A. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien
: Tn. R
Umur
: 60 Tahun
Status
: Menikah
Jenis Kelamin
: Laki - Laki
Agama
: Islam
Tanggal Masuk
: 05 Desember 2013
Tanggal Pemeriksaan
: 06 Desember 2013
Tempat Pemeriksaan
: Ruang Melati Atas Kamar I
B. ANAMNESIS
Berdasarkan anamnesa (alloanamnesa) kepada anak pasien.
Keluhan Utama
:
Pasien mengalami kelemahan pada tangan dan kaki kanan.
Riwayat Penyakit Sekarang
:
Pada tanggal 05 Desember 2013 ketika pasien berada di kamar mandi, tiba-tiba
pasien terjatuh dan didapatkan pasien sudah tidak dapat menggerakan tangan kanan dan
kaki kanan, kemudian pasien dibawa ke IGD RSUP Persahabatan untuk mendapatkan
pertolongan. Selain mengalami kesulitan dalam menggerakan tangan dan kaki kanannya,
pasien juga mengalami kesulitan dalam berbicara, dikatakan bahwa pasien tidak dapat
merespon apa yang dikatakan orang lain ketika berbicara kepada pasien. Riwayat
penyakit pernapasan/pencernaan sebelumnya disangkal. Riwayat trauma disangkal. Pasien
tidak memiliki kebiasaan merokok, ataupun minum minuman beralkohol.
Riwayat Penyakit Dahulu
:
Riwayat Hipertensi ( + )
Riwayat Stroke ( - )
Riwayat Penyakit Jantung ( + ) Pasien mengaku melakukan pengobatan di RS Harapan
Kita
Riwayat Diabetes Melitus ( - )
Riwayat Trauma ( - )
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum
: Tampak Sakit Sedang; Gelisah
Kesadaran
: GCS : E4M6VAfasia, Compos Mentis
Tekanan Darah
Nadi
: 96 x / m
Pernapasan
: 32 x / m
Suhu
: 368OC
Kepala
Mata
Leher
Thorax
N. IX, X
: Disfagia ( - )
Disfonia ( - )
Arcus faring : simetris
Uvula
N. XI
: di tengah
N. XII
:(-)
Laseque
: > 70/>70
Kerniq
Brudzinky I,II,III
: -/-
MOTORIK
Tonus
Trophy
: Normotonus
Normotonus
Normotonus
Normotonus
Parese
Eutrophy
Eutrophy
Eutrophy
Eutrophy
2222
5555
2222
5555
REFLEKS FISIOLOGIS
Biceps
:+/+
KPR
:+/+
Triceps
:+/+
APR
:+/+
REFLEKS PATOLOGIS
Babinski
:-/-
Chaddock
:-/-
Schaefer
Oppenheim
:-/-
Gordon
:-/-
Hoffman Trommer
SENSORIK
Eksteroseptif
Proprioseptif
Nyeri : normal
Suhu : tidak dilakukan
Taktil : normal
Vibrasi
Posisi
Rasa dalam
: tidak dilakukan
: normal
: tidak dilakukan
:-/:-/-
FUNGSI OTONOM
Miksi
: Inkontinensia ( - )
Retensi ( - )
Anuria ( - )
Defekasi
: Inkontinensia ( - )
Retensi ( - )
: tidak dilakukan
: tidak dilakukan
Disdiadokokinesis
: tidak dilakukan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 05 Desember 2013
Nilai normal
Hematologi :
Leukosit
: 6.32 ribu/mm3
5-10 ribu/mm3
Hitung jenis :
Neutrofil
: 67.7%
50-70%
Limfosit
: 25.1%
25-40%
Monosit
: 5.4%
2-8%
Eosinofil
: 0.6%
2-4%
Basofil
: 1.2%
0-1%
Eritrosit
: 3.96 juta/ul
3,6-5,8 juta/ul
Hemoglobin
: 11.5 g/dL
12,0-16,0g/dl
Hematokrit
: 37%
MCV
: 94.2fL
80-100fL
MCH
: 28.9pg
26-34pg
MCHC
: 30.7%
32-36%
RDW-CV
: 13.36%
11,5-14,5%
35-47%
Trombosit
: 315 ribu/mm3
150-440%
Kimia Klinik
GDS
: 119 mg/dL
<180
Elektrolit
Natrium (Na)
: 145.0 mmol/L
135 145
Kalium ( K )
: 6.0 mmol/L
3.5 5.5
Klorida (Cl)
: 106.0 mmol/L
98 109
Ureum
: 43 mg/dL
20 40
Kreatinin
: 1.6 mg/dL
0.8 1.5
E. TERAPI
Medikamentosa
:
IVFD
Injeksi Piracetam 1 x 1200 mg IV
Injeksi CPG 1 x 75 mg IV
Injeksi Mecobalamin 2 x 500 mg IV
Injeksi Citicholin 2 x 500 mg IV
F. PROGNOSIS
Ad Vitam
: dubia ad bonam
Ad Fungsionam
: dubia ad bonam
Ad Sanationam
: dubia ad bonam
Follow Up
06 Desember 2013, 06.30 WIB
Keadaan Umum
Mentis; Tekanan darah: 150/90 mmHg; Nadi : 96x /menit; pernapasan : 18 x/menit
Status neurologis yang ditemukan : afasia sensorik, terdapat kelemahan motoric
extremitas kanan, reflex fisiologis + dan tidak ditemukan reflek patologis.
Terapi : lanjutkan
Follow Up
09 Desember 2013, 06.45 WIB
Keadaan Umum
: tampak sakit sedang ; Kesadaran : GCS E 4M6Vafasia, Compos
Mentis; Tekanan darah: 150/90 mmHg; Nadi : 96x /menit; pernapasan : 18 x/menit
Status neurologis yang ditemukan : Pasien mulai bisa mengatakan iya dan tidak, terdapat
kelemahan motoric extremitas kanan, reflex fisiologis + dan tidak ditemukan reflek
patologis.
Terapi : lanjutkan
Pasien pindah ruangan ke Mawar
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
STROKE
Menurut WHO, stroke merupakan gangguan fungsional otak yang terjadi secara
mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global yang berlangsung
lebih dari 24 jam atau dapat menimbulkan kematian, disebabkan oleh gangguan peredaran
darah otak.
Stroke merupakan penyakit pembunuh nomer 3 setelah penyakit jantung dan
kanker di Amerika Serikat. Setiap tahunnya di negara ini terdapat 700.000 kasus stroke
yang terdiri dari 600.000 stroke iskemik dan 100.000 hemoragik ( intracerebral atau sub
arachnoid). Dan 175.000 kasus mengalami kejadian yang fatal.
Frekuensi, insidensi dan prevalensi dari sindrom vertebrobasiler bervariasi,
tergantung dari area spesifik dan sindorm yang terlibat.Stroke iskemik dengan angka
kejadian mencapai 80 85 %, dan 20% dari lesinya menyebabkan stroke iskemik di
sistem vertebrobasiler.
Pada umumnya perdarahan menyebabkan 15 20 % kejadian stroke. Walaupun
kebanyakan perdarahan intracerebral terjadi di area putamen dan thalamus, sekitar 7%
dari semua lesi hemoragik terjadi di otak kecil dan daerah inti dentate, dan sekitar 6%
dari lesi hemoragik terjadi di pons.
Angka mortalitas pasien dengan oklusi arteri basiler diketahui lebih dari 75 80%.
Namun, pasien oklusi arteri basiler yang bertahan dan sembuh menjadi cacat permanen.
A. Klasifikasi Stroke
Berdasarkan sistem pembuluh darah yang terkena :
Sistem pembuluh darah karotis
1. Sindroma arteri serebri media :
Hemiparese kontralateral. Kadang kadang hanya mengenai otot wajah
dapat terkena.
Inkontinensia urine
Grasp reflex (+)
Apraksia dan gangguan kognitif lainnya
Sistem pembuluh darah vertebrobasiler
1. Sindrom arteri serebri posterior
Gangguan penglihatan pada 1 atau 2 mata berupa kesukaran
Pengenalan terhada objek wajah, warna, simbol
Hemihipetesia, kadang kadang disestesia atau nyeri spontan
2. Sindroma arteri vertebrobasiler
Hemiparese kontralateral
Kelumpuhan saraf otak ipsilateral
3. Gangguan fungsi serebelum
Ataksia, hipotoni, vertigo, nistagmus dan muntah
Hemihipestesia
atherotrombosis,
emboli
atau
ketidakstabilan
hemodinamik.
Perdarahan intra serebral terjadi karena pecahnya pembuluh darah otak di dalam
parenkim otak, yang menyebabkan kebocoran darah ke parenkim otak, ruang cairan
serebrospinal (CSF) atau keduanya.Peningkatan
tekanan intrakranial
dapat
menyebabkan pergeseran dan heniasi otak dan dapat menekan batang otak.Pecahnya
pembuluh darah disebabkan kerusakan dindingnya akibat ateriosklerosis, peradangan
(sifilis), trauma atau kelainan kongenital (aneurisma, malformasi arteri vena).Hal
ini dipermudah bila terjadi peninggian tekanan darah secara tiba tiba.Perdaeahan
intra serebral juga sering timbul akibat pecahnya mikro aneurisma (Charcot
Bourchart) akibat hipertensi lama dan paling sering terjadi di daerah subkortikal,
serebellum dan pons.Perdarahan di daerah korteks sering akibat tumor yang berdarah
atau malformasi pembuluh darah yang pecah.
Perdarahan Sub Arachnoid
Perdarahan disini terutma pada sirkulus Wilisii & berasal dari aneurisma kongenital
yang pecah. Biasa terjadi pada usia lebih muda. Perdarahan sering berulang dan
menimbulkan vasospasme hebat sehingga terjadi infark otak.Aneurisma kongenital
biasa terjadi pada percabangan arteri dan berbentuk seperti buah berry. Penyebab lain
adalah malformasi arterivena yang pecah atau PSA sekunder yang berasal dari PIS
yang masuk ke dalam ruang sub arachnoidalis.
Secara Klinis PSA digolongkan dengan Hunt & Hess Scale :
Uraian
Grade
B. Patofisiologi
Trombosis (penyakit trombo oklusif) merupakan penyebab stroke yang paling
sering. Arteriosclerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah penyebab
utama trombosis selebral. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi, sakit kepala adalah
awitan yang tidak umum. Beberapa pasien mengalami pusing, perubahan kognitif atau
kejang dan beberapa awitan umum lainnya. Secara umum trombosis serebral tidak terjadi
secara tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia atau parestesia pada
setengah tubuh dapat mendahului awitan paralysis berat pada beberapa jam atau hari.
Proses aterosklerosis ditandai oleh plak berlemak pada pada lapisan intima arteria besar.
Bagian intima arteria sereberi menjadi tipis dan berserabut , sedangkan sel sel ototnya
menghilang. Lamina elastika interna robek dan berjumbai, sehingga lumen pembuluh
sebagian terisi oleh materi sklerotik tersebut. Plak cenderung terbentuk pada percabangan
atau tempat tempat yang melengkung. Trombi juga dikaitkan dengan tempat tempat
khusus tersebut. Pembuluh pembuluh darah yang mempunyai resiko dalam urutan yang
makin jarang adalah sebagai berikut : arteria karotis interna, vertebralis bagian atas dan
basilaris bawah. Hilangnya intima akan membuat jaringan ikat terpapar. Trombosit
menempel pada permukaan yang terbuka sehingga permukaan dinding pembuluh darah
menjadi kasar. Trombosit akan melepasakan enzim, adenosin difosfat yang mengawali
mekanisme koagulasi. Sumbat fibrinotrombosit dapat terlepas dan membentuk emboli,
atau dapat tetap tinggal di tempat dan akhirnya seluruh arteria itu akan tersumbat dengan
sempurna
C. Faktor Resiko
1. Hipertensi
Hipertensi berperanan penting untuk terjadinya infak dan perdarahan otak yang
terjadi pada pembuluh darah kecil.Hipertensi mempercepat aterosklerosis
sehingga mudah terjadi oklusi atau emboli pada pembuluh darah besar.
Hipertensi secara langsung dapat menyebabkan ateriosklerosis obstruktif, lalu
terjadi infakr lakuner dna mikroaneurisma. Hal ini dapat menjadi penyebab
utama PIS.Baik hipertensi sistolik maupun diastolic, keduanya merupakan
faktor resiko terjadinya stroke.
2. Penyakit Jantung
Gangguan fungsi jantung bertanggung jawab atas sekitar 30% dari penyebab
stroke.(13) Penyakit jantung tersebut adalah :
Penyakit katup jantung
Atrial fibrilasi
Aritmia
Hipertrofi jantung kiri (LVH)
3. Diabetes Melitus
Stroke Hemoragik
Mendadak
Mendadak
Sedang aktif
Istirahat
+++
Kejang
Muntah
+++
Penurunan kesadaran
2. Pemeriksaan Fisik
Sistem pembuluh darah perifer. Auskultasi pada arteri karotis untuk mencari
adanya bising (bruit) dan periksa tekanan darah di kedua lengan untuk
diperbandingkan.
Jantung. Perlu dilakukan pemeriksaan jantung yang lengkap, dimulai dengan
auskultasi jantung dan EKG 12-sadapan. Murmur dan distritmia merupakan hal
yang harus dicari, karena pasien fibrilasi atrium, infak miokard atrium akut, atau
penyakit katup jantung dapat mengalami embolus obstruktif.
kelainan diabetes.
Ekstremitas. Evaluasi ada tidaknya sianosis dan infark sebagai tanda tanda
embolus perifer.
Pemeriksaan neurologik. Sifat intactness diperlukan untuk mengetahui letak dan
perencanaan operasi.
Pemeriksaan MRI dapat menunjukkan infark pada fase akut dalam beberapa saat
setelah serangan yang dengan pemeriksaan CT Scan belum tampak. Sedangkan
pada perdarahan intra serebral setelah beberapa jam pertama yang mengikuti
perdarahan. Pemeriksaan ini cukup rumit serta memerlukan waktu yang lama
keganasan.
4. Berdasarkan skoring untuk menegakkan diagnosis stroke non hemoragic atau stroke
hemmoragic :
SIRIRAJ STROKE SCORE
No
1
Gejala / Tanda
Kesadaran
Penilaian
0 : Kompos mentis
Indek
Skor
X 2,5
1 : Mengantuk
2 : Semi Koma/Koma
2
Muntah
0 : Tidak
X2
X2
X 10 %
X (-3)
-12
-12
1 : Ya
3
Nyeri Kepala
0 : Tidak
1 : Ya
Tekanan darah
Diastolik
Ateroma
0 : Tidak
a. DM
b. Angina Pektoris
Kaludikasio
1 : Ya
Intermiten
6
Konstanta
diturunkan segera.
Kadar gula darah, Pasien strok seringkali merupakan pasien DM sehingga kadar
gula darah pasca strok tinggi. Akan tetapi seringkali terjadi kenaikan gula darah
Infeksi dan sepsis, merupakan komplikasi stroke yang serius, gangguan ginjal
dan hati.
Cairan, elektrolit, asam dan basa
Ulcer stress, yang sering menyebabkan terjadinya hematemesis dan melena.
Kronis :
Akibat tirah baring lama di tempat tidur bisa terjadi pneumonia, decubitus,
inkontinesia serta berbagai akibat imobilisasi lain.
Rekurensi strok
Gangguan social ekonomi
Gangguan psikologis
F. Terapi
Pengelolaan pasien stroke akut pada dasarnya dapat dibagi dalam :
1. Pengelolaan umum, pedoman 5 B :
Breathing : jalan nafas harus terbuka lega, hisap lendir untuk mencegah
kekurangan oksigen dengan segala akibat buruknya. Dijaga agar oksigenasi dan
ventilasi baik. Agar tidak terjadi aspirasi (gigi palsu dibuka). Intubasi pada pasien
dengan GCS <8. Pada kira kira 10% penderita pneumonia (radang paru)
merupakan penyebab kematian utama pada minggu ke 2 4 setelah serangan otak.
Penderita sebaiknya berbaring dalam posisi miring kanan kiri secara bergantian
bebas.
Bladder : hindari infeksi saluran kemih. Bilaterjadi retensio urine sebaiknya
supaya defekasi teratur, pasang NGT bila didapatkan kesulitan menelan makanan.
2. Terapi Medikamentosa :
integritas
sel,
memperbaiki
fluiditas
membrane
dan
AFASIA
Afasia adalah gangguan atau ketidakmampuan dalam berbahasa yang disebabkan oleh
gangguan pada otak, dimana gangguan tersebut bukan merupakan penyakit yang herediter,
sensorik yang belum dianalisis, khususnya informasi mengenai keserasian tubuh secara
spasial yang diperlukan untuk merencanakan gerakan-gerakan yang efektif. Kebanyakan
output dari area prefrontal ini masuk ke dalam sistem pengatur motorik yang berjalan melalui
bagian kaudatus dari lintasan umpan balik ganglia basalis-talamus guna melakukan
perencanaan motorik yang menghasilkan banyak komponen rangsangan gerakan yang
berurutan dan bersifat paralel.
Regio khusus pada korteks frontalis yang disebut area Broca memiliki lintasan saraf untuk
pembentukan kata. Area ini sebagian terletak di korteks prefrontal bagian posterior lateral dan
sebagian lagi terletak di area premotorik. Di area ini rancanfan dan pola motorik untuk
menyatakan kata-kata atau bahkan kalimat pendek dicetuskan dan dilaksanakan. Area ini
bekerja sama dengan area Wernicke di korteks asosiasi temporal.
Area asosiasi somatik, visual, dan auditorik semuanya saling bertemu satu sama lain di
bagian posterior lobus temporalis superior. Daerah pertemuan dari berbagai area interpretasi
sensorik ini terutama berkembang pada sisi otak yang dominan (sisi kiri pada hampir semua
orang yang bertangan kanan). Area ini sangat berperan pada fungsi pemahaman otak yang
lebih tinggi (fungsi luhur) dalam setiap bagian korteks serebri. Fungsi ini disebut intelegensia.
Oleh karena itu, daerah ini sering disebut dengan berbagai nama yang menyatakan bahwa
area tersebut memiliki kepentingan menyeluruh. Namun area ini lebih dikenal dengan nama
area Wernicke sesuai dengan nama penemunya.
Perangsangan listrik area Wernicke pada seseorang yang sadar kadang-kadang
menimbulkan pikiran yang sangat kompleks. Hal ini terutama terjadi apabila elektroda
perangsangnya dimasukkan cukup dalam di otak sehingga mencapai area talamus yang
berkaitan dengan area Wernicke. Dengan alasan ini dianggap bahwa aktivasi area Wernicke
dapat memanggil kembali pola ingatan yang rumit, yang melibatkan lebih dari satu modalitas
sensorik, walaupun sebagian besar ingatan individual disimpan di daerah mana saja. Hal ini
dianggap sesuai dengan kepentingan area Wernicke dalam menginterpretasikan arti yang
rumit dari bermacam-macam pengalaman sensorik.
Girus angularis merupakan bagian lobus parietalis posterior yang paling inferior, terletak
tepat di belakang area Wernicke dan di sebelah posterior bergabung dengan area visual lobus
oksipitalis. Bila daerah ini mengalami kerusakan sedangkan area Wernicke di lobus
temporalis tetap utuh, pasien masih dapat menginterpretasikan pengalaman auditoriknya
namun rangkaian pengalaman visual yang berjalan dari korteks visual ke area Wernicke
benar-benar terhambat. Oleh karena itu pasien mungkin masih mampu melihat kata-kata dan
bahkan tahu mengenai kata-kata itu tetapi tidak dapat menginterpretasikan arti dari kata-kata
itu. Keadaan ini disebut disleksia atau buta kata-kata (word blindness)
B. Etiopatofisiologi
Proses berbicara melibatkan dua stadium utama aktivitas mental : pembentukan buah
pikiran untuk diekspresikan berikut memilih kata-kata yang akan digunakan, kemudian
mengatur motorik vokalisasi dan kerja yang nyata dari vokalisasi itu sendiri.
Pembentukan buah pikiran dan bahkan pemilihan kata-kata merupakan fungsi area
asosiasi sensorik otak. Bila area Wernicke pada hemisfer dominan seorang dewasa mengalami
kerusakan, normalnya pasien akan kehilangan hampir seluruh fungi intelektual yang
berhubungan dengan bahasa atau imbolisme verbal seperti kemampuan membaca,
kemampuan memecahkan perhitungan matematika, dan bahkan kemampuan untuk berpikir
melalui problem yang logis. Bila area Wernicke mengalami kerusakan yang parah, pasien
mungkin masih dapat mendengar dengan sempurna dan bahkan masih dapat mengenali katakata namun tetap tak mampu menyusun kata-kata ini menjadi suatu pikiran yang logis.
Demikian juga, pasien masih mampu membaca kata-kata tertulis namun tidak mampu
mengenali gagasan yang disampaikan. Oleh karena itu pasien yang mengalami afasia
Wernicke atau afasia global tidak mampu memformulasikan buah pikirannya untuk
dikomuikasikan. Atau bila lesinya tidak terlalu parah, pasien masih mampu memformulasikan
pikirannya namun tak mampu menyusun kata-kata yang sesuai secara berurutan dan bersamasama untuk mengekspresikan pikirannya.
Kadang pasien mampu menentukan apa yang ingin dikatakannya namun tak dapat
mengatur sistem vokalnya untuk menghasilkan kata-kata selain suara ribut. Efek ini disebut
afasia motorik yang disebabkan oleh kerusakan pada area bicara Broca di regio fasial
prefrontal dan premotorik korteks serebri. Oleh karena itu, pola keterampilan motorik yang
dipakai untuk mengatur laring, bibir, mulut, sistem respirasi, dan otot-otot lainnya yang
dipakai untuk bicara dimulai dari daerah ini.
Afasia dapat terjadi karena degenerasi atau kerusakan pada otak yang melibatkan
hemisfer serebri kiri. Kebanyakan afasia dan kelainan yang berkaitan diakibatkan oleh stroke,
kerusakan pada bagian kepala, tumor serebri, atau penyakit degeneratif. Neuroanatomi dari
komprehensi dan produksi bahasa merupakan proses yang kompleks meliputi input auditori
dan pengkodean bahasa di lobus temporalis superior, analisis di lobus parietalis, dan ekspresi
di lobus frontalis, turun melalui traktus kortikobulbaris menuju kapsula interna dan batang
otak, dengan efek modulasi dari basal ganglia dan serebelum.
Sindroma afasia didefinisikan sebagai gangguan dalam mengekspresikan, merepetisi, dan
komprehensi bahasa. Gejala ini secara otomatis dikaitkan dengan gangguan pada hemisfer
serebri kiri. Pasien dapat merasa kesulitan dalam mengeluarkan kata-kata, dalam mengerti
kata-kata, dalam merepetisi, dan dalam membaca maupun mendengar kata-kata dalam
berbagai modalitas.
C. Klasifikasi
Ada dua klasifikasi pada afasia. Pertama afasia diklasifikasikan berdasarkan manifestasi
klinik, dan yang kedua berdasarkan distribusi anatomi dari lesi.
Berdasarkan manifestasi klinis nya, afasia dibedakan menjadi :
Afasia wernicke
Pemahaman terganggu terutama pada bahasa yang didengar dan dilihat, baik untuk 1 kata
maupun pada 1 kalimat utuh. Bahasa dapat diucapkan dengan lancar namun sangat parafasik
dan sirkumlokusius. Kecenderungan kesalahan parafasik sangat tinggi hingga terkadang
disebut neologisme, yang disebut juga jargon afasia. Pembicaraan biasanya mengandung
banyak kata sifat namun sedikit mengandung kata benda atau kata kerja. Pembicaraan
banyak, namun tanpa arti.
Penggunaan bahasa tubuh tidak banyak membantu komunikasi. Pasien tampak mengerti
bahwa pembicaraannya tidak dapat dimengerti oleh orang lain sehingga pasien tampak
marah dan tidak sabar ketika pemeriksa tidak dapat mengerti maksud dari pembicaraannya.
Pada pasien dengan afasia wernicke dapat disertai dengan agitasi motorik dan perilaku
paranoid. Pasien dengan afasia wernicke tidak dapat mengekspresikan pemikiran mereka
melalui kata-kata yang sesuai dan tidak dapat memahami arti dari setiap kata yang masuk.
Lesi ini terletak di area wernicke. Etiologi paling sering dari afasia wernicke adalah emboli
dari arteri serebri media. Etiologi lain bisa berasal dari perdarahan intraserebral, trauma
kepala berat, dan tumor. Adanya hemianopia kanan atau quadrantanopia superior dan
pendataran sudut nasolabial kanan dapat mempertegas adanya lesi di area wernicke.
Afasia broca
Pembicaraan tidak lancar, memerlukan usaha, dan banyak diinterupsi oleh jeda
yang dibuat pasien dalam rangka mencari kata-kata, serta seringkali pasien juga menderita
disartria. Pengeluaran kata-kata sangat terbatas sehingga terkadang pasien hanya mau
menjawab dengan kata ya atau tidak. Penamaan benda dan kemampuan merepetisi
terganggu. Meski begitu, pemahaman bahasa masih intak kecuali untuk kalimat yang sulit
yang diucapkan dengan suara yng pelan atau tanpa intonasi. Kemampuan membaca juga
dipertahankan namun seskali pasien kesulitan membaca kata imbuhan atau tatabahasa
yang rumit. Terkadang, sekalipun pasien menderita disartria, pasien dapat bernyanyi
dengan baik. Hal inilah yang sedang diuji coba dalam terapi afasia broca. Defisit
neurologis yang sering menyertai meliputi kelemahan pada wajah bagian kanan,
hemiparesis atau hemiplegia, dan buccofasial apraksia. Penyebab paling sering ialah
infark yang disebabkan oleh sumbatan pada arteri serebri media.
Afasia global
Pengeluaran kata tidak lancar dan pemahaman juga terganggu. Penamaan, repetisi,
membaca, dan menulis juga terganggu. Sindrom ini menyatakan adanya disfungsi dari
broca dan wernicke. Sindrom ini juga dapat menjadi gejala awal dari afasia wernicke
yang kemudian berkembang menjadi afasia wernicke yang klasik.
Afasia Konduktif
Pengeluaran kata-kata lancar namun parafasik, pemahaman bahasa masih baik,
namun repetisi sangat terganggu. Penamaan dan pemulisan juga sangat terganggu. Jika
pasien diminta untuk membaca dengan suara keras, pasien akan mengalami kesulitan,
namun pasien dapat mengerti apa yang dibacanya.
Afasia terisolasi
Sindrom yang langka ini melibatkan dua transkortikal afasia. Pemahaman pasien
sangat terganggu dan tidak ada arti dalam setiap kata yang diucapkan oleh pasien. Pasien
dapat menjadi ekolalia, mengindikasikan adanya mekanisme repetisi yang masih intak.
Lesi biasanya mengenai area sekitar frontal, parietal, dan temporal namun tidak mengenai
area broca maupun wernicke.
Afasia anomik
Pada afasia jenis ini, fungsi yang terganggu yakni penamaan. Artikulasi,
pemahaman, dan repetisi masih baik namun pasien tidak dapat menyebutkan nama dari
benda-benda dan pasien kesulitan dalam mengeja kata-kata. Seringkali output bahasa
pasien parafasik, sirkumlokusius, dan tidak bermakna. Kelancaran bahasa terganggu
ketika pasien berusahan menyebutkan nama benda-benda. Afasia anomik banyak ditemui
pada kasus trauma kepala, ensefalopati metabolik, dan penyakit alzheimer.
Sindrom Gerstmann's
Sindrom gerstmann meliputi kombinasi dari akalkulia, disgrafia, anomia jari, dan
ketidakmampuan membedakan kiri dan kanan. Untuk itu, pada pembuatan diagnosis
sindrom gertmann, penting untuk melihat apakah pasien dapat membedakan posisi kiri
dan kanan. Sindrom gertmann biasanya diakibatkan kerusakan pada lobus parietalis
inferior hemisfer serebri sinistra.
Pada klasifikasi afasia berdasarkan distribusi anatomi dari lesi, afasia dibedakan atas :
Sindrom afasia perisylvii : Meliputi Afasia broca, afasia wernicke, dan afasia
konduksi
Satu lagi klasifikasi afasia yang jarang digunakan, yakni yang merujuk pada linguistik. Afasia
pada klasifikasi ini dibedakan atas:
Afasia sintaktik
Afasia semantik
Afasia pragmatik
Afasia jargon
Afasia global
D. Gejala Afasia
Gejala afasia
Tipe Afasia
Pembicaraan
Komprehensia Repetisi
Broca
Tidak
lancar, Tetap baik
butuh banyak
usaha
dalam
berbicara,
Gejala
berkaitan
Tipe Afasia
Pembicaraan
Komprehensia Repetisi
Gejala
berkaitan
kurangnya suku
kata, kurangnya
output namun
dapat
mencetuskan
ide
Wernicke
Lancar,
fasih Sangat
berbicara,
terganggu
artikulasi baik,
tapi tanpa arti
Tidak
Hemiatau Temporal,
dapat
quadrantanopia, infrasylvian
dilakukan tidak ada paresis termasuk girus
angular
dan
supramarginal
Konduksi
Lancar
Baik
Tidak
Biasanya tidak Supramarginal
dapat
dapat dilakukan gyrus
atau
dilakukan
insula
Global
Sedikit,
lancar
tidak Sangat
terganggu
Tidak
Hemiplegia
dapat
dilakukan
Sebagian besar
perisylvian atau
lesi
terpisah
pada frontal dan
temporal
Baik
Sangat
baik
Bervariasi
Anterior
superior
Broca
Transkortikal Lancar
sensori
Tidak
dapat Sangat
dilakukan
baik
seperti halnya
pada Wernicke
Bervariasi
Area di sekitar
Wernicke
Tuli
murni
Terganggu
kata Sedikit
parafasik
normal
atau
atau
area
Buta
kata Normal
tapi Normal
murni (aleksia tidak
dapat
tanpa agrafia) bersuara keras
Normal
Sebagian dari
area Broca
Anomic
Normal
Lobus
Kesulitan
Normal
Hemianopia
Girus kalkarina
kanan;
tidak dan
girus
dapat membaca angularis
tulisan
tangan
sendiri
Bervariasi
Tipe Afasia
Pembicaraan
afasia
mencari
kata
Komprehensia Repetisi
Gejala
berkaitan
kata-
temporalis
bagian dalam
Afasia
Karakteristik respon dari pasien dengan afasia pada lokasi lesi yang spesifik
(Pasien diminta menyebutkan kata chair)
Tipe afasia dan lokasi lesi
"Tssair"
Afasia sensori (area 40, 41, and 42; Afasia "Flair . . . err, swair . . . tair."
konduktif)
Anomik (Girus angularis)
E. Diagnosis
Anamnesis
Afasia muncul secara mendadak pada pasien dengan stroke atau cedera kepala.
Pasien dengan penyakit neurodegeneratif atau lesi tumor dapat menderita afasia secara
perlahan. Tanda-tanda awal yang mencirikan lesi atau defisit yang berasal dari area
korteks atau jaras yang berdekatan dengan posisi area berbahasa harus diwaspadai. Tandatanda tersebut meliputi hemianopia, defisit dari fungsi motorik maupun sensori, atau
defisit neurobehavioral seperti alexia, agrafia, akalkulia, atau apraksia. Pada pasien harus
ditanyakan riwayat kejang atau episode afasia sebelumnya. Terkadang, sekalipun
insidensinya rendah, afasia dapat diakibatkan oleh ensefalitis herpes simpleks. Ciri dari
penyakit ini meliputi riwayat demam, kejang, nyeri kepala, dan perubahan perilaku.
Riwayat nyeri kepala baik akut maupun kronik dapat menjadi petunjuk penting
untuk mendiagnosa kondisi tertentu seperti tumor otak maupun malformasi arteri vena.
Pada pasien harus ditanyakan tentang riwayat gangguan pada memori atau riwayat
gangguan dalam melakukan kegiatan sehari-hari karena gangguan berbahasa bisa hanya
merupakan satu bagian dari kondisi neurodegeneratif yang menyeluruh seperti demensia.
Perlu ditanyakan juga apakah pasien kidal atau tidak, riwayat hipertensi, perdarahan otak
sebelumnya, penyakit jantung, penyakit vaskular otak, atau amiloid angiopati.
Orang normal umumnya dapat menyebutkan 36-60 kata yang berawalan dengan
huruf tertentu, tergantung dari tingkat intelegensi, usia, dan tingkat pendidikan.
Kemampuan yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk setiap huruf merupakan
petunjuk adanya penurunan kelancaran berbicara verbal namun perlu diperhatikan pada
pasien dengan tingkat pendidikan yang tidak lebih dari sekolah menengah pertama.
Dengan
mengajak
pasien
bercakap-cakap
dapat
dinilai
o Menunjuk : Pasien diminta untuk menunjuk mulai dari benda yang mudah
dipahami kemudian berlanjut ke benda yang lebih sulit. Contohnya : tunjukkan
lampu kemudian tunjukkan gelas yang ada di samping televisi. Pemeriksaan
sederhana ini dapat dilakukan di samping tempat tidur pasien. Sekalipun kurang
mampu menilai kemampuan pemahaman dengan baik sekali, pemeriksaan ini
dapat memberikan gambaran kasar mengenai gangguan serta beratnya.
Pemeriksaan repetisi
Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang mula-mula
kata yang sederhana (satu patah kata) kemudian ditingkatkan menjadi banyak (satu
kalimat). Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini didapatkan
parafasia, salah tatabahasa, kelupaan, atau penambahan. Orang normal umumnya dapat
mengulang kalimat yang mengandung 19 suku kata. Banyak pasien afasia mengalami
kesulitan dalam mengulang, namun ada juga yang menunjukkan kemampuan yang baik
dalam mengulang, bahkan lebih baik daripada berbicara spontan. Bila kemampuan
mengulang terpelihara, maka kelainan patologis sangat mungkin tidak berada di area
perisylvii. Umumnya daerah ekstrasylvian yang terlibat dalam kasus afasia tanpa defek
repetisi terletak di daerah perbatasan vaskuler (watershed area)
menamai, dapat dibantu dengan memberikan suku kata pemula atau dengan menggunakan
kalimat penuntun. Yang penting ialah sampainya pasien kepada kata yang dibutuhkan,
yakni kita nilai kemampuan pasien dalam menamai objek. Ada pula pasien yang
mengenal objek dan mampu melukiskan kegunaannya namun tidak dapat menamainya.
Pertama-tama terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh menyebutkan nama
beberapa objek juga warna dan bagian dari objek tersebut. Kita dapat menilai dengan
memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca mata, kemudian bagian dari arloji, lensa
kaca mata. Objek atau gambar yang dapat digunakan misalnya meja, kursi, lampu, pintu,
jendela. Bagian dari tubuh misalnya mata, hidung, gigi, ibu jari, lutut. Warna misalnya
merah, biru, hijau, kuning, kelabu. Bagian dari objek contohnya jarum jam, sol sepatu,
kepala ikat pinggang, bingkai kaca mata.
Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan cepat atau
lamban, atau tertegun, atau menggunakan sirkumlokusi, parafasia, neologisme, dan
apakah ada perseverasi. Di samping menggunakan objek, dapat pula digunakan gambar
objek.
Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, perlu diperhatikan apakah
pasien dapat memilih nama objek tersebut dari beberapa pilihan nama objek. Pada
pemeriksaan ini perlu digunakan kurang lebih 20 nama objek sebelum menentukan bahwa
tidak didapatkan gangguan.
Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang erat.
Sebelum menilai bahasa perlu ditanyakan pada pasien apakah ia kidal atau menggunakan
tangan kanan. Banyak orang kidal telah diajarkan untuk menulis dengan tangan kanan,
oleh karena itu observasi cara menulis saja tidak cukup untuk mennetukan apakah ia
seorang yang kidal atau kandal. Pasien dapat juga diminta memperagakan gerakan tangan
yang digunakan untuk memegang pisau, melempar bola, dan sebagainya.
F. Penatalaksanaan
Terapi berbicara dan berbahasa merupakan terapi utama dalam afasia. Waktu dan
teknik pelaksanaan intervensi pada pasien afasia bervariasi luas karena penelitian yang
dilakukan sangat minim. Namun dalam beberapa penelitian telah terbukti bahwa teapi
berbicara dan berbahasa dapat meningkatkan prognosis pasien afasia. Kesulitan yang
dialami pasien dalam menjalani terapi ini sangat beragam karena berbeda dari individu ke
individu.
Beberapa hal yang hasur diperhatikan saat melakukan terapi pada pasien afasia :
Banyak pasien afasia menderita depresi oleh karena itu pasien afasia memerlukan
dukungan psikologis. Ketepatan diagnosis, terapi, dan dukungan emosional dapat sangat
berguna bagi pasien.
Terdapat beberapa teknik terapi khusus untuk pasien dengan masalah artikulasi, masalah
kosa kata, minimnya ilmu kalimat, dan kurangnya intonasi. Dalam kata lain, terapi pada
pasien afasia dapat divariasi agar sesuai dengan kebutuhan pasien
Teknologi baru yang dinamakan stimulasi magnetik transkranial sedang diuji coba pada
pasien afasia dan sejauh ini menunjukkan hasil yang baik.
BAB III
ANALISA KASUS
A. ILUSTRASI KASUS
Pasien laki-laki usia 60 tahun datang ke IGD RSUP Persahabatan dengan keluhan
hemiparese kanan, serta gangguan dalam melakukan komunikasi.
1 hari SMRS, ketika pasien sedang berada di kamar mandi, tiba-tiba pasien terjatuh
dan didapatkan pasien tidak dapat menggerakkan anggota gerak sebelah kanan. Pasien
tidak mengeluhkan perasaan kesemutan, ataupun sakit kepala sebelum kejadian. Pada
pasien tidak didapatkan memar bekas luka terbentur pada bagian wajah maupun kepala.
Saat itu pasien diketahui mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, dimana tidak bisa
menjawab ketika orang lain mengajak berbicara. Kemudian pasien dibawa ke IGD RSUP
Persahabatan. Keadaan pasien saat ini composmentis dengan kelemahan ekstremitas
kanan. Pasien diketahui memiliki kebiasaan merokok sebelum di diagnose dokter
memiliki penyakit penyumbatan pembuluh darah jantung, yang akhirnya pada sekita 2
tahun yang lalu pasien melakukan operasi pemasangan ring. Selain memiliki riwayat
penyakit jantung, pasien diketahui memiliki riwayat penyakit hipertensi. Riwayat diabetes
mellitus maupun riwayat stroke sebelumnya disangkal.
Dari hasil pemeriksaan fisik di IGD, didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit
berat, tanpa disertai adanya penurunan kesadaran nilai GCS E 4M6Vafasia, tekanan darah
didapatkan 160/100 mmHg, nadi 96x / menit, pernapasan : 20 x/menit dan suhu : 37 oC.
pemeriksaan kepala hingga ekstremitas didapatkan dalam batas normal. Dari pemeriksaan
neurologis didapatkan adanya wajah miring ke kiri, hemiparese kanan, reflex fisiologis
positif, dalam keadaan diam lidah tampak miring ke kiri. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan yaitu pemeriksaan laboratorium dengan hasil : peningkatan leukosit, netrofil
dan limfosit. Analisa gas darah terjadi penurunan PCO2, HCO3, TCO2, dan Std HCO3 dan
terjadi peningkatan PO2 sertaSaturasi O2danBase excess negatif.Elektrolit didapatkan
peningkatan dari ureum.Berdasarkan hasil CT-Scan didapatkan kesan gambara infark di
basal ganglia kanan dan paraventrikel lateralis kanan.
B. ANALISA KASUS
Berdasarkan hasil anamnesa didapatkan bahwa pasien mengalami hemiparese dan
afasia global. Berdasarkan literature, gejala seperti ini menunjukkan adanya tanda-tanda
stroke. Sedangkan keluhan kesulitan dalam berkomunikasi, atau sering disebut sebagai
afasia, merupakan satu dari gejala klinis stroke dengan predileksi gangguan pada hemisfer
kiri otak, dimana sisi kiri otak merupakan pusat pengaturan utama bahasa bagi kebanyaan
orang.
Tingkat kesadaran pada pasien ini tidak mengalami penurunan, dimana ini mengartikan
bahwa pusat kesadaran di batang otak tidak mengalami gangguan. Selain itu, kondisi
kesadaran yang tetap terjaga (atau tidak mengalami penurunan merupakan suatu pembeda
yang cukup sering dipakai untuk menentukan bahwa pasien ini kemungkinan mengalami
strok iskemi atau non hemoragik.
Berdasarkan riwayat penyakit dahulu, pasien diketahui memiliki riwayat penyakit
jantung dan pernah menjalani operasi pemasangan ring di RS Harapan Kita. Riwayat
kondisi ini disertai dengan riwayat hipertensi merupakan factor resiko terbesar untuk
terjadinya stroke pada pasien. Dimana diketahui bahwa insiden thromboemboli disebabkan
oleh riwayat penyakit jantung sebelumnya pada pasien dengan stroke nonhemoragik.
Dari hasil pemeriksaan fisik di IGD, didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit
berat, tanpa disertai adanya penurunan kesadaran nilai GCS E4M6Vafasia, Dalam
pemeriksaan
dimana pasien tidak dapat mengerti dengan instruksi yang ditujukan kepadanya, dan
pasien tidak dapat mengeluarkan kata maupun kalimat selama pemeriksaan. Kondisi
seperti ini menunjukkan bahwa pasien mengalami kondisi afasia, baik afasia sensorik
maupun afasia motorik. Afasia merupakan suatu gejala yang ditunjukkan pada kondisi
keterlibatan hemisfer kiri pada proses patologis, entah karena iskemik yang berujung
infark maupun karena perdarahan yang mengganggu kerja dari hemisfer kiri otak yang
berfungsi sebagai pusat pengaturan bahasa. tekanan darah didapatkan 160/100 mmHg,
nadi 96x / menit, pernapasan : 20 x/menit dan suhu : 37oC. pemeriksaan kepala hingga
ekstremitas didapatkan dalam batas normal, ini untuk mengesampingkan ada tidaknya
jejas cedera sebelumnya pada pasien yang mungkin dapat menyebabkan stroke.
Dari pemeriksaan neurologis didapatkan adanya wajah miring ke kiri, hemiparese
kanan, reflex fisiologis positif, dalam keadaan diam lidah tampak miring ke kiri. Secara
umum, kelainan pada sisi kanan tubuh ini semakin memperjelas bahwa letak gangguan
melibatkan sisi kiri otak pasien.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu pemeriksaan laboratorium dengan hasil :
peningkatan leukosit, netrofil dan limfosit. Analisa gas darah terjadi penurunan PCO 2,
HCO3, TCO2, dan Std HCO3 dan terjadi peningkatan PO2 sertaSaturasi O2danBase excess
negatif.
Berdasarkan hasil CT-Scan didapatkan kesan gambaran infark di basal ganglia kanan
dan paraventrikel lateralis kanan. hasil ekspertise tentang CT-scan sangat tidak sesuai
dengan gambaran klinis yang Nampak pada pasien, dimana dengan gambaran hemiparese
kanan, dan deficit neurologis lainnya yang Nampak, mestinya kelainan terletak pada sisi
kiri otak, bukan pada sisi kanan. hal seperti ini bisa terjadi akibat kesalahan proses
ekspertise pada hasil gambaran CT-Scan pada pasien ini.
Diagnosis Stroke Non Hemoragik ditegakkan berdasarkan pada anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Untuk diagnosa etiologi ini ditegakkan karena thromboemboli yang terjadi pada
hemisfer kiri otak. Sesuai dengan factor resiko thromboemboli yaitu adanya riwayat
penyakit jantung dan hipertensi sebelumnya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan CT Scan dapat dipastikan tidak adanya perdarahan
sehingga kondisi Iskemi yang menyebabkan infark-lah yang sekiranya dipastikan dapat
menjadi penyebab dari kelainan yang terjadi pada pasien ini.
Terapi Farmakologi :
IVFD
Injeksi Piracetam 1 x 1200 mg IV
Injeksi CPG 1 x 75 mg IV