia. Sungguh biadab. Para aparat
keamanan itu mengikat pria yang tak terbukti bersalah itu di sebuah pohon besar, dan
meninggalkannya begitu saja. Sementara itu anak dan istrinya dikurung di rumah kecil yang
mereka tempati, agar tak ada orang yang mampu menghalangi aksinya. Bertahun-tahun
perempuan itu menunggu suaminya pulang. Terkadang bocah-bocah yang kini beranjak
dewasa itu menanyakan keberadaan ayahnya. Patutlah mereka bertanya seperti itu. Karena
ketika ayahnya ditangkap, mereka masih belum mengerti apa-apa. Sumiati baru berusia 2
tahun, sedangkan Sarmin baru berumur 4 tahun. Mereka semua hanyalah balita yang belum
tahu makna kejadian pada 15 tahun yang lalu.
Bertahun-tahun mereka berdua hanya hidup bersama seorang Ibu. Tanpa ingat bagaimana
wajah tampan ayahnya dahulu. Kini anak kecil itu telah tumbuh menjadi gadis yang sangat
cantik. Sedangkan saudara lelakinya pergi entah ke mana. Dengan alasan hendak pergi
merantau bersama temannya. Namun hingga kini Ia tak kunjung pulang. Entah masih hidup
ataukah telah mati, tiada seorang pun yang tahu. Sumiati menjadi kembang desa di
kampungnya. Semua lelaki mengagumi kecantikannya. Mulai dari sesama pemuda miskin,
hingga anak Pak Lurah. Sumiati bagaikan mawar putih di antara semak belukar. Tak ada satu
pun gadis di kampungnya yang mampu menandingi kecantikannya. Sehingga mereka semua
iri dan berusaha untuk menyingkirkan Sumiati dari kampungnya.
Sumiati terjebak cinta yang salah. Ia mencintai lelaki yang tak diharapkan sama sekali oleh
Ibunya. Anak Pak Lurah, ya anak orang yang telah berhasil membunuh ayahnya dengan cara
yang terlaknat. Ia telah berhasil merampas akal sehat Sumiati. Hingga suatu ketika setan
datang menghasut. Di tengah gelapnya malam dan udara dingin perbukitan, mereka
melakukan dosa yang sangat dibenci Allah. Mereka berzina. Sungguh perbuatan yang tak
beradab. Bagaimana mungkin Sumiati melakukan perbuatan macam itu. Apalah artinya Ia
bersekolah agama, jika dosa zina pun berani Ia lakukan. Sungguh setan sangatlah jahat. Dia
mampu menuntun gadis yang suci ke jurang dosa yang sulit untuk terampuni.

Setelah kenikmatan yang hanya sementara itu mereka rasakan, kemudian tersadarlah Sumiati
dari hasutan setan dan iblis. Sumiati berlari ke rumah sambil menangis, meratapi perbuatan
dosa yang telah dilakukannya. Sedangkan kekasihnya tak menghiraukannya sama sekali. Ia
langsung masuk kamar dan menyesali perbuatannya. Kala itu Ibunya tengah menghadiri
pengajian di desa tetangga. Sehingga tak satu pun orang yang tahu keadaan Sumiati. Hari
demi hari Sumiati hidup dalam penyesalan. Ia telah bertaubat kepada Allah SWT. Siang
malam menangis menyesali perbuatannya. Memohon ampunan dalam setiap doa. Hingga
akhirnya Ia merasa siap untuk menjalani hukuman atas perbuatannya. Sungguh hukuman di
dunia amatlah ringan jika dibandingkan dengan adzab akhirat.
Setelah melakukan salat Ashar di rumahnya, Sumiati pergi menemui seorang Ulama di
desanya. Ia meminta hukum cambuk baginya. Ia meminta dihukum sesuai perbuatannya.
Dengan rasa sedih dan juga haru terhadap sikap Sumiati, Kyai itu mengiyakan
permintaannya. Karena sudah sepatutnya penzina yang belum pernah menikah harus
dihukum cambuk dan diasingkan. Tanpa diketahui Ibunya, Sumiati menjalankan hukuman itu
di hadapan seluruh kaum muslim. Cambukan dan deraan sebanyak seratus kali telah menerpa
tubuhnya. Dan kini Sumiati siap dibawa ke bukit untuk diasingkan. Sungguh berat hati Ia
harus pergi meninggalkan Ibunya. Namun inilah jalan yang harus ditempuh, sebagai bukti
untuk mencari ampunan dan ridho Allah SWT.
Setelah tiga hari menginap di rumah seorang Ustadzah di desa sebelah guna menuntut ilmu
agama, sudah saatnya Ia harus pulang. Perasaan rindu terhadap putrinya yang amat besar
membuatnya sangat bersemangat untuk sampai di rumah. Setelah salat shubuh di masjid, ia
bergegas pulang. Berjalan kaki seorang diri ditemani kicauan burung dan matahari yang
hampir terbit. Sungguh terkejut sesampainya Ia dirumah. Tak didapati putri cantiknya di
kamar. Tak seorang pun orang yang tahu ke mana Sumiati pergi. Tetangga pun hanya bisa
terdiam saat perempuan tua itu menanyakan keberadaan putrinya. Kini perempuan tua itu
hidup sebatang kara di rumah kecil itu. Menghabiskan masa tuanya hanya untuk beribadah
dan mendoakan keselamatan putrinya, agar kelak dapat dipertemukan lagi.
Tepat setahun Sumiati hidup di pengasingan. Waktunya hanya dihabiskan untuk bertaubat dan
mendekatkan diri kepada Allah. Kini saatnya Ia harus pulang untuk menemui Ibunya.
Sungguh merasa teramat berdosa, karena ia harus pergi meninggalkan Ibunya tanpa pesan.
Sumiati telah sampai di rumah dan menjumpai Ibunya yang semakin tua. Senyum dan tangis
bahagia menyertai pertemuan keduanya. Sumiati menceritakan apa yang terjadi pada dirinya
kepada perempuan tua itu. Sang Ibu teramat kecewa terhadap perbuatannya. Namun naluri
seorang Ibu pasti akan selalu menyayangi anaknya. Ia hanya bisa mendoakan agar dosa zina
anaknya dapat terampuni.
Setelah tiga hari Ia kembali hidup bersama Ibunya, tubuh Sumiati sering sakit-sakitan.
Sumiati terkena penyakit yang aneh. Daya tahan tubunya semakin menurun dan membuatnya
sangat mudah sakit. Mungkinkah ini AIDS? Penyakit yang tiada obatnya. Sungguh
perempuan tua itu tak mengerti penyakit apa yang menimpa anaknya. Hari demi hari sakitnya
semakin menjadi-jadi. Dengan sisa tenaga yang masih ada, Sumiati bangkit untuk

melaksanakan salat Maghrib berjamaah bersama Ibunya. Seusai salat, Sumiati terus berdoa
meminta ampunan Allah. Hingga tubuhnya semakin tak berdaya. Badannya terjatuh di
pangkuan Ibunya. Sudah saatnya Sumiati harus menghadap Illahi. Diiringi dua kalimat
syahadat, terlepas lah nyawa Sumiati dari jasadnya. Sang Ibu hanya bisa menangis, dan
memohonkan ampun untuk anaknya.
Allahu Akbar Allahu Akbar!
Allahu Akbar Allahu Akbar!
Tak terasa waktu salat Maghrib telah tiba. Perempuan tua itu tersadar dari lamunan
panjangnya. Bergegas Ia melaksanakan salat berjamaah. Sambil memohonkan ampunan
untuk putrinya, di setiap napas yang berhembus. Tak lupa ia memohonkan ampunan untuk
suaminya. Dan juga berharap agar anak lelakinya dapat pulang, dan menemani sisa umurnya.
Jika Ia masih hidup. Masa lalu biarlah menjadi pelajaran. Yang terpenting bagaimana caranya
agar di sisa umur ini hidup selalu dirahmati Allah SWT. Allahlah Dzat Yang Maha
Pengampun. Sebesar apa pun dosa yang dilakukan, Insya Allah akan diampuni. Jika memang
diirngi dengan taubatan nasuha. Taubat yang sungguh-sungguh, dan enggan untuk
mengulangi perbuatan dosa lagi.

Anda mungkin juga menyukai