Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Oleh karena itu, menurut al-Kindi, diperlukan adanya Nabi yang mengajarkan hal-hal di luar jangkauan akal
manusia yang diperoleh dari wahyu Tuhan.Dengan demikian, al-Kindi tidak sependapat dengan para AlKindi adalah filosof Islam pertama yang berupaya mempertemukan ajaran Islam dengan filsafat
Yunani.Sebagai seorang filosof, al-Kindi lebih mengandalkan kemampuan akal untuk memperoleh
pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang sama, diakui keterbatasan akal untuk
mencapai pengetahuan filosof Yunani dalam hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama
Islam.Misalnya, tentang kejadian alam berasal dari ciptaan Tuhan yang semula tidak ada.Al-kindipun
berbeda dengan pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa alam tidak diciptakan dan bersifat abadi.
Oleh karena itu, al-Kindi bukan termasuk filosof yang dikritik al-Ghazali dalam kitabnya: Tahafut alFalasifah (Serangan terhadap para filosof ALKINDI.
Menurut Al-Kindi, kita tidak boleh malu untuk mengakui kebenaran dan mengambilnya, dari
manapun datangnya, meskipun dari bangsa-bangsa lain yang jauh letaknya dari kita. Tidak ada yang lebih
utama bagi orang yang mencari kebenaran dari pada kebenaran itu sendiri. Orang yang mengingkari
filsafat berarti mengingkari kebenaran, dan karenanya maka ia menjadi kafir. Bahkan lawan-lawan filsafat
sangat memerlukan filsafat untuk memperkuat alas an-alasannya.
Terkadang terdapat perlawanan dalam lahiriyah antara hasil pemikiran filsafat dengan ayat-ayat AlQuran.Pemecahan Al-kindi terhadap masalah ini adalah bahwa kata-kata dalam bahasa Arab bisa
mempunyai arti sebenarnya (hakiki) dan arti majazi (kiasan, bukan arti sebenarnya). Arti majazi ini hanya
dinyatakan dengan jalan takwil ( penafsiran), dengan syarat harus dilakukan oleh orang-orang ahli agama
dan ahli pikir.

DAFTAR ISI.....................................................................................
A. Biografi al-Kindi...................................................................................
B. Teori Pengetahuan dan Pemikirannya..................................................
1

BAB II
PEMBAHASAN

BIOGRAFI AL-KINDI
Nama aslinya adalah Abu Yusuf Bin Ishak dan terkenal dengan sebutan
filosof Arab, keturunan Arab asli dan silsilahnya sampai kepada Yaqub bin
Qahthan, yaitu nenek pertama suku Arabia selatan. Ayahnya, Al-Kindi,
pernah menjadi gubernur Kufah pada pemerintahan Al-Mahdi dan Harun ArRasyid, dan nenek-neneknya adalah raja di daerah kindah dan sekitarnya
(Arabia selatan).1
Al-Kindi mendapat kedudukan yang tinggi dari Al-Mamun Al-Mutasim dan
anaknya, yaitu Ahmad, ahkan menjadi gurunya. Karena berkecimpung dalam
lapangan filsafat, ia mendapat tantangan yang sengit dari seorang ahli
hadist, yaitu Abu Jafar bin Muhammad Al-Balakhy. Al-kindi mengalami
kemajuan pikiran islam dan menerjemahkan buku-buku asing kedalam
bahasa Arab, bahkan ia termasuk pelopornya. Bermacam-macam ilmu telah
dikajinya, terutama filsafat, dalam suasana yang penuh pertentangan agama
dan majhab, dan di banjiri oleh golongan mutazilah serta ajaran-ajaran
Syiah.2
Jumlah karangannya sebenarnya sukr ditentukan, karena dua sebab.
Pertama, penulis-penulis biografi tidak sepakat penuturannya tentang jumlah
karangan tersebut. Ibn An-Nadim dan Al-Qafghi menyebut 238 risalah
(karangan

pendek),

dan

Shaid

Al-Andalusi

menyebutkan

50

buah,

sedangkan sebagian dari karangan-karangan tersebut telah hilang. Kedua,


1 Hakim, Atang Abdul, Filsafat Umum, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), hlm.
440.
2 Ibid: hlm. 442.
2

karangan-karangannya

yang

sampai

kepada

kita

ada

yang

memuat

karangan-karangannya yang lain.3


Isi karangan tersebut bermacam-macam, antara lain filsafat, logika, music,
aritmatika, dan lain-lain. Pada umumnya karangan-karangan Al-Kndi ringkas
dan tidak mendalam. Karena sebagian besar karangannya telah hilang, sukar
sekali untuk memberikan penilaian yang tepat terhadap buah pikirannya,
meskipun ini tidak mengurangi penghargaan terhadapnya sebagai seorang
filsof yang pertama-tama memberikan ulasan dan kritik terhadap dari bukubuku filsafat dari masa-masa sebelumnya.
Karangan-karangannya yang terkenal ditemukakan oleh seorang ahli
ketimuran Jerman, yaitu Hilmuth Ritter, di perpustakaan Aya Sofia, Istambul,
dan terdiri dari 29 risalah. Risalah-risalah ini membicarakan soal alam dan
filsafat, antara lain keesaan Tuhan, akal, jiwa, filsafat pertama. Risalahrisalah tersebut telah diterbitkan di Mesir oleh M. Abdul Hadi Aburaidah.

Pemikiran Al-Kindi
Menurut sejarah dibeberapa buku, seperti; Al-Tarikh Al-Islami, Tarikh
Falasifah Al-Islam, Tarikh Al-Fikr Al-Arabi, dan Lainnya menyatakan bahwa alKindi adalah seorang filosof Islam yang pertama dari bangsa Arab yang
berusaha memadukan antara ajaran filsafat Yunani dengan ajaran Islam.
Atas perpaduan antara ajaran filsafat yunani dengan Ajaran Islam, maka ini
terbukti bahwa mempelajari filsafat tidaklah memusnahkan keyakinan
agama yang dimiliki umat Islam selama umat Islam tersebut sudah kokoh
berpegang pada dasar-dasar Islam. Selama eksisnya dalam mempelajari
filsafat, al-Kindi memberikan definisi-definisi singkat dari filsafat itu sendiri. 4
Menurutnya filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan-perbuatan
3 Ibid:hlm. 443.
4
3

Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia, pengetahuan


dari segala pengetahuan dan kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan,
hingga kesemuaanya dititik beratkan pada nilai tingkah laku manusia.
Menurutnya

lagi

filosof

adalah

orang

yang

berupaya

memperoleh

kebenaran dan hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil. Filosof
yang sejati adalah filosof yang mampu memperoleh kebijaksanaan dan
mengamalkan kebijaksanaan itu.

Sebagai seorang muslim, Al-Kindi berusaha menggegas agar filsafat


bisa dipelajari dan berpadu dalam Islam, namun arah tujuan dari semua itu
tidak untuk kebenaran yang hakiki. Untuk itu Al-Kindi yang terkenal sebagi
Filosof Islam pertama kali di dunia membuat suatu usaha demi sebuah
pencerahan. Salah satu usahanya adalah al-Kindi memperkenalkan filsafat ke
dalam dunia Islam dengan cara mengetok hati umat supaya menerima
kebenaran walaupun dari mana sumbernya. Menurutnya kita tidak pada
tempatnya malu mengakui kebenaran dari mana saja sumbernya. Bagi
mereka yang mengakui kebenaran tidak ada sesuatu yang lebih tinggi
nilainya selain kebenaran itu sendiri dan tidak pernah meremehkan dan
merendahkan martabat orang yang menerimanya.
Kemudian ia Mengarahkan filsafat muslim ke arah kesesuaian antara
filsafat dan agama melalui perpaduan antara akal dan agama. Kalau di
gariskan maka, filsafat berlandaskan akal sedangkan agama berdasarkan
wahyu. Logika (mantiq) merupakan metode filsafat sedang iman merupakan
kepercayaan kepada hakikat yang disebutkan dalam Al-Quran sebagaimana
diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya. Apa yang telah dinyatakan dalam alQuran merupakan satu ilmu yang mesti dipelajari melalui akal dan
keimanan, sebagai contoh firman Allah Swt Q.S. Al-Baqarah ayat 164 :

5 Atang Abdul, Filsafat umum, hlm. 445


4


164. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan
siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang
Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati
(kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan
yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan
kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Dalil kedua yang dimunculkannya adalah Q.S Al-Hasyr ayat dua




2. Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari
kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama kamu tidak
menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa
benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah;
Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak
mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati
5

mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan


mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian
itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
Ia juga menselaraskan antara filsafat dan agama yang didasarkan
pada tiga alasan: pertama, ilmu agama merupakan bagian dari filsafat.
Kedua, wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling
bersesuaian. Ketiga, menuntut ilmu, secara logika diperintahkan dalam
agama.
Filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikat segala suatu, dan ini
mengandung teologi (al-rububiyah), ilmu tauhid, etika dan seluruh ilmu
pengetahuan

yang

dikumpulkan

dari

bermanfaat.
karya-karya

Kebanyakan
Aristoteles

definisi

dan

filsafat

al-Kindi

kesukaannya

kepada

Aristoteles tidak bisa di abaikan. Bahkan, ketika ia meringkas dari sumbersumber lain yang secara keliru, ia menisbahkan pula kepada Aristoteles.
Subjek dan susunanya sesuai benar dengan sumber Neopolitik. Pada definisi
pertama, Tuhan disebut Sebab pertama mirip dengan Agen Pertamanya
Plotinus, suatu ungkapan yang juga digunakan al-Kindi atau dengan
istilahnya Yang Esa adalah sebab dari segala sebab. Definisi-definisi
berikutnya

dalam

Risalah

al-Kindi

dikemukakan

susunanya

yang

membedakan antara alam atas dan alam bawah. Yang pertama ditandai
dengan definisi-definisi akal, alam, dan jiwa, diikuti dengan definisi-definisi
yang

menandai

alam

bawah,

dimulai

dengan

definisi

badan

(jism),

penciptaan (ibda), materi (hayula), bentuk (shurah). Dari dasar pemikiran alkindi akhirnya timbullah pemikiran Filsafatnya antara lain:
a.

Filsafat Ketuhanan
Filsafat Ketuhanan al-Kindi merupakan awal lahirnya perbincangan

Ketuhanan, namun penafsiran al-Kindi mengenai Tuhan sangat berbeda


dengan pendapat Aristoteles, Plato dan Plotinius. Mengenai hakikat keTuhanan ia mengatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang Esa, tidak ada
sesuatu benda apapun yang menyerupai akan Tuhan, dan Tuhan tidaklah
melahirkan ataupun dilahirkan, akan tetapi Tuhan akan selalu hidup dan
6

tidak akan pernah mati. Dalam al-Quran Surat al-Ikhlas ayat 1 s/d 4 sebagai
bukti keberadaan Tuhan.
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia".
Dalam Islam Sang Khalik atau pencipta dan penguasa segalanya di
buat sebuah penamaan yakni Allah Swt sebagaimana disebutkan dalam
ayat di atas maka, itulah bukti yang paling kongkrit bahwa Allah swt itu ada
dan hidup kekal selamanya, sedangkan manusia adalah Hamba Allah yang
diberikan kehidupan hingga akhirnya mati. Bagaimana kita bisa percaya
akan adanya Allah Swt, maka dari itu sebagai manusia biasa diberikan akal,
hati dan nurani untuk dapat menyakini adanya Allah swt melalui bukti-bukti
kekuasaan Allah Swt.
Agar manusia khususnya umat Islam tidak berselisih paham akan
keberadaan Allah Swt, tentang keberadaan alam, ataupun keberadaan
manusia itu sendiri, maka sebagai seorang filosof, al-Kindi membagi
pengetahuan menjadi dua bahagian, yakni: pertama, pengetahuan Ilahi
( divine science). Pengetahun ini diambil langsung dari yang tercantum
dalam al-Qur-an yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh Nabi dari
Tuhan. Sedangkan dasar dari pengetahuan ini adalah keyakinan. Kedua,
pengetahuan manusiawi ( human science) atau falsafat. Dasarnya
ialah pemikiran (ratio-reason).
Argumen-argumen yang dibawa Quran lebih meyakinkan daripada
argumen-argumen yang ditimbulkan falsafat. Tetapi falsafat dan Quran tidak
bertentangan dengan kebenaran yang di bawa falsafat. Mempelajari filsafat
dan berfalsafat tidak dilarang, karena teologi adalah bahagian dari filsafat,
dan umat Islam diwajibkan belajar teologi.
Kebenaran yang sesungguhnya hanya pada Allah Swt. Apa yang
terlintas di akal hingga terjadi dengan sendirinya di luar akal merupakan
sebuah hikmah dalam kehidupan yang mesti kita sadari bahwa terkadang
7

suatu

pelajaran

sudah

kita

anggap

benar

namun

akhirnya

menjadi

sebaliknya. Akhirnya semua akan kembali kepada al-Quran sebagai


pedoman dan petunjuk bagi kehidupan manusia. Apa yang dinyatakan dalam
al-Quran semuanya mengandung hikmah dan pelajaran bagi seorang insan
yang mau berpikir.
Tuhan dalam falsafat al-Kindi tidak mempunyai hakekat dalam arti
aniah atau mahiah. Tidak aniah karena Tuhan tidak termasuk dalam bendabenda yang ada dalam alam, bahkan Ia adalah pencipta alam. Ia tidak
tersusun dari materi dan bentuk, kemudian tuhan tidak mempunyai hakekat
dalam bentuk mahiah, karena Tuhan tidak merupakan genus atau species.
Tuhan hanya satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah
tunggal, selain dari Tuhan semuanya mempunyai arti banyak.
Agar dapat memahami penafsiran al-Kindi tentang Tuhan, kita mesti
merujuk pada kaum Tradisionalis dan Mutazilah. Kaum tradisionalis (Ibn
Hanbal adalah salah seorang tokohnya) menafsirkan sifat-sifat Allah dengan
nama-nama Allah, mereka menerima makna harfiyah al-Quran tanpa
memberikan penafsiran lebih jauh. Kaum Mutazilah yang semasa dengan alKindi, secara akal menafsirkan sifat-sifat Allah demi memantapkan sifat
Maha

Esa-Nya. Walaupun al-Kindi sepaham dengan Muktazilah dalam

menafikan sifat dari Zat Allah. Akan tetapi, ketika Muktazilah menyatakan
bahwa Tuhan itu mengetahui dengan Ilmu-Nya dan Ilmu-Nya adalah Zat-Nya
(Alim biilm wa ilmuh zatuh) berkuasa dengan kekuasaan-Nya dan
kekuasaa-Nya adalah Zat-Nya (qadir bi qudratih wa qudratuh zaituh) al-Kindi
tidak sepaham dengan pandangan ini.

Sesuai dengan paham yang ada

dalam Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah Pencipta dan bukan penggerak
Pertama sebagai pendapat Aristoteles.
b. Filsafat Alam
Mengenai alam, al-Kindi berbeda pendapat juga dengan para filosof seperti
Aristoteles Plato, dan lainnya yang sebelum dia dengan mengatakan alam
ini kekal, sedangkan al-Kindi mengatakan alam ini tak kekal. Dalam hal ini
ia memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan
8

tentang ketakterhinggaan secara matematik. Dengan ketentuan ini, setiap


benda yang terdiri atas materi dan bentuk yang tak terbatas ruang dan
bergerak di dalam waktu, adalah terbatas, meskipun benda tersebut adalah
wujud dunia. Karena terbatas, ia tak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal.
Al-Kindi juga mengatakan alam bukan kekal di zaman lampau (qadim)
tetapi mempunyai permulaan. Karena itu ia lebih dekat dalam hal ini pada
falsafat Plotinus yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah sumber
dari alam ini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini adalah emanasi dari
Yang Maha Satu. Tetapi paham emanasi ini kelihatannya tidak jelas dalam
falsafat al-Kindi. Al-Farabiyah yang dengan jelas menulis tentang hal itu.
Menurut al-kindi alam ini termasuk makhluk yang sifatnya baharu,
sebagai bukti dari baharunya alam ia mengemukakan beberapa argumen,
antara lain: pertama, semua benda yang homogen, yang tiada padanya lebih
besar ketimbang yang lain, adalah sama besar. Kedua, jarak antara ujungujung dari benda-benda yang sama besar, juga sama besarnya dalam
aktualitas dan potensialitas. Ketiga, benda-benda yang mempunyai batas
tidak bisa tidak mempunyai batas. Keempat, jika salah satu dari dua benda
yang sama besarnya dan homogen ditambah dengan homogen lainnya,
maka keduanya menjadi tidak sama besar. Kelima, jika sebuah benda
dikurangi, maka besar sisanya lebih kecil daripada benda semula. Keenam,
jika satu bagian diambil dari sebuah benda, lalu dipulihkan kembali
kepadanya, maka hasilnya adalah benda yang sama seperti semula. Ketujuh,
tiada dari dua benda homogen yang besarnya tidak mempunyai batas.
Kedelapan, jika benda-benda yang homogen yang semuanya mempunyai
batas ditambahkan ber sama, maka jumlahnya juga akan terbatas.
Kesimpulan dari ungkapan al-Kindi atas ungkapannya di atas adalah alam
semesta ini pastilah terbatas, oleh sebab itu ia menolak pandangan
Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta tidak terbatas atau
qadim. Mengenai keteraturan alam dan perdaran alam ini sebagai bukti
adanya Tuhan, sedangkan alam adalah buatan Tuhan.

c.

Filsafat Jiwa dan Akal

Mengenai jiwa dan akal, al-Kindi juga membantah pendapat Aristoteles. Para
filosof muslim menamakan jiwa (al-nafs) seperti yang diistilahkan dalam alQuran yaitu, al-ruh. Kemudian kata ruh ini di indonesiakan menjadi tiga
bentuk, pertama nafsu yaitu dorongan untuk melakukan perbuatan yang
diingini, jika keinginan ini berbentuk negatif maka nafsu ini mendekati
dengan hawa, jadi kalau digabungkan menjadi hawa nafsu (keinginan yang
jelek). Kedua nafas yaitu suatu alat pencernaan udara sebagai tanda
kehidupan seseorang. Ketiga roh atau jiwa yaitu suatu zat yang tidak bisa
dirangkaikan bentuknya. Karena al-Quran telah menginformasikan bahwa
manusia tidak akan mengetahui akan hakikat roh, roh adalah urusan Allah
bukan urusan manusia. Allah menyatakan akan hakikat roh dalam Q.S. AlIsra 17 : 85.












Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit".
Sedangkan akal merupakan sebuah potensi berupa alat untuk berpikir yang
hanya dimiliki oleh manusia. Setiap manusia yang terlahir ia akan membawa
potensi masing-masing dari akal yang dimilikinya, semakin banyak ia
berpikir semakin banyak pula ia akan mendapatkan pengetahuan, maka
akan nampak sebuah perbedaan seorang yang banyak berpikir dengan
akalnya untu menemukan sebuah ide-ide baru dari pada seorang yang
hanya menerima hasil dari ide orang lain. Muncullah sebuah perbedaan
antara seorang yang berpengetahuan dengan yang tidak berpengetahuan
seperti dikatakan al-Quran pada Surat az-Zumar ayat 9:

10

(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang
beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut
kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah:
"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran.
Selanjutnya, Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan
bahwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi
dan bentuk. Materi adalah badan dan bentuk adalah jiwa manusia.
Hubungan dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan materi.
Bentuk atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan dan
begitu pula sebaliknya materi atau badan tidak pula bisa berwujud tanpa
bentuk atau jiwa. Pendapat ini mengandung arti bahwa jiwa adalah baharu
karena jiwa adalah form bagi badan. Form tidak bisa terwujud tanpa materi,
keduanya

membentuk

satu

kesatuan

yang

bersifat

esensial,

dan

kemusnahan badan membawa kemusnahan jiwa. Dalam hal ini al-Kindi


sependapat dengan Plato yang mengatakan bahwa kesatuan jiwa dan badan
adalah kesatuan Acciden, binasanya badan tidak membawa binasa pada
jiwa. Namun, ia tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan bahwa
jiwa berasal dari alam ide.

11

Menurut al-Kindi roh tidak tersusun (basiithah, simple, sederhana)


tetapi

mempunyai

arti

penting,

sempurna

dan

mulia.

Substansinya

(jawahara) berasal dari substansi Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama


dengan hubungan cahaya dengan matahari. Hanya roh yang sudah suci di
dunia ini yang dapat pergi ke alam kebenaran itu. Roh yang masih kotor dan
beluim bersih, pergi dahulu ke bulan. Setelah berhasil membersihkan diri di
sana, baru pindah ke Merkuri, dan demikianlah naik setingkat demi setingkat
hingga akhirnya, setelah benar-benar bersih, sampai ke alam akal, dalam
lingkungan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan.
Mengenai akal, al-Kindi juga berbeda pendapat dengan Aristoteles.
Aristoteles membedakan akal menjadi dua macam, yaitu akal mungkin dan
akal

agen.

Akal

mungkin

menerima

pikiran,

sedangkan

akal

agen

menghasilkan objek-objek pemikiran. Akal agen ini dilukiskan oleh Aristoteles


sebagai tersendiri, tak bercampur, selalu aktual, kekal, dan takkan rusak.
Berbeda halnya dengan al-Kindi yang membagi akal dalam empat macam;
pertama: akal yang selalu bertindak, kedua: akal yang secara potensial
berada di dalam roh, ketiga: akal yang telah berubah, di dalam roh, dari daya
menjadi

aktual,

keempat;

akal

yang

kita

sebut

akal

kedua.

Yang

dimaksudkan dengan akal kedua yaitu tingkat kedua aktualitas; antara


yang hanya memiliki pengetahuan dan yang mempraktekkannya.
Dinyatakan lagi oleh al-Kindi bahwa; akal yang bersifat potensial tak
bisa

mempunyai

sifat

aktuil

jika

tidak

ada

kekurangan

yasng

menggerakkannya dari luar. Dan oleh karena itu bagi al-Kindi ada lagi satu
macam akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia, dan bermakna:
akal yang selamanya dalam aktualitas (alaqlu ladzi bil fail abadan). Akal ini,
karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal yang bersifat
potensial dalam roh manusia menjadi aktuil. Bagi al-Kindi manusia disebut
menjadi akil (akal) jika ia telah mengetahui universal, yaitu jika ia telah
memperoleh akal yang di luar itu (idza uktisab hadzal aklul kharaji). Akal
yang selalu bertindak (akal pertama) bagi al-Kindi, mengandung arti banyak,
12

karena dia adalah universals (al-kuliyat mutakatsarah). Dalam limpahan dari


Yang Maha Satu, akal inilah yang pertama-tama merupakan yang banyak
(awwalu muktatsar).

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Al-Kindi merupakan pionir dalam melakukan pemaduan antara filsafat dan agama atau antara akal dan
wahyu.Sebagai seorang filosof, al-Kindi amat percaya kepada kemampuan akal untuk memperoleh
pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang sama, diakui keterbatasan akal untuk
mencapai pengetahuan metefisis. Oleh karena itu, menurut al-Kindi, diperlukan adanya Nabi yang
mengajarkan hal-hal di luar jangkauan akal manusia yang diperoleh dari wahyu Tuhan.Pemikiran filsafat alKindi merupakan pemikiran awal dan sebagai pembuka jalan bagi para filosof sesudahnya.

13

Anda mungkin juga menyukai