Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN

ISK (INFEKSI SALURAN KEMIH)

DI SUSUN OLEH :
1.
2.
3.
4.

ACHMAD CHAERI
HELMIATI ASRI
REZA WAHYU ILHAMI
ZULFAH NURRAHMAN

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN JENJANG S1
MATARAM
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah ASUHAN KEPERAWATAN INFEKSI SALURAN
KEMIH ini. Penulis berterima kasih pada Dosen Pembimbing mata kuliah
Sistem Perkemihan yang telah menugaskan pembuatan makalah ini dan
membimbing penulis dalam menyusun makalah.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah

wawasan

serta

pengetahuan

penulis

tentang

sistem

perkemihan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini


terdapat kekurangan dan jauh dari apa yang penulis harapkan. Untuk itu,
penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis
maupun orang yang ikut membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan. Penulis
memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa
depan.

Mataram,
2016

Penulis

Maret

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................
KATA PENGANTAR............................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................
1.1....................................................................Latar Belakang
1.2..............................................................Rumusan Masalah
1.3.................................................................Tujuan Penulisan
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................
2.1....................................................Definisi.
2.2........................................Anatomi dan Fisiologi.
2.3..............................................Epidemiologi ISK .
2.4..........................................................Etiologi ISK.
2.5....................................................Patofisiologi ISK.
2.6...........................................................Patwey ISK.
2.7.............................................Manifestasi Klinis ISK.
2.8...........................................Komplikasi ISK.
2.9...................................Pemeriksaan Penunjang .
2.10 Penatalaksanaan ISK .............................................
BAB 4 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN ......................
4.1 Pengkajian Keperawatan............................................
4.2 Diagnosa Keperawatan..............................................
4.3 Intervensi Keperawatan.............................................
BAB 4PENUTUP...................................................................................
3.1.............................................................................Simpulan

3.2....................................................................................Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan
oleh masuk dan berkembangbiaknya kuman/mikroorganisme di dalam saluran kemih
manusia, mulai dari orificium uretrae sampai ke ginjal. Saluran

kemih manusia

merupakan organ-organ yang bekerja untuk mengumpul dan menyimpan urin serta
organ yang mengeluarkan urin dari tubuh, yaitu ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra.
ISK merupakan infeksi yang serius dan penting pada anak, ini berupa keadaan
yang paling sering dijumpai pada nefrologi anak. Angka kejadiannya sekitar 3-5% pada
perempuan dan 1% pada laki-laki sampai usia 5 tahun dan mencapai puncaknya selama
masa bayi dan periode toilet training. Penelitian oleh Naseri et al. (2007) menyebutkan
kejadian ISK tertinggi pada usia 2 bulan sampai 24 bulan. Pada umumnya wanita lebih
sering mengalami episode ISK daripada pria. Namun, pada masa neonatus ISK lebih
banyak terjadi pada bayi laki (2,7%) yang tidak menjalani sirkumsisi daripada bayi
perempuan (0,7%). Dengan bertambahnya usia, insiden ISK terbalik yaitu pada masa
sekolah ISK pada anak perempuan 3%, sedangkan anak laki-laki 1,1%. Insiden ISK ini
pada remaja anak perempuan meningkat 3,3 sampai 5,8% (Purnomo, 2009).
Faktor yang berperan pada patogenesis antara lain pejamu, mekanisme
pertahanan tubuh, virulensi bakteri. Faktor pejamu antara lain perempuan, laki-laki tidak
disirkumsisi, instrumentasi uretra, usia toilet training, uropati obstruktif, disfungsi
kemih, cebok dari belakang ke depan, celana ketat, kelainan anatomi, peningkatan sel
adherens uroepitelial. Gejala ISK pada anak tidak khas. Demam (38 C) tanpa disertai
gejala lain merupakan gejala ISK yang sering muncul pada anak usia 2 bulan hingga 2
tahun. Gejala lain yang bisa menyertai antara lain muntah, nyeri perut, buang air kecil
sering, nyeri saat buang air kecil, failure to thrive, prolonged jaundice dan hematuria.
Hingga saat ini baku emas untuk menegakkan diagnosis adalah biakan urin, yang
tidak sederhana, lama dan hanya tersedia di pusat pelayanan kesehatan yang lengkap
serta biaya tinggi, sehingga banyak klinisi yang memberikan pengobatan ISK secara
empiris berdasarkan gejala klinis sebelum mendapat hasil biakan urin.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah etiologi dan patofisiologi ISK pada anak?
1.2.2 Bagaimana gejala klinis ISK pada anak dan bagaimana untuk mendiagnosisnya ?
1.2.3 Bagaimana dengan komplikasi ISK pada anak?

1.2.4 Bagaimanakah penatalaksanaan dan prognosis ISK pada anak?


1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Untuk mengetahui etiologi dan patofisiologi ISK pada anak.
1.3.2 Untuk mengetahui gejala klinis ISK pada anak dan bagaimana untuk
1.3.3
1.3.4

mendiagnosisnya.
Untuk mengetahui komplikasi ISK pada anak.
Untuk mengetahui penatalaksanaan dan prognosis ISK pada anak.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Infeksi Saluran Kemih (ISK) atau Urinarius Tractus Infection (UTI) adalah suatu
keadaan

adanya

infasi

mikroorganisme

pada

saluran

kemih,

atau

Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu keadaan adanya infeksi bakteri pada saluran
kemih. Infeksi saluran kemih adalah suatu keadaan terjadinya peradangan oleh
mikroorganisme pada system perkemihan. Infeksi traktus urinarius merupakan masalah
yang sangat banyak dijumpai dalam praktek klinis. Infeksi saluran kemih dapat dibagi
menjadi bagian atas (pielonefritis) dan bagian bawah (sisititis, uretritis, prostatitis)
menurut saluran yang terkena, (Brunner & Suddarth, 2001)
2.2 Anatomi dan Fisiologi
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terletak retroperitoneal,
di kedua sisi kolumna vertebralis daerah lumbal. Ginjal kanan sedikit lebih rendah
dibandingkan dengan ginjal kiri karena tertekan ke bawah oleh hepar. Kutub atasnya
terletak setinggi kosta 12, sedangkan kutub atas ginjal kiri terletak setinggi kosta 11.
Setiap ginjal terdiri dari 600.000 nefron. Nefron terdiri atas glomerulus dengan sebuah
kapiler yang berfungsi sebagai filter. Penyaringan terjadi di dalam sel-sel epitelial yang
menghubungkan setiap glomerulus.
Ginjal merupakan organ terpenting dari tubuh manusia maka dari itu ginjal
mempunyai beberapa fungsi seperti: mengatur keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit
dan asam basa dengan cara menyaring darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air,
elektrolit dan non elektrolit, serta mengekskresikan kelebihannya sebagai kemih. Ginjal
juga mengeluarkan sampah metabolisme (seperti urea, kreatinin, dan asam urat) dan zat
kimia asing. Akhirnya selain regulasi dan ekskresi, ginjal juga mensekresi renin yang
penting untuk mengatur tekanan darah, juga bentuk aktif vitamin D yaitu penting untuk
mengatur kalsium, serta eritropoeitin yang penting untuk sintesis darah.
Kedua ureter merupakan saluran yang panjangnya 25 sampai 30 cm, yang
berjalan dari ginjal sampai kandung kemih. Fungsi satu-satunya adalah menyalurkan
kemih ke kandung kemih. Kandung kemih adalah salah satu kantong berotot yang dapat
mengempis dan berdilatasi, terletak di belakang simpisis pubis. Kandung kemih
memiliki 3 muara antara lain dua muara ureter dan satu muara uretra. Dua fungsi
kandung kemih adalah sebagai tempat penyimpanan kemih dan mendorong kemih keluar
dari tubuh melalui uretra. Uretra adalah saluran kecil yang dapat mengembang, yang

berjalan dari kandung kemih sampai keluar tubuh. Panjangnya pada wanita sekitar 4 cm
dan pada pria sekitar 20 cm.
Salah satu penyakit infeksi yang dapat mengakibatkan gagal ginjal adalah infeksi
saluran kemih. ISK adalah penyakit yang disebabkan karena mikroorganisme yang
masuk ke dalam saluran perkemihan menginvasi dan mengkolonisasi kandung kemih
yang bersifat steril. Bakteri yang masuk ke dalam saluran kemih bagian bawah yaitu
uretra, kandung kemih, dan prostat disebut dengan sistitis, uretritis, dan prostatitis.
Sedangkan bakteri yang menyerang saluran kemih bagian atas yaitu ureter dan ginjal
disebut pyelonephritis (Figueroa, 2009; Price & Wilson, 1995). Chang dan Shortliffe
(2006) mengatakan ISK adalah kolonisasi bakteri yang terjadi di berbagai tempat di
sepanjang saluran perkemihan, yaitu ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra. Zieve
(2010) menjelaskan bahwa ISK dapat dibagi atas simtomatik dan asimtomatik. Disebut
asimtomatik bila dijumpai bakteriuria bermakna namun tidak disertai gejala klinis ISK.
Sedangkan disebut simtomatik bila dijumpai bakteriuria bermakna disertai gejala klinis
ISK seperti nyeri saat buang air kecil (BAK) dan peningkatan frekuensi BAK. Schnarr
dan Smaill (2008) mengemukakan bahwa simtomatik ISK dibagi menjadi sistitis dan
pyelonephritis.
2.3 Epidemiologi ISK Pada Anak
Secara epidemologi, infeksi saluran kemih dapat terjadi pada 5% anak perempuan
dan 1-2% anak laki-laki. Kejadian infeksi saluran kemih pada bayi baru lahir dengan
berat lahir rendah mencapai 10-100 kali lebih besar dibanding bayi dengan berat lahir
normal (0,1-1%). Sebelum usia 1 tahun, infeksi saluran kemih lebih banyak terjadi pada
anak laki-laki. Sedangkan setelahnya, sebagian besar infeksi saluran kemih terjadi pada
anak perempuan. Misalnya pada anak usia pra-sekolah dimana infeksi saluran kemih
pada perempuan mencapai 0,8%, sementara pada laki-laki hanya 0,2% dan rasio ini terus
meningkat sehingga di usia sekolah, kejadian infeksi saluran kemih pada anak
perempuan 30 kali lebih besar dibanding pada anak laki-laki. Pada anak laki-laki yang
disunat, risiko infeksi saluran kemih menurun hingga menjadi 1/5-1/20 dari anak lakilaki yang tidak disunat. Hal ini diakibatkan karena, secara anatomi, anak perempuan
memang memiliki risiko mendapatkan infeksi lebih besar daripada anak laki-laki,
karena uretranya lebih pendek, sehingga bakteri lebih mudah mencapai kandung
kemih (Subandiyah, 2013).
Data prevalensi rumah sakit RSCM Jakarta dalam periode 3 tahun (1993-1995)
didapatkan 212 kasus ISK, dengan rata-rata 70 kasus baru per tahun. Data studi
kolaboratif pada 7 rumah sakit pusat pendidikan dokter di Indonesia dalam kurun 5

tahun (1984-1989) dilaporkan angka kejadian kasus baru ISK pada anak berkisar antara
0,1- 1,9% dari seluruh kasus pediatric yang dirawat. Jumlah ISK kompleks di Jakarta
lebih sedikit dari ISK simpleks yaitu 22,2% dari 42 kasus ISK. Meskipun lebih sedikit
perlu mendapat perhatian khusus karena dapat bersifat progresif.
Angka kekambuhan cukup tinggi yaitu pada anak perempuan 30% pada tahun
pertama dan 50% dalam 5 tahun kedepan. Sedangkan pada anak laki-laki angka
kekambuhan sekitar 15-20% pada tahun pertama dan setelah umur 1 tahun jarang
ditemukan kekambuhan. ISK yang terjadi nosokomial di rumah sakit pernah dilaporkan
sebanyak 14,2% per 1000 penderita anak, hal ini terjadi biasanya karena pemakaian
kateter urin jangka panjang (Husein, 2002).
2.4 Etiologi ISK pada Anak
Bakteri yang sering menyebabkan infeksi saluran kemih adalah jenis bakteri
aerob. Bakteri penyebab ISK terbanyak (48,9%) adalah
Acinetobacter

anitratus

Escherichia coli, diikuti

(9,8%), Klebsiella pneumoniae (9,4%),

Staphylococcus

coagulase positif (5,8%), Proteus mirabilis (4,7%), lain-lain (21,4%). Escherichia coli
sebagai flora kolon, merupakan sumber organisme yang dapat menyebabkan ISK,
tetapi tidak semua tipe Escherichia coli ini mempunyai kemampuan untuk
membentuk koloni dalam saluran kemih. Hanya bakteri yang mempunyai virulensi
uropatogenik yang dapat menyerang saluran kemih dengan anatomi normal.
Pada anak laki-laki Proteus Spp merupakan bakteri penyebab infeksi saluran
kemih lebih sering (6,9%) daripada anak perempuan (1,1%). Sedangkan E. coli lebih
banyak pada anak perempuan (27,2%) daripada anak laki-laki (21,7%). Beberapa
peneliti sebelumnya menyebutkan bahwa bakteri penyebab ISK Proteus spp pada
anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan (Behrman, 2000).
Pada kondisi normal, saluran kemih tidak dihuni oleh bakteri atau mikroba lain,
tetapi uretra bagian bawah terutama pada wanita dapat dihuni oleh bakteri yang
jumlahnya makin berkurang pada bagian yang mendekati kandung kemih. Infeksi
saluran kemih sebagian disebabkan oleh bakteri, namun tidak tertutup kemungkinan
infeksi dapat terjadi karena jamur dan virus. Infeksi oleh bakteri Gram positif lebih
jarang terjadi jika dibandingkan dengan infeksi Gram negatif.
Lemahnya pertahanan tubuh telah menyebabkan bakteri dari vagina, perineum
(daerah sekitar vagina), rektum (dubur), masuk ke dalam saluran kemih. Bakteri itu
kemudian berkembangbiak di saluran kemih sampai ke kandung kemih, bahkan bisa
sampai ke ginjal. Di bawah ini merupakan pengelompokkan bakteri-bakteri penyebab
ISK.
a. Kelompok Enterobacteriaceae seperti :

1. Escherichia coli
2. Klebsiella pneumoniae
3. Enterobacter aerogenes
4. Proteus
5. Providencia
6. Citrobacter
b. Pseudomonas aeruginosa
c. Acinetobacter
d. Enterokokus faecalis
e. Stafilokokus saprophyticus
2.5 Patofisiologi ISK pada Anak
Ginjal dan saluran kemih biasanya bebas kuman. Ketika bakteri masuk, beberapa
kondisi dapat berkembang. Beberapa anak akan mengalami bakteriuria asimtomatik dan
beberapa sistitis dengan peradangan, terutama di mukosa kandung kemih, tetapi
beberapa anak akan mengalami infeksi saluran kemih disertai demam, dengan aktivasi
sistemik dari proses inflamasi.
Sebagian besar anak-anak dengan penyakit imunodefisiensi primer tidak muncul
untuk menjadi rentan terhadap infeksi saluran kemih. Bahkan anak-anak dengan negara antibodi defisiensi primer, yang memiliki infeksi bakteri sering, serta orang-orang
dengan sindrom imunodefisiensi gabungan yang parah mempengaruhi baik T - sel dan
fungsi sel-B, memiliki sedikit infeksi saluran kemih. Ketika infeksi saluran kemih
berkembang pada anak-anak tersebut, terkait kelainan saluran ginjal biasanya muncul
untuk memainkan peran, menunjukkan bahwa aliran urine memadai dan uroepithelium
utuh adalah kunci dalam pencegahan infeksi saluran kemih. Bakteri tertentu memiliki
karakteristik yang mendukung pembentukan infeksi. Misalnya, bakteri Escherichia coli
memiliki P fimbriae yang memfasilitasi lapisan uroepithelial, bahkan di hadapan aliran
urin yang memadai. Pada anak-anak dengan kelainan ginjal, yang mungkin memiliki
aliran urin abnormal, sisa urin setelah berkemih, atau keduanya, bakteri

dapat

menyebabkan infeksi.
Ketika bakteri menyerang ginjal, peradangan lokal berkembang, memicu sistem
kekebalan tubuh bawaan melalui beberapa jalur. Hal ini juga diakui bahwa sinyal pulsa
seperti reseptor setelah pengakuan bakteri memulai respon imun yang melibatkan faktor
nuklir kB dan produksi sitokin dan kemokin. Jika infeksi parenkim ginjal terbatas dalam
cakupan dan durasi, pemulihan penuh dapat terjadi. Namun, peradangan berlanjut dapat
menyebabkan jaringan parut, meskipun faktor-faktor predisposisi tidak dipahami dengan
baik (Montini, 2011).
Pada periode neonatus, bakteri mencapai saluran kemih melalui aliran darah atau
uretra, yang selanjutnya bakteri naik ke saluran kemih dari bawah. Perbedaan individu

dalam kerentanannya terhadap infeksi saluran kemih dapat diterangkan oleh adanya faktorfaktor hospes seperti produksi antibodi uretra dan servikal (IgA), dan faktor-faktor lain
yang mempengaruhi perlekatan bakteri pada epitel introitus dan uretra. Beberapa diantara
faktorfaktor ini, seperti fenotip golongan darah P, ditentukan secara genetik. Imunosupresi,
diabetes, obstruksi saluran kemih, dan penyakit granulomatosa kronis adalah faktor lain
yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Bila organisme dapat masuk ke
dalam kandung kemih, beratnya infeksi dapat menggambarkan beratnya virulensi bakteri
dan faktor anatomik seperti refluks vesikouretra, obstruksi, stasis urin, dan adanya kalkuli.
Dengan adanya stasis urin, kesempatan untuk berkembang biak bakteri meningkat, karena
urin merupakan medium biakan yang sangat baik. Lebih-lebih lagi, pembesaran kandung
kemih yang sangat akan mengurangi aliran darah ke dinding kandung kemih dan dapat
menurunkan resistensi alami kandung kemih terhadap infeksi (Behrman, 2000).
2.5.1 Patogenesis E.coli pada ISK
Langkah pertama yang penting dalam patogenesis ISK yang asending
tersebut adalah adanya kolonisasi E coli uropatogenik disekitar periuretra.
Dengan adhesin khusus mereka dapat berkolonisasi di vesika urinaria. Adhesin
yang paling berhubungan dengan uropathogenik E.coli adalah P-fimbria (atau
pyelorephritisassociated pili (PAP). Yang unik adalah kemampuan P-fimbriae
untuk berikatan khusus dengan antigen kelompok darah P yang mengandung
residu D-galactose-Dgalactose. Fimbriae berikatan tidak hanya pada sel darah
merah, tapi juga pada disakarida galaktose spesifik yang ditemukan pada sel
uroepitel permukaan pada hampir 99% populasi.
Frekuensi distribusi reseptor sel host ini berperan dalam kemampuannya
dan menjelaskan mengapa beberapa individu mendapat ISK berulang oleh E.coli.
dimana ISK E.coli tanpa komplikasi tidak pernah timbul pada individu yang tidak
punya atau kekurangan reseptor. Strain uropatogen E. coli bertambah virulensinya
dengan adanya P-fimbriae. E.coli dengan P-fimbriae juga mengandung gen
fimbriae tipe I, dan terbukti bahwa ada P-fimbriae berasal dari gen fimbriae tipe
I, dengan menambahkan protein tambahan untuk mengganti ikatan mannose
fimbria tipe I. Dalam tiap kasus, fimbria tipe I dapat membantu mekanisme
suplementasi adherens atau berperan dalam agregasi bakteri menjadi glikoprotein
manosit spesifik yang muncul dalam urin.
Strain uropathogen E.coli juga menghasilkan siderophores yang mungkin
berperan besar dalam mendapatkan besi untuk bakteri selama atau sesudah
kolonisasi. Mereka juga menghasilkan hemolisin yang sitotoksik melalui formasi

pori-pori transmembran dalam sel host. Satu strategi untuk mendapat besi dan
nutrien lain untuk pertumbuhan bakteri berperan dalam lisis sel host untuk
melepaskan substansi ini. Aktivitas hemolisin tidak terbatas pada sel-sel darah
merah karna adanya -hemolisins E.coli, juga limfosit pelisis, dan hemolisin
yang menghambat fagositosis dan kemotaksis neutrofil.
Faktor lain yang terlibat dalam patogenitas strain uropatogen E.coli adalah
resistensinya terhadap efek bakterisidal tergantung-komplemen dalam serum.
Adanya antigen K dihubungkan dengan ISK atas, dan antibodi terhadap antigen K
telah menyatakan berapa derajat proteksi terhadap infeksi yang lalu. Antigen K
E.coli adalah antigen capsular yang mungkin mengandung organella
proteinaseus yang dihubungkan dengan kolonisasi misalnya antigen CFA atau
membuat polisakarida. Berdasarkan struktur kimianya, kapsul ini mungkin dapat
untuk mempromosikan virulensi bakteri dengan menurunkan kemampuan
antibodi dan atau komplemen untuk berikatan dengan permukaan bakteri, dan
kemampuan fagosit untuk mengenali dan menelan sel bakteri. Penelitian terbaik
antigen K; K-1 adalah kandungan polimer asam neuraminik N-asetil (asam
sialic), yang selain menjadi antifagosit, mempunyai kemampuan tambahan
menjadi antigen penyamar. Adhesin pada E.coli ini bereaksi dengan sel uroepitel
melalui reseptor glikolipid dengan disakarida galaktosa 1-4 galactosa . Pili
seperti ini disebut gal-gal pili atau P-fimbriae yang dianggap sebagai faktor
virulensi bakteri. Penderita yang terinfeksi E coli yang melekat pada sel
uroepitelial (adhering E coli) akan menunjukakn gejala inflamasi sistemik
(leukosituria, C-reactive protein meningkat, laju endap darah meningkat).
Stasis urin karena adanya residu urin dan uropati obstruktif, merupakan
faktor lain yang mempermudah bakteri tinggal lebih lama dan berproliferasi.
Mekanisme pertahanan tubuh, antara lain mekanisme pertahanan saluran kemih,
antiadherens.

Mekanisme

pertahanan

saluran

kemih

yaitu

kemampuan

mengeliminasi bakteri dengan pengosongan saluran kemih dan pemusnahannya


oleh sel epithel.
Telah diketahui bahwa bakteri yang masuk kedalam tubuh akan
difagositosis oleh leukosit polimorfonuklear dan makrofag, tetapi bila bakteri
tersebut membangkitkan respon imun atau mengaktifasi sitem komplemen,bakteri
tersebut akan dibalut dengan antibodi (antibody coated bacteria) atau protein
komplemen. Dalam mekanisme pathogenesis ISK masih banyak yang belum
jelas, misalnya mengapa bakteri sendiri dapat merubah surface characteristic-nya

sesuai dengan kondisi sekitarnya. Bakteri patogen maupun non patogen di daerah
tubuh lainnya (kolon, mulut, kulit) bila berkembang biak di parenkim ginjal akan
menghasilkan amonia yang dapat menghalangi pertahanan tubuh normal yaitu
dengan menghalangi sistem komplemen dan dapat menghalangi migrasi leukosit
polimorfonuklear dan fagositosis karena amonia meningkatkan hipertonisitas
medula.
Hubungan khusus antara ureter pada vesika urinaria membantu
pencegahan urin kembali ke ginjal, dan aliran urin melalui uretra membantu
pembersihan bakteri
a. Faktor pejamu yang berhubungan dengan pencegahan perlekatan bakteri ke
b.
c.
d.
e.
f.
g.

uroepitel: Mekanisme pencucian karena aliran urin ataupun pembilasan.


Tamm-Horsfall protein.
Interferensi bakteri oleh endogenous periurethral flora.
Urinary oligosacharides.
Eksfoliasi spontan dari sel uroepitel.
Urinary immunoglobulins
Mukopolisakarida yang melapisi dinding kandung kemih.
Maka bila tidak ditemukan adanya defek anatomi saluran kemih, dianggap

penyebab risiko ISK adalah faktor pejamu (Natalia, 2006).

2.6 Patwey
Bakteri (penyebab
paling sering)

Invasi ostium uretra


externum

Kolonisasi pada saluran kemih


(Vesika, urinarisa, dan ureter)

Inflamasi
Terjadi reaksi imun

Mengeluarkan zat
pirogen endogen
dihipotalamus anterior

Implus intatif ke otak

Stimulus serabut saraf


kereseptor nyeri untuk
mengeluarkan brakidin dan
serotin

Nyeri dipersepsikan
Nyeri akut

Reseptor dalam vesika


urinasia terangsang

Impuls ke otak
untuk miksi

Meningkatkan
suhu tubuh

Hipertermi

Peningkatan frekuensi
BAK (sering
eliminasi)

Peningkatan frekuensi
BAK (sering eliminasi)

Perubahan pola
eliminasi urine

2.7 Manifestasi Klinis ISK pada Anak


Ada 3 bentuk dasar ISK yaitu pielonefritis, sistitis dan bakteriuria asimptomatik.
Gambaran ISK pada bayi tidak spesifik, sehingga kecurigaan besar ISK perlu dicurigai
pada bayi /anak dengan demam tak jelas dalam 3 hari. Gejala klinik ISK pada anak
tergantung kepada berat ringannya reaksi radang yang ditimbulkan, letak infeksi, dan
umur penderita. Bayi dan anak kecil dapat mengalami demam berulang-ulang, diare,
muntah, nyeri abdomen, dan berat badan tidak naik. Pada anak yang lebih tua dapat
dijumpai gejala klasik misalnya rasa terbakar, polakisuria, nyeri perut bawah, bau urin
menyengat, dan onset ngompol terakhir, disuria, urgensi, dan sakit pinggang.
Bakteri menyebabkan respon inflamasi saluran kemih, dengan gambaran
klinisnya bervariasi. Penderita dengan pielonefritis akut menyebabkan inflamasi di ginjal
dengan respon inflamasi secara umum misalnya demam, C-reaktif protein, leukositosis.
Penderita sistitis akut sering mengalami reaksi inflamasi terbatas pada saluran kemih
bawah. Penderita asimptomatik bakteriuria (ABU) terjadi inflamasi lokal saluran kemih
tetapi tidak cukup memadai untuk menimbulkan gejala klinis. Anak perempuan yang
menderita sistitis dapat mengalami kencing yang sering namun volume kecil, dapat
terjadi tumpah, demam tinggi dan menggigil, bila suhu > 38,5C perlu dicurigai
keterlibatan saluran kemih bagian atas. Gejala lain yaitu terjadinya hematuria dapat

terjadi pada 1/3 kasus, inkontinensia, nokturia. Di samping itu pada demam yang tidak
jelas penyebabnya wajib dicari kemungkinan adanya ISK (Ramayati, 2002).
2.7.1 Pyelonephritis
Gejala klinis pyelonephritis adalah salah satu atau dari semua gejala
berikut: nyeri perut, punggung, atau flank pain; demam; malaise; mual; muntah;
dan kadang diare. Demam saja mungkin sudah merupakan suatu gejala. Pada
bayi, dapat menunjukkan gejala yang tidak spesifik seperti sulit makan/minum,
mudah menangis, jaundice, dan weight loss. Pielonefritis merupakan infeksi
bakteri serius yang sering terjadi pada infants (<24 bulan yang memiliki gejala
demam). Gejala-gejala tersebut menunjukkan terdapatnya bakteri pada saluran
kemih bagian atas. Keterlibatan jaringan parenkim ginjal disebut pielonefritis
akut. Pielonefritis akut dapat menyebabkan kerusakan ginjal, yang disebut
pyelonephritic scarring.
2.7.2

Cystitis
Cystitis menunjukkan adanya kelainan pada kandung kemih; gejalanya
berupa disuria, urgency, frequency, nyeri suprapubis, inkontinensia, dan
malodorous urine. Cystitis tidak menimbulkan demam dan tidak menyebabkan
kerusakan ginjal. Malodorous urine tidak spesifik untuk ISK.
Acute hemorrhagic cystitis sering disebabkan oleh E. coli; juga dapat
disebabkan oleh adenovirus tipe 11 dan 21. Laki-laki lebih sering terkena
adenovirus cystitis; yang merupakan self-limiting disease, dengan hematuria
selama kurang lebih 4 hari.
Eusinophilic cystitis merupakan bentuk langka dari cystitis yang
ditemukan pada anak-anak. Gejalanya sama dengan cystitis, disertai dengan
hematuria, dilatasi uretra biasanya disertai hidronefrosis, dan filling defect di bulibuli karena massa yang nampak seccara histologi dan infiltrat inflamasi dengan
eosinofil. Anak-anak degan eusinophilic cystitis dapat terpapar oleh alergen.
Biopsi

buli

diperlukan

untuk

menyingkirkan

kemungkinan

keganasan.

Penatalaksanaannya bisa dengan antihistamin dan NSAID, tetapi pada beberapa


kasus dibutuhkan dimethyl sulfoxide instillation intravesikal.
Interstitial cystitis ditandai dengan irritative voiding symptoms seperti
urgency, frequency, dan disuria, nyeri buli-buli dan pelvis yang menjadi ringan
karena berkemih dengan kultur kuman negatif. Kelainan ini lebih sering
mengenai remaja perempuan dan idiopatik. Diagnosis ditegakkan dengan cara

observasi cystoscopic dari mukosa yang mengalami ulserasi dengan distensi bulibuli. Penatalaksanaan meliputi hipodistensi buli-buli dan laser ablation pada area
yang mengalami ulserasi, tetapi tidak ada treatment yang akan menahan nyeri.
2.7.3

Bakteriuria Asimtomatik
Asymptomatic bacteriuria adalah suatu kondisi dimana kultur urin positif
tanpa adanya manifestasi dari infeksi. Paling sering terjadi pada perempuan,
dengan insiden <1% pada preschool dan usia sekolah, dan jarang pada laki-laki.
Insidennya berkurang seiring bertambahnya usia. Kondisi ini tidak berbahaya,
tidak menimbulkan kerusakan ginjal, kecuali pada wanita dan bila lama tidak
ditangani, dapat menimbulkan gejala (Kliegman, 2011).
Bakteriuria asimtomatik ini sering terjadi; pada kebanyakan kasus, bisa
sudah terdapat gejala yang memberi kesan adanya infeksi saluran kemih atau
diduga akan ada gejala-gejala tersebut. Manifestasi klinis seringkali gagal
menunjukkan secara jelas apakah infeksi terbatas pada kandung kemih atau telah
melibatkan ginjal. Pada bayi, biasanya terjadi demam, berat badan menurun, tidak
dapat tumbuh dengan baik, nausea, muntah, diare dan ikterus. Pada anak dengan
demam

tanpa

diketahui

sebabnya,

biakan

urin

harus

diambil

untuk

mengesampingkan infeksi saluran kemih. Dalam suatu penelitian pada bayi-bayi


di ruang gawat darurat dengan suhu >38,3C , tetapi tanpa suatu penyebab
demam yang jelas. 7,5% menderita infeksi saluran kemih. Proporsi ini lebih
tinggi pada wanita dan berkulit putih, dan naik hingga 17% pada wanita kulit
putih dengan suhu >39C. Biakan urin harus diambil pada bayi yang demam.
Kelak pada masa kanak-kanak sering berkemih, sakit selama berkemih,
inkontinensia urin yang berkaitan dengan urgensi, mengompol pada anak yang
semula sudah tidak lagi, sakit perut, dan urin berbau busuk merupakan gejala
yang sering terjadi (Behrman, 2000).
2.8 Komplikasi ISK pada Anak
2.8.1 Dampak Jangka Panjang
ISK menyebabkan morbiditas yang bermakna dan penderitaan untuk anak,
kekhawatiran orang tua dan pemakaian obat-obatan. Meskipun sebagian besar
anak dengan ISK prognosisnya baik, namun terdapat risiko terjadinya komplikasi
yang serius pada sebagian diantaranya, khususnya pada penderita dengan
kelainan dilatasi refluks vesikoureteral. Proses parut ginjal setelah pielonefritis
akut dapat terjadi 1-2 tahun pada 10-15% kasus. Laporan penelitian di Prancis,

pielonefritis dengan refluks berkontribusi sekitar 12% terjadinya gagal ginjal


kronik. Studi di Australia dan Inggris menunjukkan risiko terjadinya hipertensi
akibat ISK 10%.
2.9 Pemeriksaan Penunjang
2.9.1

Pengumpulan spesimen
Spesimen untuk kultur urin harus diambil hati-hati guna mencegah
kontaminasi flora periuretra. Spesimen urin pancaran tengah paling luas dipakai.
Kontaminasi dengan flora periuretra dan prepusial dapat diminimalisasi dengan
mencuci genitalia dengan air dan sabun. Pencucian dengan antiseptik dan retraksi
prepusium ditekan tidak disarankan. Spesimen harus dikumpulkan langsung
dalam tabung/botol steril. Persiapan spesimen urin dalam 1 jam pengumpulan
adalah penting. Jika terlambat dapat diantipasi dengan menyimpan sampel dalam
pendingin pada suhu 4 C dalam >24 jam,
Kultur urin harus diulang jika dicurigai ada kontaminasi, misal:
pertumbuhan campuran >2 patogen, atau tumbuhnya organisme yang normal
flora periuretra (lactobacillus pada anak perempuan sehat dan enterococcus pada
bayi dan balita). Kultur juga diulang dalam situasi dimana ISK diduga kuat tapi
jumlah koloni kurang.
Pada rekomendasi KONIKA VIII 2005, telah ditetapkan bahwa
pengambilan sampel terbaik untuk anak usia 2 bulan sampai 2 tahun adalah
dengan kateter. Tabel Interpretasi Kultur Urin
Cara pengumpulan
-Aspirasi

Jumlah koloni
pathogen saluran kemih

suprapubik
berapapun
- Kateterisasi uretra
> 50x10 3 CFU/ml
- Midsteam urin
> 10 5 CFU/ml
CFU = Colony Forming Units

Probabilitas infeksi ( % )
99
95
90 95

Namun dikatakan juga pada literatur lain bahwa pada anak yang telah di
toilet training, sampel midstream urin hasilnya cukup memuaskan. Jika urinalisa
(+), gejala klinis pada pasien (+), dan didapati kultur urin tunggal >100.000 =
ISK, Namun bila ada dari kriteria ini yang tidak terpenuhi dianjurkan kultur ulang
dengan kateter urin (Natalia, 2006).
2.9.2

Pemeriksaan Pencitraan

Selama demam akut infeksi, pemeriksaan ultrasonografi ginjal harus


dilakukan untuk menyingkirkan hidronefrosis dan abses ginjal atau perirenal;
indikasi lain untuk pemeriksaan ini adalah bila respons pengobatan antibiotika tidak
cepat, bila anak sakit berat dan toksik, dan bila kadar kreatinin serum meningkat.
Ultrasonografi ginjal juga sangat sensitif untuk mendeteksi pielonefrosis, suatu
kondisi yang mungkin memerlukan drainase sistem kolektivus segera dengan
nefrostomi perkutan.
Bila diagnosis pielonefritis akut tidak pasti, pencitraan ginjal dengan asam
2,3 dimerkaptosuksinat yang dilabel dengan teknetium (technetium labled 2,3
dimercaptosuccinid acid [DMSA]) atau glukoheptanat adalah bermanfaat. Adanya
gangguan pengisian parenkim pada pencitraan ginjal, mendukung diagnosis
pielonefritis, tetapi tidak dapat membedakan proses akut dari proses kronis.
Penggunaan rutin DMSA selama episode akut pada anak dengan manifestasi
klinis pielonefritis dan biakan urin positif tidak perlu. Tomografi terkomputasi (CT)
merupakan uji diagnostik definitif untuk pielonefritis akut. Namun demikian, CT
jarang diperlukan untuk menetapkan diagnosis (Behrman 2000).
2.10

Penatalaksanaan ISK pada Anak


Prinsip pengobatan ISK pada anak adalah memberantas bakteri penyebab,
menghilangkan gejala-gejala yang ditimbulkan, serta mencegah terjadinya kerusakan
ginjal sedini mungkin. Pemberian antibiotik pada ISK sebaiknya disesuaikan dengan
hasil biakan kemih, tetapi hal ini tidak selalu dapat dilakukan sebab pengobatan ISK
harus segera diberikan sambil menunggu hasil biakan kemih. Antibiotik diberikan
sekurang-kurangnya 7-10 hari meskipun dalam waktu 48 jam biasanya telah terlihat
respon klinik dan biakan kemih telah steril. Dan akhir-akhir ini dilaporkan semakin
banyak jenis bakteri penyebab ISK yang resisten terhadap antibiotik tertentu (Ramayati,
2002).
Terapi harus dimulai setelah mengambil kultur urin. Umur pasien, derajat
toksisitas, derajat hidrasi, kemampuan untuk dan kecenderungan pemenuhan dengan
medikasi membantu dalam memutuskan antara terapi rawat jalan dan rawat inap. Sekali
anak menunjukkan perbaikan klinis, dengan turunnya febris dan toksisitas, antibiotik
mungkin diberikan secara oral.
Medikasi oral yang dipakai untuk anak >3 bulan dengan ISK sederhana adalah
Amoxicillin, kotrimoxazol dan cefalosporin. Quinolone harus dihindari pada medikasi
1st line; dapat dipakai sesuai dengan hasil sensitivitas urin.

2.10.1 Lama Terapi


Lama terapi biasanya 10-14 hari untuk bayi dan anak dengan ISK
kompleks dan 7-10 hari untuk infeksi sederhana. Regimen terapi jangka pendek
tidak direkomendasikan pada anak. Setelah terapi ISK, terapi antibiotik
profilaksis dimulai, pada anak < 2 tahun s/d pencitraan yang sesuai untuk saluran
kemih dilengkapi.
2.10.2 Terapi Suportif
Selama episode ISK akut, penting untuk menjaga hidrasi yang adekuat. Ini
mungkin membutuhkan perhatian khusus dalam seorang anak sakit, anak febris
dengan asupan oral kurang. Asupan cairan bebas akan mendorong dan membantu
untuk mengurangi disuria. Alkalinisasi urin tidak diperlukan. Antipiretik dipakai
untuk menghilangkan demam (Natalia, 2006).
2.10.3 Pengobatan ISK
Sistitis akut harus ditangani dengan cepat karena dapat menyebabkan
pielonefritis. Jika gejalanya berat, dapat diterapi dengan trimethoprimsulfamethoxazole 3-5 hari dengan dosis 5-7 mg/kg/24jam dibagi 3-4 kali sehari,
sambil menunggu hasil kultur. Jika gejala sedang sampai ringan, pengobatan
dapat ditunda sampai hasil kultur ada. Amoxicillin (50mg/kg/24jam) juga efektif
untuk terapi utama.
Pada pielonefritis dengan demam, dapat diberikan antibiotik spektrum
luas selama 10-14 hari. Anak-anak yang mengalami dehidrasi, muntah, dan tidak
dapat menerima cairan harus dipasang infus dan IV antibioik. Penatalaksanaan
parenteral dengan ceftriaxone (50-75 mg/kg/24jam, tidak boleh dari 2 gram) atau
cefotaxime (100 mg/kg/24jam) atau ampisilin (100 mg/kg/24jam) dengan
aminoglikosida seperti gentamisin (3 mg/kg/24jam dalam dosis yang terbagi 3)
(Kliegman,2011).
Ototoksisitas

dan

nefrotoksisitas

akibat

aminoglikosida

perlu

dipertimbangkan, dan kadar kreatinin serum harus diketahui sebelum memulai


pengobatan, demikian pula tiap hari sesudahnya selama pengobatan berlangsung.
Pengobatan dengan aminoglikosida terutama efektif terhadap Pseudomonas, dan
alkalinisasi urin dengan natrium bikarbonat meningkatkan keefektifannya dalam
saluran kemih. Kombinasi trimethoprim dan sulfamethoxazole (Cotrim, Bactrim,
Septra), baik secara oral maupun intravena, efektif terhadap beberapa organisme
Gram negatif selain Pseudomonas dan oleh beberapa penulis dianggap sebagai

pengobatan pilihan untuk terapi oral. Dosis per oral adalah 20 mg/kg/24jam untuk
sulfamethoxazole dan 4 mg/kg/24jam untuk trimethoprim, yang diberikan dalam
dosis terbagi dua.
Biakan urin sebaiknya diambil satu minggu setelah selesai pengobatan
setiap infeksi saluran kemih untuk meyakinkan bahwa urin tetap steril. Karena
ada kecenderungan kambuhnya infeksi saluran kemih walaupun tanpa adanya
faktor predisposisi anatomik, maka biakan urin lanjutan harus diambil pada
selang waktu 3 bulan selama 1 2 tahun, meskipun anak tidak menunjukkan
gejala. Bila kekambuhan sering terjadi, profilaksis terhadap reinfeksi, baik
menggunakan kombinasi trimethoprim-sulfamethoxazole atau nitrofurantoin
dengan dosis sepertiga dosis terapeutik sekali sehari, seringkali efektif. Namun
demikian, adalah penting untuk memperoleh biakan urin secara periodik bila anak
mendapat pengobatan profilaksis jangka panjang, untuk mengesampingkan
infeksi asimtomatik yang disebabkan oleh organisme yang resisten. Profilaksis
antibakteri juga terindikasi selama refluks vesikoureter yang menetap, atau bila
sistitis yang kambuh menimbulkan gejala-gejala seperti inkontinensia, sering
berkemih, dan urgensi, yang terjadi terus-menerus akibat reinfeksi yang sering.
Karena kemungkinan penemuan refluks vesikoureter adalah 25% dan
kemungkinan kambuhnya infeksi sekitar 50%, adalah wajar untuk meneruskan
profilaksis antibakteri dengan kombinasi trimethoprim-sulfamethoxazole dosis
rendah atau nitrofurantoin sampai selesainya evaluasi radiologik. Penggunaan
setiap agen kemoterapeutik jangka panjang sebaiknya disertai pengawasan
terhadap toksisitas (anemia, leukopenia, dan lain-lain). Antibiotika spektrum-luas
biasanya tidak efektif untuk profilaksis, karena bakteri kolon yang menyebabkan
reinfeksi dengan cepat menjadi resisten terhadap agen-agen tersebut (Behrman,
2000).
2.10.4 Pencegahan ISK dengan Toilet training
Tahun 1950 sampai dengan tahun 1960 merupakan titik awal para ahli
anak mulai mengenali dan meneliti ISK sebagai penyebab penting penyakit akut
pada anak dan bahkan dari pemeriksaan radiologi kemudian diketahui beberapa
anak menunjukkan adanya skar renal pada anak dengan ISK recurrent dan diduga
sebagian besar berhubungan dengan vesico-ureteric reflux.Sebenarnya sejak akhir
tahun 1950, jadi hampir setua ditemukannya ISK, sudah ada trend untuk
menuntun anak melakukan toilet-training mereka sendiri. Dimana perubahan usia

onset dan tingkat keberhasilannya terjadi bersamaan dengan meningkatnya peran


penggunaan pembersih otomatis/ diaper disposibel.
Toilet training adalah latihan bowel dan bladder yang diberikan pada anak
perempuan mulai usia 18 bulan (atau lebih cepat) sampai usia 3 tahun (atau 5
tahun pada yang termasuk delayed toilet training), yang bertujuan melatih anak
buang air besar dan buang air kecil yang baik dan bersih, seperti cara membilas
(cebok dari depan ke belakang), dan secara luas termasuk kontrol bowel dan
badder yang baik. Tindakan pencegahan ini dianjurkan untuk mencegah ISK
berulang.
Para orangtua umumnya ingin secepatnya melatih anak mereka untuk
latihan toilet. Biasanya anak akan siap pada saat usia 18 sampai 24 bulan. Ketika
anak siap untuk latihan toilet (ketika anak tertarik) pelatihan akan berjalan dengan
lancar. Hampir semua anak kelihatan tidak nyaman dan mersa kotor jika celana
atau popoknya basah.Sehingga saat akan buang air besar atau buang air kecil
(karena merasa mereka akan kotor), mereka suka untuk menahannya, hal ini akan
menimbulkan konstipasi dan residu urin yang merupakan risiko ISK. Buang air
besar (bowell) kemudian lanjutkan latihan buang air kecil (bladder). Latihan
toilet/kamar kecil akan memakan waktu 3 bulan. Terdiri dari latihan. Kebanyakan
anak-anak tetap basah pada malam hari setelah mereka belajar untuk
menggunakan kamar kecil. Kesabaran sangat penting dan pujian diberikan pada
anak jika berhasil, yakni bila anak telah mampu untuk membuang air besar dan
kencingnya ke kamar kecil.
Langkah selanjutnya menyuruh dia membersihkan dirinya. Pembersihan
dapat dilakukan dari depan ke belakang (cebok dari belakang ke depan, mungkin
dapat meningkatkan untuk mendapatkan infeksi saluran kemih). Bantuan pada
anak saat belajar untuk menyiram kamar kecil dan mencuci dan mengeringkan
tangan baik untuk dilakukan. Kebanyakan anak-anak ketika diijinkan untuk
mengambil inisiatif sendiri, biasanya dapat belajar latihan toilet dengan cepat.
Jika seorang anak menolak untuk dilatih, biasanya alasannya adalah karena dia
belum siap.
Belajar untuk menggunakan toilet adalah peristiwa besar dalam kehidupan
anak kecil sebagai tanda pertumbuhan yang pasti. Kebanyakan anak kecil ingin
belajar

tentang

keberhasilannya.

bagaimana

menggunakan

toilet

dan

bangga

akan

Pengajaran toilet akan lebih mudah ketika anak-anak siap secara fisik dan
mental, yaitu antara umur 2 atau 3 tahun. Anak perempuan biasanya sudah
mengontrol

bowell

dan

otot

kandung

kemih

sebelum

anak

laki-laki

melakukannya. Rata-rata, kebanyakan anak perempuan dilatih dengan jambangan


pada usia 2,5 tahun dan kebanyakan anak laki-laki pada usia 3 tahun. Anak dapat
tidak mengikuti pola seluruhnya asal mendekati sudah baik, sebab masing-masing
kematangan anak berbeda secara fisik. Kunci sukses adalah sabar dan waktu
(Natalia, 2006).

BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian Keperawatan
a. Keluhan Utama
Klien datang ke rumah sakit bersama orang tua dengan keluhan demam dan rasa nyeri
di abdomen.
b. Pengkajian Kesehatan
1. Aktivitas/Istirahat
Gejala
: Keletihan, kelemahan, malaise
Tanda
: Kelemahan otot, kehilangan tonus
2. Eliminasi
Gejala
:
- Perubahan pola berkemih biasanya peningkatan frekwensi,
- Poliuria, atau penurunan frekwensi/oliguria
- Disuria, ragu-ragu, dan retensi
- Abdomen kembung
Tanda
: Perubahan warna urin (contoh kuning pekat)
3. Makanan/Cairan
Gejala
: Peningkatan berat badan (edema), penurunan berat badan, (dehidrasi)
Tanda
: Edema bagian pelvis
4. Neurosensori
Gejala
:
- Sakit kepala
- Keram otot/kejang
Tanda
: Gangguan status mental contoh ketidakmampuan berkonsentrasi.
5. Nyeri/Kenyamanan
Gejala
: Nyeri, sakit kepala
Tanda
: Gelisah
6. Pernapasan
Gejala
: Napas pendek
Tanda
: Dispnea
3.2 Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan adanya penekanan ujung-unjung syaraf.
b. Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan polakisuria.
c. Hipertermi berhubungan dengan reaksi peningkatan panas tubuh.
3.3 Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan adanya penekanan ujung-unjung syaraf
Tujuan : Menyatakan/ menunjukkan nyeri hilang.
Intervensi :
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10).
- Rasional : Membantu evaluasi derajat ketidaknyamanan atau menyatakan
terjadinya komplikasi.
2) Kaji adanya kebutuhan klien untuk mengurangi nyeri

Rasional : Dengn terpenuhinya kebutuhan pasien untuk memini malkan gerak

yang menyebabkan nyeri.


3) Dorong pasien menyatakan masalah, mendengar dengan aktif pada masalah ini
dan berikan dukungan dengan menerima, tinggal dengan pasien dan memberikan
informasi yang tepat.
- Rasional : Penurunan ansietas/ takut meningkatkan relaksasi/ kenyamanan.
4) Anjurkan teknik relaksasi.
- Rasional : Merupakan metode yang dapat mengurangi stimulus.
5) Berikan obat analgetik secara teratur sesuai advis dokter.
- Rasional : Mencegah timbulnya nyeri yang berulang.
b. Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan polakisuria.
Tujuan : Menunjukkan aliran urine terus menerus, dengan haluaran urine adekuat
untuk situasi individu.
Intervensi :
1) Catat keluaran urin, selidikit penurunan/ penghentian aliran urine tiba-tiba.
- Rasional : Penurunan aliran urine tiba-tiba dapat mengindikasikan obstruksi/
disfungsi (contoh hambatan oleh edema atau mucus) atau dehidrasi.
2) Dorong peningkatan cairan dan pertahanan pemasukan akurat.
- Rasional : Mempertahankan hidrasi dan aliran urine balik
3) Berikan cairan IV sesuai indikasi
- Rasional
: Membantu mempertahankan hidrasi/ sirkulasi volume adekuat
dan aliran urine
4) Palpasi kandung kemih tiap 4 jam.
- Rasional : Untuk mengetahui terjadinya distensi pada kandung kemih.
5) Kolaborasi dengan medis untuk pemberian antibiotika sesuai dosis.
- Rasional : Antibiotika merupakan sediaan obat untuk membunuh kuman
penyebab penyakit.
c. Hipertermi berhubungan dengan reaksi peningkatan panas tubuh.
Tujuan : Meningkatkan waktu penyembuhan dengan tepat, dan tidak demam
Intervensi :
1) Beri kompres hangat
- Rasional : Kompres air hangat dapat menimbulkan vasodilatasi untuk
mempercepat proses penguapan.
2) Beri minum banyak (sesuai toleransi
- Rasional : Dengan memberi minum banyak membantu terjadinya evaporasi
3) Observasi vital sign : Suhu badan, nadi, respirasi.
- Rasional : Tanda-tanda vital merefleksikan perubahan klinis pada tubuh
manusia dan sebagai patokan untuk memonitor status kesehatan.
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antipiretik
- Rasional : Antipiretik digunakan untuk mengurangi panas dengan aksi
sentralnya dihipotalamus.

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sebelum usia 1 tahun, ISK lebih banyak terjadi pada anak laki-laki. Secara
anatomi, anak perempuan memiliki risiko infeksi lebih besar daripada anak laki-laki,
karena uretra lebih pendek, sehingga bakteri lebih mudah mencapai kandung kemih.
Bakteri penyebab ISK terbanyak (48,9%) adalah

Escherichia

coli. Frekuensi ISK

nosokomial pada penderita yang di rawat inap di rumah sakit berpotensi menyebabkan
infeksi bila dikateterisasi selama >30 hari. Penjalaran secara hematogen paling sering
terjadi pada neonatus, sedangkan pada anak paling sering terjadi secara asenderen. Tiga
bentuk dasar ISK yaitu pielonefritis, sistitis dan bakteriuria asimtomatik. Diagnosa ISK
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan biakan urin, dari spesimen urin yang dikumpulkan
segera karena merupakan gold standard.
Pengobatan dengan antibiotika diberikan sekurang-kurangnya 7-10 hari meskipun
dalam waktu 48 jam biasanya telah terlihat respon klinik dan biakan kemih telah steril.
Lama terapi biasanya 10-14 hari untuk bayi dan anak dengan ISK kompleks dan 7-10
hari untuk infeksi sederhana. Bila kekambuhan sering terjadi, profilaksis terhadap
reinfeksi

menggunakan

kombinasi

trimethoprim-sulfamethoxazole

dengan

dosis

sepertiga dosis terapeutik sekali sehari. Sebagai pencegahan ISK berulang. anak dapat
dilatih untuk Toilet training. Prognosis jangka panjang ISK biasanya baik, ini bila anak
segera diobati dengan adekuat setelah diagnosisnya ditegakkan.
4.2 Saran

Telah kita ketahui bahwa ISK merupakan infeksi yang serius dan penting pada
anak dan angka kejadiannya mencapai puncak selama masa bayi dan periode toilet
training. Saran untuk ini, yaitu anak dianjurkan untuk diberi latihan toilet training untuk
mencegah munculnya ISK berulang. Ini merupakan latihan bowel dan bladder yang
diberikan pada anak perempuan mulai usia 18 bulan hingga usia 3 tahun (atau 5 tahun
pada yang termasuk delayed toilet training), yang bertujuan melatih anak buang air besar
dan buang air kecil yang baik dan bersih, seperti cara membilas (cebok dari depan ke
belakang), dan secara luas termasuk kontrol bowel dan badder yang baik.
Perlu kita perhatikan juga pada pasien anak yang jangka panjang dikateterisasi
(lebih dari 30 hari), sebab saluran kencing dapat terinfeksi jika spesimen urin yang
diperoleh secara langsung dari kateter dihasilkan kadar pembentuk koloni 100 unit atau
lebih. Kita perlu mencurigai ISK bila anak/bayi mengalami demam yang tak jelas selama
3 hari karena gambaran ISK pada bayi ini tidak spesifik. Serta, demam yang tidak jelas
penyebabnya wajib kita mencari kemungkinan adanya ISK. Pada saat anamnesa jangan
lupa untuk menanyakan riwayat kebiasaan BAB (buang air besar) dan BAK (buang air
kecil), ini dapat mengarahkan bila ada suatu obstruksi. Pengobatan dan urinalisis harus
dapat dipatuhi oleh pasien dan orangtuanya. Bila pasien segera diobati dengan tepat
setelah diagnosis ditegakkan, maka prognosis jangka panjang ISK dapat baik.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8.EGC : Jakarta
Chang, S., & Shortliffe, L. (2006). Pediatric urinary tract infections. Journal of
pediatric clinic, 53, 379-400. 26 Juni 2012. available at http://
pednephrology.stanford.edu/secure/documents/ped-UTI.pdf, accessed December 8 th
2013, 15:32 pm.
Alatas Husein. 2002. Diagnosa Dan Tatalaksana Infeksi Saluran Kemih Pada
Anak dalam Hot Topics In pediatrics II, PKB IKA XLV, Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
pp 162-179
Behrman, Kliegman, Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Edisi 15 Vol 3.
Jakarta: EGC, hal.1863-1864
Natalia S. 2006. Thesis The Influence of Toilet Training to the Incidence of
Recurrent UTI In 1-5 Year Old Girls, available at http://eprints.undip.
ac.id/18739/1/SUSI_NATALIA.pdf , accessed December 30th 2013, 22:11 pm.
Schnarr, J., & Smaill. F. (2008). Asymptomatic bacteriuria and symptomatic
urinary tract infections in pregnancy. European Journal of Clinical Investigation, 38,
50-57. 3 July 2012. available at http://www.ncbi. nlm.nih.gov/pubmed , accessed
December 9 th 2013, 21:23 pm.
Behrman, Kliegman, Arvin. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Edisi 15 Vol 2 .
Jakarta: EGC. Hal 915.
Kliegman, Robert M dkk. 2011. Nelson Textbook of Pediatrics.
USA: Elsevier (online textbook)
Miesien, Tambunan, Munasir. Profil klinis Infeksi Saluran Kemih pada Anak di
RS Dr.Cipto Mangunkusumo, Jurnal Sari Pediatri, Vol. 7, No. 4, Maret 2006: 200
206, available at http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/7-4-5.pdf , accessed January 6 th
2014, 17:22 pm.

Montini G, Hewitt I, Tullus K. 2011. Febrile Urinary Tract Infections in


Children. Available at: http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/ NEJMra1007755,
Accessed November 25th 2013, 6:17 pm

Savitha, T., Murugan, K., & Thangamariappan, K. (2011). Prevalence study on

emergence of urinary tract infection in erode, tamil nadu, india. International Journal
of Current Research, 2(1), 067-072. 10 Oktober 2012. available at
http://www.journalcra.com/?q=node/365, accessed December 9 th 2013, 23:11 pm.
Subandiyah, Krisni. 2013. Pola dan Sensitivitas Terhadap Antibiotik Bakteri
Penyebab Infeksi Saluran Kemih Anak di RSU Dr Saiful Anwar, Malang (Available at:
www.jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/download/204/198, Accessed November 25th
2013, 5:49 pm).

Anda mungkin juga menyukai