Anda di halaman 1dari 15

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1

DEFINISI BRONKOPNEUMONIA
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang
mengenai parenkim paru dimana asinus terisi dengan cairan radang, dengan
atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam interstitium. Secara
klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit), bahan
kimia, radiasi, aspirasi, obat-obatan dan lain-lain. Pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedang
keradangan paru yang disebabkan oleh penyebab non infeksi (bahan kimia,
radiasi, obat-obatan dan lain- lain) lazimnya disebut pneumonitis.
Bronkopneumonia merupakan radang dari saluran pernapasan yang
terjadi pada bronkus sampai dengan alveolus paru. Saluran pernapasan
tersebut tersumbat oleh eksudat yang mukopurulen, yang membentuk
bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang berdekatan. Penyakit ini bersifat
sekunder yang biasanya menyertai penyakit ISPA (Infeksi Salurann
Pernapasan Atas), demam infeksi spesifik dan penyakit yang melemahkan
daya tahan tubuh. Sebagai infeksi primer biasanya hanya dijumpai pada
anak-anak dan orang tua.

11

3.2

ETIOLOGI
Berbagai mikroorganisme dapat menyebabkan pneumonia, antara lain
virus, jamur, dan bakteri. S. pneumoniae merupakan penyebab tersering
pneumonia bakterial pada semua kelompok umur. Virus lebih sering
ditemukan pada anak kurang dari 5 tahun. Respiratory Syncytial Virus
(RSV) merupakan virus penyebab tersering pada anak kurang dari 3 tahun.
Pada umur yang lebih muda, adenovirus, parainfluenza virus, dan influenza
virus juga ditemukan. Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia pneumonia,
lebih sering ditemukan pada anak-anak, dan biasanya merupakan penyebab
tersering yang ditemukan pada anak lebih dari 10 tahun.
Penelitian di Bandung menunjukkan bahwa Streptococcus pneumonia
dan Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang paling sering
ditemukan pada apusan tenggorok pasien pneumonia umur 2-59 bulan,.
Tabel 1. Daftar bakteri patogen penyebab pneumonia pada anak
Umur
Bakteri Patogen
Neonatus
E. Coli, Streptococcus group B,
Listeria monocytogenes
Klebsiella sp, Enterobacteriaceae
1-3 bulan
Chlamydia trachomatis
Usia prasekolah
Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma
pneumoniae
Haemophillus influenzae B,
Streptococcus pneumoniae
Staphylococcus aureus
Usia sekolah
Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma
pneumoniae
Streptococcus pneumoniae9

12

3.3

KLASIFIKASI
Secara anatomis pneumonia dibagi 3, yaitu :
a. pneumonia lobaris
b. pneumonia intertitialis (bronkiolitis)
c. pneumonia lobularis (bronkopneumonia)
WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi
napas dan retraksi subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia di
negara berkembang. Namun demikian, kriteria tersebut mempunyai
sensitivitas yang buruk untuk anak malnutrisi dan sering overlapping
dengan gejala malaria. WHO memberikan pedoman klasifikasi
pneumonia, sebagai berikut:

Usia kurang dari 2 bulan:

Pneumonia berat: Chest indrawing

(subcostal retraction),

napas cepat (> 60 x/menit) .

Pneumonia sangat berat: tidak bisa minum, kejang, kesadaran


menurun, hipertermi/hipotermi, napas lambat/tidak teratur.

Usia 2 bulan-5 tahun

Pneumonia Ringan: Napas cepat

Pneumonia Berat: Chest indrawing, napas cepat

Pneumonia Sangat Berat: tidak dapat minum, kejang,


kesadaran menurun, malnutrisi.

13

3.4

MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda klinis bervariasi tergantung kuman penyebab, usia
pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestsi klinis
bisa sangat berbeda, bahkan pada neonatus mungkin tanpa gejala. Gejala
dan tanda pneumonia meliputi gejala infeksi pada umumnya demam,
menggigil, sefalgia, rewel, dan gelisah. Beberapa pasien mungkin
mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau
sakit perut.
Walaupun tanda pulmonal paling berguna, namun mungkin tandatanda itu tidak muncul sejak awitan penyakit. Tanda-tanda itu meliputi nafas
cuping hidung (neonetus), takipneu, dipsneu, dan apneu. Otot bantu nafas
interkosta dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai
pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk. Tanda pneumonia
berupa retraksi (penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam saat
bernafas bersama dengan peningkatan frekuensi nafas), perkusi redup,
fremitus melemah, suara nafas melemah dan ronkhi.
Frekuensi nafas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui
beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan
memantau tatalaksana. Pengukuran frekwensi nafas dilakukan dalam
keadaan anak tenang atau tidur. Perkusi thorak tidak bernilai diagnostik
karena umumnya kelainan patologisnya menyebar. Suara redup pada perkusi
biasanya karena adanya efusi pleura.
WHO menetapkan kriteria takipneu berdasarkan usia, sebagai
berikut :

14

Usia kurang dari 2 bulan

: 60 kali per menit

Usia 2 bulan -1 tahun

: 50 kali per menit

Usia 1 5 tahun

: 40 kali per menit. 2

Suara nafas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi.


Ronkhi basah halus khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak
terdengar pada bayi. Pada bayi dan anak kecil karena kecilnya volume
thorak biasanya suara nafas saling berbaur dan sulit diidentifikasi.

3.5

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Bronkopneumonia dimulai dengan masuknya kuman melalui inhalasi,
aspirasi, hematogen dr fokus infeksi atau penyebaran langsung. Sehingga
terjadi infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan
berlubang-lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah
putih keluar dari darah masuk ke dalam alveoli. Dengan demikian alveoli
yang terinfeksi secara progresif menjadi terisi dengan cairan dan sel-sel, dan
infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus.
Kadang-kadang seluruh lobus bahkan seluruh paru menjadi padat
(consolidated) yang berarti bahwa paru terisi cairan dan sisa-sisa sel.
Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing
dan bersifat asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya
infeksi virus akan memudahkan Streptococcus pneumoniae berikatan
dengan reseptor sel epitel pernafasan. Jika Streptococcus pneumoniae
sampai di alveolus akan menginfeksi sel pneumatosit tipe II. Selanjutnya
Streptococcus pneumoniae akan mengadakan multiplikasi dan menyebabkan

15

invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus pneumoniae akan


menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari Kohn. Bakteri yang
masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema dari
seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN.
Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :
1. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat
infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan.

Mediator-mediator

tersebut

mencakup

histamin

dan

prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur


komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam
ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)

16

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel


darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host )
sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi
padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan,
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar,
pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat,
yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah
putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi
fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun
dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan
diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya
semula.
Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman
atau penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian
kecil merupakan akibat sekunder dari bakterimia atau viremia atau

17

penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal mulai dari
sublaring hingga unit terminal adalah steril. Dalam keadaan sehat, tidak
terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh
adanya mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka
mikroorganisme dapat masuk, berkembang biak dan menimbulkan penyakit.
Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :
Filtrasi partikel di hidung
Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis
Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar
Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
Drainase melalui sistem limfatik.2

3.6

DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului
dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain
batuk, demam tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut,
menggigil (pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada. Biasanya
anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering
menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunan

18

kesadaran, kejang atau kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri


kepala, nyeri abdomen disertai muntah.

2. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan
kelompok umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu,
retraksi dinding dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang
lebih besar jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat
adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel.
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam,
batuk (non produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai
dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan
remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif / produktif), nyeri
dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan
Leukositosis hingga > 15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan
dominasi netrofil pada hitung jenis. Lekosit > 30.000/mm3 dengan
dominasi

netrofil

Trombositosis

>

mengarah
500.000

ke

khas

pneumonia

untuk

streptokokus.

pneumonia

bakterial.

Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah


merupakan cara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15%
kasus terutama pada anak- anak kecil.

19

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologis
Foto

toraks

(AP/lateral)

merupakan

pemeriksaan

penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Foto AP dan


lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi anatomik dalam
paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada
pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat
didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Jika difus (merata)
biasanya disebabkan oleh Staphylokokus pneumonia.
Pemeriksaan rontgen thorax tidak direkomendasikan
secara rutin pada anak dengan infeksi saluran napas bawah akut
ringan tanpa komplikasi. Pemeriksaan rontgen follow up hanya
dilakukan bila didapatkan adanya kolaps lobus, kecurigaan
komplikasi, pneumonia berat, gejala yang menetap atau
memburuk, atau tidak respon terhadap antibiotik.

Gambar 3. Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercakbercak infiltrat pada paru kanan.

20

3.7

KRITERIA DIAGNOSIS
Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993
adalah ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini:
a.

sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan


dinding dada

b.

panas badan

c.

Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)

d.

Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus

e.

Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan


limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang
predominan)

3.8

PENATALAKSANAAN
Kriteria Rawat Inap
Bayi:

Anak:

- Saturasi oksigen 92%, sianosis


-

Frekuensi napas > 60x/menit

Distres pernapasan, apnea intermiten, atau grunting

Tidak mau minum/menetek

Keluarga tidak bisa merawat di rumah

- Saturasi oksigen <92%, sianosis

21

Frekuensi napas > 50 x/menit

Distres pernapasan

Grunting

Terdapat tanda dehidrasi

Keluarga tidak bisa merawat di rumah

Tatalaksana pasien pneumonia meliputi terapi suportif dan terapi


etiologik. Terapi suportif yang diberikan pada penderita pneumonia adalah:
1. Pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui kateter hidung atau
nasofaring. Jika penyakitnya berat dan sarana tersedia, alat bantu
napas mungkin diperlukan terutama dalam 24-48 jam
2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan yang diberikan
mengandung gula dan elektrolit yang cukup.
3. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi.
4. Mengatasi penyakit penyerta.
5. Pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer bukan merupakan tata
laksana rutin yang harus diberikan.
Tatalaksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun
karena berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia
diberikan antibiotik secara empiris. Walaupun sebenarnya pneumonia viral
tidak memerlukan antibiotik, tapi pasien tetap diberi antibiotik karena
kesulitan membedakan infeksi virus dengan bakteri.
Tabel 2. Rekomendasi pemberian antibiotik pada anak dengan bronkopneumonia
Usia
Rawat jalan
Rawat Inap
Bakteri Patogen
0-2
1. Ampisillin +
- E. Coli
mingg
Gentamisin
- Streptococcus B

22

2. Ampisillin +
Cefotaksim
1. Ampisillin +
Cefotaksim atau
Ceftriaxon
2. Eritromisin

>2-4
mingg
u

>1-2
bulan

1. Ampisillin +
Gentamisin
2. Cefotaksim atau
Ceftriaxon

>2-5
bulan

1. Ampisillin
2.
Sefuroksim
sefiksim

>5
tahun

1. Penisillin
A
2.
Amoksisilin
Eritromisi
n

1. Ampisillin
2. Ampisillin +
Kloramfenikol
Sefuroksim
Ceftriaxon
1. Penisillin G
2. Sefuroksim
Seftriakson
Vankomisin

- Nosokomial enterobacteria
- E. Coli
- Nosokomial Enterobacteria
- Streptococcus B
- Klebsiella
- Enterobacter
- C. trachomatis
- E. Coli and other
Enterobacteria
- H. influenza
- S. pneumonia
- C. trachomatis
- H. influenza
- S. pneumonia

- S. pneumonia
- Mycoplasma 9

Antibiotik parenteral diberikan sampai 48-72 jam setelah panas turun,


dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 7-10 hari. Bila diduga
penyebab pneumonia adalah S. Aureus, kloksasilin dapat segera diberikan.
Bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin, klindamisin, atau
vancomycin. Lama pengobatan untuk stafilokokkus adalah 3-4 minggu.
3.8

KOMPLIKASI
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri
dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau
penyebaran bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan
osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi
hematologi.

23

3.9

DIAGNOSA BANDING
a. Bronkiolitis
b. Aspirasi pneumonia
c. Tb paru primer

3.10 PROGNOSIS
Pada era sebelum ada antibiotik, angka mortalitas pada bayi dan anak
kecil berkisar dari 20% sampai 50% dan pada anak yang lebih tua dari 3%
sampai 5%.13 Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat,
mortalitas dapat diturunkan sampai kurang dari 1%, anak dalam keadaan
malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas
yang lebih tinggi.

3.11 PENCEGAHAN
Pencegahan terhadap pneumonia dapat dicegah dengan pemberian
imunisasi/vaksinasi. saat ini sudah tersedia banyak vaksin untuk mencegah
pneumonia. Setiap vaksin mencegah infeksi bakteri/virus tertentu sesuai
jenis vaksinnya. Berikut vaksin yang sudah tersedia di Indonesia dan dapat
mencegah pneumonia :
1. Vaksin PCV (Imunisasi IPD) Untuk Mencegah Infeksi Pneumokokkus
(Invasive Pneumococcal Diseases, IPD). Vaksin PCV Yang Sudah

24

Tersedia Adalah PCV-7 Dan PCV-10. PCV 13 Belum Tersedia Di


Indonesia
2. Vaksin Hib Untuk Mencegah Infeksi Haemophilus Influenzae Tipe B
3. Vaksin DPT Untuk Mencegah Infeksi Difteria Dan Pertusis
4. Vaksin Campak Dan MMR Untuk Mencegah Campak
5. Vaksin Influenza Untuk Mencegah Influenza

Anda mungkin juga menyukai