Anda di halaman 1dari 10

Neuropati Perifer Akibat Penggunaan Isoniazid

pada Penderita Tuberkulosis


Yesica
NIM : 102013185
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510. Telephone : (021) 5694-2061, fax : (021) 563-1731
e-mail: yesica.ichaa@gmail.com

Pendahuluan
Genetik merupakan sesuatu bidang ilmu yang mempelajari gen. Gen merupakan unit
terkecil dari manusia dan sel-sel makhluk hidup, dan dapat menjadi jawaban kepada turunnya
sesuatu penyakit bawaan yang bersifat keturunan. Sesuatu yang diturunkan secara keturunan
adalah dipengaruhi oleh gen. gen terdiri dari bahan kimia yang dinamakan asam
deoksiribonukleat (DNA). DNA bereplikasi menghasilkan salinan DNA baru yang identik.
DNA mengandungi kode yang spesifik untuk sesuatu protein seperti enzim yang membentuk
sel-sel tubuh manusia. Farmakogenetik merupakan sutau ilmu yang mempelajari tentang
pengaruh faktor genetik terhadap respon suatu obat dalam tubuh dapat diartikan pula sebagai
ilmu yang mengidentifikasi interaksi antara obat dan gen individual. Hal ini didasarkan atas
terjadinya perbedaan respon tiap individu bila mengkonsumsi suatu obat. Perbedaan tersebut
dapat kita tinjau dari efek yang ditimbulkannya apakah meningkatkan efek atau menurunkan
efek atau justru cenderung meningkatkan toksisitas obat. Dasar pengetahuan tentang
farmakogenetik dapat digunakan untuk memodifikasi dalam penemuan obat maupun nasib
obat dalam tubuh.
Anamnesis
Berdasarkan kasus perempuan ini, anamnesis langsung adalah diperlukan untuk
mengetahui status dan riwayat penyakit yang terdahulu supaya mudah mendiagnosa dan
melakukan tindakan sesuai dengan pemeriksaan keatas dirinya secara autoanamnesis.
Wawancara dengan pasien dimulai dengan menanyakan nama, umur, pekerjaan, alamat serta
identitas lain yang dirasakan perlu. Seterusnya ditanyakan kepada pasien perkara terkait
dengan keluhan yang dialami seperti dibawah ini:1

1. Keluhan utamanya, yaitu keluhan yang mendorong pasien datang berobat ke dokter:
gatal pada kedua lengan tangan dan kaki.
2. Riwayat penyakit sekarang
3. Pada tiap keluhan atau kelainan perlu ditelusuri: kapan mulai, sifat serta beratnya,
lokasi serta penjalarannya, hubungannya dengan waktu (pagi, siang, malam, sedang
tidur, waktu haid, sehabis makan dan lain sebagainya), berlangsung sementara atau
lama. Perjalanan keluhan, apakah menetap, bertambah berat, bertambah ringan,
datang dalam bentuk serangan, dan lain sebagainya
4. Keluhan lain yang ada hubungannya dengan keluhan tersebut: kencing berdarah
(rifampisin) serta efek samping penggunaan INH yang lain seperti neuritis perifer,
neuritis optik, reaksi psikosis, kejang, mual, muntah, kelelahan, gangguan pada
lambung, gangguan penglihatan, demam, kemerahan kulit, dan defisiensi vitamin B
(pyridoxine). Efek samping yang berpotensi fatal adalah hepatotoksisitas (gangguan
dan kerusakan sel hati).
5. Pengobatan sebelumnya dan hasilnya.
6. Riwayat penyakit dahulu: Tanyakan kondisi medis yang signifikan, khususnya
diabetes mellitus, keganasan, vaskulitis atau kondisi neurologis lain.
7. Riwayat keluarga: Adakah riwayat neuropati serta pernah merasakan keadaan yang
sama seperti pasien?
8. Riwayat sosial: Riwayat pajanan agen neurotoksin (seperti timah), konsumsi
menuman beralkohol dan riwayat merokok.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan neuropati perifer dimulai dengan pemeriksaan sistem sensorik yaitu
sentuhan ringan, sensasi getaran, dan tes sensasi nyeri, suhu, dan raba.
Sentuhan ringan dilakukan dengan kapas yang dipilin sehingga terbentuk ujung yang
lancip, sentuhlah kulit pasien secara ringan dengan menghindari penekanan. Minta pasien
menjawab saat ia merasakan sentuhan dan kemudian membandingkan satu daerah dengan
daerah lain.2

Sensasi getaran dan posisi. Ketika melakukan tes sensasi getaran dan posisi, pertama
lakukan tes tersebut pada jari tangan dan kaki. Jika hasilnya normal, dapat diasumsikan
bahwa daerah yang lebih proksimal juga memberikan hasil yang normal. Tes sensasi getaran
ini menggunakan garpu tala bernada rendah 128 Hz. Dengan cara ketukkan garpu tala pada
telapak tangan pemeriksa dan letakkan dengan erat pada artikulasio interfalangeal distal jari
tangan pasien kemudian di artikulasio interphalangeal ibu jari kakinya. Tanyakan apa yang
dirasakan pasien.
Untuk tes posisi caranya dilakukan dengan cara pegang ibu jari kaki pasien pada
kedua sisinya dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk pemeriksa. Gerakkan ibu jari kaki
nya menjauhi jari kaki yang lain untuk menghindari gesekan. Demonstrasikan gerakan naik
turun setelah pasien menutup mata nya dan minta kepadanya untuk menyebutkan apakah
gerakan tersebut naik atau turun.
Tes sensasi nyeri, suhu, dan raba. Tes rasa nyeri menggunakan jarum atau peniti,
minta pada pasien menyebutkan apakah benda yang disentuhkan ke bagian tubuhnya itu
tajam atau tumpul. Tes suhu dilakukan dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi air
panas dan dingin. Pada neuropati diabetik akan terlihat penurunan atau hilang nya sensasi
getaran dan nyeri.2
Refleks tendon dalam. Untuk menimbulkan reflex tendon dalam, minta pasien untuk
rileks, kemudian tempatkan ekstremitasnya dalam posisi yang benar serta simetris, dan ketuk
tendonnya dengan pergerakan pergelangan tangan yang cepat. Ketukan pemeriksa harus cepat
dan langsung, bukan hanya mengambang. Dapat menggunakan ujung palu reflex yang lancip
atau datar. Respon reflex sebagian bergantung pada kekuatan rangsangan yang pemeriksa
berikan. Refleks dapat berkurang atau hilang sama sekali jika sensasi nya terganggu, atau
segmen spinal yang terkait mengalami lesi atau jika saraf tepinya rusak. Untuk kasus ini
berhubung pasien mengalami kesemutan di tangan maka pemeriksa perlu memeriksa reflex
biseps, triseps, dan brakioradialis. Jika pasien mengalami keluhan di bagian kaki maka
perludi periksa juga reflex pergelangan kaki (Achilles) dan refleks Patella.2
Pada neuropati, akan terlihat hypoactive atau bahkan tidak ada. Lakukan pengujian
kekuatan dan memeriksa apakah ada atrofi otot ekstremitas. Karena penyakit kesemutan
(neuropati) berhubungan dengan pemakaian obat anti-TBC perlu dilakukan beberapa
pemeriksaan yang berhubungan dengan defisiensi vitamin B. Inspeksi oral diperlukan untuk
mengetahui apakah terdapat glositis atau cheilosis.
3

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium ini bertujuan untuk membedakan neuropati et causa
defisiensi vitamin B6 dan neuropati jenis lain.
Pemeriksaan darah lengkap dan serum piridoksin.
Defisiensi piridoksin (vitamin B6) dan CBC (complete blood count) akan
menunjukkan anemia, hipokromik mikrositik dengan tingkat zat besi yang normal. Kadar
piridoksin serum adalah <25 mg/mL. Bagi penderita alkoholik neuropati akan menunjukan
low platelet count dan anemia megaloblastik.3
Pemeriksaan hemoglobin A1C (HbA1C).
Hemoglobin A1C dan glukosa plasma puasa adalah tes skrining penting laboratorium
pada neuropati diabetik. Hemoglobin A1C pengukuran yang berguna untuk menilai
kecukupan kontrol diabetes terakhir, tingkat kemungkinan akan meningkat pada pasien
dengan neuropati diabetes. Hemoglobin A terdiri dari 91-95 % dari jumlah hemoglobin total.
Molekul glukosa berikatan dengan HbA1 yang merupakan bagian dari hemoglobin A.
HbA1C merupakan indikator yang baik untuk pengendalian diabetes mellitus. Peningkatan
kadar HbA1C >8 % mengindikasikan diabetes mellitus yang tidak terkendali dan pasien
berisiko tinggi mengalami komplikasi jangka panjang, seperti nefropati, neuropati, retinopati,
dan / atau kardiomiopati. Nilai normal HbA1C bagi non diabetikadalah 2-5 %.3
Elektromiografi (EMG)
Elektromiografi (EMG) adalah tes yang memeriksa kesehatan otot dan saraf yang
mengendalikan otot-otot. Penyedia perawatan kesehatan akan memasukkan elektroda jarum
yang sangat tipis melalui kulit ke dalam otot. Elektroda pada jarum mengambil aktivitas
listrik yang dilepaskan oleh otot-otot. Kegiatan ini muncul pada monitor terdekat. Aktivitas
listrik yang terlihat pada monitor menyediakan informasi tentang kemampuan otot untuk
merespon ketika saraf ke otot dirangsang.3
Polimorfisme Genetik
Polimorfisme genetik adalah ilmu tentang bagaimana faktor penentu genetik
mempengaruhi kerja obat. Respons berbagai obat bervariasi antara satu individu dengan
individu lainnya karena variasi ini biasanya mempunyai distribusi Gaussian. Dalam distribusi
tersebut diasumsikan bahwa faktor penentu respons adalah multi faktorial. Hasil observasi
menunjukkan bahwa dalam satu populasi, respon terhadap obat-obat tersebut memperlihatkan

distribusi kontinu, dan populasi tersebut terbagi 2 atau lebih kelompok yang menunjukkan
adanya suatu gen tunggal yang sangat menentukan.4,5
Adanya perbedaan antar kelompok etnik dalam hal pengaruh atau respons terhadap
obat, yang kemungkinan karena adanya perbedaan dalam frekuensi gen yang ada dalam
populasi dari masing-masing kelompok etnik tersebut akan dipelajari dalam studi
farmakogenetika. Sebagai contoh yang menarik adalah perbedaan antar kelompok etnik
dalam metabolisme (asetilasi) obat-obat tertentu seperti isoniazid, dapson, sulfadimidin,
prokainamid, dan hidralazin. Dalam hal kemampuan asetilasi obat-obat ini maka individuindividu dalam populasi akan terbagi secara tegas menjadi fenotipe asetilator cepat dan
asetilator lambat, dan sifat ini ditentukan oleh suatu gen otosom, yakni sifat asetilator cepat
ditentukan oleh gen dominan autosom sedangkan sifat asetilator lambat oleh gen resesif
autosom. Frekuensi asetilator ini berbeda antar masing-masing kelompok etnik oleh karena
adanya perbedaan dalam frekuensi gen asetilasi dalam populasi.
Diagnosis Kerja
Neuropati perifer et causa INH
Neuritis perifer paling banyak ditemukan dengan dosis isoniazid 5mg/kgBB/hari.
Neuropati perifer akibat penggunaan INH merupakan suatu kejadian penyakit yang
disebabkan oleh efek samping penggunaan INH yang menyebabkan berkurangnya neuron
perifer. INH sendiri merupakan obat utama dalam regimen pengobatan kasus tuberkulosis
yang dianjurkan oleh World Health Organization (WHO). Neuropati akibat penggunaan INH
merupakan sesuatu kelainan yang sering terjadi pada ras tertentu disebabkan kelainan
metabolisme isoniazid yang berakibat dari variasi genetik. Hal ini dinamakan genetik
polimorfisme. Bila pasien tidak mengambil piridoksin, frekuensi meningkat sehingga 2%.
Bila diberikan dosis yang lebih tinggi, pada sekitar 10-20% pasien menghidap neuritis perifer.
Perubahan neuropatogenik yang berhubungan dengan efek samping antara lainnya
menghilangkan vesikel sinaps, membengkaknya mitokondria dan pecahnya akson terminal.
Biasanya juga terjadi perubahan pada ganglia didaerah lumbar dan sacral. Pemberian
piridoksin sangat bermanfaaat untuk mencegah perubahan tersebut. Pada pemberian
isoniazid, eksresi piridoksi meningkat dan konsentrasinya dalam plasma menurun
memberikan gambaran defisiensi piridoksin. Neuropati lebih sering mengenai orang dengan
penyakit asetilator lambat, diabetes mellitus, nutrisi buruk dan anemia. mati rasa atau
ketidakpekaan terhadap nyeri atau temperature.4,5
5

Diagnosis Banding
Diabetic Neuropathy
Diabetik neuropati merupakan komplikasi yang tersering dijumpai pada kasus
diabetes melitus. Dijumpai pada 50% dari pasien yang menderita diabetes tipe 1 dan diabetes
tipe 2. Diabetik neuropati perifer melibatkan gejala disfungsi saraf perifer pada pasien yang
menderita diabetes setelah penyebab lain disingkirkan. Antara uji klinis yang boleh dilakukan
adalah pemeriksaan gula darah puasa (GDS), HbA1C, hitung darah lengkap, kadar hormon
tiroid, kadar vitamin B, elektromiografi dan MRI. Gejala klinis yang bisa didapatkan adalah
seperti gejala klinis neuropati perifer yang lain dan tergantung kepada sel neuron yang
terkait.4,5
Charcot-Marie-Tooth Disease
Merupakan suatu penyakit akibat kelainan bawaan yang menyebabkan penurunan
kekuatan ekstrimitas distal yang progresif. Selain itu turut didapatkan atrofi otot dan
kehilangan sensor disebabakan kelainan bawaan neuropati perifer. Terbagi kepada dua
kelompok utama yaitu kelompok 1 yang mempunyai kelajuan konduksi sinyal lambat dan
kelompok 2 yang disebabkan degenerasi akson. Gejala klinis pertama yang biasa ditemukan
adalah tanda motorik, atrofi pada otot kaki, diikuti tumit, dan ibu jari yang dorsofleksi.
Kelainan sensorik terjadi lebih lambat dibanding motorik. Pemeriksaan penunjang yang biasa
dilakukan adalah pemeriksaan cairan serebrospinal selain dari pemeriksaan penunjang yang
biasa dilakukan pada kasus neuropati perifer lain. Dapat disebabkan duplikasi pada gen
PMP22, kromoson 17, mutasi gen MPZ dan gen MFN2, kromosom 1, serta gen Cx32 pada
kromosom X.4
Epidemiologi
Respon manusia terhadap obat akan bervariasi dari satu individu ke individu yang lain
yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut kamus Oxford, kaukasia merupakan
pembagian ras secara tradisional yang merangkumi populasi Eropa, Asia barat, sebagian
India dan Afrika Utara. Studi farmakogenetik juga berguna untuk mempelajari adanya
perbedaan antar kelompok etnik dalam hal pengaruh atau respons terhadap obat. Dalam hal
kemampuan asetilasi obat-obat ini maka individu dalam populasi akan menjadi fenotipe
asetilator cepat dan asetilator lambat, dan sifat ini ditentukan oleh suatu gen otosom, yakni
sifat asetilator cepat ditentukan oleh gen dominan otosom sedangkan sifat asetilator lambat
oleh gen resesif otosom. Yang menarik ternyata frekuensi asetilator ini berbeda antar masing6

masing kelompok etnik oleh karena adanya perbedaan dalam frekuensi gen asetilasi dalam
populasi. Proporsi asetilator lambat pada berbagai kelompok etnik bervariasi sebagai berikut6:
Jepang

: 10%

Kaukasoid

: 50%

Cina

: 20%

Negroid

: 50-100%

Melayu

: 35%

Indian-Amerika

: 40%

Etiologi
Telah banyak kasus dilaporkan mengenai perbedaan respon obat yang diberikan antar
individu untuk penyakit yang sama. Salah satu contoh adalah dalam pengobatan isoniazid,
terdapat perbedaan respon dari beberapa individu berupa perbedaan dalam kecepatan proses
asetilasinya terhadap obat tersebut. Perbedaan tersebut ternyata disebabkan oleh adanya
variasi genetik dari gen yang menyandi ekspresi dari enzim N-acetyltransferase.
Proses metabolisme INH ialah dengan reaksi asetilasi yang dikatalisis oleh enzim Nasetil transferase hepar yang memperlihatkan polimorfisme genetik (enzim ini tidak dapat
diinduksi sehingga perbedaan dalam aktivitas enzim diantara individu bukan disebabkan oleh
perbedaan dalam pengobatan/pengaruh obat lain). Enzim ini berfungsi memindahkan gugus
asetil dari donor asetil (asetil koenzim A) ke obat akseptor sehingga terbentuk metabolit Nasetilisoniazid lebih bersifat polar, agar selanjutnya mudah untuk dieksresikan. Adanya
perbedaan asetilasi ternyata disebabkan oleh adanya variasi genetik dari gen yang menyandi
ekspresi dari enzim N-asetilastransferase. Bagi individu yang mempunyai kelainan yang
disebabkan oleh autosomal recessive allele, berupa variasi polimorfik maka aktivitas enzim
N-asetilastransferase menjadi lambat.7
Untuk individu yang memiliki tipe asetilator cepat, memiliki enzim Nasetilastransferase yang jauh lebih besar daripada individu yang memiliki tipe asetilator
lambat. Dengan demikian, maka kemampuan untuk isoniazid dapat dieksresikan dalam
bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif sangat cepat. Sehingga obat akan memiliki
masa kerja (t ) yang pendek, yaitu 45-80 menit. Dengan demikian, maka individu tipe
asetilator cepat, memerlukan dosis pengobatan yang lebih besar.
Sifat asetilator cepat ditentukan oleh gen dominan, sedangkan asetilator lambat oleh
gen resesif, sehingga genotype untuk seorang asetilator cepat adalah RR homozigot atau
7

heterozigot Rr, sedangkan asetilator lambat adalah rr. Hal ini akan berdampak kurang
menguntungkan, karena untuk pengobatan tuberkolosis, pengobatan dilakukan dalam jangka
waktu yang cukup panjang. Dengan demikian, untuk individu tipe asetilator cepat ini,
pemberian INH harus dilakukan berulang kali karena metabolisme INH-pun sangat cepat,
sehingga INH cepat dapat menimbulkan efek setelah diminum, namun cepat hilang pula
efeknya (t yang pendek). Hal ini harus diperhatikan, karena jika obat harus diberikan
secara berulang kali, dengan frekuensi pemberian yang lebih banyak daripada individu tipe
asetilator lambat, maka kemungkinan terjadi resistensi akan cukup tinggi. Sehingga dalam
pengobatannya, pemberian dosis perlu diperhatikan untuk individu yang memiliki tipe
asetilator cepat agar tidak terjadi resistensi.
Jika isoniazid diberikan pada individu bertipe asetilator lambat, maka enzim Nasetiltransferase yang dimiliki tidak sebanyak enzim N-asetilastransferase yang dihasilkan
oleh individu yang memiliki tipe asetilator cepat. Dengan demikian, maka kemampuan untuk
isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetil-isoniazid yang bersifat tidak aktif
berlangsung lambat. Sehingga INH akan memiliki masa kerja (t ) yang panjang yaitu 140200 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator lambat, memerlukan dosis
pengobatan yang rendah agar tidak menimbulkan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan
oleh INH. Untuk individu tipe asetilator lambat ini, pemberian INH tidak harus dilakukan
berulang kali/frekuensi yang tinggi, hal ini karena metabolisme INH berlangsung lambat,
sehingga INH dapat menimbulkan efek yang konstan dengan durasi yang lama setelah
diminum.8
Namun hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa karena obat dimetabolisme
dalam bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif dengan kecepatan yang lambat, maka
kemungkinan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH lebih tinggi. Selain itu,
menurut studi yang telah dilakukan, individu bertipe aetilator lambat ini, memiliki
kemungkinan untuk menimbulkan efek samping, yaitu neuritis perifer yang lebih tinggi
daripada individu bertipe asetilator cepat.8
Penatalaksanaan
Asetilator (inaktivator) lambat dapat menyebabkan obat lebih banyak terakumulasi
dan lebih jelas memperlihatkan efek toksisitas dibanding dengan asetilator cepat dalam
regimen dosis yang sama. Untuk pengobatan dengan INH, asetilator lambat akan lebih mudah
menderita efek samping INH berupa neuropati perifer karena defisiensi vitamin B-6. INH
8

akanmenghambat pemakaian vitamin B-6 oleh jaringan dan akan memperbesar ekskresi
vitamin B-6.Asetilator cepat umumnya lebih resisten terhadap pengobatan. Asetilator cepat
akan memerlukan dosis obat yang lebih tinggi dan pemberian yang lebih sering untuk
mempertahankan suatu level terapi yang efektif dan adekuat.9
Neuritis perifer paling banyak terjadi dengan dosis isoniazid 5mg/kgBB/hari. Bila
pasien tidak diberi piridoksin frekuensinya mendekati 2%. Bila diberikan dosis lebih tinggi,
pada sekitar 10 sampai 20% pasien dapat terjadi neuritis perifer.6 Pemberian vitamin B-6 pada
pasien dengan pengobatan INH. Vitamin B-6 disarankan lebih baik diberikan juga sebagai
profilaksis. Atau saat ini juga telah tersedia sediaan obat INH yang telah disertai dengan
Vitamin B6.9
Prognosis
Pada nuropati perifer akibat penggunaan obat isoniazid memiliki prognosis baik
apabila mendapat penanganan yang segera sebelum terjadi komplikasi kronik dari
penggunaan INH jangka panjang sesuai dengan lamanya terapi tuberkulosa.
Kesimpulan
Pengetahuan mengenai farmakogenetika diperlukan untuk mengetahui adanya
keanekaragaman pengaruh obat yang ditentukan oleh faktor genetik, sehingga dapat dicegah
kemungkinan terjadinya pengaruh buruk obat dengan menghindari pemakaian obat tertentu
pada orang-orang dengan ciri-ciri genetik tertentu. Pemberian INH pada pasien yang beresiko
mempunyai asetilator lambat akan menyebabkan INH berada dalam tubuh lebih lama dan
berefek kepada terjadinya neuropati perifer. Neuropati perifer dapat terjadi akibat defisiensi
vitamin B6. Pemberian suplemen piridoksin dapat mengurangkan resiko terjadinya neuropati
perifer.
Daftar pustaka
1. Jonathan G. At a Glance Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2007. Hal. 182-3.Bickley, Lynn. Bates buku ajar pemeriksaan fisik &
riwayat kesehatan. 8th ed. Jakarta: EGC; 2009. H 593-5.
2. Bickley, Lynn. Pemeriksaan refleks tendon dalam Bates buku ajar pemeriksaan fisik
& riwayat kesehatan. 8th ed. Jakarta: EGC; 2009. H 595-600.

3. Joyce L K. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostik. 6th ed. Jakarta: EGC;
2008. H 237.
4. Guillebastre B, Calmels P, Rougier P. effects of muscular deficiency on postural and
gait capacities in patients with Charcot-Marie-Tooth disease. J Rehabil Med. Mar 6
2013;45(3):314-7
5. Neal M J. At a glance farmakologi medis. 5th ed. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2006. H
15.
6. Yati H. Istiantoro dan Rianto Setiabudy Tuberkulostik dan Leprostatik, Farmakologi
dan Terapi. 6th ed. Jakarta: Percetakan Gaya Baru; 2009. Hal. 613-8.Subekti I.
Neuropati diabetik. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009. H 1947-51.
7. Katzung, Bertram G. Farmokologi dasar dan klinik. 4th ed. Jakarta: EGC; 2000. H 5961.
8. Syamsuir M. Prinsip farmakogenetik. 1st ed. Jakarta: EGC; 2009. H 305-11.
9. Istiantoro Y H, Gunawan S G, Setiabudy. Farmaklogi dan terapi. 5th ed. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2008. H 613-5.

10

Anda mungkin juga menyukai