Anda di halaman 1dari 30

24

BAB III
DASAR TEORI

3.1 Tekanan Bumi


3.1.1 Konsep Tekanan Bumi
Batuan yang ada di tambang batubara adalah batuan sedimen yang berasal dari
tanah lumpur, pasir dan kerikil yang mengendap di dalam air pada masa
pembentukan batubara, yang makin lama makin menebal bersama dengan berlalunya
zaman. Yang berada di bagian bawah ditekan oleh berat endapan yang berada di
bagian atas, sehingga akhirnya menjadi batuan. Kemudian dalam kurun waktu yang
lama, batuan tersebut menerima tekanan lateral karena gerakan kerak bumi, dimana
yang tadinya datar menjadi miring dan lagi terjadi patahan dan lipatan, sehingga
terjadi kondisi sekarang ini.
Oleh karena itu jika dibayangkan satu titik pada kedalaman tertentu di bawah
tanah, maka pada titik tersebut bekerja tekanan akibat berat batuan dari permukaan
bumi dan tekanan yang timbul akibat gerakan kerak bumi. Inilah yang dinamakan
sebagai tekanan bumi. Sementara itu, di bagian dalam batuan juga timbul gaya
(tegangan)

melawan

tekanan

bumi

yang

sebanding

dengannya,

sehingga

kesetimbangannya terjaga.
3.1.2 Tekanan Batuan Atau Efek Tekanan Batuan
Apabila dilakukan penggalian terowongan di dalam batuan, maka adakalanya
batuan tidak dapat menahan tekanan bumi, sehingga atap menekuk, timbul retak dan
kemudian ambruk., dinding samping roboh, dan kalau lantainya lunak akan
menggelembung dan mencuat keluar. Tekanan yang mengakibatkan hal tersebut
lazim disebut sebagai tekanan batuan atau efek tekanan batuan yang membebani
penyangga.
Tekanan batuan dapat dibagi menjadi tekanan statis dan tekanan dinamis. Yang
dimaksud tekanan statis adalah yang biasa disebut sebagai beban mati, yaitu beban
yang bekerja pada penyangga karena batuan yang lepas dari batuan induknya, yang

25

hanya berupa berat batuan lepas itu sendiri. Tekanan yang timbul akibat batuan yang
runtuh dari dinding sekitar terowongan semuanya termasuk tekanan statis.
Sedangkan tekanan dinamis adalah beban akibat gerakan batuan, termasuk di
dalamnya adalah tekanan berat akibat amblasnya atap permuka kerja, tekanan
terhadap terowongan akibat penurunan atap dan pemuaian lantai di sekitar permuka
kerja.
Batuan yang membentuk kerak bumi mempunyai sifat elastis dan plastis,
dimana kalau diberikan gaya, akan terjadi deformasi elastis, dan kalau melampaui
batas elastis, akan terjadi deformasi plastis. Sifat tersebut berbeda menurut sifat
materi dari masing-masing batuan.
Elastisitas adalah sifat material yang bila diberi gaya akan mengalami
deformasi yang sebanding dengan gaya, dan kalau gayanya dihilangkan, akan
kembali ke bentuk semula.
Plastisitas adalah sifat material yang jika diberi gaya akan terjadi deformasi,
namun walau gayanya dihilangkan tidak akan kembali ke bentuk semula.
3.1.3 Tekanan Bumi di Sekitar Lubang Bukaan
Sebelum suatu pembuatan lubang bukaan dilakukan, tekanan bumi pada batuan
mengalami keseimbangan. Tetapi saat pembuatan lubang bukaan mulai dilakukan,
tekanan bumi yang disangga oleh batuan pada posisi awalnya akan di pindahkan ke
batuan di sekitar lubang bukaan. Hal ini umumnya disebut sebagai redistribusi
tekanan. Tekanan batuan maksimum yang bekerja di sekitar lubang bukaan dikenal
sebagai kubah tekanan (pressure dome) atau tekanan membusur (pressure arch),
sedangkan area yang mengalami relaksasi atau pelepasan dari tekanan dalam batuan
ini disebut zona bebas tegangan (stress relief zone) yang diilustrasikan pada gambar
3.1.
3.1.4 Tekanan Bumi dan Penyanggaan Pada Permuka Kerja
Sepert halnya yang terjadi pada panggalian maju, redistribusi tekanan juga
terjadi pada batuan di sekitar permuka kerja penambangan batu bara, dalam hal ini
pada metode penambangan longwall, sehingga terbentuk zona konsentrasi tegangan
dan zona bebas tegangan. Zona konsentrasi tegangan disebut juga sebagai kubah

26

Gambar 3.1
Kubah Sekunder Pada Atap 7)
tekanan atau tekanan membusur yang mempunyai tingkat tekanan terbesar di depan
permuka kerja dan akan terus bergerak maju secara simultan seiring dengan
kemajuan penambangan. Selain itu di sekitar permuka kerja, tepatnya pada batuan
atap langsung (immediate roof) yang terdapat di dalam zona bebas tegangan akan
membentuk kondisi cantilever, sehingga titik topangnya akan menerima konsentrasi
tekanan.
Tekanan bumi di sekitar permuka kerja ini dapat dikendalikan dengan cara
pengaturan permuka kerja atau sistem penyanggaan serta pengaturan kecepatan maju
permuka kerja. Dengan melakukan pengaturan yang tepat terhadap permuka kerja,
keamanan permuka kerja dapat ditingkatkan.
3.2 Strata Mekanika Batuan Pada Permuka Kerja Longwall
3.2.1 Pergerakan Lapisan Tanah Penutup (Overburden)
Ketika kegiatan penambangan dengan metode longwall telah mencapai suatu
lebar dan panjang tertentu, lapisan batuan di atas batubara akan mengalami gangguan
mulai dari atap langsung (immediate roof) hingga permukaan (surface). Dalam hal
ini, zona yang terganggu akibat aktifitas penambangan bawah tanah metode

27

longwall terbagi menjadi 3 zona (Gambar 3.2), yaitu zona runtuhan, zona patahan
dan zona deformasi lanjutan (Peng dan Chiang, 1984).
1. Zona Runtuhan (Caved Zone)
Zona runtuhan yang belum mengalami pergerakan (runtuh) disebut sebagai
atap langsung (immediate roof). Zona ini mempunyai ketebalan 2 hingga 8 kali dari
ketinggian panel penambangan (mining height). Pada zona ini, lapisan runtuh di atas
lantai panel penambangan dan kemudian selanjutnya hancur menjadi bentuk yang
tidak beraturan namun berlapis dalam berbagai ukuran. Akibat proses tersebut,
batuan itu kemudian mengalami pertambahan volume dari volume batuan asli
sebelum mengalami deformasi dan runtuh. Perbandingan antara volume batuan yang
hancur terhadap volume batuan aslinya sebelum mengalami kehancuran dan
keruntuhan pada lapisan yang sama kemudian disebut rasio pengembangan
(expansion ratio) atau disebut juga sebagai bulking factor. Oleh karena volume dari
batuan yang telah hancur selalu lebih daripada volume batuan aslinya, maka bulking
factor selalu bernilai lebih dari satu. bulking factor merupakan faktor yang cukup
menentukan untuk mengetahui ketinggian dari zona runtuhan atau atap langsung.
2. Zona Patahan (Fractured Zone)
Zona patahan terletak di atas zona runtuhan. Pada zona ini, lapisan mengalami
kerusakan dalam bentuk blok oleh karena terjadi keretakan hingga patahan dengan
arah vertikal dan/atau subvertikal dan celah horizontal pada batas lapisan. Ketebalan
zona runtuhan ini berkisar antara 28 hingga 42 kali dari ketinggian panel
penambangan, sehingga dapat diperkirakan ketinggian zona runtuhan dan zona
patahan berkisar antara 30 hingga 50 kali dari ketinggian panel batubara.
3. Zona Deformasi Lanjutan (Continuous Deformation Zone)
Zona ini terletak di antara zona patahan dan permukaan (surface). Pada zona
ini, lapisan mengalami deformasi namun tidak mengakibatkan terjadinya rekahan
atau patahan yang memotong di sepanjang ketebalan lapisan seperti halnya pada
zona rekahan. Sejatinya, zona ini hanya bertindak sebagai medium penerus terhadap
energi yang dihasilkan oleh lapisan di bawahnya.

28

Gambar 3.2
Pembagian Zona Overburden Pada Penambangan Metode Longwall

7)

3.2.2 Atap Langsung (Immediate Roof)


Seperti diuraikan di atas, pergerakan dari tiga zona utama di atas lapisan
batubara menghasilkan dampak yang berbeda pada tiap lapisannya.Dampak tersebut
akan semakin berkurang seiring dengan semakin naiknya lapisan terhadap lapisan
batubara yang ditambang. Atap langsung merupakan bagian dari lapisan overburden
yang terletak langsung di atas permuka kerja dan akan runtuh di dalam area gob
(mined out area) seiring dengan kemajuan penambangan (Gambar 3.3). Karena
batuan pada atap langsung akan hancur dan runtuh di area gob, batuan tersebut tidak
dapat meneruskan tekanan horizontal di sepanjang arah penambangan. Oleh karena
itu, beban dari batuan tersebut harus disangga oleh penyangga. Atap langsung
merupakan kunci utama untuk mengontrol kondisi atap permuka kerja, yang meliputi
jenis batuan dan ketebalan dari atap langsung guna penentuan teknik penangan atap
pada permuka kerja.

29

Gambar 3.3
Kedudukan Atap Pada Permuka Kerja Penambangan Metode Longwall

7)

Berdasarkan tingkat keruntuhannya, atap langsung dapat dibagi menjadi tiga


kelompok, yaitu :
1. Atap Langsung yang Tidak Stabil (Unstable Immediate Roof)
-

Terdiri atas carbonaceous shale lemah atau lunak dan sandy shale yang
terkekarkan dengan baik

Sesaat setelah pengambilan batubara, jika penyangga tidak maju dengan


segera, maka atap yang tidak tersangga di depan permuka kerja akan jatuh
dalam waktu singkat (kurang dari sepuluh menit).

Atap pada area gob runtuh dengan segera setelah kemajuan penyangga tanpa
terjadi batuan gantung (overhang). Fragmentasi runtuhan kecil.

2. Atap Langsung dengan Kestabilan Sedang ( Medium Stable Immediate Roof)


-

Terdiri atas serpih keras (hard shale), sandy shale dan sandstone lemah.
Kekar dan rekahan sulit ditemukan.

Pada umumnya, atap akan runtuh sesaat setelah penyangga bergerak maju.
Fragmentasi batuan yang runtuh berukuran besar. Runtuhan terkadang
memasuki area permuka kerja.

30

3. Atap Langsung yang Stabil (Stable Immediate Roof)


Terbagi atas tiga kondisi batuan yang berbeda :
-

Atap langsung cukup tebal dan terdiri atas serpih pasiran (sandy shale) atau
batupasir, sehingga dapat tetap menggantung tanpa penyanggaan lebih dari 5
hingga 8 jam. Atap dalam area gob runtuh secara teratur dalam bongkah yang
besar, sehingga jika runtuh di dekat penyangga dapat mengganggu kestabilan
penyangga.

Atap langsung sangat tebal dan terdiri atas batupasir keras atau konglomerat.
Atap tidak hanya akan menggantung secara meluas (hingga 65007440 m 2),
tetapi juga akan menggantung hingga waktu yang cukup lama. Hal ini akan
membahayakan karena pada saat runtuh, dapat mengakibatkan dampak yang
signifikan terhadap penyangga dan permuka kerja.

Atap langsung terdiri berupa gamping atau batupasir keras dan lebih tebal
dari ketinggian panel penambangan. Terdapat kekar dan rekahan sehingga
membentuk beidang lemah sepanjang pecahnya batuan. Seiring dengan
kemajuan penambangan, akan terjadi pelendutan secara berangsur dan batuan
akan pecah membentuk blok.

3.2.3. Atap Utama (Main Roof)


Atap utama merupakan lapisan yang berada di atas atap langsung yang
merupakan bagian dari zona patahan. Lapisan di atas atap utama tidak akan
memberikan dampak yang berarti terhadap kestabilan atap pada permuka kerja.
Seiring dengan runtuhnya atap langsung, atap utama akan mengalami deformasi
namun tetap kontak satu sama lainnya. Oleh karenanya, atap utama masih dapat
meneruskan gaya horizontal, meskipun dalam lapisan atap utama itu sendiri
mengalami perbedaan ketinggian antara atap utama yang berada di atas gob dengan
yang berada di atas penyangga. Lapisan pada atap utama umumnya akan patah secara
periodik sejalan dengan arah kemajuan penambangan.

31

3.2.4. Urutan Keruntuhan Pada Permuka Kerja Longwall


Seiring dengan kemajuan penambangan pada metode longwall, terdapat dua
fase yang berbeda dalam keruntuhan overburden. Fase pertama dari keruntuhan
meliputi jarak mulai dari keruntuhan pertama dari atap langsung hingga kemudian
terjadi keruntuhan blok lapisan pada atap utama. Pada jarak ini, tekanan maksimum
atap yang terukur pada permuka kerja dinamakan pembebanan pertama. Jarak antara
batas penyangga permuka kerja hingga pembebanan pertama disebut interval
pembebanan pertama (Lo).
Fase kedua kemudian dimulai setelah pembebanan pertama terjadi hingga
seterusnya hingga panel penambangan selesai. Sepanjang periode ini, tekanan atap
pada permuka kerja mengalami penurunan dan peningkatan seiring dengan
runtuhnya atap langsung atau atap utama, atau bahkan kedua-dua atap tersebut.
Fenomena tersebut disebut sebagai pembebanan atap periodik. Tekanan maksimum
yang terjadi pada tiap periodenya disebut tekanan pembebanan atap periodik,
sedangkan jarak antara dua pembebanan atap periodik berturut-turut adalah interval
pembebanan atap periodik (Lp).
Secara lebih jelasnya mengenai urutan keruntuhan pada atap langsung dan
lapisan terendah pada atap utama terdapat pada gambar 3.4.
3.2.5. Tekanan Pada Permuka Kerja Longwall
Secara umum dapat digambarkan pada permuka kerja longwall mining,
batubara menjadi lunak karena diapit oleh oleh batuan atap yang relatif kuat serta
mendapat beban dari berat overburden di atas batubara, sehingga tekanan
terdistribusi pada kondisi ini. Saat penambangan dimulai, kondisi kesetimbangan
pada batuan sekitar menjadi terganggu, sehingga distribusi tekanan harus kembali
diatur sedemikian rupa sehingga mencapai kesetimbangan baru. Sebagai hasilnya,
pada atap dan pilar panel penambangan terdapat zona tekanan baru dan beban yang
ditransferkan kepada batubara solid disekitarnya. Zona dimana tekanan vertikal
terbentuk pada panel dan pilar ini kemudian disebut tumpuan (abutment) dan tekanan
rata-rata di atasnya dinamakan tekanan tumpuan (abutment pressures).

32

Gambar 3.4
Urutan Keruntuhan Pada Atap Permuka Kerja 7)

33

Saat penambangan berlangsung, tekanan tumpu akan terbentuk pada sekitar


area gob (mined out area) dan terus berjalan seiring dengan kemajuan penambangan.
Kondisi ideal distribusi tekanan vertikal pada metode penambangan longwall mundur
ditunjukkan oleh gambar 3.5 dimana terjadi distribusi tekanan vertikal pada lapisan
batubara. Distribusi tekanan vertikal pada atap dan lantai hampir serupa kecuali pada
lantai yang kekuatannya dapat lebih kecil atau lebih besar, tergantung nilai modulus
young pada immediate roof. Agar arah umum tekanan vertikal dapat digambarkan
secara ideal, maka tekanan lokal pada gallery dan crosscut diabaikan. Tekanan tumpu
pada depan permuka kerja disebut tekanan tumpu depan (front abutment pressure),
sedangkan tekanan pada sepanjang kedua sisi panel penambangan dalam area gob
(mined out area) adalah tekanan tumpu samping (side abutment pressure). Pada area
gob, tekanan maksimum sesungguhnya merupakan tekanan dari overburden.

Gambar 3.5
Distribusi Tekanan Vertikal Pada Penambangan Metode Longwall

1. Tekanan Tumpu Depan

2)

34

Lebar dari tumpu depan tidak hanya tergantung pada kedalaman overburden,
tetapi juga tergantung pada posisinya sepanjang permuka kerja. Tekanan puncak
tumpu depan terjadi umumnya pada pojok panel saat batuan immediate roof dalam
kondisi lemah. Kondisi immediate roof yang lemah ini tidak menghasilkan berat
yang menimbulkan dampak signifikan terhadap tumpu depan karena immediate roof
langsung runtuh di belakang penyangga. Tekanan puncak tumpu depan akan tersisa
pada sudut panel apabila dampak pembebanan dari main roof tidak bekerja
sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dimungkinkan terjadi akibat kondisi, yaitu :
pertama, lokasi main roof sangat jauh di atas lapisan batubara (lapisan immediate
roof tebal) sehingga pergerakannya tidak berdampak pada permuka kerja; kedua,
permuka kerja berlokasi pada periode tanpa pembebanan.
2. Tekanan Tumpu Samping
Tekanan tumpu samping mempunyai nilai terbesar pada penyangga gallery
material dan gallery produksi dan kemudian akan menurun secara eksponensial
menjauh dari panel penambangan.
3. Tekanan Gob (Mined Out Area)
Saat batuan atap runtuh untuk pertama kali di area gob, berat dari batuan yang
runtuh dan kemudian saling menimpa satu sama lainnya tersebut akan membentuk
tekanan gob. Kemudian batuan yang runtuh tersebut akan memperoleh beban
lanjutan dari lapisan di atasnya. Tekanan gob maksimum kemudian akan menjadi
tekanan overburden yang terjadi saat gob menerima sepenuhnya beban dari
overburden.
Apakah kemudian tekanan gob sebanding dengan berat dari overburden
tergantung dari lebar panel penambangan. Jika panel terlalu dekat, lapisan atas yang
tidak terdeformasi akan terjembatani oleh tumpu samping menghasilkan tekanan gob
yang bebannya dapat mengurangi atau menambah beban dari tinggi runtuhan
(caving height).

3.2.6. Barrier Pillar Pada Akhir Penambangan

35

Pada saat penambangan selesai dilakukan, maka kestabilan terowongan


(cross cut) di sekitar area bekas lokasi penambangan perlu dijaga agar aktifitas
penambangan selanjutnya di sekitar area tersebut tidak terganggu. Oleh karena itu
batubara yang ditambang harus disisakan dalam dimensi tertentu sebagai pilar yang
akan melindungi cross cut di depan area bekas penambangan (barrier pillar).
Gambar 3.6 mendeskripsikan posisi barrier pillar terhadap cross cut, permuka kerja
(woking face) dan gob (mined out area) pada area penambangan.

Gallery
Produksi

GOB
Working Face

Gallery
Material

Barrier Pillar

Cross Cut

Raise

Gambar 3.6
Barrier Pillar Pada Panel Penambangan
Dimensi dari barrier pillar yang cukup aman untuk melindungi cross cut
umumnya dihitung menggunakan rumus yang didasarkan dari hasil pengalaman di
lapangan (Peng, 1986). Rumus empiris desain barrier pillar yang umum digunakan
adalah berdasarkan Mine Inspectors formula, yaitu :
Wbp
dimana : Wbp

= 20 + 4h + 0,1H ......................................................................(1)
= lebar barrier pillar, meter

= tebal batubara, meter

= tebal overburden, meter

3.3 Penyanggaan Hydraulic Prop dan Link Bar Pada Permuka Kerja

36

Tujuan dari penyanggaan adalah untuk mempertahankan penampang


terowongan yang diperlukan untuk transportasi, ventilasi, lalu-lintas dan tempat
bekerja manusia serta mencegah kecelakaan akibat atap ambruk. Sedangkan permuka
kerja adalah ruang kerja untuk penambangan batubara yang harus dijaga
keamanannya. Penyangga yang digunakan untuk maksud itu harus tahan terhadap
tekanan bumi permuka kerja dan lagi dapat menyesuaikan diri terhadap gerakan maju
permuka kerja. Berbagai macam penyangga digunakan, yang masing-masing
mempunyai kesesuaian terhadap kondisi permuka kerja dan sistem penambangan
batubara tertentu, dalam hal ini terutama digunakan hydraulic prop dan link bar
yang dapat dimanfaatkan secara berulang-ulang dan memiliki mobilitas yang tinggi
di lapisan miring selain lebih kuat daripada kayu yang tidak dapat dimanfaatkan
kembali.
3.3.1 Hydraulic Prop
Pada permuka kerja, hydraulic prop digunakan untuk menyangga atap. Jika
penyangga digunakan sebagaimana mestinya, maka penambangan batubara akan
dapat ditangani dengan mudah dan aman, selain itu terdapat suatu kecenderungan
bahwa penanganan atap yang baik akan tergantung dari penanganan penyangga atap
permuka kerja. Terdapat dua jenis hydraulic prop yang saat ini umum digunakan
pada penambangan batubara, yaitu tipe Pump Detached, dimana hydraulic prop
memperoleh suplai tekanan berupa emulsi (air dan oli) dari pompa bertekanan tinggi
yang dialirkan melalui hose dan hydraulic gun. Sedangkan tipe kedua adalah tipe
Pump Built-In, dimana pada tipe ini hydraulic prop mendapat suplai tekanan yang
berasal dari tenaga manusia yang memompa tekanan yang berada di dalam hydraulic
prop itu sendiri.
Penyangga Hydraulic Prop Outer yang digunakan pada permuka kerja
umumnya merupakan tipe pump detached yang pada pengoperasiannya mempunyai
kekuatan 30 - 40 ton dengan menggunakan emulsi (campuran antara air dan oli)
dengan komposisi oli sebanyak 3% dari jumlah keseluruhan emulsi di dalam tangki.
Untuk menaikkan dan menurunkan silinder, hydraulic prop dilengkapi dengan three
way valve yang mempunyai fungsi sebagai alat masuk injeksi emulsi oleh hydraulic
gun (untuk menaikkan) dan alat pengeluaran emulsi (untuk menurunkan) sehingga
hydraulic prop dapat dipindahkan jika penyangga bergerak maju.

37

3.3.2 Link Bar


Link bar merupakan batang besi bersambung yang bersentuhan langsung
dengan atap dan disangga oleh hydraulic prop (Gambar 3.7). Proses penambangan
batubara yang bergerak maju akan mengakibatkan munculnya atap baru yang
terbuka. Sistem link bar kemudian digunakan untuk menyangga atap tersebut secara
sementara dan cepat tanpa menggunakan penyangga hydraulic prop.

Link Bar

1.80m
Face

PVC trough

Papan 5 x 20 x 120

Hydroulic prop

Tirai bambu

MOA

Sepatu HP

Sumber : Underground Design PT. Kitadin-Embalut

Gambar 3.7
Penyanggaan Hydraulic Prop dan Link Bar Pada Permuka Kerja

3.3.3 Garis Besar Prosedur Penyanggaan Hydraulic Prop dan Link Bar

9)

Dalam mengoperasikan penyangga hydraulic prop dan link bar, dibutuhkan


beberapa penanganan khusus yang penting untuk diperhatikan agar memperoleh
kinerja penyangga yang optimum. Adapun prosedur penyanggan hydraulic prop dan
link bar yang direkomendasikan adalah sebagai berikut :

1. Pemasangannya harus dilakukan dengan akurat dan ketat, dalam hal ini pada saat
injeksi emulsi bertekanan ke dalam hydraulic prop. Jika tekanan tidak

38

mencukupi, maka kekuatan penyangga akan rendah dan tidak maksimum,


sehingga mengakibatkan turunnya atap, mempercepat memburuknya kondisi atap
dan membuka peluang runtuhnya atap.
2. Penambahan potongan kayu antara link bar dan atap dapat digunakan untuk
menghindari pergeseran hydraulic prop akibat tidak ratanya atap dan kurang
kontaknya antara penyangga dan atap. Namun harus dihindari penggunaan
potongan kayu yang tebal karena dapat menurunkan tinggi permuka kerja.
3. Pada waktu memperpanjang link bar, arah link bar harus diperhitungkan agar
selalu tegak lurus terhadap permuka kerja. Melencengnya arah link bar terhadap
permuka kerja akan mengakibatkan distribusi tekanan yang diterima penyangga
tidak akan merata.
4. Pada saat pemasangan pin bulat penyambung link bar, pin kotak penahan beban
sementara sebelum dipasang hydraulic prop, harus ditancapkan dengan kekuatan
yang tepat (tidak berlebihan) karena kemudian akan dicabut kembali seiring
dengan kemajuan penambangan. Pin bulat harus dipasang dengan arah yang
mudah untuk dilepas kembali agar mudah pada saat membongkar hydraulic prop
dan link bar. Untuk mencegah kerusakan link bar dan agar link bar bisa menekuk
sesuai dengan penyusutan hydraulic prop, maka pin kotak harus dilepas kembali
setelah hydraulic prop didirikan.
5. Karena bahan pembentuk link bar dan penahannya pada hydraulic prop terbuat
dari logam, penopangannya kemungkinan besar akan membentuk kontak titik
atau kontak garis. Terutama di lapisan batubara dengan kemiringan sedang.,
apabila hydraulic prop tidak didirikan tegak lurus terhadap lapisan batubara,
maka link bar seolah-olah akan terputar, sehingga harus dipasangi pasak agar
tidak lepas dari penahan link bar. Selain itu pada pemasangan hydraulic prop,
harus diusahakan agar tidak memberi beban eksentris. Beban eksentris dapat
melemahkan kekuatan topang hydraulic prop, sehingga akan sering merusak
hydraulic prop. Untuk menghindari beban eksentris, jika lapisan batubaranya
landai, maka perlu diperhatikan agar hydraulic prop didirikan tegak lurus
terhadap lapisan batubara.
3.3.4 Pemeliharaan Hydraulic Prop

8)

39

Guna memberikan hasil guna yang optimum, maka dibutuhkan penanganan


penggunaan hydraulic prop agar diperoleh umur pakai yang maksimal. Dalam hal ini
pemeliharaan hydraulic prop memegang peranan penting untuk menjaga agar
hydraulic prop selalu siap untuk dipergunakan. Adapun beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pemeliharaan hydraulic prop :
1. Hydraulic prop yang digunakan harus sesuai dengan beban di permuka kerja
serta sistem kerja. Sedapat mungkin untuk tidak menggunakan hydraulic prop
yang berbeda karakter secara bersama-sama, karena hydraulic prop yang
mempunyai daya topang kecil akan menyusut akibat beban, sehingga apabila
diantaranya terdapat hydraulic prop yang daya topangnya tinggi, maka beban
akan bekerja pada hydraulic prop tersebut, sehingga dapat menyebabkan
kerusakan. Selain itu, penurunan atap menjadi tidak beraturan yang dapat
menjadi penyebab memburuknya kondisi atap.
2. Setelah selesai pemotongan, atap di bagian tersebut harus secepatnya disangga
dengan memanjangkan link bar. Dengan bekerja di bawah atap yang terbuka,
akan sangat membahayakan, selain itu juga merupakan penundaan waktu guna
penyanggaan yang akan mengakibatkan memburuknya kondisi atap.
3. Pendirian hydraulic prop harus dilakukan secepat mungkin. Apabila link bar
dibiarkan terlalu lama dalam keadaan diperpanjang, atau peledakan dan
pembongkaran hydraulic prop dilakukan tanpa mendirikan hydraulic prop bantu,
maka dapat menimbulkan tekanan atap mendadak sehingga menyebabkan
rusaknya link bar, sehingga akan terjadi penurunan atap dan kondisi atap
memburuk.
4. Untuk mencegah pemburukan kondisi atap, jarak antar hydraulic prop harus
dibuat sama, agar tekanan atap diterima secara merata. Begitu pula untuk baris,
jika membentuk suatu garis lurus akan memudahkan terjadi pemotongan atap
pada area gob.
5. Karena alasan konstruksi hydraulic prop dan link bar, apabila bekerja beban
eksentris pada penyangga, maka kemungkinan akan terjadi kemerosotan drastis
pada kinerjanya. Beban eksentris ini tidak akan terjadi bila hydraulic prop
didirikan tegak lurus terhadap permukaan link bar. Namun pada permuka kerja

40

miring, beban atap bisa memberikan kepada lapisan batubara dari berbagai arah,
sehingga pendirian hydraulic prop harus mempertimbangakan hal ini.
3.4 Penentuan Tinggi Runtuhan Atau Tebal Atap Langsung
Penentuan ketebalan atap langsung (immediate roof) merupakan dasar untuk
merancang pemeliharaan atap permuka kerja. Ketebalan atap langsung sendiri tidak
bersifat konstan walaupun pada lapisan stratigrafi yang telah diketahui, terlebih
ketebalannya akan bervariasi seiring dengan rangkaian perlapisan dan metode
penambangan.
3.4.1. Teori Song dan Deng (1984)

7)

Menurut teori Song dan Deng, keruntuhan berawal dari lapisan terendah dari
atap langsung dan akan beruntun menarik hingga zona patahan dan akan mengisi
area gob. Proses keruntuhan pada tiap lapisannya akan mengakibatkan terjadinya
pelendutan (sagging) pada atap yang tidak runtuh dan tersangga oleh runtuhan atap
langsung di area gob.
Untuk menentukan tinggi runtuhan menurut formula Song dan Deng
ditentukan sebagai berikut :
H d = him(K 1) ....(2)
d d0
dimana :

= tinggi lubang bukaan

him

= tinggi runtuhan atau tebal atap langsung

= bulking factor

= pelendutan lapisan terbawah yang tidak runtuh (atap utama)

d0

= maksimum pelendutan yang diijinkan (tanpa pecah) pada lapisan


terbawa yang tidak runtuh

Dari persamaan tersebut di atas, tinggi runtuh dapat ditentukan dengan persamaan :

him

H d
K 1 ..(3)

41

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari penggunaan rumus tersebut di atas
yang dapat mempengaruhi tinggi runtuh :
1. Tinggi lubang bukaan permuka kerja, H
Berdasarkan persamaan (3), tinggi runtuh berbanding lurus terhadap tinggi
permuka kerja. Hubungan ini dapat digunakan untuk mengontrol tinggi runtuh,
namun harus diketahui bahwa tinggi runtuh tidak akan berubah secara drastis
segera setelah tinggi permuka kerja berubah.
2. Maksimum pelendutan yang diijinkan, do
Dari persamaan (3), rumus d d0 memberi dampak yang signifikan terhadap
tinggi runtuh. Singkatnya, jika d = d 0 = H, maka him = 0, dimana tidak akan
terjadi runtuhan, dengan kata lain atap akan melendut secara perlahan hingga
menyentuh lantai. Jika d = d0 = 0, maka persamaan (3) akan menjadi :

him

H
K 1 ....(4)

Persamaan (4) mengasumsikan bahwa lapisan akan pecah dan runtuh tanpa
terjadinya pelendutan. Persamaan ini digunakan untuk memperkirakan tinggi
runtuh terbesar dan telah lebih dahulu dikemukakan oleh Wilson pada tahun
1964.
3. Bulking Factor, K
Bulking factor dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara volume batuan
yang telah hancur terhadap volume batuan aslinya. Karena volume batuan yang
hancur selalu lebih dari volume batuan aslinya, maka biasanya nilai bulking
factor selalu lebih besar dari satu.
Bulking factor dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran fragmen batuan, cara
tersusunnya fragmen batuan di area gob. Fragmen batuan yang langsung runtuh
di belakang penyangga biasanya mempunyai nilai bulking factor yang lebih besar
karena minimnya tekanan dari batuan di atasnya, kondisi ini disebut sebagai
original bulking factor, K0. Selanjutnya saat batuan tersebut semakin jauh di

42

belakang gob, maka runtuhan akan semakin banyak dan akan bertumpuk di
atasnya mengakibatkan volumenya berkurang, kondisi ini disebut semiresidual
bulking factor, Kro. Pada saat runtuhan semakin berumpuk di area gob, maka
kemudian beban dari lapisan tanah penutup akan bekerja di atasnya. Pada kondisi
ini maka volume runtuhan akan berada pada kondisi minimum dan mengalami
kompaksi dengan baik. Pada lokasi ini akan terjadi residual bulking factor, Kr.
Tabel nilai bulking factor dari beberapa batuan dapat dilihat pada tabel 3.1
berikut ini.
Tabel 3.1
7)
Nilai Bulking Factor Pada Beberapa Batuan
Jenis Batuan
Pasir
Lempung
Batubara Pecah
Lempung Serpih
Lempung Pasiran
Batupasir

Bulking Factor
Original, Ko
Residual, Kr
1.06 - 1.15
1.01 - 1.03
< 1.20
1.03 - 1.07
< 1.30
1.05
1.4
1.1
1.60 - 1.80
1.25 - 1.35
1.50 - 1.80
1.30 - 1.35

3.4.2. Teori Syd S. Peng dan H. S. Chiang (1984)

7)

Selain berdasarkan urutan dari lapisan yang terlemah hingga terkuat di atas
lapisan batubara dan bulking factor dari runtuhan, tinggi runtuhan juga dipengaruhi
oleh ketebalan batubara kedalaman lapisan tanah penutup. Kedalaman lapisan tanah
penutup dapat mengakibatkan keruntuhan yang lebih besar seiring dengan
membesarnya tekanan lapisan tanah penutup.
Kaitan antara ketebalan batubara, kedalaman lapisan tanah penutup dan tinggi
runtuhan diperlihatkan pada gambar 3.8 dimana tiap kurva mewakili hubungan
antara tinggi runtuh dan kedalaman lapisan tanah penutup pada suatu ketebalan
lapisan tanah penutup. Selain dengan menggunakan grafik, tinggi runtuh juga
disajikan dalam bentuk persamaan sebagai berikut :
him = h0,439 H1,5444 (5)

43

dimana :

him

= tinggi runtuhan, ft

= kedalaman lapisan tanah penutup, ft

= ketebalan lapisan batubara, ft

Dari persamaan tersebut dapat dilihat pengaruh ketebalan lapisan batubara


terhadap tinggi runtuhan lebih besar daripada terhadap kedalaman overburden.

`
Gambar 3.8
Kurva Korelasi Antara Tinggi Runtuhan, Kedalaman Overburden
dan Ketebalan Batubara 7)

44

3.4.3. Teori Cemal Biron dan Ergin Arioglu (1983)

1)

Cemal Biron dan Ergin Arioglu mengembangkan teori tinggi runtuhan


berdasarkan teori Wilson (1964), dimana persamaan (3) diperluas dengan
menambahkan faktor pengembangan volume atap langsung (expansion of immediate
roof). Persamaan tersebut disajikan sebagai berikut :
K = 1 + E ..(6)
E =
h

dengan :

s k
....(7)
k

= m

k
.....(8)
s k

h = tinggi atap langsung, meter


K = faktor ekspansi atap langsung
m = ketebalan batubara, meter
E = tingkat ekspansi atap langsung
s = bobot isi insitu dari batuan atap langsung, t/m3
k = bobot isi broken dari batuan atap langsung, t/m3

3.5 Tekanan Pada Permuka Kerja Longwall


Penampang melintang dari suatu muka longwall dengan penyangga hydraulic
prop dan link bar diperlihatkan dalam gambar 3.9. Menurut teori busur tekanan,
beban utama dari lapisan di atas muka longwall dipindahkan ke batubara di depan
(face) sebagai front abutment. Pada muka longwall, terjadi pengurangan tegangan
(destressed) atau relaksasi, yaitu zona dimana hanya beban immediate roof yang
tinggal dan kemudian ditopang oleh penyangga. Jika immediate roof sangat lemah,
maka akan mudah runtuh dan oleh karena faktor pengembangan selanjutnya akan
mengisi gob dan kemudian menyangga main roof. Ini kasus yang umum terjadi jika
keruntuhan immediate roof dapat terjadi dengan mudah. Jika immediate roof tidak

45

runtuh, perhatian khusus diarahkan untuk membuatnya runtuh guna mengisi gob.
Jika jarak immediate roof tidak tidak runtuh cukup besar, maka berat pada muka
penyangga akan semakin besar pula. Dalam kasus ini, sistem stowing dapat
digunakan untuk mengisi gob secara keseluruhan dengan memakai sistem pneumatic
atau hydraulic

sehingga memungkinkan immediate roof melendut tanpa hancur

(Biron dan Arioglu, 1983).

MAIN ROOF

h = m/K-1

IMMEDIATE ROOF

t = s h

GOB /
m

Sumber : Underground Design PT. Kitadin-Embalut

Gambar 3.9
Penampang Immediate Roof Terhadap Permuka Kerja
Berdasarkan rumus (4) hingga (8) di atas, maka dapat diperoleh tekanan
immediate roof sebagai berikut :
t h s ..(9)

dengan :

= tinggi immediate roof, m

s = bobot isi immediate roof (padat), t/m3


t = tekanan immediate roof, t/m2
Sedangkan menurut L. Siska (1972), tekanan pada penyangga ditentukan
dengan persamaan berikut dan diilustrasikan pada gambar.3.9.

46

t m 1 2 3

1
K 1

..

(10)
Vt Va
0.5h tan
1
Vt
l
..(11)

V1
Vt

......

(12)
dengan :

= tekanan atap pada penyangga, t/m2

= tebal lapisan batubara, m

= bobot isi immediate roof, t/m3

= faktor runtuhan, dihitung dengan persamaan (11), Gambar


3.10a, atau dapat dilihat pada tabel 3.2

= faktor stowing (pengisian); caving = 1,0; hand stowing = 0,7;


pneumatic stowing = 0,5 ; hydraulic stowing = 0,12

= faktor penyanggaan diri dari batuan atap langsung, dihitung


dengan persamaan (12), Gambar 3.10b, atau dapat dilihat
pada tabel 3.3

= faktor pengembangan

Vt

= volume immediate roof yang disangga, m3

Va

= volume immediate roof sebagai cantilever, m3

V1

= volume immediate roof pada muka yang tidak disangga, m3

V2

= volume immediate roof pada muka yang tersangga dan


sebagai cantilever, m3

= lebar muka (face) tersangga, m

= lebar muka tidak tersangga, m

= tinggi immediate roof, m

= sudut runtuh, derajat; diambil dari vertikal

47

Va
h

Vt

vt v a
vt

Difficult caving conditions

Easy caving conditions 1

(a)

V1
Vt

Vt

V1

(b)
Gambar 3.10
TabelPada
3.2 Lapisan Atap
Penampang Tekanan

1)

Tabel 3.2
Faktor Keruntuhan (Caving) Berdasarkan Kondisi Geometris Atap 1)
Roof Condition
Easily caved roof rock
(Category 1)
Regularly caved
sometimes delayed
(Category 2)
Strong roof rock
naturally caved with
difficulty
(Category 3)

Geometrical
Dimension
x=0

Factor of Caving (1)


1,0

=0
x = 0,5 m
= 40
m < 1,5 m
x = 1,7 m
= 15
m > 1,5 m

1 1

0,5 2,5 m
l

1 1

0,5 0,8 m
l

48

= 10

1 1

m > 1,5 m
Tabel 3.3
1)
Faktor Penyanggaan Diri Batuan
Immediate Roof
Condition

Lithology

Easily caved
Regularly caved
sometimes delayed
Strong roof, hardly caved

1,7 0,9 m
l

Stowing of Gob

Coarse shale bands

Caving

0,75

Fine shale bands

Pneumatic

0,40

Shaly silt

Caving

0,50

Fine, medium grained sandstone

Pneumatic

0,35

Coarse band shale

Caving

0,40

Coarse grained sandstone-conglomerate

Pneumatic

0,35

Metode lain perhitungan tekanan longwall dapat menggunakan persamaan


Terzaghi (1965), dimana perhitungan tekanan dilakukan dengan mengasumsikan
terowongan berada pada kedalaman yang relatif dangkal dan dengan kondisi atap
batuan sebagai material loose. Rumus ini telah berhasil digunakan pada desain
perkuatan atap dengan menggunakan beton pada lapisan batubara yang relatif tebal.

B
K tan

..

(13)

B B1 m tan 45o
2

..

(14)
dengan :

= tekanan pada penyangga, t/m2

= bobot isi batuan atapo langsung (immediate roof), t/m3

= setengah lebar muka kerja yang terbebani, m

B1

= setengah lebar muka kerja aktual, m

= tebal lapisan batubara, m

= sudut geser dalam batuan atap langsung, derajat

= koefisien empiris, umumnya K = 1

49

3.6 Rancangan Penyangga Hydraulic Prop


Desain atau rancangan penyanggaa hydraulic prop digunakan untuk
mengetahui secara teknis tingkat kesesuaian penyanggaan terhadap kondisi aktual di
lapangan. Hasil perhitungan yang dilakukan selanjutnya akan menunjukkan kondisi
ideal penyanggaan pada lapangan tersebut.
3.6.1. Kerapatan Penyanggaan
Kerapatan penyanggaan merupakan faktor penentu untuk mengetahui jumlah
pemakaian penyangga hydraulic prop untuk permuka kerja dengan dimensi tertentu.
Kerapatan penyanggaan merupakan jumlah hydraulic prop yang dibutuhkan untuk
setiap meter persegi permuka kerja yang akan disangga.
Perhitungan kerapatan penyangga yang sesuai untuk kondisi lapangan
tertentu ditunjukkan oleh rumus di bawah ini (Biron dan Arioglu, 1983) :
t L.a

Pn. k . N
n

..(16)
D

N
La

...

(17)

dengan :

= tekanan batuan atap, t/m2

= lebar permuka kerja yang disangga, m

= jarak antar baris penyangga, m

Pn

= beban nominal pada hydraulic prop, ton

= faktor efisiensi pada hydraulic prop (Tabel 3.4)

= jumlah hydraulic prop dalam satu baris

= faktor keamanan, umumnya bernilai 2

= kerapatan penyangga, pcs HP/m2

50

Tabel 3.4
Faktor Efisiensi Prop 1)
Beban Nominal
(Ton)

Faktor Efisiensi
(k)

Friction

40

0,45

Hydraulic

40

0,82

Hydraulic

30

0,89

Hydraulic

20

0,92

Jenis Prop

3.6.2. Intrusi Penyangga


Kondisi lantai batuan pada permuka kerja lapisan batubara harus cukup
memadai untuk menerima beban tanpa mengalami intrusi. Intrusi dapat memperbesar
tingkat kesulitan pada saat pengambilan kembali penyangga untuk kemudian
digunakan pada penyanggaan selanjutnya. Untuk mengantisipasi hal tersebut
dibutuhkan sepatu penyanggaan dengan dimensi yang memadai. Dengan
mengasumsikan safe bearing strength pada batuan lantai (umumnya pada serpih)
sebesar 40 kg/cm2, maka perhitungan tekanan pada lantai dapat dirumuskan sebagai
berikut (Biron dan Arioglu, 1983) :

dengan :

Pn k
sf .......................................................................................... (18)
F

= tekanan yang diterima lantai, kg/cm2

Pn

= beban nominal pada hydraulic prop, ton

= faktor efisiensi pada hydraulic prop (Tabel 3.4)

= dimensi sepatu hydraulic prop, cm2

sf

= safe bearing strength of rock, kg/cm2

51

3.7.

Klasifikasi Geomekanika
Klasifikasi massa batuan diperlukan dalam suatu rancangan terowongan pada

tambang bawah tanah, dimana perhitungan sifat-sifat teknis dari massa batuan
menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Untuk mencapai hal tersebut, deskripsi
secara kualitatif dinilai tidak mencukupi untuk dipergunakan dalam pehitungan
rancangan sehingga kemudian harus dikembangkan secara kuantitatif dalam bentuk
nilai (bobot) tertentu. Salah satu sistem klasifikasi massa batuan yang umum
digunakan saat ini adalah klasifikasi geomekanika atau dikenal juga dengan sistem
RMR (Rock Mass Rating). Sistem ini telah dikembangkan dan dimodifikasi oleh
Bieniawski selama tahun 1972-1973 sehingga dapat memenuhi standar dan prosedur
internasional
RMR merupakan hasil total penjumlahan dari pembobotan yang dilakukan
untuk setiap parameternya. Ada 6 parameter yang digunakan untuk klasifikasi ini,
yaitu :
1) Kuat Tekan Uniaksial
2) Rock Quality Designation (RQD)
3) Spasi Diskontinuitas
4) Kondisi Diskontinuitas
5) Orientasi Diskontinuitas
6) Kondisi Air Tanah
Setiap parameter tersebut di atas mempunyai rentang bobot tertentu
(Tabel 3.5). Sehingga setiap parameter dengan kondisi tertentu memiliki bobot
(rating) tertentu pula, yang besarnya ditentukan dengan interpolasi atau secara grafis.
Pembobotan / rating dari keenam parameter RMR tersebut akan mengklasifikasikan
massa batuan menjadi lima kelas massa batuan, dimana tiap kelas mempunyai
estimasi stand-up time dan rekomendasi penyanggaan masing-masing. Selanjutnya
setelah diberikan data RMR, keluaran dari klasifikasi geomekanika adalah stand-up
time dan span batuan maksimum seperti terlihat pada gambar 3.11, atau dapat juga
mengklasifikasikannya secara langsung berdasarkan tabel 3.6.

52

Tabel 3.5
5)
Pembobotan Parameter Klasifikasi Dalam Sistem RMR
A. PARAMETER KLASIFIKASI DAN PEMBOBOTANNYA
Parameter

1.

2.
3.

4.

Kekuatan
Batuan
Utuh

Selang Nilai

Indeks Kekuatan
Point Load (MPa)

>10

4 - 10

2-4

1-2

Kuat Tekan Tekan


Uniaksial (MPa)

>250

100 - 250

50 - 100

25 - 50

15
90 - 100
20
>2m
20
Permukaan
sangat
kasar, tidak
menerus
tidak renggang dan
tidak lapuk

12
75 - 90
17
0.6 - 2m
15
Agak
kasar,
rengangan
<1mm,
agak
lapuk

7
50 - 75
13
0.2 - 0.6m
10
Agak kasar
,
renggangan
<1mm,
sangat
lapuk

4
25 - 50
5
60 - 200mm
8
Slickensides/gouge
<5mm,
renggangan 1 5mm, menerus

1
0
<25
3
<60mm
5
Gouge lemah, tebal
>5mm atau renggangan
5mm, menerus

30

25

20

10

Tidak ada

<10

10 - 25

25 - 125

>125

0
kering
15

<0.1
lembab
10

0.1 - 0.2
basah
7

0.2 - 0.5
menetes
4

>0.5
mengalir
0

Pembobotan
Rock Quality Designation (%)
Pembobotan
Spasi Rekahan
Pembobotan

Kondisi Rekahan

Pembobotan

5.

Aliran /10m panjang


terowongan (L/min.)

Air
Tanah

Tek. Pori/Teg. Utama


Max.

Keadaan Umum
Pembobotan

Untuk nilai yang kecil


dipakai hasil UCS
525

1-5

<1

B. PENGARUH ORIENTASI JURUS DAN KEMIRINGAN PADA PEMBUATAN


TEROWONGAN
Arah jurus tegak lurus sumbu terowongan
Maju searah kemiringan
45 - 90
Sangat
menguntungkan

Maju melawan kemiringan

20 - 45
Menguntungkan

45 - 90
Sedang

20 - 45
Tidak
menguntungkan

Kemiringan 0-20
tidak memperhatikan
kemiringan

Arah jurus sejajar sumbu


terowongan
45 - 90
Sangat tidak
menguntungkan

20 - 45
Sedang

Tidak
menguntungkan

C. PENYESUAIAN PEMBOBOTAN UNTUK ORIENTASI KEKAR


Orientasi Jurus dan Kemiringan
Pembobotan

Terowongan
Pondasi
Lereng

Sangat
menguntungkan

Menguntungkan

Sedang

Tidak
menguntungkan

Sangat tidak
menguntungkan

0
0
0

-2
-2
-2

-5
-7
-25

-10
-15
-50

-12
-25
-60

40 - 21
IV
jelek

<21
V
sangat jelek

D. KELAS MASSA BATUAN DARI PEMBOBOTAN TOTAL


Pembobotan
Nomor kelas
Pemerian

100 - 81
I
sangat jelek

80 - 61
II
baik

60 - 41
III
sedang

E. ARTI DARIPADA KELAS BATUAN


Nomor kelas
Stand-up time rata-rata

I
20 tahun untuk

II
6 bulan untuk

III
1 minggu

IV
10 jam untuk

V
30 menit untuk

53

span 15 m
Kohesi massa batuan (kPa)
Sudut geser dalam massa batuan ()

>400
>45

span 8 m
300 - 400
35 - 45

untuk span
5m
200 - 300
25 - 35

span 2.5 m

span 1 m

100 - 200
15 - 25

Gambar 3.11
Hubungan Antara Stand-Up Time dan Span Untuk Berbagai Massa Batuan

Tabel 3.6
Deskripsi Kelas Massa Batuan Menurut Sistem RMR
Deskripsi Batuan

3)

Bobot

Kelas

Stand-Up Time Rerata

81 - 100

Sangat Baik

10 tahun untuk span 15 m

61 - 80

II

Baik

6 bulan untuk span 8 m

41 - 60

III

Sedang

1 minggu untuk san 5 m

21 - 40

IV

Buruk

10 jam untuk span 2,5 m

<20

Sangat Buruk

30 menit untuk span 1 m

<100
<15

7)

Anda mungkin juga menyukai