Anda di halaman 1dari 29

Neonatus Hiperbilirubinemia

Disusun Oleh:
Christopher
112014149

Pembimbing:
Dr. Melani R. Mantu, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 17 AGUSTUS -24 OKTOBER
RSUD TARAKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada yang Maha Kuasa atas kesempatannya yang telah diberikan
kepada saya untuk membuat refrat ini. Saya juga berterima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu secara langsung maupun secara tidak langsung. Salah satunya adalah dr.
Melanie SpA sebagai pembimbing saya dan sebagai pemberi informasi, kritikan, dan saran
yang membangun saya untuk lebih baik lagi.
Saya sadar bahwa refrat ini masih banyak kekurangannya. Tetapi saya telah berusaha
untuk membuat refrat yang berguna bagi para pembaca. Karena itu, saya mengharapkan
adanya kritik maupun saran yang membangun dari para pembaca demi perkembangan saya
ke depan.
Saya mengharapkan refrat ini dapat digunakan untuk kepentingan para pembaca, serta
dapat menambah wawasan para pembaca. Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya dan selamat membaca.

Jakarta, 1 September 2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
Ikterus atau jaundice merupakan salah satu kondisi paling umum yang harus
mendapat perhatian khusus dari petugas medik pada bayi yang baru saja lahir. Ikterus sendiri
didefinisikan sebagai kondisi tubuh bayi yang berwarna kuning, dan umumnya tidak hanya
tubuh, pewarnaan kuning juga dapat terjadi pada sklera bayi sebagai hasil dari akumulasi dari
2

bilirubin yang tidak terkonjugasi. Pada sebagian besar bayi, hiperbilirubinemia tidak
terkonjugasi merupakan fenomena transisi yang umum dijumpai namun pada beberapa bayi,
bilirubin serum dapat meningkat sangat tinggi dan hal inilah yang perlu diwaspadai dan
dibedakan dengan ikterus yang terjadi secara fisiologis, karena pada dasarnya bilirubin tidak
terkonjugasi bersifat neurotoksik dan dapat menyebabkan kematian pada bayi yang baru lahir
dan dapat pula meninggalkan sequelae neurologik yang menetap seumur hidup pada bayi
yang dapat bertahan hidup (kern-icterus). Untuk alasan inilah, maka kehadiran ikterus pada
neonatus memerlukan evaluasi diagnostik berulang. Ikterus pada neonatus mungkin pertama
kali dideskripsikan pada textbook China 1000 tahun yang lalu. Tesis medik, esai, dan
textbook dari abad 18 dan 19 sebagian besar mengandung diskusi mengenai penyebab dan
perawatan dari neonatal jaundice ini. Beberapa teks juga menjelaskan hal mematikan yang
dapat terjadi pada bayi dengan iso-imunisasi Rh. Di tahun 1875, Orth pertama kali
mendeskripsikan pewarnaan kuning pada otak dan selanjutkan akan diistilahkan sebagai
kernicterus.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. DEFINISI
Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin serum total 7 mg/dL (86
mol/L). Ikterus atau jaundice adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva, dan mukosa
akibat penumpukan bilirubin tak terkonjugasi pada jaringan. Ikterus pada neonatus akan
terlihat bila kadar bilirubin serum >7 mg/dL. Istilah hiperbilirubinemia sering disalahartikan
sebagai ikterus berat yang membutuhkan terapi segera. Sesungguhnya, hiperbilirubinemia
dan ikterus/joundice merupakan terminologi yang merujuk pada keadaan yang sama.2,3
3

Hiperbilirubinemia adalah keadaan transien yang sering ditemukan baik pada bayi
cukup bulan (50-70%) maupun bayi prematur (80-90%). Sebagian besar hiperbilirubinemia
adalah fisiologis dan tidak membutuhkan terapi khusus, tetapi karena potensi toksik dari
bilirubin maka semua neonatus harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya
hiperbilirubinemia berat. Hiperbilirubinemia seringkali dianggap menakutkan, baik oleh
dokter maupun keluarga sehingga dibutuhkan panduan yang jelas agar tidak terjadi
overtreatment maupun underdiagnosis. Pemahaman yang baik mengenai patofisiologi dan
tata laksana hiperbilirubinemia dapat meminimalisir hal-hal yang tidak diharapkan, seperti
kecemasan, penghentian menyusui, terapi yang tidak perlu, dan biaya yang berlebihan.2
2.2. ANAMNESIS
Anamnesis yang dapat dilakukan untuk bayi dengan ikterus, umumnya ditanyakan
langsung kepada ibu, sehingga anamnesis bersifat allo-anamnesis, beberapa hal yang perlu
ditanyakan kepada ibu mengenai ikterus pada bayinya, antara lain:2,3
-

Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi glukosa 6fosfat dehidrogenase (G6PD)

Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan galaktosemia,


defisiensi alfa-1 -antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia, penyakit Gilbert, sindrom
Crigler-Najjar tipe I dan II, atau fibrosis kistik

Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada kemungkinan


inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice

Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus atau


toksoplasma

Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan


bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan hemolisis pada bayi
dengan defisiensi G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria)

Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan atau


hemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang disebabkan
ketidakmampuan hati memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan intrakranial.
Keterlambatan klem tali pusat dapat menyebabkan polisitemia neonatal dan
peningkatan bilirubin

Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk


berkepanjangan

Pemberian air susu ibu (ASI). Harus dibedakan antara breast-milk jaundice dan
4

breastfeeding jaundice
a. Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh kekurangan asupan ASI.
Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu produksi ASI belum banyak.
Untuk neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah),
hal ini tidak perlu dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan lemak coklat,
glikogen, dan cairan yang dapat mempertahankan metabolisme selama 72 jam.
Walaupun demikian keadaan ini dapat memicu terjadinya hiperbilirubinemia, yang
disebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatik akibat kurangnya asupan ASI. Ikterus
pada bayi ini tidak selalu disebabkan oleh breastfeeding jaundice, karena dapat saja
merupakan hiperbilirubinemia fisiologis.2,3
b. Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu (ASI). Insidens
pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian besar bayi, kadar bilirubin turun
pada hari ke-4, tetapi pada breast-milk jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat
mencapai 20-30 mg/dL pada usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun
secara drastis dalam 48 jam. Bila ASI diberikan kembali, maka bilirubin akan kembali
naik tetapi umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi menunjukkan
pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati normal, dan tidak terdapat bukti
hemolisis. Breast-milk jaundice dapat berulang (70%) pada kehamilan berikutnya.
Mekanisme sesungguhnya yang menyebabkan breast-milk jaundice belum diketahui,
tetapi diduga timbul akibat terhambatnya uridine diphosphoglucuronic add
glucuronyl transferase (UDGPA) oleh hasil metabolisme progesteron, yaitu pregnane3-alpha 2-beta-diol yang ada di dalam ASI sebagian ibu.2,3

2.3. PEMERIKSAAN FISIK


Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan cara mengobservasi warna kulit setelah
dilakukan penekanan menggunakan jari. Pemeriksaan terbaik dilakukan menggunakan
cahaya matahari. Ikterus dimulai dari kepala dan meluas secara sefalokaudal. Walaupun
demikian inspeksi visual tidak dapat dijadikan indikator yang andal untuk memprediksi
kadar bilirubin serum.
Hal-hal yang harus dicari pada pemeriksaan fisis:2,3
- Prematuritas
-

Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan polisitemia

Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masa kehamilan


5

- Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom


- Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah ekstravaskular
- Petekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis
- Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, atau
penyakit hati
- Omfalitis
- Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
- Tanda hipotiroid
Ikterik dapat dideteksi dari menekan kulit dengan ibu jari pada dahi, mid-sternum,
atau lutut/pergelangan kaki, untuk menimbulkan warna yang tersembunyi dari kulit dan
jaringan subkutan. Ikterik ini biasanya dilihat pertama kali pada wajah dan bertambah ke
bawah ke badan dan ekstremitas. Untuk membantu menilai kadar bilirubin dalam tubuh bayi,
dapat digunakan kramer score.1

Gambar 1. Skor Kramer.1


2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakan diagnosa antara lain:2
-

Hemoglobin atau hematokrit

Hitung darah lengkap untuk mencari tanda infeksi bakteri berat (hitung neutrofil
tinggi atau rendah dengan batang >20%) dan tanda hemolisis

Bilirubin serum total. Bilirubin serum direk dianjurkan untuk diperiksa bila ikterus
menetap sampai usia >2 minggu atau dicurigai adanya kolestasis

Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat morfologi
eritrosit dan ada tidaknya hemolisis. Bila fasilitas tersedia, lengkapi dengan hitung
retikulosit
6

Golongan darah, Rhesus, dan direct Coombs test dari ibu dan bayi untuk mencari
penyakit hemolitik. Bayi dari ibu dengan Rhesus negatif harus menjalani pemeriksaan
golongan darah, Rhesus, dan direct Coombstest segera setelah lahir

Kadar enzim G6PD pada eritrosit


-

Pada ikterus yang berkepanjangan, lakukan uji fungsi hati, pemeriksaan urin untuk
mencari infeksi saluran kemih, serta pemeriksaan untuk mencari infeksi kongenital,
sepsis, defek metabolik, atau hipotiroid

2.5. DIAGNOSIS
Berbagai faktor risiko dapat meningkatkan kejadian hiperbilirubinemia yang berat.
Perlu penilaian pada bayi baru lahir terhadap berbagai risiko, terutama untuk bayi-bayi yang
pulang lebih awal. Selain itu juga perlu dilakukan pencatatan medis bayi dan disosialisasikan
pada dokter yang menangani bayi tersebut selanjutnya.
Tampilan ikterus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi dalam ruangan dengan
pencahayaan yang baik, dan menekan kulit dengan tekanan ringan untuk melihat warna kulit
dan jaringan subkutan. Ikterus pada kulit bayi tidak terperhatikan pada kadar bilirubin kurang
dari 4 mg/dU.
Pemeriksaan fisis harus difokuskan pada identifikasi dan salah satu penyebab ikterus
patologis. Kondisi bayi harus diperiksa pucat, petekie, extravasasi darah, memar kulit yang
berlebihan, hepatosplenomegali, kehilangan berat badan, dan bukti adanya dehidrasi."
Guna mengantisipasi komplikasi yang mungkin timbul, maka perlu diketahui daerah
letak kadar bilirubin serum total (Diagram 1) beserta faktor risiko terjadinya
hiperbilirubinemia yang berat (Tabel 8).4

Diagram 1. Normogram Penentuan Resiko Hiperbilirubinemia Berdasarkan Jam Observasi


Kadar Bilirubin Serum.3
2.6. ETIOLOGI
Selama periode neonatal, metabolisme bilirubin berada dalam masa transisi dari tahap
janin, di mana plasenta merupakan rute utama penghapusan larut lemak dan bilirubin tak
terkonjugasi. Pada tahap dewasa, di mana bentuk terkonjugasi yang larut dalam air

diekskresikan dari sel hati ke dalam sistem empedu dan saluran pencer naan. Hiperbilirubinemia
tidak terkonjugasi mungkin disebabkan atau meningkat faktor yang:5

(a) meningkatkan beban bilirubin yang akan dimetabolisme oleh hati (anemia
hemolitik, polisitemia, memar atau perdarahan internal disingkat hidup sel darah merah
sebagai akibat dari ketidakdewasaan atau transfusi sel, meningkatkan sirkulasi enterohepatik,
infeksi);
(b) kerusakan atau mengurangi aktivitas enzim transferase atau enzim lain yang
terkait (defisiensi genetik, hipoksia, infeksi, kekurangan tiroid);
(c) kemampuan untuk atau blok enzim transferase (obat-obatan dan zat lain yang
membutuhkan konjugasi asam glukuronat); atau
(d) menyebabkan tidak adanya atau penurunan jumlah enzim atau pengurangan
bilirubin penyerapan oleh sel-sel hati (cacat genetik, dan prematuritas). Polimorfisme gen
dalam hati difosfat uridin glucuronosyltransferase isoenzim 1A1 (UGT1A1) dan pembawa
zat terlarut anion organik transporter 1B1 (SLCOIBI) sendiri atau dalam pengaruh kombinasi
kejadian hiperbilirubinemia neonantal. Efek racun dari konsentrasi serum dari unconjugated
8

bilirubin meningkat dengan faktor-faktor yang mengurangi retensi bilirubin dalam sirkulasi
(hipoproteinemia, displacement bilirubin dari situs yang mengikat albumin oleh pengikatan

kompetitif dari obat-obatan seperti sulfisoxazole dan moxalactam, asidosis, dan peningkatan
konsentrasi asam lemak bebas sekunder untuk hipoglikemia, kelaparan, atau hipotermia).
Efek neurotoksik secara langsung berhubungan tidak hanya dengan permeabilitas
penghalang dan sel saraf membran darah-otak tetapi juga untuk kerentanan saraf cedera, yang
semuanya dapat dipengaruhi oleh asfiksia, prematuritas, hiperosmolalitas, dan infeksi.
Awalnya ditandai nafsu makan menurun, bisa juga disebabkan oleh breast feeding dan
dehidrasi, serta peningkatan kadar serum bilirubin. Keterlambatan mekonium, yang berisi 1
mg bilirubin / dL, mungkin kontribusi untuk penyakit kuning oleh resirkulasi enterohepatik
setelah dikonjugasi oleh glucuronidase usus. Obat-obatan seperti oksitosin (pada ibu) dan bahan
kimia yang digunakan di pembibitan seperti deterjen fenolik juga dapat menghasilkan
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi.5,6
Tabel 1. Etiologi Hiperbilirubinemia Tidak Terkonjugasi.7
Umum

Jarang

Ada Hemolisis
Inkompabilitas golongan darah;

Tidak Ada Hemolisis


Ikterus fisiologis, ikterus ASI,

ABO. Rh, Kelly, Duffy

perdarahan interna, polisitemia,

Infeksi
Defek enzim eritrosit: glukosa-

bayi dari ibu diabetes.


Mutasi
enzim
glukorinil

6-fosfat dehidrogenase, piruvat

transferase

kinase

Najjar,

Gangguan membran eritrosit:

stenosis pilorus, hipotiroidisme,

sferositosis, ovalositosis

trombositopenia imun

(Sindrom
penyakit

Crigler
Gilbert),

Hemoglobinopati: thalasemia

Tabel 2. Etiologi Hiperbilirubinemia Terkonjugasi.7


Umum
- Kolestasis Hiperalimentasi
- Infeksi CMV
- Infeksi Kongenital Perinatal lain (TORCH)
- Pengentalan empedu akibat hemolisis yang lama
- Hepatitis Neonatus
- Sepsis
Tidak Umum
- Infark hati
- Kesalahan metabolisme bawaan (galaktosemia, tirosinosis)
- Fibrosis kistik
- Atresia Biliaris
- Kista koledokus
- Defisiensi alfa1-antitripsin
- Penyakit penyimpanan besi neonatus
- Sindrom Alagile (displasia arteriohepatika)
- Penyakit Byler

2.7. EPIDEMIOLOGI
Insidensi ikterus pada neonatus bervariasi sesuai dengan etnis dan geografik. Insiden
paling tinggi didapatkan di Asia Timur dan Indian Amerika dan insidens lebih rendah pada
orang kulit hitam. Orang Yunani yang tinggal di Yunani memiliki insidensi lebih tinggi
dibanding keturunan Yunani yang tinggal di luar Yunani.1
Insidens lebih tinggi pada populasi yang hidup di dataran tinggi. Tahun 1984, Moore
et all melaporkan 32,7% bayi dengan kadar serum bilirubin lebih dari 12 mg/dL berada pada
ketinggian 3100 m dari permukaan laut.1
Sebuah studi di Turki melaporkan adanya ikterus yang lebih jelas pada 10,5% bayi
cukup bulan dan 25,3% pada bayi yang mendekati cukup bulan. Ikterus yang lebih signifikan
ini terkait dengan masa gestasi dan umur postnatal, dengan puncak tertinggi 14 mg/dL pada
hari ke-4 untuk bayi prematur, dan 17 mg/dL pada bayi cukup bulan.1
Beberapa studi juga menunjukkan bahwa adanya variasi etnis/suku yang berpengaruh
pada insidens dan tingkat keparahan ikterus neonatus ini, dan hal ini diduga berkaitan dengan
perbedaan distribusi varian genetik dalam memetabolisme bilirubin.1
Ras
Insidens dari ikterus neonatus ini meningkat pada bayi Asia Timur, Indian Amerika
dan keturunan Yunani, walaupun pada akhirnya bayi yang lahir di Yunani lebih dipengaruhi
oleh lingkungan dibandingkan oleh ras aslinya. Bayi berkulit gelap memiliki insidens ikterus
lebih rendah dibanding bayi berkulit putih. Pada tahun 1985, Linn et al melaporkan bahwa
pada 49% bayi Asia Timur, 20% bayi berkulit putih dan 12% bayi berkulit gelap memiliki
10

kadar bilirubin serum di atas 10 mg/dL. Bayi-bayi Asia lebih cenderung untuk memiliki kadar
bilirubin di atas 12 mg/dL dan hal ini dikaitkan dengan polimorfisme genetik yang
mempengaruhi gene UDPGT atau defisiensi G-6-PD.1
Jenis Kelamin
Bayi laki-laki memiliki insidens ikterus lebih tinggi dibanding bayi berjenis kelamin
perempuan. Hal ini tidak berkaitan dengan faktor rata-rata produksi bilirubin, karena faktor
produksi ini sama untuk kedua jenis kelamin.1
Usia
Risiko ikterus yang signifikan berbanding terbalik dengan masa gestasi proporsional.
Bayi-bayi prematur biasanya lenih sering mengalami kondisi intake enteral yang buruk, BAB
yang terlambat/tertunda, dan sirkulasi enterohepatik yang meningkat. Bahkan, pada usia
gestasi 37 minggu, kelompok ini 4x lebih mungkin memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL
dibandingkan dengan kelompok bayi dengan masa gestasi 40 minggu.1

2.8. PATOFISIOLOGI
Metabolisme Bilirubin pada Janin dan Neonatus

11

Gambar 1. Metabolisme bilirubin pada neonatus.5


Produksi
Bilirubin sebagian besar dibentuk sebagai akibat dari penghancuran hemoglobin pada
sistem retikuloendotelial dengan reaksi oksidasi-reduksi. Tahap pertama ialah dengan
oksidasi heme yang akan menghasilkan biliverdin oleh heme oksigenase yang akan melepas
besi yang akan disimpan untuk dipakai kembali dan karbon monoksida yang dilepaskan
melalu paru-paru, karbon monoksida ini dapat diukur pada napas pasien untuk
memperkirakan seberapa besar produksi bilirubin. Kemudian biliverdin yang larut air akan
menjadi bilirubin oleh enzim bilirubin reduktase. Tingkat penghancuran heme lebih tinggi
pada bayi dibanding pada orang tua. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan sekitar 35
mg bilirubin indirek ketika mengalami degradasi. Bilirubin indirek ini ialah bilirubin yang
tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Peningkatan produksi bilirubin pada neonatus
disebabkan oleh karena adanya peningkatan penghancuran eritrosit fetus dan sebagai hasil
dari umur eritrosit fetal yang memendek serta dikarenakan massa eritrosit yang lebih tinggi
pada neonatus.5

Transportasi

12

Bilirubin indirek yang tidak larut air ini kemudian akan diangkut oleh albumin. Sel
parenkima hepar mempunyai cara yang selektif dan efektif dalam mengambil bilirubin dari
plasma, untuk kemudian bilirubin ini akan ditransfer ke dalam hepatosit sedangkan albumin
tidak. Di dalam sel, bilirubin akan terikat pada ligandin (protein Y, glutation S-transferase B)
dan sebagian kecil lagi pada protein Z. Bilirubin yang masuk hepatosit selanjutnya akan
mengalami konjugasi dan diekskresi ke dalam empedu. Dengan adanya sitosol hepar,
ligandin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak. Pada neonatus, terdapat konsentrasi
rendah ligandin dan juga aktivitas enzim transferase yang rendah, sehingga hal ini mendasari
banyaknya bilirubin indirek bebas dalam darah. Uptake bilirubin yang masuk ke dalam
hepatosit berbanding lurus dengan konsentrasi ligandin.5
Konjugasi
Selanjutnya dalam sel hepar, bilirubin akan dikonjugasikan dengan asam glukuronat
menjadi bilirubin diglukuronide walaupun sebagian kecil juga ada dalam bentuk bilirubin
monoglukuronide.

Bilirubin

monoglukuronide

ini

akan

diubah

menjadi

bilirubin

diglukuronide oleh enzim glukuronil transferase. Ada 2 macam enzim yang terlibat dalam
sinsesis bilirubin diglukuronide, yaitu enzim UDPG:T (uridin difosfat glukuronide transferase
yang mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukuronide.5
Ekskresi
Sesudah proses konjugasi maka bilirubin ini akan menjadi bilirubin direk yang larut
dalam air dan dapat diekskresikan dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus, dalam
usus bilirubin direk ini tidak diabsorpsi dan akan dirubah menjadi tetrapirol yang tidak
berwarna/sterkobilin oleh mikroba kolon dan dilepas bersama tinja. Sebagian kecil dari
bilirubin direk ini akan dihidrolisis atau didekonjugasi di usus kecil proksimal menjadi
bilirubin indirek oleh B-glukuronidase yang ada di brush border dan direabsorpsi sehingga
akan meningkatkan total bilirubin plasma. Siklus ini disebut siklus enterohepatik. Pada
neonatus dikarenakan aktivitas enzim B-glukuronidase yang meningkat, bilirubin direk
banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin justru didekonjugasi menjadi bilirubin indirek
sehingga jumlah bilirubin yanng terhidrolisa menjadi bilirubin indirek akan meningkat dan
direabsorpsi sehingga siklus enterohepatik meningkat. Intake makanan oleh neonatus pada
hari-hari pertama kehidupan yang terbatas akan membuat waktu transit usus lebih panjang
sehingga akan berdampak pada siklus enterohepatik yang meningkat. Siklus ini juga
meningkat pada bayi yang kurang mendapat asupan cairan dan nutrisi.
13

Pada neonatus dan fetus, produksi bilirubin diduga sama besarnya tetapi faktor
kesanggupan hepar

mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas demikian pula

kesanggupan untuk mengkonjugasi, sehingga hampir semua bilirubin janin dalam bentuk
bilirubin indirek dengan mudah melalui plasenta masuk ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh
hepar ibu. Dalam keadaan fisiologis, dapat terjadi adanya akumulasi bilirubin indirek pada
neonatus sampai 2 mg%. Hal inilah yang membedakan antara metabolisme bilirubin oleh
fetus dan neonatus, pada fetus masalah metabolisme dapat terselesaikan dengan bantuan
metabolisme ibu sedangkan pada neonatus akan terjadi penumpukkan bilirubin dan timbul
ikterus. Pada neonatus, hal ini disebabkan oleh karena belum sempurnanya fungsi hepar
diikuti dengan keadaan hipoksia, asidosis, atau adanya kekurangan enzim glukuronil
transferase maka kadar bilirubin indirek darah akan meningkat. Pada bayi kurang bulan,
kadar albumin serum rendah dan ini menyebabkan adanya bilirubin indirek bebas dan sangat
berbahaya karena dapat melekat pada sel otak. Oleh karena itu, perlu diberikan albumin atau
plasma untuk mencegah bilirubin indirek bebas ini meninggi kadarnya. Ikterus pada bayi juga
disebabkan oleh karena keadaan kolon bayi yang masih steril tanpa keberadaan flora normal
sehingga bilirubin terkonjugasi akan tetap diam di lumen usus dan dengan enzim Bglukuronidase maka bilirubin terkonjugasi akan didekonjugasi menjadi bilirubin tidak
terkonjugasi kembali. Pada mukosa usus neonatus terdapat konsentrasi enzim Bglukuronidase yang lebih tinggi dibanding pada orang dewasa.5
2.9. KLASIFIKASI
Penyebab Hiperbilirubinemia:
1. Hiperbilirubinemia fisiologis
Kadar bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated bilirubin, UCB) pada neonatus cukup
bulan dapat mencapai 6-8 mg/dL pada usia 3 hari, setelah itu berangsur turun. Pada bayi
prematur, awitan ikterus terjadi lebih dini, kadar bilirubin naik perlahan tetapi dengan
kadar puncak lebih tinggi, serta memerlukan waktu lebih lama untuk menghilang,
mencapai 2 minggu. Kadar bilirubin pada neonatus prematur dapat mencapai 10-12
mg/dL pada hari ke-5 dan masih dapat naik menjadi >15 mg/dL tanpa adanya kelainan
tertentu. Kadar bilirubin akan mencapai <2 mg/dL setelah usia 1 bulan, baik pada bayi
cukup bulan maupun prematur. Hiperbilirubinemia fisiologis dapat disebabkan beberapa
mekanisme:2,3
a. Peningkatan produksi bilirubin, yang disebabkan oleh:2
-

Masa hidup eritrosit yang lebih singkat


14

Peningkatan eritropoiesis inefektif

b. Peningkatan sirkulasi enterohepatik


c. Defek uptake bilirubin oleh hati
d. Defek konjugasi karena aktivitas uridin difosfat glukuronil transferase (UDPG-T)
yang rendah
e. Penurunan ekskresi hepatik
2. Hiperbilirubinemia nonfisiologis
Keadaan di bawah ini menandakan kemungkinan hiperbilirubinemia nonfisiologis dan
membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut:2,3
-

Awitan ikterus sebelum usia 24 jam

Peningkatan bilirubin serum yang membutuhkan fototerapi

Peningkatan bilirubin serum >5 mg/dL/24 jam

Kadar bilirubin terkonjugasi >2 mg/dL


- Bayi menunjukkan tanda sakit (muntah, letargi, kesulitan minum, penurunan berat
badan, apne, takipnu, instablilitas suhu)

Ikterus yang menetap >2 minggu

2.10. TATALAKSANA
Tatalaksana Umum
Pemberian obat umumnya tidak dilakukan pada bayi dengan ikterus yang fisiologis,
namun pada beberapa kondisi dapat diberikan fenobarbital untuk menginduksi kerja
metabolisme bilirubin oleh hati dan pada beberapa studi, fenobarbital dikatakan efektif untuk
menurunkan rata-rata kadar bilirubin serum selama minggu pertama kehidupan. Fenobarbital
dapat diberikan sebelum melahirkan pada ibu ataupun setelah melahirkan pada bayi.4
Penggunaan fenobarbital terutama diberikan untuk populasi dengan insidens ikterus
yang signifikan, obat-obatan yang dapat menginduksi metabolisme bilirubin selain
fenobarbital juga tersedia namun masih terdapat kekurangan data lapangan yang kuat
mengenai keamanan obat-obatan ini. Selain itu, dapat pula diberikan immunoglobulin secara
intravena 500 mg/kg yang ternyata telah menunjukkan penurunan berarti kebutuhan untuk
melalukan transfusi gamti pada bayi dengan penyakit hemolisis iso-imun. Mekanismenya
belum jelas, namun diduga berkaitan dengan sistem imun yang menjaga sel darah merah yang
telah diselimuti antibodi. Terapi baru yang saat ini masih di bawah perkembangan ialah
inhibisi produksi bilirubin dengan memblokade enzim heme oksigenase, dan dapat dilakukan
15

dengan penggunaan protoporfirin. Namun, terapi ini masih menimbulkan banyak pertanyaan
dan masih harus dipikirkan secara matang, terutama mengenai efek samping obat yang
digunakan dan juga pemahaman bahwa bilirubin mungkin berperan sebagai agen penangkal
radikal bebas pada bayi.5,8
Penggunaan farmakoterapi
Farmakoterapi telah digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia dengan
merangsang induksi enzim-enzim hati dan protein pembawa, guna mempengaruhi
penghancuran heme, atau untuk mengikat billiiubin dalam usus halus sehingga reabsorpsi
enterohepatik menurun, antara lain :
1. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi-bayi dengan Rh yang berat dan
inkompabilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan
tranfusi ganti.
2. Fenobarbital telah memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang aktivitas, dan
konsentrasi UDPGT dan ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan
bilirubin. Penggunaan fenobarbital setelah lahir masih kontroversial dan secara
umum tidak direkomendasikan. Diperlukan waktu beberapa hari sebelum terlihat
perubahan bermakna, hal ini membuat penggunaan fototerapi nampak jauh lebih
mudah. Fenobarbital telah digunakan pertama kali pada inkompabilitas Rh untuk
mengurangi jumlah tindakan tranfusi ganti. Penggunaan fenobarbital profilaksis
untuk mengurangi pemakaian fototerapi atau tranfusi ganti pada bayi dengan
defisiensi G6PD ternyata tidak membuahkan hasil.
3. Pencegahan hiperbilirubinemia dengan menggunakan metalloprotoporphyrin juga
telah diteliti. Zat ini adalah analog sintetis heme. Protoporphyrin telah terbukti
efektif sebagai inhibitor kompetitif dari heme oksigenase, enzim ini diperlukan untuk
katabolisme heme menjadi biliverdin. Dengan zat-zat ini heme dicegah dari
katabolisme dan diekskresikan secara utuh didalam empedu.
4. Pada penelitian terhadap bayi kurang dan cukup bulan, bayi dengan atau tanpa
penyakit hemolitik, tin-protoporphyrin (Sn-PP) dan tin-mesoporphyrin (Sn-MP)
dapat menurunkan kadar bilirubin serum. Penggunaan fototerapi setelah pemberian
Sn-PP berhubungan dengan timbulnya eritema foto toksik. Sn-MP kurang bersifat
toksik, khususnya jika digunakan bersamaan dengan fototerapi. Pada penelitian
terbaru dengan penggunaan Sn-MP maka fototerapi pada bayi cukup bulan tidak
diperlukan lagi, sedangkan pada bayi kurang bulan penggunaanya telah banyak
16

berkurang. Pemakaian obat ini masih dalam percobaan dan keluaran jangka panjang
belum diketahui, sehingga pemakaian obat im sebaiknya hanya digunakan untuk bayi
yang mempunyai risiko tinggi terhadap kejadian hiperbilirubinemia yang
berkembang menjadi disfungsi neurologi dan juga sebagai clinical trial.
5. Baru-baru ini dilaporkan bahwa pemberian inhibitor -glukuronidase pada bayi sehat
cukup bulan yang mendapat ASI, seperti asam L-aspartik dan kasein hoidrolisat
dalam jumlah kecil (5 ml/dosis - 6 kali/hari) dapat meningkatkan pengeluaran
bilirubin feses dan ikterus menjadi berkurang dibandingkan dengan bayi kontrol.
Kelompok bayi yang mendapat campuran whey/kasein (bukan inhibitor glukuronidase) kuningnya juga tampak menurun dibandingkan dengan kelompok
kontrol, hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan ikatan bilirubin konjugasi
yang berakibat pada penurunan jalur enterohepatik.5
Foto Terapi dan Tranfusi Tukar
Jika kadar bilirubin total serum tidak menurun atau terus meningkat walaupun telah
mendapat

fototerapi

intensif,

kemungkinan

telah

terjadi

hemolisis

dan

direkomendasikan untuk menghentikan fototerapi.5


Dalam penggunaan petunjuk fototerapi dan tranfusi ganti, kadar bilirubin direk atau
konjugasi tidak harus dikurangkan dari bilirubin total. Dalam kondisi dimana kadar
bilirubin direk 50% atau lebih dari bilirubin total, tidak tersedia cara yang baik untuk
petunjuk terapi dan direkomendasikan untuk berkonsultasi kepada ahlinya.5
Jika kadar bilirubin total serum berada pada angka untuk rekomendasi dilakukan
tranfusi ganti (Gambar) atau jika kadar bilirubin total sebesar 25 mg/dL atau lebih
tinggi pada setiap waktu, hal ini merupakan keadaan emergensi dan bayi harus segera
masuk dan mendapatkan perawatan fototetapi intensif. Bayi-bayi ini tidak harus
dirujuk melalui bagian emergensi karena hal ini dapat menunda terapi.5
Tranfusi ganti harus dilakukan hanya oleh personel yang terlatih di ruangan NICU
dengan observasi ketat dan tnompu melakukan resusitasi.5
Penyakit isoimun hemolitik, pemberian -globulin (0,5-1 g/ kgBB selama 2 jam)
direkomendasikan jika kadar bilirubin total serum meningkat walaupun telah
mencapai fototerapi intensif atau kadar bilirubin total serum berkisar 2-3 mg/dL dari
kadar tranfusi ganti. Jika diperlukan dosis ini dapat diulang dalam 12 jam.5

17

Tabel 3. Penatalaksanaan bayi dengan hiperbilirubinemia.5


Terapi
Lakukan fototerapi intensif dan atau transfusi tukar sesuai indikasi (lihat Diagram 1 dan Diagram 2)
Lakukan pemeriksaan laboratorium:
Bilirubin total dan direk
Tes antibodi direct (ABO. Rh)
Test antibodi direct (Coombs)
Serum albumin
Pemeriksaan darah tepi lengkap dengan hitung jenis dan morfologi
Jumlah retikulosit
G6PD (bila terdapat kecurigaan (berdasarkan etnis dan geografis) atau respon terhadap
foto terapi kurang)
Urinalisis
Bila anamnesis dan atau tampilan klinis menunjukkan kemungkinan sepsis lakukan
pemeriksaan kultur darah, urine, dan liquor untuk protein, glukosa, hitung sel dan kultur
Tindakan:
Bila bilirubin total > 25 mg atau > 20 mg pada bayi sakit atau bayi < 56 minggu, lakukan
pemeriksaan golongan darah dan cross march pada pasien yang akan direncanakan transfusi
ganti
Pada bayi dengan penyakit otoimun hemolitik dan kadar bilirubin total meningkat
walau telah dilakukan foto terapi intensif atau dalam 2-3 mg/dL kadar transfusi ganti,
berikan imunoglobulin intravena 0,5-1 g/kg selama 2 jam dan boleh diulang bila perlu
12 jam kemudian.
Pada bayi yang mengalami penurunan berat badan lebih dari 12% atau secara klinis
atau bukti secara biokimia menunjukan tanda dehidrasi dianjurkan pemberian susu
formula atau ASI tambahan. Bila pemberian peroral sulit dapat diberikan intravena
Pada bayi mendapat foto tetap intensif
Pemberian minum dilakukan setiap 2-3 jam
Bila Bilirubin total > 25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 2-3 jam
Bila bilirubin total 20-25 mg/dL. pemerikaasn ulangan dilakukan dalam 3-4 jam, bila <20
mg/dl diulang dalam 4-6 jam. Jika bilirubin total terus meningkat periksa ulang dalam 8-12
jam
Bila kadar bilirubin total tidak turun atau malah mendekati kadar transfusi tukar atau
perbandingan bilirubin total dengan albumin (TSB/albumin) meningkat mendekati angka
untuk transfusi tukar maka lakukan transfusi ganti
Bila kadar bilirubin total kurang dari 13-14 mg/dL foto terapi dihentikan
Tergantung kepada penyebab hiperbilirubinemia, pemeriksaan bilirubin ulangan boleh
dilakukan setelah 24 jam setelah bayi pulang untuk melihat kemungkinan terjadinya rebound

Rasio albumin serum dan rasio bilirubin/albumin


Merupakan

suatu

pilihan

untuk

mengukur

kadar

serum

albumin

dan

mempertimbangkan kadar albumin kurang dari 3 g/dl sebagai satu faktor risiko untuk
menurunkan ambang batas penggunaan fotorerapi.5
Jika dipertimbangkan transfusi ganti, kadar albumin serum harus diukur dan digunakan
rasio bilirubin/albumin yang berkaitan dengan kadar bilirubin total serum dan faktor-

18

faktor lainnya yang menentukan dilakukannya transfusi ganti.5


Bilirubin ensefalopati akut
Direkomendasikan untuk segera melakukan tranfusi ganti pada setiap bayi ikrerus dan
tampak manifestasi fase menengah sampai lanjur dari akut bilirubin ensefolopati
(hipertonia, arching. retrocollis, opistotonus, demam, menangis melengking)
meskipun kadar bilirubin total serum telah turun.5
Semua fasilitas perawatan dan pelayanan bayi harus memiliki peralatan untuk
fototerapi intensif
Manajemen bayi ikterus pada rawat jalan

Pada bayi yang menyusu ynng memerlukan fototerapi (Gambar 9.3), AAP
merekomendasikan bahwa, jika memungkinkan, menyusui harus diteruskan. Juga
terdapat pilihan memilih antuk menghentikan menyusui sementara dan menggantinya
dengan tormula. Hal ini dapat mengurangi kadar bilirubin dan atau meningkatkan
efektifitas fototerapi. Pada bayi menyusui yang mendapat fototerapi, suplementasi
dengan pemberian ASI yang dipompa atau formula adalah cukup jika asupan bayi
tidak adekuat. berat badan turun berlebihan, atau bayi tampak dehidrasi.5

Fototerapi

Diagram 2. Panduan Fototerapi pada bayi usia kehamilan 35 minggu.3

19

Sebagai patokan gunakan kadar billirubin total

Faktor risiko: isoimune hemolytic disease, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, suhu
tubuh yang tidak stabil, sepsis, asidosis atau kadar albumin < 3 g/dL. Pada bayi
dengan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu diperbolehkan untuk melakukan foto terapi
pada kadar bilirubin total sekitar medium risk line. Merupakan pilihan untuk
melakukan intervensi pada kadar bilirubin total serum yang lebih rendah untuk bayibayi yang mendekati usia 35 nunggu dan dengan kadar bilirubin total serum yang
lebih tinggi untuk bayi yang berusia mendekati 37 6/7 minggu.5

Diperbolehkan melakukan foto terapi baik di rumah sakit atau di rumah pada kadar
bilirubin total 2-3 mg/dL di bawah garis yang ditunjukan. namun pada bayi-bayi vang
memiliki faktor risiko foto teiapi sebaikn>a tidak dilakukan di rumah. Foto terapi
intensif adalah foto terapi dengan menggunakan sinar blue-green spectrum (panjang
gelombang 430-490 nm) dengan kekuatan paling kurang 30 uW/cm 2 (diperiksa
dengan radiometer, atau diperkirakan dengan menempatkan bayi langsung di bawah
sumber sinar dan kulit bayi yang terpajan lebih luas). Bila kosentrasi bilirubin tidak
menurun atau cenderung naik pada bayi-bayi yang mendapat foto terapi intensif,
kemungkinan besar terjadi proses hemolisis.5

Efek samping fototerapi:


1. Insensible water loss meningkat pada bayi yang sedang menjalankan fototerapi , terutama
yang menggunakan radiant warmers. Peningkatan ini dapat mencapai 40% pada bayi
yang aterm dan 80-90% pada bayi prematur. Inkubator dengan servocontrolled warmers
menurunkan kehilangan cairan ini. Cairan tambahan harus diberikan untuk menggantikan
cairan yang hilang
2. Redistribution of blood flow. Pada bayi aterm, output dari ventrikel kiri dan kecepatan
aliran darah ginjal menurun, dimana arteri pulmonalis kiri dan aliran darah ke otak
meningkat. Semua kecepatan kembali ke awal setelah fototerapi selesai dilakukan. Pada
bayi prematur, kecepatan aliran darah ke otak juga meningkan dan resistensi vaskular
ginjal meningkan dengan penurunan kecepatan aliran darah ginjal. Pada bayi prematur
ini, setelah selesai diterapi, kecepatan aliran darah tidak kembali ke awal
3. Diare cair dan peningkatan cairan fekal dapat terjadi. Diare dapat terjadi karena
peningkatan garam empedu dan UCB dalam usus
4. Kadar kalsium yang rendah biasa terjadi pada bayi yang mendapat fototerapi
20

5. Kerusakan retina dapat terjadi. Oleh karena itu digunakan pelindung mata dalam proses
menjalakan fototerapi. Bayi yang matanya terlindungi dengan baik dapat mempunyai
penglihatan normal dan elektroretinografi
6. Bayi berkulit hitam dapat menjadi putih. Eritema dan peningkatan aliran darah ke kulit
juga dapat terlihat
7. Bronze baby syndrome
8. Mutasi , pertukaran sister kromatid, dan DNA yang rusak dapat terlihat pada kultur sel
9. Triptofan dapat menurun dalam asam amino oleh karena terpapar fototerapi. Metionin
dan histidin juga menurun apabila ditambahkan multivitamin
10. Tidak ada perkembangan jangka panjang yang berbeda dengan bayi yang tidak
mendapatkan fototerapi
11. Fototerapi dapat menyebabkan interaksi ibu-bayi menjadi berkurang, sehingga fototerapi
hanya dilakukan dengan pemikiran dan penjelasan yang adekuat3
Transfusi Tukar

Diagram 3. Panduan Transfusi Tukar.3

Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukan keadaan tanpa patokan pasti
karena terdapat pertimbangan klinis yang luas dan tergantung respon terhadap foto
terapi
Direkomendasikan tranfusi tukar segera bila bayi menunjukan gejala ensefalopati
akut ( hipertoni, arching, retrocollis, opistotonus, high pitch cry , demam) atau bila kadar
bilirubin total 5 mg/dL diatas garis patokan)
Faktor risiko penyakit hemolitik autoimun, defisiensi G6PD, asflksia, letargis, suhu
21

tidak stabil, sepsis, asidosis


Periksa kadar albumin dan hitung rasio bilirubin total / albumin
Sebagai patokan adalah bilirubin total
Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35-37 rninggu (risiko sedang) transfusi tukar
dapat dilakukan bersifat individual berdasarkan kadar bilirubin total sesuai usianya
Tabel 4. Rasio Bilirubin total/albumin sebagai penunjang untuk memutuskan transfusi tukar.9
Kategori Resiko
Bayi 38 0/7 mg
Bayi 35 0/7 mg 36 6/7 mg dan sehat atau 38 0/7 mg
jika resiko tinggi atau isoimmune hemolytic disease atau
defisiensi G6PD
Bayi 35 0/7 mg 37 6/7 mg jika resiko tinggi atau
isoimmune hemolytic disease atau defisiensi G6PD

Rasio B/A Saat Transfusi Tukar


Harus
Dipertimbangkan
Bil Tot (mg/dL)/
Bil Tot (mol/L)/ Alb,
Alb, g/dL
mol/L
8,0
0,94
7,2
0,84

6,8

0,80

Dari Diagram 2 dan Diagram 3 yang dikonversikan ke dalam angka dapat dilihat poda Tabel
5. Penatalaksanaan fotorterapi dan tranfusi tukar berdasarkan berat badan pada Tabel 6.
Tabel 5. Petunjuk Pelaksanaan Hiperbilirubinemia pada bayi sehat cukup bulan berdasarkan
Usia (jam)

25-48
49-72
>72

Kadar Bilirubin Total Serum (mg/dL [mol/L])


Pertimbangkan
Fototerapi
Transfusi tukar Jika
Fototerapi
fototerapi Intensif
Gagal
12 (170)
15 (260)
20 (340)
15 (260)
18 (310)
25 (430)
17 (290)
20 (340)
25 (430)

Transfusi tukar &


Fototerapi Intensif
25 (430)
30 (510)
30 (510)

American Academy of Pediatrics.9

Tabel 6. Petunjuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berdasarkan berat badan dan bayi baru

Berat Badan
Kurang bulan <
1000g
1001-1500g
1501-2000g
2001-2500g
Cukup bulan >
2500g

Kadar Bilirubin Total Serum (mg/dL)


Sehat
Sakit
Foto Terapi
Transfusi Tukar
Fototerapi
Transfusi Tukar
5-7
Bervariasi
4-6
Bervariasi
7-10
10-12
12-15
15-18

Bervariasi
Bervariasi
Bervariasi
20-25

6-8
8-10
10-12
12-25

Bervariasi
Bervariasi
Bervariasi
18-20

lahir yang relatif sehat.9

22

Komplikasi transfusi tukar: 5


1. Hipokalsemia dan hipomagnesia
2. Hipoglikemia
3. Gangguan keseimbangan asam basa
4. Hiperkalemia
5 Gangguan kardiovaskular
Perforasi pembuluh darah
Emboli
Infark
Anemia
Volume overload
Arrest
6. Pendarahan
Trombositopenia
Defisiensi faktor pembekuan
7. Infeksi
8. Hemolisis
9. Graft versus host disease
10. Lain-lain: hipotermia, hipertemia, dan kemungkinan terjadinya enterokolitis
nekrotikans
2.11. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada hiperbilirubinemia neonatus adalah toksisitas
bilirubin yang berupa bilirubin enselopati akut dan bilirubin enselopati kronik (kernikterus).
Agen Bilirubin tak terkonjugasi adalah agen neurotoksisitas bilirubin. Anion yang
mengikat fosfolipid (gangliosida) dari membran plasma neuron menyebabkan cedera, yang
kemudian memungkinkan lebih anion untuk masuk neuron. Intraseluler anion bilirubin
berikatan dengan membran fosfolipid organel subselular, menyebabkan gangguan
metabolisme energi dan kematian sel. Sawar darah-otak diragukan lagi memiliki peran dalam
melindungi bayi dari kerusakan otak, tetapi integritas tidak mungkin untuk mengukur secara
klinis. Jumlah albumin yang tersedia untuk mengikat bilirubin tak terkonjugasi anion dan
adanya anion lain yang dapat menggantikan bilirubin dari situs albumin mengikat juga
23

penting. Tidak diketahui apakah ada tingkat tetap bilirubin di atas yang kerusakan otak selalu
terjadi. Kernikterus menggambarkan temuan patologis dari pewarnaan basal ganglia dan
batang otak inti, serta sindrom klinis cedera otak kronis akibat hiperbilirubinemia. Istilah
ensefalopati bilirubin akut menggambarkan tanda dan gejala berkembang kerusakan otak
pada bayi baru lahir.10
Risiko bilirubin ensefalopati kecil di bayi sehat yang tidak mempunyai faktor resiko,
neonatus jangka bahkan pada tingkat bilirubin 25-30 mg / dL (430-516 mmol / L). Risiko
tergantung pada durasi hiperbilirubinemia, konsentrasi serum albumin, penyakit terkait,
asidosis, dan konsentrasi anion bersaing seperti sulfisoxazole dan ceftriaxone. Bayi prematur
memiliki risiko lebih besar daripada bayi cukup bulan karena frekuensi yang lebih besar dari
penyakit yang terkait mempengaruhi integritas sawar darah-otak, mengurangi tingkat
albumin, dan penurunan afinitas pengikatan albumin. Untuk alasan ini, "tingkat pertukaran"
(tingkat di mana bilirubin encephalopathy diperkirakan mungkin terjadi) pada bayi prematur
mungkin lebih rendah daripada bayi aterm.10
Hubungan antara tingkat total bilirubin serum dan neurotoksisitas lemah. Meskipun
65% dari baru-baru ini melaporkan kasus kernikterus memiliki kadar total bilirubin serum di
atas 35 mg / dL, 15% memiliki tingkat di bawah 30 mg / dL, dan 8% berada di bawah 25
mg / dL. Pada pasien yang tidak mempunyai faktor resiko, neurotoksisitas baru terlihat ketika
kadar total bilirubin serum mencapai 31.5 mg / dL. Sedangkan pada bayi yang mempunyai
faktor resiko, neurotoksisitas terlihat di kadarbilirubin 25.4 mg/dL. Resiko hearing loss juga
bergantung dari kadar bilirubin, semakin rendah kadar bilirubin saat diterapi, maka
kemungkinan terkena akan juga semakin kecil. Pengukuran bebas, tidak terikat, bilirubin tak
terkonjugasi mungkin menjadi prediktor yang lebih bermakna dari risiko untuk cedera otak,
meskipun tes ini belum tersedia secara klinis.10,11,12
Secara umum, maka dapat dibagi menjadi 2, yaitu periode akut (tahap awal) dan
periode kronik (berkelanjutan)
1. Ensefalopati bilirubin akut
Bayi dengan disfungsi neurologik oleh karena bilirubin setidaknya sekitar 20-30%
memperlihatkan beberapa abnormalitas neurologik dan 15% bahkan tidak menunjukkan
pertanda neurologik berarti. Ada 3 tahap, yaitu
Fase 1 (beberapa hari kehidupan)

24

Kesadaran menurun, hipotoni, dan pola makan yang buruk menjadi pertanda khas,
walaupun ketiga gejala klinis ini berisfat non-spesifik dan dapat diindikasikan untuk
abnormalitas neonatal lain. Kecurigaan tinggi pada fase ini dapat membantu menekan
progresivitas penyakit dan dapat secara signifikan mengurangi gejala sisa yang berkelanjutan.
Kejang, tidak selalu dikaitkan dengan ensefalopati bilirubin akut.
Fase 2 (onset dan durasi yang bervariasi)
Hipertoni pada otot ekstensor adalah tanda khasnya. Pasien umumnya menampilkan
kondisi retrocollis (leher menekuk ke belakang), opistotonus (punggung menekuk ke arah
berlawanan) atau bahkan keduanya. Bayi yang sampai pada fase ini akan mulai mengalami
defisit neurologik jangka panjang.
Fase 3 (bayi dengan usia di atas 1 minggu)
Hipotoni ialah tanda khasnya.7
Tabel 7. Skor BIND.7
Status
Mental
Tonus Otot

0 Poin
Normal

1 Poin
2 Poin
Mengantuk, makan Letargi + irritability

Normal

sedikit
Perlahan menurun

Hipertonus
hipotonus,
tergantung

3 Poin
Semi-koma,

apnea
ayau Meningkat
(opistotonus)

Tangisan

Normal

Tangisan
suara tinggi

(membusur)
dengan Tangisan
melengking

atau

status menurun.

kegairahan
atau
atau
Kaku pada leher dan Seperti
batang

kejang,

mengayuh

tubuh sepeda
yang Tangisan tidak dapat
ditenangkan

atau

menangis lemah atau


tidak menangis lagi
Skor BIND (Bilirubin Induced Neurologic Dysfunction) adalah skor yang digunakan
untuk melakukan pengawasan terhadap perkembangan ensefalopati bilirubin. Skor 4-6
menggambarkan ensefalopati yang progresif, dimana masih bisa reversible jika diberikan
25

terapi yang agresif. Skor 7-9 menggambarkan ensefalopati lanjut yang mungkin tidak bisa
kembali normal.
2. Ensefalopati bilirubin kronik
Gejala klinis pada tipe kronik biasanya berkembang secara lambat selama tahun-tahun
pertama bayi yang terkena. Penampakan klinis yang dapat terlihat, antara lain:
Abnormalitas ekstrapiramidal, berupa atetosis yang seringkali muncul sebagai
kelainan pergerakan, walaupun korea juga dapat muncul. Ekstremitas atas lebih sering
terkena dibandingkan ekstremitas bawah. Hal ini disebabkan oleh kerusakan pada ganglia
basalis. Abnormalitas penglihatan, berupa kelainan pergerakan okuler yang dikarenakan
kerusakan pada nukleus nervus kranial yang bersangkutan.
Abnormalitas pendengaran, berupa kehilangan kemampuan untuk mendengar bunyi
dengan frekuensi tinggi yang bisa bersifat ringan maupun berat. Hal ini dikarenakan rusaknya
nukleus koklearis pada batang otak yang sensitif terhadap toksisitas bilirubin. Secara klinis,
gangguan dapat pula bermanifestasi sebagai keterlambatan anak dalam berbahasa.
Defisit kognitif, dengan penurunan fungsi kognitif yang relatif, dapat ringan maupun
sedang dan jarang sekali terjadi penurunan fungsi kognitif yang berat. Walaupun hampir
sebagian besar anak dengan ensefalopati bilirubin kronik dianggap mengalami retardasi
mental oleh karena pergerakan koreaoatetoidnya dan fungsi pendengarannya yang buruk.7
2.12. PENCEGAHAN
Setiap bayi baru lahir harus dievaluasi terhadap kemungkinan mengalami
hiperbilirubinemia berat Evaluasi ini dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan memeriksa
kadar bilirubin serum total atau pengkajian terhadap faktor risiko secara klinis (lihat Tabel 9).
Dengan memeriksa bilirubin serum total dan memplot hasilnya pada nomogram, kita dapat
mengetahui apakah bayi berada pada zona risiko rendah, menengah, atau tinggi untuk
terjadinya hiperbilirubinemia berat (Diagram 1). Studi terbaru menyatakan bahwa kombinasi
kadar bilirubin sebelum dipulangkan dan usia gestasi merupakan prediktor terbaik untuk
terjadinya hiperbilirubinemia berat.2
Saat ini tersedia alat noninvasif untuk memperkirakan kadar bilirubin pada kulit dan
jaringan subkutan, yaitu transcutaneus bilirubinometer (BiliCheck, Minolta JM). Hasil
yang didapat akan berbeda dari kadar bilirubin serum total, karena bilirubin yang diukur
bukan bilirubin dalam serum, melainkan bilirubin yang terdeposisi pada jaringan. Belum ada
studi yang mempelajari apakah bilirubin serum atau bilirubin kulit yang lebih akurat untuk
26

menggambarkan deposisi bilirubin pada susunan saraf pusat. Hasil pemeriksaan


trartscutaneus bilirvbinometer dipengaruhi oleh usia gestasi, keadaan sakit, edema, dan
pigmentasi kulit Penggunaan kadar bilirubin transkutan membutuhkan nomogram tersendiri.
Setiap ibu hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah dan faktor Rhesus.2
Tabel 9. Faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat pada bayi usia gestasi 35
minggu.2

2.13. PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik apabila pasien mendapatkan perawatan sesuai dengan alur
tatalaksana yang telah disetujui bersama. Kerusakan otak oleh karena kernicterus masih
menjadi risiko berat dan insidens kernicterus yang meningkat di tahun-tahun terakhir ini
disebabkan karena adanya miskonsepsi bahwa ikterus pada bayi sehat cukup bulan tidak
berbahaya dan tidak perlu dievaluasi sehingga kadang pertanda dini hiperbilirubinemia tidak
dikenali. Sejatinya, harus tetap dipantau.1

27

BAB III
KESIMPULAN
Kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus dapat berupa fisiologis dan patologis. Hal
ini dapat kita bedakan dengan secara teliti melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada
pasien serta dibantu dengan pemeriksaan penunjang. Ketika kita sudah menegakan diagnosis,
kita juga perlu memikirkan jenis terapi apa yang akan diberikan kepada pasien, sesuai dengan
kriteria atau kondisi-kondisi yang sudah dijelaskan pada makalah ini. Namun kita juga harus
memikirkan komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi baik dari penyakit itu sendiri maupun
dari pengobatan yang terjadi. Pencegahan-pencegahan juga harus dipikirkan sedemikian rupa
sehingga tidak timbul komplikasi lebih lanjut dan mencapai prognosis yang lebih baik
disertai dukungan kecepatan dan ketepatan dari diagnosa dan tatalaksana yang diberikan.

Daftar Pustaka
1. Hansen TWR. Neonatal jaundice. Medscape 2015 Sep 1. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/974786-overview#a0101
28

2. Pudjiadi AH, Hegar B, Hamdrayastuti, et all. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter
anak indonesia. Jilid Ke-II. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2011. h. 112-22.
3. Cloherty JP, Eichenwald, Hansen AR, Stark AR. Manual of neonatal care. Edisi ke-7.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business; 2012. h. 30439.
4. Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A. Buku ajar neonatologi. Edisi ke1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2012. h. 147-69.
5. Kliegman RM, et all. Nelson textbook of pediatrics. 20th Edition. Philadelphia: Elsevier;
2015. h.
6. Pound CM, Moreau K, Rohde K, Barrowman N, Aglipay M, Farlon KJ, Plint AC.
Lactation support and breastfeeding duration in jaundiced infants: a randomized
controlled trial. Plos One, www.plosone.org, March 2015.
7. Behrman RE, Kliegman RM. Nelson esensi pediatri. Edisi ke-4. Jakarta: EGC; 2010. h.
244-7.
8. Wolff M, Schinasi DA, Lavelle J, Boorstein N, Zorc JJ. 2015. Management of neonates
with hyperbilirubinemia: improving timeliness of care using a clinical pathway. Diunduh
dari pediatrics.aapublications.org, May 2015.
9. Gomella TL, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology: management, procedures, on call
problems, diseases, an drugs. USA: Lange; 2010. h. 326-34
10. Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR. Current diagnosis and treatment:
pediatrics. Colorado: Lange; 2010.
11. Hulzebos CV, Dommelen PV, Verkerk PH, Dijk PH, Straaten HLM. Evaluation of
treatment thresholds for unconjugated hyperbilirubinemia in preterm infants: effects on
serum bilirubin and on hearing loss. Plos One. Volume 8, issue 5, www.plosone.org, May
2013.
12. Gamaledin R, Iskander I, Seoud I, Aboraya H, Aravkin A, Sampson PD, Wennberg R.
Risk factors for neurotoxicity in newborns with severe neonatal hyperbilirubinemia.
Pediatrics, Volume 128, No. 4, October 2011.

29

Anda mungkin juga menyukai