Anda di halaman 1dari 21

BAB II

GEOMORFOLOGI

2.1

Fisiografi Regional
Menurut Van Bemmelen (1949), secara umum fisiografi pulau
Jawa dikelompokan menjadi empat yaitu : Jawa Barat (Barat Cirebon),
Jawa Tegah (antara Cirebon dan Semarang), Jawa Timr (antara Semarang
dan Surabaya), Tepi Jawa Timur dan Pulau Madura. Daerah pemetaan
terletak pada fisiografi Jawa Tengah.
Bagian tengah Jawa Tengah memiliki luas lebih kecil bila
dibandingkan dengan bagian barat dan timur Pulau Jawa, hanya sekitar
100-120km, yaitu dari Cirebon sampai Semarang. Pembahasan fisiografi
secara regional di Jawa Tengah telah dilakukan oleh Van Bemmelen
(1949) yang membagi fisiografi, (Gambar 2.1). Enam Zona fisiografi
tersebut adalah Dataran Pantai Utara Jawa Tengah, Rangkaian Pegunungan
Serayu Utara, Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan, Dataran Pantai
Selatan Jawa Tengah, Gunung Api Kuarter dan Zona Depresi Jawa. Daerah
penelitian termasuk pada Zona Pegunungan Serayu Utara. Dibawah ini
akan di jelaskan empat dari enam zona fisiografi tersebut diantaranya :

2.1.1

Dataran Pantai Utara Jawa Tengah


Dataran Pantai Utara Jawa Tengah memiliki luas sekitar 40km.
Wilayah ini dibatasi oleh Lembah Pemali yang merupakan pemisah antara
Zona Bogor di Jawa Barat dengan rangkaian Pegunungan Utara Jawa
Tengah. Sekitar 20km ke arah timur, dari bagian selatan Tegal hingga
Pekalongan, secara berangsur daratan pegunungan berubah menjadi
dataran pantai dan menjadi zona fisiografi tersendiri pada wilayah Central
Java yaitu Dataran Pantai Utara Jawa Tengah.

2.1.2

Rangkaian Pegunungan Serayu Utara


Zona Serayu Utara memiliki lebar 30-50 km. Di selatan Tegal,
zona ini tertutupi oleh produk gunung api kwarter dari Gunung Slamet. Di
bagian

tengah

ditutupi

okeh

produk

volkanik

kwarter

Gunung

Rogojembangan, Gunung Ungaran dan Gunung Dieng. Zona ini menerus


ke Jawa Barat menjadi Zona Bogor dengan antara keduannya terletak di
sekitar Prupuk, Bumiayu hingga Ajibarang, persis di sebelah barat Gunung
Slamet, sedangkan kearah timur membentuk Zona Kendeng. Zona
Antiklinorium Bogor terletak di selatan Dataran Aluvial Jakarta berupa
Antiklinorium dari lapisan Neogen yang terlipat kuat dan terintrusi. Zona
kendeng meliputi daerah yang terbatas antara Gunung Ungaran hingga
daerah sekitar Purwodadi dengan singkapan batuan tertua berumur
Oligosen-Miosen Bawah yang diwakili oleh Formasi Pelang.

10

2.1.3

Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan


Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan terdiri dari 2 (dua) bagian,
yaitu bagian baratnya di batasi oleh Gunung Kebanaran yang diperkirakan
sebagai tinggian dari Zona Bandung atau sebagai elemen struktur baru
yang ada di pulau Jawa Tengah. Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan
memisahkan Zona Bogor yaitu pada dataran Majenang dan bagian atas
dari Ciahur dan Pasir.
Bagian timur dari rangkaian Pegunungan Serayu Selatan
membentuk tinggian geantiklinal dalam Zona Depresi Bandung, yang
dapat disebandingkan dengan tinggian dari pegunungan Bayah di bagan
baratnya. Bagian timur dari Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan
dipisahkan oleh Lembah Jatilawang.

2.1.4

Dataran Pantai Selatan Jawa Tengah


Dataran Pantai Selatan Jawa Tengah memiliki luas sekitar 10-25
km. Bagian dari dataran pantai selatan ini membentuk kontak yang tajam
dengan pantai selatan Jawa Barat dan Jawa Timur, berada pada sekitar
10m dpl. Dataran pantai ini meluas hingga ke Zona Bandung di Jawa
Barat pada bagian tengahnya terdapat Gunung Karangbolong yang
memiliki fisiografi dan struktur serupa dengan Pegunungan Selatan di
Jawa Barat dan Jawa timur.
Berdasarkan peta fisiografi Jawa Tengah menurut Van Bemmelen
(1949) diatas, daerah penelitian termasuk dalam Antiklinorium Kendeng

11

atau Zona Kendeng yang merupakan kelanjutan dari zona Serayu Utara,
yang membentang sejauh 250 km dengan lebar 40 km.

Gambar 2.1 Fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen, 1949)


2.2

Geomorfologi Daerah Penelitian


Worcester (1939) mendefinisikan geomorfologi sebagai diskripsi
dan tafsiran dari bentuk roman muka bumi. Definisin Worcester ini lebih
luas dari sekedar ilmu pengetahuan tentang bentangalam (the science of
landforms), sebab termasuk pembahasan tentang kejadian bumi secara
umum, seperti pembentukan pembahasan tentang kejadian bumi secara
umum, seperti pembentukan cekungan lautan (ocean basin) dan paparan
benua (continental platform), serta bentuk bentuk struktur yang lebih kecil
dari yang disebut diatas, seperti plain, plateau, mountain dan sebagainya.
Lobeck (1939) dalam bukunya Geomorphology : An Introduce to the
study of landscape. Landscape yang dimaksud disini adalah bentangalam

12

alamiah (natural landscape). Dalam mendiskripsi dan menafsirkan bentuk


bentuk bentang alam (landform atau landscapes) ada tiga faktor yang
diperhatikan dalam mempelajari geomorfologi, yaitu: struktur, proses
dan stadia. Ketiga faktor tersebut merupakan satu kesatuan dalam
mempelajari geomorfologi.
Seluruh kenampakan bentang alam di permukaan bumi merupakan
bagian dari relief yang beragam. Relief itu sendiri memiliki arti yang
cukup luas baik yang berada di benua maupun yang ada di dasar lautan.
Berdasarkan atas pengertian yang luas tersebut, maka relief bumi dapat
dikelompokkan atas 3 golongan besar, yaitu:
1. Relief Orde 1 (Relief of the first order)
2. Relief Orde 2 (Relief of the second order)
3. Relief Orde 3 (Relief of the third orde)
Pengelompokan atas ketiga jenis relief diatas didasarkan pula atas
kejadian masing masing. Karena itu pula didalamnya terkandung unsur
waktu relatif.
Relief orde 1 yang terdiri atas Paparan Benua (Continental
Platform) dan Cekungan Lautan (Ocean Basin). Bentuk bentuk dari orde
pertama ini mencangkup dimensi yang sangat luas dimuka bumi. Relief
orde pertama diketahui sangat erat hubungannya dengan proses kejadian
bumi, dengan demikian teori teori tentang geologi, astronomi, fisika dan
matematika, seperti Planetesimal Hypothesis, Liquid Earth Theories
13

maupun Continental Drift Theory menjadi bagian yang tak bisa


terpisahkan dalam pembentuka relief orde pertama.
Relief orde II biasanya disebut juga sebagai bentuk yang
membangun (constructional form), hal ini disebabkan relieh orde kedua
dibentuk oleh gaya endogen sebagai gaya yang bersifat membangun
(Constructional Force). Kawasan benua benua dan cekungan cekungan
laut merupakan tempat keberadaan atau terbentuknya satuan satuan dari
relief orde kedua, seperti dataran, plateau dan pegunungan. Gaya endogen
yang berasal dari dalam bumi dapat mengakibatkan terjadinya perubahan
perubahan diatan muka bumi. Adapun gaya endogen dapat berupa :
1.

Epirogenesa ( berasal dari bahasa Latin: epiros = benua dan genesis


= pembentukan), proses epirogenesa yang terjadi pada daerah yang
sangat luas maka akan terbentuk suatu benua, dan pembentukan
benua dikenal sebagai continen building force.

2.

Orogenesa (berasal dari bahasa latin: Oros = gunung, dan genesis =


pembentukan), proses orogenesa yang terjadi pada daerah yang
luas akan membentuk suatu pegunungan dan dikenal sebagai
mountain building force.
Relief Orde III dikenal juga sebagai bentuk yang bersifat

menghancurkan (Destructional forms), hal ini disebabkan karena relief ini


dibentuk oleh proses proses eksogen. Bentukan bentangalam yang
berasal dari proses proses eksogenik banyak dijumpai pada relief orde

14

ketiga dan jumlah tak terhitung banyaknya dimana bentuk bentuk


bentangalam ini memperindah dan menghiasi bentuk bentuk
bentangalam konstrusional dari relief orde kedua. Proses eksogenik akan
meninggalkan bentuk bentuk lahan hasil erosi, seperti: Valleys dan
Canyons, meninggalkan sisa sisa residu membentuk bentangalam seperti
tiang (peak landform) dan kolom kolom batuan yang tahan terhadap
erosi, sehingga masih menyisakan bentuk bentuk seperti diatas,
disamping itu juga akan meninggalkan bentuk bentuk pengendapan
(depositional forms), seperti delta atau tanggul. Relief orde ketiga ini dapat
di kelompokan berdasarkan energi yang merusak atau agen yang bersifat
membangun. Ada 4 (empat) agen yang utama, yaitu sungai (streams),
glester (glaciers), gelombang (waves) dan angin (winds), sedangkan
pelapukan merupakan pemeran utama bagi keempat agen tersebut.
Secara umum geomorfologi daerah penelitian memperlihatkan dataran dan
bergelombang. Namun pengklasifikasian bentang alam ini, dilakukan dengan
mengacu pada parameter-parameter relief yang disusun oleh Van Zuidam (1983)
(Tabel 2.1) yang membagi secara deskriptif. Analisa genetik daerah penelitian ini
menggunakan Klasifikasi Brahmantyo dan Bandono (2006) (Gambar 2.2), yaitu
bentuk muka bumi yang dibagi menjadi 9 (sembilan) Bentuk Muka Bumi (BMB).
Menurut Brahmantyo dan Bandono (2006), klasifikasi ini pada prinsipnya adalah
klasifikasi pada peta berskala dasar 1:25.000 dan didasarkan kepada desktiptif
gejala-gejala geologis, baik diamati melalui peta topografi, Gambar udara,
maupun citra satelit, ataupun dari pengamatan morfologi langsung di lapangan.

15

Tabel 2.1 Klasifikasi relief berdasarkan Van Zuidam (1983)


Satuan Relief
Datar
Miring Landai
Bergelombang Miring
Perbukitan Bergelombang
Perbukitan Tersayat Tajam
Pegunungan Tersayat Tajam
Pegunungan Sangat Curam

Kelerengan (%)
02
37
8 13
14 20
21 55
56 140
> 140

16

Beda Tinggi (m)


<5
5 50
25 75
50 200
200 500
500 1000
> 1000

Gambar 2.2 Klasifikasi Bentuk Muka Bumi (Brahmantyo dan Bandono, 2006)
17

Berdasarkan deskriptif pada relief, ketinggian, harga kemiringan


lereng (Van Zuidam; 1983) serta klasifikasi Bentuk Muka Bumi (Gambar
2.2) untuk pengamatan peta skala 1 : 12500 sebagai dasar pembagian suatu
geomorfologi, maka daerah pemetaan dapat dibagi menjadi dua satuan
geomorfologi (Gambar 2.3) yaitu (1) Satuan Geomorfologi Struktral dan (2)
Satuan Geomorfologi Denudasional

18

Gambar 2.3 Peta Geomorfologi daerah Penelitian

19

Tabel 2.2 Geomorfologi daerah penelitian


Pembagi
an
Satuan
Geomorf
ologi

Lu
as
(%
)

Relief

Slo
pe

h(m)
h

Satuan
Geomorfol
ogi
Struktural
Satuan
Geomorfol
ogi
Denudasio
nal

26

75143.
75

74

7295

68.
75

14 20
%

23

68%

Pola
Penyeba
ran

Genetik

Litologi

Membu
lat

Sejajar

Hampir
Datar

Pola
Aliran

Stadi
a
Sung
ai

V-U

SubDendri
tik

Dewa
sa Tua

Dewa
sa Tua

SubDendri
tik

Tua

Tua

Bentuk
Penamp
ang

Bentuk

Zigzag

Pola Aliran Sungai

Struktur
Lipatan

Denudasi
onal

20

Batupasir
Karbonatan
s.s Batu
Lempung
Karbonatan
Batupasir
Karbonatan,
Batu Napal

Stadi
a
Daer
ah

21

2.2.1

Satuan Geomorfologi Struktural


Satuan Geomorfologi ini (Gambar 2.1) secara deskriptif dicirikan
dengan beda tinggi 68.75 meter dan nilai kemiringan antara 14 20% serta
ketinggian mencapai

75-143.75. Satuan geomorfologi ini mendominasi

daerah pemetaan yaitu sekitar 26% dan meliputi daerah Juworo, Juworo
Kulon, Monggot, Jumbleng. Bentuk konturnya adalah membulat dan pola
penyebaran konturnya adalah zig zag. Stadia sungai pada satuan
geomorfologi ini adalah dewasa tua dan stadia daerah pada satuan
geomorfologi ini adalah dewasa tua.
Satuan ini disusun oleh satuan batupasir karbonatan selang seling
batu lempung karbonatan. Proses endogen yang bekerja berupa struktur
lipatan dimana memiliki kedudukan perlapisan dip yang berlawanan dan
sesar geser. Proses eksogen yang bekerja pada daerah ini mengikiskan
permukaan di atasnya sehingga membentuk bentang alam seperti sekarang.

Foto 2.1 Satuan Geomorfologi Struktural

22

2.2.2

Satuan Geomorfologi Denudasional


Satuan geomorfologi ini (Foto 2.2) secara deskriptif dengan beda
tinggi 23 meter dan nilai kemiringan antara 6 8% serta ketinggian mencapai
72 95. Satuan geomorfologi ini memiliki persentase luas sekitar 26% dari
total seluruh daerah penelitian dan meliputi daerah Karangmojo, Sambirejo,
Goprok, Dawung, Karangampo, Gemantar, Ngargosari dan sekitarnya.
Bentuk konturnya adalah hampir datar dan pola penyebarannya sejajar. Stadia
sungai pada daerah ini adalah tua dan stadia daerah pada satuan geomorfologi
ini adalah tua.
Satuan ini disusun oleh satuan batupasir karbonatan, batu napal dan
batupasir karbonatan selang seling batu lempung karbonatan. Proses
endogen pada daerah ini adalah patahan naik, sesar geser. Proses eksogen
yang bekerja berupa erosi yang mengikiskan permukaan sehingga
membentuk suatu bentuk bentang alam seperti sekarang.

Foto 2.2 Satuan Geomorfologi Denudasional

23

2.3 Genetik dan Pola Aliran Sungai Daerah Pemetaan


Menurut Thornburry (1969) pola aliran sungai pada suatu daerah dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain kontrol struktur, jenis dan variasi kekerasan batuan,
landai lereng asal, sejarah geologi, dan sejarah geomorfologi daerah tersebut.
Dari pengamatan lapangan dan analisa peta topografi skala 1: 12.500, pola
aliran sungai pada daerah pemetaan termasuk dalam pola aliran sungai subdendritik
(Gambar 2.4). Menurut Lobeck (1989), secara genetik aliran sungai pada daerah
pemetaan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis sungai yang implikasinya menunjukan
tingkat erosi sedang sampai kuat, antara lain; (1) Sungai Konsekuen, merupakan
sungai yang mengalir searah dengan kemiringan lapisan, meliputi K.Monggot, K.
Tirip; (2) Sungai Subsekuen, merupakan sungai yang mengalir searah dengan jurus
perlapisan batuan, meliputi hulu K.Juworo, hilir K. Monggot; (3) Sungai Obsekuen,
merupakan sungai yang mengalir berlawanan dengan kemiringan lapisan, meliputi K.
Monggot.

24

Gambar 2.4 Pola Aliran Daerah Pemetaan


2.4 Stadia Daerah Pemetaan
Untuk menentukan suatu stadia daerah digunakan parameter menurut
Nugroho, 2000 (Tabel 2.3). Dari pengamatan yang dilakukan terhadap daerah
25

pemetaan secara langsung dan menggunakan peta topografi 1:12.500, diketahui


bahwa secara umum karakteristik sungai pada daerah penelitian memiliki stadia
sungai dewasa, Pengenalan stadia sungai dilakukan berdasarkan beberapa parameter
menurut Nugroho (2000), yang meliputi slope gradien, kecepatan aliran, jenis erosi,
bentuk penampang (Tabel 2.4).
Untuk parameter relief dapat dilihat dari morfologi umum dan satuan
geomorfologi yang ada pada daerah penelitian yang termasuk dalam Dataran. Untuk
bentuk penampang lembah, pada daerah penelitian memiliki bentuk penampang VU yang terlihat di lembah (Foto 2.3 dan 2.4). Parameter-parameter lain yang juga
dapat diamati pada daerah penelitian adalah bentuk bentang alam yang dominan
berupa perbukitan sampai dataran. Berdasarkan parameter klasifikasi diatas maka
tingkat stadia daerah penelitian diklasifikasikan ke dalam stadia daerah dewasa-tua.
Tabel 2.3 Parameter Stadia Daerah (Nugroho, 2000)

26

STADIA DAERAH
PARAMETER

MUDA

DEWASA

TUA

Stadia Sungai

Muda

Muda-Dewasa

Tua

Relief

Sedikit
bergelombang

Maksimum

Hampir datar

Bentuk
Penampang
Lembah

V-U

U-Hampir datar

Bentang alam
umumnya datar
sampai
bergelombang

Bentang alam
bergelombang sampai
mempunyai relief
maksimum

Bentang alam datar,


hasil dari proses
pengendapan.

Kenampakan

Tidak ada
gawir/Relief
kecil/tidak ada

Mulai terbentuk
gawir/Relief sedang
sampai maksimum

Gawir sudah mulai


rata/Tidak ada relief

Tabel 2.4 Tabel Ciri-Ciri Stadia Sungai (Nugroho, 2000)

27

STADIA EROSI SUNGAI


PARAMETER

MUDA

DEWASA

TUA

Slope Gradient

Besar

Relatif Kecil

Tidak ada

Kecepatan Aliran

Tinggi

Sedang

Rendah

Jenis Aliran air

Turbulent

Turbulent-Laminer

Laminer

Jenis Erosi

Vertikal

VertikalHorisontal

Horisontal

Proses yang
bekerja

Erosi

Erosi-Deposisi

Deposisi

Bentuk/Pola
sungai

Lurus

Lurus-Meander

MeanderKomplek

Bentuk
penampang sungai

V U

Kerapatan/Anak
Sungai

Kecil/Jarang

Sedang/Mulai
banyak

Besar/Banyak

Banyak Air terjun

Air terjun sedikit

Tak ada air terjun

Tidak ada dataran


banjir

Mulai terbentuk
dataran banjir

Dataran banjir
luas

Mengalir di atas
batuan induk

Mulai ada endapan


sungai

Mulai ada oxbow lake

Kenampakan Lain

28

Foto 2.3 Kenampakan penampang V-U pada lembah K. Tirip

Foto 2.4 Kenampakan penampang U pada lembah K. Monggot

29

Anda mungkin juga menyukai