Anda di halaman 1dari 12

Unclear term :

candidiasis,
(Dorland, 2011)
gizi buruk,
(PERSAGI, 2009)
NA,
(PERSAGI, 2009)
GCS
(Wusyang and Bahar, 2015)

cues
ahli gizi diharapkan mampu melakukan NA untuk mengindentifikasi masalah gizi
pada An. AW

Learning Objecive (LO)


1.
2.
3.
4.
5.

Klasifikasi, pathopisiologi, dan ciri gizi buruk


Tujuan dari Nutritional Assessment
Prinsip Nutritional Assessment
Tahapan Nutritional Assessment dan langkah selanjutnya
Parameter, cara ukur, instrumen, cut off NA, kelebihan, kekurangan untuk
gizi buruk pada setiap komponen Nutritional Assessment
6. Faktor resiko dan bagaiamana candidasis bisa memengaruhi asupan
makan
7. Pengaruh HIV dengan gizi buruk
Pembahasan LO
1. Klasifikasi, pathopisiologi, dan ciri gizi buruk
KRITERIA ANAK GIZI BURUK
1) Gizi Buruk Tanpa Komplikasi
a. BB/TB: < -3 SD dan atau;
b. Terlihat sangat kurus dan atau;
c. Adanya Edema dan atau;
d. LILA < 11,5 cm untuk anak 6-59 bulan
2) Gizi Buruk dengan Komplikasi
Gizi buruk dengan tanda-tanda tersebut di atas disertai salah
satu atau lebih dari tanda komplikasi medis berikut:
a. Anoreksia
b. Pneumonia berat
c. Anemia berat
d. Dehidrasi berat
e. Demam sangat tinggi
f. Penurunan kesadaran
(Kemenkes, 2011a)

KLASIFIKASI dan CIRI-CIRI


Gizi buruk dikalsifikasikan berdasarkan gambaran klinisnya sebagai
berikut :
1. Marasmus (Atrofi infantile, kelemahan, insufisiensinutrisi bayi (athrepesia))
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Sinonim
marasmus ditetapkan pada pola penyakit klinis yang menekankan satu atau
lebih tanda defisiensi protein dan kalori.
Ciri dari marasmus menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2004) antara lain:
- Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus
- Perubahan mental
- Kulit kering, dingin dan kendur
- Rambut kering, tipis dan mudah rontok
- Lemak subkutan menghilang sehingga turgor kulit berkurang
- Otot atrofi sehingga tulang terlihat jelas
- Sering diare atau konstipasi
- Kadang terdapat bradikardi
- Tekanan darah lebih rendah dibandingkan anak sehat yang sebaya
- Kadang frekuensi pernafasan menurun
(Hasaroh, 2010; Israr et al., 2009)
2. Malnutrisi protein (Malnutrisi protein-kalori (PCM), kwashiorkor)
Kwashiorkor merupakan sindroma klinis akibat dari malnutrisi protein berat
(MEP berat) dan masukan kalori tidak cukup. Dari kekurangan masukan atau
dari kehilangan yang berlebihan atau kenaikan angka metabolik yang
disebabkan oleh infeksi kronis, akibat defisiensi vitamin dan mineral
dapat turut menimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut. Bentuk
malnutrisi yang paling serius dan paling menonjol di dunia saat ini
terutama yang berada di daerah industri belum berkembang. Kwashiorkor
berarti anak tersingkirkan, yaitu anak yang tidak lagi menghisap, dapat
menjadi jelas sejak masa bayi awal sampai sekitar usia 5 tahun, biasanya
sesudah menyapih dari ASI. Walaupun penambahan tinggi dan berat
badan dipercepat dengan pengobatan, ukuran ini tidak pernah sama dengan
tinggi dan berat badan anak normal.
Kwashiorkor merupakan salah satu bentuk dari MEP yang serius, ini
sering terjadi pada anak umur 1-3 tahun, tetapi bisa terjadi pada
semua umur.
Ciri dari Kwashiorkor menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2004)
antara lain:
- Perubahan mental sampai apatis : Perubahan mental pada umumnya
ditemukan tetapi tidak selau tercatat. Penderita ini biasanya apatis dengan
sekitarnya atau cepat tersinggung.
- Sering dijumpai Edema : Edema merupakan kumpulan cairan dalam
jaringan tisu yang disebabkan karena pembengkakan. Biasanya dimulai dari
tungkai yang menyebar luas sampai ke lengan, tangan dan wajah.
- Atrofi otot
- Gangguan sistem gastrointestinal : Diare: frekuensi BAB yang meningkat
, sulit untuk ditahan , dan terdiri dari partikel makanan yang belum
dicerna , terkadang mempunyai bau yang menyengat, dapat berupa air
dan bercampur darah.
- Perubahan rambut dan kulit : Rambut pada anak Asia, Afrika dan
Amerika Latin biasanya hitam,lebat dan berkilau, tetapi pada penderita

kwashiorkor, rambutnya menjadi halus dan tipis. Perubahan kulit biasanya


terdapat dermatosis, kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas
dan berubah menjadi cokelat kehitaman dan terkelupas tetapi tidak semua
penderita kwashiorkor menderita dermatosis.
- Pembesaran hati : Infiltrasi lemak hati selau ditemukan pada
pemeriksaan kematian pada penderita kwasiokhor. Ini dapat menyebabkan
pembesaran hati. Hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan
terasa kenyal pada rabaab permukaan yang licin dan pinggir yang tajam
- Anemia : Anemia pada kwasiokhor disebabkan karena kekurangan
protein yang dibutuhkan dalam sintesis sel darah. Anemia juga dapat
disebabkan karena komplikasi dari defisiensi besi, malaria dan cacing
tambang.
Adapun gambaran klinis kwashiorkor antara lain :
- Gagal tumbuh biasanya ada pada penderita kwashiorkor, tinggi badan akan
lebih pendek dari anak normal, kecuali berat badan,berat badan akan lebih
dari normal disebabkan karena adanya edema.
- Moonface : pipi akan terlihat membengkak berisi jaringan lemak atau
cairan yang dikenal dengan istilah moon face (wajah seperti bulan)
- pandangan mata anak sayu
Klasifikasi menurut Wellcome pada MEP berat dapat digunakan sampai usia
lebih dari 20 tahun. Klasifikasi menurut Wellcome ini sangat sederhana
karena hanya melihat % BB/U dan ada atau tidaknya edema. Terdapat
kategori kurang gizi ini meliputi anak dengan PEM sedang atau yang
mendekati PEM berat tapi tanpa edema, pada keadaan ini % BB/U berada
diatas 60%.
3. Marasmik-kwasiorkhor
Secara umum telah disepakati bahwa tanda yang khas pada kwashiorkor
adalah bila ditemukanya pitting edema sedangkan tanda utama yang
ditemukan pada anak dengan marasmus adalah berat badan yang sangat
kurang dari yang seharusnya, apabila pada seorang anak ditemukan kedua
keadaan ini kita sebut sebagai marasmus kwashiorkor.
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik
kwashiorkor
dan
marasmus.
Makanan
sehari-hari
tidak
cukup
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada
penderita demikian disamping menurunnya berat badan < 60% dari
normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan
rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula (Depkes
RI, 2000).
Tabel 3. Perbandingan ciri kwashiorkor dan marasmus
Tabel 1.Klasifikasi MEP berat menurut Wellcome
Klasifikasi lain yang banyak digunakan di Amerika Latin dan tempat lain
adalah menurut GOMEZ
Tabel 2.Klasifikasi MEP berat menurut Gomez
(Hasaroh, 2010; Israr et al., 2009)
ETIOLOGI
Gizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Secara garis
besar penyebab anak kekurangan gizi disebabkan karena asupan
makanan yang kurang atau anak sering sakit / terkena infeksi.

A. Asupan yang kurang disebabkan oleh banyak faktor antara lain :


1. Tidak tersedianya makanan secara adekuat
Tidak tersedinya makanan yang adekuat terkait langsung dengan kondisi
sosial ekonomi. Kadang kadang bencana alam, perang, maupun
kebijaksanaan politik maupun ekonomi yang memberatkan rakyat akan
menyebabkan hal ini. Kemiskinan sangat identik dengan tidak tersedianya
makan yang adekuat. Data Indonesia dan negara lain menunjukkan bahwa
adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan.
Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk.
Proporsi anak malnutrisi berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin
kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentasi anak yang kekurangan
gizi.
2. Anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang
Makanan alamiah terbaik bagi bayi yaitu Air Susu Ibu, dan sesudah usia 6
bulan anak tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang
tepat, baik jumlah dan kualitasnya akan berkonsekuensi terhadap status
gizi bayi. MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan
protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin
B serta vitamin dan mineral lainnya. MP-ASIyang tepat dan baik dapat
disiapkan sendiri di rumah. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan
pengetahuan yang rendah seringkali anaknya harus puas dengan
makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena
ketidaktahuan.
3. Pola makan yang salah
Suatu studi "positive deviance" mempelajari mengapa dari sekian banyak
bayi dan balita di suatu desa miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk,
padahal orang tua mereka semuanya petani miskin. Dari studi ini
diketahui pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya gizi buruk.
Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya
berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat posyandu dan
kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat.
Unsur pendidikan perempuan berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak.
Sebaliknya sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek
atau pengasuh yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Banyaknya
perempuan yang meninggalkan desa untuk mencari kerja di kota bahkan
menjadi TKI, kemungkinan juga dapat menyebabkan anak menderita gizi
buruk. Kebiasaan, mitos ataupun kepercayaan / adat istiadat masyarakat
tertentu yang tidak benar dalam pemberian makan akan sangat merugikan
anak. Misalnya kebiasaan memberi minum bayi hanya dengan air putih,
memberikan makanan padat terlalu dini, berpantang pada makanan tertentu
( misalnya tidak memberikan anak anak daging, telur, santan dll) , hal ini
menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat asupan lemak, protein
maupun kalori yang cukup
B. Sering sakit (frequent infection)
Menjadi penyebab terpenting kedua kekurangan gizi, apalagi di negara
negara terbelakang dan yang sedang berkembang seperti Indonesia,
dimana kesadaran akan kebersihan / personal hygine yang masih kurang,
serta ancaman endemisitas penyakit tertentu, khususnya infeksi kronik
seperti misalnya tuberkulosis (TBC) masih sangat tinggi. Kaitan infeksi
dan kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan,
karena keduanya saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi

kronik akan menyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan
memberikan
dampak
buruk
pada
sistem pertahanan sehingga
memudahkan terjadinya infeksi.
(Israr et al., 2009)
Ada 2 faktor penyebab dari gizi buruk adalah sebagai berikut :
1. Penyebab Langsung. Kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang
dikonsumsi, menderita penyakit infeksi, cacat bawaan dan menderita
penyakit kanker. Anak yang mendapat makanan cukup baik tetapi sering
diserang atau demam akhirnya menderita kurang gizi.
2. Penyebab tidak langsung, ketersediaan Pangan rumah tangga, perilaku,
pelayanan kesehatan.
Sedangkan
faktor-faktor
lain
selain
faktor
kesehatan, tetapi juga merupakan masalah utama gizi buruk adalah
kemiskinan, pendidikan rendah, ketersediaan pangan dan kesempatan kerja.
Oleh karena itu untuk mengatasi gizi buruk dibutuhkan kerjasama lintas
sektor Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi
kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup
baik maupun gizinya (Dinkes SU, 2006).
Secara garis besar gizi buruk disebabkan oleh karena asupan makanan
yang kurang atau anak sering sakit, atau terkena infeksi. Asupan
makanan yang kurang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain tidak
tersedianya makanan secara adekuat, anak tidak cukup salah mendapat
makanan bergizi seimbang, dan pola makan yang salah. Kaitan infeksi
dan kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan,
karena keduanya saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi
kronik akan meyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan
memberikan
dampak
buruk
pada
sistem
pertahanan
sehingga
memudahkan terjadinya infeksi (Nency, 2005).
(Israr et al., 2009; Suyadi, 2009)
Marasmus
Gambaran klinis marasmus berasal dari masukan kalori yang tidak cukup
karena diet yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat
seperti mereka yang hubungan orang tua-anak terganggu, atau karena
kelainan metabolik atau malformasi kongenital. Keadaan ini merupakan
hasil akhir dari interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi.
Selain faktor lingkungan ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri
yang
dibawa
sejak
lahir,
diduga berpengaruh terhadap terjadinya
marasmus. Gangguan berat setiap sistem tubuh juga dapat mengakibatkan
malnutrisi.
Secara garis besar sebab-sebab marasmus adalah sebagai berikut :
a. Masukan makanan yang kurang : marasmus terjadi akibat masukan
kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang
dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak, misalnya
pemakaian secara luas susu kaleng yang terlalu encer.
b. Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama
infeksi
enteral misalnya
infantil
gastroenteritis,
bronkhopneumonia,
pielonephiritis dan sifilis kongenital.
c. Kelainan struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan,
penyakit Hirschpurng, deformitas palatum, palatoschizis,
mocrognathia,
stenosis pilorus. Hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas
d. Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut
pemberian ASI kurang akibat reflek mengisap yang kurang kuat

e. Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan


tambahan yang cukup
f.
Gangguan
metabolik,
misalnya
renal
asidosis,
idiopathic
hypercalcemia, galactosemia, lactose intolerance
g. Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru
ditegakkan bila penyebab maramus yang lain disingkirkan
h.
Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan
tambahan yang kurang akan menimbulkan marasmus
i. Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya
marasmus, meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan
kebiasaan penyapihan dini dan kemudian diikuti dengan pemberian susu
manis dan susu yang terlalu encer akibat dari tidak mampu membeli susu,
dan bila disertai infeksi berulang terutama gastroenteritis akan menyebabkan
anak jatuh dalam marasmus
(Hasaroh, 2010)
Kwashiorkor
(Suyadi, 2009)
Gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan protein tidak
cukup bernilai biologis baik. Dapat juga karena penyerapan protein
terganggu, seperti pada diare kronis, kehilangan protein abnormal seperti
pada proteinuria atau nefrosis, infeksi, perdarahan atau luka bakar,dan gagal
mensistensis protein seperti pada penyakit hati kronis.
PATOFISOLOGI
Malnutrisi merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat banyak faktor.
Faktor-faktor ini dapat digolongkan atas tiga faktor penting yaitu : tubuh
sendiri (host), agent (kuman penyebab), environment (lingkungan).
Memang faktor diet (makanan) memegang peranan penting tetapi faktor
lain ikut menentukan. Gopalan dalam Lubis (2002) menyebutkan marasmus
adalah compensated malnutrition. Dalam keadaan kekurangan makanan,
tubuh selalu berusaha untuk
mempertahankan hidup dengan memenuhi kebutuhan pokok atau energi.
Gambar 1. Patogenesis malnutrisi energy protein
Patofisiologi gizi buruk pada balita adalah anak sulit makan atau
anoreksia bisa terjadi karena penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik seperti
suasana makan, pengaturan makanan dan lingkungan. Rambut mudah rontok
dikarenakan kekurangan protein, vitamin A, vitamin C dan vitamin E. Karena
keempat elemen ini merupakan nutrisi yang penting bagi rambut. Pasien
juga mengalami rabun senja. Rabun senja terjadi karena defisiensi
vitamin A dan protein. Pada retina ada sel batang dan sel kerucut. Sel
batang lebih hanya bisa membedakan cahaya terang dan gelap. Sel
batang atau rodopsin ini terbentuk dari vitamin A dan suatu protein.
Jika cahaya terang mengenai sel rodopsin, maka sel tersebut akan
terurai. Sel tersebut akan
mengumpul lagi pada cahaya yang gelap. Inilah yang disebut adaptasi
rodopsin. Adaptasi ini butuh waktu. Jadi, rabun senja terjadi karena kegagalan
atau kemunduran adaptasi rodopsin.
Turgor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Reflek
patella negatif terjadi karena kekurangan aktin myosin pada tendon
patella dan degenerasi saraf motorik akibat dari kekurangn protein, Cu dan

Mg seperti gangguan neurotransmitter. Sedangkan, hepatomegali terjadi


karena kekurangan protein. Jika terjadi kekurangan protein, maka terjadi
penurunan pembentukan lipoprotein. Hal ini membuat penurunan HDL dan
LDL. Karena penurunan HDL dan LDL, maka lemak yang ada di hepar sulit
ditransport ke jaringan-jaringan, pada akhirnya penumpukan lemak di hepar.
Kwashiorkor
Tanda khas pada penderita kwashiorkor adalah pitting edema. Pitting edema
adalah edema yang jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting
edema disebabkan oleh kurangnya protein, sehingga tekanan onkotik
intravaskular menurun. Jika hal ini terjadi, maka terjadi ekstravasasi plasma
ke intertisial. Plasma masuk ke intertisial, tidak ke intrasel, karena pada
penderita kwashiorkor tidak ada kompensansi dari ginjal untuk reabsorpsi
natrium. Padahal natrium berfungsi menjaga keseimbangan cairan tubuh.
Pada penderita kwashiorkor, selain defisiensi
protein juga defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka plasma pada
intertisial lari ke daerah sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran sel
dan mengembalikannya membutuhkan waktu yang lama karena posisi sel
yang rapat. Edema biasanya terjadi pada ekstremitas bawah karena
pengaruh gaya gravitasi, tekanan hidrostatik dan onkotik (Sadewa, 2008).
Marasmus
Pada awalnya, terjadi kegagalan menaikkan berat badan, disertai
dengan kehilangan berat badan sampai berakibat kurus, dengan
kehilangan turgor pada kulit sehingga menjadi berkerut dan longgar
karena lemak subkutan hilang. Lemak pada daerah pipih adalah bagian
terakhir yang hilang sehingga untuk beberapa waktu muka bayi tampak
relative normal sampai nantinya menyusut dan berkeriput. Abdomen dapat
kembung atau datar dan gambaran usus dapat dengan mudah dilihat.
Terjadi atrofi otot dengan akibat hipotoni. Suhu biasanya subnormal,
nadi mungkin lambat, dan angka metabolism basal cenderung menurun.
Mula-mula bayi mungkin rewel, tetapi kemudian menjadi lesu dan nafsu
makan hilang. Bayi biasanya konstipasi, tetapi dapat muncul diare dengan
buang air besar sering, tinja berisi mucus dan sedikit.

2. Tujuan dari Nutritional Assessment


Mengidentifikasi
problem
gizi
dan
faktor
penyebabnya melalui
pengumpulan, verifikasi dan interpretasi data secara sistematis. (Kemenkes,
2014)
3. Prinsip Nutritional Assessment
(Handayani and Kusumastuty, 2015)
4. Tahapan Nutritional Assessment dan langkah selanjutnya
Langkah Asesmen
Gizi
1)
Kumpulkan dan pilih data yang merupakan faktor yang
mempengaruhi status gizi dan kesehatan
2) Kelompokkan data berdasarkan kategori asesmen gizi:
a) Riwayat gizi dengan kode FH (Food History)
b) Antropometri dengan kode AD (Anthropometry
Data)
c) Laboratorium dengan kode BD (Biochemical Data)
d) Pemeriksaan fisik gizi dengan kode PD (Physical Data)

dapat

e) Riwayat klien dengan kode CH (Client History)


3) Data diinterpretasi dengan membandingkan terhadap kriteria atau
standar yang sesuai untuk mengetahui terjadinya penyimpangan.
Data asesmen gizi dapat diperoleh melalui interview/wawancara; catatan
medis; observasi serta informasi dari tenaga kesehatan lain yang merujuk.
Gambar 3. Langkah-Langkah dalam Proses Asuhan Gizi Terstandar
Gambar 4 alur pagt rawat inap
Gambar 5 alur pagt rawat jalan
(Kemenkes, 2014)
5. Parameter, cara ukur, instrumen, cut off NA, kelebihan, kekurangan untuk gizi
buruk pada setiap komponen Nutritional Assessment
Domain/Kategori data NA
1) Riwayat
Gizi (FH)
Pengumpulan data riwayat gizi dilakukan dengan cara interview, termasuk
interview
khusus
seperti
recall makanan 24 jam, food frequency
questioner(FFQ) atau dengan metoda asesmen gizi lainnya. Berbagai
aspek yang digali adalah:
a) Asupan makanan dan zat gizi, yaitu pola makanan utama dan snack,
menggali komposisi dan
kecukupan asupan makan dan zat gizi, sehingga tergambar mengenai:
i. Jenis dan banyaknya asupan makanan dan minuman,
ii. Jenis dan banyaknya asupan makanan enteral dan parenteral,
iii. Total asupan energi,
iv. Asupan makronutrien,
v. Asupan mikronutrien,
vi. Asupan bioaktif.
b) Cara pemberian makan dan zat gizi yaitu menggali mengenai diet saat
ini dan sebelumnya, adanya modifikasi diet, dan pemberian makanan
enteral dan parenteral, sehingga tergambar mengenai:
i. Order diet saat ini,
ii. Diet yang lalu,
iii. Lingkungan makan,
iv. Pemberian makan enteral dan parenteral.
c) Penggunaan medika mentosa dan obat komplemenalternatif (interaksi
obat dan makanan) yaitu menggali mengenai penggunaan obat dengan
resep dokter ataupun obat bebas, termasuk penggunaan produk obat
komplemen-alternatif.
d) Pengetahuan/Keyakinan/Sikap yaitu menggali tingkat pemahaman
mengenai makanan dan
kesehatan, informasi dan pedoman mengenai gizi yang dibutuhkan,
selain itu juga mengenai
keyakinan dan sikap yang kurang sesuai mengenai gizi dan kesiapan pasien
untuk mau berubah.
e) Perilaku yaitu menggali mengenai aktivitas dan tindakan pasien yang
berpengaruh terhadap pencapaian sasaran-sasaran yang berkaitan dengan
gizi, sehingga tergambar mengenai:
i. Kepatuhan,
ii. Perilaku melawan,
iii. Perilaku makan berlebihan yang kemudian dikeluarkan lagi (bingeing
and purging
behavior),
iv. Perilaku waktu makan,

v. Jaringan sosial yang dapat mendukung perubahan perilaku.


f) Faktor yang mempengaruhi akses ke makanan yaitu mengenai faktor yang
mempengaruhi ketersediaan makanan dalam jumlah yang memadai, aman
dan berkualitas.
g)
Aktivitas dan fungsi fisik yaitu menggali mengenai aktivitas fisik,
kemampuan kognitif dan fisik dalam melaksanakan tugas spesifik seperti
menyusui atau kemampuan makan sendiri sehingga tergambar mengenai:
i. Kemampuan menyusui
ii. Kemampuan kognitif dan fisik dalam
melakukan aktivitas makan bagi orang tua
atau orang cacat
iii. Level aktivitas fisik yang dilakukan
iv. Faktor yang mempengaruhi akses ke kegiatan aktivitas fisik
(Handayani and Kusumastuty, 2015; Wibisono, 2008)
2) Antropometri
(AD)
Antropometri merupakan pengukuran fisik pada individu meliputi pengukuran
tinggi badan, berat badan, perubahan berat badan, indeks masa tubuh,
pertumbuhan dan komposisi tubuh.
Parameter antropometri yang penting untuk melakukan evaluasi status gizi
pada bayi, anak dan remaja adalah Pertumbuhan. Pertumbuhan ini dapat
digambarkan melalui pengukuran antropometri seperti
berat badan,
panjang atau tinggi badan,
lingkar kepala
LILA <11,5cm
Kelebihan dan kekurangan
Hasil pengukuran ini kemudian dibandingkan dengan standar.
Indeks antropometri untuk anak
BB/PB
Kelebihan dan kekurangan
BB/U
Kelebihan dan kekurangan
PB/U
Kelebihan dan kekurangan
Pemeriksaan fisik yang paling sederhana untuk melihat status gizi pada
pasien rawat inap adalah BB. Pasien sebaiknya ditimbang dengan
menggunakan timbangan yang akurat/terkalibrasi dengan baik. Berat badan
akurat sebaiknya dibandingkan dengan BB ideal pasien atau BB pasien
sebelum
sakit. Pengukuran BB sebaiknya mempertimbangkan hal-hal diantaranya
kondisi kegemukan dan edema. Kegemukan dapat dideteksi dengan
perhitungan IMT. Namun, pada pengukuran ini terkadang terjadi kesalahan
yang disebabkan oleh adanya edema.
BB pasien sebaiknya dicatat pada saat pasien masuk dirawat dan dilakukan
pengukuran BB secara periodik selama pasien dirawat minimal setiap 7 hari.
Cutoff

Kelebihan dan kelemahan


(Departemen Kesehatan, 2007; IDAI, 2011; Kemenkes and WHO, n.d.; Suyadi,
2009; WHO, 2009)
3) Laboratorium
(BD)
Keseimbangan asam basa, profil elektrolit dan ginjal, profil asam lemak
esensial, profil gastrointestinal, profile glukosa/endokrin, profil inflamasi, profil
laju metabolik, profil mineral, profil anemia gizi, profil protein, profil urine,
dan profil vitamin.
Data biokimia meliputi hasil pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan yang
berkaitan dengan status gizi, status metabolik dan gambaran fungsi organ
yang berpengaruh terhadap timbulnya masalah gizi. Pengambilan kesimpulan
dari data laboratorium terkait masalah gizi harus selaras dengan data
assesmen gizi lainnya seperti riwayat gizi yang lengkap, termasuk
penggunaan suplemen, pemeriksaan fisik dan sebagainya. Disamping itu
proses penyakit, tindakan, pengobatan, prosedur dan status hidrasi (cairan)
dapat mempengaruhi perubahan kimiawi darah dan urin, sehingga hal ini
perlu menjadi pertimbangan.
(Kemenkes, 2011b)
4) Pemeriksaan
Fisik Terkait
Gizi (PD)
Evaluasi sistem tubuh, wasting otot dan lemak subkutan, kesehatan mulut,
kemampuan menghisap, menelan dan bernafas serta nafsu makan.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan klinis yang
berkaitan dengan gangguan gizi atau dapat menimbulkan masalah gizi.
Pemeriksaan fisik terkait gizi merupakan kombinasi dari, tanda tanda vital
dan antropometri yang dapat dikumpulkan dari catatan medik pasien serta
wawancara. Contoh beberapa data pemeriksaan fisik terkait gizi antara lain
edema, asites, kondisi gigi geligi, massa otot yang hilang, lemak tubuh yang
menumpuk, dll.
5) Riwayat
Klien (CH)
Informasi saat ini dan masa lalu mengenai riwayat personal, medis,
keluarga dan sosial. Data riwayat klien tidak dapat dijadikan tanda dan gejala
(signs/symptoms) problem gizi dalam pernyataan PES, karena merupakan
kondisi yang tidak berubah dengan adanya intervensi gizi. Riwayat klien
mencakup:
a) Riwayat personal yaitu menggali informasi umum seperti usia, jenis
kelamin, etnis, pekerjaan, merokok, cacat fisik.
b) Riwayat medis/kesehatan pasien yaitu menggali penyakit atau kondisi
pada klien atau keluarga dan terapi medis atau terapi pembedahan
yang berdampak pada status gizi.
c) Riwayat sosial yaitu menggali mengenai faktor sosioekonomi klien,
situasi tempat tinggal, kejadian bencana yang dialami, agama, dukungan
kesehatan dan lain-lain.
Data riwayat personal meliputi 4 area yaitu riwayat obat-obatan atau
suplemen yang sering dikonsumsi; sosial budaya; riwayat penyakit; data
umum pasien.
a) Riwayat obat-obatan yang digunakan dan suplemen yang dikonsumsi.
b) Sosial Budaya
Status sosial ekonomi, budaya, kepercayaan/agama, situasi rumah, dukungan
pelayanan kesehatan dan sosial serta hubungan sosial.
c) Riwayat Penyakit

Keluhan utama yang terkait dengan masalah gizi, riwayat penyakit dulu dan
sekarang, riwayat pembedahan, penyakit kronik atau resiko komplikasi,
riwayat penyakit keluarga, status kesehatan mental/emosi serta kemampuan
kognitif seperti pada pasien stroke
d) Data umum pasien antara lain umur, pekerjaan, dan tingkat pendidikan
(Kemenkes, 2014, 2013)
6. Faktor resiko dan bagaiamana candidasis bisa memengaruhi asupan makan
(Masruroh et al., 2013; Suyoso, 2001)
7. Pengaruh HIV dengan gizi buruk
(Jafar, 2004)

Daftar Pustaka
Departemen Kesehatan, R.I., 2007. Pedoman Pengukuran dan Pemeriksaan.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, Jakarta.
Dorland, W.A.N., 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland, 28th ed. EGC, Jakarta.
Handayani, D., Kusumastuty, I., 2015. Diktat Diagnosa Gizi, 2nd ed. Jurusan Gizi
FK Universitas Brawijaya, Malang.
Hasaroh, Y., 2010. PERUBAHAN BERAT BADAN ANAK BALITA GIZI BURUK YANG DI
RAWAT DI RSUP .H. ADAM MALIK MEDAN. Universitas Sumatera Utara,
Medan.
IDAI, 2011. Rekomendasi IDAI: Asuhan Nutrisi Pediatrik (Pediatric Nutrition Care).
UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik, Indonesia.
Israr, Y.A., A.P, C., Julianti, R., Tambunan, R., Hasriani, A., 2009. Gizi Buruk (Severe
Malnutrition).
Jafar, N., 2004. Malnutrisi pada Penderita HIV/AIDS. Makasar: Universitas
Hasanudin.
Kemenkes, R.I., 2014. Pedoman Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT). Dirjen Bina
Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kemenkes RI, Indonesia.
Kemenkes, R.I., 2013. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Dirjen Bina Gizi dan
Kesehatan Ibu dan Anak, Kemenkes RI, Jakarta.
Kemenkes, R.I., 2011a. Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk. Kemenkes R.I.
Kemenkes, R.I., 2011b. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Kemenkes R.I.,
Indonesia.
Kemenkes, R.I., WHO, I., n.d. Buku Saku Asuhan Gizi di Puskesmas: Pedoman
Pelayanan Gizi Bagi Petugas Kesehatan. Kemenkes R.I. dan WHO,
Indonesia.
Masruroh, S.S.T., Kes, M., others, 2013. HUBUNGAN PRAKTIK IBU MENYUSUI
DENGAN KEJADIAN ORAL TRUSH PADA BAYI USIA 1-6 BULAN DIDESA
KUMPULREJO KECAMATAN PATEBON KABUPATEN KENDAL. J. ILMU Kesehat.
4.
PERSAGI, 2009. Kamus Gizi - Pelengkap Kesehatan Keluarga. Gramedia, Jakarta.
Suyadi, E.S., 2009. Kejadian KEP Balita dan Faktor Yang Berhubungan Di Wilayah
Kelurahan Pandoran Mas Depok Tahun 2009. FKM Universitas Indonesia,
Indonesia.
Suyoso, S., 2001. Kandidiasis mukosa. Dalam Budimulja Kuswadji Bramono K
Menaldi SL Dwihastuti P Widaty Ed. Dermatomikosis Superfisialis Jkt. Balai
Penerbit FKUI.
WHO, I., 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit - Pedoman
Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. WHO
Indonesia.
Wibisono, I.R., 2008. SISTEM INFORMASI PENEGAKKAN TERAPI DIIT UNTUK PASIEN
DI RUMAH SAKIT (STUDI KASUS DI BP RSUD DJOJONEGORO
TEMANGGUNG). FIKK Universitas Muhammadiyah Semarang, Semarang.
Wusyang, D., Bahar, A., 2015. MANUAL CSL IV SISTEM NEUROPSIKIATRI PEMERIKSAAN DERAJAT KESADARAN (GLASGOW COMA SCALE) DAN
FUNGSI KORTIKAL LUHUR (MINI-MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE)).

Anda mungkin juga menyukai