Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
Pneumothoraks adalah kondisi rongga pleura terisi udara.1 Adanya udara pada
rongga potensial di antara pleura viseral dan pleura parietal menyebabkan paru-paru
terdesak sesuai dengan jumlah udara yang masuk ke dalam rongga pleura tersebut,
semakin banyak udara yang masuk kedalam rongga pleura akan menyebabkan paruparu menjadi kolaps karena terdesak akibat udara yang masuk meningkat tekanan pada
intrapleura. Secara otomatis terjadi juga gangguan pada proses perfusi oksigen ke
jaringan atau organ, akibat darah yang menuju ke dalam paru yang kolaps tidak
mengalami proses ventilasi, sehingga proses oksigenasi tidak terjadi.2
Penyebab pneumothoraks di negara barat paling banyak adalah PPOK 69%,
tumor 18%, sarkoidosis 5%, tuberkulosis 2%, infeksi paru lain 3% serta sisanya adalah
penyakit lain. Namun di negara Asia dan negara berkembang tuberkulosis menempati
peringkat pertama sebagai penyebab pneumothoraks. Pada sebuah penelitian didapatkan
urutan penyebab dari 35 kasus pneumothoraks spontan sekunder adalah tuberkulosis 18
kasus (46,15%), keganasan 13 kasus (33,33%), pneumonia 3 kasus (7,69%) dan PPOK
1 kasus (2,56%).2
Insidensi pneumothoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak
diketahui, pria lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 5:1. Seaton dkk,
melaporkan bahwa pasien tuberkulosis aktif mengalami komplikasi pneumothoraks
sekitar 1,4% dan jika terdapat kavitas paru komplikasi pneumothoraks meningkat lebih
dari 90%. Dari hasil penelitian Melton et al selama 25 tahun di Minnesota, AS, dari 141
pasien pneumothoraks spontan tersebut, 77 pasien pneumothoraks spontan primer (PSP)
dan 64 pasien pneumothoraks spontan sekunder (PSS). Pada pasien-pasien
pneumothoraks didapatkan angka insidensi sebagai berikut PSP terjadi 7,4/8,6/100.000
per tahun untuk pria dan 1,2/100.000 pertahun untuk wanita., sedangkan insidensi PSS
6,3/100.000 pertahun untuk pria dan 2,0/100.000 per tahun untuk wanita.3
Beberapa

literatur

menyebutkan

klasifikasi

pneumothoraks

berdasarkan

etiologinya menjadi2,4,5:

a. Pneumothoraks spontan primer, penyebabnya belum diketahui secara pasti. Ada


teori yang menyebutkan, disebabkan oleh faktor konginetal, yaitu adanya bula
pada subpleura viseral dan kebiasaan merokok.
b. Pneumothoraks spontan sekunder merupakan suatu pneumothoraks yang
penyebabnya sangat berhubungan dengan penyakit paru-paru, seperti infeksi
tuberkulosis, PPOK dan keadaan immunocompromise karena infeksi virus HIV.
c. Pneumothoraks trauma adalah pneumothoraks yang disebabkan oleh trauma
yang secara langsung mengenai dinding dada, bisa disebabkan oleh benda tajam
maupun benda tumpul.
d. Pada pneumothoraks iatrogenik, penyebab tindakan invasif yang paling sering
adalah pemasangan thransthoracic needle biopsy dan kanalisasi sentral.
Berdasarkan mekanismenya, pneumothoraks dapat dibagi menjadi5,6:
a. Open pneumothoraks : adanya penetrasi langsung dari benda tajam pada dinding
dada penderita yang menimbulkan luka atau defek pada dinding dada, sehingga
udara dapat masuk kedalam rongga pleura.
b. Close pneumothoraks : tidak ada jejas terbuka pada dinding dada. Tekanan di
dalam rongga pleura awalnya mungkin positif namun lambat laun berubah
menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru sekitarnya.
c. Tension pneumothoraks : keadaan ini terjadi akibat kerusakan yang
menyebabkan udara masuk kedalam rongga pleura dan udara tersebut tidak
dapat keluar, keadaan ini disebut dengan fenomena ventil ( one way-valve).
Pneumothoraks dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
dan pemeriksaan penunjang. Sesak napas akan terjadi pada penderita pneumothoraks
akibat udara yang mulai masuk mengisi rongga pleura. Jika terus berlanjut penderita
akan

terlihat

gelisah

akibat

kesulitan

bernapas.

Usaha

dari

tubuh

untuk

mengkompensasi akibat sesak napas yang terjadi adalah bernapas yang cepat (takipneu)
dan denyut nadi yang meningkat (takikardia)6,7.
Pada inspeksi sering didapatkan salah satu sisi dada yang tertinggal akibat
adanya akumulasi udara pada salah satu sisi paru. Pada palpasi didapatkan fremitus
taktil yang melemah diakibatkan getaran tidak dapat dihantarkan akibat terlalu
banyaknya udara pada rongga pleura. Pada saat diperiksa dengan mengetuk dinding
dada akan terdengar suara hipersonor, akibat akumulasi udara pada rongga pleura.
Kolapsnya paru-paru yang terdesak oleh udara yang berada di rongga pleura ini

menyebabkan proses ventilasi dan oksigenasi berkurang atau malah tidak terjadi,
sehingga jika didengarkan dengan stetoskop suara napas tidak terdengar. Penumpukan
udara yang semakin banyak disana menyebabkan terjadinya pendorongan pada
mediastinum dan trakea ke arah kontra lateral dari paru-paru yang kolaps.6,7
Ada tiga fokus utama yang perlu diperhatikan pada pemberian hidup dasar pada
pneumothoraks yaitu distress pernapasan, penurunan cardiac output, dan perdarahan.
Prioritas utama pada penanganan pneumotoraks sebenarnya sangat diperhatikan pada
breathing penderita. Apabila ada penyakit dasar yang melatarbelakangi, maka harus
ditangani juga. Pengunaan pipa torakostomi/ Water Sealed Decompressiom (WSD)
digunakan pada pneumotoraks dengan gejala klinis sulit bernapas yang sangat berat,
nyeri dada, hipoksia dan gagalnya pemasangan jarum aspirasi dekompresi. WSD
dilepaskan bila paru-paru sudah mengembang maksimal dan kebocoran udara sudah
tidak ada6,8.

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 ANAMNESIS
IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. S

Tanggal Lahir/Umur : 07 Oktober 1968/ 42 tahun


Alamat

: Pante Raja, Pidie Jaya

Agama

: Islam

Suku

: Aceh

Pekerjaan

: Swasta (Pedagang)

Nomor CM

: 1015067

Jaminan

: JKRA

BB

: 45 kg

TB

: 160 cm

IMT

: 17,57 kg/m2 (Underweight)

Tanggal Masuk

: 20 Agustus 2014

Tanggal Pemeriksaan : 01 September 2014


Keluhan Utama
Sesak Napas
Keluhan Tambahan
Batuk kering, demam, nyeri dada kanan, penurunan nafsu makan, mual saat
makan, sulit BAB (3 hari sekali).
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUDZA sebelumnya dirujuk dari RS Sigli dengan keluhan
sesak napas sejak 2 bulan yang lalu dan memberat sejak 2 hari sebelum masuk RS.
Sesak dirasakan tidak menentu waktu, lebih berat jika setelah beraktivitas dan
berkurang dengan istirahat. Namun jika tidur berbaring lebih sesak dibandingkan pada
posisi duduk. Pasien juga mengeluhkan adanya batuk kering yang dirasakan sejak 2
bulan yang lalu. Pasien juga pernah batuk berdarah 1x dengan jumlah darah setengah
sendok teh. Batuk lebih sering dirasakan pada pagi dan malam hari. Nyeri dada juga

dirasakan pasien. Nyeri dada lebih berat dirasakan pada dada bagian kanan. Nyeri
dirasakan seperti perih dan tertekan. Pasien juga merasakan penurunan nafsu makan dan
mual saat masuk makanan. Pasien juga mengaku sulit BAB. BAB hanya 3 hari sekali
dan terasa keras. Sebelumnya saat pasien masuk IGD RSUZA dilakukan pemasangan
WSD dan sejak itu, sesak dan batuk sudah jauh berkurang. Sebelumnya pasien
mendapatkan OAT selama 12 hari namun putus obat karena menurut pasien kondisi
pasien semakin lemah semenjak meminum obat OAT.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pada bulan Mei lalu, pasien sudah pernah dirawat selama 11 hari di RS Sigli
dengan diagnosa TB Paru.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit ini. Adik pasien sering
batuk-batuk juga.
Riwayat Pengobatan
Sebelumnya di RS Sigli pasien mendapatkan obat OAT selama 12 hari, namun
pasien merasa semakin lemas semenjak minum obat, lalu putus obat.
Riwayat Kebiasaan Sosial
Di sekeliling pasien tidak ada yang mempunyai penyakit serupa. Tempat tinggal
kurang terjaga kebersihannya. Ventilasi tidak terlalu baik.
2.2 PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan Darah

: 110/70 mmHg

Nadi

: 86 x/menit

Laju Pernapasan

: 32 x/menit

Suhu

: 37,4 C

Berat Badan

: 45 kg

Tinggi Badan

: 160 cm

Kulit
Warna

: sawo matang

Parut/skar

: tidak dijumpai

Sianosis

: tidak dijumpai

Ikterus

: tidak dijumpai

Pucat

: tidak dijumpai

Kepala
Rambut

: hitam, sukar dicabut, distribusi merata

Wajah

: simetris, udema (-), deformitas (-), pucat (-)

Mata

: udem palpebrae (-/-), konjungtiva pucat (-/-),


sklera ikterik (-/-), sekret (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil
bulat isokor 3 mm / 3 mm

Telinga

: serumen(-/-), normotia

Hidung

: sekret(-/-), nafas cuping hidung (-)

Mulut
Bibir

: simetris, bibir lembab (+),sianosis (-)

Lidah

: beslaq (-)

Tonsil

: T1-T1

Faring

: mukosa faring hiperemis (-)

Leher
Inspeksi

: simetris, retraksi (-), kelainan kongenital (-)

Palpasi

: TVJR-2cmH2O, pembesaran KGB (-)

Thorax

Inspeksi

Inspeksi Thorax Anterior


Statis / diam (tidur)
Dinamis (bergerak / duduk)

Pulmo Dextra
Pulmo Sinistra
Bentuk : asimetris
Bentuk : asimetris
Gerakan
dinding
Gerakan
dinding
dada : asimetris
dada : asimetris,
paru kiri tertinggal
Retraksi : +
Retraksi : +
Inspeksi Thorax Posterior Pulmo Dextra
Pulmo Sinistra
Statis / diam (tidur)
Bentuk : asimetris
Bentuk : asimetris
Dinamis (bergerak / duduk)
Gerakan
dinding
Gerakan
dinding
dada : asimetris
dada : asimetris,
paru kiri tertinggal
Retraksi : Retraksi :

Palpasi

Palpasi Thorax Anterior


Lapangan Paru Superior
Lapangan Paru Medial
Lapngan Paru Inferior
Palpasi Thorax Posterior
Lapangan Paru Superior
Lapangan Paru Medial
Lapngan Paru Inferior

Pulmo Dextra
SF normal
SF normal
SF normal
Pulmo Dextra
SF normal
SF normal
SF normal

Pulmo Sinistra
SF menurun
SF menurun
SF menurun
Pulmo Sinistra
SF menurun
SF menurun
SF menurun

Perkusi Thorax Anterior


Lapangan Paru Superior
Lapangan Paru Medial
Lapngan Paru Inferior

Pulmo Dextra
Sonor
Redup
Redup

Pulmo Sinistra
Hipersonor
Hipersonor
Hipersonor

Perkusi Thorax Posterior


Lapangan Paru Superior
Lapangan Paru Medial
Lapngan Paru Inferior

Pulmo Dextra
Sonor
Redup
Redup

Pulmo Sinistra
Hipersonor
Hipersonor
Hipersonor

Perkusi

Auskultasi

Auskultasi Thorax Anterior


Lapangan Paru Superior

Pulmo Dextra
Pulmo Sinistra
Bronkhial
Vesikuler
Rhonki : + (basah
Rhonki : + (basah

10

kasar)
kasar)
Wheezing : Wheezing : Bronkhial
Vesikuler
Rhonki : + (basah
Rhonki : + (basah
kasar)
kasar)
Wheezing : Wheezing : Bronkhial
Vesikuler
Rhonki : + (basah
Rhonki : + (basah
kasar)
kasar)
Wheezing : Wheezing : Pulmo Dextra
Pulmo Sinistra
Bronkhial
Vesikuler
Rhonki : +
Rhonki : +
Wheezing : Wheezing : Bronkhial
Vesikuler
Rhonki : + (basah
Rhonki : + (basah
kasar)
kasar)
Wheezing : Wheezing : Bronkhial
Vesikuler
Rhonki : + (basah
Rhonki : + (basah
kasar)
kasar)
Wheezing : Wheezing :

Lapangan Paru Medial

Lapngan Paru Inferior

Auskultasi Thorax Posterior


Lapangan Paru Superior

Lapangan Paru Medial

Lapngan Paru Inferior

Jantung
Inspeksi

: ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: ictus cordis teraba di ICS V linea mid clavicula sinistra, irama


reguler

Perkusi

: batas jantung atas ICS III, jantung kanan linea parasternal


dextra, kiri di linea midklavikula sinistra.

Auskultasi

: Bunyi Jantung I > Bunyi Jantung II, reguler, bising (-)

Abdomen
Inspeksi

: simetris, distensi tidak dijumpai, skar (-)

Palpasi

: nyeri tekan (-), defans muscular tidak dijumpai

Hepar

: tidak ada pembesaran, nyeri tekan (-)

Lien

: tidak ada pembesaran, nyeri tekan (-)

Ginjal

: Ballotement (-/-)

11

Perkusi

: timpani (+)

Auskultasi

: peristaltik 4x/menit, kesan normal

Ekstremitas : pucat (-/-), udem (-/-), sianosis (+)


2.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium Darah Lab RSUDZA serial
Pemeriksaan / Tanggal 22/8
Hb (gr/dL)
12,6
Leu (x103/ mm3)
Ht (%)
Hit. Jenis (%)
Er (x106/ mm3)
Trom (x103/ mm3)
CT/BT (menit)
LED (mm/jam)
Bil Total (mg/dL)
Bil. Dir (mg/dL)
Ur (mg/dL)
Cr (mg/dL)
SGOT (mg/dL)
SGPT (mg/dL)
Albumin (mg/dL)
Globulin (mg/dL)
Asam Urat (mg/dL)
MCV (fl)
MCH (tg)
MCHC (gr/Dl)
Trigliserida (mg/dL)
KGDS (mg/dL)
Na/K/Cl (mEq/L)
Urin

28/8 29/8
9,8

50,6
36
0/0/1/95/2/2
4,6
368
115
2,19
2,11
36
30
3,3
2,7
6,7
79
27
34

19,4
31
2/0/84/7/7
3,7
552

4/9
8,8
16,2
28
4/0/77/10/9
3,4

1,07
0,53
19
11

2. Hasil Foto Thoraks

12

Foto Thoraks AP di RSUD Zainoel Abidin tanggal 25 Agustus 2014


Hasil baca :
Cor : Bentuk dan ukuran normal.
Pulmo : Tampak fibroinfiltrat di paru kanan dan kiri, tampak kavitas multipel di
paru kanan, collaps parsial paru kiri.
Penebalan pleura di hemithoraks kanan.
Tampak area lusen tanpa jaringan paru di hemithoraks kiri.
Tampak sinus kostofrenikus kanan perselubungan.
Terpasang WSD di hemithoraks kiri.
Kesimpulan : TB paru dengan kolaps paru sinistra parsial serta pneumothoraks
sinistra dengan pleural peal di hemithoraks dekstra.

13

2.4 RESUME
Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 2 bulan yang lalu dan memberat sejak
2 hari sebelum masuk RS. Sesak dirasakan tidak menentu waktu, lebih berat jika setelah
beraktivitas dan berkurang dengan istirahat. Namun jika tidur berbaring lebih sesak
dibandingkan pada posisi duduk. Batuk kering (+) sejak 2 bulan yang lalu batuk
berdarah 1x dengan jumlah darah setengah sendok teh. Batuk lebih sering dirasakan
pada pagi dan malam hari. Nyeri dada(+), lebih berat dirasakan pada dada bagian kiri.
Penurunan nafsu makan dan mual(+). Pasien sudah pernah dirawat selama 11 hari di RS
Sigli dengan diagnosa TB Paru dan mendapatkan OAT selama 12 hari namun putus obat
karena menurut pasien kondisi pasien semakin lemah semenjak meminum obat OAT.
Tempat tinggal kurang terjaga kebersihannya. Ventilasi tidak terlalu baik.
Dari hasil pemeriksaan fisik paru, inspeksi saat dinamis paru kiri tampak
tertinggal, ada retraksi otot pernapasan. Palpasi dijumpai adanya penurunan stem
fremitus pada lapangan paru kiri pada pemeriksaan paru anterior dan posterior. Suara
perkusi hipersonor juga didapatkan pada lapangan paru kiri. Dan suara vesikuler
lapangan paru kiri menurun bila dibandingkan dengan suara bronkhial di lapangan paru
kanan. Suara nafas tambahan ronkhi basah kasar ditemukan dilapangan paru kanan dan
kiri. Pemeriksaan fisik jantung, abdomen dan lainnya dalam batas normal. Dari hasil lab
dijumpai peningkatan leukosit dan peningkatan enzim-enzim fungsi hati. Hasil foto
thoraks tanggal 25 Agustus 2014, tampak TB paru dengan kolaps paru sinistra parsial
serta pneumothoraks sinistra dengan pleural peal di hemithoraks dekstra.

2.5 DIAGNOSA KERJA


Pneumothoraks ec TB Paru
2.6 TERAPI
Farmakologis

14

O2 2-4 Liter/menit

Sol RL 0,9% :Aminofluid (2:1) 20 gtt/menit

Drip Ketorolac 3% 2 amp dalam RL 20 gtt/menit

Inj. Ranitidin 1 amp/ 12 jam

Rifampisin 450 mg 1x1

INH 300 mg 1x1

Etambutol 1000 mg 1x1

Pirazinamid 1000 mg 1x1

Sohobion 1x1 tablet

Curcuma 3x1 tablet

Coditam 3x1 tablet

Edukasi
1. Penjelasan mengenai keadaan pasien
2. Penjelasan mengenai OAT yang harus diminum setiap hari tidak boleh putus dan
beberapa efek samping OAT
3. Membatasi aktivitas agar tidak mudah lelah, mengurangi sesak dan mengurangi
nyeri dada.
4. Jika batuk ditutup mulutnya agar tidak menularkan ke orang lain
5. Edukasi mengenai pentingnya asupan makanan yang cukup agar membantu proses
penyembuhan.
2.7 PLANNING
1. Cek Sputum BTA
2. AGDA
2.8 PROGNOSIS
Quo ad vitam

: dubia ad malam

Quo ad functionam

: dubia ad malam

Quo ad sanactionam

: dubia ad malam

15

BAB III
ANALISA KASUS
Penegakan diagnosis pneumothoraks dapat dilakukan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesis didapatkan adanya

16

gejala sesak napas, batuk lebih dari 2 bulan dan sempat batuk berdarah 1x sebanyak
setengah sendok teh, demam naik turun tidak menentu waktu, nyeri dada terutama pada
dada sebelah kanan, penurunan nafsu makan dan mual saat diberikan makanan serta
sulit BAB.9
Hal ini sesuai dengan teori dimana gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi
menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala
sistemik. Gejala respiratori adalah batuk minimal 2 minggu, batuk darah, sesak napas,
dan nyeri dada dan ditambah dengan gejala sistemik berupa demam. Gejala sistemik
lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.9
Pada pemeriksaan fisik, khususnya pemeriksaan fisik paru didapatkan dada
yang asimetris, dada kiri tertinggal, dijumpai retraksi, penurunan stem fremitus pada
dada sebelah kiri bagian anterior maupun posterior dibandingkan dengan dada sebelah
kanan bagian anterior maupun posterior. Pada perkusi didapatkan suara hipersonor pada
dada sebelah kiri bagian anterior dan posterior dan suara redup didapatkan pada dada
sebelah kanan bagian anterior maupun posterior. Pada auskultasi didapatkan suara nafas
atau suara vesikuler yang menurun atau melemah pada dada sebelah kiri bagian anterior
dan posterior, disertai suara napas tambahan ronki basah kasar di seluruh lapangan paru
kiri dan kanan. Suara bronkhial masih terdengar di dada sebelah kanan bagian anterior
dan posterior.
Hal ini hampir sama dengan teori mengenai tuberkulosis yang sudah disertai
dengan komplikasi pneumotoraks, dimana keluhan utama yang diungkapkan penderita
adalah nyeri dada disertai sesak nafas yang timbul secara mendadak dan dapat juga
ditemukan batuk. Rasa nyeri bersifat menusuk di daerah hemithoraks yang terserang
dan bertambah berat pada saat bernafas, batuk dan bergerak. Nyeri dapat menjalar ke
arah bahu, hipokondrium atau tengkuk. Rasa nyeri ini disebabkan oleh perdarahan yang
terjadi akibat robekan pleura viseralis dan darah menimbulkan iritasi pada pleura
viseralis. Sesak nafas makin lama makin hebat akibat pengempisan paru yang terkena
dan gangguan pengembangan paru yang sehat. Penderita dapat mengalami kegagalan
pernafasan akut, terutama bila penyakit yang mendasari timbulnya pneumothoraks
adalah asma atau penyakit paru obstruktif menahun. Batuk pada umumnya tidak
produktif, terutama pada pneumothoraks spontan idiopatik. Keluhan lain yang dapat

17

dijumpai tergantung pada kelainan yang mendasari timbulnya pneumothoraks.Penderita


dapat mengalami kegelisahan, berkeringat dingin, sianosis, dan syok. Dapat ditemukan
hipotensi, nadi lebih dari 140 kali per menit, akral dingin, serta pelebaran pembuluh
darah vena leher dan dada.4
Pada inspeksi tampak hemithoraks yang terkena cembung dengan ruang sela
iga yang melebar dan tertinggal pada pernafasan, iktus kordis bergeser ke sisi yang
sehat dan trakea juga terdorong ke sisi yang sehat. Pada palpasi didapatkan fremitus
suara melemah, iktus kordis dan trakea bergeser ke sisi yang sehat. Perkusi di daerah
paru yang terserang terdengar hipersonor dan diafragma terdorong ke bawah. Batasbatas jantung bergeser ke sisi yang sehat. Suara nafas pada auskultasi melemah sampai
menghilang pada bagian paru yang terkena.10
Mekanisme terjadinya pneumothoraks spontan sekunder adalah akibat
peningkatan tekanan alveolar melebihi tekanan interstisial paru dan menyebabkan udara
dari alveolus berpindah ke rongga interstisial kemudian menuju hilus dan menyebabkan
pneumomediastinum. Kemudian udara akan berpindah melalui pleura parietalis pars
mediastinal ke rongga pleura sehingga menimbulkan pneumothoraks. Peningkatan
tekanan alveolus ini terjadi pada penyakit penyerta pada pneumothoraks spontan
sekunder, antara lain dapat dilihat pada tabel 1. Di Indonesia, TB paru menjadi
penyebab terbanyak.11
Hasil foto thoraks tanggal 25 Agustus 2014 di RSUD Zainoel Abidin
didapatkan fibroinfiltrat di paru kanan dan kiri, tampak kavitas multipel di paru kanan,
kolaps parsial paru kiri, penebalan pleura di hemithoraks kanan, tampak area lusen
tanpa jaringan paru di hemithoraks kiri, sinus kostofrenikus kanan tampak
perselubungan serta tampak terpasang WSD di hemithoraks kiri. Kesimpulan foto
thoraks adalah TB paru dengan kolaps paru sinistra parsial serta pneumothoraks sinistra,
pleural peal di hemithoraks dekstra.
Hal ini sesuai dengan teori yaitu pada pemeriksaan radiologik, terlihat
gambaran yang khas; bagian yang berisi udara akan tampak hiperlusen (lebih gelap)
tanpa corakan jaringan paru. Jaringan paru yang menguncup terlihat di daerah hilus
dengan garis batas yang sangat halus. Selain itu juga terlihat mediastinum beserta isinya

18

terdorong ke sisi yang sehat. Apabila disertai darah atau cairan, maka akan tampak garis
batas mendatar yang merupakan batas antara udara dan cairan.11
Pada hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya peningkatan fungsi hati,
peningkatan SGOT. Hal ini dapat disebabkan karena pasien mendapatkan obat OAT
4FDC yang terdiri dari rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol. Hal ini sesuai
dengan teori bahwa efek samping utama dari pirazinamid ialah hepatitis imbas obat
(penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus) dengan gambaran
peningkatan enzim-enzim hati.9
Pada tatalaksana, pasien mendapatkan OAT obat lepas Rifampisin 1x450 mg/
hari, INH 1x300 mg dan Etambutol 1x1000 mg. Hal ini sesuai dnegan teori bahwa
pengobatan TB lini pertama dapat diberikan

Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu atau


BB > 60 kg : 600 mg
BB 40-60 kg : 450 mg
BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg / kali

INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu, 15 mg/kg BB


2 X semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. lntermiten : 600 mg / kali

Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X semingggu, 50 mg


/kg BB 2 X semingggu atau :
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1 000 mg
BB < 40 kg : 750 mg

Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB, 30mg/kg
BB 3X seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau :
BB >60kg : 1500 mg
BB 40 -60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali

Streptomisin:15mg/kgBB atau

19

BB >60kg : 1000mg
BB 40 - 60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB
Pada pasien juga dilakukan pemasangan selang WSD untuk dekompresi dari
pneumothoraks pada dada sebelah kiri, hal ini sesuai dengan teori a pabila penderita
datang dengan sesak nafas, apalagi kalau sesak nafas makin lama makin bertambah kita
harus segera mengambil tindakan. Tindakan yang lazim dikerjakan ialah pemasangan WSD
(Water Seal Drainage). Apabila penderita sesak sekali sebelum WSD dapat dipasang, kita
harus segera menusukkan jarum ke dalam rongga pleura. Tindakan sederhana ini akan dapat
menolong dan menyelamatkan jiwa penderita. Bila alat-alat WSD tidak ada, dapat kita

gunakan infus set, dimana jarumnya ditusukkan ke dalam rongga pleura ditempat yang
paling sonor waktu diperkusi. Sedangkan ujung selang infus yang lainnya dimasukkan
ke dalam botol yang berisi air. Pneumotoraks tertutup yang tidak terlalu luas (kurang
dari 20% paru yang kolaps) dapat dirawat secara konservatif, tetapi pada umumnya
untuk mempercepat pengembangan paru lebih baik dipasang WSD. Setelah paru
mengembang, yang ditandai terdengarnya kembali suara nafas dan dipastikan dengan
foto toraks, maka selang WSD diklem selama 13 hari. Pengembangan paru secara
sempurna selain dapat dilihat pada foto toraks biasanya dapat diperkirakan jika sudah
tidak terdapat undulasi lagi pada selang WSD. Apabila setelah diklem selama 13 hari
paru tetap mengembang, maka WSD dapat dicabut. Pencabutan selang WSD dilakukan
dalam keadaan ekspirasi maksimal.12

BAB IV
KESIMPULAN

20

Pneumothoraks adalah kondisi rongga pleura terisi udara. Adanya udara pada
rongga potensial di antara pleura viseral dan pleura parietal menyebabkan paru-paru
terdesak sesuai dengan jumlah udara yang masuk ke dalam rongga pleura tersebut,
semakin banyak udara yang masuk ke dalam rongga pleura akan menyebabkan paruparu menjadi kolaps. Penegakan diagnosis pneumothoraks dapat dilakukan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis biasa
dijumpai adanya batuk, sesak nafas dan nyeri dada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
adanya bagian dada yang tertinggal, penurunan fremitus taktil, suara ketukan hipersonor
pada daerah yang diduda pneumothoraks dan adanya suara nafas yang melemah.
Pneumothoraks spontan sekunder paling banyak di Indonesia penyebabnya adalah
infeksi tuberkulosis. Mekanisme terjadinya pneumothoraks spontan sekunder adalah
akibat peningkatan tekanan alveolar melebihi tekanan interstisial paru dan
menyebabkan udara dari alveolus berpindah ke rongga interstisial kemudian menuju
hilus dan menyebabkan pneumomediastinum. OAT harus diberikan sesuai dengan
kategori masing-masing pasien, untuk pneumothoraksnya sendiri, penanganan yang
lazim dikerjakan ialah pemasangan WSD (Water Seal Drainage). Bila alat-alat WSD tidak

ada, dapat kita gunakan infus set, dimana jarumnya ditusukkan ke dalam rongga pleura
ditempat yang paling sonor waktu diperkusi.

21

Anda mungkin juga menyukai