Anda di halaman 1dari 55

1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Negara merupakan organisasi tertinggi di antara satu kelompok atau beberapa


kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu hidup di dalam
daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.1 Mengenai tugas
negara dibagi menjadi tiga kelompok. 2 Pertama, negara harus memberikan
perlindungan kepada penduduk dalam wilayah tertentu. Kedua, negara
mendukung atau langsung menyediakan berbagai pelayanan kehidupan
masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Ketiga, negara menjadi
wasit yang tidak memihak antara pihak-pihak yang berkonflik dalam masyarakat
serta menyediakan suatu sistem yudisial yang menjamin keadilan dasar dalam
hubungan kemasyarakatan. Tugas negara menurut faham modern sekarang ini
(dalam suatu Negara Kesejahteraan atau Social Service State), adalah
menyelenggarakan kepentingan umum untuk memberikan kemakmuran dan
kesejahteraan yang sebesar-besarnya berdasarkan keadilan dalam suatu
Negara Hukum.3 Dalam mencapai tujuan dari negara dan menjalankan negara,
dilaksanakan oleh pemerintah. Mengenai pemerintah, terdapat dua pengertian,
yaitu pemerintah dalam arti luas dan pemerintah dalam arti sempit.

Moh Mahfud MD, 2000, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Edisi
Revisi), Penerbit Renaka Cipta, Jakarta, h. 64.

Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Perizinan, Problem dan Upaya Pembenahan, PT.


Gramedia Widiarsana Indonesia, Jakarta, h.1.

Amrah Muslimin, 1985, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang


Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, h. 110.

Pemerintah dalam arti luas (regering) adalah pelaksanaan tugas seluruh badanbadan, lembaga-lembaga dan petugas-petugas yang diserahi wewenang
mencapai tujuan negara.4 Sedangkan, pemerintah dalam arti sempit (bestuur)
mencakup organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan.5

Mengenai pembagian pengertian dari pemerintah ini, juga terdapat dalam buku
SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD yang berjudul Pokok-Pokok Hukum
Administrasi Negara, namun terdapat sedikit perbedaan rumusan mengenai arti
pemerintah dalam arti luas maupun dalam arti sempit. Pengertian pemerintah
dalam arti sempit adalah organ/alat perlengkapan negara yang diserahi tugas
pemerintahan atau melaksanakan undang-undang. Dalam pengertian ini
pemerintah hanya berfungsi sebagai badan Eksekutif (Bestuur). Pemerintah
dalam arti luas adalah semua badan yang menyelenggarakan semua kekuasaan
di dalam negara baik kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif dan
yudikatif.6 Dari uraian mengenai pengertian pemerintah di atas, maka dalam
tulisan ini yang dimaksud pemerintah adalah pemerintah dalam arti sempit.

Dalam lingkup Hukum Administrasi terdapat azas-azas umum pemerintahan


yang baik yang apabila diterapkan dalam segala aspek kegiatan pemerintahan,
maka apa yang menjadi krisis di negara ini kemungkinan tidak akan terjadi. Azasazas umum pemerintahan yang baik ini secara historis berasal dari negeri
Belanda. Di Indonesia sendiri, azas-azas umum pemerintahan yang baik
diperkenalkan oleh Kuntjoro Purbopranoto. Disamping azas-azas umum

Kuntjoro Purbopranoto, 1981, Perkembangan Hukum Administrasi Indonesia,


Binacipta, Bandung, (selajutnya disingkat Kuntjoro Purbopranoto I), h. 1.
5

Ibid.

SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2006, Pokok-Pokok Hukum Administrasi
Negara, Liberty, Yogyakarta, h. 8.

pemerintahan yang baik, wacana yang gencar digaungkan adalah good governance,
yang diharapkan dapat merubah apa yang terjadi di kalangan aparatur pemerintah.
Mengenai pengertian good governance, terdapat beberapa istilah, yaitu : Pertama,
Panitia Seminar Hukum Nasional ke VII menggunakan istilah Sistem Permainan
Layak.7 Kedua, Soewoto Mulyosudarmo, yang mengistilahkan good governance
sebagai pemerintahan yang baik dengan argumentasi bahwa di dalam peraturan
perundang-undangan yang ada dalam hal ini UndangUndang No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang kemudian diubah dengan UndangUndang No, 9 Tahun 2004, dan terakhir dengan UndangUndang No. 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara yang merupakan salah satu topik yang menjadi pembahasan dalam
tulisan ini. Dari peristilahan tersebut dalam tulisan ini mengikuti pendapat dari
Soewoto Mulyosudarmo, yang mengistilahkan good governance sebagai
pemerintahan yang baik.

Dengan pemerintahan yang baik diharapkan tercapai perbaikan di segala bidang,


terutama dalam bidang pemerintahan. Pemerintah dalam menjalankan
pemerintahannya harus bertindak secara tepat dan cermat. Pemerintah juga
harus berhati-hati dalam mengeluarkan keputusan atau dalam membuat
peraturan. Karena Indonesia merupakan negara hukum, sudah semestinya
setiap langkah dan/atau tindakan yang diambil pemerintah berdasarkan atas
hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak boleh
bertindak sewenang-wenang dan menyalahgunakan wewenang.

I Gusti Ngurah Wairocana, 2005, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik)


Dan Implementasinya Di Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Di Bali,
Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, h. 4.

Pemerintah dalam menjalankan pemerintahan mempergunakan alat


hukum dalam hal ini salah satunya adalah keputusan tata usaha negara.
Dalam proses pembentukan dan pelaksanaan dari keputusan itu
pemerintah harus benar-benar hati-hati dalam bertindak, karena apabila
terjadi kesalahan yang merugikan masyarakat, maka dapat timbul
tanggung gugat pemerintah. Ini adalah suatu upaya yang dapat dilakukan
oleh masyarakat yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah. Salah
satu tindakan pemerintah dapat berupa keputusan tata usaha negara.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, definisi mengenai Keputusan Tata Usaha Negara dapat dijumpai dalam
Pasal 1 angka 3 yang menetapkan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berisi tindakan hukum
Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Dalam pembentukan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) pemerintah harus


memperhatikan syaratsyarat pembentukan suatu keputusan agar keputusan itu
lahir menjadi suatu keputusan yang sah, akan tetapi tentu saja kemungkinan dapat
terjadi suatu kekurangan yuridis dalam proses pembentukannya. Kekurangan yuridis
dalam pembentukan kehendak organ administrasi negara

dapat timbul karena adanya kehilafan (dwaling), paksaan (dwang) atau penipuan
(bedrog).8 Pemerintah termasuk juga pemerintah daerah dalam menyiasati
kekurangan tersebut tidak jarang pada bagian akhir keputusannya menyertakan

suatu perisai pengaman dalam bentuk veiligheidsclausule atau

intrekkingsvoorbehoud yang antara lain berbunyi Apabila di kemudian hari ternyata


ada kekeliruan dalam keputusan ini, akan diadakan berbaikan sebagaimana
mestinya.9 Kekeliruan (dwaling) sebenarnya dikembangkan dalam lapangan hukum
perdata. Utrecht10 menganalogikan pengertian kekeliruan yang ada dalam hukum
perdata menjadi : 1) Kekeliruan yang sungguh-sungguh yang kemudian dibagi lagi
menjadi : a) salah kira mengenai pokok maksud pembuat (selfstadigheid der zaak);
b) salah kira mengenai kedudukan atau kecakapan atau kepandaian seseorang
(salah kira mengenai orang); c) salah kira mengenai hak

orang lain (dwaling in een subyectiefrecht); d) salah kira mengenai hukum


(dwaling in een objectiefrecht); e) salah kira mengenai kekuasaan sendiri
(dwaling in eigen bevoegheid); 2) salah kira yang tidak sungguh-sungguh. Oleh
Utrecht, mengenai klausul pengaman ini dikatakan bahwa adanya klausul

pengaman

atau veiligheidsclausule yang juga dikenal dengan

intrekkingsvoorbehoud biasanya ada dalam keputusan-keputusan pengangkatan


pejabat dan pegawai, yang berbunyi : .....dengan ketentuan, barang sesuatunya

Philipus M. Hadjon, 1985, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak


Pemerintahan (Bestuurshandeling), Djumali, Surabaya, (selajutnya disingkat
Philipus M. Hadjon I), h. 17.
9

Ibid.

10

Utrecht,1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan


Keempat, Universitas Padjajaran, Bandung, h. 90-92.

akan diubah dan diperhitungkan lagi, jika kemudian terdapat kekeliruan


dalam penetapan ini.11
Suatu KTUN, tentu harus sesuai dengan apa yang menjadi aturan dasarnya.
Karenanya, pemerintah dalam pembentukan suatu KTUN, harus memperhatikan
peraturan yang menjadi dasar hukumnya. Namun, dengan adanya klausul
pengaman ini, memberikan kesan bahwa apabila terjadi kekeliruan dalam
pembuatan suatu KTUN, maka KTUN tersebut dapat ditinjau kembali , dan
apabila tidak terdapat klausul pengaman, KTUN tersebut tidak dapat ditinjau
kembali.12 Permasalahan yang terjadi adalah, dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 2 Tahun 2005 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas di Lingkungan
Pemerintah Propinsi dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 2005
tentang Pedoman Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah
Kabupaten/Kota, tidak ditentukan kewajiban mengatur adanya klausul pengaman
dalam suatu KTUN. Namun dalam praktek di lapangan, dalam Keputusan Kepala
Daerah khususnya di Bali, baik Pemerintah Provinsi, maupun Kabupaten/Kota,
masih terdapat atau dapat dijumpai adanya klausul pengaman pada keputusan
yang ditetapkan. Sebagai contoh hal ini dapat ditemukan dalam Keputusan
Gubernur Bali Nomor 1099/04-I/HK/2008 tentang Peresmian Pemberhentian
Anggota dan Peresmian Pengangkatan Anggota Antar Waktu Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Jembrana, Keputusan Walikota Denpasar Nomor
821.2/1499/BKD, dan dalam surat ijin Nomor 503-18/095/IMB/KPT/2009 tentang
Ijin Mendirikan Bangun-Bangunan. Hal di atas dapat diinterpreetasikan

11

Ibid, h. 120.

12

Philipus M. Hadjon I, Op. Cit., h. 18

keberadaan klausul pengaman pada keputusan tidak dilandasi dengan


dasar hukumnya. Dengan kata lain terjadi kekosongan norma terkait
dengan permasalahan keberadaan klausul pengaman tersebut.
Sehubungan dengan hal itu maka persoalan eksistensi klausul pengaman
menjadi menarik diteliti. Dengan membatasi penelitian ini di lingkungan
Pemerintahan Provinsi Bali, maka adapun judul penelitian ini adalah
Eksistensi Klausul Pengaman Dalam Keputusan Gubernur Bali Yang
Berkarakter Keputusan Tata Usaha Negara.

Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang yang telah teruraikan di atas, adapun pokok

masalah yang diteliti dalam penelitian ini dibatasi pada 2 (dua) hal. Kedua

permasalahan yang dimaksudkan adalah:

Apakah klausul pengaman yang ditetapkan pada Keputusan Gubernur Bali


yang berkarakter KTUN memiliki fungsi yuridis formal ?

Apakah dengan adanya klausul pengaman, suatu Keputusan Gubernur


Bali yang berkarakter KTUN dapat digugat ke lembaga Peradilan Tata
Usaha Negara ?

Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui dan memahami mengenai

eksistensi dari klausul pengaman dalam Keputusan Gubernur Bali yang

berkarakter KTUN. Dengan kata lain, penelitian ini bertujuan mengkaji


eksistensi kalusul pengaman dalam Keputusan Gubernur Bali yang
berkarakter KTUN menjadi jelas.

b. Tujuan Khusus

Sesuai dengan permasalahan yang dikaji, maka tujuan khusus dari


penelitian ini, adalah :
Mengetahui dan menganalisis dari eksistensi klausul pengaman dalam
Keputusan Gubernur Bali yang berkarakter KTUN apakah memiliki makna
yuridis.
Mengetahui dan menganalisis keberadaan Keputusan Gubernur Bali yang
memuat klausul pengaman, dalam kerangka kompetensi absolut atau
obyek sengketa Tata Usaha Negara di lembaga Peradilan Tata Usaha
Negara.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis

maupun secara praktis, sebagai berikut :

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi


pengembangan keilmuan ilmu hukum dalam bidang Hukum Administrasi,
Peradilan Tata Usaha Negara dan pengembangan bacaan bagi
pendidikan hukum, terutama bagi hukum pemerintahan, khususnya dalam
bidang KTUN.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi


beberapa pihak, yaitu bagi peneliti dan Pemerintah, dalam hal ini
Pemerintah Daerah Provinsi Bali terkait dengan substansi dan teknik
pembuatan KTUN.

Landasan Teoritis

Landasan teoritis akan memuat teori, konsep, serta asas-asas, yang

digunakan untuk menganalisis permasalahan yang dikaji dalam penelitian


ini. Adapun landasan teoritis yang dimaksudkan berhubungan dengan
eksistensi klausul pengaman dalam Keputusan Gubernur Bali yang
berkarakter KTUN, yaitu teori negara hukum, konsep tindak pemerintahan,
konsep keputusan tata usaha negara, asas-asas umum pemerintahan
yang baik, dan konsep kepastian hukum.

2.1 Teori Negara Hukum

Sebelum menguraikan mengenai Teori Negara Hukum, maka akan diuraikan


mengenai pengertian negara menurut para sarjana. Mengenai pengertian
negara, terdapat beberapa pengertian yang diberikan oleh para sarjana
sebagaimana dikutip oleh Max Boli Sabon, dkk sebagai berikut: 13

Aristoteles
Negara (polis) adalah persekutuan dari keluarga dan desa guna
memperoleh hidup yang sebaik-baiknya.
Jean Bodin
Suatu persekutuan keluarga-keluarga dengan segala kepentingannya yang
dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang berdaulat.

Hugo Grotius

Negara adalah suatu persekutuan yang sempurna dari orang-orang yang


merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum.

13

Max Boli Sabon, dkk, 1992, Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 25.

10

Bluntschi
Negara adalah diri rakyat yang disusun dalam suatu organisasi politik di
suatu daerah tertentu.
Hans Kelsen
Negara adalah suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan tata
paksa.
Woodrow Wilson
Negara adalah rakyat yang terorganisir untuk hukum dalam wilayah
tertentu.
Diponolo
Negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang berdaulat yang dengan tata
pemerintahan melaksanakan tata tertib atau suatu umat di suatu daerah
tertentu. Bagaimana bentuk dan coraknya, negara selalu merupakan
organisasi kekuasaan. Organisasi kekuasaan ini selalu mempunyai tata
pemerintahan. Dan tata pemerintahan ini selalu melaksanakan tata tertib atas
suatu umat di daerah tertentu.

Pendapat tentang negara juga dapat dijumpai pada tulisan Miriam Budiardjo

yang mengutip beberapa pemikiran sarjana, seperti : 14

Rogel H. Soltau, mengemukakan negara adalah alat (agency) atau


wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalanpersoalan bersama atas nama masyarakat.

Harold J. Laski, mengemukakan negara adalah suatu masyarakat yang


diintergrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang
secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian
dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan
bekerja sama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama.

Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu
maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang

bersifat memaksa dan mengikat.

14

Miriam Budiardjo, 1977, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, h.

39-40.

11

3. Max Weber, mengemukakan negara adalah suatu asosiasi yang

mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah

dalam sesuatu wilayah.

Robert M. MacIver, berpendapat bahwa negara adalah asosiasi yang


menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah
dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh

suatu pemerintah yang untuk suatu pemerintah yang untuk maksud


tersebut diberi kekuasaan memaksa.
Selain para sarjana seperti yang dikutip oleh Max Boli Sabon dkk dan Miriam
Budiardjo, Wirjono Projodikoro juga memberikan pengertian mengenai negara.15
Negara menurut beliau diartikan sebagai suatu organisasi di antara sekelompok
atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu wilayah
(teritoir) tertentu dengan mengakui adanya suatu Pemerintahan yang mengurus
tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tadi.

Dari pengertian-pengertian tentang negara tersebut, dapat disimak bahwa


pengertian negara menurut Diponolo yang memberikan uraian yang
sederhana, jelas, dan terperinci. Menurut beliau, negara selalu merupakan
organisasi kekuasaan, mempunyai tata pemerintahan, dan tata pemerintahan
yang ada selalu melaksanakan tata tertib atas suatu umat di daerah tertentu.

Mengenai istilah negara hukum, sering disamakan dengan konsep rechtsstaat dan
negara hukum adalah terjemahan dari rechtsstaat.16 Negara hukum

15

Wirjono Projodikoro, 1974, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian


Rakyat, Jakarta, h. 2.

16

Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah


Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam
Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban,

12

ialah negara dimana pemerintah dan semua pejabat-pejabat hukum mulai dari
Presiden, hakim, jaksa, anggota-anggota legislatif, semuanya dalam menjalankan
tugasnya di dalam dan di luar jam kantornya taat kepada hukum. Taat kepada hukum
berarti menjunjung tinggi hukum, dalam mengambil keputusan-keputusan jabatan
menurut hati nuraninya, sesuai dengan hukum.17 Negara hukum ialah negara yang
seluruh aksinya didasarkan dan diatur oleh Undang-Undang yang telah ditetapkan
semula dengan bantuan dari badan pemberi suara rakyat.18

Setelah menguraikan mengenai pengertian negara, mengenai makna negara


hukum sendiri, dalam konsep Eropa Kontinental dinamakan rechtsstaat,
sedangkan dalam konsep Anglo Saxon dinamakan Rule Of Law. Penegasan
Negara Indonesia sebagai negara hukum telah dinormativisasi pada Pasal 1 ayat

(3) Undang-Undang Dasar 1945 perubahan ke-4 yang menegaskan bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Dengan penegasan itu, maka
mekanisme kehidupan perorangan, masyarakat, dan negara diatur oleh hukum
(tertulis maupun tidak tertulis). Artinya baik anggota masyarakat maupun pemerintah
wajib mematuhi hukum tersebut19. Adapun negara hukum yang dianut oleh Negara
Indonesia tidaklah dalam artian formal namun negara hukum dalam artian material
yang juga diistilahkan dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau negara
kemakmuruan. Dalam negara kesejahteraan, negara tidak hanya bertugas
memelihara ketertiban masyarakat, akan tetapi dituntut untuk turut serta

Surabaya, (Selanjutnya disingkat dengan Philipus M. Hadjon II), h. 66.

17

O. Notohamidjojo, 1970, Makna Negara H ukum, Badan Penerbit Kristen,


Jakarta, h. 36.

18

Sudargo Gautama, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni,


Bandung, h. 13.

19

Baharudin Lopa; 1987, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan Hukum Di


Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, hlm.101

13

aktif dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan rakyat. Kewajiban ini
merupakan amanat pendiri negara (the founding fathers) Indonesia, seperti
dikemukakan pada alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Secara historis, sejarah mengenai negara hukum dapat disimak pada uraian singkat
dalam buku Ridwan HR yang berjudul Hukum Administrasi Negara. 20

Secara embrionik dikemukakan bahwa gagasan negara hukum telah dikemukakan


oleh Plato, ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi. Dalam Nomoi, Plato
mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan
pada pengaturan (hukum) yang baik. Gagasan Plato tentang negara hukum ini
semakin tegas ketika didukung oleh muridnya, Aristoteles, yang menuliskannya
dalam buku Politica. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik adalah negara
yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga unsur dari
pemerintahan yang berkonstitusi yaitu, pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk
kepentingan umum, kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang
berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara
sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi, ketiga,
pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak
rakyat, bukan berupa paksaan-paksaan yang dilaksanakan pemerintahan despotik.

Unsur-unsur Negara Hukum menurut Freidrich Julius Stahl yang diilhami


oleh Immanuel Kant adalah :
Berdasarkan dan menegakkan hak-hak asasi manusia

Untuk dapat melindungi hak asasi dengan baik maka penyelenggaraan


negara harus berdasarkan trias politica
Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang

20

Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada,


Jakarta, h. 2-3.

14

Apabila pemerintahan yang berdasarkan Undang-Undang masih dirasa melanggar


hak asasi maka harus diadili dengan peradilan administrasi.21

Teori Negara Hukum ini dipergunakan untuk melihat keterkaitan antara


keputusan yang dibuat oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara kepada
seseorang atau badan hukum perdata. Dengan adanya unsur peradilan
administrasi negara, maka apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
mengeluarkan suatu KTUN yang merugikan atau melanggar hak asasi
seseorang, badan hukum perdata, maka dapat diajukan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara. Adapun syarat dari rechtsstaat adalah22 :

Asas Legalitas
Setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas dasar peraturan
perundang-undangan (wetleijke grondslag). Dengan landasan ini,
Undang-Undang dalam arti formal dan UUD merupakan tumpuan dasar
tindakan pemerintahan. Dalam hubungan ini, pembentukan undangundang merupakan bagian penting negara hukum.
Pembagian kekuasaan, mengandung makna kekuasaan negara tidak boleh

hanya bertumpu pada satu tangan.


3.Hak-hak dasar (grondrechten), merupakan sasaran perlindungan hukum

bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan undangundang.

Pengawasan pengadilan, bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan


yang bebas untuk menguji keabsahan tindak pemerintahan
(rechtmatigheids toetsing).

Bila mengkaji Negara Indonesia, maka Negara Indonesia merupakan negara hukum
yang berdasarkan Pancasila. Menurut Sri Soemantri Martosoewignjo, unsur-unsur
negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila23, yaitu :

Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga


negara;
Adanya pembagian kekuasaan;

21

Astim Riyanto, 2006, Teori Konstitusi, Penerbit Yapemdo, Bandung, h. 274.


Ibid., h. 275-276

22

23

Ibid., h. 277.

15

Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, pemerintah harus


selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis;
Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya

merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sedang


khusus untuk Mahkamah Agung harus juga merdeka dari pengaruhpengaruh lainnya.

Bilamana Sri Soemantri Martosoewignjo, memberikan ciri negara hukum


yang berdasarkan Pancasia, maka Philipus M Hadjon lebih tegas lagi
dengan memberikan ciri negara hukum Pancasila, bukan lagi negara
hukum yang berdasarkan atas Pancasila. Ciri negara hukum Pancasila
menurut Philipus M Hadjon adalah sebagai berikut:
Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas
kerukunan;
Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-

kekuasaan negara;
Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan
merupakan sarana terakhir;
Keseimbangan antara hak dan kewajiban24

Apabila diperbandingkan antara pendapat kedua guru besar tersebut,


seakan terdapat perbedaan yang signifikan, akan tetapi bila disimak
secara saksama, maka terlihat jelas bahwa Sri Soemantri melihat negara
hukum Pancasila dari sudut yuridis formal yang diatur di dalam Undang
Undang Dasar 1945, sedangkan Philipus M Hadjon, mengkaji negara
hukum Pancasila dari sisi jiwa atau roh negara hukum Pancasila. Dengan
istilah lain, Philipus M Hadjon mengkaji negara hukum Pancasila dari
aspek material atau isi dari apa yang dicirikan oleh Sri Soemantri.

24

Philipus M Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia.


PT.Bina Ilmu,Surabaya, h.90

16

Berdasarkan uraian di atas dapat disimak bahwa apa yang menjadi unsur dari
rechtsstaat memiliki kesamaan dengan apa yang menjadi unsur negara hukum
Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Namun demikian, menurut Bagir Manan
adapun unsur-unsur terpenting dari negara hukum, dikemukakan terdiri dari :25

Ada UUD sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara


pemerintah dan warganya.
Ada pembagian kekuasaan (machtenscheiding) yang secara khusus
menjamin suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Ada pemencaran kekuasaan negara atau pemerintah (spreiding van de


staatsmacht).

Ada jaminan terhadap hak asasi manusia.


Ada jaminan persamaan dimuka hukum dan jaminan perlindungan hukum.
Ada asas legalitas, pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus didasarkan
atas hukum (undang-undang).

Dari uraian di atas dapat disimak bahwa adanya unsur asas legalitas dalam
unsur rechtsstaat mengamanatkan agar setiap tindakan pemerintah harus
berdasar atas hukum. Dengan kata lain, dalam unsur negara hukum
Pancasila, asas legalitas menjadi hal yang penting terutama kaitannya
dengan keberadaan klausul pengaman dalam suatu KTUN. Pemerintah
dalam melaksanakan kewenangannya yang dituangkan melalui KTUN,
pertama-tama harus memiliki legalitas sehingga perbuatan atau tindakan
pemerintah tidak melanggar hak asasi manusia dan/atau tidak menyebabkan
seseorang atau sekelompok orang tidak mendapat perlindungan hukum.

2.2 Konsep Tindak Pemerintahan

25

Bagir Manan; 1994, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h.35

17

Dalam meyelenggarakan tugas pemerintahan, maka pemerintah melakukan


tindakan-tindakan pemerintahan. Para sarjana mempergunakan istilah yang
berbeda-beda mengenai tindakan pemerintahan (bestuurshandeling). Pertama

Philipus M. Hadjon26 dan Kuntjoro Purbopranoto menggunakan istilah tindak


pemerintahan.27 Kedua, Utrecht menyebutnya dengan perbuatan administrasi
negara28. Ketiga, Van Vollenhoven menggunakan istilah tindakan pemerintah. 29
Keempat, Baschan Mustafa menyebutnya dengan istilah perbuatan administrasi
negara.30 Dalam tulisan ini, yang diikuti adalah pendapat dari Philipus M. Hadjon
dan Kuntjoro Purbopranoto, yaitu tindak pemerintahan. Karena istilah tindak
pemerintahan paling tepat untuk dipergunakan menterjemahkan istilah
bestuurshandeling. Bestuur berarti pemerintahan dan handeling berarti tindak, yang
menurut Philipus M. Hadjon berarti tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh
administrasi negara dalam melaksanakan tugas pemerintahan. 31 Sehingga bila
dibandingkan dengan istilah-istilah lain, istilah ini paling lengkap dan paling tepat,
karena mencakup seluruh tindakan pemerintah yang dilaksanakan oleh administrasi
negara. Berdasarkan atas itulah dalam tulisan ini mempergunakan istilah tindak
pemerintahan.

26

Philipus M. Hadjon I, h. 1.

27

Kuntjoro Purbopranoto, 1978, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan


dan Peradilan Administrasi Negara, Cetakan Kedua, Alumni, Bandung,
(selanjutnya disingkat Kuntjoro Purbopranoto II), h. 42.

28

E. Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan


Keempat, Universitas Padjajaran, Bandung, , h. 62.

29

Van Vollenhoven dalam SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok
Hukum Administrasi Negara, Op. Cit., h. 70.

30

Bachsan Mustafa, 1990, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, PT Citra


Aditya Bakti, Bandung, h. 80.

31

Philipus M Hadjon I, Loc.Cit.

18

Tindak pemerintahan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu Pertama,


tindak pemerintahan yang berdasarkan hukum (rechtshandelingen) dan
Kedua, tindak pemerintahan yang berdasarkan fakta (vetlijke handeling).32
Menurut C.J.N. Versteden, tindakan nyata adalah tindakan-tindakan yang
tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak
menimbulkan akibat-akibat hukum.33 Sedangkan mengenai pengertian
tindakan hukum, menurut H.J. Romeijn tindakan hukum administrasi
merupakan suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ administrasi
dalam keadaan khusus yang dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat
hukum dalam bidang administrasi.34 Menurut J.B.J.M. ten Berge, tindakan
hukum adalah tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan
kewajiban.35 Tindakan hukum inilah yang penting bagi hukum administrasi.

Tindak pemerintahan yang berdasarkan hukum kemudian dibedakan menjadi


tindakan hukum publik dan tindakan hukum privat. Tindakan yang berdasarkan
hukum publik kemudian dibagi lagi menjadi tindakan sepihak (eenzijdig) dan
berbagai pihak (meerzijdige).36 Tindakan hukum sepihak dibagi lagi menjadi interne
beschikking (keputusan yang dibuat untuk menyelenggarakan hubungan-hubungan
dalam (lingkungan) alat Negara yang membuatnya) dan externe beschikking
(keputusan yang dibuat untuk menyelenggarakan hubungan-hubungan antara dua
atau lebih alat Negara). Keputusan Tata Usaha Negara

32

Kuntjoro Purbopranoto II, Op.Cit., h. 44.

33

Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada,


Jakarta, h. 113.
34

Ibid., h. 116.

35

Ibid., h. 113.

36

Philipus M. Hadjon I, Op. Cit., h. 3.

19

merupakan contoh dari tindakan hukum sepihak yang merupakan externe


beschikking.37 Tindakan nyata adalah tindakan-tindakan yang tidak ada
relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan
akibat-akibat hukum.38 Keputusan merupakan salah satu bentuk tindak
pemerintahan bersegi satu.

2.3 Konsep Keputusan Tata Usaha Negara

Keputusan pemerintah (beschikking) mempunyai banyak pengertian.


Pengertian menurut beberapa sarjana antara lain :
Menurut Prins, beschikking adalah suatu tindakan hukum sepihak di
bidang pemerintahan yang dilakukan oleh alat penguasa berdasarkan
kewenangan khusus.
Menurut E. Utrecht, beschikking adalah perbuatan hukum publik

yang bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan yang


berdasarkan atas suatu kekuasaan istimewa. 39

Dari pengertian di atas, dapat ditarik beberapa unsur yang ditemukan


dalam konsep keputusan, yaitu :
Adanya perbuatan hukum

Bersifat sebelah pihak

Dalam lapangan pemerintahan

Berdasarkan kekuasaan yang istimewa. 40

Keputusan berkaitan erat dengan wewenang. Dalam konsep hukum publik,


wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum

37

Utrecht, Op.Cit., h. 70.

38

Ridwan HR, Loc.Cit.

39

Kuntjoro Purbopranoto II, Op.Cit., h. 46.

40

Bachsan Mustafa, Op.Cit., h. 86.

20

administrasi.41Wewenang dalam arti yuridis adalah suatu kemampuan yang


diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum.42 Philipus M Hadjon membagi cara
memperoleh wewenang atas dua cara, yaitu pertama atribusi, kedua delegasi
dan kadang-kadang juga mandat.43 Atribusi merupakan wewenang untuk
membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undangundang dalam arti materiil. Atribusi juga dikatakan sebagai suatu cara normal
untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Sehingga tampak jelas bahwa
kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintah adalah
kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung dari peraturan
perundang-undang (utamanya UUD 1945), dengan kata lain dengan atribusi
berarti timbulnya kewenangan baru yang sebelumnya kewenangan itu tidak
dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan.

Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh


pejabat pemerintahan (pejabat Tata Usaha Negara) kepada pihak lain tersebut.
Dengan kata penyerahan, ini berarti adanya perpindahan tanggung jawab dari
yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi
(delegetaris). Suatu delegasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain :

a)Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan


sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,
artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam
peraturan perundang-undangan;

41

Philipus M Hadjon, Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuurbevoegdheid)


Pro Justitia Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998, h. 90.
42

Indroharto, Op.Cit., h. 68.

43

Philipus M Hadjon, Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuurbevoegdheid),


Op.Cit., h. 91.

21

c)Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki


kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;
d)Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans
berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang
tersebut;

Peraturan kebijakan (beleidsregel) artinya delegans memberikan instruksi


(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut. 44

Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu


bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a/n
pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat. 45 Tanggung jawab tidak
berpindah ke mandataris, melainkan tanggung jawab tetap berada di tangan pemberi
mandat, hal ini dapat dilihat dari kata a/n (atas nama), dengan demikian semua
akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang dikeluarkan oleh
mandataris adalah tanggung jawab si pemberi mandat.

Sebagai suatu konsep hukum publik, wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga
komponen, yaitu : pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum. 46 Uraian dari
masing-masing komponen tersebut adalah Komponen pengaruh ialah bahwa
penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subjek hukum.
Komponen dasar hukum ialah bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk
dasar hukumnya dan komponen konformitas hukum mengandung makna adanya
standart wewenang, yaitu standart umum (semua jenis wewenang) dan standart
khusus (untuk jenis wewenang tertentu).47

Mengenai pengertian KTUN dapat dijumpai pada Pasal 1 angka 3 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang

44

Ibid., h 94.

45

Ibid., h. 95.

46

Ibid., h. 90.

47

Ibid.

22

menentukan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis


yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berisi tindakan hukum
Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.. Selanjutnya, dalam
ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, yang menentukan bahwa : Tidak termasuk dalam pengertian
Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini :

Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum


perdata;
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum;
Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;

Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat
hukum pidana;
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional
Indonesia;
Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah
mengenai hasil pemilihan umum.

Dalam menyusun keputusan, secara teoritis Pemerintah terikat kepada tiga

asas hukum, yakni :

Asas yuridikitas (rechtmatigheid), artinya, keputusan pemerintahan


maupun administratif tidak boleh melanggar hukum (onrechmatige
overheidsdaad);

Asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan harus diambil

berdasarkan ketentuan undang-undang;

23

3. Asas diskresi (discretie, freies Ermessen), artinya, pejabat penguasa tidak

boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturannya


dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut
pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridikitas dan asas legalitas
tersebut di atas. Ada dua macam diskresi yaitu diskresi bebas bilamana
Undang-undang hanya menentukan batas-batasnya, dan diskresi terikat
bilamana Undang-Undang menetapkan beberapa alternatif untuk dipilih salah
satu yang oleh pejabat Administrasi dianggap paling dekat. 48

Sehubungan dengan hal itu, Pemerintah Daerah didalam menjalankan


wewenang mengurus urusan pemerintahannya yang secara normatif
dituangkan melalui penetapan berbagai produk hukum yang bersifat
penetapan, menurut Sjachran Basah ada beberapa persyaratan yang perlu

diperhatikan, yakni :

memenuhi asas legalitas (wetmatige) dan asas yuridis (rechtmatige)

tidak menyalahi atau menyimpang dari ketaatasasan hierarkhi peraturan


perundang-undangan;

tidak melanggar hak dan kewajiban asasi warga masyarakat;

diterapkan dalam rangka mendukung (memperlancar) upaya mewujudkan


atau merealisasi kesejahteraan umum.49

2.4 Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik

Dalam lingkup Hukum Administrasi terdapat asas-asas umum pemerintahan yang


baik yang apabila diterapkan dalam segala aspek kegiatan pemerintahan, apa yang
menjadi krisis di negara ini tidak akan terjadi. Asas-asas umum pemerintahan yang
baik ini sebenarnya berasal dari negeri Belanda. Di

48

Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia,


Jakarta, h. 95.

49

Sjachran Basah, 1986, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi


Negara, Alumni, Bandung, h. 4.

24

Indonesia sendiri, asas-asas umum pemerintahan yang baik diperkenalkan


oleh Kuntjoro Purbopranoto. Asas-asas umum pemerintahan yang baik ini
dikategorikan dalam 13 (tiga belas) asas, yaitu :

azas kepastian hukum (principle of legal security),

azas keseimbangan (principle of proportionality),


azas kesamaan (dalam mengambil keputusan pangreh)-principle of
equality,

azas bertindak cermat (principle of carefulness),


azas mitovasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation),

azas jangan mencampuradukan kewenangan (principle of non misuse of


competence),
azas permainan layak (principle of fair play),
azas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition
of arbitrariness),
azas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised
expectation),

azas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of


undoing consequences of an annulled decision),
azas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of
protecting the personal way of life),

azas kebijaksanaan (sapientia),


azas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).50

2.5 Kepastian Hukum

Sebelum membahas mengenai kepastian hukum, perlu untuk mengetahui mengenai


pengertian hukum. Banyak sarjana mengungkapkan mengenai pengertian hukum.
Beberapa pengertian hukum menurut para sarjana adalah51 : E. Utrecht, dalam
bukunya Pengantar dalam Hukum Indonesia mengemukakan hukum adalah
himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan
seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena
pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan

50

Kuntjoro Purbopranoto II, Op. Cit., h. 29-30.

51

Yulies Tiena Masriani, 2008, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika,


Jakarta, h. 6-7.

25

dari pemerintah masyarakat itu. Immanuel Kant, dalam bukunya Inleiding tot de
Rechtswetsnschap mengartikan hukum sebagai keseluruhan syarat-syarat yang
dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri
dengan kehendak bebas dari orang lain, menuruti peraturan hukum tentang
kemerdekaan. Sedangkan J. Van Apeldoorn, dalam bukunya Inleiding tot de
studie van het Nederlandse recht mengemukakan bahwa tidak mungkin
memberikan definisi kepada hukum karena begitu luas yang diaturnya. Hanya
pada tujuan hukum mengatur pergaulan hidup secara damai.

Dari uraian para sarjana mengenai pengertian hukum, maka dapat disimak
bahwa hukum adalah suatu aturan atau norma yang mengatur tingkah laku
masyarakat dalam pergaulan hidup. Mengenai tujuan hukum sendiri, menurut
Apeldoorn, tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai.52

Mengenai tujuan hukum, terdapat beberapa teori 53, yaitu :

Teori Etis, yang berpendapat bahwa tujuan hukum semata-mata untuk


mewujudkan keadilan. Mengenai keadilan, Aristoteles mengajarkan dua
macam keadilan, yaitu keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan
distributif ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut
jasanya. Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan jatah kepada
setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa
peseorangan.

52

L. J. Van Apeldoorn, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta,

h. 10.
53

Dudu Duswara Machmudin, 2003, Pengantar Ilmu Hukum, sebuah Sketsa,


Refika Aditama, Bandung, h. 24-28.

26

Teori Utilitas, menurut Bentham bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan apa
yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Adagiumnya yang
terkenal adalah The greatest happiness for the greatest number artinya,
kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah

yang terbanyak. Ajaran Bentham disebut juga sebagai eudaemonisme


atau utilitarisme.
3.Teori Pengayoman, mengemukakan tujuan hukum adalah untuk

mengayomi manusia, baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif
dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi
kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara
wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah mengupayakan
pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan
hak. Usaha mewujudkan pengayoman tersebut termasuk di dalamnya
adalah :

Mewujudkan ketertiban dan keteraturan;


Mewujudkan kedamaian sejati;
Mewujudkan keadilan;
Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Dalam pada itu, mengenai daya ikat hukum dalam masyarakat, berdasarkan
pendapat Gustav Radbruch yang mengembangkan pemikirang

Geldingstheorie mengemukakan bahwa berlakunya hukum secara


sempurna harus memenuhi tiga nilai dasar, meliputi54 :

54

I Dewa Gede Atmadja, 1993, Manfaat Filsafat Hukum dalam Studi Ilmu Hukum, dalam
Kerta Patrika, No. 62-63 Tahun XIX Maret-Juni, Fakultas Hukum Universitas Udayana,
Denpasar, h. 68. Lihat juga Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 19, yang mengemukakan bahwa nilai dasar hukum menurut Radbruch yaitu
keadilan, kegunaan (Zweckmaszigkeit) dan kepastian hukum.

27

Juridical doctrine, nilai kepastian hukum, dimana kekuatan mengikatnya


didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi.

Sociological doctrine, nilai sosiologis, artinya aturan hukum mengikat


karena diakui dan diterima dalam masyarakat (teori pengakuan) atau
dapat dipaksakan sekalipun masyarakat menolaknya (teori paksaan).

Philosophical doctrine, nilai filosofis, artinya aturan hukum mengikat


karena sesuai dengan cita hukum, keadilan sebagai nilai positif yang
tertinggi.

Dengan demikian, maka agar hukum dapat berlaku dengan sempurna, harus
memenuhi tiga nilai dasar tersebut. Adanya unsur kepastian hukum, hal ini
erat kaitannya dalam hal membahas adanya suatu klausul pengaman dalam
KTUN. Dengan kata lain, adanya unsur kepastian hukum dalam suatu KTUN
akan dapat memberikan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat
maupun aparat pemerintah, mengingat kepastian hukum itu sendiri adalah
alat atau syarat untuk memberikan jaminan perlindungan bagi yang berhak
(termasuk terkait dengan lahirnya suatu KTUN).

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Jenis Penelitian

Soerjono Soekanto, seperti yang dikutip oleh Bambang Sunggono


berpendapat bahwa penelitian hukum dapat dibagi dalam :

Penelitian Normatif yang terdiri dari :

Penelitian terhadap asas-asas hukum;


Penelitian terhadap sistematika hukum;
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum;
Penelitian sejarah hukum; dan
Penelitian perbandingan hukum.
Penelitian Hukum Sosiologis atau empiris, yang terdiri dari :
Penelitian terhadap identifikasi;

28

b. Penelitian terhadap efektivitas hukum.55

Penelitian ini ternasuk dalam jenis penelitian hukum normatif, karena


penelitian ini berangkat dari adanya kekosongan norma terkait dengan
keberadaan klausul pengaman dalam keputusan pemerintah daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2005 tentang Pedoman Tata
Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Propinsi tidak menentukan
adanya klausul pengaman dalam suatu keputusan, namun, dalam
prakteknya masih terdapat keputusan yang berisi kalusul pengaman.

1.6.2. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan


undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative
approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).56 Pendekatan
perundang-undangan merupakan cara pendekatan dengan melihat peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
Penelitian untuk praktik hukum tidak dapat melepaskan diri dari pendekatan
perundang-undangan. Pendekatan kasus digunakan apabila dalam membahas
permasalahan menggunakan contoh kasus untuk mendapatkan gambaran yang
jelas mengenai permasalahan yang dibahas.

Pendekatan historis dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah lembaga


hukum dari waktu ke waktu. Pendekatan ini sangat membantu peneliti untuk

55

Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo


Persada, Jakarta, h. 42-43.

56

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media


Group, Jakarta, h. 93.

29

memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu. 57 Pendekatan


perbandingan dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan hukum. 58

Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan


hukum yang ada, dikarenakan belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah
yang dihadapi.59 Dalam penelitian ini, digunakan pendekatan undang-undang dalam
hal melihat apa yang menjadi dasar hukum dari adanya klausul pengaman dan
pendekatan konsep untuk menjelaskan konsep-konsep dari suatu KTUN.

1.6.3. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara
langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka.60 Sementara itu, dalam
penelitian hukum mengadakan perbedaan mengenai sumber hukumnya, yakni :

Bahan hukum primer (primary sources or authorities), seperti undangundang dan putusan pengadilan, dan

57

Ibid., h. 126.

58

Ibid., h. 132.

59

Ibid., h. 137.

60

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, h. 14.

30

Bahan hukum sekunder (secondary sources or authorities), misalnya makalah


dan buku-buku yang ditulis oleh para ahli, karangan berbagai
panitia pembentukan hukum (law reform organization), dan lain-lain.61

Selain bahan hukum primer dan sekunder, oleh Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudji mengemukakan bahan hukum ketiga, yaitu bahan hukum tertier.
Bahan Hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah
kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya. 62
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah peraturan
perundang-undangan yang sedang berlaku, seperti Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Bahan hukum sekunder dalam
penelitian ini adalah dalam bentuk literatur-literatur Hukum Administrasi
Negara, Hukum Tata Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, serta bahan-bahan lain yang berkaitan dengan masalah yang dikaji.

1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

61

C.F.G. Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir


Abad Ke-20, Alumni, Bandung, h. 134.

62

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op. Cit., h. 15.

31

Bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan sistem kartu (card


system).63 Dalam pengumpulan bahan hukum tersebut, kartu-kartu
disusun berdasarkan topik, bukan berdasarkan nama pengarang. Hal ini
dilakukan agar memudahkan dalam hal penguraian, menganalisa dan
membuat kesimpulan dari konsep-konsep yang ada.

1.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang telah dikumpulkan dan disitematisir kemudian dianalisis. Analisis
dilakukan dalam rangka untuk memecahkan permasalahan yang ada dengan
menggambarkan apa yang menjadi masalah (deskripsi), menjelaskan masalah
(eksplanasi), mengkaji permasalahan dari bahan-bahan hukum yang terkait
(evaluasi) dan memberikan argumentasi dari hasil evaluasi tersebut, sehingga
didapat kesimpulan mengenai persoalan eksistensi klausul pengaman dalam
Keputusan Gubernur Bali yang berkarakter Keputusan Tata Usaha Negara.

63

Winarno Surakhmad, 1972, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode &


Teknik, Tarsito, Bandung, h. 257.

32

BAB II

KLAUSUL PENGAMAN DALAM PRODUK HUKUM DAERAH

Bentuk Produk Hukum Daerah

Pemerintah Daerah

Bentuk negara menentukan atau menggambarkan pembagian kekuasaan

dalam negara. Secara vertikal, yaitu antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, sedangkan secara horisontal adalah pembagian kekuasaan antara
legislatif, eksekutif dan yudisial.64 Indonesia merupakan negara kesatuan, yang
menurut C. F Strong, negara kesatuan adalah negara yang diorganisir di bawah
satu pemerintahan pusat.65 Dalam rangka untuk melakukan pemerataan
pembangunan, pemerintah pusat memberikan sebagian kewenangan kepada
pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menetukan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi itu
dibagi atas kabupaten yang diatur dengan undang-undang.

Otonomi daerah diadakan bukan hanya untuk menjamin efisiensi penyelenggaraan


pemerintahan, namun juga merupakan cara untuk memelihara negara kesatuan. 66
Otonomi berarti pemerintahan sendiri (Auto = sendiri, nomes

64

Andi Mustari Pide, 1999, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad
XXI, Gaya Media Pratama, Jakarta, h. 23.

65

C. F Strong, 2004, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Kajian Tentang Sejarah


dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Penerjemah SPA Teamwork, Penerbit
Nuansa dengan Penerbit Nusamedia, Bandung, h. 87.

66

Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum
(PSH) Hukum UII, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Bagir Manan I), h. 3.

33

= pemerintahan).67 Pada masa revolusi Perancis, dirumuskan suatu gemeente

(Daerah kota otonom), sebagai suatu persekutuan penduduk yang disatukan oleh
hubungan setempat atau sedaerah.68 Otonomi daerah sendiri berarti hak wewenang
dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.69 C. Van Vollenhoven
mengemukakan pendapat yang berlandaskan pada ajaran catur praja mengenai
otonomi yang mencakup aktivitas sebagai berikut :70

Membentuk perundangan sendiri (zelfwetgeving)

Melaksanakan sendiri (zelfuitvoering)

Melakukan peradilan sendiri (zelfrechtspraak)

Melakukan tugas kepolisian sendiri (zelf-politie).

Visi otonomi daerah itu menurut Syaukani71 dapat dirumuskan dalam tiga ruang
lingkup interaksinya yang utama: Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya. Di bidang
politik karena otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan
demokratisasi, itu adalah sebuah proses untuk membuka peluang bagi lahirnya
kepala daerah yang dipilih secara demokratis, dengan demikian akan tercipta
suatu pemerintahan yang responsif, karena kepala daerah lahir dari masyarakat
dimana dia dipilih sehingga mengetahui secara jelas keadaan, dan kebutuhan
masyarakatnya. Kondisi ini akan menciptakan demokratisasi pemerintahan yang

67

Amrah Muslimin, 1982, Aspek -Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni,


Bandung, (Selannjutnya disebut Amrah Muslimin II), h. 6.

68

J. Wajong, 1975, Asas dan Tujuan Pemerintahan Daerah, Djambatan, Jakarta,

h. 8.
69

SH. Sarundajang, 1999, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka


Sinar Harapan, Jakarta, h. 27.
70

Amrah Muslimin II, loc. cit.

71

Syaukani H.R 2002, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka


Pelajar, Jogjakarta, h. 173-175

34

juga berarti transparansi kebijakan. Artinya setiap kebijakan yang akan


diambil harus jelas siapa yang memprakarsai kebijakan itu,apa tujuannya,
berapa biaya yang harus dipikul, siapa yang diuntungkan, apa resiko yang
harus dipikul dan siapa yang harus bertanggungjawab jika kebijakan itu
gagal. Dengan demikian otonomi daerah juga berarti memberikan
kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan
kebutuhan daerah , membangun sistem dan karier politik dan administrasi
yang kompetitif, serta mengembangkan sistem manajeman yang efektif .
Di bidang ekonomi, dalam konteks ini akan memungkinkan lahirnya berbagai
prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan
proses perizinan usaha dan membangun berbagai infra struktur yang menunjang
perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian , otonomi daerah akan
membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke
waktu. Di bidang sosial budaya dapat mendorong melihara harmoni sosial dan pada
saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang bersifat kondusif terhadap
kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan disekitarnya

Ditinjau dari aspek normatif, maka dasar hukum otonomi daerah adalah pada Pasal
18 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menentukan: Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Selanjutnya diperjelas dalam ketentuan pada Ayat (5) nya yang
menetukan: Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan urusan

35

Pemerintah Pusat. Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang pertama


setelah era reformasi adalah Undang-Undang No.22 Tahun 1999 LNRI Tahun
1999 Nomor 60 , TLN RI Nomor 3839 yang kemudian diganti dengan UndangUndang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah LNRI Tahun 2004
Nomor 125, TLN-RI Nomor 4437. Dari kedua undang-undang tersebut terlihat
perkembangan asas otonomi yang diberikan kepada pemerintah daerah. Di
dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan otonomi yang
diberikan kepada daerah adalah otonomi yang luas, nyata, dan
bertanggungjawab. Luas diartikan sebagai pemberian keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenagan semua bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik, luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang
lainnya yang akan ditentukan dengan peraturan pemerintah. Nyata diartikan
sebagai keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan
pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta
tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Bertanggungjawab diartikan sebagai
perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan
kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus
dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ada perubahan prinsip otonomi


bila dibandingkan dengan prinsip otonomi yang dianut oleh Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999. Bila di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
prinsip otonominya adalah luas, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor

Anda mungkin juga menyukai