1.
Terjadinya penganiayaan pada praja STPDN oleh seniornya dengan dalih
pembinaan yang menyebabkan meninggalnya Klip Muntu pada tahun
2003.2.
Dosen yang malas masuk kelas atau malas memberikan penjelasan
pada suatu mata kuliah kepada mahasiswa merupakan pelanggaran HAM ringan
kepada setiap mahasiswa.
3.
Para pedagang yang berjualan di trotoar merupakan pelanggaran HAM
terhadap para pejalan kaki, sehingga menyebabkan para pejalan kaki berjalan di
pinggir jalan sehingga sangat rentan terjadi kecelakaan.4.
Para pedagang
tradisioanal yang berdagang di pinggir jalan merupakan pelanggaran HAM ringan
terhadap pengguna jalan sehingga para pengguna jalan tidak bisa menikmati
arus kendaraan yang tertib dan lancar.5.
Orang tua yang memaksakan
kehendaknya agar anaknya masuk pada suatu jurusan tertentu dalam kuliahnya
merupakan pelanggaran HAM terhadap anak, sehingga seorang anak tidak bisa
memilih jurusan yang sesuai dengan minat dan bakatnya.2.5 Instrumen Nasional
HAM1. UUD 1945 : Pembukaan UUD 1945, alenia I IV; Pasal 28A sampai dengan
28J; Pasal 27 sampai dengan 342. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia3. UU No. 36 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM4. UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak5.UU No. 7 Tahun 1984 tentang Rativikasi
Konvensi PBB tentang penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan6.UU No. 8 tahun 1998 tentang pengesahan Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau penghukuman lain yang Kejam, tidak Manusiawi
atau Merendahkan Martabat Manusia7.UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan
Konvensi ILO nomor 182 mengenai pelanggaran dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak8.UU No. 11 Tahun
2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi,
Sosial dan Budaya9. UU No. 12 tahun 2005 tentang Konvenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik
Semua masyarakat umumnya, dan pemerintah secara khusus, dalam hal ini
komnas ham dan kepoolisian.
a. Siapa yang harus bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM?
Menurut pendapat kami yang berhak untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM adalah
pemerintah, namun pemerintah tidak dapat berjalan seorang diri. Untuk itu pentingnya
sosialisasi akan adanya HAM di lingkungan masyarakat akan membuat masyarakat kita
menyadari pentingnya HAM. Maka di bentuklah oleh pemerintah lembaga penegakan HAM
untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia.
b. Apa saja solusi yang kalian ajukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM?
Solusi yang kami ajukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM adalah dengan
adanya sosialiasasi kepada masyarakat sekitar agar mereka dapat menghargai akan HAM
sehingga tidak ada yang melakukan pelanggaran HAM.
Nah, sekian dahulu pendapat dan kunci jawaban dari saya. Saya rasa tidak akan terjadi
kesamaan karena ini adalah murni pendapat saya pribadi. Bila ada diantara Anda para
pembaca yang copas dengan kemudian sekolah berjurusan Multimedia di Surabaya, mohon
untuk mengkoresksi dan membenahi beberapa jawaban diatas.
atau harus (shall), secara implisit menegaskan bahwa tanggung jawab komando dalam
kasus pelanggaran berat HAM yang diatur melalui UU No. 26 Tahun 2000 ini bukanlah
sebuah hal yang bersifat otomatis dan wajib. Pasal ini secara tegas menguatkan pengertian
kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 yang cenderung
ditujukan kepada pelaku langsung di lapangan. 43 Pasal 42 ayat 1 (a) juga mensyaratkan
penanggung jawab komando untuk seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang
melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Padahal
sumber dari pasal spesifik tersebut, yaitu Pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma secara tegas
menyatakan bahwa komandan militer seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut
melakukan atau hendak melakukan kajahatan Distorsi ini mengabaikan adanya kewajiban
dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Meskipun
dalam Pasal 42 ayat 1 (b) pengabaian ini dikoreksi dengan kalimat komando militer tersebut
tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya
untuk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut, namun tidak ada definisi dan
batasan yang tegas tentang apa yang layak dan perlu dilakukan oleh penanggung jawab
komando. Selain itu, pasal ini berimplikasi pada pengadilan terpaksa menekankan fokus
perhatiannya pada proses, yaitu apakah tindakan yang dilakukan sudah layak atau tidak,
apakah perlu atau tidak (obligation of conduct), dan secara otomatis mengabaikan pada
kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh penanggung jawab komando berhasil
mencegah dan menghentikan kejahatan atau tidak (obligation of result). Padahal, selain harus
bertanggung jawab jika menjadi pelaku langsung, penganjur, atau penyerta, seorang atasan
seharusnya juga bertanggung jawab secara pidana atas kelalaian melaksanakan tugas
(dereliction of duty) dan kealpaan (negligence). Standar hukum kebiasaan internasional untuk
kealpaan dan kelalaian dalam arti yang luas menyatakan bahwa seorang atasan
bertanggung jawab secara pidana jika : (1) ia seharusnya mengetahui (should have had
knowledge) bahwa pelanggaran hukum telah dan atau sedang terjadi, atau akan terjadi dan
dilakukan oleh bawahannya; (2) ia mempunyai kesempatan untuk mengambil tindakan; dan
(3) ia gagal mengambil tindakan korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada
atau terjadi saat itu. Tentang apakah seseorang tersebut seharusnya mengetahui harus diuji
sesuai keadaan yang terjadi dan dengan melihat juga orang/pejabat lain yang setara dengan
tertuduh. Pasal 7 (3) Statuta ICTY juga secara interpretatif mencerminkan standar kebiasaan
internasional tersebut. Pasal tersebut mengakui adanya pertanggungjawaban pidana jika
seseorang mengetahui atau mempunyai alasan untuk tahu (knew or had reason to know)
kelakuan bawahannya. Kalimat ini berkaitan dengan adanya kegagalan untuk mencegah suatu
kejahatan atau menghalangi tindakan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh
bawahannya atau menghukum mereka yang telah melakukan tindak pidana. Meskipun pasal
ini memfokuskan pada keadaan dimana seorang bawahan akan melakukan suatu tindak
pidana atau telah melakukannya, tidak ada indikasi bahwa tanggung jawab pidana tersebut
akan dihilangkan jika ada tindakan yang telah dilakukan oleh si atasan Namur
pelanggaran/kejahatan oleh bawahan tetap terjadi.