Anda di halaman 1dari 71

LAPORAN AKHIR KELOMPOK

DEPARTEMEN GERONTIK
ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN HIPERTENSI
MENGGUNAKAN PENDEKATAN HOME VISIT LANSIA BESERTA
KELUARGA
DI RW I KELURAHAN PETUNG SEWU
Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Gerontik

Oleh : Kelompok 11
MUHAMMAD BADRUS SOLIKHIN
ANISA DEVI ROSARI SINAGA
AYU RINDU LESTARI
FATIMAH AZ ZAHRA
ERISKA PRATIWI
TITIK ZAHROTUL AINIYAH
INDAH ANGELICA
JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan

manusia.

Menjadi

tua

merupakan

proses

alamiah

yang

berarti

seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa,


dan tua. Proses menua bukanlah suatu penyakit dimana lambat atau
cepatnya proses tersebut proses tersebut tergantung pada masingmasing

individu

yang

bersangkutan

(Nugroho,

2008).

Menua

selanjutnya disebut sebagai lansia. Proses menua diartikan sebagai


proses biologi yang dicirikan dengan evolusi yang progresif dapat
diprediksi dan tidak dapat dihindari disertai dengan maturasi hingga
pada suatu fase akhir kehidupan yang disebut kematian (William,
2006).
Penggolongan lansia menurut WHO,meliputi middle age (45-59
tahun), elderly (60-74 tahun), old (75-90 tahun), very old (di atas 90
tahun) (Nugroho, 2000). Peningkatan usia harapan hidup berdampak
terhadap peningkatan jumlah lansia,yaitu usia 60 tahun ke atas
(Depkes RI, 2003). Pada tahun 2006 terdapat 19 juta jiwa lansia
dengan usia harapan hidup 66,2 tahun, pada tahun 2009 terdapat
19.32 juta jiwa (8.37% dari total penduduk). Diperkirakan pada tahun
2020 jumlah lansia mencapai 29 juta jiwa dengan usia harapan hidup
mencapai 71.1 tahun (Depsos RI, 2009).
Menurut Friedman, Bowden, dan

Jones (2003),

prevalensi

penyakit kronik cukup tinggi pada populasi lansia berusia 70 tahun ke


atas, mengalami arthritis 58,1%, hipertensi 45,0%, diabetes 12,0%,
dan stroke 8,9% (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010). Hipertensi
merupakan gangguan system peredaran darah yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah diatas nilai normal dengan tekanan darah
sistolik (TDS) > 140 mmHg dan/ atau tekanan darah diastolik (TDD) >
90 mmHg.. Hipertensi pada lansia mempunyai prevalensi yang tinggi,
pada usia di atas 65 tahun didapatkan 60-80%.
Puskesmas Dau merupakan unit pelayanan

kesehatan

masyarakat yang terletak di Kecamatan Dau Kota Malang dan

merupakan tonggak upaya kesehatan promotif dan preventif terhadap


penyakit yang banyak dijumpai di komunitas. Salah satu daerah yang
menjadi cakupan wilayah kerja Puskesmas Dau adalah

RW 01

Kelurahan Petung Sewu. Data lansia yang berusia 50 tahun keatas


didapatkan dari kader posyandu pada tahun 2015 ada sekitar 119
orang lansia dan sebagian besar diantaranya mengidap penyakit
hipertensi dan asam urat. Pada kelurahan binaan, yaitu Desa Petung
Sewu ditemukan 21 lansia menderita hipertensi. Hipertensi merupakan
penyakit terbanyak yang menyerang populasi lansia yang ada di RW
01 kelurahan Petung Sewu.
Berdasarkan hasil pengkajian di posyandu lansia Bu Sulikha yang
lokasinya berada di RT 2 kelurahan Petung Sewu kecamatan Dau
Malang yang dilakukan pada tanggal 26 27 Juli 2016, didapatkan data
bahwa masyarakat telah mempunyai posyandu lansia, hanya saja
pelaksanaannya dalam 1 tahun terakhir ini tidak berjalan dengan rutin.
Jumlah lansia yang > 50 tahun di RW 01 berjumlah sekitar 119 orang.
Dari total tersebut hanya 12 orang lansia saja yang aktif mengikuti
posyandu lansia. Dari data di atas lansia di RW 01 kelurahan Petung
Sewu beresiko terjadi penurunan derajat kesehatan karena lansia
jarang atau tidak pernah mengunjungi posyandu lansia dapat terjadi.
Berdasarkan hasil pengkajian kuesioner atau penjaringan
pertama, didapatkan bahwa masalah utama yang menyebabkan
tekanan darah pada agregat lansia dengan hipertensi tidak terkontrol
adalah kepatuhan diet terutama konsumsi kopi dan garam dan
pengobatan yang kurang baik. Untuk mengatasi hal ini, perawat perlu
melakukan pendekatan khusus guna mencapai target yang diharapkan
dalam menciptakan kondisi lansia yang sadar hipertensi, patuh
terhadap diet, olah raga dan pengobatan. Oleh karena itu, pada
kesempatan

profesi

ini,

kelompok

11

mahasiswa

profesi

PSIK

Universitas Brawijaya berupaya untuk memberikan asuhan atau


kelolaan pada agregat lansia dengan hipertensi di wilayah RW 1
kelurahan Petung Sewu dengan pendekatan home visit dengan
harapan akan meningkatkan kualitas penatalaksanaan hipertensi dan
pencegahan terhadap komplikasi hipertensi. Untuk mencapainya, maka

dilakukan metode pendidian kesehatan tentang hipertensi yang


meliputi defenisi, penyebab dan penatalaksanaan hipertensi serta
membantu agregat lansia untuk menerapkan informasi yang telah
didapat mengenai diet hipertensi dan pengobatannya dalam kehidupan
sehari-hari mereka.
1.2

Tujuan

Mampu meningkatkan kualitas hidup dan kemandirian lansia untuk


mematuhi penatalaksanaan yang tepat untuk pasien hipertensi,
melakukan

aktivitas

sesuai

toleransi,

hipertensi

dengan

menggunakan

dan

mencegah

asuhan

komplikasi

keperawatan

yang

komprehensif.
1.3
Manfaat
1.3.1 Teoritis
1. Lansia dan keluarga dapat memanfaatkan pengetahuan
yang diberikan perawat untuk meningkatkan kepatuhan
terhadap pengobatan, diet, dan rentang aktivitas lansia
untuk kegiatan sehari-hari
2. Lansia terhindar dari komplikasi

hipertensi.

Sebagai

pembuktian dari teori yang ada terhadap praktek mandiri


keperawatan
1.3.2 Manfaat Praktik
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk data puskesmas
dalam

upaya

memberikan

mengalami hipertensi.

kesehatan

pada

lansia

yang

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1

Konsep Lansia
2.1.1 Definisi Lansia
Penuaan dapat didefinisikan sebagai suatu hal fisiologis di
mana proses tersebut merupakan hal yang genetik, suatu terminasi
yang tak terelakkan dari pertumbuhan normal (Slamat, 2005).
Menurut Saparinah (2003) lansia yang berusia lebih dari 60 tahun
merupakan kelompok umur yang mencapai tahap pensiun, pada
tahap ini akan mengalami berbagai penurunan daya tahan tubuh
atau kesehatan dan berbagai tekanan psikologis. Dengan demikian
akan timbul perubahan-perubahan dalam hidupnya.

Batasan

umur lansia menurut WHO dibagi menjadi 4 yaitu : middle age (4559 tahun), elderly (60-74 tahun), old (75-90 tahun), very old (di
atas 90 tahun). Ada lagi yang membagi ke dalam : young old (6574 tahun), middle old (75-84 tahun), Old-old (usia 85 tahun ke atas)
(Mauk, 2010).
2.1.2 Proses Penuaan
Ada banyak teori yang mendukung proses penuaan. Namun
pada dasarnya, teori tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu teori biologis dan teori psikologis.
TEORI BIOLOGIS
Teori biologis mencoba untuk menjelaskan proses fisik penuaan,
termasuk perubahan fungsi dan struktur, pengembangan, panjang
usia dan kematian. Perubahan-perubahan dalam tubuh termasuk
perubahan molekular dan seluler dalam sistem organ utama dan
kemampuan tubuh untuk berfungsi secara adekuat dan melawan
penyakit. Teori biologis juga mencoba untuk menjelaskan mengapa
orang mengalami penuaan dengan cara yang berbeda dari waktu
ke waktu dan faktor apa yang mempengaruhi umur panjang,
perlawanan terhadap organisme, dan kematian atau perubahan
seluler.

Suatu

pemahaman

tentang

perspektif

biologi

dapat

memberikan pengetahuan pada perawat tentang

faktor resiko

spesifik dihubungkan dengan penuaan dan bagaimana orang dapat


dibantu

untuk

meminimalkan

atau

menghindari

risiko

dan

memaksimalkan kesehatan. Teori biologis terdiri dari:


a. Teori Genetika
Teori sebab akibat menjelaskan bahwa penuaan terutama
dipengaruhi oleh pembentukan gen dan dampak lingkungan
pada pembentukan kode genetik. Menurut teori genetika ,
penuaan adalah suatu proses yang secara tidak sadar
diwariskan

yang berjalan dari

waktu ke waktu

untuk

mengubah sel atau struktur jaringan. Dengan kata lain,


perubahan rentang hidup dan panjang usia telah ditentukan
sebelumnya.

Teori

genetika

terdiri

dari

teori

asam

deoksiribonukleat (DNA), teori ketepatan dan kesalahan,


mutasi

somatik,

dan

teori

glikogen.

Teori-teori

ini

menyatakan bahwa proses replikasi pada tingkatan seluler


menjadi tidak teratur karena adanya informasi tidak sesuai
yang diberikan dari inti sel. Molekul DNA menjadi saling
bersilangan (crosslink) dengan unsur yang lain sehingga
mengubah

informasi

genetik.

Adanya

crosslink

ini

mengakibat kesalahan pada tingkat seluler yang akhirnya


menyebabkan

sistem

dan

organ

tubuh

gagal

berfungsi. Bukti yang mendukung teori-teori ini

untuk

termasuk

perkembangan radikal bebas, kolagen, dan lipofusin. Selain


itu, peningkatan frekuensi kanker dan penyakit autoimun
yang dihubungkan dengan bertambahnya umur menyatakan
bahwa mutasi atau kesalahan terjadi pada tingkat molekuler
dan seluler.
b. Teori Seluler
Penuaan biologis terjadi secara perlahan-lahan, banyak
mempengaruhi beberapa sistem tubuh daripada sistem yang
lain dan mempercepat tahun kehidupan. Teori yang dibahas
seputar sel merupakan bagian dari proses penuaan tersebut
dan konsekuensinya. Hal itu akan tampak dari kemampuan
sel yang hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu dan

kebanyakan sel-sel tubuh diprogram


sekitar 50 kali. Jika sebuah sel

untuk membelah

pada lansia

dilepas dari

tubuh dan dibiakkan dilaboratorium, lalu diobservasi, jumlah


sel yang akan membelah akan terlihat sedikit. Hal ini
memberikan beberapa pengertian terhadap proses penuaan
biologis dan menunjukkan bahwa pembelahan sel lebih
lanjut mungkin terjadi untuk pertumbuhan dan perbaikan
jaringan, sesuai dengan berkurangnya umur.
c. Teori Imunitas
Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam
sistem imun yang berhubungan dengan penuaan. Ketika
orang

bertambah

tua,

pertahanan

mereka

terhadap

organisme asing mengalami penurunan, sehingga mereka


lebih rentan untuk menderita berbagai penyakit seperti
kanker dan infeksi. Seiring dengan berkurangnya fungsi
sistem

imun,

terjadilah

peningkatan

dalam

respon

autoimun tubuh. Ketika orang mengalami penuaan, mereka


mungkin

mengalami

reumatoid

dan

penyakit

alergi

autoimun

terhadap

seperti

makanan

dan

artritis
faktor

lingkungan yang lain. Penganjur teori ini sering memusatkan


pada peran kelenjar timus. Berat dan ukuran kelenjar timus
menurun seiring dengan bertambahnya umur, seperti halnya
kemampuan

tubuh

untuk

diferensiasi

sel

T.

Karena

hilangnya proses diferensiasi sel T, tubuh salah mengenal I


sel yang tua dan tidak beraturan sebagai benda asing dan
menyerangnya.

Selain

itu,

tubuh

kehilangan

kemampuannya untuk meningkatkan responsnya terhadap


sel asing, terutama bila menghadapi infeksi.
Pentingnya
pendekatan
pemeliharaan

kesehatan,

pencegahan penyakit, dan promosi kesehatan terhadap


pelayanan kesehatan, terutama pada saat penuaan terjadi,
tidak dapat diabaikan. Walaupun semua orang memerlukan
pemeriksaan rutin untuk memastikan deteksi dini dan
perawatan seawal mungkin, tetapi pada orang lanjut usia,

kegagalan melindungi sistem imun yang telah mengalami


penuaan

melalui

pemeriksaan

kesehatan

ini

dapat

mendorong ke arah kematian awal dan tidak terduga. Selain


itu, program imunisasi secara nasional untuk mencegah
kejadian

dan

penyebaran

epidemi

penyakit,

seperti

pneumonia dan influensa di antara orang lanjut usia juga


mendukung dasar teori praktik keperawatan.
d. Teori Neuroendokrin
Teori-teori biologi penuaan, berhubungan dengan hal-hal
seperti yang telah terjadi pada struktur dan perubahan pada
tingkat molekul dan sel, nampak sangat mengagumkan
dalam beberapa situasi. Sebagai contoh, diskusi sebelumnya
tentang kelenjar timus dan sistem imun serta interaksi
antara sistem saraf dan sistem endokrin menghasilkan
persamaan yang luar biasa. Pada kasus selanjutnya, para
ahli telah memikirkan bahwa penuaan terjadi oleh karena
adanya suatu perlambatan dalam sekresi hormon tertentu
yang mempunyai suatu dampak pada reaksi yang diatur oleh
sistem saraf.
Hal ini lebih jelas ditunjukkan dalam kelenjat hipofisis,
tiroid,adrenal,

dan

reproduksi.

Penelitian

terbaru

menyatakan bahwa walaupun kepercayaan telah diberikan


pada jam biologis yang dapat diprediksi yang mengendalikan
fertilitas, tetapi terdapat hal yang dapat dielajari lebih jauh
dati

penelitian

hubungannya

tentang

dengan

sistem

proses

neuroendokrin

penuaan

sistemik

dalam
yang

dikendalikan oleh suatu jam tubuh.


TEORI PSIKOSOSIOLOGI
Teori psikososial memusatkan perhatian pada perubahan
sikap dan prilaku yang menyertai peningkatan usia, sebagai
lawan dari implikasi biologi pada kerusakan anatomis. Untuk
tujuan pembahasab ni, perubahan sosiologis atau nonfisik
dikombinasikan dengan perubahan pskologis. Masing-masing
individu, muda, setengah baya, atau tua, adalah unik dan

memiliki pengalaman, melalui serangkaian kejadian dalam


kehidupan, dan melalui banyak peristiwa. Selama 40 tahun
terakhir,

beberapa

teori

telah

berupaya

untuk

menggambarkan bagaimana perilaku dan sikap pada awal


tahap

kehidupan

dapat

mempengaruhi

reaksi

manusia

sepanjang tahap akhir hidupnya. Teori psikologis terdiri dari:


a. Teori Kepribadian
Kepribadian manusia adalah suatu wilayah pertumbuhan
yang subur dalam tahun-tahun akhir kehidupan dan telah
meangsang

penelitian

yang

pantas

di

pertimbangkan.

Penelitian sebelumnya mencatat bahwa interioritas yang


meningkat adalah karakteristik dari lansia dan mengenali
delapan

pola

penyesuaian

terhadap

penuaan.

Mereka

menemukan bahwa penuaan yang sehat tidak bergantung


pada

jumlah

aktivitas

sosial

seseorang,

tetapi

pada

bagaimana kepuasan orang orang tersebut dengan aktivitas


sosial yang dilakukannya.
Bagi perawat yang bekerja dengan kelompok umur ini,
membantu orang lanjut usia mengidentifikasi peluang untuk
melakukan aktivitas sosial penuh arti dalam memfasilitasi
penuaan yang sukses. Teman-teman yang sangat berarti,
keluarga dan para profesional sering merasa terpaksa untuk
mendorong lansia agar mau terlibat dalam aktivitas sosial
yang diteima. Jika aktivitas ini dipandang oleh lansia sebagai
kegiatan yang tidak menyenangkan dan tidak berguna, ia
tidak mungkin memberikan respons pada dorongan tersebut.
Sebaliknya,

banyak

lansia

yang

secara

aktif

mencari

persahabatan dengan orang lain.


b. Teori Tugas Perkembangan
Hasil penelitian Erickson, mungkin teori terbaik yang dikenal
dalam bidang ini. Tugas perkembangan adalah aktivitas dan
tantangan yang harus dipenuhi oleh seseroang pada tahaptahap spesifik dalam hidupnya untuk mencapai penuaan
yang sukses. Erikson menguraikan tugas utama lansia
adalah

mampu

melihat

kehidupan

seseorang

sebagai

kehidupan yang dijalani dengan integritas. Pada kondisi tidak


adanya pencapaian perasaan bahwa ia telah menikmati
kehidupan yang baik, maka lansia tersebut berisiko untuk
disibukkan dengan rasa penyesalan atau putus asa. Minat
terbaru dalm konsep ini sedang terjadi pada saat ahli
gerontologi memeriksa kembali tugas perkembangan lansia.
c. Teori Disengagement
Teori
disengagement
(teori
pemutusan
hubungan),
dikembangkan

pertamakali

pada

awal

tahun

1960-an,

menggambarkan proses penarikan diri oleh lansia dari peran


masyarakat dan tanggung jawabnya. Menurut ahli teori ini,
proses penarikan diri ini dapat dirprediksi, sistematis, tidak
dapat dihhindari, dan penting untuk fungsi yang tepat dari
masyarakat yang sedang tumbuh, Lansia dikatakan akan
bahagia

apabila

kontak

sosial

telah

berkurang

dan

tanggungn jawab telah diambil oleh generasi yang lebih


muda. Manfaat pengurangan kontak sosial bagi lansia adalah
agar ia dapat menyediakan waktu untuk merefleksikan
pencapaian hidupnya dan untuk menghadapi harapan yang
tidak terpenuhi, sedangkan manfaatnya bagi masyarakat
adalah dalam rangka memindahkan kekuasaan generasi tua
kepada generasi muda.
d. Teori Aktivitas
Lawan langsung teori disengagement adalah teori aktivitas
penuaan, yang berpendapat bahwa jalan menuju penuaan
yang sukses adalah dengan cara tetap aktif. Havighhurst
yang pertama menulis tentang pentingnya

tetap aktif

secara sosial sebagai alat untuk penyesuaian diri yang sehat


untuk lansia. Sejak saat itu, berbagai penelitian telah
memvalidasi
interaksi

hubungan

yang

penuh

positif
arti

antara
dengan

mempertahankan
orang

lain

dan

kesejahteraan fisik dan mental orang tersebut.


Kesempatan untuk turut berperan dengan cara yang penuh
arti

bagi kehidupan seseorang yang penting bagi diriya

adalah suatu komponen kesejahteraan yang penting bagi

lansia. Penelitian menunjukkan

bahwa hlangnya fungsi

peran ppada lansia secara negatif mempengaruhi kepuasan


hidup. Selain itu, penelitian terbaru menunjukkan pentingnya
aktivitas mental dan fisik yang berkesinambungan untuk
mencegah

kehilangan

dan

pemeliharaan

kesehatan

sepanjang masa kehidupan manusia.


e. Teori Kontinuitas
Teori kontinuitas, juga dikenal sebagai suatu teori
perkembangan, merupakan suatu kelanjutan dari kedua teori
sebelumnya dan mencoba untuk menjelaskan dampak
kepribadian pada kebutuhan untuk tetap aktif atau
memisahkan diri agar mencapai kebahagiaan dan
terpenuhinya kebutuhan di usia tua. Teori ini menekankan
pada kemampuan koping individu sebelumnya dan
kepribadian sebagai dasar untuk memprediksi bagaimana
seseorang akan dapat menyesuaikan diri terhadap
perubahan akibat penuaan. Ciri kepribadian dasar dikatakan
tetap tidak berubah walaupun usianya telah lanjut.
2.2 Konsep Sindrom Geriatri
2.2.1 Definisi Sindrom Geriatri
Gerontik sindrom atau biasa disebut Sindrom geriatri adalah
serangkaian

kondisi

mempengaruhi
kecacatan

klinis

kualitas

(Dini,

2013).

pada

hidup

orang

pasien

Sindrom

dan

geriatri

tua

yang

dikaitkan
meliputi

dapat
dengan

gangguan

kognitif, depresi, inkontinensia, ketergantungan fungsional, dan


jatuh. Sindrom ini dapat menyebabkan angka morbiditas yang
signifikan dan keadaan yang buruk pada usia tua yang lemah.
Sindrom ini biasanya melibatkan beberapa sistem organ. Sindrom
geriatrik

mungkin

memiliki

kesamaan

patofisiologi

meskipun

presentasi yang berbeda, dan memerlukan intervensi dan strategi


yang fokus terhadap faktor etiologi (Panitia et al, 2011).
2.2.2 Jenis Sindrom Geriotrik
Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan
yang sering dijumpai baik mengenai fisik atau psikis pasien usia
lanjut. Menurut Solomon dkk: The 13 i yang terdiri dari
Immobility

(imobilisasi),

Instability

(instabilitas

dan

jatuh),

Intelectual impairement (gangguan intelektual seperti demensia


dan delirium), Incontinence (inkontinensia urin dan alvi), Isolation
(depresi), Impotence (impotensi), Immuno-deficiency (penurunan
imunitas), Infection (infeksi), Inanition (malnutrisi), Impaction
(konstipasi),

Insomnia

(gangguan

tidur),

Iatrogenic

disorder

(gangguan iatrogenic) dan Impairement of hearing, vision and


smell

(gangguan

pendengaran,

penglihatan

dan

penciuman)

(Setiati dkk., 2006).


1. Imobilisasi
Imobilisasi

definisikan

sebagai

keadaan

tidak

bergerak/tirah baring selama 3 hari atau lebih, dengan gerak


anatomi tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologis.
Berbagai

faktor

fisik,

psikologis,

dan

lingkungan

dapat

menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Penyebab utama


imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan,

dan

masalah

psikologis.

Beberapa

informasi penting meliputi lamanya menderita disabilitas yang


menyebabkan

imobilisasi,

penyakit

yang

mempengaruhi

kemampuan mobilisasi, dan pemakaian obat-obatan untuk


mengeliminasi

masalah

iatrogenesis

yang

menyebabkan

imobilisasi (Kane et al., 2008).


2. Instabilitas
Terdapat banyak faktor yang berperan untuk terjadinya
instabilitas dan jatuh pada orang usia lanjut. Jatuh adalah
kejadian tidak diharapkan dimana seorang jatuh dari tempat
yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah atau sama
tingginya. Sebanyak 30% lansia 65 tahun mengalami jatuh.
Kondisi jatuh dipengaruhi stabilitas badan yang ditunjang oleh
sistem

sensorik

(penglihatan,

pendengaran,

vestibuler,

proprioseptif), susunan saraf pusat, kognisi, dan fungsi


muskuloskeletal. Ia juga dipengaruhi faktor ekstrinsik seperti
pengaruh obat dan kondisi lingkungan. Penyebab jatuh ada
beragam, antara lain kecelakaan, nyeri kepala dan atau

vertigo,

hipotensi

antihipertensi,

ortostatik,

antidepresan

obat-obatan

trisiklik,

sedatif,

(diuretik,
antipsikotik,

hipoglikemk, alkohol), proses penyakit (aritmia, TIA, stroke,


parkinson), idiopatik, dan sinkop (drop attack, penurunan
CBF).
Jatuh menimbulkan komplikasi perlukaan jaringan lunak
dan fraktur (terutama pelvis, kolum femoris), imobilisasi,
disabilitas, risiko meninggal. Jatuh perlu dicegah dengan
identifikasi semua faktor risiko intrinsik maupun ekstrinsik,
penilaian pola berjalan dan keseimbangan (tes romberg), dan
pemeriksaan rutin. Setiap lansia selalu harus ditanyakan
riwayat jatuh dan evaluasi status kesehatan. Tatalaksana jatuh
adalah pencegahan sesuai dengan etiologi yang dirasa
memberi risiko terjadinya jatuh.
3. Gangguan Intelektual
Keadaan
yang
terutama

menyebabkan

gangguan

intelektual pada pasien lanjut usia adalah delirium dan


demensia. Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan
memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang
tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran.
Demensia tidak hanya masalah pada memori. Demensia
mencakup

berkurangnya

kemampuan

untuk

mengenal,

berpikir, menyimpan atau mengingat pengalaman yang lalu


dan juga kehilangan pola sentuh, pasien menjadi perasa, dan
terganggunya aktivitas (Geddes et al., 2005; Blazer et al.,
2009). Perjalanannya bertahap dan tidak ada gangguan
kesadaran.

Biasanya

dementia

tidak

didiagnosis

karena

dianggap wajar oleh masyarakat. Gangguan memori yang


menurun tanpa perubahan fungsi kognitif dan ADL dinamakan
Mild

Cognitive

Impairment.

Sebagian

berkembang menjadi dementia.


Diagnosis dementia ditegakkan

keadaan
dengan

ini

akan

anamnesis,

pemeriksaan Mini Mental State Examination dan penyebab


pastinya dengan pemeriksaan patologi. Dementia dibagi
menjadi 4 golongan: dementia degeneratif primer/Alzheimer

(50-60%),

dementia

multi

infark

(10-20%),

dementia

reversibel/sebagian reversibel (20-30%), dan gangguan lain


(5-10%).
Penyebab dementia yang reversibel dapat dibuat matriks
jembatan keledai berikut:
D
: drugs
E : emotional (emosi, depresi)
M: metabolik/endokrin
E : eye and ear (mata dan telinga)
N
: nutrisi
T : tumor trauma
I : infeksi
A: arteriosklerosis
Prinsip tatalaksana dementia adalah optimalisasi fungsi
pasien, mengenali dan mengatasi komplikasi, rawat
berkelanjutan, informasi pada keluarga, dan nasihat pada
keluarga.
4. Inkontinensia urin dan alvi
Inkontinensia urin idefinisikan sebagai keluarnya urin
yang tidak dikehendaki dalam jumlah dan frekuensi tertentu
sehingga menimbulkan masalah sosial dan atau kesehatan.
Inkontinensia urin merupakan salah satu sindroma geriatrik
yang sering dijumpai pada usia lanjut. Diperkirakan satu dari
tiga wanita dan 15-20% pria di atas 65 tahun mengalami
inkontinensia urin. Inkontinensia urin merupakan fenomena
yang

tersembunyi,

disebabkan

oleh

keengganan

pasien

menyampaikannya kepada dokter dan di lain pihak dokter


jarang mendiskusikan hal ini kepada pasien (Kane et al., 2008;
Cigolle et al., 2007).
International
Consultation

on

Incontinence,

WHO

mendefinisikan Faecal Incontinence sebagai hilangnya tak


sadar feses cair atau padat yang merupakan masalah sosial
atau

higienis.

Definisi

lain

menyatakan,

Inkontinensia

alvi/fekal sebagai perjalanan spontan atau ketidakmampuan


untuk

mengendalikan

pembuangan

feses

melalui

anus.

Kejadian inkontinensia alvi/fekal lebih jarang dibandingkan

inkontinensia urin (Kane et al., 2008). Berikut klasifilaksi


inkontinensia urin:
a. Inkontinensia urin stress (stres inkontinence)
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya
tekanan intraabdominal, seperti pada saat batuk,
bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh
melemahnya

otot

dasar

panggul,

merupakan

penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di


bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita
tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan
pada

sfingter

transurethral

urethra
dan

setelah

radiasi.

pembedahan

Pasien

mengeluh

mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau


berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau
banyak.
b. Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan
dengan sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin
jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor
tak

terkendali

masalah

(detrusor

neurologis

overactivity).

sering

Masalah-

dikaitkan

dengan

inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit


Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis.
Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di
toilet

setelah

sehingga

timbul

timbul

keinginan

peristiwa

untuk

berkemih

inkontinensia

urin.

Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab


tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun.
Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas
detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien
mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat
mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka
memiliki

gejala

seperti

inkontinensia

urin

stress,

overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk


mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai

ikontinensia urin tipe lain sehingga penanganannya


tidak tepat.
c. Inkontinensia urin luapan/overflow (overflow
incontinence)
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan
dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal
ini

disebabkan

oleh

obstruksi

anatomis,

seperti

pembesaran prostat, faktor neurogenik pada diabetes


melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan
berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih,
dan

faktor-faktor

obat-obatan.

Pasien

umumnya

mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi


bahwa kandung kemih sudah penuh.
d. Inkontinensia urin fungsional
Inkontinensia fungsional merupakan

keadaan

seseorang yang mengalami pengeluaran urin secara


tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan
inkontinensia

ini

ditandai

dengan

tidak

adanya

dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung


kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup kuat
untuk mengeluarkan urin (Hidayat,2006).
Inkontinensia fungsional merupakan inkontinensia
dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh
tetapi ada faktor lain, seperti gangguan kognitif berat
yang

menyebabkan

pasien

sulit

untuk

mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya, demensia


Alzheimer) atau gangguan fisik yang menyebabkan
pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet
untuk melakukan urinasi
e. Inkontinensia Refleks
Inkontinensia refleks merupakan keadaan di mana
seseorang mengalami pengeluaran urin yang tidak
dirasakan,

terjadi

pada

interval

yang

dapat

diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai


jumlah tertentu. Inkontinensia tipe ini kemungkinan
disebabkan oleh adanya kerusakan neurologis (lesi

medulla
dengan

spinalis).
tidak

Inkontinensia

adanya

dorongan

refleks
untuk

ditandai
berkemih,

merasa bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi


atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada
f.

interval teratur (Hidayat, 2006).


Inkontinensia Total
Inkontinensia total merupakan keadaan dimana
seseorang mengalami pengeluaran urin yang terus
menerus dan tidak dapat diperkirakan. Kemungkinan
penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi
neorologis, kontraksi independen dan refleks detrusor
karena pembedahan, trauma atau penyakit yang
mempengaruhi

saraf

medulla

spinalis,

fistula,

neuropati (Hidayat, 2006).


5. Isolasi / depresi
Pada lansia menurut Blazer (1993, dalam Miller, 2004)
depresi disebabkan oleh faktor biologi, psikologi, dan
kognitif.

Segal,

et

al.,

(2009)

menyatakan

bahwa

penyebab dan faktor resiko yang berkontribusi terjadinya


depresi pada lansia adalah:
a. Kesepian dan isolasi, hidup sendiri, berkurangnya
lingkungan sosial karena kematian atau tinggal di
tempat

penampungan

(panti),

menurunnya

mobilitas fisik akibat penyakit atau kehilangan


motivasi untuk beraktivitas.
b. Penurunan perasaan tujuan;
mempunyai

tujuan

karena

perasaan

kehilangan

tidak

identitas

akibat pension atau keterbatasan aktivitas fisik.


c. Masalah kesehatan; penyakit dan ketidakmampuan,
nyeri

kronik

atau

nyeri

hebat,

penurunan

kemampuan kognitif, kerusakan anggota tubuh


akibat pembedahan atau penyakit.
d. Pengobatan; beberapa obat dapat mencetuskan
atau membangkitkan depresi.

e. Ketakutan;

takut

akan

kematian

dan

sekarat

(dying), cemas yang berlebihan terhadap masalah


f.

finansial dan masalah kesehatan.


Kesedihan yang baru terjadi; kematian teman,
anggota keluarga, binatang kesayangan, hilangnya

pasangan atau mitra.


Tanda dan gejala depresi

menurut

World

Health

Organization berdasarkan ICD 10 bahwa seseorang yang


mengalami depresi terdapat 2 dari 3 gejala inti depresi,
yaitu suasana hati (mood) rendah (merasa tertekan, tidak
bahagia, menyedihkan atau sedih), kelelahan (perasaan
melelahkan

atau

mempunyai

energy

sedikit)

dan

anhedonia (tidak ada minat atau kesenangan dalam


berbagai hal) dan gejala ini sering ditemukan dalam seharihari atau hampir setiap hari dan sedikitnya dua minggu
(World Health Organization, 2009).
6. Impotensi
50 % pria pada umur 65 tahun dan 75 % pria pada usia
80 tahun mengalami impotensi. 25 % terjadi akibat
mengomsumsi obat-obatan seperti:
Anti hipertensi
Anti psikosa
Anti depressant
Simetidin
Litium (mood stabilizer)
Selain karena mengonsumsi obat-obatan, impotensi
dapat terjadi akibat menurnnya kadar hormon (Setati et al,
2006).
7. Immunodeficiency
Perubahan yang terjadi dari proses menua adalah:
Berkurangnya imunitas yang dimediasi oleh sel
Rendahnya afinitas produksi antibodi
Meningkatnya autoantibodi
Terganggunya fungsi makrofag
Berkurangnya hipersensitivitas tipe lambat
Atropi timus
Hilangnya hormon timus
Berkurangnya produksi sel B oleh sel-sel sumsum
tulang (Sharon et.al, 2007)

8. Infeksi
Infeksi pada usia lanjut (usila) merupakan penyebab
kesakitan dan kematian no. 2 setelah penyakit kardiovaskular
di dunia. Hal ini terjadi akibat beberapa hal antara lain:
adanya

penyakit

menurunnya

komorbid

daya

kronik

tahan/imunitas

yang

cukup

terhadap

banyak,
infeksi,

menurunnya daya komunikasi usila sehingga sulit/jarang


mengeluh, sulitnya mengenal tanda infeksi secara dini. Ciri
utama pada semua penyakit infeksi biasanya ditandai dengan
meningkatnya temperatur badan, dan hal ini sering tidak
dijumpai pada usia lanjut, 30-65% usia lanjut yang terinfeksi
sering tidak disertai peningkatan suhu badan, malah suhu
badan dibawah 36C lebih sering dijumpai. Keluhan dan gejala
infeksi semakin tidak khas antara lain berupa konfusi/delirium
sampai koma, adanya penurunan nafsu makan tiba-tiba,
badan menjadi lemas, dan adanya perubahan tingkah laku
sering terjadi pada pasien usia lanjut (Kane et al., 2008).
9. Malnutrisi
Etiologi malnutrisi ada dua, yaitu:
Malnutrisi primer, yang terjadi sebab dietnya mutlak
salah atau kurang
Malnutrisi sekunder atau bersyarat
Kelemahan nutrisi merujuk pada hendaya yang terjadi
pada usia lanjut karena kehilangan berat badan fisiologis dan
patologis yang tidak disengaja. Anoreksia pada usia lanjut
merupakan penurunan fisiologis nafsu makan dan asupan
makan yang menyebabkan kehilangan berat badan yang tidak
diinginkan (Kane et al., 2008). Faktor predisposisi dari
malnutrisi adalah:
Pancaindra untuk rasa dan bau berkurang
Kehilangan gigi alamiah
Gangguan motilitas usus akibat tonus otot menurun
Penurunan produksi asam lambung
Faktor sosial ekonomi, psikososial dan lingkungan
10.Konstipasi

Batasan konstipasi oleh Holson adalah 2 dari keluhankeluhan berikut yang berlangsung dalam waktu 3 bulan.
Konsistensi feses keras
Mengejan dengan keras saat BAB
Rasa tidak tntas saat BAB, meliputi 25 % dari

keseluruhan BAB
Frekuensi BAB 2 kali semingg atau kurang

Faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan konstipasi


adalah:
Obat-obatan (narkotik golongan NSAID, antasid

aluminium, diuretik, analgetik, pencahar, dll)


Kondisi neurologis
Gangguan metabolik
Psikologis
Penyakit saluran cerna
Lain-lain (diet rendah serat, kurang olahraga, kurang
cairan)

11.Insomnia
Pada usia lanjut umumnya mengalami gangguan tidur,
seperti:
Kesulitan masuk tidur (sleep onset problem)
Kesulitan mempertahankan tidr nyenyak

(deep

maintenance problem)
Bangun terlalu pagi (early morning awakening)
Faktor yang dapat menyebabkan insomnia pada usia

lanjut adalah:
Perbuhan irama sirkadian
Gangguan tidur primer
Penyakit fisik (hipertiroid, arteritis)
Penyakit jiwa
Pengobatan polifarmasi
Demensia (Geddes, et al., 2005)
Penatalaksanaan insomnia:
Tingkatkan aktifitas rutin setiap hari
Ciptakan lingkungan yang nyaman
Kurangi konsumsi kopi
Berikan benzodiazepine seperti Temazepam (7,5-15

mg)
Anti depresan seperti Trazadone untuk insomnia kronik

12.Iatrogenik disorder

Karakteristik

yang

khas

dari

pasien

geriatri

yaitu

multipatologik, seringkali menyebabkan pasien tersebut perlu


mengkonsumsi obat yang tidak sedikit jumlahnya. Akibat yang
ditimbulkan antara lain efek samping dan efek dari interaksi
obat-obat tersebut yang dapat mengancam jiwa. Pemberian
obat pada lansia haruslah sangat hati-hati dan rasional karena
obat akan dimetabolisme di hati sedangkan pada lansia
terjadi penurunan fungsi faal hati sehingga terkadang terjadi
ikterus (kuning) akibat obat. Selain penurunan faal hati juga
terjadi penurunan faal ginjal (jumlah glomerulus berkurang),
dimana sebagaian besar obat dikeluarkan melalui ginjal
sehingga pada lansia sisa metabolisme obat tidak dapat
dikeluarkan dengan baik dan dapat berefek toksik (Setiati et
al,, 2006; Kane et al., 2008).
13.Gangguan pendengaran, penglihatan dan penciuman
Gangguan pendengaran sangat umum ditemui pada
geriatri. Prevalensi gangguan pendengaran sedang atau berat
meningkat dari 21% pada kelompok usia 70 tahun sampai
39% pada kelompok usia 85 tahun. Pada dasarnya, etiologi
gangguan pendengaran sama untuk semua umur, kecuali
ditambah presbikusis untuk kelompok geriatri. Presbikusis
sensorik

yang

sering

sekali

ditemukan

pada

geriatri

disebabkan oleh degenerasi dari organ korti, dan ditandai


gangguan pendengaran dengan frekuensi tinggi.

(Salonen,

2013).
2.3 Hipertensi Pada Lansia
2.3.1 Definisi Hipertensi
Tekanan darah adalah kekuatan yang ditimbulkan oleh
kontraksi jantung untuk mendorong dinding pembuluh arteri atau
nadi sehingga darah dapat melawan gravitasi dan hambatan agar
terus mengalir dalam pembuluh darah. Semakin kuat aliran darah
yang dipompa oleh jantung, maka semakin besar tekanan dari
darah terhadap dinding pembuluh darah (Rahmawati, 2014).
Jantung bekerja memompa darah dan memindahkan darah dari

pembuluh vena ke pembuluh arteri dengan cara mengadakan


kontraksi dan relaksasi sehingga terjadi perubahan tekanan darah
dalam sistem sirkulasi (Syaifuddin, 2011).
Tekanan sistole terjadi ketika jantung berkontraksi. Saat
jantung berkontraksi, darah mengalir dari jantung ke pembuluh
darah sehingga pembuluh darah teregang maksimal dan tekanan
arteri mencapai puncaknya.

Sedangkan tekanan diastole adalah

jumlah tekanan dalam arteri saat jantung berelaksasi. Saat jantung


berelaksasi, pembuluh darah kembali ke ukuran semula karena
tidak ada darah yang mengalir dari jantung ke pembuluh darah
sementara darah didorong ke bagian arteri yang distal. (Rony et
al., 2009)
2.3.2 Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi dan tekanan darah umur 18 tahun menurut JNC
VII versus VI
JNC 7
Kategori

JNC 6
Kategor

tekanan

i
tekanan

Normal
Prehiperte

Tekanan

Dan/

Tekanan

darah

atau

darah

Sistolik

diastolik
(mmHg)

Optimal

(mmHg)
< 120
120-139

Dan
Atau

<80
80-89

Normal
Normal-

<130
130-139

Dan
Atau

<85
85-89

140-159
>/=160
160-179
>/=180

Atau
Atau
Atau
Atau

90-99
>/=100
100-109
>/=110

nsi

Hipertensi
Derajat 1
Derajat 2

Tinggi
Hiperten
si
Derajat 1
Derajat 2
Derajat 3

2.3.3 Etiologi Hipertensi pada Lansia


Hipertensi
terdiri
dari
hipertensi

primer

(primary

hypertension) dan hipertensi sekunder (secondary hypertension).

Hipertensi Primer

Hipertensi primer adalah suatu kondisi yang lebih sering


terjadi pada banyak orang. Penyebab dasar yang mendasarinya
tidak selalu diketahui, namun dapat terdiri dari beberapa faktor
antara lain:
Tekanan darah tidak terdeteksi (diastolik < 90 m Hg, sistolik

> 105 mm Hg)


Peningkatan kolesterol plasma (> 240-250 mg/dl)
Kebiasaan merokok / alkohol
Kelebihan Berat Badan / Kegemukan / Obesitas
Kurang olah raga
Penggunaan garam yang berlebihan
Peradangan ditandai peningkatan C reactive
Gagal ginjal (renal insufficiency)
Faktor genetic / keturunan
Usia
Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder disebabkan oleh suatu kelainan spesifik

dari suatu organ tertentu atau pembuluh darah, seperti ginjal,


kelenjar adrenal, atau arteri aorta.
Peningkatan trigliserida plasma
Kelebihan Berat Badan / Kegemukan / Obesitas
Penyakit Kencing Manis / Diabetes
Stress kronis
Pil KB
Vasektomi
Kebiasaan merokok / alkohol
Kelainan spesifik dari suatu organ tertentu atau pembuluh
darah, seperti ginjal, tumor kelenjar adrenal, dan kelainan
aorta
2.3.4 Manifestasi
Manifestasi klinis dari hipertensi adalah(Tambayong, 2000):
Sakit kepala
Epistaksis
Pusing
Mata kabur
Nokturia
2.3.5 Patofisiologi (Terlampir)
2.3.6 Pemeriksaan Tekanan Darah
Pemeriksaan atau pengukuran tekanan darah pada seseorang
dilakukan untuk mengetahui nilai tekanan darah sistolik dan
diastolik. Tekanan darah dapat diperiksa dengan posisi duduk

maupun

berbaring.

sebenarnya

dari

Namun

tekanan

untuk

darah,

mendekati
posisi

nilai

berbaring

yang
sangat

dianjurkan. Hal ini berkaitan dengan efek gravitasi pada tubuh


yang akan berkurang ketika posisi berbaring. Dengan berbaring,
darah yang kembali ke jantung akan lebih mudah tanpa harus
melawan kekuatan gravitasi sehingga darah yang kembali ke
jantung lebih banyak. Akibatnya, jantung dapat memompa lebih
banyak darah disetiap denyutnya
Mengukur

tekanan

darah

(Guyton and Hall, 2007).


dapat

menggunakan

sphygmomanometer dan stetoskop. Cara pengukuran tekanan


darah sebagai berikut :
1. Pengukuran dapat dilakukan setelah pasien istirahat selama 5
menit dengan posisi duduk dan berbaring. Apabila dengan
posisi duduk, kaki berada dilantai dan lengan pada posisi
setinggi jantung. saat posisi berbaring, usahakan pasien
benar-benar terlentang dan tidak ada bagian ekstremitas
yang menekuk
2. Pasanglah balon manset yang dapat digembungkan tepat di
arteri brachialis. Batas antara manset dan fossa antekubiti
harus berjarak 3 jari tangan atau setidaknya 2,5 cm
3. Letakkan stetoskop di daerah arteri brachialis
4. Palpasi arteri radialis pada tangan yang sama
menentukan tinggi

untuk

tekanan manset. Pompa manset hingga

denyut pada arteri radialis tidak teraba lagi kemudian


tambahkan 30 mmHg dari angka (tekanan) yang terlihat pada
manometer
5. Kempiskan manset secara perlahan-lahan dengan kecepatan
2-3 mmHg/detik
6. Perhatikan dan rasakan tinggi tekanan saat terdengar dua
bunyi denyutan yang berurutan (Korotkoff I) atau saat
terdengar bunyi lup yang pertama. Tinggi tekanan ini
merupakan tekanan sistolik
7. Lanjutkan penurunan tekanan tersebut dengan perlahan (13mmHg/detik) sampai bunyi yang terdengar menjadi redup
dan menghilang. Tekanan ini merupakan tekanan diastolik
atau Korotkoff V

8. Pengukuran dilakukan 2 kali, dengan jeda 1 sampai 5 menit.


pengukuran tambahan dilakukan bila kedua pengukuran
sebelumnya sangat berbeda (Depkes RI, 2006)
2.3.7 Komplikasi
Pasien dengan hipertensi dapat meninggal dengan cepat;
penyebab tersering kematian adalah penyakit jantung, sedangkan
stroke dan gagal ginjal sering ditemukan, dan sebagian kecil pada
pasien dengan retinopati.
a. Komplikasi pada Sistem Kardiovaskuler
Kompensasi akibat penambahan kerja

jantung

dengan

peningkatan tekanan sistemik adalah hipertrofi ventrikel kiri, yang


ditandai dengan penebalan dinding ventrikel. Hal ini menyebabkan
fungsi ventrikel memburuk, kapasitasnya membesar dan timbul
gejala-gejala dan tanda-tanda gagal jantung. Angina pektoris dapat
timbul sebagai akibat dari kombinasi penyakit arteri koronaria dan
peningkatan kebutuhan oksigen miokard karena penambahan
massanya.

Pada

pemeriksaan

fisik,

didapatkan

pembesaran

jantung dengan denyut ventrikel kiri yang menonjol. Suara


penutupan aorta menonjol dan mungkin ditemukan murmur dari
regurgitasi aorta. Bunyi jantung presistolik (atrial, keempat) sering
terdengar pada penyakit jantung hipertensif, dan bunyi jantung
protodiastolik (ventrikuler, ketiga) atau irama gallop mungkin saja
ditemukan.

Pada

elektrokardiogram,

ditemukan

tanda-tanda

hipertrofi ventrikel kiri. Bila penyakit berlanjut, dapat terjadi iskemi


dan infark. Sebagian besar kematian dengan hipertensi disebabkan
oleh infark miokard atau gagal jantung kongestif. Data-data terbaru
menduga bahwa kerusakan miokardial mungkin lebih diperantarai
oleh aldosteron pada asupan garam yang normal atau tinggi
dibandingkan hanya oleh peningkatan tekanan darah atau kadar
angiotensin II.
b. Efek Neurologik
Efek neurologik

pada

hipertensi

lanjut

dibagi

dalam

perubahan pada retina dan sistem saraf pusat. Karena retina


adalah satu-satunya jaringan dengan arteri dan arteriol yang dapat
langsung diperiksa, maka dengan pemeriksaan optalmoskopik

berulang memungkinkan pengamatan terhadap proses dampak


hipertensi pada pembuluh darah retina. Efek pada sistem saraf
pusat juga sering terjadi pada pasien hipertensi. Sakit kepala di
daerah oksipital, paling sering terjadi pada pagi hari, yang
merupakan salah satu dari gejala-gejala awal hipertensi. Dapat
juga ditemukan keleyengan, kepala terasa ringan, vertigo, tinitus
dan penglihatan menurun atau sinkope, tapi manifestasi yang lebih
serius adalah oklusi vaskuler, perdarahan atau ensefalopati.
Patogenesa dari kedua hal pertama sedikit berbeda. Infark serebri
terjadi secara sekunder akibat peningkatan aterosklerosis pada
pasien hipertensi, dimana perdarahan serebri adalah akibat dari
peningkatan tekanan darah dan perkembangan mikroaneurisma
vaskuler serebri (aneurisma Charcot-Bouchard). Hanya umur dan
tekanan arterial diketahui berpengaruh terhadap perkembangan
mikroaneurisma. Ensefalopati hipertensi terdiri dari gejala-gejala :
hipertensi

berat,

intrakranial,

gangguan

retinopati

kesadaran,

dengan

peningkatan

papiledem

dan

tekanan
kejang.

Patogenesisnya tidak jelas tapi kemungkinan tidak berkaitan


dengan spasme arterioler atau udem serebri. Tanda-tanda fokal
neurologik jarang ditemukan dan jikalau ada, lebih dipikirkan suatu
infark / perdarahan serebri atau transient ischemic attack.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan kelainan
pada retina berupa retinopati hipertensi, dengan arteri yang
besarnya tidak beraturan, eksudat pada retina, edema retina dan
perdarahan

retina.

Kelainan

pembuluh

darah

dapat

berupa

penyempitan umum atau setempat, percabangan pembuluh darah


yang tajam, fenomena crossing atau sklerosis pembuluh darah.
c. Efek pada Ginjal
Lesi aterosklerosis pada arteriol aferen dan eferen serta
kapiler glomerulus adalah lesi vaskuler renal yang paling umum
pada hipertensi dan berakibat pada penurunan tingkat filtrasi
glomerulus dan disfungsi tubuler. Proteinuria dan hematuria
mikroskopik terjadi karena lesi pada glomerulus dan 10 %
kematian

disebabkan

oleh

hipertensi

akibat

gagal

ginjal.

Kehilangan darah pada hipertensi terjadi tidak hanya dari lesi pada
ginjal; epitaksis, hemoptisis dan metroragi juga sering terjadi pada
pasien-pasien ini.
2.3.8 Penatalaksanaan
Pemberian resep obat oleh dokter sangat dipengaruhi oleh
kondisi fisik dari penderita hipertensi. Obat hipertensi menurunkan
tekanan darah dengan beberpa cara:
Membuat pembuluh menjadi besar atau lebar
Menyempitkan saluran-saluran udara dengan menstimulasi

otot-otot yang mengelilingi saluran udara untuk berkontraksi


Mengurangi kekuatan dari aksi memompa jantung (kontraksi
jantung) dan mengendurkan sel otot pada dinding dari arteri.
Berbagai jenis obat-obatan yang banyak dikonsumsi pasien

hipertensi beserta manfaatnya adalah sebagai berikut:


Jenis Obat
ACE inhibitors

Fungsi
untuk memperlambat
aktivitas dari enzim
ACE, yang mengurangi
produksi dari
angiotensin II
angiotensin II adalah
zat kimia yng sangat
kuat yang
menyebabkan otot-otot

Contoh Obat
enalapril (Vasotec)
captopril (Capoten)
lisinopril (Zestril and

Prinivil)
benazepril (Lotensin)
quinapril (Accupril)
perindopril (Aceon)
ramipril (Altace)
trandolapril (Mavik)
fosinopril (Monopril)
moexipril (Univasc)

yang mengelilingi
pembuluh darah untuk
berkontraksi, jadi
menyempitkan
Angiotensin receptor
blocker (ARB)

pembuluh
untuk menghalangi aksi
dari angiotensin II. ARB

mencegah angiotensin
II mengikat pada
reseptor angiotensin II
pada pembuluh-

losartan (Cozaar)
irbesartan (Avapro)
valsartan (Diovan)
candesartan
(Atacand)
olmesartan (Benicar)
telmisartan
(Micardis)

Beta-blockers

pembuluh darah

eprosartan (Teveten)

Untuk menghalangi

atenolol (Tenormin)
propranolol (Inderal)
metoprolol (Toprol)
nadolol (Corgard)
betaxolol (Kerlone)
acebutolol (Sectral)
pindolol (Visken)
bisoprolol (Zebeta)

amlodipine (Norvasc)
sustained release

norepinephrine dan
epinephrine
(adrenaline) mengikat
pada reseptor beta
pada syaraf.
Calcium channel

Untuk menghalangi

blockers (CCBs)

gerakan dari calcium


kedalam sel otot dari

nifedipine (Procardia

jantung dan arteri-

XL, Adalat CC)


felodipine (Plendil)
nisoldipine (Sular)
hydrochlorothiazide

arteri.

Calcium diperlukan oleh

otot ini untuk


berkontraksi.

(Hydrodiuril)
the loop diuretics
furosemide (Lasix)
dan torsemide

(Demadex)
kombinasi dari
triamterene dan
hydrochlorothiazide

(Dyazide)
metolazone
(Zaroxolyn)

Alpha-blockers

Untuk menurunkan
tekanan darah dengan
menghalangi reseptor
alpha pada otot halus
dari arteri peripheral
diseluruh jaringan
tubuh.

terazosin (Hytrin)
doxazosin (Cardura)

Alpha-beta blockers

Cara kerja yang sama


seperti alpha-blockers

carvedilol (Coreg)
labetalol

dan juga

(Normodyne,

memperlambat denyut

Trandate)

jantung, seperti yang


dilakukan betablockers, sehingga lebih
sedikit darah yang
dipompa melalui
pembuluh-pembuluh
dan tekanan darah
Clonidine

menurun.
Penghalang-penghalang

Clonidine

sistim syaraf bekerja


dengan menstimulasi
reseptor-reseptor pada
syaraf-syaraf di otak
yang mengurangi
transmisi dari pesanpesan dari syaraf dalam
otak ke syaraf pada lain
Minoxidil

dari tubuh.
Sebagai vasodilators,

Minoxidil

yaitu pengendur
(relaxants) otot yang
bekerja secara
langsung pada otot
halus dari arteri
peripheral diseluruh
tubuh, sehingga arteri
melebar dan tekanan
darah berkurang.
Penatalaksanaan

hipertensi

dapat

dilakukan

dengan

menggunakan obat-obatan ataupun dengan cara modifikasi gaya

hidup. Modifikasi gaya hidup dapat dilakukan dengan membatasi


asupan garam tidak lebih dari X - }) sendok teh (6 gram/hari),
menurunkan berat badan, menghindari minuman berkafein, rokok,
dan minuman beralkohol. Olahraga juga dianjurkan bagi penderita
hipertensi, dapat berupa jalan, lari, jogging, bersepeda selama 2025 menit dengan frekuensi 3-5 x per minggu. Penting juga untuk
cukup istirahat (6-8 jam) dan mengendalikan stress. Untuk
pemilihan serta penggunaan obat-obatan hipertensi disarankan
untuk berkonsultasi dengan dokter keluarga anda. Ada pun
makanan yang harus dihindari atau dibatasi oleh penderita
hipertensi adalah:
2. Makanan yang berkadar lemakjenuh tinggi (otak, ginjal,
paru, minyak kelapa, gajih).
3. Makanan yang diolah dengan menggunakan garam natrium
(biscuit, crackers, keripikdan makanan keringyangasin).
4. Makanan dan minuman dalam kaleng (sarden, sosis,
korned, sayuran serta buah-buahan dalam kaleng, soft
drink).
5. Makanan yang diawetkan (dendeng, asinan sayur/buah,
abon, ikan asin, pindang, udang kering, telur asin, selai
kacang).
6. Susu full cream, mentega, margarine, keju mayonnaise,
serta sumber protein hewani yang tinggi kolesterol seperti
daging merah (sapi/kambing), kuning telur, kulit ayam).
7. Bumbu-bumbu seperti kecap, maggi, terasi, saus tomat,
saus sambal, tauco serta bumbu penyedap lain yang pada
umumnya mengandunggaram natrium.
8. Alkohol dan makanan yang mengandung alkohol seperti
durian, tape.
Di

Indonesia

terdapat

pergeseran

pola

makan,

yang

mengarah pada makanan cepat saji dan yang diawetkan yang kita
ketahui mengandung garam tinggi, lemak jenuh, dan rendah serat
mulai menjamurterutama di kota-kota besardi Indonesia. Dengan
mengetahui

gejala

dan

diharapkan

penderita

faktor

dapat

risiko

terjadinya

melakukan

hipertensi

pencegahan

dan

penatalaksanaan dengan modifikasi diet/gaya hidup ataupun obatobatan

sehingga

(Depkes RI, 2014).

komplikasi

yang

terjadi

dapat

dihindarkan

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN HIPERTENSI DI RW 01
PETUNG SEWU
3.1 Pengkajian
3.1.1 Data Demografi Lansia di RW 01 Kelurahan Petung Sewu
3.1.1.1Data Lansia Berdasarkan Usia

Data Lansia Berdasarkan Usia


15%

2%

50-60 tahun
61-70 tahun

28%

54%

71-80 tahun
>80 tahun

Berdasarkan diagram di atas menunjukkan jumlah lansia desa


Putung sewu RW 01 berdasarkan usia. Lansia dengan usia 50-60 tahun
sebanyak 54% (119 orang), 61-70 tahun sebanyak 28% (62 orang), 7180 tahun sebanyak 15% (34 orang), >80 tahun sebanyak 2% (5 orang).

3.1.1.2 DATA JENIS KELAMIN WARGA PETUNG SEWU RW 01

Data Jenis Kelamin Warga Petung Sewu RW 01

48%

Laki-Laki
52%

Perempuan

Berdasarkan diagram di atas menunjukkan jumlah warga lansia


Petung Sewu RW 01 sebanyak 221, dengan 52% (114 orang) berjenis
kelamin laki-laki dan 48% (107 orang) berjenis kelamin perempuan.
3.1.1.3 Kunjungan Posyandu Lansia

25

20

15

10

0
42233

42289

42509

42579

Berdasarkan diagram diatas menunjukkan data kunjungan lansia


ke posyandu pada bulan agustus 2015 lansia yang berkunjung ke
posyandu sebanyak 9 lansia dan meningkat menjadi 15 lansia pada
pertemuan bulan

oktober 2015. Pada bulan mei 2016 terjadi

penurunan lansia yang berkunjung ke posyandu sebanyak 12 lansia


dan terjadi penurunan lagi sebnyak 11 lansia pada bulan juli 2015.
3.1.1.4 Sepuluh Penyakit Terbanyak di Kelurahan Petung Sewu

Top Ten Disease


30
25
20
15
Axis Title

10
5
Sa
ki
tM
at
a

H
T

G
as
tr
iti
s

IS
PA

Sa
ki
tG
ig
i

Axis Title

Diagram diatas menunjukkan data 10 penyakit terbanyak yang


ada di desa petung sewu pada tahun 2015. Penyakit ISPA merupakan
penyakit yang paling banyak diderita oleh warga petung sewu,
sedangkan hipertensi berada di urutan ke 6
3.1.2 TABULASI INSTRUMEN PENGKAJIAN
3.1.2.1 ASPEK KOGNITIF
Skor

pada

aspek

kognitif

dibagi

menjadi

tiga

kategori

yaitukelompok dengan pengetahuan kurang (1-7), kelompok dengan


pengetahuan cukup (8-14) dan kelompok dengan tingkat pengetahuan
baik (15-21). Berikut adalah persentase skor aspek kognitif lansia pada
RW 1 Desa Petung Sewu

TIINGKAT PENGETAHUAN LANSIA MENGENAI HIPERTENSI


Kurang
Cukup

33%

Baik
67%

Diagram

diatas

merupakan

hasil

perhitungan

tingkat

pengetahuan lansia mengenai hipertensi. Dari total 21 lansia, hasil


yang didapatkan adalah sebanyak 66,67% lansia memiiki pengetahuan
yang

kurang

mengenai

hipertensi,

33,33%

lansia

memiliki

pengetahuan cukup dan 0% lansia berpengetahuan baik mengenai


hipertensi.

INGKAT PENGETAHUAN LANSIA MENGENAI DEFINISI HIPERTE

48%

Tahu
52%

Tidak Tahu

Berikut adalah gambaran mengenai persentase jumlah jawaban


benar yang dipilih oleh lansia. Pertanyaan mengenai definisi hipertensi
dibagi menjadi tiga pertanyaan. Pertanyaan pertama mengenai definisi
hipertensi adalah tekanan darah 140/90mmHg, pertanyaan kedua
mengenai hipertensi berat adalah tekanan darah 180/100mmHg dan

yang ketiga terkait definisi hipertensi merupakan peningkatan tekanan


darah tidak menetap. Hasilnya adalah 52,38% lansia menjawab tahu
dan 47,62% lansia menjawab tidak tahu.

Pengetahuan Mengenai Tanda dan Gejala Hipertensi


Sakit kepala

20%

Kaku pada tengkuk


Mudah marah

80%

Berikut adalah hasil persentase terkait pengetahuan mengenai


tingkat pengetahuan lansia terkait tanda dan gejala hipertensi. hasil
yang didapatkan adalah 20% klien merasakan sakit kepala, 80% lansia
mengatakan merasa kaku pada tengkuk dan tidak ada klien yang
mengatakan mudah marah.

NGKAT PENGETAHUAN LANSIA MENGENAI PENYEBAB HIPERT


Tahu

43%
57%

Tidak Tahu

Berikut adalah gambaran persentase jawaban yang diberikan


oleh lansia di RW 1 Desa Petung Sewu. Sebanyak 21 orang lansia

diberikan pertanyaan konsumsi makanan asin berlebih dan berapa


banyak garam yang dikonsumsi. Hasilnya 57,14% lansia menjawab
tahu

bahwa

mengkonsumsi

makanan

asin

berlebih

dapat

menyebabkan tibgginya tekanan darah dan 42,86% lansia menjawab


konsumsi

makanan

asin

tidak

berpengaruh

terhadap

terjadinya

hipertensi.

GKAT PENGETAHUAN LANSIA MENGENAI KOMPLIKASI HIPER


24%

Tahu
Tidak Tahu
76%

Diagram diatas merupakan tingkat pengetahuan klien mengenai


pengetahuan klien mengenai komplikasi yang mungkin terjadi akibat
hipertensi. 23,81% lansia menjawab hipertensi dapat menyebabkan
stroke dan 76,19% menjawab hipertensi tidak ada hubungannya
dengan timbulnya stroke.

Pengetahuan Mengenai Penatalaksanaan

33%

Hipertensi hanya dapat


diobati dengan obat dari
dokter
Hipertensi dapat diobati
dengan makan makanan
sehat dan olahraga

67%

Berikut adalah hasil persentase tingkat pengetahuan lansia


mengenai penatalaksanaan yang dapat dilakukan klien saat tada dan
gejala meningkatnya tekanan darah timbul. Pertanyaan terkait hal ini
dibagi menjadi tiga yakni bagaimana cara menangani hipertensi,
makanan yang perlu dikonsumsi oleh lansia dengan hipertensi dan
jenis olahraga yang dapat dilakukan oleh lansia untuk menghindari
hipertensi. Hasilnya61,90% lansia menjawab hipertensi hanya dapat
diobati dengan obat dari dokter dan38,10% lansia menjawab penderita
hipertensi dapat mengkosumsi sayuran dan buah serta berolahraga
untuk menurunkan tekanan darah.
3.1.2.2 ASPEK AFEKTIF

Mengurangi Konsumsi Garam

sangat setuju

38%

setuju
62%

tidak setuju

Berdasarkan data diatas diketahui bahwa dari 21 orang lansia,


62% (13 orang) yang menyatakan setuju untuk mengurangi konsumsi
garam tinggi, sebanyak 38% (8 orang) yang menyatakan tidak setuju
dan 0% yang menyatakan sangat setuju.

Mengurangi Konsumsi Makanan Kolestrol Tinggi

24%

sangat setuju
setuju
tidak setuju
76%

Berdasarkan data diatas diketahui bahwa dari 21 orang lansia,


76% (16 orang) yang menyatakan setuju untuk mengurangi konsumsi
kolestrol tinggi, 24% (5 orang) yang menyatakan tidak setuju dan 0%
yang menyatakan sangat setuju.

Memeriksakan Tekanan Darah Secara Teratur


5%

29%

sangat setuju
setuju
tidak setuju
67%

Berdasarkan data diatas diketahui bahwa dari 21 lansia,


sebanyak

67%

(14

orang)

yang

menyatakan

setuju

untuk

memeriksakan tekanan darah secara teratur, sebanyak 29% (6 orang)


yang menyatakan tidak setuju dan sebanyak 5% (1 orang) yang
menyatakan sangat setuju.

Olahraga pada Hipertensi

sangat setuju

38%

setuju
62%

tidak setuju

Berdasarkan data diatas diketahui bahwa dari 21 lansia,


sebanyak 62% (13 orang) yang menyatakan setuju jika penderita
hipertensi

perlu

melakukan

olahraga

ringan

seperti

jalan

pagi,

sebanyak 38% (8 orang) yang menyatakan tidak setuju dan 0% yang


menyatakan sangat setuju.

Memeriksakan Diri Jika Menemukan Gejala Hipertensi

sangat setuju

33%
52%

setuju
tidak setuju

14%

Berdasarkan data diatas diketahui bahwa dari 21 lansia,


sebanyak 52% (11 orang) yang setuju memeriksakan diri ke pelayanan
kesehatan, sebanyak 33% (7 orang) yang menyatakan dibiarkan saja
dan 14% (3 orang) yang memilih meminum jamu.

Penyebab Hipertensi
5%
sangat setuju
48%

48%

setuju
tidak setuju

Berdasarkan data diatas diketahui bahwa dari 21 lansia,


sebanyak 48% (10 orang) yang menyatakan setuju jika penyebab
hipertensi adalah istirahat kurang dan banyak beban pikiran, sebanyak
48% (10 orang) yang menyatakan tidak setuju dan 5% (1 orang) yang
menyatakan sangat setuju.

Gejala Berlanjut Perlu Memeriksakan Diri

29%

sangat setuju
setuju
71%

tidak setuju

Berdasarkan data diatas diketahui bahwa dari 21 lansia,


sebanyak 71% (15 orang) yang menyatakan setuju jika sudah istirahat
cukup namun gejala tetap berlanjut maka perlu memeriksakan tekanan
darah ke pelayanan kesehatan dan sebanyak 29% (6 orang) yang
menyatakan tidak setuju.

3.1.2.3 ASPEK PSIKOMOTOR

Mengkonsumsi Sayuran dan Buah

5%

tidak mengkonsumsi
sayur dan buah
mengkonsumsi sayur
dan buah

95%

Lansia di wilayah RW 1 Desa Petungsewu sebanyak 95%


mengkonsumsi sayuran saat makan dan 5% yang tidak mengkonsumsi
sayur.

Tidak Merokok dan Menghindari Asap

24%

tidak merokok dan


menghindari asap
merokok
76%

Lansia di wilayah RW 1 Desa Petungsewu sebanyak 76% yang


tidak merokok dan menghindari asap dan sebanyak 24% yang
merokok.

Minum Kopi >1 Gelas

minum kopi

38%
62%

tidak minum kopi

Lansia di RW 1 Desa Petungsewu mayoritas sebanyak 62% yang


meminum kopi >1 gelas perhari dan sebanyak 38% yang tidak
meminum kopi.

Rutin Minum Obat Hipertensi

minum obat

38%
62%

tidak minum obat

Lansia di RW 1 Desa Petungsewu didapatkan data sebanyak 62%


yang meminum obat hanya saat ada gejala hipertensi yang muncul,
sebanyak 38% yang tidak memiliki obat hipertensi dan tidak minum
obat hipertensi.

Keberlanjutan Minum Obat

membeli kembali di
apotek sesuai resep
tidak membeli kembali

100%

Lansia di RW 2 Desa Petungsewu seluruhnya tidak


membeli kembali obat hipertensi bila gejala tidak muncul.

Kontrol Tekanan Darah


5%

tidak mengkontrol
tekanan darah
sering mengkontrol

95%

Lansia di RW 1 Desa Petungsewu mayoritas sebanyak 95% yang


tidak melakukan kontrol tekanan darah sekali sebulan dan sebanyak
5% yang melakukan kontrol tekanan darah di puskesmas.

Periksa Jika Muncul Gejala Hipertensi

memeriksakan jika
muncul gejala

29%

71%

tidak memeriksakan
jika muncul gejala

Lansia di RW 1 Desa Petungsewu mayoritas sebanyak 71%


melakukan pemeriksaan diri hanya jika gejala hipertensi seperti pusing
dan tengkuk kaku muncul dan sebanyak 29% yang tidak melakukan
pemeriksaan diri walaupun gejala hipertensi muncul.

Pola Makan dan Hidup Sehat


tidak olahraga

10%
52%

38%

olahraga 1-3 kali /


minggu
setiap hari olahraga

Lansia di RW 1 Desa Petungsewu mayoritas sebanyak 52%


olahraga setiap hari sambil ke ladang , 38% olahraga 1-3 kali/ minggu
dengan jalan kaki di pagi hari, dan 10% tidak berolahraga sama sekali.

3.2
No.
1.

Analisa Data
Data

Dari total 21 lansia, hasil yang


didapatkan adalah sebanyak 66,67%
lansia memiiki pengetahuan yang

Etiologi

Ku Kurang rang pajanan


terkait penyakit HT (66,67%
pasien tidak mengetahui
mengenai konsep hipertensi)

kurang mengenai hipertensi, 33,33%


lansia memiliki pengetahuan cukup
dan 0% lansia berpengetahuan baik

Pe Pengetahuan klien kurang


terhadap penyakit, proses,
diet dan pengobatan.

mengenai hipertensi.

Data hasil survey sebanyak hasil


yang didapatkan adalah 20% klien
merasakan sakit kepala, 80% lansia
mengatakan merasa kaku pada
tengkuk dan tidak ada klien yang

T Tekanan darah tidak


terkontrol dengan rutin,
diet an terapi pengobatan
yang tidak sesuai
Defisiensi pengetahuan

mengatakan mudah marah.

Data hasil survey sebanyak 76,19%


menjawab hipertensi tidak ada
hubungannya dengan timbulnya

stroke
Lansia di RW 1 Desa Petungsewu
mayoritas sebanyak 62% yang
meminum kopi >1 gelas perhari

Defisit pengetahuan
Perilaku yang beresiko
membahayakan kesehatan

Lansia di RW 1 Desa Petungsewu


didapatkan data sebanyak 62% yang
meminum obat hanya saat ada
gejala hipertensi yang muncul,
sebanyak 38% yang tidak memiliki

Kebiasaan minum kopi dan


garam
Perilaku kesehatan
cenderung beresiko

P
c
b
K
k
m
g
m
k

obat hipertensi dan tidak minum obat


hipertensi.

Lansia di RW 1 sebanyak 24% yang

merokok.
Lansia di RW 2 Desa Petungsewu
100% tidak membeli kembali obat
hipertensi bila gejala tidak muncul.

Lansia di RW 1 Desa Petungsewu


mayoritas sebanyak 95% yang tidak
melakukan kontrol tekanan darah
sekali sebulan

Sebanyak 71% melakukan


pemeriksaan diri hanya jika gejala
hipertensi seperti pusing dan tengkuk
kaku muncul dan sebanyak 29% yang
tidak melakukan pemeriksaan diri
walaupun gejala hipertensi muncul.

sebanyak 33% (7 orang) yang


menyatakan dibiarkan saja dan 14%
(3 orang) yang memilih meminum
jamu.

kurang pengetahuan
tentang program
terapeutik
sikap dan perilaku
manajemen tidak sesuai
pola perilaku kurang
mencari bantuan
kesehatan
tidak melakuakn tindakan
untuk mengurangi faktor
resiko, tidak melakuakn
regimen pengobatan
ketidakefektifan
pemeliharaan kesehatan

K
k
d
t
d
k
r
k

3.3
No
1
2

3.4
NO

daftar Prioritas Diagnosa Keperawatan


Tanggal

Diagnosa Keperawatan
Defisit Pengetahuan berhubungan dengan kurangnya
pajanan informasi
Ketidakefektifan Manajemen Kesehatan berhubungan
dengan ketidakcukupan petunjuk untuk bertindak dan
kurang pengetahuan mengenai program terapeutik
Perilaku Kesehatan Cenderung Beresiko berhubungan
dengan kurang pemahaman dan merokok

Rencana Intervensi Keperawatan


DIAGNOSA

1. Defisiensi
Pengetahuan
berhubungan
dengan kurang
sumber
informasi
ditandai
dengan
kurangnya
pengetahuan
mengenai
penyebab
hipertensi.

TUJUAN

KRITERIA
HASIL

INTERVENSI

NOC :
Knowledge:
Hypertension
Management
1.1 Lansia
mengetahui
tekanan
darah
normal,
definisi,
penyebab,
tanda
gejala,
komplikasi,

NIC : Teaching:
Disease Process
1.1.1. Jelaskan
tentang
konsep
penyakit
hipertensi
1.1.2. Identifikasi
penyebab
hipertensi
1.1.3. Jelaskan tanda
gejala
penyakit
akibat

TUM :
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 2x15
menit defisiensi
informasi
kognitif
mengenai
hipertensi pada
klien dapat
tertutupi
dengan nilai
persentase 80%

TUK 1:
Lansia meng
tetahui
mengenai
konsep penyakit
hipertensi yaitu
definisi,
penyebab,
tanda gejala,
komplikasi,
tatalaksana
hipertensi
ditandai dengan
pencapaian 80%

Paraf

tatalaksana
hipertensi,
dievaluasi
dengan
dapat
menjawab
pertanyaan
tentang
konsep
hipertensi

1.2Lansia
mengetahui
dan
menerapkan
terkait pola
nutrisi yang
boleh dan
tidak boleh
dikonsumsi
oleh
penderita
hipertensi

1.3Lansia dapat
mengetahui
jenis obat
dan cara
kerjanya

hipertensi
1.1.4. Jelaskan
komplikasi
penyakit
akibat
hipertensi
1.1.5. Jelaskan
tatalaksana
penyakit
hipertensi

NIC : Teaching
Prescribed Diet
1.2.1 Jelaskan
tujuan
dilakukannya
diet DASH
1.2.2 Berikan
pilihan
makanan
yang boleh
dikonsumsi
dalam diet
DASH
1.2.3 Ajarkan
pasien
mengenai
makanan
yang
diperbolehkan
dan yang
tidak
diperbolehkan
1.2.4 Ajarkan cara
mengatur
perencanaan
makan yang
tepat
NIC: Teaching
Prescribed
Medication
1.3.1 Nilai
pengetahuan
pasien
tentang obat
antihipertensi
1.3.2 Ajarkan tujuan

dari
pengobatan
hipertensi
1.3.3 Ajarkan
pasien cara
meminum
obat anti
hipertensi
yang benar
1.3.4 Informasikan
pada pasien
apa yang
harus
dilakukan jika
ada dosis
yang terlewat
1.3.5 Ajarkan
pasien
tentang dosis,
rute, dan
durasi setiap
obat sesuai
resep dokter
2. Perilaku
Kesehatan
Cenderung
Beresiko
berhubungan
dengan
Kebiasaan
minum kopi,
konsumsi obat
tidak teratur,
merokok dan
konsumsi
garam berlebih
ditandai
dengan gagal
melakukan
tindakan
mencegah
masalah
kesehatan

TUM :
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 2x15
menit
kunjungan Klien
mempu untuk
mengubah gaya
hidup dan
perilaku untuk
memperbaiki
status
kesehatan
dengan
persentase
kemampuan
50%

TUK 1 :
Klien mampu

NOC : Health
Promoting

NIC : Health
Education

mengetahui
jenis perilaku
beresiko seperti
minum kopi
berlebih,
merokok dan
konsumsi garam
berlebih serta
bahayanya
dengan
persentase
pengetahuan
80%

Behavior
1.1Lansia dapat
mengetahui
bahaya
minum kopi
bagi
penderita
hipertensi

1.2Lansia dapat
mengetahui
bahaya
merokok
bagi
penderita
hipertensi

1.3Lansia dapat
mengontrol
penggunaan
garam

1.1.1 Ajarkan
pasien
mengenai
bahaya
minum kopi
1.1.2 Ajarkan
pasien
mengenai
hubungan
minum kopi
dengan
hipertensi

NIC : Health
Education
1.2.1 Ajarkan
pasien
mengenai
bahaya
merokok
1.2.2 Ajarkan
pasien
mengenai
hubungan
merokok
dengan
hipertensi
NIC : Health
Education
1.3.1 Ajarkan
pasien
mengenai
bahaya
penggunaan
garam
berlebih
1.3.2 Ajarkan
pasien
mengenai
hubungan
konsumsi
garam
berlebih
dengan
hipertensi

TUK 2 :
Lansia dapat
berpartisipasi
dalam
menentukan
strategi untuk
mengurangi
perilaku
beresiko seperti
minum kopi
berlebih,
merokok dan
konsumsi garam
berlebih serta
bahayanya
dengan
persentase
pengetahuan
65%

TUK 3 :
Lansia dapat
melakukan
strategi yang
telah disepakati
untuk

NOC : Health
Promoting
Behavior
1.1Lansia
mampu
menentukan
perencanaa
n tindakan
untuk
mengurangi
konsumsi
kopi

1.2Lansia
mampu
menentukan
perencanaa
n tindakan
untuk
mengurangi
perilaku
merokok

NIC : Health
Education
1.1.1 Ajarkan
pasien cara
mengurangi
kebiasaan
minum kopi
secara
bertahap
1.1.2 Bimbing lansia
dalam
menentukan
keputusan
1.2.1 Ajarkan
pasien cara
mengurangi
jumlah rokok
yang dihisap
per hari
secara
bertahap
1.2.2 Bimbing lansia
dalam
menentukan
keputusan

1.3Lansia
mampu
menentukan
perencanaa
n tindakan
untuk
mengurangi
penggunaan
garam

1.3.6 Ajarkan
pasien cara
mengurangi
konsumsi
garam per
hari secara
bertahap
1.3.7 Bimbing lansia
dalam
menentukan
keputusan

NOC : Health
Promoting
Behavior
1.1Lansia dapat
menghindari
merokok

NIC : Health
Education
1.1.1 Lansia dapat
menggunakan
beberapa
strategi yang

mengurangi
perilaku
beresiko seperti
minum kopi
berlebih,
merokok dan
konsumsi garam
berlebih serta
bahayanya
dengan
persentase 50%

1.2Lansia dapat
mengurangi
konsumsi
kopi

1.3Lansia dapat
mengurangi
penggunaan
garam

dapat
digunakan
untuk
mengurangi
merokok
1.1.2 Keberhasilan
program
dapat diukur
dengan
jumlah batang
rokok yang
dihisap
perhari
setelah
startegi
dijalankan
NIC : Health
Education
1.2.1 Lansia dapat
menggunakan
beberapa
strategi yang
dapat
digunakan
untuk
mengurangi
konsumsi kopi
1.2.2 Keberhasilan
program
dapat diukur
dengan
jumlah gelas
kopi yang
dikonsumsi
setelah
startegi
dijalankan
NIC : Health
Education
1.3.1 Lansia dapat
menggunakan
beberapa
strategi yang
dapat
digunakan

untuk
mengurangi
penggunaan
garam
1.3.2 Keberhasilan
program
dapat diukur
dengan
jumlah sendok
teh garam
yang
dikonsumsi
setelah
startegi
dijalankan
3. Ketidakefekti
fan
Manajemen
Kesehatan
berhubungan
dengan
ketidakcukupan
petunjuk untuk
bertindak dan
kurang
pengetahuan
mengenai
program
terapeutik

TUM :
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama
2x15menit
kunjungan klien
dapat
mengintegrasika
n kebiasaan
terapeutik
dalam
kehidupan
sehari-hari
untuk
pengobatan
hipertensi dan
sekuelnya
dengan nilai
persentase 80%
TUK 1 :
Klien mampu
mengetahui
jenis
pengobatan dan
pentingnya
kontrol secara
berkala untuk
menghindari
hipertensi

NIC :
Knowledge
Hypertension
Management
1.1Lansia dapat
mengetahui
jenis
pengobatan
dan efek
samping

NIC: Teaching
Prescribed
Medication
1.1.1 Nilai
pengetahuan
pasien
tentang obat
antihipertensi
1.1.2 Ajarkan tujuan
dari
pengobatan

dengan nilai
persentase 80%

yang dapat
ditimbulkan
dari
konsumsi
obat
hipertensi

NOC : Health
Education
1.1Lansia dapat
mengetahui
manfaat dari
kontrol
secara
berkala ke
petugas
kesehatan
bagi
penderita
hipertensi

1.2Lansia dapat
mengerti
pentingnya
pengobatan
berkelanjuta
n

hipertensi
1.1.3 Ajarkan
pasien cara
meminum
obat anti
hipertensi
yang benar
1.1.4 Informasikan
pada pasien
apa yang
harus
dilakukan jika
ada dosis
yang terlewat
1.1.5 Ajarkan
pasien
tentang dosis,
rute, dan
durasi setiap
obat sesuai
resep dokter

NIC : Health
Education
1.1.1 Jelaskan
kepada klien
pentingnya
menemui
petugas
kesehatan
untuk
mendapatkan
nilai tekanan
darah sesuai
harapan dan
untuk
mengontrol
angka
kenaikan
tekanan darah
NIC: Teaching
Prescribed
Medication
1.2.1 Jelaskan
kepada lansia
efek dari

penghentian
pengobatan
dan manfaat
dari
pengobatan
hipertensi
secara
berkelanjutan
TUK 2 :
Lansia mampu
ikut serta dalam
menentukan
strategi untuk
memenuhi
pengobatan dan
kontrol secara
berkala untuk
menghindari
hipertensi
dengan nilai
persentase 80%

NOC :
1.1Lansia
mampu
menentukan
strategi
untuk
mengakses
pelayanan
kesehatan

NIC : Health
Education
1.1.1 Klien dapat
menggunakan
sistem
dukungan
keluarga
untuk
menngintegra
sikan pola
hidup sehat
dan membuat
janji temu
dengan
tenaga medis
untuk
melakukan
pemeriksaan
rutin dan
melengkapi
pengobatan

TUK 3 :
Lansia mampu
menerapkan
strategi yang
telah disepakati
untuk
memenuhi
pengobatan dan
kontrol secara
berkala untuk
menghindari
hipertensi
dengan nilai
persentase 80%

NOC : Health
Education
1.2Lansia dapat
janji temu
dengan
tenaga
medis untuk
melakukan
pemeriksaan
rutin

NIC : Health
Education
1.2.1 Anjurkan
keluarga
untuk
memberikan
dukungan dan
membantu
lansia untuk
mengakses
tenaga
kesehatan
terdekat

3.5 Implementasi
No.
Dx

Tanggal

Jam

Intervensi

6 Agustus
2016

16.0018.00

Memberikan pendidikan kesehatan


tentang konsep hipertensi seperti
definisi, penyebab, tanda gejala,
komplikasi dan tatalaksana

16.0018.00

Memberikan pendidikan tentang


makanan yang boleh dan tidak
boleh dikonsumsi oleh penderita
hipertensi

16.0018.00

Memberikan pendidikan tentang


bahaya dari penggunaan rokok,
meminum kopi dan garam
berlebih pada penderita hipertensi

16.0018.00

Memberikan pendidikan tentang


aturan meminum obat hipertensi
yang mana harus rutin dan
berkelanjutan

16.0018.00

Memberikan edukasi tentang


pentingnya melakukan kontrol ke
tenaga kesehatan terkait tekanan
darah minimla 1 kali/bulan

TTD

16.0018.00

Mengajarkan klien untuk


megurangi konsumsi kopi secara
bertahap hingga tidak
mengkonsumsi sama sekali

16.0018.00

Mengajarkan klien untuk


mengurangi rokok secara
bertahap misal dengan
mengurangi satu batang tiap
harinya

16.0018.00

Mengajarkan klien untuk


mengurangi konsumsi garam
dengan memodifikasi penggunaan
garam meja

16.0018.00

Mengajarkan klien untuk


megurangi konsumsi kopi dengan
mengganti minumannya menjadi
teh, jus, atau air mineral.

16.0018.00

Mengajarkan klien untuk


mengurangi rokok dengan makan
permen jahe atau mint

16.0018.00

Memfollow up dan memotivasi


klien untuk mengurangi konsumsi
kopi, rokok dan garam

16.0018.00

Memfollow up dan memotivasi


klien untuk meminum obat
hipertensi rutin dan berkelanjutan
serta kontrol tekanan darah di
tenaga kesehatan

16.0018.00

Mengajarkan pasien mengenai


makanan yang diperbolehkan dan
yang tidak diperbolehkan

16.0018.00

Memberikan pilihan makanan


yang boleh dikonsumsi dalam diet
DASH

8 Agustus
2016

3.6. Evaluasi Formatif


No Dx

Waktu

Evaluasi Formatif

TTD

(Tanggal &
Jam)
1

Sabtu, 6
Agustus 2016

S:
- Klien

Jam 15.30

mengatakan

tentang

konsep

bahwa

dirinya

penyakit

mengerti

hipertensi

dan

rentang tekanan darah yang normal


- Klien mengatakan bahwa dirinya mengerti
tentang penyebab hipertensi
- Klien mengatakan bahwa dirinya mengerti
tentang tanda dan gejala penyakit hipertensi
- Klien mengatakan bahwa dirinya mengerti
-

tentang komplikasi penyakit hipertensi


Klien mengatakan bahwa dirinya mengerti
tentang tatalaksana hipertensi

O:
-

100% lansia bisa menjawab tentang definisi

hipertensi
100% lansia bisa menjawab tentang penyebab

hipertensi
100% lansia bisa menjawab tentang tanda dan

gejala hipertensi
100% lansia bisa menjawab tentang

komplikasi dan upaya menangani hipertensi


100% lansia bisa menjawab tentang
tatalaksana hipertensi

A : masalah teratasi sepenuhnya


P : hentikan intervensi
2

Sabtu , 6
Agustus 2016
15.30

S:
-

Klien mengatakan bahwa dirinya mengetahui

bahaya minum kopi bagi penderita hipertensi


Klien mengatakan bahwa dirinya mengetahui

bahaya merokok bagi penderita hipertensi


Klien mengatakan bahwa dapat mengontrol
penggunaan garam

O:
-

48%

Lansia

setuju

untuk

mengurangi

konsumsi minum kopi dan mengetahui bahaya


kopi bagi penderita hipertensi
71% Lansia setuju untuk

mengurangi

konsumsi merokok secra bertahap hingga


berhenti dan mengerti bahaya rokok bagi
penderita hipertensi
33% Lansia setuju

untuk

mengontrol

penggunaan garam sehari hari


A : Masalah Teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi terkait kesadaran lansia
untuk menjalani gaya hidup yang sehat

Senin, 8
Agustus 2016

S:
-

Klien mengatakan akan mencoba mengganti

Jam 15.00
-

konsumsi kopi menjadi air mineral, teh dll


Klien mengatakan akan mencoba mengganti

konsumsi rokok dengan permen.


Klien
mengatakan
dapat
mengontrol
konsumsi kopi, rokok dan garam

O:
-

90% Lansia setuju untuk mengurangi

konsumsi rokok dan di ganti dengan permen


71% Lansia setuju untuk mengurangi
konsumsi kopi dan diganti dengan teh dan air

mineral
76% Lansia setuju untuk mengontrol
penggunaan garam dalam kehidupan seharihari

A: masalah teratasi
P: Hentikan Intervensi
3

Senin, 8
Agustus 2016

S:
-

Jam 15.00

Klien mengatakan dapat mengetahui jenis


pengobatan dan efek samping yang dapat

ditimbulkan dari konsumsi obat hipertensi


Klien mengatakan dapat mengetahui manfaat
dari

kontrol

secara

berkala

ke

petugas

kesehatan bagi penderita hipertensi


Klien mengatakan mengerti pentingnya

pengobatan berkelanjutan
Klien mengatakan mampu
strategi

untuk

mengakses

menentukan
pelayanan

kesehatan
Klien mengatakan akan bertemu dengan
tenaga medis untuk melakukan pemeriksaan
rutin

O:
-

95% Lansia mengetahui manfaat, jenis


pengobatan dan efek samping yang dapat

ditimbulkan dari konsumsi obat hipertensi


95% Lansia mengetahui manfaat kontrol dan
pengobatan berkelanjutan ke pelayanan

kesehatan secara rutin


95% Lansia mampumenentukan strategi untuk
mengakses layanan kesehatan dan akan
melakukan pemeriksaan rutin

A : masalah teratasi
P : Hentikan Intervensi
1

Senin, 8
Agustus 2016

S:
-

Jam 15.00

Klien mengerti dan faham mengenai makanan


yang

diperbolehkan

dan

yang

tidak

diperbolehkan
Klien mengerti pilihan makanan yang boleh
dikonsumsi dalam diet DASH

O:
-

95%

Lansia

mengetahui

makanan

diperbolehkan dan tidak diperbolehkan


95% Lansia mengetahui pilihan makanan yang
boleh dikonsumsi dalam diet DASH

A : Masalah teratasi
P : Hentikan Intervensi

yang

3.7 EVALUASI SUMATIF


Proses keperawatan pada agregat lansia RW 01 kelurahan Petung Sewu
dimulai dari pengkajian, analisa data, perencanaan asuhan keperawatan,
implementasi selama 3 minggu. Dari hasil analisa data pengkajian, ditetapkan 3
diagnosa

keperawatan

yaitu

defisiensi

pengetahuan

dengan

intervensi

pendidikan kesehatan mengenai konsep hipertens, tatalaksana hipertensi dan


nutrisi untuk hipertensi, ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan dengan
intervensi memberikan motivasi kepada lansia untuk mengurangi konsumsi
garam, dan motivasi untuk melakukan kontrol ke puskesmas, posyandu dan
pengobatan rutin yang berkelanjutan pada pasien hipertensi dan perilaku
kesehatan

cenderung

beresiko

dengan

intervensi

pendidikan

kesehatan

mengenai dampak sering minum kopi dan kebiasaan merokok terhadap


penderita hipertensi.
Diagnosa No. 1 : Defisiensi Pengetahuan berhubungan dengan kurang
sumber informasi ditandai dengan kurangnya pengetahuan mengenai
penyebab hipertensi.
No
1

Topik
Konsep penyakit hipertensi
(Definisi, Penyebab, Tanda dan Gejala,

Persentase
100%

Komplikasi, Penatalaksanaan)
Manajemen penyakit hipertensi
(Diet DASH)

95%

Diagnosa pertama mengenai defisiensi pengetahuan diberikan intervensi


pendidikan kesehatan yang dilakukan pada tanggal 6 & 8 Agustus 2016 pada
lansia RW 01 Keluarahan Petung Sewu dengan materi konsep hipertensi
didapatkan data bahwa 100% lansia memahami konsep hipertensi yang berupa
pengertian, tanda gejala, penyebab dan komplikasi hipertensi, dan 95% telah
memahami tentang nutrisi untuk hipertensi. Dimana kriteria hasil yang
diharapkan ialah mendapatkan presentase lebih dari 80% sehingga dapat
disimpulkan tujuan tercapai.
Diagnosa No. 2 : Perilaku Kesehatan Cenderung Beresiko berhubungan
dengan Kebiasaan minum kopi, konsumsi obat tidak teratur, merokok
dan

konsumsi

garam

berlebih

ditandai

dengan

gagal

melakukan

tindakan mencegah masalah kesehatan


No

Topik

Rata-rata
Observasi
Observasi
ke-1

ke-2

1
2
3

Mampu mengurangi rokok


Mampu mengurangi konsumsi kopi
Mampu mengurangi konsumsi garam

71%
48%
33%

90%
71%
76%

Diagnosa kedua, mengenai Perilaku kesehatan cenderung beresiko dengan


intervensi memberikan motivasi kepada lansia untuk mengurangi konsumsi
garam, kopi dan mengurangi kebiasaan merokok. Dari hasil yang didapat
menunjukkan bahwa lansia sudah mengurangi kebiasaan merokok mencapai
90%, , mengurangi konsumsi kopi mencapai 71%dan mengurangi konsumsi
garam mencapai 76%. Dimana kriteria hasil yang diharapkan ialah mendapatkan
presentase lebih dari 50 % sehingga dapat disimpulkan tujuan tercapai.
Diagnosa No. 3 : Ketidakefektifan Manajemen Kesehatan berhubungan
dengan

ketidakcukupan

petunjuk

untuk

bertindak

dan

kurang

pengetahuan mengenai program terapeutik


No
1

Topik
Pengobatan penyakit hipertensi
(Jadwal kontrol berkala)
Diagnosa

ketiga,

Ketidakefektifan

Persentase
95%
manajemen

Kesehatan

dengan

memberikan edukasi mengenai pentingnya kontrol secara berkala untuk


menghindari hipertensi, pada hari pertama didapatkan hasil 43% lansia yang
memahami tentang pentingnya pengobatan rutin dan berkelanjutan dan pada
hari kedua terdapat peningkatan sebesar 95% lansia mengerti dan memahami
tentang pentingnya pengobatan rutin dan berkelanjutan. Dimana kriteria hasil
yang diharapkan ialah mendapatkan presen

BAB IV
PEMBAHASAN
1. Defisiensi Pengetahuan berhubungan dengan kurang sumber
informasi ditandai dengan kurangnya pengetahuan mengenai
penyebab hipertensi
Pengkajian awal mengenai pengetahuan lansia terhadap hipertensi
didapatkan data bahwa tingkat pengetahuan lansia mengenai konsep
hipertensi

yang

termasuk

kategori

cukup

sebesar

33,33%.

Hasil

pengkajian kognitif awal bahwa tanda gejala, komplikasi dan manajemen


pengobatan hipertensi merupakan hal yang kurang dipahami masyarakat.
Oleh karena itu diadakan penyuluhan door to door terhadap 21 0rang
lansia di RW 01 Petung Sewu untuk meningkatkan pengetahuan lansia,
dimana terdapat peningkatan pengetahuan lansia dilihat dari hasil post
test

sebesar

100%

lansia

memahami

mengenai

konsep

penyakit

hipertensi mengenai pengertian, tanda gejala, penyebab dan komplikasi


hipertensi.
Pengkajian awal yang dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi
tingkat pengetahuan lansia terkait konsep penyakit hipertensi mulai dari
pengertian, tanda gejala, komplikasi dan penyebab hipertensi, didapatkan
hasil 52% lansia mengetahui mengenai penyakit hipertensi. Peningkatan
nilai rata-rata lansia setelah diberikan pendidikan kesehatan terkait
hipertensi di RW 01 Petung Sewu menjadi 77,142, hal ini sesuai dengan
penelitian Tirtana (2011) yang berjudul pengaruh pendidikan kesehatan
terhadap pengetahuan hipertensi pada lansia hipertensi di RW 4 Tegalrejo
Kelurahan Tegalrejo menyatakan bahwa setelah dilakukan pendidikan
kesehatan terdapat peningkatan pengetahuan terkait hipertensi dan
sesuai dengan penelitian widiasari (2010) terdapat pengaruh pendidikan
terhadap pengetahaun dan sikap lansia tentang hipertensi di Desa Makam
Haji dengan peningkatan rata-rata pengetahuan setelah pemberian
pendidikan dari 4,46 menjadi 13,97.
2. Perilaku Kesehatan Cenderung Beresiko berhubungan dengan
Kebiasaan minum kopi, merokok dan konsumsi garam berlebih
ditandai dengan gagal melakukan tindakan mencegah masalah
kesehatan
Pengkajian awal mengenai sikap lansia terhadap diet dan nutrisi
bagi penderita hipertensi didapatkan data bahwa sebanyak 39% dari 21

lansia minum kopi lebih dari 1 gelas per hari dan ada sekitar 39% yang
tidak setuju untuk melakukan pengurangan konsumsi garam. Oleh karena
itu diadakan penyuluhan door to door terhadap 21 lansia di RW 01 Petung
Sewu agar dapat meningkatkan pengetahuan lansia, dimana peningkatan
pengetahuan lansia dilihat dari hasil pre-test dan post test. Setelah
dilakukan pendidikan kesehatan mengenai modifikasi diet dan gaya hidup
didapatkan peningkatan pengetahuan terkait diet dan nutrisi bagi
penderita hipertensi yaitu dari 48% menjadi 95% lansia memahami
mengenai diet dan nutrisi khusus hipertensi. Peningkatan nilai rata-rata
lansia setelah pemberian pendidikan kesehatan terkait hipertensi di RW 01
Petung Sewu menjadi 80,0 , sesuai dengan penelitian Tirtana (2011) yang
berjudul pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan hipertensi
pada lansia hipertensi di RW 4 Tegalrejo Kelurahan Tegalrejo menyatakan
bahwa setelah dilakukan pendidikan kesehatan terdapat peningkatan
pengetahuan terkait hipertensi dan sesuai dengan penelitian widiasari
(2010) terdapat pengaruh pendidikan terhadap pengetahuan dan sikap
lansia tentang hipertensi di Desa Makam Haji dengan peningkatan ratarata pengetahuan setelah pemberian pendidikan dari 4,46 menjadi 13,97.
Untuk

hasil

postest

modifikasi

gaya

hidup

didapatkan

hasil

sebanyak 71% lansia yang meminum kopi kurang dari 1 gelas dan
sebanyak 76% yang sudah mengurangi konsumsi garam. Faktor yang
mendukung proses intervensi saat penyuluhan maupun home visit adalah
faktor pendekatan budaya yang dilakukan, yakni komunikasi yang
dilakukan dengan bahasa setempat setempat (Bahasa Jawa) dan keluarga
lansia binaan yang terbuka dan antusias menerima program yang
diberikan oleh mahasiswa.
3. Ketidakefektifan
ketidakcukupan

Manajemen
petunjuk

Kesehatan
untuk

berhubungan

bertindak

dan

dengan
kurang

pengetahuan mengenai program terapeutik


Implementasi yang diberikan pada masalah ini

bertujuan untuk

meningkatkan pengetahuan lansia mengenai pentingnya kontrol tekanan


darah dan minum obat antihipertensi. Pengkajian awal afektif didapatkan
data bahwa ada 67% lansia yang setuju bahwa kontrol tekanan darah itu
penting. Namun pada pengkajian psikomotor didapatkan data bahwa
sebanyak 95% dari lansia tidak melakukan kontrol tekanan darah. Oleh

karena itu diadakan penyuluhan door to door terhadap 21 lansia di RW 01


Petung Sewu agar lebih dapat meningkatkan motivasi lansia sehingga
mau memeriksakan tekanan darah satu kali sebulan lewat media kartu
kontrol tekanan darah yang dibagikan saat pendidikan kesehatan yang
nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai media monitoring dan
dibawa saat kontrol di posyandu lansia.
Setelah dilakukan pendidikan kesehatan didapatkan peningkatan
pengetahuan terkait pengobatan hipertensi bagi penderita hipertensi yaitu
dari

43%

menjadi

95%

lansia

memahami

mengenai

pengobatan

hipertensi. Saat dilakukan observasi tekanan darah pada tanggal 6


Agustus dan 8 Agustus 2016 didapatkan sebanyak 16 orang lansia yang
mengalami

penurunan

tekanan

darah.

Pengetahuan

atau

kognitif

merupakan faktor yang sangat penting untuk terbentuknya sikap atau


perilaku seseorang, sebab sikap atau perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih lama dilaksanakannya dari pada perilaku yang
tidak didasari pengetahuan (Sunaryo, 2004). Hasil akhir dari intervensi ini
adalah masalah teratasi sebagian karena secara praktis output perubahan
perilaku lansia masih belum dapat dievaluasi, yang bisa dipastikan adalah
adanya pengetahuan yang tergolong baik pada lansia terkait pentingnya
kontrol tekanan darah sekali sebulan dan minum obat hipertensi.

BAB V
PENUTUP
Proses keperawatan pada agregat lansia RW 1 Petung Sewu dimulai dari
pengkajian, analisa data, perencanaan asuhan keperawatan, implementasi
selama 3 minggu mulai tanggal 25 Juli 2016 - 13 Agustus 2016 didapatkan
kesimpulan sebagai berikut:

5.1

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan
bahwa:
5.1.1 Setelah dilakukan pendidikan kesehatan, pengetahuan lansia RW 1
Desa Petung Sewu mengenai hipertensi dapat meningkat.
5.1.2 Setelah dilakukan motivasi kepada lansia untuk selalu kontrol dan
mengurangi konsumsi garam, komitmen lansia meningkat
5.1.3 Setelah dilakukan pendidikan kesehatan, pengetahuan

lansia

mengenai bahaya kopi dan rokok meningkat.

5.2

Saran
Mengacu

dari

kesimpulan

tersebut

di

atas

maka

peneliti

memberikan saran-saran sebagai berikut:


5.2.1 Lansia menjadikan posyandu lansia sebagai media pemantauan
dalam pemeliharaan kesehatan diri
5.2.2 Keluarga lansia sangat berperan penting dalam kesehatan lansia itu
sendiri
5.2.3 Lansia dapat menggunakan kartu berobat yang telah dibagikan
untuk mengontrol tekanan darah.

DAFTAR PUSTAKA
Blazer, DG and Steffens, DC. 2009. The american psychiatric publishing textbook
of geriatric psychiatry. America : Psychiatric Pub.
Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. Seventh report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure. Hypertension 2003;42(6):12061252.
Cigolle CT, Langa KM, Kabeto MU, Tian Z, Blaum CS. 2007. Geriatric conditions
and disability: the health and retirement study. American College of
Physicians. 147(3):156-164.
Geddes J, Gelder MG, Mayou R. 2005. Psychiatry. Oxford [Oxfordshire]: Oxford
University Press.
Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B. 2008. Essentials of clinical geriatris.
6th ed. New York, NY: McGraw-Hill.
Salonen, Jaakko. 2013. Hearing impairement and tinnitus in the elderly. Turku :
Universitas of Turku.
Setiati S, Harimurti K, Roosheroe AG. 2006. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid
III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Indonesia. hlm. 1335-1340.
Sharon K, Stephanie S, Mary ET, George AK. 2007. Geriatri syndromes: clinical,
research, and policy implications of a core geriatri concept. Journal
compilation, The American Geriatris Society. 55(5): 794-796.
Slamat, T. Pasien prostodonssia lanjut usia : beberapa pertimbangan dalam
perawatan in : Pidato pengukuhan jabatan guru besar tetap dalam Bidang
Prostodonsia pada Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Sumatera Utara,
2005 : 2 8.
Stanley Mickey, Gauntlett Beare Patricia.2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik.
Edisi 2. Penerbit EGC Jakarta.
Tambayong, Jan. 2000.Patofosiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC
Watson, Roger. 2003. Perawatan Pada Lansia. Penerbit, EGC Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai