ESSAY
Pendahuluan
Good Governance adalah praktek terbaik dalam hal proses penyelenggaraan kekuasaan
negara dalam menyediakan dan menyelenggarakan public goods dan public services. Agar
good governance dapat berlangsung secara optimal, dibutuhkan komitmen dan partisipasi
dari semua pihak yaitu pemerintah dan masyarakat. Good governance yang efektif menuntut
adanya allignment atau koordinasi yang baik, profesional, serta mengedepankan etos kerja
dan moral yang tinggi.
Implementasi dari good governance merupakan prasyarat terwujudnya aspirasi
masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita negara. Oleh karena itu diperlukan perangkat
pengembangan dan penerapan sistem yang memadai serta proses akuntabilitas yang tepat,
jelas, dan objektif sehingga berdaya guna, berhasil guna, dan dapat dirasakan secara
paripurna oleh seluruh anggota masyarakat.
Dari segi fungsional, aspek good governance dapat ditinjau dari apakah negara dalam
hal ini adalah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya pencapaian
tujuan negara yang telah digariskan, atau justru malah bersifat inefisiensi dalam pencapaian
tujuan. Menurut World Bank, governance adalah the way state power is used in managing
economic and social resources for development and society. Sementara UNDP
mendefinisikan sebagai the exercise of political, economic, and administrative authority to
manage a nations affair at all level.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa governance memiliki tiga kaki (three
legs) yaitu :
1. Economic governance
2. Political governance
3. Administrative governance
Oleh karena itu, institusi dari governance maliputi tiga domain, yaitu state (negara atau
pemerintah), private sector (sektor swasta) dan society (masyarakat). Masing-masing domain
memiliki peran khas masing-masing dalam hal penyelenggaraan aktivitas pemerintahan.
Dimana negara atau pemerintah memiliki otoritas yang lebih tinggi dalam mengatur jalannya
aktivitas politik yang berlangsung dalam suatu negara. Hal ini adalah bertujuan agar tidak ada
suatu domain yang tersub-ordinasi secara tajam oleh domain yang lain.
Arti good dalam good governance memiliki dua pengertian :
1. Milai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan nilai yang dapat
meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan negara.
2. Aspek fungsioanal dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan
tugas dalam pencapaian tujaun tersebut.
Dari pengertian ini, good governance berorientasi pada :
1. Orientasi ideal : pencapaian tujuan nasional yang bertitik tolak pada demokratisasi
dalam kehidupan bernegara dengan elemen konstituennya seperti : legitimacy,
sumber
lain,
adapun
prinsip-prinsip
dari
good
governance
adalah
1. Partisipasi
6. Wawasan Kedepan
2. Penegakan Hukum
7. Akuntabilitas
3. Transparasi
8. Pengawasan
4. Kesetaraan
5. Daya Tanggap
10. Profesionalisme
Prinsip-prinsip good governance pada dasarnya mengandung nilai yang bersifat obyektif
dan universal yang menjadi acuan dalam menentukan tolok ukur atau indikator dan ciriciri/karekteristik penyelenggaraan pemerintahan negara yang baik. Prinsip-prinsip good
governance dalam praktek penyelenggaraan Negara dituangkan dalam 7 (tujuh) asas-asas
umum penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme.
Dalam hubungan ini, kata prinsip mempunyai makna yang sama dengan asas, karena asas
dan/atau prinsip pada hakekatnya merupakan awal suatu kebenaran yang menjadi pokok
dasar tujuan berpikir, berpendapat, dan bertindak. Asas-asas umum penyelenggaraan negara
meliputi :
Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan Penyelenggara Negara.
Asas Tertib Penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan,
keserasian, dan keseimbangan, dalam pengendalian Penyelenggara Negara.
Asas Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif, tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan, dan rahasia negara.
Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban Penyelenggara Negara.
Asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
dimana berbagai unsur dalam masyarakat menggalang kekuatan dan otoritas, dan
mempengaruhi dan mengesahkan kebijakan dan keputusan tentang kehidupan publik, serta
pembangunan ekonomi dan sosial.
Ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan
good governance seperti yang telah disebutkan di muka, yakni: pemerintah (the state), civil
society (masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil), dan pasar atau dunia usaha.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalam
penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi. ketiga unsur tersebut memiliki jaringan
dan interaksi yang setara dan sinerjik. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat
berkembang subur bila ada kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta tata aturan
yang jelas dan pasti. Good governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah
kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.
Indonesia dan Good Governance
Bagaimana kondisi good governance di Indonesia?
Berbagai assessment yang diadakan oleh lembaga-lembaga internasional selama ini
menyimpulkan bahwa Indonesia sampai saat ini belum pernah mampu mengambangkan good
governance. Mungkin karena alasan itulah Gerakan Reformasi yang digulirkan oleh para
mahasiswa dari berbagai kampus telah mengamini Good Governance, walaupun masih
terbatas pada Pemberantasan Praktek KKN (Clean Governance).
Namun, hingga saat ini salah satu tuntutan pokok dari Amanat Reformasi itupun
belum terlaksana. Kebijakan yang tidak jelas, penempatan personil yang tidak kredibel, law
enforcement yang lemah, sertra kehidupan politik yang kurang berorientasi pada
kepentingnan bangsa telah menyebabkan dunia bertanya apakah Indonesia memang serius
melaksanakan good governance.
Tidak perlu disanggah lagi bahwa Indonesia masa depan yang kita cita-citakan amat
memerlukan Good Governance seperti yang dikonsepsualisasikan oleh IIAS. Pengembangan
good governance tersebut harus menjadi tanggungjawab kita semua. Dalam kondisi seperti
sekarang, pemerintah, yang selama ini mendapat tempat yang dominan dalam
penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi, sukar diharapkan secara sadar
dan sukarela, akan berubah dan menjelma menjadi bagian yang efektif dari good governance
Indonesia. Karena itu pembangunan good governance dalam menuju Indonesia masa depan
harus dilakukan melalui tekanan eksternal dari luar birokrasi atau pemerintah, yakni melalui
pemberdayaan civil society untuk memperbesar partisipasi berbagai warganegara dalam
peneyelenggaraan pemerintahan.
Kekuatan eksternal kedua yang dapat memaksa timbulnya good governance adalah
dunia usaha. Pola hubungan kolutif antara dunia usaha dengan pemerintah yang telah
berkembang selama lebih 3 dekade harus berubah menjadi hubungan yang lebih adil dan
terbuka.
Kunci untuk menciptakan good governance adalah suatu kepemempinan nasional
yang memiliki legitimasi dan dipercayai oleh masyarakat. Karena itu mungkin Pemilu yang
memilih pimpinan nasional secara langsung, adil dan jujur dapat menjadi salah satu jawaban
bagi terbentuknya penenyelenggaraan pemerintahan yang baik. Itu pun kalau Pemilu tersebut
mampu memilih seorang yang kredibel, yang mendapat dukungan popular, dan yang visioner
dan kapabel sebagai Presiden Indonesia.
Partisipasi dan Good Governance: Merefleksi Masa Lalu melalui Pemilu
Partisipasi publik dibutuhkan dalam penyelenggaraan untuk peningkatan kualitas Good
Governance dan penguatan masyarakat sipil yang lebih baik di Indonesia. Kita dapat
bercermin pada pengalaman keberhasilan penyelenggaraan pemilu langsung pertama kali di
Indonesia tahun 2004 di era Presiden Megawati Soekarno Putri dan kemunduran
penyelenggaraan pemilu legislatif pada tahun 2009 yang banyak kisruh kecurangan. Pemilu
2009 banyak menuai protes kontestan peserta pemilu pada saat itu. Mempertimbangkan fakta
tersebut perlu kiranya pelibatan publik dan komponen masyarakat sipil dalam
penyelenggaraan pemilu. Masyarakat sipil berkepentingan terhadap kualitas hasil pemilu
karena berdampak pada kehidupannya untuk kurun waktu lima tahun setelah pemilu.
Penyelenggaraan pemilu 2009 tergolong tidak sukses mengawal agenda yang sudah
ditetapkan. Jadwal KPU terus menerus molor. Kritik komponen masyarakat sipil yang aktif
berpartisipasi dalam pengawasan seperti tidak dihiraukan. Mahasiswa dan kelompokkelompok kritis pada saat itu ikut bersuara dan melakukan pengawasan kendati demikian
belum mampu menjadi pressure group (kelompok penekan) yang diperhatikan. Demonstrasi
masyarakat di berbagai daerah untuk penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil belum
menghasilkan tindakan perbaikan penyelenggaraan pemilu oleh KPU pada saat itu.
Kritik atas carut marutnya penyelenggaraan pemilu juga jangan sampai kembali
dipahami sebagai hal yang memperlambat kerja KPU. Hingga pada saat itu dari pemberitaan
media sampai presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan pidato menyoal kritik
publik yang justru memberi kesan enggan dipersalahkan. KPU dan rakyat sampai
dipersalahkan1.
Pengalaman penyelenggaraan pemilu 2009 menjadi bahan evaluasi publik. Publik
berhak terlibat dalam proses politik penting penyelenggaraan pemerintahan. Perlu
memasukkan wakil-wakil golongan profesional dan fungsional dalam penyelenggaraannya
untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Peran publik dalam penyelenggaraan dan
pengawasan serta evaluasi perlu dilakukan. Pers juga bagian dari publik yang mesti
dilibatkan dalam proses pengawasan karena merupakan pilar demokrasi serta alat
pengawasan bagi rakyat dalam kerangka mengkonstruk good governance di Indonesia.
Partisipasi publik merupakan roh dari utama Good Governance. Hak dan tugas warga
negara harus terpenuhi dalam sistem pemerintahan yang baik. Kelompok intelektual juga
menjadi faktor penting untuk memihak kepentingan publik agar terus melakukan dan
mengawal jalannya good governance di Indonesia. Hal itu merupakan bentuk tanggung jawab
moral intelektual yang secara etis berkewajiban menjadi pionir yang memberi suluh di dalam
situasi kegelapan dan kebingungan atau ketidakpedulian publik.
Pemilu akan memiliki bobot jika terjadi pengarusutamaan wacana alternatif yang
merefleksikan kepentingan publik dan tujuan nasional. Dari situlah publik akan mendapatkan
nuansa baru kesegaran dari pemilu melalui proses selektif kandidat yang melibatkan
kepentingan publik melalui keterlibatan wakil komponen rakyat dalam penyelenggaraan
pemilu. Ibaratnya hajatan besar yang memiliki hajatan adalah rakyat maka rakyatlah yang
seharusnya dijadikan subyek utama dalam memperbaiki penyelenggaraan pemilu.
Contoh perilaku politik pendiri negara misalnya dalam BPUPKI atau dalam Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dapat menjadi tauladan tentang representasi publik
dalam penyelenggaraan hajatan besar yang penting untuk Indonesia. Penyelenggaraan pemilu
merupakan kepentingan negara. Jangan sampai untuk kepentingan negara yang besar ini dari
penyelenggaraanya saja sudah mengedepankan kepentingan kelompok dan golongan. Perlu
ada wakil yang representatif mewakili kepentingan kelompok fungsional misalnya seperti
nelayan, petani, pedagang, pengusaha nasional, ormas, juga buruh. Jika hal ini bisa dilakukan
tentu mampu memberikan alternatif perbaikan terhadap penyelenggaraan pemilu berikutnya.
Pemilu berikutnya harus mampu menawarkan alternatif yang bisa menumbuhkan
semangat publik. Layak untuk dipikirkan mekanisme pelibatan dan peran publik mulai dari
sekarang. Gejala apatisme politik publik mesti disembuhkan agar pemerintahan di Indonesia
menjadi lebih bermutu secara kualitatif dan sehat serta layak menyandang gelar good
governance.
Penutup
Kehadiran Good Governance nampaknya masih menjadi euforia di republik ini. Namun,
tidak dapat diragukan bahwa kehadirannya memang telah memberikan babak baru dalam
relasi antara negara dan masyarakat. Hal tersebut didukung pula oleh konsepsi demokrasi
yang mulai menggejala di Indonesia pasca reformasi 98.
Eksistensi
Good Governance
sebagai
suatu
kontemporer memang memberi perubahan cukup signifikan terhadap posisi dan status
pemerintah dalam publik. Semula pemerintah terkonstruk sebagai aktor yang memiliki
wewenang dan kekuasaan tak terbatas di atas rakyat. Dengan adanya Good Governance dan
10 prinsip yang menjadi basisnya, telah menempatkan rakyat pada posisi seharusnya yakni
sebagai aktor yang berperan paling besar dalam suatu negara. Partisipasi, Akuntabilitas, dan
Transparansi menjadi modal utama bagi masyarakat dalam menunjukkan eksistensi dan elan
vital-nya dalam suatu negara. Masyarakat mulai dianggap sebagai entitas yang penting dan
memilki pengaruh lebih besar dibandingkan pemerintah dan aktor lainnya.
Namun, tugas rumah bagi Indonesia, eksistensi masyarakat masih membias dalam
dimensi politik yang hingga saat ini belum terkonstruk secara apik. Partisipasi publik
meskipun sudah mulai meningkat namun belum menunjukkan hakikat madani yang
termanifestasikan dalam aspirasinya. Pemahaman politik dan kekayaan sosial yang belum
merata menjadi benalu tersendiri dalam proses menuju Good Governance di Indonesia
ditambah dengan disparitas ekonomi yang masih tinggi yang memungkinkan masyarakat
secara umum termarginalkan dan kehadirannya hanyalah sebatas suara semu yang perlahan
dibiarkan membisu dibalik dinding-dinding kepentingan para elite-nya.
Daftar Pustaka
a. Buku :
Sedarmayanti.2003. Good Governance (kepemerintahan yang Baik). Bandung: Mandar Maju
Sulistiyani, Ambar Teguh. 2004. Memahami Good Governance Dalam Perspektif
Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Gava Media.
http://id.wikipedia.org/wiki/prinsip_good_governance.
Arsip Seminar Membangun Good Governance: Tugas Kita Bersama Prof. Dr Sofian
Effendi (Rektor Universitas Gadjah Mada), 2005.