Anda di halaman 1dari 3

Gadis kecil Ia duduk di sudut mesjid.

Kedua tangannya terlihat sibuk dengan benda yang


ada di depannya. Sedikit pun ia tak bergeming, ia tak menghiraukan kegaduhan yang ada di
sekelilingnya yang dibuat oleh teman-temannya. Mesjid yang tak begitu besar itu menjadi
ramai karena kehadiran anak-anak TPQ setiap sore bakda asar. Mereka berlarian di dalam
mesjid, menghambur tanpa aturan dan berteriak-teriak. Begitulah dunia anak-anak selalu
ceria tanpa beban kehidupan.
Assalamualaikum, aku memberi salam kepada mereka. Serentak kegaduhan berhenti dan
mereka menatap ke arahku secara bersamaan. Waalaikumsalam ustadz, jawab mereka
kompak dan berlari-larian kembali. Ku pandangi gadis kecil tadi, ia masih sibuk menyusun
lembar demi lembar mushaf usang yang berserakan di depannya, persis seperti seorang yang
sedang menyusun puzzle. Wajahnya menyiratkan kekesalan kepada seseorang. Ku ayunkan
langkah kaki untuk menemuinya.
Aisyah sedang apa? aku duduk di depannya.
Sedang menyusun quranku ustadz, dia masih sibuk mengurutkan lembar demi lembar
mushaf yang bertebaran.
loh kok bisa jadi berantakan gitu? Apa yang terjadi?
Itu ustadz tadi Azka lari-lari dan menabrakku, sambil menunjuk ke arah anak laki-laki
berbadan gendut yang sedang kejar-kejaran bersama teman-temannya. Raut mukanya
menunjukkan kekesalan. Baiklah, sini biar ustadz bantu menyusunnya kembali.
Terimakasih ustadz, dia tersenyum.
Gadis kecil yang manis ini adalah seorang putri kenalanku. Namanya Kang Sutarno, begitu
aku memanggil ayahnya. Ayahnya adalah seorang sopir angkot jurusan TMII-Ragunan.
Perkenalan kami dimulai ketika aku naik angkotnya sepulang kuliah. Karena aku duduk di
depan, ia mengajakku ngobrol. Banyak hal yang kami obrolkan hingga tak terasa kami pun
menjadi akrab. Mungkin karena kami sama-sama orang jawa. Ia berbeda dengan sopir angkot
kebanyakan. Tutur katanya santun dan tak pernah berkata-kata kotor layaknya kebanyakan
sopir angkot. Yang ia bicarakan kepadaku pun selalu menyangkut islam dan dakwah.
Katanya dulu ia ingin sekali nyantri, mendalami ilmu agama. Tapi karena terganjal biaya ia
pun mengurungkan niatnya, kemudian menikah dan mengadu nasib di hiruk-pikuk ibu kota
sampai saat ini. Sekitar satu tahun yang lalu ia menitipkan putrinya Aisyah di TPQ yang aku
kelola bersama beberapa temanku. Memang aku pernah bercerita kepadanya bahwa aku
bersama temanku mengelola sebuah TPQ. Dan kebetulan rumah yang ia tinggali juga tak
begitu jauh dari tempatku mengajar TPQ.
Aisyah, ia adalah gadis kecil yang pendiam dan penurut. Tapi jagan salah, ketika ia merasa
terganggu oleh keusilan teman-temannya ia akan marah. Dia adalah anak yang cerdas,
bahkan mungkin paling cerdas di antara santri-santri TPQ yang lain. Satu tahun dia bisa
khatam iqra satu sampai enam dengan baik. Kini dia sudah mulai diajari untuk membaca alquran oleh ustadzahnya. Hafalannya juga tak kalah hebat, selama satu tahun dia berhasil

menyelesaikan juz 30 dan setengah dari juz 29. Anak sebelia itu telah hafal satu setengah juz.
Sungguh prestasi yang membanggakan yang bisa membuat iri para orangtua.
Pernah suatu ketika aku bertanya, Aisyah kalau dah besar pengen jadi apa?
Sambil malu-malu dia menjawab, Pengen jadi kayak ustadzah Afifah, bisa hafal al quran.
Aku terkejut mendengar jawabannya. Tak ku sangka dari bibir anak kecil ini meluncur katakata itu. Di dalam tubuh kecilnya ia menyimpan sebuah cita-cita besar untuk menjadi
penghafal al-quran. Sungguh ini adalah hasil didikan orangtuanya juga ustadzahnya. Tak
akan jadi jika orangtua hanya menyerahkan pendidikan agama si anak ke ustadz atau pun
ustadzahnya dan berharap anaknya menjadi saleh dan saleha sepulang mengaji. Tentu
orangtua harus berperan juga dalam mengkondisikan lingkungan keluarga agar cocok untuk
membentuk anak yang saleh dan saleha.
Mushaf yang dibawanya telah usang. Benda pusaka itu seakan telah diwariskan turuntemurun sejak zaman penjajahan, dan tak tahu gadis kecil itu pewaris yang keberapa. Garis
kemiskinan membuat dia dan keluarganya hidup menyedihkan. Sebagai sopir angkot
setengah hari, ayahnya tak mampu sekedar membeli mushaf yang baru untuk Aisyah. Biaya
makan sehari-hari pun pas-pasan. Ditambah lagi biaya sekolah anaknya yang kian mencekik
membuatnya harus memutar otak dan memeras keringat untuk menghasilkan pundi-pundi
uang yang lebih banyak. Hasil kerja keras Kang Sutarno terbayar. Aisyah adalah anak cerdas
yang membuat orangtuanya bangga. Ia tak akan menyia-nyiakan kerja keras kedua
orangtuanya. Ia menunjukkan bahwa kecerdasan bukanlah monopoli dari orang yang bisa
mengundang guru privat ke rumahnya.
Aisyah sudah merengek hampir setiap hari kepada bapaknya. Ia benar-benar ngotot minta
untuk dibelikan mushaf baru. Mushafnya yang lebih mirip buku peninggalan sejarah itu
sering menjadi bahan olok-olok santri-santri yang lain. Tapi apa boleh buat, Kang Sutarno
harus membuat Aisyah menelan janji-janji manis dari sang bapak.
Aisyah, kalau kamu lebih rajin ngaji Bapak janji akan belikan kamu mushaf baru, ucap
Kang Sutarno sambil tangan kanannya memegang kepala sang anak.
Bapak harus janji loh sama Aisyah, dia menatap mata bapaknya dengan tajam.
Iya, Bapak janji deh, kata Kang Sutarno tersenyum sambil mengulurkan jari kelingkingnya.
Aisyah pun tersenyum. Itulah janji dari Kang Sutarno kepada putri tercintanya.
Sore itu awan hitam menggumpal di angkasa Jakarta. Angin berhembus agak kencang
menggoyang-goyangkan kabel listrik yang melintang-lintang tak beraturan. Udara dingin
sudah mulai menjamah perkampungan padat penduduk itu. Pertanda hujan akan segera turun.
Para santri telah merapat ke halaqohnya masing-masing, mendengarkan dengan seksama
pelajaran yang disampaikan oleh ustadz masing-masing.
Hujan turun dengan lebatnya, membuat pandangan ke luar sangat terbatas. Disertai suara
halilintar yang menggelegar yang bisa membuat takut santri-santri untuk ke luar dari ruangan
mesjid. Hingga suara itu tiba-tiba mengagetkan kami semua. Gubrakkk!!! seperti suara orang

yang tertabrak kendaraan kemudian disusul dengan suara rintihan rasa sakit. Kami semua
berhambur ke luar melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Di balik hujan, terlihat samar-samar seorang yang kurus kering sedang bersusah payah untuk
berdiri. Mungkin dia korban tabrak lari. Ia terlihat memakai tas butut di belakangnya,
keadaannya mengenaskan. Payungnya menari-nari ditiup angin, terbang entah ke mana. Baju
dan celananya telah basah kuyup, juga rambutnya berantakan. Sungguh malang nasib pria itu,
akhirnya aku mengambil payung besar milik takmir mesjid dan menghampirinya. Alangkah
terkejutnya diriku ketika ku dekati. Ternyata pria itu adalah Kang Sutarno. Ia telah basah
kuyup, di dahinya ada luka memar, mungkin terbentur aspal. Kakinya yang satu pincang, aku
memapahnya menuju mesjid. Terdengar ia mengerang kesakitan.
Di teras mesjid Aisyah tercengang melihatnya. Ternyata korban tabrak lari itu adalah
bapaknya sendiri. Ia menangis dan menghambur ke arah bapaknya. Kang Sutarno meringis
menahan sakit, ia bersandar di sebuah tiang mesjid dalam keadaan basah kuyup. Bapak
Aisyah memanggil bapaknya.
Aisyah! Jangan menangis yaa, Bapak gak apa-apa kok, cuma luka sedikit, ucap Kang
Sutarno sambil mengusap kepala putrinya. Aku, para ustadz, dan ustadzah, dan santri-santri
hanya terdiam melihat adegan si bapak dan putrinya itu. Kang Sutarno tersenyum kepada
Aisyah, ia mengeluarkan bingkisan kotak yang dibungkus plastik hitam dari tas butut warna
kelabu yang sudah basah kuyup itu.
Aisyah sesuai janji Bapak. Bapak tadi belikan kamu mushaf baru, maafkan Bapak baru
bisa membelikannya sekarang, Kang Sutarno menyerahkan bingkisan yang dibungkus
plastik hitam itu kepada Aisyah. Aku mengusap mataku yang mulai berair, haru dan hening,
semuanya diam.
Terima kasih Bapak, kata Aisyah masih sesenggukkan, dan kemudian memeluk bapaknya.
Kang Sutarno mendekapnya erat-erat, ia tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Hujan sore itu
menjadi saksi bahwa Kang Sutarno telah menepati janjinya membelikan mushaf untuk
Aisyah.

Anda mungkin juga menyukai