Anda di halaman 1dari 3

Isu LGBT Dalam Perspektif Gereja

Posted By :GuhmanaffPosted Date : 3 September 2015In Liputan1 Comment

(Sumber :
http://wp.patheos.com.s3.amazonaws.com/blogs/formerlyfundie/files/2014/05/ga
y-christian.jpg)
Suarakita.org- Tiga bulan belakangan ini, isu LGBT menjadi perbincangan yang
hangat dan Gereja-gereja di Indonesia pun menjadi salah satu yang terimbas
pada pembangunan konsep LGBT sebagai bagian dari ruang isu yang dikaji
secara teologis. Pada Jumat kemarin (31/8) diadakan fokus diskusi mengenai
LGBT dalam prespektif kekristenan oleh Gereja Kristen Indonesia (GKI)
Peterongan, Semarang, Jawa Tengah.
Pengkajian Eksistensi LGBT dianggap telah ada sejak dari dahulu kala, bahkan
ribuan tahun sebelum masehi telah digambarkan dalam banyak sejarah dunia,
namun kehadiranya di masyarakat tidak mengemuka selain memang belum
adanya penggunaan kata LGBT (yang sekarang terkadang ditambahkan dengan I
untuk Interseksualitas dan Q untuk Questioning/Queer) terlebih Homoseksual
belum digunakan dan kini menjadi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan.
Seiring berkembangnya pengetahuan dan tekhnologi informasi yang
memunculkan era keterbukaan yang kajian keilmuanya juga semakin
berkembang menjadikan kelompok LGBT mulai lebih terlihat eksistensinya di
masyarakat dan salah satunya di Indonesia.
LGBT saat ini dipandang sebagai sebuah identitas gender (Sexual Identity) dan
bukan sebagai bentuk dari pengaruh lingkungan atau bahkan bukan pula sebagai
sebuah lifestyle yang dipilih dan bukan pula sebagai manusia yang berprilaku
menyimpang melainkan sebagai seorang manusia yang normal apa adanya
dan LGBT dianggap sebagai bagian dari keragaman gender dan seksualitas
(Gender and Sexual Diversity) dalam sebuah kelompok sosial masyarakat.
Study Gender dalam gereja-gereja barat sendiri telah melakukan pembahasan
mengenai LGBT dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir ini, dan
memasukkanya sebagai salah satu studi teologis yang disebut sebagai Queer
Theory, yang memandang ragam seksualitas manusia sebagai bagian dari
keberagaman manusia, yang memandang manusia tidak sekadar hitam dan
putih, atau menjustifikasikan sebagai bagian dari dosa.

Suasana diskusi
(Foto : Oriel)

Namun keragaman tersebut dianggap sebagai sesuatu yang bersifat esensial


dalam diri manusia sehingga gereja-gereja barat menyatukan teologis LGBT dan
membuka diri pada LGBT untuk memulai membangun tafsir-tafsir yang lebih
humanis, progresif dan inklusif terhadap keragaman seksualitas manusia dan
memberikan batasan bahwa ada sisi-sisi yang sama dengan heteroseksual dalam
memandang isu tentang LGBT.
Pada umumnya, gereja di Indonesia belum memahami adanya keragaman
gender dan seksualitas tersebut, bahkan banyak yang belum dapat
membedakan antara Gay dan Transgender. Minimnya pemahaman tentang isu
LGBTIQ ini membuat banyak gereja menjadi terpecah dalam memandang LGBT
sebagai bagian dari keragaman seksualitas, karena hanya berpegang pada tafsir
lawas terhadap nas-nas Alkitab yang bersifat heterosexism (Cara pandang yang
sangat Heteronormatif).
Akibatnya, LGBTIQ dipandang sebagai sekelompok pendosa karena dianggap
sengaja memilih gaya hidup yang salah dalam melawan kodrati manusia yang
diharuskan. LGBTIQ dianggap bukan sebagai Kristen Sejati sehingga untuk bisa
dianggap menjadi seorang Kristen Sejati diharuskan melakukan pertobatan
dengan memaksakan gender dan seksualitas yang sangat heterosexism
tersebut, yang justru mengakibatkan gereja tidak lagi mampu melakukan
pelayanan pastoral yang relevan dan tepat bagi LGBTIQ Kristen karena
kegagalan dalam memahami pergumulan tersebut.
Pandangan Gereja sendiri terbagi menjadi lima prespektif dalam memandang isu
LGBT ini, pertama adalah LGBT dipandang sebagai sebuah komunitas yang
immoral atau seseorang telah melakukan perbuatan dosa karena dianggap telah
menyalahi kodrati manusia bahwa persatuan dua cinta hanya diakui anatara
lelaki dan perempuan saja.
Kedua, dianggap sebagai badhabit atau hanya sebuah lifestyle yang salah
karena perkembangan jaman, globalisasi dan lingkungan yang mempengaruhi
seseorang untuk menjadi seorang LGBT.
Ketiga, LGBT dianggap sama seperti sebagai seseorang yang difable, kebutaan
atau sebuah kecacatan. Gereja menerima namun menganggapnya sebagai
sebuah kecacatan pada diri manusia.
Keempat, LGBT hanya dianggap sebagai seseorang yang kurang rohani dalam
komunitas Kristen namun Gereja tetap menerimanya sebagai bagian dari
kekristenan.
Dan yang terakhir, kelima adalah Gereja menganggap bahwa LGBT sebagai
sesuatu yang normal layaknya manusia heteroseksual dan memandang
penyatuan dua manusia sama seperti penyatuan dua pasang lelaki dan
perempuan. Sama-sama memiliki perasaan untuk saling mengasihi, berkomiten
untuk saling setia dan menerima segala sisi baik dan buruk dari pasangan dalam
situasi sehat dan sakit.

Menurut Pendeta Juswantori Ichwan, M.Th selaku Pendeta di GKI Peterongan,


beliau merasa perlu menggumuli persoalan LGBTIQ secara mendalam dengan
mengambil disertasi studi doktoral yang mengambil tema langsung mengenai
liturgi pastoral untuk LGBTIQ, yang harapannya ke depan mampu menghadirkan
sebuah Liturgi Janji Setia sebagai bentuk baru dalam memahami terminologi
pernikahan tanpa harus melawan sistem perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia saat ini yang memahami terminlogi pernikahan sebagai penyatuan
hanya antara lelaki dan perempuan semata, Sehingga perlu ritual alternatif,
katanya. (Oriel Calosa)

Anda mungkin juga menyukai