PENDAHULUAN
Kusta
(Lepra
atau
Morbus
Hansen)
adalah
penyakit
infeksi
kronik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui pasti
hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat.
anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab m.leprae dapat hidup bertahan dialam droplet. 2 masa
tunasnya bervariasi, dapat antara 40 hari sampai 40 tahun, rata-rata 3-5 tahun. Kusta bukanlah
penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu
ibu, jarang dalam urin. Sputum dapat juga mnegandung M.Leprae, dapat menyerang semua
umur, anak-anak lebih rentan daripada dewasa. Di Indonesia anak-anak di bawah umur 14 tahun
didapatkan sebesar 11,395.2 di Indonesia jumalah kasus kusta tahun 2008 tercatat 22.359 orang,
distribusi tidak merata, yang tertinggi antara lain di pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua.2
2.3 Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh GA.Hansen yang
bersifat obligeat intraseluler, dimana belum dapat dibiakkan di media artificial. Tahan asam dan
alcohol serta gram positif.2,5 Hingga saat ini, penyebab pasti timbulnya ENL belum diketahui
secara pasti. Faktor pencetus yang dapat menyebabkan timbulnya Adapun beberapa faktor
predisposisinya adalah sebagai berikut:1,2,3
a) Pasien dalam kondisi lemah
b) Kehamilan
c) Sesudah mendapat imunisasi
d) Stress fisik dan mental
e) Infeksi
f) Kurang gizi
2.4 Patofisiologi
Adapun patofisiologinya belum jelas betul, terminologi dan klasifikasinya bermacammacam. 1,2. ada 3 macam reaksi kusta, yaitu:
1. Tipe I (reaksi reversal atau reaksi upgrading)
Reaksi tipe I merupakan hipersensitivitas seluler, disebabkan oleh peningkatan aktivitas
system imun tubuh dalam melawan basil lepra, termasuk basil yang mati. Pada reaksi ini
dapat terjadi perubahan derajat imunitas seluler, dimana penyakit mengalami pergeseran
tipe lepra sepanjang spektrum, terutama pada tipa borderline (tipe BB, BT, dan BL yang
mempunyai status imunologis yang tidak stabil). Adapun pergeseran spectrum dapat ke
dua arah yaitu:3
Pergeseran ke arah kutub tuberkuloid, dimana terjadi peningkatan imunitas
seluler disebut reaksi reversal. Tipe ini biasanya terjadi setelah penyakit diobati.
Pergeseran ke arah kutub lepromatosa, dimana terjadi penurunan imunitas seluler
disebut reaksi downgrading, tipe ini hanya terjadi pada pasien yang tidak
mendapat pengobatan adekuat, dan pada pria sering dipresipitasi oleh pubertas,
sedang pada wanita dipresipitasi oleh kehamilan dan melahirkan.3
2. Reaksi tipe 2 atau ENL (Eritema Nodosum Leprosum)
Reaksi ini merupakan respon imunitas humoral dan terjadi pergeseran tipe lepra
sepanjang spektrum, reaksi tipe 2 terjadi akibat reaksi antigen M.Leprae-antibodi (IgM
dan IgG) + komplemendisertai pembentukan kompleks imun pada tempat depot
antigen di berbagai jaringan. Ini menyebabkan terjadinya peradangan akut dimana ada
focus basil lepra.1,2 Reaksi ENL terjadi pada lepra polar tipe LL, dan kadang-kadang
pada lepra tipe BL.2 ENL lebih banyak terjadi saat pengobatan. Hal ini terjadi karena
banyak kuman kusta yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan
bereaksi dengan antibody, serta mengaktifkan komplemen. Kompleks imun tersebut
beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya melibatkan berbagai organ.2
2.4 Manifestasi Klinis
Reaksi klinis ditandai dengan pembengkakan, kemerahan dan nyeri pada lesi, nyeri saraf,
sangat sering disertai kehilangan fungsi, timbul lesi-lesi baru, sangat penting untuk mengetahui
adanya reaksi lepra dan mengobatinya. Karena kerusakan saraf cepat terjadi dan ekstensif,
reaksi merupakan episode akut hipersensitivitas terhadap antigen basil. 3
1. Reaksi Tipe I Atau Reaksi Reversal Atau Upgrading
Gejala klinis reaksi reversal adalah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. onset yang mendadak
dari kulit yang kemerahan dan munculnya lesi-lesi kulit yang baru. Artinya lesi hipopigmentasi
menjadi eritema, lesi eritema menjadi semakin eritematosa, lesi macula menjadi infiltrat,lesi
infiltrate menjadi makin infiltrate dan makin luas. 2 tidak perlu seluruh gejala menjadi ada, cukup
1 saja sudah cukup. Adanya gejala neuritis akut penting untuk diperhatikan, karena sangat
menentukan pemberian dalam prognosis pengobatan kortikosteroid, sebab tanpa gejala neuritis
akut pemberian kortikosteroid tidak dapat efektif.2
Dekat kutub tuberkuloid: lesi kulit bengkak dan edem, eritem sering disusul dengan
deskuamasi kadang ulserasi. Tidak semua lesi terlibat. Jika terjadi di wajah mencakup
mata, dan hidung. Maka terjadi edem conjungtiva, gatal, dan lakrimasi. Serta hidung
tersumbat. Jika Pasien mengalami reaksi reversal, jarang ditemukan infiltratif. Dapat
bertendensi sembuh spontan. Jika mengalami reaksi downgrading, maka timbul banyak
lesi baru. Pada saraf, beberapa yang terlibat menjadi bengkak dan sangat nyeri. hilangnya
fungsi motoris cepat, jika tidak diobati dengan cepat dapat permanen. Paralisis yang
terjadi tiba-tiba pada n.ulnaris, n.radialis, dan n.poplitea lateralis prognosisnya lebih baik
dibanding paralisis n.fascialis. gejala sistemik minimal, sering hanya edem pada tungkai
atau wajah.3
Reaksi di tengah-tengah spectrum : reaksi pada lepra tipe BB dapat sangat berat oleh
karena ia paling banyak berhubungan dengan pergeseran tipe lepra. Lesi kulit dengan
cepat membengkak, eritem, dan edem. Lesi sangat nyeri. Banyak timbul lesi baru. Saraf
banyak yang terlibat, menjadi bengkak dan nyeri, diikuti penyebaran kerusakan saraf
dengan paresis yang ekstensif, pasien diimobilisasi oleh nyeri dan kelemahan badannya.
Penyakit sistemik sering terjadi dengan kelemahan, malaise dan edem generalisata
paling sering pada pasien yang menunjukkan gejala downgrading sebelumya dan
sekarang mulai mendapat terapi. Reaksi dapat berlangsung bebberapa bulan, dan perlu
penanganan hati-hati. Lesi kulit meningkat, cepat baik dalam jumlah maupun sifatnya,
lesi menjadi merah, mengkilat dan tegang. Timbul lesi-lesi baru dan seluruh tubuh dapat
terinfiltrasi. 3
Saraf. Walaupun banyak saraf perifer terlibat, derajat infiltrasi seluler tidak banyak, dan
kurang menyebabkan paralisis yang progresif. Namun demikian ada beberapa pasien,
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia
pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan
oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbikularis palpebrarum sebagian atau
seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian
bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama sama akan menyebabkan kebutaan.7
3. Reaksi tipe 3 (Lucio phenomenon)
Reaksi ini hanya pada lucio leprosy yaitu bentuk murni dari lepra tipe LL, merupakan
reaksi yang paling berat, terutama mengenai orang Meksiko dan campuran keturunan Spanyol
dan Mediterania, jarang di tempat lain. 2 Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus,
berwarna merah muda, bentuk tidak teratur, dan terasa nyeri. 2 lesi terutama di ekstremitas,
kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak eritematosa, disertai purpura, dan
bula, kemudian dengan cepat cepat berubah menjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi
lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.2
Diagnosis ditegakkan jika ditemukan 2 dari 3 tanda cardinal pertama, atau ditemukan
BTA. 3
Untuk lebih mengingat tanda-tanda lepra, ada singkatan 6A: 3
1. Akromia: ada perubahan waarna kulit, dapat hipopigmentasi atau eritem. 3
2. Anestesi: ada rasa kebas / baal. Kesemutan pada lesi, dibuktikan dengan
sensitivitas. 3
3. Anhidrosis: pada lesi tidak berkeringat, dibuktikan dengan tes Gunawan. 3
4. Anosmia: penciuman berkurang atau ridak dapat mencium bau sama sekali
5. Alopesia: hilangnya rambut pada alis bagian lateral yang dikenal sebagai
madarosis. 3
6. Atrofi : dapat dilihat otot thenar dan hipothenar. 3
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
o
o
o
o
o
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung
yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. 1,2
pencitraan
Foto thorak
Foto rontgen
untuk mendeteksi keterlibatan tulang
MRI atau CT dari sendi neurophatik saat diperlukan
7
Pemeriksaan penunjang pada ENL dapat berupa pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
histopatologi4
Pada pemeriksaan laboratorium, dilakukan pemeriksaan protein dan sel darah merah
dalam urine yang dapat menunjukkan terjadinya glomerulonefritis akut. Pada
pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop, dapat terlihat kompleks imun pada
glomerulus ginjal. Pada pemeriksaan hematologi dapat ditemukan leukositosis PMN,
trombositosis, peninggian LED, anemia normositik normokrom dan peninggian kadar
gammaglobulin 2
Pemerikaan histologi, ENL akan menunjukkan inflamasi akut berupa lapisan infiltrat
pada inflamasi granulomatosa yang kronik dari BL dan LL. 6 Selain itu, akan tampak
peningkatan vaskularisasi dengan dilatasi kapiler pada dermis bagian atas dan pada
dermis bagian bawah terdapat infiltrasi lekosit polimorfonuklear yang lokalisasinya di
sekeliling pembuluh darah dan menyerang dinding pembuluh darah. Terdapat
pembengkakan dan edema endothelium vena, arteriole dan arteri-artei kecil pada lasi
ENL. Fragmen basil sedikit dan, terdapat di sekitar pembuluh darah. Kerusakan
dinding vaskuler ini mengakibatkan ekstravasasi eritrosit.5
2. Reaksi berat
Berikut adalah pedoman WHO untuk pengelolaan reaksi Eritema Nodosum Leprosum
(ENL) berat.1,3 reaksi berat yaitu reaksi yang disertai paralisis atau anestesi. Ini biasanya terdapat
pada reaksi tipe I atau lepra BT atau BB, namun dapat juga tipe 2. Ulserasi kulit yang kadangkadang pada terjasi pada reaksi tipe I yang berat, paling sering terjadi pada reaksi tipe, biasanya
disertai siklitis, arthritis, demam, dan lemah.3 reaksi berat merupakan kedaruratan medis, maka
anti-inflamasi harus segera diberikan. Obat yang dapat diberikan adalah :
Kortikosteroid
Pada reaksi tipe 1 diberikan prednisone atau prednisolon tunggal 40-80 mg/hari
tergantung berat penyakit. Dosis yang tinggi setelah beberapa hari diturunkan secara bertahap 510 mg setiap 2-4 pekan tergantung respon. Diakhiri menjadi 10 mg yang diberikan selang sehari
(alternate days) paling sedikit selama 2 pekan. Pasien lepra BT dengan reaksi umumnya
memerlukan 2-6 bulan, sedang tipe BL dengan reaksi perlu sampai 9 bulan. Penggunaan di
lapangan dengan dosis 40 mg/hari, diturunkan 5 mg setiap 3 pekan terbukti aman menolong. 3
Pada reaksi tipe 1, jika DDS dan kortikosteroid dan setelah beberapa pekan dosis steroid
tetap tinggi, maka DDS diganti klofazimin.3 Pada kerusakan tipe 2, kerusakan saraf tidak scepat
reaksi tipe1, dan talidomiid merupakan drug of choice, jika obat ini ada kontra indikasi, maka
digunakan prednisone dosis awal 20-40 mg/hari, tergantung respon penyakit. Walaupun dosis
rendah ini dapat mengontrol penyakit, kadang-kadang penyakit menjadi kronik dan kesulitan
menghentikan steroid dibanding reaksi tipe1. dalam keadaan seperti ini, peningkatan dosis
klofazimin dapat menbantu untuk menurunkan kortikosteroid. Harus diingat bahwa steroid dapat
menekan respon imun dan karena itu mendorong multiplikasi basil. Efek samping steroid adalah
retensi air dan garam, jipertensi, kelemahan otot, dan ulkus peptikum serta flare up infeksi
tuberculosis.3
Klofazimin
Penggunaan klofazimin diindikasikan pada reaksi lepra dimana dosis steroid tidak dapat
diturunkan, atau ENL yang berlanjut dan tidak dapat dipakai talidomd. Dosis klofazimin mula11
mula 300 mg/hari dalam dosis terbagi, selama 2 pekan, turunkan 200 mg/hari selama 1-2 bulan,
lalu 100 mg/hari tergantung respon. Efek samping berupa nyeri abdomen berat. Pigmentasi,
gatal, kering, dan pecah-pecah.3
Terapi Analgesik
a) Obat: pada reaksi ringan, analgesic sinonim dengan anti-inflamasi. pada reaksi berat,
aspirin diberikan bersama steroid jika nyeri tidak terkontrol, terutama dipakai pada ENL
kronik. Opiate jarang dipakai karena taku terjadi addiksi. Nyeri menetap merupakan
indikasi pemberian steroid, klofazimin dosis tinggi atau pembedahan.2
b) suntikan intraneural: suntikan lignokain dan prednisone dapat mengurangi nyeri pada
neuritis akut, namun dapat menyebabkan kerusakan saraf dan jaringan parut. Maka
hendaknya dihindari.3
c) pembedahan : jika terjadi abses saraf, dapat diaspirasi atau insisi sepanjang aksis saraf.
Pada episode neuritis, terjadi peningkatan volume cairan di saraf, epineuirum menjadi
menebal dan jaringan sekitarnya membengkak. Jika steroid tidak menghilangkan nyeri,
maka pertimbangkan tindakan pembedahan.2
Pembebatan Dan Latihan
Pada reaksi berat, anggota gerak yang terkena neuritis harus diistirahatkan. imobilisasi
tungkai dan lengan dapat menolong mengurangi nyeri, pembebatan yang baik akan membantu
tungkai dan lengan tetap berfungsi. Bila tidak dibebat dapat kontraktur, sendi akan menjadi kaku.
Bebat dapat dinuka saat latihan. 3 Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu
tidak pernah dipakai. begitu juga Talodamid tidak efektif terhadap reaksi reversal. 2
Terapi Antibakterial
Terapi antibacterial harus diberikan selama infeksi masih ada. Pada reaksi tipe 2 jika
terjadi ulserasi mukosa tr.respiratorius atas dapat diberikan streptomisin.3
Lucios phenomenon
Kemoterapi yang komponennya mengandung rifampisin sangat penting, dapat
mengontrol dengan cepat pada pasien yang belumm diterapi, steroid diberikan, seperti reaksi tipe
2. Talidomid dan klofazimin tidak efektif.3
12
Prinsip umum:
1. Reaksi ENL berat sering berulang dan kronis serta dapat bervariasi dalam manifestasinya.
2. Manajemen ENL berat yang terbaik dilakukan oleh dokter di pusat rujukan.
3. Dosis dan durasi obat anti reaksi yang digunakan dapat disesuaikan oleh dokter sesuai dengan
kebutuhan pasien individu
13
14
2.9 Komplikasi
Penderita kusta yang lambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT berisiko tinggi untuk
terjadi kerusakan saraf, terutama reaksi reversal, lesi kulit multiple dan dengan saraf yang
membesar dan nyeri juga berisiko.2 kerusakan saraf ireversibel terutama berbentuk nyeri saraf,
hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. kolaps pada hidung merupakan bentuk
kontraktur dari jaringan parut yang mana digantikan oleh tulang dan kartilago.5
Kecacatan pada mata: adanya keratitis dapat menyebabkan mata kering, insensitive
kornea, lagoftalmus, lesi COA,umumnya dapat terjadi iritis bahkan dapat menyebabkan
kebutaan.5
Rehabilitasi
15
Usaha terbaik untuk cacat tubuh adalah dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun
hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetap fungsinya dan secara kosmetik diperbaiki. 2 cara
lain adalah member pekerjaan sesuai cacat tubuhnya, selain itu dapat diberikan terapi kejiwaan.2
2.10 Pencegahan
Cara terbaik untuk pencegahan cacat adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta,
pemberian pengobatan MDT cepat dan tepat. Mengenali tanda dan gejala reaksi kusta yang
disertai gangguan saraf serta pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat
gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana mengenai memakai sepatu pelindung
kaki yang terkena. Memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda tajam dan panas, dan
memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan cara perawatan kulit seharihari. hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka, ulkus, setelah itu tangan dan
kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak pecah dan kering. 2 Protocol untuk mengontrol
lepra dengan vaksinasi yang biasanya terdiri dari Bacille Calmette-Guerin (BCG), BCG yang
hidup dan kombinasi dengan BCG yang sudah mati, hampir beberapa penelitian mendukung
penurunan insidensi lepra. Kira-kira 1/3 kasus tuberculosis. cara pencegahan lainnya seperti
isolasi pasien atau terapi antibiotic pada pasien yang kontak lepra.5
2.11 Prognosis
Jika tidak diterapi dengan baik, hanya pasien dengan tipe TT, BT yang akan mengalami
reaksi upgreading menjadi TT, jika tidak maka akan berkembang menjadi kerusakan saraf, dan
keadaan reaksional. BT, BB, dan LL akan mengalami downgrade. Dan BL dan LL akan
mengalami reaksi berkembang menjadi ENL.5
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana
dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik.Jika sudah ada kontraktur dan
ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik.9
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Reaksi kusta hampir selalu terjadi pada penderita kusta baik sebelum pengobatan, sedang
dalam pengobatan dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta ini dibagi menjadi 2, yaitu : reaksi tipe
I atau reaksi reversal dan reaksi tipe II atau reaksi ENL dengan manifestasi klinis yang jelas.
17
Walaupun reaksi kusta ini sangat sering ditemukan namun etiologinya masih belum jelas.
Beberapa factor pencetus diduga berkaitan dengan angka kejadian reaksi ini, seperti : setelah
pengobatan antikusta yang intensif, stress fisik / psikis, imunisasi, kehamilan, persalinan,
menstruasi, infeksi, trauma, dll.
Reaksi ENL terutama terjadi pada tipe lepromatosa (LL) dan borderline lepromatosa (BL).
Reaksi ini ditandai dengan adanya nodus eritematosa yang nyeri, terutama di ekstremitas, dan
beberapa gejala prodormal dan gejala sistemik.
Penatalaksanaan dari reaksi ini ditujukan untuk mengatasi neuritis, mencegah paralisis dan
kontraktur, mengatasi gangguan mata, dan disarankan untuk istirahat atau imobilisasi.
Diharapkan dengan penatalaksanaan yang baik dan cepat, dapat mengurangi kecacatan permanen
yang dapat terjadi pada penderita kusta.
DAFTAR PUSTAKA
1. Prawoto, Kabul.R, Ari. Faktor factor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya
reaksi kusta. Bagian Kulit dan Kelamin FK UNDIP/RS Dr. Kariadi. Semarang. 2007
2. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. dkk. Kusta dalam Ilmu penyakit kulit dan kelamin
FKUI edisi keenam, 2011. p.73-88
18
pada
tanggal
27
5. Leprosy. in : Freedberg IM, Eizen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI,
editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 6th ed. New York : McGraw
Hill; 2003. p. 1962 71. L
6. Lockwood DNJ, Bryceson ADM. Leprosy. In : Champion RH, Burton JL, Burns DA,
Breathnach SM, editor. Rook. Wilkinson/Ebling Textbook of Dermatology. 7th ed.
London : Blackwel science; 1998.p.29.
9. Thenty.Morbus
Hansen.
2014.
https://www.scribd.com/doc/250133135/Kusta
Diunduh
dari
URL://
19