Anda di halaman 1dari 5

Ekonomi Politik Dalam Film Dokumenter Pulau Buru Tanah Air Beta

I. Latar Belakang
Era reformasi yang ditandai oleh lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan pada
1998, membawa perubahan besar pada wajah demokrasi di Indonesia. Masyarakat yang
selama era Orde Baru tidak bisa secara bebas menyuarakan aspirasinya, tenggelam dalam
euforia kebebasan berpendapat. Hampir-hampir tidak lagi ada ketakutan bagi mereka untuk
menyatakan pendapatnya sekalipun pendapat itu adalah kritik terhadap pemerintahan.
Kebebasan menyatakan pendapat ini setidaknya bisa terlihat dalam beberapa hal.
Pertama, kehadiran Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, memberikan jaminan
terhadap pers untuk tumbuh tanpa harus takut oleh ancaman pembreidelan oleh penguasa.
Pembreidelan itu sendiri, selama masa orde baru menjadi praktik yang lazim dilakukan oleh
pemerintah terhadap berbagai media massa yang dianggap tidak menyuarakan kepentingan
pemerintah. Tidak berlakunya lagi praktik pembreidelan oleh pemerintah, serta merta
menjadikan media massa tumbuh secara signifikan.
Selain kebebasan pers, kebebasan berpendapat melalui jalur selain media massa juga
terbuka lebar. Kelompok-kelompok masyarakat yang selama masa orde baru merasa menjadi
korban tindakan represif dari pemerintah, satu persatu mulai muncul dan menyusarakan
tuntutannya. Di antara mereka adalah keluarga para aktivis yang hilang selama periode
kerusuhan 1998 serta para eks tahanan politik yang merasa menjadi korban rekayasa sejarah
oleh pemerintah orde baru.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang merasa menjadi korban
tindakan represif selama masa orde baru, dilakukan melalui berbagai cara. Selain turun ke
jalan, menuntut ke peradilan, tidak sedikit pula yang memanfaatkan dukungan media untuk
menyampaikan aspirasinya. Dalam hal ini, yang dimaksud oleh media tidak hanya terbatas
pada pemberitaan melalui media-media massa, melainkan juga melalui media-media yang
diproduksi sendiri seperti melalui musik, buku, hingga film-film dokumenter.
Beberapa film dokumenter yang mencoba menyampaikan aspirasi dari kelompokkelompok yang merasa menjadi korban aksi represif selama masa pemerintahan orde baru,
bisa disebutkan di antaranya adalah Jagal: The Act of Killing, Senyap atau The Act of
Silence, serta yang paling baru adalah film dokumenter berjudul Pulau Buru Tanah Air Beta.

Berbeda dengan film-film dokumenter pada umumnya, film-film dokumenter yang


mencoba mengusung tema-tema seputar dugaan tindakan represif pemerintahan orde baru,
selalu mengundang kontroversi di masyarakat. Bahkan cukup banyak terjadi, beberapa
kelompok masyarakat bersama aparat-aparat keamanan, turun ke lapangan untuk
membubarkan aktivitas-aktivitas pemutaran film tersebut karena dianggap berpotensi
menimbulkan ancaman terhadap keamanan nasional.
Sebagai contoh, agenda pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta oleh Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta yang bertepatan dengan peringatan hari kebebasan pers
dunia, dibubarkan oleh kepolisian setempat dan beberapa organisasi masyarakat 1. Selain itu,
sebelumnya pada pertengahan Maret 2016, agenda pemutaran film serupa di Goethe Institute
Jakarta juga dibatalkan karena mendapat intimidasi dari beberapa organisasi masyarakat 2. Di
Surabaya, film yang sama juga batal diputar karena adanya tekanan dari kepolisian, TNI,
Satuan Polisi Pamong Praja, dan Ormas Pemuda Pancasila. Pembubaran-pembubaran
terhadap film ini, umumnya dilakukan dengan dalih karena konten dalam film itu dianggap
mengandung muatan yang mencoba membangkitkan kembali komunisme di Indonesia.
Dalam pandangan teori ekonomi politik media, menurut Mosco, media memang selalu
mengusung kepentingan-kepentingan ekonomi dan kepentingan-kepentingan politik, atau
dengan kata lain, tidak ada satupun konten dalam media yang bersifat netral. Dengan
demikian, maka sudah selayaknya setiap konten dalam media tidak dikonsumsi secara
mentah-mentah dan tidak dianggap sebagai sebuah konten tanpa makna. Karena itu, menurut
Mosco, sangatlah penting untuk mengaji faktor-faktor ekonomi dan politik dalam media demi
menghindari esensialisme komunikasi.
Political economy offers another reason for taking care to avoid
communication essentialism. Although there is understandable tension over
this, political economist of communication have sought to decenter the
media of communication even as they have concentrated on investigating its
economic, political, and other materal constituents. (Mosco, 2009: 66)
Dengan merujuk pada pemahaman ekonomi politik media menurut Mosco tersebut,
maka sudah selayaknya pula perlu ada kajian mengenai ekonomi politik dalam film
1 https://m.tempo.co/read/news/2016/05/03/078768138/pemutaran-film-pulauburu-di-hari-kebebasan-pers-dibubarkan
2 https://m.tempo.co/read/news/2016/03/16/111754199/goethe-institut-batalputar-film-pulau-buru-tanah-air-beta

dokumenter Pulau Buru Tanah Air Beta. Dengan demikian, maka respon-respon yang muncul
selama ini akibat beredarnya film tersebut, dapat dipahami secara tepat.
Dengan menggunakan sudut pandang ekonomi, dalam film dokumenter ini, tidak
sedikit aparatus negara yang berasumsi bahwa film ini semata-mata mencoba
mengampanyekan pemahaman-pemahaman atau ideologi-ideologi yang bernuansa kiri.
Namun apabila asumsi itu benar, maka sudah seharusnya bahwa distribusi film ini dilakukan
secara masif dengan cuma-cuma atau gratis. Apalagi, dengan dukungan internet dan media
sosial seperti Youtube, Facebook, dan berbagai media sosial lainnya, maka seharusnya
tidaklah sulit untuk membagi-bagikan film tersebut secara cuma-cuma.
Tetapi faktanya tidaklah demikian. Film dokumenter Pulau Buru Tanah Air Beta tidak
bisa diunduh secara gratis di situs manapun. Sebaliknya, untuk bisa mendapatkan film ini
harus melalui jalur distribusi yang dikelola oleh situs buttonijo.com. Situs tersebut
merupakan inisiatif distribusi film-film alternatif yang dirintis oleh Amir Pohan dan Myma
Paramita sejak 20103. Di situs ini, film Pulau Buru Tanah Air Beta bisa dibeli seharga Rp
100.0004. Selanjutnya, setiap orang yang membelinya, bisa memutarnya untuk ditonton
bersama-sama dan berhak untuk menjual tiket kepada masyarakat yang ingin menonton.
Dengan penuh kecurigaan pula, produser film ini sebenarnya juga menangguk
keuntungan dari berbagai peristiwa pelarangan pemutaran film yang terjadi di sejumlah
daerah. Sebab dengan demikian, produser dan distributor film telah mendapatkan publikasi
gratis melalui pemberitaan media massa. Prinsipnya, semakin banyak media yang
memberitakan mengenai pro dan kontra film ini, akan menumbuhkan rasa penasaran yang
semakin tinggi di masyarakat. Ketika rasa penasaran semakin tinggi, akan semakin besar pula
peluang untuk terjualnya hak-hak memutar film ini.
Dari sudut pandang politik, film dokumenter Pulau Buru Tanah Air Beta memang
mengandung tema politik yang sangat kental. Film ini bercerita tentang sejarah para tahanan
politik yang pernah dibuang ke pulau Buru. Kisah mengenai mereka, diwakili oleh sosok
Hersri Setiawan, sastrawan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)sebuah
organisasi sayapPartai Komunis Indonesia (PKI) yang bersama anak, istri, dan seorang
3 http://buttonijo.com/pages/about-us
4 http://buttonijo.com/products/pulau-buru

mantan tahanan politik lain, Tedjabayu, bernostalgia ke Pulau Buru. Di sana, mereka
menjumpai mantan tahanan politik lain yang akhirnya menetap di pulau tersebut
pascapembebasan tahun 1979. Sepanjang perjalanan film, sosok Hersri banyak bercerita
mengenai penderitaan para tahanan politik di Pulau Buru. Penderitaan itu tidak cukup hanya
selama mereka menjalani masa pembuangan, namun juga berlangsung sampai mereka
kembali ke masyarakat. Status sebagai mantan tahanan politik, membuat hak-hak mereka
sebagai warga negara hilang.
Dengan gambaran jalan cerita yang demikian, maka dapat disimpulkan bahwa secara
gamblang film ini mencoba mengajak masyarakat untuk mengkritisi sejarah yang mereka
pandang penuh rekayasa dan pemutarbalikan fakta, khususnya fakta-fakta seputar tahanan
politik dan otoriternya rezim pemerintahan orde baru. Maka, sejauh ini dapat disimpulkan
bahwa secara politik, film ini memiliki tujuan untuk mendorong terwujudnya perubahan
dalam masyarakat sekaligus perlawanan untuk menuntut pelurusan sejarah, khususnya
sejarah seputar tahanan politik. Bisa jadi, tujuan akhir dari film ini adalah terwujudnya
rekonsiliasi antara pemerintah Indonesia saat ini dengan para korban kekerasan 1965 yang
lahir melalui permintaan maaf dari pemerintah kepada mereka.
II.

Tujuan
Film-film dokumenter yang kontennya berlatar belakang peristiwa 1965, selalu

mengundang pro dan kontra di masyarakat. Kontroversi yang terjadi ini, sejatinya tidak
selaras dengan semangat kebebasan berpendapat yang selalu didengung-dengungkan sebagai
bagian dari kebangkitan demokrasi di Indonesia. Bermula dari fenomena tersebut, maka
tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah: pertama, untuk mengetahui fakta-fakta serta
latar ekonomi dan politik di balik film dokumenter Pulau Buru Tanah Air Beta. Kedua,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses komodifikasi, spasialisasi, dan
strukturasi berlangsung dalam film dokumenter Pulau Buru Tanah Air Beta.
III.

Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat. Pertama, bagi kajian

media, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya yang juga
berencana meneliti seputar film-film dokumenter dengan genre seputar peristiwa 1965 dan
peristiwa-peristiwa lain yang mengikutinya. Kedua, bagi khalayak secara umum, penelitian
ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi mereka agar secara arif dan bijaksana memahami
fenomena-fenomena seputar film dengan genre tentang peristiwa 1965 dan peristiwaperistiwa lain yang mengikutinya.

IV.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian tersebut, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah :


1. Bagaimana faktor-faktor ekonomi dan politik termanifestasikan dalam film
dokumenter Pulau Buru Tanah Air Beta?
2. Bagaimana proses komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi berlangsung dalam
film dokumenter Pulau Buru Tanah Air Beta?

Anda mungkin juga menyukai