Anda di halaman 1dari 32

BAB I

STATUS PASIEN NEUROLOGI

A. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien
: Tn. R
Umur
: 60 Tahun
Status
: Menikah
Jenis Kelamin
: Laki - Laki
Agama
: Islam
Tanggal Masuk
: 05 Desember 2013
Tanggal Pemeriksaan
: 06 Desember 2013
Tempat Pemeriksaan
: Ruang Melati Atas Kamar I
B. ANAMNESIS
Berdasarkan anamnesa (alloanamnesa) kepada anak pasien.
Keluhan Utama
:
Pasien mengalami kelemahan pada tangan dan kaki kanan.
Riwayat Penyakit Sekarang
:
Pada tanggal 05 Desember 2013 ketika pasien berada di kamar mandi, tiba-tiba
pasien terjatuh dan didapatkan pasien sudah tidak dapat menggerakan tangan kanan dan
kaki kanan, kemudian pasien dibawa ke IGD RSUP Persahabatan untuk mendapatkan
pertolongan. Selain mengalami kesulitan dalam menggerakan tangan dan kaki kanannya,
pasien juga mengalami kesulitan dalam berbicara, dikatakan bahwa pasien tidak dapat
merespon apa yang dikatakan orang lain ketika berbicara kepada pasien. Riwayat
penyakit pernapasan/pencernaan sebelumnya disangkal. Riwayat trauma disangkal. Pasien
tidak memiliki kebiasaan merokok, ataupun minum minuman beralkohol.
Riwayat Penyakit Dahulu
:
Riwayat Hipertensi ( + )
Riwayat Stroke ( - )
Riwayat Penyakit Jantung ( + ) Pasien mengaku melakukan pengobatan di RS Harapan
Kita
Riwayat Diabetes Melitus ( - )
Riwayat Trauma ( - )
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum
: Tampak Sakit Sedang; Gelisah
Kesadaran
: GCS : E4M6VAfasia, Compos Mentis
Tekanan Darah

: 160 / 100 mmHg

Nadi

: 96 x / m

Pernapasan

: 32 x / m

Suhu

: 368OC

Kepala
Mata
Leher
Thorax

: Normocephal; Deformitas (-)


: Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik
: Pembesaran KGB ( - )
: Dada simetris statis-dinamis
Cor
: BJ I,II regular, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo
: Vesikuler +/+, Ronki -/-, Wheezing -/Abdomen
: Supel, datar, Bising usus (+) normal
Ekstremitas
: Akral hangat, oedem (-), sianosis (-), CRT < 2 detik
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
NERVUS CRANIALIS
N.I
: Sulit Dinilai
N.II
: Sulit Dinilai
N. III,IV,VI
: Ptosis ( - )
Strabismus ( - )
Nistagmus ( - )
Gerakan bola mata ke segala arah normal
Pupil : Bulat, isokor 3 mm / 3 mm
Refleks cahaya langsung
:+/+
Refleks cahaya tidak langsung
:+/+
N. V
: Sensibilitas : V.1; V.2; V.3: Sulit Dinilai
Membuka dan menutup mulut normal
Kemampuan menggigit sulit dinilai
N. VII
: Kerutan dahi simetris
Menutup mata baik
Lipatan nasolabial deviasi kea rah kiri
N.VIII

: Kemampuan mendengar sulit dinilai.


Keseimbangan tidak dilakukan

N. IX, X

: Disfagia ( - )
Disfonia ( - )
Arcus faring : simetris
Uvula

N. XI

: di tengah

: Menolehkan kepala baik


Mengangkat bahu baik
Spasme otot ( - )

N. XII

: Deviasi Lidah ( + ) keadaan statis, lidah mengalami deviasi ke kiri

TANDA RANGSANG MENINGEAL


Kaku kuduk

:(-)

Laseque

: > 70/>70

Kerniq

: > 135/ >135

Brudzinky I,II,III

: -/-

MOTORIK
Tonus

Trophy

: Normotonus

Normotonus

Normotonus

Normotonus

Parese

Eutrophy

Eutrophy

Eutrophy

Eutrophy

2222

5555

2222

5555

REFLEKS FISIOLOGIS
Biceps

:+/+

KPR

:+/+

Triceps

:+/+

APR

:+/+

REFLEKS PATOLOGIS
Babinski

:-/-

Chaddock

:-/-

Schaefer

Oppenheim

:-/-

Gordon

:-/-

Hoffman Trommer

SENSORIK
Eksteroseptif

Proprioseptif

Nyeri : normal
Suhu : tidak dilakukan
Taktil : normal

Vibrasi
Posisi
Rasa dalam

: tidak dilakukan
: normal
: tidak dilakukan

:-/:-/-

FUNGSI OTONOM
Miksi
: Inkontinensia ( - )
Retensi ( - )
Anuria ( - )

Defekasi

: Inkontinensia ( - )
Retensi ( - )

KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN


Tes Romberg

: tidak dilakukan

Tes Telunjuk hidung

: tidak dilakukan

Disdiadokokinesis

: tidak dilakukan

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 05 Desember 2013
Nilai normal
Hematologi :
Leukosit

: 6.32 ribu/mm3

5-10 ribu/mm3

Hitung jenis :
Neutrofil

: 67.7%

50-70%

Limfosit

: 25.1%

25-40%

Monosit

: 5.4%

2-8%

Eosinofil

: 0.6%

2-4%

Basofil

: 1.2%

0-1%

Eritrosit

: 3.96 juta/ul

3,6-5,8 juta/ul

Hemoglobin

: 11.5 g/dL

12,0-16,0g/dl

Hematokrit

: 37%

MCV

: 94.2fL

80-100fL

MCH

: 28.9pg

26-34pg

MCHC

: 30.7%

32-36%

RDW-CV

: 13.36%

11,5-14,5%

35-47%

Trombosit

: 315 ribu/mm3

150-440%

Kimia Klinik
GDS

: 119 mg/dL

<180

Elektrolit
Natrium (Na)

: 145.0 mmol/L

135 145

Kalium ( K )

: 6.0 mmol/L

3.5 5.5

Klorida (Cl)

: 106.0 mmol/L

98 109

Ureum

: 43 mg/dL

20 40

Kreatinin

: 1.6 mg/dL

0.8 1.5

CT SCAN 05 Desember 2013


Kesan : Infark di Basal ganglia kanan dan paraventrikel lateralis kanan.
D. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis
Diagnosis Anatomis
Diagnosis Etiologis
Diagnosis PA

: Hemiparese Dextra ec. CVD Iskemik; Afasia Sensorik;


Parese N VII et XII
: Hemisfer Sinistra; Wernickes Area; N.VII Sentral; N.XII
: Thromboemboli
: Infark

E. TERAPI
Medikamentosa
:
IVFD
Injeksi Piracetam 1 x 1200 mg IV
Injeksi CPG 1 x 75 mg IV
Injeksi Mecobalamin 2 x 500 mg IV
Injeksi Citicholin 2 x 500 mg IV
F. PROGNOSIS
Ad Vitam
: dubia ad bonam
Ad Fungsionam
: dubia ad bonam
Ad Sanationam
: dubia ad bonam
Follow Up
06 Desember 2013, 06.30 WIB

Keadaan Umum

: tampak sakit sedang ; Kesadaran : GCS E 4M6Vafasia, Compos

Mentis; Tekanan darah: 150/90 mmHg; Nadi : 96x /menit; pernapasan : 18 x/menit
Status neurologis yang ditemukan : afasia sensorik, terdapat kelemahan motoric
extremitas kanan, reflex fisiologis + dan tidak ditemukan reflek patologis.
Terapi : lanjutkan
Follow Up
09 Desember 2013, 06.45 WIB
Keadaan Umum
: tampak sakit sedang ; Kesadaran : GCS E 4M6Vafasia, Compos
Mentis; Tekanan darah: 150/90 mmHg; Nadi : 96x /menit; pernapasan : 18 x/menit
Status neurologis yang ditemukan : Pasien mulai bisa mengatakan iya dan tidak, terdapat
kelemahan motoric extremitas kanan, reflex fisiologis + dan tidak ditemukan reflek
patologis.
Terapi : lanjutkan
Pasien pindah ruangan ke Mawar

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

STROKE
Menurut WHO, stroke merupakan gangguan fungsional otak yang terjadi secara
mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global yang berlangsung
lebih dari 24 jam atau dapat menimbulkan kematian, disebabkan oleh gangguan peredaran
darah otak.
Stroke merupakan penyakit pembunuh nomer 3 setelah penyakit jantung dan
kanker di Amerika Serikat. Setiap tahunnya di negara ini terdapat 700.000 kasus stroke
yang terdiri dari 600.000 stroke iskemik dan 100.000 hemoragik ( intracerebral atau sub
arachnoid). Dan 175.000 kasus mengalami kejadian yang fatal.
Frekuensi, insidensi dan prevalensi dari sindrom vertebrobasiler bervariasi,
tergantung dari area spesifik dan sindorm yang terlibat.Stroke iskemik dengan angka
kejadian mencapai 80 85 %, dan 20% dari lesinya menyebabkan stroke iskemik di
sistem vertebrobasiler.
Pada umumnya perdarahan menyebabkan 15 20 % kejadian stroke. Walaupun
kebanyakan perdarahan intracerebral terjadi di area putamen dan thalamus, sekitar 7%
dari semua lesi hemoragik terjadi di otak kecil dan daerah inti dentate, dan sekitar 6%
dari lesi hemoragik terjadi di pons.
Angka mortalitas pasien dengan oklusi arteri basiler diketahui lebih dari 75 80%.
Namun, pasien oklusi arteri basiler yang bertahan dan sembuh menjadi cacat permanen.
A. Klasifikasi Stroke
Berdasarkan sistem pembuluh darah yang terkena :
Sistem pembuluh darah karotis
1. Sindroma arteri serebri media :
Hemiparese kontralateral. Kadang kadang hanya mengenai otot wajah

dan lengan, tungkai tidak terkena atau lebih ringan.


Hemihipestesia kontralateral (berlawanan dengan letak lesi)
Afasia motoric, sensorik atau global bila mengenai hemisfer dominan

Gangguan penglihatan pada 1 mata (amaurosis fugax) atau pada 2 belahan

mata (hemianopsi homonim)


Bila mengenai daerah subkortikal gejala hanya gangguan motorik murni
2. Sindroma arteri serebri anterior
Monoparese tungkai kontralateral, kadang kadang lengan bagian proksimal

dapat terkena.
Inkontinensia urine
Grasp reflex (+)
Apraksia dan gangguan kognitif lainnya
Sistem pembuluh darah vertebrobasiler
1. Sindrom arteri serebri posterior
Gangguan penglihatan pada 1 atau 2 mata berupa kesukaran
Pengenalan terhada objek wajah, warna, simbol
Hemihipetesia, kadang kadang disestesia atau nyeri spontan
2. Sindroma arteri vertebrobasiler
Hemiparese kontralateral
Kelumpuhan saraf otak ipsilateral
3. Gangguan fungsi serebelum
Ataksia, hipotoni, vertigo, nistagmus dan muntah
Hemihipestesia

Berdasarkan tipenya, stroke dibagi dalam :


1. Infark Otak (Non Hemmoragic Stroke)
2. Perdarahan Intra Serebral (PIS)
3. Perdarahan Sub Arachnoid (PSA)
Infark otak ( Non Hemoragic Stroke)
Iskemia terjadi karena adanya oklusi atau sumbatan di pembuluh darah
cervicocranial atau hipoperfusi yang disebabkan oleh berbagai macam proses,
seperti

atherotrombosis,

emboli

atau

ketidakstabilan

hemodinamik.

Atherothrombosis terjadi di arteri cervicocranial yang berada di leher dan kepala


dan di dalam arteri kecil di otak.Pembentukan thrombus menyebabkan arteri
menjadi menyempit, yang akhirnya menyebabkan aliran darah ke otak menjadi
terhambat dan otak menjadi iskemik dan infark berikut dengan jaringan jaringan
yang diperdarahi oleh arteri tersebut.Gejala neurologis yang ditemukan tergantung
dari lokasi pembuluh darah yang terkena oleh infark.
Perdarahan Intra Serebral (PIS)

Perdarahan intra serebral terjadi karena pecahnya pembuluh darah otak di dalam
parenkim otak, yang menyebabkan kebocoran darah ke parenkim otak, ruang cairan
serebrospinal (CSF) atau keduanya.Peningkatan

tekanan intrakranial

dapat

menyebabkan pergeseran dan heniasi otak dan dapat menekan batang otak.Pecahnya
pembuluh darah disebabkan kerusakan dindingnya akibat ateriosklerosis, peradangan
(sifilis), trauma atau kelainan kongenital (aneurisma, malformasi arteri vena).Hal
ini dipermudah bila terjadi peninggian tekanan darah secara tiba tiba.Perdaeahan
intra serebral juga sering timbul akibat pecahnya mikro aneurisma (Charcot
Bourchart) akibat hipertensi lama dan paling sering terjadi di daerah subkortikal,
serebellum dan pons.Perdarahan di daerah korteks sering akibat tumor yang berdarah
atau malformasi pembuluh darah yang pecah.
Perdarahan Sub Arachnoid
Perdarahan disini terutma pada sirkulus Wilisii & berasal dari aneurisma kongenital
yang pecah. Biasa terjadi pada usia lebih muda. Perdarahan sering berulang dan
menimbulkan vasospasme hebat sehingga terjadi infark otak.Aneurisma kongenital
biasa terjadi pada percabangan arteri dan berbentuk seperti buah berry. Penyebab lain
adalah malformasi arterivena yang pecah atau PSA sekunder yang berasal dari PIS
yang masuk ke dalam ruang sub arachnoidalis.
Secara Klinis PSA digolongkan dengan Hunt & Hess Scale :
Uraian

Grade

Asimtomatis, nyeri kepala ringan, kaku kuduk ringan

Nyeri kepala sedang sampai berat, kaku kuduk, tidak diapatkan

deficit neurologis selain kelemahan nervus kranialis


Kebingungan (drowsiness/confusion), defisit neurologis

Stupor, hemiparese sedang berat

Koma, sikap desebrasi

B. Patofisiologi
Trombosis (penyakit trombo oklusif) merupakan penyebab stroke yang paling
sering. Arteriosclerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah penyebab
utama trombosis selebral. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi, sakit kepala adalah
awitan yang tidak umum. Beberapa pasien mengalami pusing, perubahan kognitif atau

kejang dan beberapa awitan umum lainnya. Secara umum trombosis serebral tidak terjadi
secara tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia atau parestesia pada
setengah tubuh dapat mendahului awitan paralysis berat pada beberapa jam atau hari.
Proses aterosklerosis ditandai oleh plak berlemak pada pada lapisan intima arteria besar.
Bagian intima arteria sereberi menjadi tipis dan berserabut , sedangkan sel sel ototnya
menghilang. Lamina elastika interna robek dan berjumbai, sehingga lumen pembuluh
sebagian terisi oleh materi sklerotik tersebut. Plak cenderung terbentuk pada percabangan
atau tempat tempat yang melengkung. Trombi juga dikaitkan dengan tempat tempat
khusus tersebut. Pembuluh pembuluh darah yang mempunyai resiko dalam urutan yang
makin jarang adalah sebagai berikut : arteria karotis interna, vertebralis bagian atas dan
basilaris bawah. Hilangnya intima akan membuat jaringan ikat terpapar. Trombosit
menempel pada permukaan yang terbuka sehingga permukaan dinding pembuluh darah
menjadi kasar. Trombosit akan melepasakan enzim, adenosin difosfat yang mengawali
mekanisme koagulasi. Sumbat fibrinotrombosit dapat terlepas dan membentuk emboli,
atau dapat tetap tinggal di tempat dan akhirnya seluruh arteria itu akan tersumbat dengan
sempurna
C. Faktor Resiko
1. Hipertensi
Hipertensi berperanan penting untuk terjadinya infak dan perdarahan otak yang
terjadi pada pembuluh darah kecil.Hipertensi mempercepat aterosklerosis
sehingga mudah terjadi oklusi atau emboli pada pembuluh darah besar.
Hipertensi secara langsung dapat menyebabkan ateriosklerosis obstruktif, lalu
terjadi infakr lakuner dna mikroaneurisma. Hal ini dapat menjadi penyebab
utama PIS.Baik hipertensi sistolik maupun diastolic, keduanya merupakan
faktor resiko terjadinya stroke.
2. Penyakit Jantung
Gangguan fungsi jantung bertanggung jawab atas sekitar 30% dari penyebab
stroke.(13) Penyakit jantung tersebut adalah :
Penyakit katup jantung
Atrial fibrilasi
Aritmia
Hipertrofi jantung kiri (LVH)
3. Diabetes Melitus

Diabetes Melitus merupakan faktor resiko yang signifikan untuk terjadinya


infark otak, terdapat pada 10% pasien yang menderita stroke. Diduga DM
mempercepat terjadinya proses ateriosklerosis, biasa dijumpai ateriosklerosis
lebih berat, lebih tersebar dan mulai lebih dini.
4. Merokok
Merokok meningkatkan resiko terkena stroke empat kali lipat, hal ini berlaku
untuk semua jenis rokok dan untuk semua tipe stroke terutama perdarahan
subarachnoid dan stroke infark. Merokok mendorong terjadinya aterosklerosis
yang selanjutnya mencetuskan terjadinya thrombosis arteri.
5. Jenis Kelamin
Pada perempuan pre menopause lebih rendah dibanding pria. Setelah
menopause faktor perlindungan menghilang, dan insidennya sama dengan pria.
D. Diagnosis
1. Anamnesis
Pengambilan anamnesis harus dilakukan seteliti mungkin, berdasarkan hasil anamnesis
dapat ditentukan perbedaan antara stroke hemoragik dan non hemoragik.
Gejala

Stroke Hemoragik

Stroke Non Hemoragik

Mendadak

Mendadak

Sedang aktif

Istirahat

+++

Kejang

Muntah

+++

Onset atau awitan


Saat onset
Peringatan (Warning)
Nyeri Kepala

Penurunan kesadaran

2. Pemeriksaan Fisik
Sistem pembuluh darah perifer. Auskultasi pada arteri karotis untuk mencari
adanya bising (bruit) dan periksa tekanan darah di kedua lengan untuk

diperbandingkan.
Jantung. Perlu dilakukan pemeriksaan jantung yang lengkap, dimulai dengan
auskultasi jantung dan EKG 12-sadapan. Murmur dan distritmia merupakan hal
yang harus dicari, karena pasien fibrilasi atrium, infak miokard atrium akut, atau
penyakit katup jantung dapat mengalami embolus obstruktif.

Retina. Periksa adanya tidaknya cupping diskus optikus, perdarahan retina,

kelainan diabetes.
Ekstremitas. Evaluasi ada tidaknya sianosis dan infark sebagai tanda tanda

embolus perifer.
Pemeriksaan neurologik. Sifat intactness diperlukan untuk mengetahui letak dan

luas suatu stroke.


3. Teknik Pencitraan
CT Scan dapat memberikan informasi mengenai lokasi, ukuran infark, perdarahan
dan apakah perdarahan menyebar ke ruang intraventrikuler dan dapat membantu

perencanaan operasi.
Pemeriksaan MRI dapat menunjukkan infark pada fase akut dalam beberapa saat
setelah serangan yang dengan pemeriksaan CT Scan belum tampak. Sedangkan
pada perdarahan intra serebral setelah beberapa jam pertama yang mengikuti
perdarahan. Pemeriksaan ini cukup rumit serta memerlukan waktu yang lama

sehingga kurang bijaksana dilakukan pada stroke perdarahan akut.


Angiografi biasanya dilakukan pada kasus yang selektif terutama pada perdarahan
intra serebral non hipertensi, perdarahan multiple, perdarahan yang letaknya atipis.
Untuk mencari kemungkinan AVM, aneurisma atau tumor sebagai penyebab

perdarahan intra serebral.


Kadar gula darah
Pemeriksaan kadar gula darah sangat diperlukan karena pentingnya diabetes
mellitus sebagai salah satu faktor resiko utama stroke. Tingginya kadar gula darah
pada stroke akut berkaitan pula dengan tingginya angka kecacatan dan kematian.
Selain itu, dengan pemeriksaan dapat diketahui adanya hipoglikemia yang

memberikan gambaran seperti stroke.


Darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap diperlukan untuk menentukan keadaan hematologic
yang dapat mempengaruhi stroke iskemik, misalnya anemia, polisitemia dan

keganasan.
4. Berdasarkan skoring untuk menegakkan diagnosis stroke non hemoragic atau stroke
hemmoragic :
SIRIRAJ STROKE SCORE
No
1

Gejala / Tanda
Kesadaran

Penilaian
0 : Kompos mentis

Indek

Skor

X 2,5

1 : Mengantuk
2 : Semi Koma/Koma
2

Muntah

0 : Tidak
X2

X2

X 10 %

X (-3)

-12

-12

1 : Ya
3

Nyeri Kepala

0 : Tidak
1 : Ya

Tekanan darah

Diastolik

Ateroma

0 : Tidak

a. DM
b. Angina Pektoris
Kaludikasio

1 : Ya

Intermiten
6

Konstanta

1. SSS >1 : Stroke Hemoragik 2. SSS < -1 : Stroke Iskemik


E. Komplikasi
Akut :
Kenaikan tekanan darah, Keadaan ini biasanya merupakan mekanisme
kompensasi sebagai upaya mengejar kekurangan pasokan darah di tempat lesi.
Oleh karena itu kecuali bila menunjukkan nilai yang sangat tinggi (sistolik > 220/
diastolik >130) tekanan darah tidak perlu diturunkan, karena akan turun sendiri
setelah 48 jam. Pada pasien hipertensi kronis tekanan darah juga tidak perlu

diturunkan segera.
Kadar gula darah, Pasien strok seringkali merupakan pasien DM sehingga kadar
gula darah pasca strok tinggi. Akan tetapi seringkali terjadi kenaikan gula darah

pasien sebagai reaksi kompensasi atau akibat mekanisme stress.


Gangguan jantung, baik sebagai penyebab maupun sebagai komplikasi. Keadaan
ini memerlukan perhatian khusus, karena seringkali memperburuk keadaan stroke

bahkan sering merupakan penyebab kematian.


Gangguan respirasi, baik akibat infeksi maupun akibat penekanan di pusat napas.

Infeksi dan sepsis, merupakan komplikasi stroke yang serius, gangguan ginjal

dan hati.
Cairan, elektrolit, asam dan basa
Ulcer stress, yang sering menyebabkan terjadinya hematemesis dan melena.
Kronis :
Akibat tirah baring lama di tempat tidur bisa terjadi pneumonia, decubitus,
inkontinesia serta berbagai akibat imobilisasi lain.
Rekurensi strok
Gangguan social ekonomi
Gangguan psikologis

F. Terapi
Pengelolaan pasien stroke akut pada dasarnya dapat dibagi dalam :
1. Pengelolaan umum, pedoman 5 B :
Breathing : jalan nafas harus terbuka lega, hisap lendir untuk mencegah
kekurangan oksigen dengan segala akibat buruknya. Dijaga agar oksigenasi dan
ventilasi baik. Agar tidak terjadi aspirasi (gigi palsu dibuka). Intubasi pada pasien
dengan GCS <8. Pada kira kira 10% penderita pneumonia (radang paru)
merupakan penyebab kematian utama pada minggu ke 2 4 setelah serangan otak.
Penderita sebaiknya berbaring dalam posisi miring kanan kiri secara bergantian

setiap 2 jam, dan bila da radang atau asma cepat diatasi.


Blood : tekanan darah pada tahap awal tidak boleh sengaja diturunkan, karena
dapat memperburuk keadaan, kecuali pada tekanan sistolik > 220 mmHg atau
diastolic > 120 mmHg (stroke iskemik), sistolik > 180 mmHg atau diastolic > 100

mmHg (stroke hemoragik). Penurunan tekanan darah maksimal 20%


Brain : bila didapatkan kenaikan tekanan intra kranial dengan tanda : nyeri kepala,
muntah proyektil dan bradikardi relatif harus segera ditangani, obat yang biasa
digunakan adalah manitol 20% 1 1,5 gr/kgBB dilanjutkan dengan 6 x 100 cc
(0,5 gr/KgBB) dalam 15 20 menit dengan pemantauan osmolalitas antara 300
320 mOsm, keuntungan lain penggunaan manitol adalah pengahncur radikal

bebas.
Bladder : hindari infeksi saluran kemih. Bilaterjadi retensio urine sebaiknya

dipasang kateter intermiten.


Bowel : kebutuhan cairan dan kalori perlu diperhatikan, hindari obstipasi, jaga

supaya defekasi teratur, pasang NGT bila didapatkan kesulitan menelan makanan.
2. Terapi Medikamentosa :

Untuk Stroke Hemoragic dapat diberikan pengobatan sebagai berikut :


Anti Perdarahan : Epsilon aminocaproar 30 36 gr/hari, asam traneksamat 6 x
1 gr untuk mencegah lisisnya bekuan darah yang sudah terbentuk oleh

plasminogen jaringan. Dan dapat diberikan juga vitamin K.


Neuroprotector : CPD Choline bekerja memperbaiki membrane sel dengan
cara menambah sintesa phospatidylcholine, menghambat terbentuknya radikal
bebas dan juga meningkatkan sintesis asetilkolin suatu neurotransmitter untuk
fungsi kognitif. Piracetam, cara kerja pasti tidak diketahui, diperkirakan
memperbaiki

integritas

sel,

memperbaiki

fluiditas

membrane

dan

menormalkan fungsi membrane. Dosisi bolus 12 gr IV dilanjutkan 4 x3 gr IV


sampai hari ke -4, hari ke-5 dilanjutkan 3x4 gr peroral sampai minggu ke-4,
minggu ke 5 sampai minggu ke -12 diberikan 2x2,4 gr peroral. Theurapetic

windows 7 -12 jam.


Anti Hipertensi :untuk menurunkan tekanan darah sebagai faktor resiko
terjadinya stroke. Dapat diberikan captopril golongan ACE-Inhibitor dengan
dosis per hari 25 100 mg dengan frekuensi pemberian 2 -3 x dan sediaan
12,5 dan 25 mg. atau dapat juga diberikan amlodipine golongan channel
calcium blocker dengan dosis per hari 2,5 mg 10 mg dengan frekuensi

pemberian 1x dan sediaan 5 mg dan 10 mg.


3. Rehabilitasi medik dilakukan apabila kondisi pasien sudah stabil. Fisioterapi pasif
perlu diiberikan pada saat pasien masih berada di ruang intensif yang segera
dilanjutkan dengan fisioterapi aktif bila memungkinkan. Dengan tujuan untuk
memperbaiki fungsi motorik, mencegah kontraktur sendi. Apabila terdapat gangguan
bicara atau menelan, bisa diberikan terapi wicara. Setelah pasien bisa kembali berdiri,
terapi fisis dan okupasi perlu diberikan, agar pasien dapat kembali mandiri.
Pendekatan psikologis terutama berguna untuk memulihkan kepercayaan diri pasien
yang biasanya sangat menurun setelah terjadinya strok.

AFASIA
Afasia adalah gangguan atau ketidakmampuan dalam berbahasa yang disebabkan oleh
gangguan pada otak, dimana gangguan tersebut bukan merupakan penyakit yang herediter,

tidak disebabkan oleh gangguan pendengaran, gangguan pengleihatan, atau kelemahan


motorik. Afasia tidak meliputi kelainan perkembangan berbahasa atau disfasia, gangguan
motorik berbahasa seperti gagap, apraksia berbahasa, atau disartria, dan bukan gangguan
berbahasa yang diakibatkan oleh gangguan berpikir seperti pada pasien skizofrenia.
A. Fisiologi berbicara
Pada korteks serebri ada beberapa daerah luas yang tidak termasuk dalam pembagian area
sensorik-motorik primer dan sekunder pada umumnya. Area tersebut dinamakan area asosiasi
karena menerima dan menganalisis sinyal-sinyal secara bersamaan dari berbagai regio baik
dari korteks motorik maupun korteks sensorik dan juga dari struktur subkortikal. Area
asosiasi yang paling penting diantaranya area asosiasi parieto-oksipito-temporal, area asosiasi
prefrontal, dan area asosiasi limbik.
Area asosiasi parieto-oksipito-temporal terletak dalam ruang kortikal parietal dan
oksipital yang besar yang dibatasi oleh korteks somatosensorik bagian anterior, korteks
pengelihatan bagian posterior, dan korteks pendengaran bagian lateral. Area ini memberi
tafsiran derajat tinggi untuk mengartikan sinyal-sinyal dari seluruh area sensorik sekitarnya.
Area asosiasi parieto-oksipito-temporal ini memiliki sub area fungsionalnya sendiri.
Area utama untuk pemahaman bahasa disebut area Wernicke dan terletak di belakang
korteks auditorik primer pada bagian posterior girus temporalis di lobus temporalis. Regio ini
merupakan regio yang paling penting di seluruh otak untuk fungsi intelektual yang lebih
tinggi karena hampir semuanya didasarkan pada bahasa.
Pada bagian posterior area pemahaman bahasa, terutama terletak di regio anterolateral
pada lobus oksipitalis, terdapat area asosiasi pengelihatan yang mencerna informasi
pengelihatan dari kata-kata yang dibaca ke dalam area Wernicke, yakni area pemahaman
bahasa. Girus yang disebut girus angularis diperlukan untuk mengartikan kata-kata yang
diterima secara visual. Bila area ini tidak ada, seseorang masih dapat memiliki pemahaman
bahasa yang sangat baik dengan cara mendengar tetapi tidak dengan cara membaca.
Di daerah paling lateral dari lobus oksipitalis anterior dan lobus temporalis posterior
terdapat area untuk memberi nama suatu objek. Nama-nama ini terutama dipelajari melalui
input pendengaran sedangkan sifat fisik suatu objek dipelajari terutama melalui input visual.
Selanjutnya nama-nama penting untuk pemahaman bahasa visual dan pendengaran dimana
fungsi yang dilakukan oleh area Wernicke terletak tepat di superior regio penamaan auditoris
dan di anterior dari area pemrosesan kata visual.
Area asosiasi prefrontal fungsinya berkaitan erat dengan korteks motorik untuk
merencanakan pola-pola yang kompleks dan berurutan dari gerakan motorik. Untuk
membantu fungsi tersebut, area ini menerima input melalui berkas subkortikal masif dari
serabut-serabut saraf yang menghubungkan area asosiasi parieto-oksipito-temporal dengan
area asosiasi prefrontal. Melalui berkas ini, korteks prefrontal menerima banyak informasi

sensorik yang belum dianalisis, khususnya informasi mengenai keserasian tubuh secara
spasial yang diperlukan untuk merencanakan gerakan-gerakan yang efektif. Kebanyakan
output dari area prefrontal ini masuk ke dalam sistem pengatur motorik yang berjalan melalui
bagian kaudatus dari lintasan umpan balik ganglia basalis-talamus guna melakukan
perencanaan motorik yang menghasilkan banyak komponen rangsangan gerakan yang
berurutan dan bersifat paralel.
Regio khusus pada korteks frontalis yang disebut area Broca memiliki lintasan saraf untuk
pembentukan kata. Area ini sebagian terletak di korteks prefrontal bagian posterior lateral dan
sebagian lagi terletak di area premotorik. Di area ini rancanfan dan pola motorik untuk
menyatakan kata-kata atau bahkan kalimat pendek dicetuskan dan dilaksanakan. Area ini
bekerja sama dengan area Wernicke di korteks asosiasi temporal.
Area asosiasi somatik, visual, dan auditorik semuanya saling bertemu satu sama lain di
bagian posterior lobus temporalis superior. Daerah pertemuan dari berbagai area interpretasi
sensorik ini terutama berkembang pada sisi otak yang dominan (sisi kiri pada hampir semua
orang yang bertangan kanan). Area ini sangat berperan pada fungsi pemahaman otak yang
lebih tinggi (fungsi luhur) dalam setiap bagian korteks serebri. Fungsi ini disebut intelegensia.
Oleh karena itu, daerah ini sering disebut dengan berbagai nama yang menyatakan bahwa
area tersebut memiliki kepentingan menyeluruh. Namun area ini lebih dikenal dengan nama
area Wernicke sesuai dengan nama penemunya.
Perangsangan listrik area Wernicke pada seseorang yang sadar kadang-kadang
menimbulkan pikiran yang sangat kompleks. Hal ini terutama terjadi apabila elektroda
perangsangnya dimasukkan cukup dalam di otak sehingga mencapai area talamus yang
berkaitan dengan area Wernicke. Dengan alasan ini dianggap bahwa aktivasi area Wernicke
dapat memanggil kembali pola ingatan yang rumit, yang melibatkan lebih dari satu modalitas
sensorik, walaupun sebagian besar ingatan individual disimpan di daerah mana saja. Hal ini
dianggap sesuai dengan kepentingan area Wernicke dalam menginterpretasikan arti yang
rumit dari bermacam-macam pengalaman sensorik.
Girus angularis merupakan bagian lobus parietalis posterior yang paling inferior, terletak
tepat di belakang area Wernicke dan di sebelah posterior bergabung dengan area visual lobus
oksipitalis. Bila daerah ini mengalami kerusakan sedangkan area Wernicke di lobus
temporalis tetap utuh, pasien masih dapat menginterpretasikan pengalaman auditoriknya
namun rangkaian pengalaman visual yang berjalan dari korteks visual ke area Wernicke
benar-benar terhambat. Oleh karena itu pasien mungkin masih mampu melihat kata-kata dan
bahkan tahu mengenai kata-kata itu tetapi tidak dapat menginterpretasikan arti dari kata-kata
itu. Keadaan ini disebut disleksia atau buta kata-kata (word blindness)

B. Etiopatofisiologi
Proses berbicara melibatkan dua stadium utama aktivitas mental : pembentukan buah
pikiran untuk diekspresikan berikut memilih kata-kata yang akan digunakan, kemudian
mengatur motorik vokalisasi dan kerja yang nyata dari vokalisasi itu sendiri.
Pembentukan buah pikiran dan bahkan pemilihan kata-kata merupakan fungsi area
asosiasi sensorik otak. Bila area Wernicke pada hemisfer dominan seorang dewasa mengalami
kerusakan, normalnya pasien akan kehilangan hampir seluruh fungi intelektual yang
berhubungan dengan bahasa atau imbolisme verbal seperti kemampuan membaca,
kemampuan memecahkan perhitungan matematika, dan bahkan kemampuan untuk berpikir
melalui problem yang logis. Bila area Wernicke mengalami kerusakan yang parah, pasien
mungkin masih dapat mendengar dengan sempurna dan bahkan masih dapat mengenali katakata namun tetap tak mampu menyusun kata-kata ini menjadi suatu pikiran yang logis.
Demikian juga, pasien masih mampu membaca kata-kata tertulis namun tidak mampu
mengenali gagasan yang disampaikan. Oleh karena itu pasien yang mengalami afasia
Wernicke atau afasia global tidak mampu memformulasikan buah pikirannya untuk
dikomuikasikan. Atau bila lesinya tidak terlalu parah, pasien masih mampu memformulasikan
pikirannya namun tak mampu menyusun kata-kata yang sesuai secara berurutan dan bersamasama untuk mengekspresikan pikirannya.
Kadang pasien mampu menentukan apa yang ingin dikatakannya namun tak dapat
mengatur sistem vokalnya untuk menghasilkan kata-kata selain suara ribut. Efek ini disebut
afasia motorik yang disebabkan oleh kerusakan pada area bicara Broca di regio fasial
prefrontal dan premotorik korteks serebri. Oleh karena itu, pola keterampilan motorik yang
dipakai untuk mengatur laring, bibir, mulut, sistem respirasi, dan otot-otot lainnya yang
dipakai untuk bicara dimulai dari daerah ini.
Afasia dapat terjadi karena degenerasi atau kerusakan pada otak yang melibatkan
hemisfer serebri kiri. Kebanyakan afasia dan kelainan yang berkaitan diakibatkan oleh stroke,
kerusakan pada bagian kepala, tumor serebri, atau penyakit degeneratif. Neuroanatomi dari
komprehensi dan produksi bahasa merupakan proses yang kompleks meliputi input auditori

dan pengkodean bahasa di lobus temporalis superior, analisis di lobus parietalis, dan ekspresi
di lobus frontalis, turun melalui traktus kortikobulbaris menuju kapsula interna dan batang
otak, dengan efek modulasi dari basal ganglia dan serebelum.
Sindroma afasia didefinisikan sebagai gangguan dalam mengekspresikan, merepetisi, dan
komprehensi bahasa. Gejala ini secara otomatis dikaitkan dengan gangguan pada hemisfer
serebri kiri. Pasien dapat merasa kesulitan dalam mengeluarkan kata-kata, dalam mengerti
kata-kata, dalam merepetisi, dan dalam membaca maupun mendengar kata-kata dalam
berbagai modalitas.
C. Klasifikasi
Ada dua klasifikasi pada afasia. Pertama afasia diklasifikasikan berdasarkan manifestasi
klinik, dan yang kedua berdasarkan distribusi anatomi dari lesi.
Berdasarkan manifestasi klinis nya, afasia dibedakan menjadi :

Afasia wernicke

Pemahaman terganggu terutama pada bahasa yang didengar dan dilihat, baik untuk 1 kata
maupun pada 1 kalimat utuh. Bahasa dapat diucapkan dengan lancar namun sangat parafasik
dan sirkumlokusius. Kecenderungan kesalahan parafasik sangat tinggi hingga terkadang
disebut neologisme, yang disebut juga jargon afasia. Pembicaraan biasanya mengandung
banyak kata sifat namun sedikit mengandung kata benda atau kata kerja. Pembicaraan
banyak, namun tanpa arti.
Penggunaan bahasa tubuh tidak banyak membantu komunikasi. Pasien tampak mengerti
bahwa pembicaraannya tidak dapat dimengerti oleh orang lain sehingga pasien tampak
marah dan tidak sabar ketika pemeriksa tidak dapat mengerti maksud dari pembicaraannya.
Pada pasien dengan afasia wernicke dapat disertai dengan agitasi motorik dan perilaku
paranoid. Pasien dengan afasia wernicke tidak dapat mengekspresikan pemikiran mereka
melalui kata-kata yang sesuai dan tidak dapat memahami arti dari setiap kata yang masuk.
Lesi ini terletak di area wernicke. Etiologi paling sering dari afasia wernicke adalah emboli
dari arteri serebri media. Etiologi lain bisa berasal dari perdarahan intraserebral, trauma
kepala berat, dan tumor. Adanya hemianopia kanan atau quadrantanopia superior dan
pendataran sudut nasolabial kanan dapat mempertegas adanya lesi di area wernicke.

Afasia broca
Pembicaraan tidak lancar, memerlukan usaha, dan banyak diinterupsi oleh jeda
yang dibuat pasien dalam rangka mencari kata-kata, serta seringkali pasien juga menderita
disartria. Pengeluaran kata-kata sangat terbatas sehingga terkadang pasien hanya mau
menjawab dengan kata ya atau tidak. Penamaan benda dan kemampuan merepetisi
terganggu. Meski begitu, pemahaman bahasa masih intak kecuali untuk kalimat yang sulit
yang diucapkan dengan suara yng pelan atau tanpa intonasi. Kemampuan membaca juga

dipertahankan namun seskali pasien kesulitan membaca kata imbuhan atau tatabahasa
yang rumit. Terkadang, sekalipun pasien menderita disartria, pasien dapat bernyanyi
dengan baik. Hal inilah yang sedang diuji coba dalam terapi afasia broca. Defisit
neurologis yang sering menyertai meliputi kelemahan pada wajah bagian kanan,
hemiparesis atau hemiplegia, dan buccofasial apraksia. Penyebab paling sering ialah
infark yang disebabkan oleh sumbatan pada arteri serebri media.

Afasia global
Pengeluaran kata tidak lancar dan pemahaman juga terganggu. Penamaan, repetisi,
membaca, dan menulis juga terganggu. Sindrom ini menyatakan adanya disfungsi dari
broca dan wernicke. Sindrom ini juga dapat menjadi gejala awal dari afasia wernicke
yang kemudian berkembang menjadi afasia wernicke yang klasik.

Afasia Konduktif
Pengeluaran kata-kata lancar namun parafasik, pemahaman bahasa masih baik,
namun repetisi sangat terganggu. Penamaan dan pemulisan juga sangat terganggu. Jika
pasien diminta untuk membaca dengan suara keras, pasien akan mengalami kesulitan,
namun pasien dapat mengerti apa yang dibacanya.

Afasia transkortikal motorik


Ciri-ciri yang nampak pada afasia transkortikal motorik menyerupai afasia broca
namun repetisi masih baik dan pasien cenderung menghindari penggunaan tata bahasa.
Pemeriksaan neurologis lain biasanya normal. Lesi pada afasia transkortikal motorik
biasanya melibatkan area perbatasan antara arteri serebri anterior dan media.

Afasia transkortikal sensori


Afasia transkortikal sensori dicirikan dengan gejala yang menyerupai afasia
wernicke namun repetisi masih dapat dilakukan dengan baik. Pada afasia ini lesi
memutuskan area bahasa dari area asosiasi temporoparietal selain area khusus bahasa.

Afasia terisolasi
Sindrom yang langka ini melibatkan dua transkortikal afasia. Pemahaman pasien
sangat terganggu dan tidak ada arti dalam setiap kata yang diucapkan oleh pasien. Pasien
dapat menjadi ekolalia, mengindikasikan adanya mekanisme repetisi yang masih intak.
Lesi biasanya mengenai area sekitar frontal, parietal, dan temporal namun tidak mengenai
area broca maupun wernicke.

Afasia anomik
Pada afasia jenis ini, fungsi yang terganggu yakni penamaan. Artikulasi,
pemahaman, dan repetisi masih baik namun pasien tidak dapat menyebutkan nama dari

benda-benda dan pasien kesulitan dalam mengeja kata-kata. Seringkali output bahasa
pasien parafasik, sirkumlokusius, dan tidak bermakna. Kelancaran bahasa terganggu
ketika pasien berusahan menyebutkan nama benda-benda. Afasia anomik banyak ditemui
pada kasus trauma kepala, ensefalopati metabolik, dan penyakit alzheimer.

Sindrom Gerstmann's
Sindrom gerstmann meliputi kombinasi dari akalkulia, disgrafia, anomia jari, dan
ketidakmampuan membedakan kiri dan kanan. Untuk itu, pada pembuatan diagnosis
sindrom gertmann, penting untuk melihat apakah pasien dapat membedakan posisi kiri
dan kanan. Sindrom gertmann biasanya diakibatkan kerusakan pada lobus parietalis
inferior hemisfer serebri sinistra.

Pada klasifikasi afasia berdasarkan distribusi anatomi dari lesi, afasia dibedakan atas :

Sindrom afasia perisylvii : Meliputi Afasia broca, afasia wernicke, dan afasia
konduksi

Sindrom afasia daerah perbatasan : Meliputi afasia transkortikal motorik, afasia


transkortikal sensorik, dan transkortikal campuran

Sindrom afasia subkortikal : Meliputi afasia talamik dan afasia striatal

Sindrom afasia non-lokalisata : Meliputi afasia gnomik dan afasia global.

Satu lagi klasifikasi afasia yang jarang digunakan, yakni yang merujuk pada linguistik. Afasia
pada klasifikasi ini dibedakan atas:

Afasia sintaktik

Afasia semantik

Afasia pragmatik

Afasia jargon

Afasia global

D. Gejala Afasia
Gejala afasia
Tipe Afasia

Pembicaraan

Komprehensia Repetisi

Broca

Tidak
lancar, Tetap baik
butuh banyak
usaha
dalam
berbicara,

Gejala
berkaitan

yang Lokasi lesi

Terganggu Kelemahan pada Frontal


tangan dan wajah suprasylvian
bagian kanan

Tipe Afasia

Pembicaraan

Komprehensia Repetisi

Gejala
berkaitan

yang Lokasi lesi

kurangnya suku
kata, kurangnya
output namun
dapat
mencetuskan
ide
Wernicke

Lancar,
fasih Sangat
berbicara,
terganggu
artikulasi baik,
tapi tanpa arti

Tidak
Hemiatau Temporal,
dapat
quadrantanopia, infrasylvian
dilakukan tidak ada paresis termasuk girus
angular
dan
supramarginal

Konduksi

Lancar

Baik

Tidak
Biasanya tidak Supramarginal
dapat
dapat dilakukan gyrus
atau
dilakukan
insula

Global

Sedikit,
lancar

tidak Sangat
terganggu

Tidak
Hemiplegia
dapat
dilakukan

Sebagian besar
perisylvian atau
lesi
terpisah
pada frontal dan
temporal

Transkortikal Tidak lancar


motorik

Baik

Sangat
baik

Bervariasi

Anterior
superior
Broca

Transkortikal Lancar
sensori

Tidak
dapat Sangat
dilakukan
baik
seperti halnya
pada Wernicke

Bervariasi

Area di sekitar
Wernicke

Tuli
murni

Terganggu

kata Sedikit
parafasik
normal

atau

atau
area

Terganggu Quadrantanopia Bilateral (atau


atau tidak ada bagian kiri saja)
sama sekali
bagian tengah
superior
temporal gyrus

Buta
kata Normal
tapi Normal
murni (aleksia tidak
dapat
tanpa agrafia) bersuara keras

Normal

Mutisme kata Tak


bersuara Normal
(afemia)
tapi
mampu
menulis

Tidak ada Tidak ada

Sebagian dari
area Broca

Anomic

Normal

Lobus

Kesulitan

Normal

Hemianopia
Girus kalkarina
kanan;
tidak dan
girus
dapat membaca angularis
tulisan
tangan
sendiri

Bervariasi

Tipe Afasia

Pembicaraan

afasia

mencari
kata

Komprehensia Repetisi

Gejala
berkaitan

yang Lokasi lesi

kata-

temporalis
bagian dalam

Afasia
Karakteristik respon dari pasien dengan afasia pada lokasi lesi yang spesifik
(Pasien diminta menyebutkan kata chair)
Tipe afasia dan lokasi lesi

Gejala pada pasien

Afasia motorik (Area Broca)

"Tssair"

Afasia sensori (area Wernicke)

"Stool" atau "choss" (neologisme)

Afasia sensori (area 40, 41, and 42; Afasia "Flair . . . err, swair . . . tair."
konduktif)
Anomik (Girus angularis)

"Saya tahu apa itu . . . saya punya banyak di


rumah."

E. Diagnosis

Anamnesis
Afasia muncul secara mendadak pada pasien dengan stroke atau cedera kepala.
Pasien dengan penyakit neurodegeneratif atau lesi tumor dapat menderita afasia secara
perlahan. Tanda-tanda awal yang mencirikan lesi atau defisit yang berasal dari area
korteks atau jaras yang berdekatan dengan posisi area berbahasa harus diwaspadai. Tandatanda tersebut meliputi hemianopia, defisit dari fungsi motorik maupun sensori, atau
defisit neurobehavioral seperti alexia, agrafia, akalkulia, atau apraksia. Pada pasien harus
ditanyakan riwayat kejang atau episode afasia sebelumnya. Terkadang, sekalipun
insidensinya rendah, afasia dapat diakibatkan oleh ensefalitis herpes simpleks. Ciri dari
penyakit ini meliputi riwayat demam, kejang, nyeri kepala, dan perubahan perilaku.
Riwayat nyeri kepala baik akut maupun kronik dapat menjadi petunjuk penting
untuk mendiagnosa kondisi tertentu seperti tumor otak maupun malformasi arteri vena.
Pada pasien harus ditanyakan tentang riwayat gangguan pada memori atau riwayat
gangguan dalam melakukan kegiatan sehari-hari karena gangguan berbahasa bisa hanya

merupakan satu bagian dari kondisi neurodegeneratif yang menyeluruh seperti demensia.
Perlu ditanyakan juga apakah pasien kidal atau tidak, riwayat hipertensi, perdarahan otak
sebelumnya, penyakit jantung, penyakit vaskular otak, atau amiloid angiopati.

Pemeriksaan berbicara spontan


Langkah pertama dalam menilai berbahasa adalah mendengarkan bagaimana
pasien berbicara spontan atau bercerita. Pasien dapat diminta untuk menceritakan hal-hal
yang terjadi dalam waktu dekat, misalnya bagaimana ia sampai dirawat di rumah sakit.
Yang dinilai ialah apakah bicaranya pelo, cadel, tertegun, diprosodik (irama, ritme,
intonasi terganggu) dan apakah ada afasia, kesalahan sintaks, salah menggunakan kata,
dan perseverasi.
Parafasia ialah kegiatan mensubstitusi kata. Ada dua jenis parafasia. Parafasia
semantik atau verbal berarti mensubstitusi satu kata dengan kata yang lainnya. Parafasia
fonemik berarti mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi lain yang biasanya berbunyi
cukup mirip.

Pemeriksaan kelancaran berbicara


Seseorang disebut lancar berbicara bila bicara spontannya lancar, tanpa terbatabata. Kelancaran berbcara verbal ini merupakan refleksi dari efisiensi menemukan kata.
Bila kemampuan ini diperiksa secara khusus dapat dideteksi masalah berbahasa yang
ringan pada lesi otak yang ringan atau demensia dini. Defek yang ringan dapat dideteksi
melalui tes kelancaran, menemukan kata yaitu jumlah kata tertentu yang dapat diproduksi
selama jangka waktu yang terbatas. Sebagai contoh pasien diminta untuk menyebutkan
sebanyak-banyaknya nama jenis hewan atau menyebutkan kata-kata yang dimulai dengan
huruf tertentu selama jangka waktu satu menit. Tidak lupa pula kesalahan yang timbul
dicatat untuk melihat adanya parafasia atau tidak.
Usia merupakan salah satu faktor yang berpengaruh secara bermakna dalam
pemeriksaan ini. Orang normal di bawah usia 69 tahun mampu menyebutkan kira-kira 20
nama hewan dengan baik. Kemampuan ini menurun pada orang berusia sekitar 70 tahun
(17 nama) dan terus menurun seiring dengan bertambahnya usia. Pada usia 85 tahun,
skor 10 mungkin merupakan batas normal bawah.

Orang normal umumnya dapat menyebutkan 36-60 kata yang berawalan dengan
huruf tertentu, tergantung dari tingkat intelegensi, usia, dan tingkat pendidikan.
Kemampuan yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk setiap huruf merupakan
petunjuk adanya penurunan kelancaran berbicara verbal namun perlu diperhatikan pada
pasien dengan tingkat pendidikan yang tidak lebih dari sekolah menengah pertama.

Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan


Pemeriksaan pemahaman bahasa lisan seringkali sulit dinilai. Pemeriksaan klinis pada
pasien rawat inap yang biasa dilakukan di samping tempat tidur pasien dapat memberikan
hasil yang menyesatkan. Langkah yang digunakan untuk mengevaluasi pemahaman
secara klinis meliputi cara konversasi, suruhan, pertanyaan tertutup (ya atau tidak), dan
menunjuk.
o Konversasi

Dengan

mengajak

pasien

bercakap-cakap

dapat

dinilai

kemampuannya dalam memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan olh


pemeriksa
o Suruhan : Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (satu langkah) sampai
pada yang sulit dapat digunakan untuk menilai kemampuan pasien dalam
memahami perintah. Mula-mula pasien dapat disuruh bertepuk tangan, kemudian
tingkat kesulitan dinaikkan misalnya mengambil benda dan meletakkan benda
tersebut pada lokasi yang lain. Perlu diperhatikan bahwa perintah tipe ini tidak
dapat dilakukan pada pasien dengan kelemahan motorik dan apraksia. Pasien juga
dapat diminta untuk menunjuk ke beberapa benda, mula-mula satu benda dan
ditingkatkan menjadi sebuah perintah berantai untuk menunjuk ke beberapa benda
secara berurutan. Pasien dengan afasia mungkin hanya mampu menunjuk sampai
1-2 objek saja.
o Ya atau Tidak : Kepada pasien dapat juga diberikan pertanyaan tertutup dengan
bentuk jawaban ya atau tidak. Mengingat kemungkinan salah adalah 50%,
jumlah pertanyaan yang diberikan minimal 6 pertanyaan misalnya Apakah anda
bernama Budi?, Apakah AC di ruangan ini mati?, Apakah ini Rumah Sakit?,
Apakah di luar sedang hujan?, Apakah saat ini malam hari?.

o Menunjuk : Pasien diminta untuk menunjuk mulai dari benda yang mudah
dipahami kemudian berlanjut ke benda yang lebih sulit. Contohnya : tunjukkan
lampu kemudian tunjukkan gelas yang ada di samping televisi. Pemeriksaan
sederhana ini dapat dilakukan di samping tempat tidur pasien. Sekalipun kurang
mampu menilai kemampuan pemahaman dengan baik sekali, pemeriksaan ini
dapat memberikan gambaran kasar mengenai gangguan serta beratnya.

Pemeriksaan repetisi
Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang mula-mula
kata yang sederhana (satu patah kata) kemudian ditingkatkan menjadi banyak (satu
kalimat). Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini didapatkan
parafasia, salah tatabahasa, kelupaan, atau penambahan. Orang normal umumnya dapat
mengulang kalimat yang mengandung 19 suku kata. Banyak pasien afasia mengalami
kesulitan dalam mengulang, namun ada juga yang menunjukkan kemampuan yang baik
dalam mengulang, bahkan lebih baik daripada berbicara spontan. Bila kemampuan
mengulang terpelihara, maka kelainan patologis sangat mungkin tidak berada di area
perisylvii. Umumnya daerah ekstrasylvian yang terlibat dalam kasus afasia tanpa defek
repetisi terletak di daerah perbatasan vaskuler (watershed area)

Pemeriksaan menamai dan menemukan kata


Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi berbahasa. Hal ini
sedikit-banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan demikian, semua tes yang
dilakukan untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap kemampuan ini. Kesulitan
menemukan kata erat kaitannya dengan kemampuan menyebut nama (menamai) atau
disebut anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek, bagian
dari objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometrik, simbol matematik, atau
nama dari suatu tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan benda-benda yang sering
digunakan sampai ke benda-benda yang jarang ditemui atau digunakan. Banyak penderita
afasia yang masih mampu menamai objek yang sering ditemui atau digunakan dengan
cepat dan tepat, namun lamban dan tertegun dengan melukiskan kegunaannya atau
parafasia pada objek yang jarang dijumpainya. Bila pasien tidak mampu atau sulit

menamai, dapat dibantu dengan memberikan suku kata pemula atau dengan menggunakan
kalimat penuntun. Yang penting ialah sampainya pasien kepada kata yang dibutuhkan,
yakni kita nilai kemampuan pasien dalam menamai objek. Ada pula pasien yang
mengenal objek dan mampu melukiskan kegunaannya namun tidak dapat menamainya.
Pertama-tama terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh menyebutkan nama
beberapa objek juga warna dan bagian dari objek tersebut. Kita dapat menilai dengan
memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca mata, kemudian bagian dari arloji, lensa
kaca mata. Objek atau gambar yang dapat digunakan misalnya meja, kursi, lampu, pintu,
jendela. Bagian dari tubuh misalnya mata, hidung, gigi, ibu jari, lutut. Warna misalnya
merah, biru, hijau, kuning, kelabu. Bagian dari objek contohnya jarum jam, sol sepatu,
kepala ikat pinggang, bingkai kaca mata.
Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan cepat atau
lamban, atau tertegun, atau menggunakan sirkumlokusi, parafasia, neologisme, dan
apakah ada perseverasi. Di samping menggunakan objek, dapat pula digunakan gambar
objek.
Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, perlu diperhatikan apakah
pasien dapat memilih nama objek tersebut dari beberapa pilihan nama objek. Pada
pemeriksaan ini perlu digunakan kurang lebih 20 nama objek sebelum menentukan bahwa
tidak didapatkan gangguan.

Pemeriksaan sistem bahasa


Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu diperhatikan
bagaimana pasien berbicara spontan, komprehensi, repetisi, maupun menamai. Selain itu
kemampuan membaca dan menulis harus dinilai pula. Tidak lupa evaluasi dilakukan
untuk memeriksa sisi otak mana yang dominan dengan melihat penggunaan tangan.
Dengan melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu yang singkat dapat
diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang afasia selalu agrafia dan sering
aleksia, untuk itu pemeriksaan membaca dan menulis dapat dipersingkat. Namun pada
pasien yang tidak afasia, pemeriksaan membaca dan menulis harus dilakukan sepenuhnya
karena aleksia, agrafia, atau keduanya dapat terjadi secara terpisah.

Pemeriksaan penggunaan tangan

Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang erat.
Sebelum menilai bahasa perlu ditanyakan pada pasien apakah ia kidal atau menggunakan
tangan kanan. Banyak orang kidal telah diajarkan untuk menulis dengan tangan kanan,
oleh karena itu observasi cara menulis saja tidak cukup untuk mennetukan apakah ia
seorang yang kidal atau kandal. Pasien dapat juga diminta memperagakan gerakan tangan
yang digunakan untuk memegang pisau, melempar bola, dan sebagainya.
F. Penatalaksanaan
Terapi berbicara dan berbahasa merupakan terapi utama dalam afasia. Waktu dan
teknik pelaksanaan intervensi pada pasien afasia bervariasi luas karena penelitian yang
dilakukan sangat minim. Namun dalam beberapa penelitian telah terbukti bahwa teapi
berbicara dan berbahasa dapat meningkatkan prognosis pasien afasia. Kesulitan yang
dialami pasien dalam menjalani terapi ini sangat beragam karena berbeda dari individu ke
individu.
Beberapa hal yang hasur diperhatikan saat melakukan terapi pada pasien afasia :

Banyak pasien afasia menderita depresi oleh karena itu pasien afasia memerlukan
dukungan psikologis. Ketepatan diagnosis, terapi, dan dukungan emosional dapat sangat
berguna bagi pasien.

Terdapat beberapa teknik terapi khusus untuk pasien dengan masalah artikulasi, masalah
kosa kata, minimnya ilmu kalimat, dan kurangnya intonasi. Dalam kata lain, terapi pada
pasien afasia dapat divariasi agar sesuai dengan kebutuhan pasien

Terapi farmaka pada afasia masih bersifat eksperimental. Penggunaan dopaminerjik,


cholinerjik, dan obat-obatan stimulan belum memberikan hasil yang jelas. Namun
penggunaan terapi farmaka sebagai pendamping dari terapi berbicara telah menunjukkan
hasil yang baik.

Teknologi baru yang dinamakan stimulasi magnetik transkranial sedang diuji coba pada
pasien afasia dan sejauh ini menunjukkan hasil yang baik.

BAB III
ANALISA KASUS
A. ILUSTRASI KASUS
Pasien laki-laki usia 60 tahun datang ke IGD RSUP Persahabatan dengan keluhan
hemiparese kanan, serta gangguan dalam melakukan komunikasi.
1 hari SMRS, ketika pasien sedang berada di kamar mandi, tiba-tiba pasien terjatuh
dan didapatkan pasien tidak dapat menggerakkan anggota gerak sebelah kanan. Pasien
tidak mengeluhkan perasaan kesemutan, ataupun sakit kepala sebelum kejadian. Pada
pasien tidak didapatkan memar bekas luka terbentur pada bagian wajah maupun kepala.
Saat itu pasien diketahui mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, dimana tidak bisa
menjawab ketika orang lain mengajak berbicara. Kemudian pasien dibawa ke IGD RSUP
Persahabatan. Keadaan pasien saat ini composmentis dengan kelemahan ekstremitas
kanan. Pasien diketahui memiliki kebiasaan merokok sebelum di diagnose dokter
memiliki penyakit penyumbatan pembuluh darah jantung, yang akhirnya pada sekita 2
tahun yang lalu pasien melakukan operasi pemasangan ring. Selain memiliki riwayat
penyakit jantung, pasien diketahui memiliki riwayat penyakit hipertensi. Riwayat diabetes
mellitus maupun riwayat stroke sebelumnya disangkal.
Dari hasil pemeriksaan fisik di IGD, didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit
berat, tanpa disertai adanya penurunan kesadaran nilai GCS E 4M6Vafasia, tekanan darah
didapatkan 160/100 mmHg, nadi 96x / menit, pernapasan : 20 x/menit dan suhu : 37 oC.
pemeriksaan kepala hingga ekstremitas didapatkan dalam batas normal. Dari pemeriksaan
neurologis didapatkan adanya wajah miring ke kiri, hemiparese kanan, reflex fisiologis
positif, dalam keadaan diam lidah tampak miring ke kiri. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan yaitu pemeriksaan laboratorium dengan hasil : peningkatan leukosit, netrofil

dan limfosit. Analisa gas darah terjadi penurunan PCO2, HCO3, TCO2, dan Std HCO3 dan
terjadi peningkatan PO2 sertaSaturasi O2danBase excess negatif.Elektrolit didapatkan
peningkatan dari ureum.Berdasarkan hasil CT-Scan didapatkan kesan gambara infark di
basal ganglia kanan dan paraventrikel lateralis kanan.

B. ANALISA KASUS
Berdasarkan hasil anamnesa didapatkan bahwa pasien mengalami hemiparese dan
afasia global. Berdasarkan literature, gejala seperti ini menunjukkan adanya tanda-tanda
stroke. Sedangkan keluhan kesulitan dalam berkomunikasi, atau sering disebut sebagai
afasia, merupakan satu dari gejala klinis stroke dengan predileksi gangguan pada hemisfer
kiri otak, dimana sisi kiri otak merupakan pusat pengaturan utama bahasa bagi kebanyaan
orang.
Tingkat kesadaran pada pasien ini tidak mengalami penurunan, dimana ini mengartikan
bahwa pusat kesadaran di batang otak tidak mengalami gangguan. Selain itu, kondisi
kesadaran yang tetap terjaga (atau tidak mengalami penurunan merupakan suatu pembeda
yang cukup sering dipakai untuk menentukan bahwa pasien ini kemungkinan mengalami
strok iskemi atau non hemoragik.
Berdasarkan riwayat penyakit dahulu, pasien diketahui memiliki riwayat penyakit
jantung dan pernah menjalani operasi pemasangan ring di RS Harapan Kita. Riwayat
kondisi ini disertai dengan riwayat hipertensi merupakan factor resiko terbesar untuk
terjadinya stroke pada pasien. Dimana diketahui bahwa insiden thromboemboli disebabkan
oleh riwayat penyakit jantung sebelumnya pada pasien dengan stroke nonhemoragik.
Dari hasil pemeriksaan fisik di IGD, didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit
berat, tanpa disertai adanya penurunan kesadaran nilai GCS E4M6Vafasia, Dalam
pemeriksaan

GCS, pasien mengalami kesulitan dalam

melakukan penilaian verbal,

dimana pasien tidak dapat mengerti dengan instruksi yang ditujukan kepadanya, dan
pasien tidak dapat mengeluarkan kata maupun kalimat selama pemeriksaan. Kondisi
seperti ini menunjukkan bahwa pasien mengalami kondisi afasia, baik afasia sensorik
maupun afasia motorik. Afasia merupakan suatu gejala yang ditunjukkan pada kondisi
keterlibatan hemisfer kiri pada proses patologis, entah karena iskemik yang berujung

infark maupun karena perdarahan yang mengganggu kerja dari hemisfer kiri otak yang
berfungsi sebagai pusat pengaturan bahasa. tekanan darah didapatkan 160/100 mmHg,
nadi 96x / menit, pernapasan : 20 x/menit dan suhu : 37oC. pemeriksaan kepala hingga
ekstremitas didapatkan dalam batas normal, ini untuk mengesampingkan ada tidaknya
jejas cedera sebelumnya pada pasien yang mungkin dapat menyebabkan stroke.
Dari pemeriksaan neurologis didapatkan adanya wajah miring ke kiri, hemiparese
kanan, reflex fisiologis positif, dalam keadaan diam lidah tampak miring ke kiri. Secara
umum, kelainan pada sisi kanan tubuh ini semakin memperjelas bahwa letak gangguan
melibatkan sisi kiri otak pasien.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu pemeriksaan laboratorium dengan hasil :
peningkatan leukosit, netrofil dan limfosit. Analisa gas darah terjadi penurunan PCO 2,
HCO3, TCO2, dan Std HCO3 dan terjadi peningkatan PO2 sertaSaturasi O2danBase excess
negatif.
Berdasarkan hasil CT-Scan didapatkan kesan gambaran infark di basal ganglia kanan
dan paraventrikel lateralis kanan. hasil ekspertise tentang CT-scan sangat tidak sesuai
dengan gambaran klinis yang Nampak pada pasien, dimana dengan gambaran hemiparese
kanan, dan deficit neurologis lainnya yang Nampak, mestinya kelainan terletak pada sisi
kiri otak, bukan pada sisi kanan. hal seperti ini bisa terjadi akibat kesalahan proses
ekspertise pada hasil gambaran CT-Scan pada pasien ini.
Diagnosis Stroke Non Hemoragik ditegakkan berdasarkan pada anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Untuk diagnosa etiologi ini ditegakkan karena thromboemboli yang terjadi pada
hemisfer kiri otak. Sesuai dengan factor resiko thromboemboli yaitu adanya riwayat
penyakit jantung dan hipertensi sebelumnya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan CT Scan dapat dipastikan tidak adanya perdarahan
sehingga kondisi Iskemi yang menyebabkan infark-lah yang sekiranya dipastikan dapat
menjadi penyebab dari kelainan yang terjadi pada pasien ini.
Terapi Farmakologi :

IVFD
Injeksi Piracetam 1 x 1200 mg IV
Injeksi CPG 1 x 75 mg IV

Injeksi Mecobalamin 2 x 500 mg IV


Injeksi Citicholin 2 x 500 mg IV

Terapi non farmakologi :


Rehabilitasi Medik: Fisioterapi dan Speech Therapy

Anda mungkin juga menyukai