Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH FARMAKOTERAPI

INFEKSI dan TUMOR

Kelompok 3/FKK4

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Marwin
(19133939A)
Nur Faiza
(19133941A)
Dwi Apriyandasari
(19133943A)
Ari Wahyu Utomo (19133945A)
Mage Dara Hae
(19133946A)
Zahrina Fildzah
(19133951A)
Mufaricha Nurariroh
(19133953A)
Imam Asrofi
(19133954A)
Ani Wijayanti
(19133955A)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2016

BAB I PENDAHULUAN
A. Landasan Teori
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B, suatu
anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut dan menahun
yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati.
Hepatitis B bersifat serius yang tersebar di seluruh dunia, dengan penderita infeksi
kronis lebih dari 300 juta orang. Di beberapa negara, terutama di Asia Tenggara, Cina dan
Afrika, HBV terjadi endemik, dengan separuh dari penduduknya pernah terinfeksi dan lebih
dari 8% penduduknya menjadi pembawa kronis virus tersebut (Elizabeth J. Corwin, 2009:
667). Di dunia, setiap tahun sekitar 10-30 juta orang terkena penyakit Hepatitis B. Walaupun
penyakit Hepatitis B bisa menyerang setiap orang dari semua golongan umur tetapi umumnya

yang terinfeksi adalah orang pada usia produktif. Ini berarti merugikan baik bagi si penderita,
keluarga, masyarakat atau negara karena sumber daya potensial menjadi berkurang.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hepatitis B ?
2. Bagaimana patogenesis dari hepatitis B ?
3. Apa sasaran pengobatan dari hepatitis B ?
4. Apa tujuan terapi dari hepatitis B ?
5. Bagaiamana pengobatan hepatitis B ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan hepatitis B
2. Untuk mengetahui patogenesis dari hepatitis B
3. Untuk mengetahui sasaran pengobatan dari hepatitis B
4. Untuk mengetahui tujuan terapi dari hepatitis B
5. Untuk mengetahui pengobatan hepatitis B

BAB II PEMBAHASAN
I.

DASAR TEORI
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B, suatu
anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut dan menahun
yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Infeksi virus hepatitis B suatu
inversi sistemik yang menimbulkan peradangan dan nikrosis sel hati yang mengakibatkan
terjadinya serangkaian kelainan klinik, biokimiawi, imunoserologik, dan morfologi.
Struktur virus hepatitis B
Virus hepatitis B tampak dibawah mikroskop elektron sebagai partikel dua lapis
berukuran 42nm yang disebut partikel Daen. Lapisan luar virus ini terdiri atas antigen,
disingkat HbsAg. Antigen permukaan ini membungkus bagian dalam virus yang disebut
partikel inti/core. Partikel inti berukuran 27 nm dan dalam darah selalu terbungkus oleh
antigen permukaan,sedangkan antigen permukaan selain merupakan pembungkus partikel
inti, juga terdapat dalam bentuk lepas berupa partikel bulat berukuran 22 nm dan partikel
tubular yang berukuran sama dengan panjang berkisar antara 50-250 nm. Struktur virus dapat
dilihat seperti gambar dibawah ini.

a. Epidemiologi
Hepatitis B bersifat serius yang tersebar di seluruh dunia, dengan penderita infeksi
kronis lebih dari 300 juta orang. Di beberapa negara, terutama di Asia Tenggara, Cina dan
Afrika, HBV terjadi endemik, dengan separuh dari penduduknya pernah terinfeksi dan lebih
dari 8% penduduknya menjadi pembawa kronis virus tersebut (Elizabeth J. Corwin, 2009:
667). Di dunia, setiap tahun sekitar 10-30 juta orang terkena penyakit Hepatitis B. Walaupun
penyakit Hepatitis B bisa menyerang setiap orang dari semua golongan umur tetapi umumnya
yang terinfeksi adalah orang pada usia produktif. Ini berarti merugikan baik bagi si penderita,
keluarga, masyarakat atau negara karena sumber daya potensial menjadi berkurang.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), Hepatitis B endemik di China dan bagian
lain di Asia termasuk di Indonesia. Sebagian besar orang di kawasan ini bisa terinfeksi
Hepatitis B sejak usia kanak-kanak. Di sejumlah negara di Asia, 8-10 persen populasi orang
dewasa mengalami infeksi Hepatitis B kronik. Penyakit hati yang disebabkan Hepatitis B
merupakan satu dari tiga penyebab kematian dari kanker pada pria, dan penyebab utama
kanker pada perempuan. Presiden Perkumpulan Peneliti Hati Indonesia (PPHI), Prof Dr
Laurentius A Lesmana, mengungkapkan tingkat prevalensi penyakit hepatitis B di Indonesia
sebenarnya cukup tinggi. Secara keseluruhan jumlahnya mencapai 13,3 juta penderita.
Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Provinsi tahun 2003 (lampiran), di Indonesia jumlah
kasus Hepatitis B sebesar 6.654 sedangkan di Sumbar 649, berada pada urutan ke tiga setelah
DKI Jakarta dan Jatim. Dari sisi jumlah, Indonesia ada di urutan ketiga setelah Cina (123,7
juta) dan India (30-50 juta) penderita. Tingkat prevalensi di Indonesia antara 5-10%.

b. Klasifikasi
Penderita infeksi VHB kronis dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok yaitu:
Pengidap HbsAg positif dengan HbeAg positif
Pada penderita ini sering terjadi kenaikan ALT ( eksasebasi ) dan kemudian penurunan
ALT kembali (resolusi). Siklus ini terjadi berulang-ulang sampai terbentuknya anti Hbe.
Sekitar 80% khasus pengidap ini berhasil serokonfersi anti Hbe positif, 10% gagal
serokonversi namun ALT dapat normal dalam 1-2 tahun, dan 10% tetap berlanjut menjadi
hepatitis B kronik aktif.
Pengidap HbsAg positif dengan anti Hbe positif
Prognosis pada pengidap ini umumnya baik bila dapat dicapai keadaan VHB DNA
yang selalu normal. Pada penderita dengan VHB DNA yang dapat dideteksi diperlukan
perhatian khusus oleh karena mereka beresiko menderita kanker hati.
Pengidap hepatitis B yang belum terdiagnosa dengan jelas.
Kemajuan pemeriksaan yang sangat sensitif dapat mendeteksi adanya HBV DNA
pada penderita dengan HbsAg negatif, namun anti HBc positif.
c. Faktor Resiko
Risiko hepatitis B akan meningkat jika anda:

Melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berbeda-beda tanpa

menggunakan alat pengaman


Melakukan hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi hepatitis B tanpa

menggunakan alat pengaman


Memiliki penyakit seksual menular seperti gonorrhea atau Chlamydia
Berbagi jarum suntik
Satu rumah dengan seseorang yang terinfeksi virus hepatitis B
Memiliki pekerjaan yang mendekatkan anda dengan kemungkinan menyentuh

darah manusia
Menjalani hemodialysis (cuci darah)

II. PATOFISIOLOGI
a. Patogenesis
Hati merupakan target organ bagi virus hepatitis B. Hepatitis B (VHB) mula-mula
melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian mengalami penetrasi kedalam
sitoplasma sel hepar. Dalam sitoplasma VHB melepaskan mantelnya, sehingga melepaskan
nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan menembus dinding sel hati. Di dalam inti asam

nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hospes dan
berintegrasi, pada DNA tersebut. Selanjutnya DNA VHB memerintahkan sel hati untuk
membentuk protein bagi virus baru dan kemudian terjadi pembentukan virus baru. Virus ini
dilepaskan ke peredaran darah, mekanisme terjadinya kerusakan hati yang kronik disebabkan
karena respon imunorogik penderita terhadap infeksi. Apabila reaksi imunorogik tidak ada
atau minimal maka terjadi keadaan karier sehat.
Gambaran fisiologis hepatitis tipe A,B dan non A,non B adalah sama yaitu adanya
peradangan akut diseluruh bagian hati dengan nekrosis sel hati disertai infiltrasi sel-sel hati
dengan histiosit. Bila nekrosis meluas (pasif) terjadi hepatitis akut fulminan. Bila penyakit
menjadi kronik dengan peradangan dan fibrosis meluas di daerah portal dan batas antara
lobulus masih utuh, maka akan terjadi hepatitis kronik persisten. Sedangkan bila daerah
portal melebar, tidak teratur dengan nekrosis diantara daerah portal yang berdekatan dan
membentuk septa fibrosis yang meluas maka terjadi hepatitis kronik aktif.

Setelah umur rata-rata 30th, 30% dari pasien dengan hepatitis B kronis aktif akan
berkembang menjadi sirosis. Dekompensasi hati terjadi pada sekitar seperempat dari pasien
sirosis dengan hepatitis B selama periode 5th, dimana 5-10% yang lainnya akan terus
berkembang menjadi kanker hati. Tanpa pengobatan, sekitar 15% pasien dengan sirosis akan
meninggal dalam waktu 5th.
HEPATITIS B KRONIS
Hepatitits B kronis didefinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut lebih dari 6
bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan hepatitis B kronis dibagi menjadi
3 fase penting yaitu:

1. Fase imonotoleransi pada masa anak-anak atau pada dewasa muda, sistem imun
tubuh toleren terhadap VHB sehingga konsentrasi virus dalam darah tinggi, tetapi
tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Pada fase ini, VHB ada dalam fase
replikatif dengan titer HbsAg yang sangat tinggi.
2. Fase imunoaktif (fase clearance) pada sekitar 30% individu dengan persisten
dengan VHB akibat terjadinya replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses
nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi alanin amino transferase
(ALT). Pada keadaan ini pasien sudah mulai kehilangan toleransi imun terhadap
VHB.
3. Fase residual pada fase ini tubuh berusaha menghancurkan virus dan
menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari
individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel VHB
tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Pada keadaan ini titer HbsAg rendah
dengan HbeAg yang menjadi negatif dan antiHbe yang menjadi positif, serta
konsentrasi ALT normal.
b. Etiologi
Hepatitis disebabkan oleh infeksi dari HBV (Hepatitis B Virus). Beberapa faktor
predisposisi terjadinya penularan Hepatitis B adalah:
1.
2.
3.

Kontak dengan darah, sekresi dan tinja dari manusia yang terkontaminasi.
Kontak melalui hubungan intim seksual.
Penularan perinatal. (Lippincott William & Wilkins, 2008: 261)

Cara umum penularan Hepatitis B di negara berkembang adalah:


1.
2.

perinatal (dari ibu ke bayi saat kelahiran).


infeksi awal pada masa kanak-kanak (infeksi subklinis melalui kontak inter

personal dengan kelompok yang terinfeksi).


3.
penggunaan jarum suntik sembarangan.
4.
transfusi darah.
5.
hubungan seksual. (WHO, 2008)
HBV adalah suatu virus DNA untai ganda yang disebut partikel Dane. Virus ini
memiliki beberapa antigen inti dan antigen permukaan yang telah diketahui secara
rinci dan dapat diidentifikasi dari sampel darah hasil pemeriksaan lab. HBV memiliki
masa tunas yang lama, antara 1-7 bulan dengan awitan rata-rata 1-2 bulan. (Elizabeth
J. Corwin, 2009: 667)
c. Gejala

Gejala Hepatitis B mirip gejala flu. Kadang-kadang sangat ringan bahkan tida
menimbulkan gejala sama sekali. Hanya sedikit orang yang terinfeksi menunjukkan semua
gejala. Karena alasan ini banyak kasus Hepatitis B yang tidak terdiagnosis dan terobati.
Gejala utama dari Hepatitis B adalah sebagai berikut:
1. Urtikaria atau artralgia sebelum terjadinya tanda sakit kuning menunjukkan
infeksi HBV (Lippincott William & Wilkins, 2008: 260)
2. Mudah lelah
3. Demam ringan
4. Nyeri otot dan persendian
5. Mual dan muntah
6. Sakit kepala
7. Kehilangan nafsu makan
8. Nyeri perut kanan atas
9. Diare
10. Warna tinja seperti dempul (keabu-abuan)
11. Warna urine seperti teh
12. Warna kulit dan sklera mata kuning (jaundice), sering disebut penyakit kuning.
13. Penurunan berat badan 2.5 - 5 kg
d. Manifestasi Klinis
Menurut Arif Mansjoer (2001:513) manifestasi klinis merupakan suatu gejala klinis
tentang suatu penyakit yang diderita oleh pasien. Berikut adalah gejala klinis dari penyakit
hepatitis.
1. Stadium praikterik berlangsung selama 4-7 hari. Pasien mengeluh sakit kepala,
lemah, anoreksia,mual,muntah,demam,nyeri pada otot, dan nyeri diperut kanan
atas. Urin menjadi lebih coklat.
2. Stadium ikterik yang berlagsung selama 3-6 minggu. Ikterus mula-mula terlihat
pada sclera, kemudian pada kulit seluruh tubuh. Keluhan-keluhan berkurang,
tetapi pasien masih lemah,anoreksia, dan mutah. Tinja mungkin berwarna kelabu
dan kuning muda. Hati membesar dan nyeri tekan.
3. Stadium pascaikterik (rekonvalesensi). Ikterus mereda, warna urin dan tinja
menjadi normal lagi. Penyembuhan pada anak-anak lebih cepat dari orang dewasa,
yaitu pada akhir bulan kedua, karena penyebab yang biasanya berbeda.
e. Diagnosis
Diagnosis infeksi hepatitis B kronis didasarkan pada pemeriksaan serologi, petanda
virologi, biokimiawi dan histologi.
1. Pemeriksaan serologi

Adanya HBsAg dalam serum merupakan pertanda serologis infeksi


hepatitis B. Titer HBsAg yang masih positif lebih dari 6 bulan menunjukkan
infeksi hepatitis kronis. Munculnya antibodi terhadap HBsAg (anti HBs)
menunjukkan

imunitas

dan

atau

penyembuhan

proses

infeksi.

Adanya HBeAg dalam serum mengindikasikan adanya replikasi aktif virus di


dalam hepatosit. Titer HBeAg berkorelasi dengan kadar HBV DNA. Namun tidak
adanya HBeAg (negatif) bukan berarti tidak adanya replikasi virus, keadaan ini
dapat dijumpai pada penderita terinfeksi HBV yang mengalami mutasi
(precore atau core mutant).
2. Pemeriksaan virologi
Pemeriksaan virologi untuk mengukur jumlah HBV DNA serum sangat
penting karena dapat menggambarkan tingkat replikasi virus.
3. Pemeriksaan biokimiawi
Salah satu pemeriksaan biokimiawi yang penting untuk menentukan
keputusan terapi adalah kadar ALT. Peningkatan kadar ALT menggambarkan
adanya aktifitas nekroinflamasi. Oleh karena itu pemeriksaan ini dipertimbangkan
sebagai prediksi gambaran histologi. Pasien dengan kadar ALT yang meningkat
menunjukkan proses nekroinflamasi lebih berat dibandingkan pada ALT yang
normal. Menurut Price dan Wilson (1995) bahwa kadar normal AST adalah 5-40
unit/ml, sedangkan kadar normal ALT adalah 5-35 unit/ml.
4. Pemeriksaan histologi (biopsi)
Tujuan pemeriksaan histologi adalah untuk menilai tingkat kerusakan hati,
menyisihkan diagnosis penyakit hati lain, prognosis dan menentukan manajemen
anti viral. Ukuran spesimen biopsi yang representatif adalah 1-3 cm (ukuran
panjang) dan 1,2-2 mm (ukuran diameter) baik menggunakan jarum Menghini
atau Tru-cut. Salah satu metode penilaian biopsi yang sering digunakan adalah
dengan Histologic Activity Index score (JB Suharjo, B Cahyono, 2006).
III.

SASARAN TERAPI
Sasarannya meliputi meminimalisasi infeksi lainnya,normalisasi aminotransferase dan

menghentikan replikasi DNA.


IV.

TUJUAN TERAPI

1. Tujuan pengobatan adalah untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat


penyakit liver tahap akhir dengan cara menghilangkan HCV/HBC.
2. Menentukan status pasien pada waktu pemeriksaan.
3. Pada status replikasi memberi terapi spesifik dengan tujuan mengubah status
replikasi ke arah status non replikasi. Transminase jadi normal dan bila mungkin :
- HbeAg dan HBVDNA menjadi negatif. Tujuan ini biasanya dicapai dengan
memberi terapi spesifik.
- HbsAg biasanya tetap positif.
4. Pada status non replikasi dimonitor secara berkala kadar transminase dan diberi
nasihat non spesifik.
5. Dalam keadaan tertentu perlu dilakukan biopsi yang hasilnya lebih tepat
dibandingkan pemeriksaan seromarker dan transminase.
V.

STRATEGI TERAPI
A. Tata Laksana Terapi
a. HbeAg (-) dan anti-Hbe (+) HBVDNA (-) dan tidak ada tanda-tanda sirosis
hati. Pengidap yang termasuk golongan ini jumlahnya paling besar, dahulu
dinamakan pengidap sehat (healthy carrier). Istilah healthy carrier ini
sekarang jarang dipakai, sebab dapat memberi kesan bahwa penderita dalam
keadaan sehat. Sebagian besar golongan ini tidak akan berlanjut ke stadium
yang lebih jelek. Ternyata pada sebagian tetap dapat terjadi tetap dapat terjadi
sirosis dan kanker. Karena itu golongan ini tetap harus diawasi supaya bila
terjadi reaktivisi replikasi virus dapat terdeteksi secara dini. Cara
pengawasannya dengan memeriksa kadar SGPT tiap bulan. Bila ditemukan
peningkatan disusul dengan pemeriksaan HbeAg dan HBVDNA. Tindakan
berikutnya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan seromarker tersebut.
b. HbeAg (+),HBVDNA (+), SGPT normal. Pada golongan ini sebaiknya
dilakukan biopsi hati walaupun SGPT normal, bila ada tanda-tanda hepatitis
kronik aktif tetap perlu terapi spesifik. Bila tidak ada tanda-tanda hepatitis
kronik aktif perlu pengawasan intensif kadar transmiriase tiap 3 bulan, bila
meningkat tindakan seperti pada c.
c. HbeAg (+), HBVDNA (+) dan SGPT yang meningkat menandakan bahwa
adanya hepatitis kronik aktif. Golongan ini perlu pengobatan spesifik dengan
interferon minimal 6 bulan dengan frekuensi 3x seminggu ditambah
lamivudin minimal 1 tahun.
d. HbeAg (-), anti-Hbe (+), HBVDNA (-) tetapi sudah ada tanda-tanda sirosis.
Sirosis hati adalah kontraindiksai untuk pemberian interferon, tetapi bisa
dicoba pemberian lamivudine. Diharapkan lamivudine dapat menghambat

progresivitas dari sirosis hati tersebut. Golongan ini prognosanya kurang baik,
karena itu harus dilakukan pengawasan terhadap terjadinya HCC dengan cara
pemeriksaan USG,AFP tiap 3 bulan. Precore-mutant HbeAg (-) dan anti Hbe
(+) seperti dapat dilihat pada a maka sebagian besar golongan ini dahulu
dinamakan Healthy carrier, namun pada sebagian kecil dapat terjadi infeksi
oleh precore mutan dari HBV, mengakibatkan terjadinya hepatitis kronik yang
berat yang dapat berprogresi cepat ke sirosis, dimana didapatkan HbeAg yang
tetap (-) namun HBVDNA menjadi (+) kembali. Sayangnya proses ini secara
klinis tidak disertai tanda-tanda yang jelas. Oleh karena itu pada pasien
pengidap sehat bila SGPT meningkat lagi perlu dilakukan pemeriksaan
HBVDNA lagi.
B. Guideline Terapi

C. Terapi Farmakologi
Saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitis B kronik, yaitu :
1. Kelompok imunomedulasi
a. Interferon (IFN)
Kelompok protein intraseluler yang normal ada dalam tubuh dan diproduksi oleh
berbagai macam sel. IFN alfa diproduksi oleh monosit fibroepitelioma, dan IFN gamma
diproduksi oleh sel limfosit T. produksi IFN dirangsang oleh berbagai macam stimulasi
terutama infeksi virus. Beberapa khasiat IFN adalah khasiat anti viral, imunomedulator, anti
proliferative, dan anti biotic. IFN tidak memiliki khasiat anti viral langsung tetapi
merangsang terbentuknya berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat anti viral
langsung tetapi merangsang terbentuknya berbagai macam protein efektor yang mempunyai
khasiat anti-viral. IFN mengadakan interaksi dengan reseptor IFN yang terdapat pada
membrane sitoplasma sel hati yang diikuti dengan diproduksinya protein efektor.
Salah satu protein yang terbentuk adalah 2,5-oligoadenylate synthetase (OAS) yang
merupakan suatu enzim yang berfungsi dalam rantai terbentuknya aktivitas anti-viral. Khasiat
IFN pada hepatitis B kronik terutama disebabkan oleh khasiat imunomedulator. Dosis yang
dianjurkan untuk hepatitis B kronik dengan HBeAg positif adalah 5-10 MU 3x seminggu
selama 16-24 minggu. Penelitian menunjukan bahwa terapi IFN untuk hepatitis B kronik
HBeAg negative sebaiknya diberikan sedikitnya selama 12 bulan.
b. PGE Interveron.
Penambahan Polietilen glikol (PGE) menimbulkan senyawa IFN dengan umur paruh
yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan IFN biasa.
c. Timosin Alfa 1.
Timosin adalah suatu jenis sitotoksin yang dalam keadaan alami ada dalam ekstrak
pinus. Obat ini sudah dapat dipakai untuk terapi baik sebagai sediaan parenteral maupun oral.
Timosin alfa 1 merangsang fungsi sel limfosit. Pemberian Timosin alfa 1 padapasien hepatitis
B kronik dapat menurunkan replikasi HVB dan menurunkan kadar atau menghilangkan DNA
HVB. Keunggulan obat ini adalah tidak adanya efek samping seperti IFN. Bila berkombinasi
dengan IFN, obat ini meningkatkan efektivitas IFN.
2. Kelompok terapi anti-viral

Indikasi terapi anti viral : dianjurkan untuk pasien hepatitis B kronik dengan ALT
2x nilai normal tertinggi DNA HVB positif. Untuk ALT < 2x nilai normal tertinggi tidak
perlu terapi anti viral. Lama terapi anti viral : dalam keadaan biasa, IFN diberikan sampai 6
bulan sedangkan lamivudin sampai 3 bulan setelah serekonversi HBeAg. IFN atau analog
Nukleosid untuk ALT 2-5 kali nilai tertinggi dapat memberikan lamivudin 100 mg tiap hari.
Pemakaian IFN tidak dianjurkan.
a. Lamivudin
Suatu analog nukleosid. Nukleosid berfungsi sebagai bahan pembentuk pregenom,
sehingga analog nukleosid bersaing dengan nukleosid asli. Lamivudin berkhasiat
menghambat enzim reverse transcriptase yang berfungsi dalam transkripsi balik dari
RNAmenjadi DNA yang terjasi dalam replikasi HVB. Lamivudin menghambat produksi
HVB baru dan mencegah terjadinya infeksi hepatosit sehat yang belum terinfeksi, tetapi tidak
mempengaruhi sel-sel yang telah terinfeksi karena pada sel-sel yang telah terinfeksi DNA
HVB ada dalam covalent closed circular ( cccDNA). Maka setelah obat dihentikan, titer DNA
HVB akan kembali lagi seperti semula karena sel-sel yang terinfeksi akhirnya memproduksi
virus baru lagi.
Lamivudin adalah analog nukleosid oral dengan aktivitas anti viral yang kuat. Dengan
dosis 100 mg per hari, lamivudin akan menurunkan kadar DNA HVB sebesar 95% atau lebih
dalam waktu 1 minggu. Dengan metode hibridisasi, DNA HVB tidak bisa terdeteksi lagi
dengan metode non PCR dalam waktu 8 minggu tetapi masih dapat dideteksi dengan metode
PCR. Setelah dihentikan selama 2 minggu, kadarDNA akan kembali positif dan mencapai
kadar sebelum terapi. Kekebalan terhadap lamivudin biasanya muncul setelah terapi selama 6
bulan.
b. Adevofir Dipevoksil
Suatu nukleosid oral yang menghambat enzim reverse transcriptase. Mekanisme
khasiat adevofir hamper sama dengan lamivusin. Penggunaan adevofir dengan dosis 10 atau
30 mg tiap hari selama 48 minggu menunjukan perbaikan. Juga terjadi penurunan kadar DNA
HVB, penurunan kadar ALT serata serekonversi HBeAg. Karena alas an ekonomi dan efek
samping, adevofir baru dipakai pada khasus-khasus yang kebal terhadap lamivudin.
Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg tiap hari. Salah satu hambatan utama dalam
pemakaian adevofir adalah toksisitas pada ginjal yang sering dijumpai pada dosis 30 mg atau
lebih. Keuntungan adevofir adalah jarangnya terjadi kekebalan. Adevofir merupakan

obat

yang ideal untuk terapi hepatitis B kronik dengan penyakit hati yang parah. Kerugiannya

adalah harga yang lebih mahal dan masih kurangnya data mengenai khasiat dan keamanan
dalam jangka yang sangat panjang.

D. Terapi Non Farmakologi


Pasien hepatitis B harus menghindar kontak seksual sampai antigenemia
hilang. menghindari semua hepatitisatotoksin, terutama alcohol. pengaturan diet yang tepat
dapat mempercepat pemulihan fungsi hati. Pemberian protein bermutu tinggi dan vitamin
dapat

mempercepat

pemulihan dari

sel-sel

hati

yang

mengalami

kerusakan

seperti Aminoleban mengandung AARC / BCAA ( Branch Chain Amino Acids) kadar tinggi
serta diperkaya dengan asam amino penting lain seperti arginin, histidin, vitamin, dan
mineral. Nutrisi khusus hati ini akan menjaga kecukupan kebutuhan protein dan
mempertahankan

kadar

albumin

darah

tanpa

meningkatkan

risiko

terjadinya

hiperamonia. Dosis Dewasa 500-1000 ml/dosis dengan infus drip intravena 25-40 tetes/menit.
Namun perlu diingat bahwa pemberian protein harus disesuaikan dengan toleransi
tubuh penderita karena bila berlebih dapat menyebabkan kadar ammonia dalam darah
meningkat atau tidak seimbang sehingga timbullah berbagai gangguan dalam tubuh. Oleh
karenanya, diperlukan suatu pengaturan diet yang tepat untuk penderita hepatitis agar
diperoleh pemulihan yang maksimal. Tujuan pengaturan diet pada penderita penyakit hati
adalah memberikan makanan cukup untuk mempercepat perbaikan fungsi tanpa memperberat
kerja hati. Syaratnya adalah sebagai berikut
1. Kalori tinggi, kandungan karbohidrat tinggi, lemak sedang dan protein
disesuaikan dengan keadaan penderita.
2. Diet diberikan secara berangsur, disesuaikan dengan nafsu makan dan toleransi
3.
4.
5.
6.

pendeita.
Cukup vitamin dan mineral.
Rendah garam atau cairan dibatasi bila terjadi penimbunan garam/air.
Mudah dicerna dan tidak merangsang.
Bahan makanan yang mengandung gas dihindarkan
Macam - Macam Diet Untuk Penderita Penyakit Hati
Diet 1
Untuk penderita sirosis hati yang berat dan hepatitis akut prekoma. Biasanya

diberikan makanan berupa cairan yang mengandung karbohidrat sederhana misalnya


sari buah, sirop, teh manis. Pemberian protein sebaiknya dihindarkan. Bila terjadi

penimbunan cairan atau sulit kencing maka pemberian cairan maksimum 1 liter
perhari. Diet ini sebaiknya diberikan lebih dari 3 hari.
Diet 2
Diberikan bila keadan akut atau prekoma sudah dapat diatasi dan mulai timbul
nafsu makan. Diet berbentuk lunak atau dicincang, tergantung keadaan penderita.
Asupan protein dibatasi hingga 30 gram perhari, dan lemak diberikan dalam bentuk
yang mudah dicerna.
Diet 3
Untuk penderita yang nafsunya cukup baik. Bentuk makanan lunak atau biasa,
tergantung keadaan penderita. Kandungan protein bisa sampai 1 g/kg berat badan,
lemak sedang dalam bentuk yang mudah dicerna.
Diet 4
Untuk penderita yang nafsu makannya telah membaik, dapat menerima protein
dan tidak menunjukan sirosis aktif. Bentuk makanan lunak atau biasa, tergantung
kesanggupan penderita. Kalori, kandungan protein dan hidrat arang tinggi, lemak,
vitamin dan mineral cukup.
Kelompok Makanan Sehari-hari
Secara praktis, makanan sehari-hari dapat dibagi menjadi 3 kelompok :
1) Kelompok kuning
Makanan yang digunakan sebagai sumber energi seperti nasi, kentang,
minyak, gula, dan kue. Asupan makanan dari kelompok ini harus ditetapkan
jumlahnya perhari.
2) Kelompok hijau
Kelompok makanan yang harus dimakan sesuai kebutuhan. Contohnya
sayur-sayuran dan buah-buahan. Karena mengandung serat, makanan ini bisa
mencegah sembelit. Makanan ini mengandung pula vitamin dan mineral.
3) Kelompok merah
Terdiri atas makanan banyak protein misalnya daging, telur, ikan dan
lain-lain. Konsumsi makanan kelompok ini harus berhati-hati karena bila

dikonsumsi dalam jumlah berlebih akan mengakibatkan peningkatan kadar


ammonia dalam darah.

Pemilihan Bahan Makanan Bagi Penderita Hepatitis:

Hindari makanan yang dapat menimbulkan gas, seperti ubi, singkong,

kacang merah, kol, sawi, lobak, nangka, durian dan lain-lain.


Hindari makanan yang telah diawetkan seperti sosis, ikan asin, kornet, dan

lain-lain.
Pilihlah bahan makanan yang kandungan lemaknya tidak banyak seperti

daging yang tidak berlemak, ikan segar, ayam tanpa kulit.


Sebaiknya pilih sayur-sayuran yang sedikit mengandung serat seperti
bayam, wortel, bit, labu siam, kacang panjang muda, buncis muda, daun

kangkung dan sebagainya.


Bumbu-bumbu jangan terlalu merangsang. Salam, laos, kunyit, bawang
merah, bawang putih dan ketumbar boleh dipakai tetapi jangan terlalu

banyak.
Hindarkan makanan yang terlalu berlemak seperti daging babi, usus, babat,
otak, sum-sum dan santan kental.

Bagi penderita hepatitis, terapi diet sangat penting untuk dilakukan.


Kandungan gizi pada terapi diet penderita hepatitis berbeda-beda tergantung pada
kondisi penderita. Total kalori yang diberikan juga berbeda, tergantung besar badan
dan aktifitas penderita. Selain itu, pada umumnya kurang baik jika terlalu banyak
mengurangi lemak kecuali bila ada gejala kuning pada mata atau kulit. Lemak yang
mengandung banyak asam lemak esensial seperti minyak nabati atau minyak ikan
boleh diberikan seperti biasa.

BAB III PENUTUP


Kesimpulan
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B, suatu
anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut dan menahun
yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Klasifikasi penderita infeksi VHB
kronis dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok yaitu:

Pengidap HbsAg positif dengan HbeAg positif


Pengidap HbsAg positif dengan anti Hbe positif
Pengidap hepatitis B yang belum terdiagnosa dengan jelas
Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi untuk hepatitis B kronik ada 2, yaitu :


Terapi imunomedulasi
Terapi anti-viral
Sedangkan terapi non-farmakologi untuk hepatitis B kronik, yaitu :
Menghindari semua hepatitisatotoksin, terutama alcohol
Pengaturan diet yang tepat dapat mempercepat pemulihan fungsi hati
Pemberian protein bermutu tinggi dan vitamin

DAFTAR PUSTAKA
o Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Penyakit. Jakarta: EGC
Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC
o Dipiro, T, Joseph, et al., 2009, Pharmacoterapy Handbook, 9th
Edition, The McGraw-Hill Companies
o JB Suharjo, B Cahyano. 2006. Tinjauan Kepustakaan Diagnosis dan
Manajemen Hepatitis B Kronis.
o Lippincott Willian & Wilkins. 2008. Nursing The Series For Clinical
Exellence Memahami Berbagai Macam Penyakit. Jakarta: Indeks.

Anda mungkin juga menyukai