Anda di halaman 1dari 4

Jenis Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Pelanggaran HAM dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :


a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
1.
Pembunuhan masal (genosida)
Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa,
ras, etnis, dan agama dengan cara melakukan tindakan kekerasan (UUD
No.26/2000 Tentang Pengadilan HAM)
2.
Kejahatan KemanusiaanKejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan
yang dilakukan berupa serangan yang ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil seperti pengusiran penduduk secara paksa,
pembunuhan,penyiksaan, perbudakkan dll.
b. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi
:PemukulanPenganiayaanPencemaran nama baikMenghalangi orang untuk
mengekspresikan pendapatnyaMenghilangkan nyawa orang lain2.3 Peristiwa
Pelanggaran Hak Asasi Manusia di IndonesiaSetiap manusia selalu memiliki dua
keinginan, yaitu keinginan berbuat baik, dan keinginan berbuat jahat. Keinginan
berbuat jahat itulah yang menimbulkan dampak pada pelanggaran hak asasi
manusia, seperti membunuh, merampas harta milik orang lain, menjarah dan
lain-lain. Pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi dalam interaksi antara
aparat pemerintah dengan masyarakat dan antar warga masyarakat. Namun,
yang sering terjadi adalah antara aparat pemerintah dengan masyarakat.
Apabila dilihat dari perkembangan sejarah bangsa Indonesia, ada beberapa
peristiiwa besar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dan mendapat
perhatian yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat Indonesia, seperti :
a. Kasus Tanjung Priok (1984)Kasus tanjung Priok terjadi tahun 1984 antara
aparat dengan warga sekitar yang berawal dari masalah SARA dan unsur politis.
Dalam peristiwa ini diduga terjadi pelanggaran HAM dimana terdapat rarusan
korban meninggal dunia akibat kekerasan dan penembakan.
b. Kasus terbunuhnya Marsinah, seorang pekerja wanita PT Catur Putera Surya
Porong, Jatim (1994)Marsinah adalah salah satu korban pekerja dan aktivitas
yang hak-hak pekerja di PT Catur Putera Surya, Porong Jawa Timur. Dia
meninggal secara mengenaskan dan diduga menjadi korban pelanggaran HAM
berupa penculikan, penganiayaan dan pembunuhan.
c. Kasus terbunuhnya wartawan Udin dari harian umum bernas (1996)Wartawan
Udin (Fuad Muhammad Syafruddin) adalah seorang wartawan dari harian Bernas
yang diduga diculik, dianiaya oleh orang tak dikenal dan akhirnya ditemukan
sudah tewas.
d. Peristiwa Aceh (1990)Peristiwa yang terjadi di Aceh sejak tahun 1990 telah
banyak memakan korban, baik dari pihak aparat maupun penduduk sipil yang
tidak berdosa. Peristiwa Aceh diduga dipicu oleh unsur politik dimana terdapat
pihak-pihak tertentu yang menginginkan Aceh merdeka.
e. Peristiwa penculikan para aktivis politik (1998)Telah terjadi peristiwa
penghilangan orang secara paksa (penculikan) terhadap para aktivis yang
menurut catatan Kontras ada 23 orang (1 orang meninggal, 9 orang dilepaskan,
dan 13 orang lainnya masih hilang).
2.4 Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Lingkungan Sekitar

1.
Terjadinya penganiayaan pada praja STPDN oleh seniornya dengan dalih
pembinaan yang menyebabkan meninggalnya Klip Muntu pada tahun
2003.2.
Dosen yang malas masuk kelas atau malas memberikan penjelasan
pada suatu mata kuliah kepada mahasiswa merupakan pelanggaran HAM ringan
kepada setiap mahasiswa.
3.
Para pedagang yang berjualan di trotoar merupakan pelanggaran HAM
terhadap para pejalan kaki, sehingga menyebabkan para pejalan kaki berjalan di
pinggir jalan sehingga sangat rentan terjadi kecelakaan.4.
Para pedagang
tradisioanal yang berdagang di pinggir jalan merupakan pelanggaran HAM ringan
terhadap pengguna jalan sehingga para pengguna jalan tidak bisa menikmati
arus kendaraan yang tertib dan lancar.5.
Orang tua yang memaksakan
kehendaknya agar anaknya masuk pada suatu jurusan tertentu dalam kuliahnya
merupakan pelanggaran HAM terhadap anak, sehingga seorang anak tidak bisa
memilih jurusan yang sesuai dengan minat dan bakatnya.2.5 Instrumen Nasional
HAM1. UUD 1945 : Pembukaan UUD 1945, alenia I IV; Pasal 28A sampai dengan
28J; Pasal 27 sampai dengan 342. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia3. UU No. 36 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM4. UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak5.UU No. 7 Tahun 1984 tentang Rativikasi
Konvensi PBB tentang penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan6.UU No. 8 tahun 1998 tentang pengesahan Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau penghukuman lain yang Kejam, tidak Manusiawi
atau Merendahkan Martabat Manusia7.UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan
Konvensi ILO nomor 182 mengenai pelanggaran dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak8.UU No. 11 Tahun
2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi,
Sosial dan Budaya9. UU No. 12 tahun 2005 tentang Konvenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik

Semua masyarakat umumnya, dan pemerintah secara khusus, dalam hal ini
komnas ham dan kepoolisian.

a. Siapa yang harus bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM?
Menurut pendapat kami yang berhak untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM adalah
pemerintah, namun pemerintah tidak dapat berjalan seorang diri. Untuk itu pentingnya
sosialisasi akan adanya HAM di lingkungan masyarakat akan membuat masyarakat kita
menyadari pentingnya HAM. Maka di bentuklah oleh pemerintah lembaga penegakan HAM
untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia.
b. Apa saja solusi yang kalian ajukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM?
Solusi yang kami ajukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM adalah dengan
adanya sosialiasasi kepada masyarakat sekitar agar mereka dapat menghargai akan HAM
sehingga tidak ada yang melakukan pelanggaran HAM.
Nah, sekian dahulu pendapat dan kunci jawaban dari saya. Saya rasa tidak akan terjadi
kesamaan karena ini adalah murni pendapat saya pribadi. Bila ada diantara Anda para

pembaca yang copas dengan kemudian sekolah berjurusan Multimedia di Surabaya, mohon
untuk mengkoresksi dan membenahi beberapa jawaban diatas.

TANGGUNG JAWAB ATAS PELANGGARAN HAM


BERAT
By ano on Tuesday, April 21, 2009
Pertanggungjawaban atas sebuah pelanggaran HAM berat terdiri dari : 1.
Pertanggungjawaban perorangan Pertanggungjawaban pidana perorangan adalah seseorang
bertanggungjawab secara pidana dan dapat dikenai hukuman atas suatu pelanggaran HAM
berat yang dilakukan sendiri. Termasuk di dalam hal ini adalah setiap orang yang melakukan
perbuatan Percobaan, permufakatan jahat dan perbantuan untuk melakukan pelanggaran
HAM berat dipidana dengan pidana yang sama ketentuan bagi pelaku perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 36 sampai dengan 40. (pasal 41) 2. Pertanggung jawaban komandan
Militer Komandan militer dan atasan sipil dapat dipertanggungjawabkan atas pelanggaran
HAM berat yang dilakukan oleh pasukan atau anak buah yang berada dibawah komandonya.
Ketentuan ini terdapat dalam pasal 42 yaitu : Komandan militer atau seseorang yang secara
efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap
pelanggaran HAM berat yang dilakukan pasukan yang berada dibawah komando dan
pengendaliannya yang efektif, atau dibawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan
pelanggaran HAM berat tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian
pasukan secara patut, yaitu :
i. Komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu
seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan
pelanggaran HAM berat, dan ii. Komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan
tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau
menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang
berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. 3.
Pertanggungjawaban Atasan Sipil Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya,
bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang
efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara
patut dan benar, yakni : i. Atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan
informasi yang secara jelas menunjukan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja
melakukan pelanggaran HAM berat, dan ii. Atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang
layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau
menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang
berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. 27
Konsep tentang tanggung jawab komando ini, seperti halnya konsep tentang kejahatan
terhadap kemanusiaan juga mengalami distorsi dalam perumusan di UU No. 26 tahun 2000
ini. Pengertian tanggung jawab komando dalam Pasal 42 ayat 1 menyatakan : Komandan
militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai comandan militer dapat
dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan
HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya
yang efektif Pengertian yang menggunakan kata dapat(should) dan bukannya akan

atau harus (shall), secara implisit menegaskan bahwa tanggung jawab komando dalam
kasus pelanggaran berat HAM yang diatur melalui UU No. 26 Tahun 2000 ini bukanlah
sebuah hal yang bersifat otomatis dan wajib. Pasal ini secara tegas menguatkan pengertian
kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 yang cenderung
ditujukan kepada pelaku langsung di lapangan. 43 Pasal 42 ayat 1 (a) juga mensyaratkan
penanggung jawab komando untuk seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang
melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Padahal
sumber dari pasal spesifik tersebut, yaitu Pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma secara tegas
menyatakan bahwa komandan militer seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut
melakukan atau hendak melakukan kajahatan Distorsi ini mengabaikan adanya kewajiban
dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Meskipun
dalam Pasal 42 ayat 1 (b) pengabaian ini dikoreksi dengan kalimat komando militer tersebut
tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya
untuk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut, namun tidak ada definisi dan
batasan yang tegas tentang apa yang layak dan perlu dilakukan oleh penanggung jawab
komando. Selain itu, pasal ini berimplikasi pada pengadilan terpaksa menekankan fokus
perhatiannya pada proses, yaitu apakah tindakan yang dilakukan sudah layak atau tidak,
apakah perlu atau tidak (obligation of conduct), dan secara otomatis mengabaikan pada
kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh penanggung jawab komando berhasil
mencegah dan menghentikan kejahatan atau tidak (obligation of result). Padahal, selain harus
bertanggung jawab jika menjadi pelaku langsung, penganjur, atau penyerta, seorang atasan
seharusnya juga bertanggung jawab secara pidana atas kelalaian melaksanakan tugas
(dereliction of duty) dan kealpaan (negligence). Standar hukum kebiasaan internasional untuk
kealpaan dan kelalaian dalam arti yang luas menyatakan bahwa seorang atasan
bertanggung jawab secara pidana jika : (1) ia seharusnya mengetahui (should have had
knowledge) bahwa pelanggaran hukum telah dan atau sedang terjadi, atau akan terjadi dan
dilakukan oleh bawahannya; (2) ia mempunyai kesempatan untuk mengambil tindakan; dan
(3) ia gagal mengambil tindakan korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada
atau terjadi saat itu. Tentang apakah seseorang tersebut seharusnya mengetahui harus diuji
sesuai keadaan yang terjadi dan dengan melihat juga orang/pejabat lain yang setara dengan
tertuduh. Pasal 7 (3) Statuta ICTY juga secara interpretatif mencerminkan standar kebiasaan
internasional tersebut. Pasal tersebut mengakui adanya pertanggungjawaban pidana jika
seseorang mengetahui atau mempunyai alasan untuk tahu (knew or had reason to know)
kelakuan bawahannya. Kalimat ini berkaitan dengan adanya kegagalan untuk mencegah suatu
kejahatan atau menghalangi tindakan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh
bawahannya atau menghukum mereka yang telah melakukan tindak pidana. Meskipun pasal
ini memfokuskan pada keadaan dimana seorang bawahan akan melakukan suatu tindak
pidana atau telah melakukannya, tidak ada indikasi bahwa tanggung jawab pidana tersebut
akan dihilangkan jika ada tindakan yang telah dilakukan oleh si atasan Namur
pelanggaran/kejahatan oleh bawahan tetap terjadi.

Anda mungkin juga menyukai