Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

MENINGITIS BAKTERIA

Supervisor : Dr. Haflin Soraya Hutagalung, Sp.S

Disediakan oleh
Nama : Vishalini Sreetharan
NIM : 080100435

DEPARTEMENT NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H. ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2013

DAFTAR ISI
Halaman Judul
Daftar Isi................................................................................................................................i
BAB 1 : PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................3
4.1 Definisi Meningitis bakteri, klasifikasi serta faktor penyebab.................5
4.2 Patofisiologi Meningitis bakteri................................................................6
4.3 Diagnostik Meningitis Bakteri................................................................10
4.4 Penatalaksanaan.......................................................................................11
4.5. Prognosis dan pencegahan......................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................23

BAB 1

PENDAHULUAN

Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan terjadinya


gejala perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia disertai
peningkatan jumlah leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS). Berdasarkan durasi dari
gejalanya, meningitis dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Meningitis akut memberikan
manifestasi klinis dalam rentang jam hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik
memiliki onset dan durasi berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Pada banyak kasus,
gejala klinik meningitis saling tumpang tindih karena etiologinya sangat bervariasi.
Meningitis juga dapat dibagi berdasarkan etiologinya. Meningitis bakterial akut merujuk
kepada bakteri sebagai penyebabnya. Meningitis jenis ini memiliki onset gejala meningeal
dan pleositosis yang bersifat akut. Penyebabnya antara lain Streptococcus pneumoniae,
Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae. Jamur dan parasit juga dapat menyebabkan
meningitis seperti Cryptococcus, Histoplasma, dan amoeba.
Meningitis aseptik merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular
nonpiogenik yang disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda-beda. Penderita biasanya
menunjukkan gejala meningeal akut, demam, pleositosis LCS yang didominasi oleh limfosit.
Setelah beberapa pemeriksaan laboratorium, didapatkan peyebab dari meningitis aseptik ini
kebanyakan berasal dari virus, di antaranya Enterovirus, Herpes Simplex Virus (HSV).
Pada referat ini akan dibahas mengenai meningitis bakterialis. Meningitis bakterialis
merupakan penyakit yang mengancam jiwa disebabkan oleh infeksi lapisan meningen oleh
bakteri. Insidensi meningitis bakterialis di Amerika Serikat sudah menurun sejak
diterapkannya penggunaan rutin vaksin Haemophilus influenzae tipe B (HIB). Umumnya
penderita berusia di bawah 5 tahun dan pada 70% kasus terjadi pada anak-anak usia 2 tahun.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA : MENINGITIS BAKTERI

DEFINISI
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter
(lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan mengenai
jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial.
ETIOLOGI
Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, jamur, cacing dan protozoa.
Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. Meningitis yang disebabkan oleh bakteri
berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan
dan gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat.
Penyebab meningitis purulenta mempunyai kecenderungan pada golongan umur
tertentu, yaitu golongan neonatus paling banyak disebabkan oleh E.Coli, S.beta hemolitikus
dan Listeria monositogenes. Golongan umur dibawah 5 tahun (balita) disebabkan oleh
H.influenzae, Meningococcus dan Pneumococcus. Golongan umur 5-20 tahun disebabkan
oleh Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis dan Streptococcus Pneumococcus, dan
pada usia dewasa (>20 tahun) disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus, Stafilocccus,
Streptococcus dan Listeria.
Penyebab meningitis serosa yang paling banyak ditemukan adalah kuman
Tuberculosis dan virus. Meningitis yang disebabkan oleh virus mempunyai prognosis yang
lebih baik, cenderung jinak dan bisa sembuh sendiri. Penyebab meningitis virus yang paling
sering ditemukan yaitu Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackie virus , sedangkan Herpes
simplex , Herpes zooster, dan enterovirus jarang menjadi penyebab meningitis aseptik(viral).
KLASIFIKASI
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan
otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai dengan
jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab

yang paling sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau
meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa
pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus.

PENULARAN MENINGITIS
Meningitis Meningococcus merupakan meningitis purulenta

yang paling sering terjadi.

Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan

droplet

infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan tenggorok
penderita.

Saluran nafas merupakan port dentree utama pada penularan penyakit ini.

Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan
sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah) ke dalam
cairan serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan peradangan
pada selaput otak dan otak.

Patofisiologi Meningitis
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di organ atau
jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak,
misalnya pada penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan
Endokarditis. Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan
organ atau jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya Abses otak, Otitis Media,
Mastoiditis, Trombosis sinus kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa juga terjadi
akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi kumankuman ke dalam ruang subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS
(Cairan Serebrospinal) dan sistem ventrikulus.
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami hiperemi;
dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke
dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi
pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua selsel plasma. Eksudat yang
terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan

fibrin sedangkan di lapisaan dalam terdapat makrofag. Proses radang selain pada arteri juga
terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak
dan degenerasi neuronneuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrinopurulen menyebabkan kelainan kraniales. Pada Meningitis yang disebabkan oleh virus, cairan
serebrospinal tampak jernih dibandingkan Meningitis yang disebabkan oleh bakteri.
. Gejala Klinis Meningitis
Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak, letargi, muntah
dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)
melalui pungsi lumbal.
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan dan
gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan gejala panas
tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan
konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang mencembung. Kejang dialami
lebih

kurang 44 % anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25 % oleh

Streptococcus pneumoniae, 21 % oleh Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus.


Pada anak-anak dan dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian
atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat, malaise, nyeri
otot dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen.
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium
prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi biasa.
Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah,
nafsu makan berkurang, murung, berat badan turun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi,
pola tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat
panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri
punggung, halusinasi, dan sangat
gelisah.
Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 3 minggu dengan gejala
penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang disertai
kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata,

seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun
menonjol dan muntah lebih hebat.
Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan
kesadaran sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga
minggu bila tidak mendapat pengobatan sebagaimana mestinya.
Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih serta rasa
sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang disebabkan oleh
Mumpsvirus ditandai dengan gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh
pembesaran kelenjer parotid sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada meningitis
yang disebabkan oleh

Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit

tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan timbulnya ruam makopapular yang tidak
gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan ekstremitas. Gejala yang tampak pada
meningitis Coxsackie virus yaitu tampak lesi vasikuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah
dan pada tahap lanjut timbul keluhan berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku leher, dan
nyeri punggung.

Pemeriksaan Rangsangan Meningeal


Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi dan rotasi
kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan
fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak dapat disentuhkan ke dada dan
juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi kepala.
Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada sendi panggul
kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa nyeri. Tanda
Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135 (kaki tidak dapat di
ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.
Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)

Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah kepala
dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala dengan cepat kearah
dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi
involunter pada leher.
Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul
(seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan
terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.

Pemeriksaan Penunjang Meningitis

Pemeriksaan Pungsi Lumbal


Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan

cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial.


Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel darah putih
meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).
Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah sel
darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis bakteri.
Tabel : Analisa Cairan Serebrospinalis
TES

MENINGITIS

MENINGITIS

MENINGITIS

BAKTERIAL

VIRUS

TUBERKULOSA

Tekanan

Meningkat

Normal

Bervariasi

Warna

Keruh

Jernih

Xanthochromia

Jumlah Sel

100-5000/ml

10-300/ml

100-500/ml

Jenis Sel

Predominan PMN

MN > PMN

MN >PMN

Protein

>100 mg/dL

Normal/sedikit

Meningkat

meningkat

mg/dL

>

100

Glukosa

<40 mg/ dL

Normal

Rendah, <40mg/dL

Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap Darah

(LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur. Pada Meningitis Serosa didapatkan
peningkatan leukosit saja. Disamping itu, pada Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga
peningkatan LED. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.

Pemeriksaan Radiologis
Pada Meningitis Serosa dilakukan foto dada, foto kepala, bila mungkin dilakukan CT

Scan. Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid, sinus paranasal, gigi
geligi) dan foto dada.
Prognosis Meningitis
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yang menimbulkan
penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan lama penyakit
sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa tua mempunyai
prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan kematian.
Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas meningitis purulenta,
tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami sequelle (akibat sisa). Lima puluh
persen meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan seperti ketulian, keterlambatan
berbicara dan gangguan perkembangan mental, dan 5 10% penderita mengalami kematian.
Pada meningitis Tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada umumnya tinggi.
Prognosa jelek pada bayi dan orang tua. Angka kematian meningitis TBC dipengaruhi oleh
umur dan pada stadium berapa penderita mencari pengobatan. Penderita dapat meninggal
dalam waktu 6-8 minggu.
Penderita meningitis karena virus biasanya menunjukkan gejala klinis yang lebih
ringan,penurunan kesadaran jarang ditemukan. Meningitis viral memiliki prognosis yang jauh
lebih baik. Sebagian penderita sembuh dalam 1 2 minggu dan dengan pengobatan yang
tepat penyembuhan total bisa terjadi.

TERAPI KONSERVATIF/MEDIKAL
Antibiotika
Pemilihan obat-obatan antibiotika, harus terlebih dahulu dilakukan kultur darah dan
Lumbal Punksi guna pembrian antibiotika disesuaikan dengan kuman penyebab. Berikut ini
pilihan antibiotika atas dasar umur: Pemilihan antimikrobial pada meningitis tergantung pada
pemilihan antibiotika yang dapat menembus sawar darah otak, bakteri penyebab serta
perubahan dari sumber dasar infeksi. Bakteriologikal dan respons gejala klinis kemungkinan
akan menjadi lambat, dan pengobatan akan dilanjutkan paling sedikit 14 hari setelah hasil
kultur CSF akan menjadi negatif.

Kortikosteroid
Efek anti inflamasi dari terapi steroid dapat menurunkan edema serebri, mengurangi
tekanan intrakranial, akan tetapi pemberian steroid dapat menurunkan penetrasi antibiotika ke
dalam abses dan dapat memperlambat pengkapsulan abses, oleh karena itu penggunaaan
secara rutin tidak dianjurkan. Oleh karena itu kortikosteroid sebaiknya hanya digunakan
untuk tujuanmengurangi efek masa atau edema pada herniasi yang mengancam dan
menimbulkan deficit neurologik fokal. Lebel et al (1988) melakukan penelitian pada 200
bayi dan anak yang menderita meningitis bacterial karena H. influenzae dan mendapat terapi
deksamethason 0,15 mg/kgBB/x tiap 6 jam selama 4 hari, 20 menit sebelum pemberian
antibiotika.
Ternyata pada pemeriksaan 24 jam kemudian didapatkan penurunan tekanan CSF,
peningkatan kadar glukosa CSF dan penurunan kadar protein CSF. Yang mengesankan dari
penelitian ini bahwa gejala sisa berupa gangguan pendengaran pada kelompok yang
mendapatkan deksamethason adalah lebih rendah dibandingkan kontrol. Tunkel dan Scheld
(1995) menganjurkan pemberian deksamethason hanya pada penderita dengan resiko tinggi,
atau pada penderita dengan status mental sangat terganggu, edema otak atau tekanan
intrakranial tinggi. Hal ini mengingat efek samping penggunaan deksamethason yang cukup

banyak seperti perdarahan traktusgastrointestinal, penurunan fungsi imun seluler sehingga


menjadi peka terhadap patogen lain dan mengurangi penetrasi antibiotika kedalam CSF.
Pencegahan Meningitis
Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko meningitis bagi
individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup sehat.
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi meningitis pada bayi agar dapat
membentuk kekebalan tubuh. Vaksin yang dapat diberikan seperti Haemophilus influenzae
type b (Hib), Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7), Pneumococcal polysaccaharide
vaccine (PPV),

Meningococcal conjugate vaccine (MCV4), dan MMR (Measles dan

Rubella). Imunisasi Hib Conjugate vaccine (HbOC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2
bulan dan dapat digunakan bersamaan dengan jadwal imunisasi lain seperti DPT, Polio dan
MMR.
Vaksinasi Hib dapat melindungi bayi dari kemungkinan terkena meningitis Hib
hingga 97%. Pemberian imunisasi vaksin Hib yang telah direkomendasikan oleh WHO, pada
bayi 2-6 bulan sebanyak 3 dosis dengan interval satu bulan, bayi 7-12 bulan di berikan 2
dosis dengan interval waktu satu bulan, anak 1-5 tahun cukup diberikan satu dosis. Jenis
imunisasi ini tidak dianjurkan diberikan pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilai belum
dapat membentuk antibodi. Meningitis Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian
kemoprofilaksis (antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau hidup serumah dengan
penderita.
Vaksin yang dianjurkan adalah jenis vaksin tetravalen A, C, W135 dan Y. meningitis
TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi
kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi BCG. Hunian sebaiknya memenuhi syarat
kesehatan, seperti tidak over crowded (luas lantai > 4,5 m 2/orang), ventilasi 10 20% dari
luas lantai dan pencahayaan yang cukup. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara
mengurangi kontak langsung dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di
lingkungan perumahan dan di lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis
juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan yang
bersih sebelum makan dan setelah dari toilet.

Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat masih
tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan perjalanan
penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan
segera. Deteksi dini juga dapat ditingkatan dengan mendidik petugas kesehatan serta keluarga
untuk mengenali gejala awal meningitisDalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi test
darah dan pemeriksaan X-ray (rontgen) paru .
Selain itu juga dapat

dilakukan surveilans ketat

terhadap anggota keluarga

penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk menemukan penderita
secara dini. Penderita juga diberikan pengobatan dengan memberikan antibiotik yang sesuai
dengan jenis penyebab meningitis yaitu :

Meningitis Purulenta
Haemophilus influenzae b : ampisilin, kloramfenikol, setofaksim, seftriakson.
Streptococcus pneumonia : kloramfenikol , sefuroksim, penisilin, seftriakson.
Neisseria meningitidies : penisilin, kloramfenikol, serufoksim dan seftriakson.

Meningitis Tuberkulosa (Meningitis Serosa)


Kombinasi INH, rifampisin, dan pyrazinamide dan pada kasus yang berat dapat

ditambahkan etambutol atau streptomisin. Kortikosteroid berupa prednison digunakan


sebagai anti inflamasi yang dapat menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema
otak.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau
mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan
untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu penderita
untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisikondisi yang tidak diobati lagi, dan
mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli

atau ketidakmampuan untukbelajar. Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk


mencegah dan mengurangi cacat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI, 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia
Sehat 2010, Jakarta.
2. Noor, N., 1997. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Rineka Cipta,Jakarta.
3. Harsono, 2003. Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
4. WHO, 2005. Meningitis. http://www.who.int/emc/diseases/meningitis.
5.

Badan

Penelitian

dan

Pengembangan

Kesehatan,

2002.

Meningitis:

http://www.depkes.go.id.
6.

WHO,

2005.

Meningococcal

Disease

in

India.

http://www.who.int/emc/diseases/meningitis.
7. Muliawan, S., 2008. Haemophilus Influenzae As a Cause of Bacterial Meningitis in
Children. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol58, No.11, Hal 438-443, Jakarta.
8.Swierzewski,

S.,

2002.

Meningitis,

Insidens

and

Prevalence

http://www.neurologychannel.com/meningitis/incidence.shtml
9. Kandun, I., 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Infomedika, Jakarta.
10. Isbagia, D., 2003. Kemajuan Dalam Pengembangan Vaksin Terhadap Infeksi Saluran
Pernapasan dan Meningitis.

Buletin Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

Vol.XIII, No.4, Hal 32-37, Jakarta


11. WHO, 2008. Meningitis Season 2007-2008: moderate levels of meningitis activity.
http://www.who.int/emc/diseases/meningitis.
12. Seamic Health Statistic, 2002.

Seamic Publication No.85, International Medical

Foundation of Japan, Japan.


13. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 1998. Meningitis:
http://www.depkes.go.id.

Anda mungkin juga menyukai