Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Persepsi
1. Pengertian
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan (Rahmat, 2005). Menurut Robin (1996) yang dikutip
kuswanto (2002), menjabarkan bahwa persepsi adalah suatu proses dimana
individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera
mereka

agar

memberikan

makna

kepada

pengorganisasian,

penginterprestasikan terhadap rangsangan yang diterima oleh organisme


atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan
aktivitas yang intregated dalam diri individu.
Pendapat lain dikemukakan oleh Maramis dalam Sunaryo (2004)
persepsi adalah daya mengenal barang, kualitas dan hubungan, dan
perbedaan antara hal ini melalui proses mengamati, mengetahui, atau
mengartikan setelah panca inderanya mendapat rangsangan.
Melihat beberapa pendapat tentang persepsi tersebut dapat
disimpulkan bahwa persepsi adalah proses kognitif yang dialami setiap
orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya melalui panca
inderanya, dan tiap-tiap individu dapat memberikan arti atau tanggapannya
yang berbeda-beda.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi


Krench dan Crutchfield dalam Rahmat (2005) menyebutkan
persepsi ditentukan oleh faktor fungsional dan faktor struktural. Faktor
fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, kesiapan
mental, suasana emosi dan latar belakang budaya, atau sering disebut
faktor-faktor personal. Penentu persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli,
tetapi karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli tersebut.
Persepsi perawat masuk ke dalam factor fungsional ini. Berdasarkan
kebutuhan, pengalaman masa lalu, kesiapan mental, suasana emosi dan
latar belakang budaya perawat akan didapatkan persepsi perawat terhadap
metode asuhan keperawatan moduler yang diterapkan di Paviliun Garuda
RSUP Dr Kariadi Semarang.
Faktor struktural berasal dari sifat stimuli fisik dan efek-efek syaraf
yang ditimbulkannya pada sistem syaraf individu. Kita mengorganisasikan
stimuli dengan melihat konteksnya. Walaupun stimuli yang kita terima
tidak lengkap,

kita akan mengisinya dengan interprestasi yang

berkonsisiten dengan rangkaian stimuli yang kita persepsikan.


Faktor-faktor personal yang mempengaruhi persepsi interpersonal
menurut Rahmat (2005) adalah :
a. Pengalaman
Seseorang yang telah mempunyai pengalaman tentang hak-hak
tertentu

akan

mempengaruhi

memperbaiki persepsi.

kecermatan

seseorang

dalam

b. Motivasi
Motivasi yang sering mempengaruhi persepsi interpersonal adalah
kebutuhan untuk mempercayai Dunia yang adil artinya kita
mempercayai duna ini telah diatur secara adil.
c. Kepribadian
Dalam psikoanalisa dikenal sebagai proyeksi yaitu usaha untuk
mengeksternalisasi pengalaman subjektif secara tidak sadar, orang
mengeluarkan perasaan berasalnya dari orang lain.
3. Proses terjadinya persepsi
Menurut Walgito (1994) proses terjadinya persepsi melalui tiga proses
yaitu:
a. Proses fisik : Obyek menimbulkan stimulus, dan stimulus mengenai
alat indera atau reseptor.
b. Proses fisiologis : Stimulus yang diterima oleh indera dilanjutkan oleh
saraf sensoris ke otak.
c. Proses psikologis : Proses di dalam otak sehingga individu dapat
menyadari stimulus yang diterima.
4. Macam-macam persepsi
Ada dua macam persepsi menurut Sunaryo (2004) yaitu:
a. External perception yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang
yang datang dari luar individu.

b. Self perception yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang


yang datang dari diri individu. Dalam hal ini yang menjadi obyek
adalah dirinya sendiri.
5. Syarat terjadinya persepsi
Agar individu dapat mengadakan persepsi diperlukan beberapa syarat yang
harus dipenuhi yaitu : (Walgito, 1994 dan Sunaryo, 2004).
a. Adanya obyek yang dipersepsi, obyek menimbulkan stimulus yang
mengenai alat indera atau reseptor.
b. Adanya perhatian sebagai langkah pertama untuk mengadakan
persepsi.
c. Adanya alat indera atau reseptor sebagai penerima stimulus.
d. Saraf sensori sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak
kemudian dari otak dibawa melalui saraf motorik sebagai alat untuk
mengadakan respon.
B. Metode Asuhan Keperawatan
1. Metode Fungsional
Metode ini diterapkan dalam asuhan keperawatan pekerja di dunia
industri ketika setiap pekerja dipusatkan pada satu tugas atau aktivitas.
Dalam

memberikan

asuhan

keperawatan

pada

pasien

dengan

menggunakan metode fungsional, setiap perawat memperoleh satu tugas


(kemungkinan bisa lebih) untuk semua pasien di unit/ruang tempat
perawat tersebut bekerja. Di satu unit/ruang, seorang perawat diberikan
tugas untuk menyuntik maka perawat tersebut bertanggung jawab untuk

memberikan program pengobatan memlalui suntikan kepada semua pasien


di unit/ruang tersebut. Contoh asuhan keperawatan yang lain adalah
membagi obat per oral, mengganti balut, pendidikan kesehatan pada pasien
yang akan pulang, dan sebagainya.
Metode fungsional ini efesien, akan tetapi asuhan keperawatan
seperti ini tidak dapat memberikan kepuasan kepada pasien maupun
perawat. Keberhasilan asuhan keperawatan secara menyeluruh tidak bisa
dicapai dengan metode ini karena asuhan keperawatan yang diberikan
kepada pasien terpisah-pisah sesuai dengan tugas yang diberikan kepada
perawat. Di samping itu, asuhan keperawatan yang diberikan tidak
professional yang berdasarkan masalah pasien. Perawat senior cenderung
akan sibuk dengan tugas-tugas administrasi dan manajerial, sementara
asuhan keperawatan kepada pasien dipercayakan kepada perawat junior.
Sekalipun

metode

fungsional

dalam

pemberian

asuhan

keperawatan ini membosankan perawat karena hanya berorientasi pada


tugas, tetapi metode ini baik dan berguna untuk situasi di rumah sakit
dengan ketenagaan perawat yang kurang. Metode ini juga dapat
memberikan kepuasan kepada pasien yang membutuhkan pelayanan secara
rutin.
Penerapan

metode

fungsional

dalam

memberikan

asuhan

keperawatan kepada pasien memiliki beberapa keuntungan. Keuntungan


dari metode fungsional, yaitu perawat menjadi lebih terampil dalam
melakukan satu tugas yang biasa menjadi tanggung jawabnya, pekerjaan

menjadi lebih efisien, relative lebih sedikit dibutuhkan tenaga perawat,


mudah dalam mengoordinasi pekerjaan, terjadi proses distribusi dan
pemantauan tugas atau pekerjaan, dan perawat lebih mudah menyesuaikan
dengan tugas yang menjadi tanggung jawabnya sehingga menjadi lebih
cepat selesai.
Meskipun demikian, metode fungsioanal juga tidak terlepas dari
sisi kelemahan atau kerugian, yaitu pekerjaan kadang menjadi tidak
efektif, tugas perawat cenderung monoton sehingga dapat menimbulkan
rasa bosan, kesempatan untuk melakukan komunikasi antar petugas
menjadi lebih sedikit. Selain itu, perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan tidak melihat pasien secara holistic dan tidak berfokus pada
masalah pasien sehingga tidak professional, tidak memberikan kepuasan
baik pada pasien maupun pada perawat, dan kadang saling melempar
tanggung jawab bila terjadi kesalahan.
Untuk mengantisipasi kondisi tersebut maka peran perawat kepala
ruang (nurse unit manager) harus lebih peka terhadap anggaran rumah
sakit dan kualitas pelayanan keperawatan, bertanggung jawab terhadap
hasil dari pelayanan keperawatan yang berkualitas, dan menghindari
terjadinya saling melempar kesalahan. Sekalipun diakui bahwa metode
fungsional ini cocok untuk jangka waktu pendek dalam kondisi gawat atau
terjadi suatu bencana, tetapi metode ini kurang disukai untuk pelayanan
biasa dan jangka panjang karena asuhan keperawatan yang diberikan tidak

komprehensif dan memperlakukan pasien kurang manusiawi (gillies,


1994)
2. Metode Tim
Pengembangan

metode

tim

ini

didasarkan

pada

falsafah

mengupayakan tujuan dengan menggunakan kecakapan dan kemampuan


anggota kelompok. Metode ini juga didasari atas keyakinan bahwa setiap
pasien berhak memperoleh pelayanan terbaik. Selain itu, setiap staf berhak
menerima

bantuan

dalam

melaksanakan

tugas

member

asuhan

keperawatan yang terbaik sesuai kemampuannya. Dalam keperawatan,


metode tim ini diterapkan dengan menggunakan satu tim perawat yang
heterogen, terdiri dari perawat profesional, non profesional, dan pembantu
perawat untuk memberikan asuhan keperawatan kepada sekelompok
pasien. Ketua tim (perawat profesional) memiliki tanggung jawab dalam
perencanaan, kelancaran, dan evaluasi dari asuhan keperawatan untuk
semua pasien yang dilakukan oleh tim di bawah tanggung jawabnya. Di
samping itu, ketua tim juga mempunyai tugas untuk melakukan supervise
kepada semua anggota tim dalam implementasi dari tindakan keperawatan,
dan melakukan evaluasi hasil dari asuhan keperawatan.
Tujuan pemberian metode tim dalam asuhan keperawatan adalah
untuk memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan objektif
pasien sehingga pasien merasa puas. Selain itu, metode tim dapat
meningkatkan kerjasama dan koordinasi perawat dalam melaksanakan
tugas, memungkinkan adanya transfer of knowledge dan transfer of

experiences di antara perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dan


meningkatkan pengetahuan serta ketrampilan dan motivasi perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan.
Sesuai dengan tujuan tersebut maka tugas dan dan tanggung jawab
keperawatan harus benar-benar diarahkan dan direncanakan secara matang
untuk keberhasilan asuhan keperawatan. Sebagaimana diketahui bahwa
satu tim keperawatan terdiri dari 2 orang perawat atau lebih yang bekerja
sama dalam pemberian asuhan keperawatan. Ketua tim seharusnya
perawat profesional yang sudah berpengalaman dalam

memberikan

asuhan keperawatan dan ditunjuk oleh perawat kepala ruang (nurse unit
manager). Selanjutnya, ketua tim akan melaksanakan tugas yang
didelegasikan oleh perawat kepala ruang bersama-sama dengan anggota
tim. Tugas dan tanggung jawab ketua tim menjadi hal yang harus
diperhitungkan secara cermat. Tugas dan tanggung jawab tersebut
diarahkan untuk melakukan pengkajian dan penyusunan rencana
keperawatan untuk setiap pasien yang berada di bawah tanggung
jawabnya,

membagi

tugas

kepada

semua

anggota

tim

dengan

mempertimbangkan kemampuan yang dimiliki anggota tim dan kebutuhan


pasien yang harus dipenuhi, mengontrol dan memberikan bimbingan
kepada anggota tim dalam melaksanakan tugasnya apabila diperlukan,
melakukan evaluasi terhadap hasil kerja anggota tim, menerima laporan
tentang perkembangan kondisi pasien dari anggota tim.

Tugas dan tanggung jawab lain yang harus diperhatikan oleh ketua
tim adalah mengontrol perkembangan kesehatan setiap pasien, mencatat
hal-hal yang terjadi pada pasien terutama yang tidak diinginkan,
melakukan revisi rencana keperawatan apabila diperlukan, melaporkan
perkembangan pasien kepada perawat kepala ruang serta kesulitan yang
dihadapi apabila ada. Selain itu, tugas dan tanggung jawab ketua tim, yaitu
memimpin pertemuan tim untuk menerima laporan, memberi pengarahan
serta membahas masalah yang dihadapi, menjaga komunikasi yang efektif,
melakukan pengajaran kepada pasien, keluarga pasien dan anggota tim
serta melengkapi catatan yang dibuat anggota tim apabila diperlukan.
Dalam memberikan asuhan keperawatan dengan metode ini, ketua
tim harus memiliki kemampuan untuk mengikutsertakan anggota tim
dalam memecahkan masalah. Ketua tim juga harus dapat menerapkan pola
asuhan keperawatan yang dianggap sesuai dengan kondisi pasien dan
minat pemberi asuhan. Oleh karena itu, pembuatan keputusan, otoritas,
dan tanggung jawab ada pada tingkat pelaksana. Hal ini akan mendukung
pencapaian pengetahuan dan ketrampilan professional.
Dalam ruang perawatan mungkin diperlukan beberapa tim
keperawatan. Pembagian tugas dalam tim keperawatan dapat dilakukan
dengan jalan perawat kepala ruang akan menentukan jumlah tim yang
diperlukan berdasarkan beberapa faktor, antara lain memperhitungkan
jumlah tenaga perawat profesional, jumlah tenaga yang ada, dan jumlah
pasien. Pembagian tugas dalam tim keperawatan dapat didasarkan pada

tempat/kamar pasien, tingkat penyakit pasien, jenis penyakit pasien, dan


jumlah pasien yang dirawat.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka ketua tim harus memiliki
kemampuan

sebagai

berikut

(1)Mengkomunikasikan

dan

mengkoordinasikan semua kegiatan tim; (2) Menjadi konsultan dalam


asuhan kepearawatan; (3) Melakukan peran sebagai model peran; (3)
Melakukan pengkajian dan menentukan kebutuhan pasien; (4) Menyusun
rencana keperawatan untuk semua pasien; (5) Merevisi dan menyesuaikan
rencana keperawatan sesuai kebutuhan pasien; (6)Melaksanakan observasi
baik terhadap perkembangan pasien maupun kerja dari anggota tim;
(7)Menjadi guru/pengajar; dan (8) Melaksanakan evaluasi secara baik dan
objektif
Bila kemampuan tersebut dapat dimiliki oleh ketua tim, akan
berdampak secara positif dalam pemberian asuhan keperawatan. Dengan
demikian, masalah dalam asuhan keperawatan cepat teratasi; mutu asuhan
keperawatan terpelihara; perawat terbiasa bekerja secara terorganisasi,
terarah, dan memahami tujuan; kerja sama antar perawat meningkat;
kepuasan kerja meningkat; serta kaderisasi kepemimpinan terjadi.
Dibandingkan dengan metode fungsional, metode tim lebih banyak
memberikan tanggung jawab, otoritas, dan tanggung gugat kepada anggota
tim. Tugas perawat menjadi lebih kompleks, anggota tim lebih terlibat
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Apabila kerja dari tim
berhasil dan memuaskan, pola ini memberi pengkayaan pengalaman dan

perluasan wawasan kerja bagi pelaksana khususnya anggota dari tim dari
tingkat yang rendah.
Beberapa keuntungan dari metode tim dalam pemberian asuhan
keperawatan adalah (1) Dapat memberikan kepuasan kepada pasien dan
perawat. Pasien merasa diperlakukan lebih manusiawi karena pasien
memilki sekelompok perawat yang lebih mengenal dan

memahami

kebutuhannya; (2) Perawat dapat mengenali pasien secara individual


karena perawat hanya menangani pasien dalam jumlah yang sedikit. Hal
ini, sangat memungkinkan merawat pasien secara komprehensif dan
melihat pasien secara holistik; dan (3)Perawat akan memperlihatkan kerja
lebih

produktif

melalui

kemampuan

dalam

bekerja

sama

dan

berkomunikasi dalam tim. Hal ini akan mempermudah dalam mengenali


kemampuan anggota tim yang dapat dimanfaatkan secara optimal.
Sebagaimana metode fungsional, metode tim juga mengandung
beberapa kerugian. Selain itu, metode ini dianggap memerlukan biaya
yang lebih tinggi karena terkotaknya distribusi tenaga, metode ini juga
tidak efektif bila pengaturannya tidak baik. Pelaksanaan asuhan
keperawatan menggunakan metode tim memerlukan banyak kerja sama
dan komunikasi serta kecenderungan banyak kegiatan keperawatan
dilakukan oleh perawat non profesional. Ketua tim perlu waktu yang lebih
banyak

untuk

melaksanakan

tugas

manajerial,

seperti

mengkaji,

mendelegasikan, dan mengontrol kerja kelompok. Selain itu, ketua tim

dapat mengalami kebingungan karena tugas disampaikan melalui beberapa


orang anggota, terlebih apabila komposisi anggota tim sering diubah.
Peran perawat kepala ruang dalam aplikasi metode tim diarahkan
pada ketrampilan dan minat yang dimilikinya. Disamping itu, perawat
kepala ruang harus mampu mengoptimalkan fungsi tim melalui orientasi
anggota tim dan pendidikan berkelanjutan, mengkaji kemampuan anggota
tim dan membagi tugas sesuai dengan ketrampilan anggotanya. Hal yang
tidak kalah pentingnya adalah perawat kepala ruang harus mampu sebagai
model peran.
Metode tim dalam pemberian asuhan keperawatan dapat diterapkan
bila ada tenaga profesional yang mampu dan mau memimpin kelompok
kecil, dapat bekerjasama dan membimbing tenaga keperawatan yang lebih
rendah. Disamping itu, perawat kepala ruang harus mau membagi
tanggung jawab dan tugasnya kepada orang lain. Satu tim keperawatan
dapat terdiri dari tiga sampai lima perawat untuk bertanggung jawab
memberikan asuhan keperawatan kepada 10 sampai 15 pasien.
3. Metode Keperawatan Primer
Metode ini dikembangkan berdasarkan falsafah yang berorientasi
pada pasien bukan pada tugas. Di sini terjadi suatu desentralisasi dalam
pengambilan keputusan antara perawat primer dan pasien. Menurut
Hegyvary (1982), pemberian asuhan keperawatan dengan metode
keperawatan primer memberikan setiap perawat primer tanggung jawab
menyeluruh (total care) dalam 24 jam/hari secara terus-menerus untuk

perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pada sekelompok kecil pasien (4-6


pasien). Hal ini dimulai sejak pasien masuk hingga pulang/keluar (Gillies,
1994). Pada saat perawat primer tidak masuk, tindakan keperawatan dapat
dilakukan oleh perawat penggantinya (perawat associate). Perawat primer
memiliki tanggung jawab atas pasien yang ditugaskan, maka ia tidak
hanya mengawasi pasien saat bertugas, tetapi juga harus menyiapkan
penggantinya bila ia tidak masuk. Perawat primer harus memberikan
petunjuk bagaimana cara merawat pasien selama ia tidak di tempat kepada
perawat pengganti (perawat associate).
Dalam aplikasi metode keperawatan primer, perawat primer
bertanggung jawab pada setiap pasien untuk mengkaji kondisi kesehatan,
keadaan kehidupannya, dan kebutuhan keperawatan. Selain itu, perawat
primer memberikan perawatan sesuai rencana yang dibuat dan
mengoordinasi perawatan yang diberikan oleh anggota tim kesehatan lain,
misalnya melakukan rujukan atau konsultasi dengan dokter atau lainnya
untuk

memberikan

asuhan

keperawatan

individual,

mengevaluasi

keberhasilan asuhan keperawatan yang dicapai, serta menyiapkan pasien


pulang (discharge planning).
Metode keperawatan primer dalam pemberian asuhan keperawatan,
memilki beberapa keuntungan yang dapat diidentifikasikan, antara lain
(1)Asuhan keperawatan lebih komprehensif dengan memperlakukan
pasien secara holistik; (2)Pasien akan merasa lebih puas karena terjadi
kesinambungan perawatan; dan (3)Perawat lebih puas karena di samping

memiliki otoritas, perawat juga memilki tanggung gugat di dalam


memberikan asuhan, hubungan yang terus-menerus antara perawat dan
pasien akan memudahkan pasien menyampaikan permasalahan serta dapat
memperpendek lama hari perawatan bagi pasien.
Asuhan keperawatan dengan menggunakan metode keperawatan
primer diberikan oleh seorang perawat profesional untuk sekelompok kecil
pasien. Hal ini tentu saja memilki kerugian, di antaranya membutuhkan
biaya yang lebih banyak karena dibutuhkan lebih banyak perawat
profesional, perawat mungkin kurang menguasai kasus sehingga tidak
dapat melakukan pengkajian dengan baik dan menyusun rencana
perawatan yang tepat, perawat anggota/associate mungkin akan merasa
tidak memiliki kewenangan, dan kadang dapat terjadi kesalahpahaman
dalam komunikasi.
Peran perawat kepala ruang menjadi sangat penting untuk
mengantisipasi kerugian yang apat muncul dalam implementasi metode
keperawatan ini. Peran perawat kepala ruang tersebut dapat dilakukan,
seperti melakukan identifikasi perawat di ruangan/unit yang memilki
minat menjadi perawat primer dan memfasilitasi untuk pendidikan,
menjabarkan tugas-tugas dari perawat primer dan perawat asisten/anggota.
Selain itu, perawat berperan sebagai model peran dan konsultan,
mengembangkan penelitian, melakukan analisis kebutuhan tenaga
(perawat) yang mungkin sebagai bahan pertimbangan dalam recruitment

tenaga

baru,

menyusun

jadwal

dinas,

membuat

perencanaan

pengembangan staf, dan melakukan kegiatan evaluasi.


4. Metode Moduler
Bila

metode

perawatan

primer

sulit

dilaksanakan

karena

keterbatasan jumlah dan kualifikasi tenaga perawatan yang layak, maka


metode moduler merupakan metode alternative yang dikembangkan dari
perawatan primer bila tenaga keperawatan yang ada terdiri dari berbagai
klasifikasi. Metode ini adalah suatu variasi dari metode keperawatan
primer. Metode keperawatan moduler memiliki kesamaan baik dengan
metode keperawatan tim maupun metode keperawatan primer (Gillies,
1994). Metode ini sama dengan metode keperawatan tim karena baik
perawat

professional

maupun

non-profesional

bekerja

bersama

memberikan asuhan keperawatan di bawah kepemimpinan seorang


perawat profesional. Di samping itu, dikatakan memiliki dengan metode
keperawatan primer karena dua atau tiga orang perawat bertanggung jawab
atas sekelompok kecil pasien sejak masuk dalam perawatan hingga pulang,
bahkan sampai dengan waktu follow up care. Penetapan model ini
didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut, 1) Metode keperawatan
primer tidak digunakan secara murni, karena perawat primer memerlukan
latar belakang pendidikan S1 Keperawatan atau yang setara; 2) Metode
keperawatan tim tidak digunakan secara murni karena tanggung jawab
asuhan keperawatan pasien terfragmentasi pada berbagai tim; 3)Melalui
kombinasi

kedua

model

tersebut,

diharapkan

komunitas

asuhan

keperawatan dan akuntabilitas asuhan keperawatan terdapat pada perawat


primer Ratna S. Sudarsono (2000) .
Dalam memberikan asuhan keperawatan dengan menggunakan
metode keperawatan moduler, satu tim yang terdiri dari 2 hingga 3
perawat memiliki tanggung jawab penuh pada sekelompok pasien berkisar
dari 8 hingga 12 orang (Magargal, 1987). Hal ini tentu saja dengan suatu
persyaratan peralatan yang dibutuhkan dalam perawatan cukup memadai.
Sekalipun di dalam memberikan asuhan keperawatan dengan
menggunakan metode ini dilakukan oleh dua hingga tiga perawat,
tanggung jawab yang paling besar tetap ada pada perawat profesional.
Perawat profesional juga memiliki kewajiban untuk membimbing dan
melatih non-profesional. Apabila perawat profesional sebagai ketua tim
dalam keperawatan moduler ini tidak masuk, tugas dan tanggung jawab
dapat digantikan oleh perawat profesional lainnya yang berperan sebagai
ketua tim.
Peran perawat kepala ruang (nurse unit manager) diarahkan dalam
hal membuat jadwal dinas dengan mempertimbangkan kecocokan anggota
untuk bekerja sama, dan berperan sebagai fasilitator, pembimbing serta
motivator.
5. Manajemen Kasus Keperawatan
Metode ini merupakan generasi kedua dari metode keperawatan
primer (Zander, 1988). Pengembangan metode ini didasarkan pada buktibukti bahwa manajemen kasus dapat mengurangi pelayanan yang terpisah-

pisah dan duplikasi. Di sisi lain, metode kasus keperawatan ini menurut
Tahan dan Cesta (1994) akan memberikan kesempatan untuk komunikasi
di antara perawat, dokter, dan tim kesehatan lain, efesien dalam
manajemen keperawatan melalui monitoring, koordinasi dan intervensi.
Selain itu, Gibson et al. (1994), Tahan dan Cesta (1994) serta Wimpsett
(1994), memberikan tekanan bahwa manajemen kasus meningkatkan
komunikasi multidiciplinair dan kolaborasi tim. Bukti-bukti lain tentang
pengembangan metode manajemen kasus diutarakan oleh Smith (1991)
bahwa tujuan perawat-pasien lebih spesifik, realistik dan bisa diukur.
Rogers

(1991)

menyoroti

bahwa

dengan

pengaplikasian

metode

manajemen kasus, akan berdampak positif yaitu lama perawatan pasien


menjadi lebih pendek.
Metode manajemen kasus keperawatan adalah bentuk pemberian
asuhan keperawatan dan manajemen sumber-sumber terkait yang
memungkinkan adanya manajemen yang strategis dari cost dan quality
oleh seorang perawat untuk suatu episode penyakit hingga perawatan
lanjut. Menurut American Nurses Association (ANA)(1988), manajemen
kasus (case management) adalah suatu system pemberian pelayanan
kesehatan yang didesain untuk memfasilitasi pencapaian tujuan pasien
yang diharapkan dalam kurun waktu perawatan di rumah sakit. Tujuan dari
manajemen kasus adalah meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan,
menurunkan atau mengurangi pengkotaan dari pelayanan kesehatan,

meningkatkan kualitas hidup pasien, efesiensi penggunaan sumber-sumber


pelayanan kesehatan, dan efesiensi biaya.
Sebagaimana dikutip oleh Togno-Armanasco et al. (1989), Zander
(1988) dalam Gilies (1994), tujuan dari metode manajemen kasus
keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien adalah
untuk merumuskan dan mencapai hasil yang standar dalam perawatan
untuk setiap pasien, memfasilitasi pasien yang akan pulang baik lebih awal
dari masa perawatan yang ditentukan (early patient discharge) maupun
pada waktu yang direncanakan, menggunakan sedikit mungkin sumber
pelayanan kesehatan untuk mencapai hasil yang diharapkan, meningkatkan
profesionalisasi perawat dan kepuasan kerja, dan memungkinkan
terjadinya transfer of knowledge di antara anggota.
Dalam manajemen kasus keperawatan, seorang perawat akan
bertugas sebagai case manager untuk seorang (mungkin lebih) pasien,
sejak masuk ke rumah sakit hingga pasien tersebut selesai dari masa
perawatan dan pengobatan. Sebagai case manager, perawat memiliki
tanggung jawab dan kebebasan untuk perencanaan, pelaksanaan,
koordinasi, dan evaluasi. Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, dalam
memberikan asuhan keperawatan dengan metode manajemen kasus, case
manager senantiasa mempertimbangkan dua rangkaian dari quality-costaccess dan consumers-providers-funders.

C. Metode Pemberian Asuhan Keperawatan Moduler di Paviliun Garuda


RSUP dr Kariadi Semarang
Pedoman pelaksanaan metode pemberian asuhan keperawatan ini
didasarkan pada Keputusan Direktur Utama RSUP Dr Kariadi semarang
nomor: KP.08.02/I/563/2010. Metode keperawatan moduler merupakan
metode modifikasi keperawatan tim primer, dalam rangka meningkatkan
efektifitas konsep keperawatan melalui asuhan keperawatan moduler. Sistem
ini dipimpin oleh perawat register yang beranggota perawat lain maupun
tenaga non keperawatan lain sebagai anggota tim, yang bertanggung jawab
memberikan asuhan keperawatan di bawah pengarahan dari pimpinannya.
Pimpinan timnya dikenal dengan Perwat Primer dan perawat anggota timnya
dikenal dengan perawat associate.
Di RSUP Dr Kariadi Semarang setiap ruang keperawatan memiliki
kondisi yang berbeda baik yang menyangkut SDM, jenis kasus dan tingkat
keparahan penyakit maupun tingkat ketergantungan pasien terhadap pelayanan
keperawatan, sehingga metode yang digunakan tidak dapat disamakan untuk
semua ruang perawatan.
Berdasarkan analisis kondisi yang ada metode pemberian asuhan
keperawatan yang dapat digunakan adalah metode primer, metode moduler
dan metode manajemen kasus.
Pemilihan metode pemberian asuhan keperawatan dipengaruhi berbagai faktor
diantaranya:
1. Rasio perawat dan pasien

2. Jenis dan tingkat keparahan penyakit


3. Jumlah dan kualifikasi perawat
4. Tingkat ketergantungan pasien terhadap pelayanan keperawatan
5. Standar prosedur operasi (SPO) yang berlaku terkait dengan pelayanan
keperawatan
Berdasarkan hal tersebut setiap rumah sakit dapat menentukan metode
pemberian asuhan keperawatan apa yang sesuai dengan kondisinya.
Di RSUP Dr Kariadi metode moduler digunakan di Instalasi Rawat Inap,
Instalasi Geriatri, Instalasi Jantung dan pembuluh darah, Instalasi Paviliun
Garuda, dan Ruang Radium. Hal ini didasarkan:
1. Di tempat-tempat tersebut tingkat keparahan penyakit bervariasi dari
ringan sampai berat
2. Tidak semua pasien membutuhkan perawatan secara langsung dari
perawat setara perawat primer
3. Pasien dengan tingkat keparahan ringan maupun sedang masih dapat
dirawat oleh perawat lain yang berada dalam satu tim, walaupun tetap
dalam supervisi perawat primer
4. Masa kerja dan pendidikan perawat ditempat-tempat tersebut juga
bervariasi sehingga belum semua perawat memiliki kompetensi setara
perawat primer
5. Tingkat ketergantungan pasien dirawat inap juga bervariasi dari perawatan
mandiri sampai total
6. Satu orang perawat primer dapat bertanggung jawab terhadap 4 - 6 pasien

7. Idealnya 1 tim keperawatan terdiri dari 2 3 perawat dalam satu shift


dinas
8. Memberikan asuhan keperawatan terhadap 8 12 pasien
9. Aktivitas tim sebagai suatu kesatuan mempunyai pandangan yang holistik
terhadap setiap kebutuhan pasien
10. Asuhan diberikan semenjak pasien masuk rumah sakit sampai pasien
pulang
Keuntungan metode moduler adalah
1. Mutu pelayanan keperawatan meningkat karena pasien mendapat
pelayanan keperawatan secara komprehensif sesuai dengan kebutuhan
perawatan pasien.
2. Tidak banyak tenaga perawat profesional/Ners yang dimanfaatkan
sehingga biaya menjadi lebih efektif
Alur Pelayanan dan Komunikasi pada metode moduler
1. Alur komunikasi metode moduler
a. Setiap pasien di kelola seorang PP yang bertanggung jawab
b. Perawat Primer (PP) dibantu oleh Perawat associate yang berada
dalam satu Tim
c. Perawat primer (PP) berkomunikasi dan berkolaborasi dengan
DPJP mengenai keadaan pasien dan rencana perawatan pasien
d. Perawat Primer (PP) berkoordinasi dengan kepala ruang untuk
pemenuhan fasilitas pelayanan dan kebutuhan pasien

e. Perawat primer (PP) memberikan asuhan keperawatan kepada


perawat associate terkait dengan implementasi rencana asuhan
keperawatan pasien
f. Jika ada perubahan kondisi pasien yang mengharuskan merubah
perencanaan asuhan keperawatan perawat associate melaporkan
kepada perawat primer untuk modifikasi perencanaan asuhan
keperawatan
g. Perawat Primer (PP) berkolaborasi dengan tim kesehatan lain
terkait dengan perencanaan asuhan keperawatan pasien
2. Uraian tugas
a. kepala ruang
1) Membuat rencana program kerja termasuk supervisi
2) Membuat laporan hasil kerja
3) Mengatur pembagian tugas (jadwal dinas)
4) Mengatur dan mengendalikan kebersihan dan ketertiban
ruangan
5) Mengadakan diskusi dengan staf untuk memecahkan masalah
di ruangan
6) Memfasilitasi proses bimbingan siswa/mahasiswa dan bekerja
sama dengan pembimbing klinik dalam memberikan askep di
ruangan,

dengan

mengikuti

keperawatan yang sudah ada

metode

pemberian

asuhan

7) Mengorientasikan

pegawai

baru,

residen,

mahasiswa

kedokteran, dan mahasiswa keperawatan yang akan melakukan


praktek di ruangan (disepakati dengan CCM) dengan
menggunakan format orientasi
8) Menciptakan dan memelihara hubungan kerja yang harmonis
dengan klien/keluarga dan tim kesehatan lain
9) Memantau kelengkapan persediaan rekam medic
10) Melaksanakan pembinaan terhadap PP dan PA dalam hal
implementasi

sistem

pemberian

pelayanan

keperawatan

profesional, termasuk sikap dan tingkah laku professional


berdasarkan koordinasi dengan CCM
11) Menunjuk PP pengganti atau mendelegasikan kepada PP senior
bila PP cuti, tetapi tetap dibawah pengawasan kepala ruang
rawat dan CCM
12) Merencanakan dan memfasilitasi kesediaan fasilitas yang
dibutuhkan ruangan
13) Memantau dan mengevaluasi penampilan kerja semua tenaga
yang ada di ruangan, membuat DP3, dan usulan kenaikan
pangkat
14) Melakukan pertemuan rutin dengan semua perawat setiap bulan
untuk mengevaluasi pelaksanaan asuhan keperawatan dan
membahas kebutuhan di ruangan

15) Merencanakan dan melaksanakan evaluasi mutu asuhan


keperawatan (bersama dengan CCM)
b. Clinical Care Manajer (CCM) / Manajer Keperawatan Klinik
1) Bersama Bidang Pelayanan Keperawatan menysun program
kerja harian, mingguan, bulanan, tahunan
2) Membuat dan mengusulkan standar/ SOP tentang keperawatan
3) Melakukan evaluasi penerapan terhadap SAK/standar asuhan
keperawatan
4) Sebagai Tim penilai kompetensi keperawatan
5) Membimbing PP pada implementasi SP2KP
6) Melakukan evaluasi penerapan SP2KP
7) Mengevaluasi indicator mutu pelayanan keperawatan
8) Memvalidasi dan merevisi dan memberikan asupan data pasien
berdasarka dokumentasi dan melakukan pemeriksaan langsung
kepada pasien dan keluarga
9) Bila pada dokumentasi pasien belum ada renpra yang sudah
dievaluasi PP, bersama-sama PP menetapkan diagnosis
keperawatan yang sesuai kondisi pasien, dengan menggunakan
standar renpra yang sudah disepakati
10) Membahas dan mengevaluasi PP, tentang pembagian tugas
bagi PA
11) Memberikan masukan tentang pembagian tugas PA

12) Mengobservasi dan member masukan kepada PP terkait dengan


bimbingan yang diberikan PP kepada PA
13) Memberi masukan pada diskusi kasus yang dilakukan PP dan
PA
14) Mempresentasikan

isu-isu

baru

terkait

dengan

asuhan

keperawatan
15) Melakukan audit terhadap fakta dan temuan yang memerlukan
pembuktian
16) Mengidentifikasi masalah penelitian, merancang usulan dan
melakukan penelitian
17) Menerapkan hasil-hasil penelitian dalam memberi asuhan
keperawatan
18) Bekerja sama dengan kepala ruangan dalam hal: melakukan
evaluasi tentang mutu asuhan keperawatan, mengkoordinasi,
mengarahkan dan mengevaluasi mahasiswa praktek, serta
membahas dan mengevaluasi tentang implementasi SP2KP
19) Mengevaluasi pendidikan kesehatan yang dilakukan PP dan
member masukan untuk perbaikan
20) Merancang

pertemuan

ilmiah

untuk

membahas

hasil

evaluasi/penelitian tentang askep


21) Membuat laporan hasil kinerja pada Kepala Bidang Pelayanan
Keperawatan melalui Kasie terkait
c. Perawat Primer

1) Melakukan kontrak dengan klien/keluarga pada awal masuk


ruangan sehingga tercipta hubungan terapeutik. (Hubungan ini
dibina

secara

terus-menerus

pada

saat

melakukan

pengkajian/tindakan kepada klien/keluarga)


2) Melakukan pengkajian terhadap klien baru atau melengkapi
pengkajian yang sudah dilakukan PP/PA pada sore, malam,
atau hari libur
3) Menetapkan rencana asuhan keperawatan berdasarkan analisis
standar rencana perawatan sesuai dengan hasil pengkajian
4) Menjelaskan rencana perawatan yang sudah ditetapkan kepada
PA di bawah tanggung jawabnya sesuai klien yang dirawat
(preconference)
5) Menetapkan PA yang bertanggung jawab pada setiap klien,
setiap kali giliran jaga (shift). Pembagian klien didasarkan pada
jumlah klien, tingkat ketergantungan klien, dan tempat tidur
yang berdekatan.
6) Bila pada satu tugas jaga (shift) PP didampingi oleh dua orang
PA, maka semua klien dibagi pada kedua PA sebagai
penanggung jawabnya.
7) PP akan membimbing dan membantu PA dalam memberikan
asuhan keperawatan. Bila PP hanya didampingi oleh satu orang
PA pada satu tugas jaga maka jumlah klien yang menjadi
tanggung jawab PP lebih sedikit dari PA dan diutamakan klien

dengan tingkat ketergantungan tinggi sedangkan klien dengan


tingkat ketergantungan minimal maupun sedang menjadi
tanggung jawab PA
8) Penetapan ini dimaksudkan agar PP memiliki waktu untuk
membimbing dan membantu PA di bawah tanggung jawabnya
dalam memberikan asuhan keperawatan.
9) Melakukan bimbingan dan evaluasi (mengecek) PA dalam
melakukan tindakan keperawatan, apakah sesuai dengan SPO
10) Memonitor dokumentasi yang dilakukan oleh PA
11) Membantu dan memfasilitasi terlaksananya kegiatan PA
12) Melakukan

tindakan

keperawatan

yang

bersifat

terapi

keperawatan dan tindakan keperawatan yang tidak dapat


dilakukan oleh PA
13) Mengatur pelaksanaan konsul dan pemeriksaan laboratorium
14) Melakukan kegiatan serah terima klien di bawah tanggung
jawabnya bersama dengan PA
15) Mendampingi dokter visite klien di bawah tanggung jawabnya.
Bila PP tidak ada, visite didampingi oleh PA sesuai timnya
16) Melakukan evaluasi asuhan keperawatan dan membuat catatan
perkembangan klien setiap hari
17) Melakukan pertemuan dengan klien/keluarga untuk membahas
kondisi keperawatan klien (bergantung pada kondisi klien)

18) Bila PP cuti/libur, tugas-tugas PP didelegasikan kepada PA


yang telah ditunjuk (wakil PP) dengan bimbingan kepala ruang
rawat atau CCM
19) Memberikan pendidikan kesehatan kepada klien/keluarga
20) Membuat perencanaan pulang
21) Bekerja sama dengan Clinical Carfe Manajer (CCM)
mengidentifikasi isu yang memerlukan pembuktian sehingga
tercipta evidence base practice (EBP)
d. Perawat Associate
1) Membaca rencana perawatan yang telah ditetapkan PP
2) Membina hubugan teraupetik dengan klien/keluarga, sebagai
lanjutan kontrak yang sudah dilakukan PP
3) Menerima klien baru (kontrak) dan memberikan informasi
berdasarkan format orientasi klien/keluarga jika PP tidak ada di
tempat
4) Melakukan pengkajian dasar pada pasien baru bila PP tidak ada
di tempat
5) Melakukan tindakan keperawatan pada kliennya berdasarkan
rencana perawatan
6) Melakukan evaluasi terhadap tindakan yang telah dilakukan
dan mendokumentasikannya pada format yang tersedia
7) Mengikuti visite dokter bila PP tidak di tempat
8) Memeriksa kerapian dan kelengkapan status keperawatan

9) Membuat catatan keperawatan terhadap tindakan keperawatan


yang sudah dilakukan
10) Mengkomunikasikan kepada PP bila menemukan masalah yang
perlu diselesaikan
11) Menyiapkan klien untuk pemeriksaan diagnostic, laboratorium,
pengobatan, dan tindakan
12) Berperan serta dalam memberikan pendidikan kesehatan pada
klien/keluarga yang dilakukan oleh PP
13) Melakukan invetarisasi fasilitas yang terkait dengan timnya
14) Membantu tim lain yang membutuhkan
15) Memberikan resep dan menerima obat dari keluarga klien yang
menjadi tanggung jawabnya dan berkoordinasi dengan PP

D. Kerangka Teori
Tuntutan masyarakat
terhadap pelayanan
kesehatan bermutu

Perbaikan sistem

Penyediaan sarana dan


prasarana yang menunjang
pelaksanaan tugas (quality of
services)

Perbaikan manajemen

Peningkatan dan
pengembangan sumber daya
manusia atau tenaga
kesehatan (quality of care)

Pelaksanaan metode
pemberian asuhan
keperawatan moduler:
Peran
Komunikasi
Kepuasan kerja

Persepsi berlainan diantara


perawat :
Pengalaman
Motivasi
Kepribadian

Mutu pelayanan keperawatan

Anda mungkin juga menyukai