Anda di halaman 1dari 6

Mahasiswa, Kaum Urban Bidikan Industri Apartemen di Surabaya

Oleh : Eben Haezer S.AB


(071514853009)
A. Pendahuluan
Situs berita online Bisnis.com, pada pertengahan April 2016 mengangkat berita
berjudul Bidik Mahasiswa, Ciputra Garap Apartemen Cornell Surabaya 1. Dalam berita itu,
disebutkan bahwa pertumbuhan mahasiswa di Universitas Ciputra yang tumbuh sekitar 18
persen per tahun telah menjadikan potensi pasar apartemen semakin terbuka lebar. Potensi itu
ditangkap oleh pengembang Ciputra Grup yang selama ini portofolionya lebih banyak
tersebar di sektor landed house untuk membangun apartemen.
Dibidiknya kalangan mahasiswa sebagai pasar apartemen sebenarnya bukan
fenomena baru, terlebih di kota-kota besar seperti Surabaya. Di beberapa kawasan, sudah
terlihat apartemen-apartemen yang berdiri megah di sekitar kawasan kampus, baik kampus
negeri maupun swasta. Sebut saja di antaranya yang sudah beroperasi adalah apartemen
Metropolis di kawasan Jl Tenggilis yang dekat dengan kampus swasta Universitas Surabaya
(Ubaya) dan yang diklaim sebagai apartemen pertama di Surabaya yang membidik kalangan
mahasiswa, apartemen dan hotel (apartel) Square di kawasan Jl Siwalan Kerto yang persis
berhadapan dengan kampus Universitas Kristen Petra, apartemen Gunawangsa di kawasan Jl
Menur Pumpungan yang tidak jauh dari kampus Stiesia dan Uniersitas Narotama, serta
Educity Apartemen milik Pakuwon yang berada di kawasan Surabaya Timur, tidak jauh dari
beberapa lembaga pendidikan dan kampus Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
Pembangunan apartemen di Surabaya memang semakin marak mengingat
ketersediaan lahan yang semakin menyempit. Bagi para pengembang properti, penyusutan
lahan ini membuat mereka semakin kesulitan membangun proyek-proyek landed house meski
sebenarnya peluang pasar yang ada masih sangat terbuka lebar. Peluang yang sangat terbuka
lebar ini dipicu oleh pertumbuhan kota yang telah menggoda para pendatang untuk mencari
peruntungan di kota ini.
Merujuk pada penelitian terakhir yang dilakukan Colliers International Indonesia2,
sepanjang semester kedua tahun 2015, total ketersediaan apartemen di Surabaya meningkat
30 persen dari 18.153 unit (kamar) di akhir tahun 2014 menjadi 23.591 unit. Sepanjang
rentang waktu itu pula, terdapat lima proyek apartemen terbaru yang telah dituntaskan. Dari
1 http://properti.bisnis.com/read/20160415/49/538439/bidik-mahasiswa-ciputra-garap-apartemencornell-surabaya
2 Colliers International Indonesia adalah bagian dari Colliers International, sebuah organisasi real estate
komersial terbesar ketiga di dunia dengan 554 kantor cabang di 66 negara. Sebagai lembaga konsultan di bidang
properti, Colliers International Indonesia rutin melakukan riset tentang perkembangan properti di Indonesia,
khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.

total apartemen yang sudah beroperasi, sebanyak 46 persen berdiri di kawasan Surabaya
Timur, sebanyak 43 persen di kawasan Surabaya Barat, sementara sisanya berada di Surabaya
Selatan dan Surabaya pusat. Data lebih rinci mengenai persebaran apartemen di Surabaya
bisa dilihat pada gambar 1 dan gambar 2 berikut ini :
Gambar 1
Persebaran lokasi apartemen di Surabaya dan daftar pengembang paling aktif di
Surabaya

Sumber : Colliers International Indonesia-Research

Gambar 2
Daftar apartemen yang tuntas dibangun dan yang baru diluncurkan
pada semester II tahun 2015 di Surabaya

Sumber : Colliers International Indonesia-Research

Merujuk pada data tersebut, terlihat bahwa tren properti di Surabaya telah bergeser dari
hunian horizontal (landed house) ke hunian vertikal (vertical house). Perubahan tren ini
selanjutnya tentu berdampak terhadap penentuan pangsa pasar yang dibidik. Apabila
sebelumnya saat hunian horizontal masih menjadi tren, pangsa pasar yang dibidik oleh
pengembang sebagian besar adalah para pekerja kelas menengah, profesional muda, serta
keluarga dengan kemampuan ekonomi menengah ke atas, maka di era booming apartemen,
pangsa pasar yang dibidik bertambah. Kini, kalangan mahasiswa turut menjadi target pasar
yang dibidik oleh para pengembang apartemen.
Dibidiknya kelompok mahasiswa sebagai target pasar, sebenarnya tidak terlepas pula
dari perkembangan dunia pendidikan di Surabaya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS) Kota Surabaya tahun 2015 yang telah dipublikasikan 3, di Surabaya terdapat 86
perguruan tinggi, di mana lima perguruan tinggi di antaranya adalah perguruan tinggi negeri
(PTN), sementara sisanya adalah perguruan tinggi swasta yang berada di bawah koordinasi
Kopertis (Koordinator Perguruan Tinggi Swasta). Dari seluruh perguruan tinggi yang ada,
jumlah mahasiswa hingga akhir 2015 tercatat sebanyak 166.569 mahasiswa dengan berbagai
jenjang.
Mapan, Bebas, Mobilitas Mudah, Namun Terasing
Mahasiswa yang tinggal dan menempuh studi di perkotaan sangat lekat dengan identitas
sebagai manusia urban. Identitas ini mereka wujudkan dalam cara berpikir, bertindak, dan
beraktivitas. Pendeknya, gaya hidup mereka tidak bisa tidak terhindar dari tipikal masyarakat
urban.
Termasuk dalam gaya hidup urban itu adalah pemilihan tempat hunian. Apabila
dulunya hunian mahasiswa se lalu identik dengan rumah indekos dan asrama kampus yang
ditempati secara beramai-ramai, sejak beberapa tahun belakangan hal itu pelan-pelan mulai
bergeser. Tinggal di rumah kos di bawah pengawasan induk semang atau tinggal di asrama
kampus di bawah pengawasan penjaga asrama, tidak lagi menjadi satu-satunya pilihan.
Mereka yang berasal dari keluarga dengan kemampuan ekonomi yang tinggi, mulai melirik
apartemen sebagai alternatif tempat tinggal selama menempuh studi di kota besar.
Dipilihnya apartemen sebagai salah satu alternatif tempat tinggal para mahasiswa
yang menempuh studi di perkotaan, dilatarbelakangi oleh beberapa motivasi. Di antaranya
yang paling umum disebutkan adalah karena kepemilikan apartemen juga menjanjikan imbal
hasil investasi yang menguntungkan apabila nantinya apartemen tersebut disewakan atau
dijual. Tetapi keuntungan finansial yang diharapkan timbul dari pembelian apartemen ini
bukanlah sepenuhnya motivasi dari mahasiswa penghuni apartemen, melainkan motivasi
orangtua mereka yang membiayai kebutuhan hidup mereka selama menempuh studi di
perantauan .Selain motivasi mendapatkan keuntungan finansial di masa depan, motivasi
lainnya adalah adanya jaminan keamanan, kenyamanan, perlindungan privasi, dan aneka
layanan lain yang diberikan oleh pengembang bagi setiap penghuninya.
3 Badan Pusat Statistik Kota Surabaya: Surabaya Dalam Angka (2015)
3

Motivasi pertama yang disebutkan di atas cukup sesuai dengan karakter masyarakat
urban yang mulai terpapar pada konsep passive income yang mengajar mereka bagaimana
agar uanglah yang bekerja untuk mereka. Dengan kata lain, tanpa perlu bekerja keras, uang
yang mereka tanamkan pada portofolio investasi tertentu, terus berkembang dari waktu ke
waktu. Hal ini senada dengan yang disampaikan Martinez (2009:6) yang menyatakan bahwa
sebagian besar individu memilih berinvestasi di sektor properti dan real estate karena mereka
menganggap hal ini sebagai jalan menuju kesejahteraan dan kebebasan finansial yang
memungknkan mereka untuk tidak lagi perlu bekerja seharian. Mereka dapat mencapai
keebasan finansial itu dengan menciptakan aliran passive income yang cukup besar untuk
menutup semua kebutuhan sehari-hari. Dengan kata lain, menurut Martinez, orientasi
individu saat ini untuk berinvestasi di sektor properti adalah karena sektor tersebut
menjanjikan aliran penghasilan yang bermanfaat bagi kebutuhan mereka di setiap waktu.
Di sisi lain, keputusan pembelian apartemen oleh orang tua untuk dijadikan hunian
bagi anak-anak mereka yang sedang menempuh studi, juga merupakan gambaran perilaku
konsumtif yang semakin mewabah di kalangan masyarakat urban maupun masyarakat kelas
menengah. Perilaku konsumtif semacam ini, menurut Kenichiro (2015:10), menjadi alasan
para pengembang properti untuk kemudian memproduksi secara besar-besaran hunian.
Dengan kata lain, hunian yang dalam pandangan Maslow merupakan bagian dari kebutuhan
primer, kini dijadikan sebagai komoditi yang diproduksi secara massal untuk kemudian
dikomsumsi secara massal pula.
Perilaku konsumtif semacam ini bukanlah hal yang baru. Menurut Ageev dan Ageeva
dalam jurnal berjudul Urban Lifestyle as an element of consumption ideal and economic
wellbeeing: meaning-changing transformation from Soviet period to modernity (2015),
pembelian apartemen sebagai rumah kedua di kota sudah menjadi semacam budaya konsumsi
yang sangat umum di Uni Soviet (Rusia) pada kurun waktu antara 1960 hingga 1970. Kurun
waktu itu adalah masa di mana Uni Soviet memasuki era modernisasi. Selain apartemen,
kepemilikan mobil dan rumah di pinggiran kota, juga menjadi sesuatu yang sangat lumrah
selama kurun waktu tersebut.
Motivasi kedua juga menggambarkan budaya dan karakter masyarakat urban yang
menurut Stevenson ( 2003:13) lebih menyukai kebebasan dan terpenuhinya segala kebutuhan
secara instan. Dalam kaitannya dengan keputusan untuk menghuni apartemenbaik dengan
membeli maupun menyewamaka hal tersebut bisa jadi adalah upaya untuk mendapatkan
kebebasan yang mungkin tidak bisa mereka capai dengan menghuni pemondokan seperti
rumah kos maupun asrama kampus. Konkritnya, kebebasan itu antara lain adalah kebebasan
untuk menghuni tempat yang tidak memiliki jam malam, serta bebas untuk mengajak tamu
masuk ke dalam ruangan yang dihuni.
Selain kebebasan, kemudahan untuk memperoleh sebagian besar kebutuhan seharihari juga menjadi motivasi penting dalam keputusan menghuni apartemen. Hal ini bisa
terlihat dari adanya fasilitas-fasilitas di sebagian besar apartemen di Surabaya yang
menyediakan produk-produk ritel. Fasilitas-fasilitas itu antara lain swalayan, jasa cuci
pakaian, apotik, kafe, rumah makan, pujasera (pusat jajanan serba ada), dan lain sebagainya.
4

Dengan adanya fasilitas-fasilitas tersebut, penghuni apartemen tidak perlu pergi terlalu untuk
mencari kebutuhannya sehari-hari.
Namun disadari atau tidak, kebebasan dan kenyamanan yang mereka peroleh telah
membuat mereka terisolasi dan terpisahwalau tidak sepenuhnyadengan pergaulan
dengan tetangga kanan kiri. Hal ini tentu berbeda dengan apabila mereka menghuni rumah
kost, asrama, atau pemondokan di mana dalam beberapa hal mereka harus berbagi dengan
penghuni lainya, misalnya penggunaan dapur, kamar mandi, dan lain sebagainya. Hubungan
yang demikian, disadari atau tidak adalah yang melahirkan komunikasi antar penghuni di
rumah-rumah pemdondokan. Dalam pandangan sosiolog Jerman, Georg Simmel, kebebasan
dan keterisolasian atau keterasingan adalah konsekuensi yang timbul secara simultan dalam
kehidupan individu-individu urban. Artinya, kebebasan yang diperoleh selalu juga
melahirkan perasaan kesepian, kesendirian, dan terisolasi, meski hal tersebut seringkali sama
sekali tidak mereka rasakan (Stevenson, 2003:24).
Universitas Sebagai Penggerak Budaya Urban
Maraknya pembangunan apartemen di Surabaya adalah konsekuensi dari
pertumbuhan kota yang semakin pesat yang kemudian melahirkan tingkat urbanisasi yang
cukup tinggi, dari luar Surabaya. Tingkat urbanisasi inilah yang kemudian pada tahapan
selanjutnya melahirkan budaya urban di mana di dalamnya terkandung karakter masyarakat
yang heterogen, individualis, konsumtif, dan membutuhkan lebih banyak ruang untuk
mengekspresikan diri dan memanfaatkan waktu luangnya. Pada akhirnya, karakter-karakter
seperti itu pulalah yang membentuk karakter dan budaya sebuah kota, termasuk Surabaya
sebagai kota metropolitan.
Berbicara mengenai kelahiran masyarakat urban di perkotaan, menurut Durkheim
lebih banyak disebabkan oleh kedatangan masyarakat kelas pekerja. Maka ketika kedatangan
mahasiswayang notabene bukan termasuk dalam kelompok kelas pekerjake kota
ternyata turut melahirkan budaya urban, maka pernyataan Durkheim tersebut
dipertimbangkan kembali oleh beberapa ilmuwan. Satu di antaranya adalah ilmuwan Jepang,
Yuichi Takeuchi yang mempelajari pengaruh keberadaan universitas atau perguruan tinggi
terhadap munculnya budaya urban di kota. Upaya Takeuchi tersebut dilakukan dengan
melakukan penelitian terhadap beberapa universitas di Tokyo.
Menurut Takeuchi, perguruan tinggi atau universitas merupakan salah satu elemen
fundamental dalam regenerasi budaya urban. Kesimpulan ini dibuatnya setelah melihat
bahwa beberapa perguruan tinggi yang sebelumnya berada di kawasan suburban melakukan
relokasi ke kawasan pinggiran kota, ternyata memberikan pengaruh signifikan terhadap
munculnya karakter urban di kawasan pinggiran kota tersebut. Pengaruh signifikan ini
muncul karena relokasi ke tempat yang baru, mensyaratkan perguruan tinggi untuk
membangun hubungan yang kuat dan produktif di sekitar komunitas masyarakat yang baru.
Dengan menggunakan konsep yang disebutkan Takeuchi, maka pembahasan
mengenai berkembangnya budaya urban di Surabaya yang didorong oleh kelompok
mahasiswa, menjadi terasa lebih relevan. Berkembangnya pendidikan tinggi di Surabaya,
5

menjadikan mahasiswa dari berbagai daerah berbondong-bondong datang dari berbagai


daerah. Saat ini terjadi, implikasinya adalah mereka harus bersosialisasi dengan masyarakat
sekitar. Selain itu, implikasi lainnya, kehadiran mereka dalam jumlah besar menjadikan
permintaan terhadap hunian di Surabaya menjadi semakin tinggi. Saat hal itu terjadi,
pengembang propertiyang membangun apartemen, mulai melirik mereka dan menjadikannya
sebagai pangsa pasar yang hendak dibidik.
Kesimpulan
Pembangunan fisik di Surabaya adalah tuntutan sekaligus konsekuensi dari
pertumbuhan kota. Pertumbuhan tersebut, tidak terbatas pada pertumbuhan secara ekonomi,
namun juga mencakup hal-hal lain seperti pendidikan.
Sebagai kota yang ramai didatangi para pendatang baru dari berbagai daerah untuk
bekerja, membangun usaha, maupun menempuh studi, Surabaya membutuhkan lebih banyak
ruang untuk hunian. Namun kebutuhan itu tidak serta merta bisa terpenuhi mengingat
ketersediaan lahan di Surabaya semakin sempit sehingga hampir tidak memungkinkan untuk
membangun landed house. Kalaupun ada pengembang yang membangun landed houses,
harga yang ditawarkan kepada calon konsumen menjadi setinggi langit.
Ketika kebutuhan itu sulit terpenuhi, maka alternatif solusi yang paling masuk akal
adalah dengan membangun hunian berkonsep vertikal seperti apartemen. Seiring dengan
semakin banyaknya mahasiswa yang datang ke Surabaya untuk menempuh studi serta
semakin tingginya daya beli orang tua mereka, maka kelompok ini pun menjadi pangsa pasar
yang selama beberapa tahun belakangan mulai dibidik oleh para pengembang properti.
Membidik kaum mahasiswa sebagai pangsa pasar, sama halnya membidik kaum
urban. Bagi pengembang properti, kaum urban memang pasar yang sangat potensial untuk
digarap mengingat mereka pada umumnya adalah orang-orang yang cenderung konsumtif,
dalam artian keputusan membeli sesuatu seringkali tidak hanya didasari oleh faktor adanya
kebutuhan, melainkan lebih banyak didasari oleh keinginan untuk memiliki sesuatu meski
belum benar-benar dibutuhkan atau setidaknya bisa digantikan dengan produk lain yang
berfungsi sama namun dengan harga yang lebih murah.
Namun pertanyaan mengenai mana yang lebih relevan: antara apakah gaya hidup
urban dipengaruhi oleh pembangunan kota, atau sebaliknya pembangunan kota dipengaruhi
oleh gaya hidup urban, menjadi pertanyaan yang semakin sulit dijawab. Hal ini karena
konsep mengenai kota merupakan sesuatu yang kompleks, sama halnya definisi dari urban
yang begitu cair. Maka apabila pertanyaan itu disampaikan, hampir sama saja dengan
mempertanyakan mana yang lebih dulu ada, telur atau ayam?
Yang pasti, dalam konteks semakin maraknya pembangunan apartemen di Surabaya
yang membidik mahasiswa sebagai pangsa pasar, telah terjadi hubungan yang saling
mempengaruhi antara mahasiswa atau universitas dengan kota. Di antara hubungan itu, bisa
ditempatkan elemen-elemen lain, salah satunya adalah pengembang properti.

Anda mungkin juga menyukai