Anda di halaman 1dari 4

Case Study Praktek Kerja Profesi Apoteker Rumah Sakit

di RSUD Dr. Soetomo

Pasien An. VKP MRS pada tanggal 23 Juni 2016 karena mengalami sesak
nafas, kaki bengkak dan mengalami nyeri perut. Pasien didiagnosa mengalami
kronik mielositik leukimia, efusi pleura, pneumonia, dan hidronefrosis bilateral.
Pada saat MRS pasien menerima terapi hidroksiurea, ceftriakson, sukralfat, lasix,
parasetamol, transfusi PRC dan pemberian masker oksigen.Tujuan terapi pada
pasien ini adalah untuk menghambat proliferasi sel kanker di leukosit dan
mengatasi anemia karena pada pasien dengan leukimia juga disertai dengan
anemia. Disamping itu, tujuan terapi yang diberikan pada pasien adalah untuk
mengatasi keluhan pasien berupa sesak dan udem.
Tindakan awal yang diberikan pada pasien adalah dengan pemasangan
infus D5 NS dan masker oksigen. Pemberian masker oksigen bertujuan untuk
mengatasi sesak yang dialami oleh pasien. Pasien mengalami sesak nafas akibat
infeksi pneumonia dan adanya penumpukan cairan di pleura pasien sehingga
pasien kesulitan bernafas. Disamping itu, bisa juga disebabkan karena
hemonglobin pasien rendah, sehingga supply darah ke sel sedikit. Yang perlu
diamati dari peberian oksigen ini adalah laju pernafasan pasien. Selama perawatan
pasien selalu menggunakan oksigen karena laju pernafasan pasien selalu cepat.
Hidroksiurea diberikan dengan regimen dosis 250 mg dua kali sehari
peroral. Obat ini berfungsi untuk mengatasi perkembangan sel kanker pasien
dengan cara menghambat enzim ribonukletida reduktase sehingga menyebabkan
terhambatnya sintesis DNA sel kanker. Data laboratorium yang dipantau untuk
melihat efektifitas obat ini adalah kadar leukosit pasien. Dari pemeriksaan yang
dilakukan kadar leukosit pasien menurun dari 54,2 x103/l ketika MRS menjadi
17,6 x103/l setelah 7 hari perawatan. Dari hasil ini dapat dilihat bahwa terapi
obat hidroksiurea telah memberikan perbaikan pada kondisi pasien.
Drug related problems pada penggunaan hidroksiurea pada pasien ini
adalah munculnya efek samping obat pada pasien. Efek samping dari obat ini
antara lain diare, bibir kering dan pecah-pecah. Pada tanggal 28 Juni 2016 pasien
mengalami buang air besar lebih dari 5 kali dengan konsistensi yang lembek, hal
ini menunjukkan bahwa pasien mengalami efek samping diare dari obat. Selain
itu, pasien juga merasakan bibirnya kering dan pecah-pecah setelah menggunakan
obat ini, sehingga disarankan pada pasien untuk memperbanyak minum air putih.
Pendidikan Profesi Apoteker Periode Mei-Agustus 2016

22

Case Study Praktek Kerja Profesi Apoteker Rumah Sakit


di RSUD Dr. Soetomo

Pasien mendapatkan injeksi seftriakson dengan dosis 2 gram tiap 12 jam


sebagai terapi empiris untuk mengatasi infeksi bakteri penyebab pneumonia.
Untuk menetapkan terapi antibiotik yang tepat dilakukan kultur dahak pasien,
namun sampai pengamatan pasien selesai dilakukan hasil kultur belum keluar.
Masalah dalam penggunaan ini adalah waktu pemberian obat yang kurang tepat.
Perawat kadang terlambat memberikan injeksi seftriakson pada pasien, sehingga
pemberian obat tidak tepat tiap 12 jam. Untuk mengatasi hal ini perlu
diniformasikan kepada perawat untuk menginjeksikan seftriakson setiap 12 jam
misalnya jam 8 pagi dan jam 8 malam.
Untuk mengatasi udem pasien, pasien mendapatkan injeksi lasix dengan
dosis 20 mg dua kali sehari. Pemilihan obat ini sudah tepat untuk pasien, hal ini
terlihat dengan berkurangnya besar udem pada kaki pasien. Namun, masalah
terkait obat ini adalah terlambatnya waktu pemberian obat pasien. Sebab pasien
baru diresepkan lasix pada hari ketiga MRS, sedangkan pasien mengalami udem
sejak MRS.
Pada tanggal 27 dan 28 Juni 2016 pasien mendapatkan transfusi PRC
untuk mengatasi anemia pasien, karena Hb psien hanya 7,3 g/dl. Setelah
mendapatkan transfusi PRC Hb psien naik menjadi 9 g/dl. Hal ini menunjukkan
efektifitas PRC dalam menaikkan hemoglobin pasien.
Selama di rawat di rumah sakit, pasien beberapa kali mengalami kenaikan
suhu tubuh mencapai 390C. Untuk mengatasi hal ini, maka pasien diberikan
thermoregulator berupa parasetamol IV. Drug related problems pada obat ini
adalah adanya ketidaksesuaian bentuk sediaan yang diberikan pada pasien. Pada
tanggal 30 Juni pasien mendapatkan parasetamol IV, padahal suhu tubuh pasien
hanya 380C. Menurut pedoman diagnosa dan terapi rumah sakit Dr. Soetomo
parasetamol IV diberikan jika suhu tubuh pasien >38,50C. DRP lain yang
ditemukan adalah pasien tidak mendapatkan termoregulator pada tanggal 1 Juli
2016, sedankan suhu tubuh pasien 38,10C.
Beradasarkan pengamatan yang dilakukan dan DRP yang ditemukan
selama pasien dirawat sejak tanggal 23 Juni 1 Juli 2016, kondisi pasien
mengalami perbaikan. Hal ini dapat dilihat dari berkurangknya udem pada kaki
pasien dan sesak nafas pasien yang sudah berkurang.
Pendidikan Profesi Apoteker Periode Mei-Agustus 2016

23

Case Study Praktek Kerja Profesi Apoteker Rumah Sakit


di RSUD Dr. Soetomo

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 KESIMPULAN
1. Pasien An. VKP MRS pada tanggal 23 Juni 2016 dengan keluhan sesak nafas,
kaki bengkak dan nyeri perut. Pasien didiagnosis mengalami CML + efusi
pleura + pneumonia + hidronefrosis bilateral.
2. Terapi yang didapatkan pasien adalah oksigen, Hidroksiurea 250mg dua kali
sehari peroral, seftriakson 2 g setiap 12 jam IV, Lasix 20 mg dua kali sehari IV,
parasetamol 500 mg IV prn, transfusi PRC 400cc dan sukralfat tiga kali sehari.
3. Drug related problems pada pasien diantaranya pasien mengalami diare dan
bibir pecah-pecah sebagai efek samping obat hidroksiurea, waktu pemberian
injeksi seftriakson yang tidak setiap 12 jam, penggunaan parasetamol drip saat
suhu tubuh pasien 380C.
4. berdasrkan pengamatan selama pasien dirawat, kondisi pasien

mengalami

perbaikan, seperti bengkak pada kaki pasien yang sudah berkurang.


3.2 SARAN
1. Injeksi seftriakson sebaiknya diberikan setiap 12 jam untuk mengoptimalkan
kerja dari obat.
2. Pemilihan bentuk sediaan parasetamol sebagai termoregulator harus
disesuaikan dengan suhu tubuh pasien.

Pendidikan Profesi Apoteker Periode Mei-Agustus 2016

24

Case Study Praktek Kerja Profesi Apoteker Rumah Sakit


di RSUD Dr. Soetomo

DAFTAR PUSTAKA
Besa, E., C., 2010. Chronic Myelogenous Leukemia, Emedicine.
Dugdale, D., C., 2010. Chronic Myelogenous Leukemia, MedLine.
Fadjari, H., 2006. Ilmu Penyakit Dalam (4th ed), Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Hoffbrand, A. V., Pettit, J. E., Moss, P.A.H., 2005. Kapita Selekta Hematologi, (4th
ed), EGC, Jakarta.
Kantarjian H., Pasquini R.,Hamerschlak N.,Rousselot P.,Holowiecki J., Jootar S.,
et al. Dasatinib or high-dose imatinib for chronic-phase chronic myeloid
leukemia after failure of first-line imatinib: a randomized phase 2 trial,
Journal of The American Society of Hematology 2007;12: 5143-5150
Lacy, et al., 2011, Drug information Handbook, Lexicomp.
Markman, M., 2009. Chronic Myeloid Leukemia and BCR-ABL, Emedicine.
Mcevoy, G.K., et al., 2010. AHFS Drug Information Essentials, American Society
of Health-System Pharmacists,Bethesda, Maryland.
Nafrialdi, Gan, S., R., 2007. Farmakologi dan Terapi (5th ed),Balai Penerbit
FKUI, Jakarta.
Panitia Medik Transfusi RSUD Dr. Soetomo. 1991. Pedoman Pelaksanaan
Transfusi Darah dan Komponen Darah Edisi II. Surabaya: RSUD Dr.
Soetomo.
Peried, et al. 2007. Cancer therapy pocket guide. Merseille: Oncologic Working
Group Saar-pfalz.
Price, S., A., Wilson, L., M., 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit (6th ed), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Shann, Frank. 2014. Drug Doses. Victoria: Collective P/L
SMF Ilmu Kesehatan Anak. 2013. Pedoma Praktik Klinik SMF Ilmu Kesehatan
Anak. Surabaya: RSUD Dr. Soetomo.
Trissel, L. A., 2013, Handbook of Injectable Drugs 17t h edition, American
Society of Health-System Pharmacists, Bethesda, Maryland.
Vardiman, J., W., 2009. Chronic Myelogenous Leukemia, BCR-ABL1+,
American Journal Clinical Pathology, 132, 248-249

Pendidikan Profesi Apoteker Periode Mei-Agustus 2016

25

Anda mungkin juga menyukai