Anda di halaman 1dari 13

PERIKATAN DAN PERJANJIAN

A. Pendahuluan
Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan oleh-Nya melalui pelantara
malaikat Jibril ke dalam hati rusulallah Muhammad bin Abdullah dengan lafadz
yang berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar, untuk menjadi hujjah bagi
Rasul atas pengakuannya sebagai Rasulallah, menjadi undang-undang bagi
manusia yang mengikuti petunjuknya, dan menjadi qurbah di mana mereka
beribadah dengan membacanya. Hukum yang terkandung dalam al-Quran itu ada
tiga macam, yaitu: hukum-hukum Iitiqadiyyah, hukum moralitas dan hukum
amaliyah yang bersangkut paut dengan sesuatu yang timbul dari mukallaf.
Dari klasifikasi al-Quran yang terbagai menjadi tiga, penulis berfokuskan
pada al-Quran yang menyangkut hukum-hukum amaliayah. Disamping itu,
hukum amaliyah terbagi menjadi dua yakni hukum-hukum ibadah dan hukumhukum muamalat. Dan disinilah penulis tekankan pada hukum-hukum muamalat
khususnya tema aqad (perjanjian).
Bahasan ini akan menitikberatkan bagaimana Al-Quran dalam menanggapi
permsalahan-permasalahan perjanjian pada saat ini, sehingga perjanjian yang
seperti apakah yang dicita-citakan al-Quran.
B. Perjanjian Dalam Prespektik Hukum Islam
1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian atau perikatan secara etimologi adalah ikatan. Sedangkan
menurut terminology perjanjian atau perikatan adalah suatu perbuatan dimana
seseorang mengikatkan dirinya kepada seorang atau beberapa lain. Menurut
Abdulkadir Muhammad perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua
orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal
dalam lapangan harta kekayaan.
Sedangkan menurut hukum islam perjanjian berasal dari kata aqad ))
yang secara etimologi berarti menyimpulkan.
Sedangkan menurut istilah sesuatu yang dengannya akan sempurna
perpaduan antara dua macam kehendak, baik dengan kata atau yang lain, dan
kemudian karenanya timbul ketentuan/ kepastian pada dua sisinya.

1 | FIQIH MUAMALAH

Dengan demikian definisi baik dari kalangan ahli hukum perdata dan ahli
hukum islam ada persamaan dimana titik temunya adalah kesepakatan untuk
mengikatkan diri dengan seorang lainya.
Dalam setiap perikatan akan timbul hak dan kewajiban pada dua sisi.
Maksudnya, pada satu pihak ada hak untuk menuntut sesuatu dan pihak lain
menjadi kewajiban untuk memenuhinya. Sesuatu itu adalah prestasi yang
merupakan hubungan hukum yang apabila tidak dipenuhi secara sukarela
dapat dipaksakan, bahkan melalui hakim.
Karena merupakan suatu hubungan, maka suatu akad (perjanjian) dapat
timbul karena perjanjian, yakni dua pihak saling mengemukakan janjinya
mengenai perstasi. Misalnya jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain.
2. Asas Perjanjian dalam Hukum Islam
a. Asas Ibahah (mabda al-Ibahah)
Asas ibahah adalah asas umum hukum islam dalam bidang muamalat
secara umum.
b. Asas Kebebasan Beraqad (mabda huriyyah at-taaqud)
Hukum islam mengakui kebebasan beraqad, yaitu suatu prinsip
hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat aqad
atau jenis apapun tanpa terikat.
c. Asas Konsensualisme (mabda ar-radhaiyyah)
Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu
perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara pihak tanpa
perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu.
d. Asas Janji Mengikat
e. Asas Keseimbangan (mabda at-tawazun fi al-muawadhah)
Secara factual jarang terjadi keseimbangan antara para pihak dalam
bertransaksi, namun hukum perjanjian islam tetap menekankan
perlunya keseimbangan itu, baik keseimbangan antara apa yang
diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam
memikul risiko. Asas keseimbangan dalam transasksi (antara apa yang
diberikan apa yang diterima) tercermin pada dibatalkanya suatu aqad
yang mengalami ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. Asas
keseimbangan dalam memikul risiko tercermin dalam larangan
terhadap transaksi riba, di mana dalam konsep riba hanya debitur yang
memikul segala risiko atas kerugian usaha, sementara krditor bebas

2 | FIQIH MUAMALAH

sama sekali dan harus mendapat presentase tertentu sekalipun pada


saat dananya mengalami kembalian negative.
f. Asas Kemaslahatan (tidak memberatkan)
Asas kemaslahatan dimaksudkan bahwa aqad yang akan dibuat oleh
para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka
dan tidak boleh menimbulkan kerugian atau keadaan yang
memberatkan. Apabila dalam pelaksanaan aqad terjadi suatu
perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta
membawa kerugian yang fatal bagi pihak yang bersangkutan sehingga
memberatkanya, maka kewajibanya dapat diubah dan disesuaikan
kepada batas yang masuk akal.
g. Asas Amanah
Asas Amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah
beritiqad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainya dan tidak
dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya.
Dalam kehidupan masa kini banyak sekali objek transaksi yang
dihasilkan oleh satu pihak melalui suatu keahlian yang amat sepesialis
dan profesionalisme yang tinggi sehingga ketika ditransaksikan, pihak
lain menjadi mitra tarnsaksi tidak banyak mengetahui seluk beluknya.
Oleh karena itu, ia sangat bergantung kepada pihak yang
menguasainya.
h. Asas Keadilan
Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum.
Dalam hukum islam, keadilan langsung merupakan perintah al-quran
(QS. 5:8). Keadilan merupakan sendi setiap perjanjian yang dibuat
oleh para pihak.
3. Konsekuensi Perjanjian Dalam Prespektif Hukum Islam
Perjanjian dalam prespektif hukum islam harus dipenuhi sesuai dengan
Firman Allah:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah olehmu aqad-aqad
(perjanjian) itu (Q.S. Al-Maidah:1)
Dengan demikian sangat wajar dan amat sesuai bila dengan tuntunan
kepada orang beriman untuk memenuhi akad (perjanjian).

3 | FIQIH MUAMALAH

Kata al-uqud adalah jamak dari kata aqad yang pada mulanya berarti
mengikat sesuatu dengan sesuatu sehingga tidak menjadi baginya dan tidak
terpisah dengannya.
Maka yang menjadi pegangan adalah perkataan penjual atau saling
mengembalikan.
Sesuai dengan definisi perjanjian dimana yang berarti aqad yang secara
harfiah berarti ikatan atau kewajiban yang dimaksudkan oleh kata lain adalah
mengadakan ikatan persetujuaan. Pada saat dua kelompok mengadakan
perjanjian, yakni ikatan untuk memberi dan menerima bersama-sama dalam
satu waktu. Kewajiban yang timbul akibat perjanjian itu disebut al-Uqud.
Disamping itu, dalam syariah perjanjian yang dibuat hanya ketika satu
kelompok memindahkan sesuatu pada kelompok ia berdasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan dan kelompok yang lain menerima perpindahan
harta tersebut. Memberi dan menerima harus dibuat dalam keadaan bebas
merdeka tanpa tekanan. Pertimbangan itu harus sah menurut hukum.
Kelompok-kelompok ittu harus juga diakui atas hak-hak dan kewajibankewajiban mereka.
Konsekuwensi dari perjanjian itu adalah Penyerahan. Penyerahan adalah
langkah pertama dalam pembuatan perjanjian. Penyerahan ini dibuat dalam
berbagai cara diantaranya:
a.
Disampaikan secara verbal (bi al-kalam). Bentuk penyerahan ini
b.

dilakukan dalam pertemuan langsung.


Disampaikan secara tertulis (bi al-Kitabah). Bentuk penyerahan ini
menjadi efektif segera setelah surat yang dibuat itu menunjukan bahwa
orang tersebut menyerahkan dan tetap akan menerima sampai diterima

c.

oleh penerima. Penyerahan ini harus dilakukan secara langsung.


Dapat dilakukan dengan pesan yang dikirim dengan seseorang. Orang
yang jujur dan terpercaya, dan penyerahan itu diterima dengan
penerimaan yang baik. Para ulama Maliki, Syafii, Hanbali,
berpendapat bahwa penyerahan itu harus dilakukan oleh pemilik harta
dalam mengembalikan konsiderasi. Namun para ulama Hanafi
mengatakan bahwa penyerahan itu berasal dari satu kelompok.

4 | FIQIH MUAMALAH

d.

Dibuat melalui tanda-tanda dan terutama lewat isyarat pada semua


kasus di mana orang yang menyerahkan itu adalah tuli atau bisu atau
ketika penerima tidak memahami bahasa orang yang menyerahkan
Mazhab Maliki berpandangan sebagai sahih tanda-tanda yang diketahui
yang dibuat seseorang yang normal sekalipun karena ide yang penting
adalah bahwa orang yang menyerahkan itu harus mengkomunikasikan

e.

penyerahanya.
Dibuat dengan perbuatan (fiil). Penyerahan yang dibuat lewat
perantara barang adalah sahih menurut Mazhab Maliki, namun

penyerahan itu tidak dapat dilakukan secara sembunyi-sembunyi.


4. Pembatalan Perjanjian
Waktu antara keputusan menyerahkan dan menerima ini disebut Majelis
al-Aqad. Para ulama Hanafi dan Maliki menyatakan bahwa orang yang
menyerahkan mempunyai pilihan untuk membatalkan penyerahannya
sebelum barang yang diperdagangkan itu diterima. Begitu pula orang yang
menerima mempunyai kesempatan untuk menata mentalnya apakah
menerima atau menolak penyerahan itu, kiranya adil kalau orang yang
menyerahkan itu mempunyai hak untuk membatalkan penyerahanya sebelum
penerimaan diputuskan. Mungkin sekali bahwa penyerahan yang dilakukan
oleh orang tersebut boleh jadi salah atau lupa memasukan sesuatu, karenanya
orang tersebut boleh cepat-cepat membatalkan penyerahanya sementara
kelompok yang lain sedang sibuk menata pikiranya apakah menerima atau
menolak penyerahan itu.
Pembatalan itu dibolehkan sesuai dengan Hadis yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah: Artinya: Barang siapa menerima permintaan seorang muslim
untuk membatalkan aqad maka Allah akan mengampuni kesalahannya (HR.
Abu Dawud dan Ibu Majah.
Dalam fiqh pembatalan aqad disebut iqalah. Iqalah boleh dilakukan
sebelum barang diterima.
5. Contoh Perjanjian (aqad) dalam Hukum Islam
Contoh perjanjian atau perikatan yang sahih adalah:
a. Al-Bai (jual beli)
b. Hawalah (pemidahan hutang)
c. Syirkah (perkongsian)
d. Mudharabah (Kerjasama bagi hasil)
5 | FIQIH MUAMALAH

e. Wakalah (perwakilan)
f. Dhaman (Garansi)
g. Ijarah (sewa-menyewa)
Disamping perjanjian atau perikatan yang sahih ada juga perjanjian
atau perikatan yang diharamkan oleh Syari, diantaranya:
a. Dua aqad dalam suatu perdagangan
b. Tambahan syarat diberikan untuk penjualan
c. Perdagangan al-Mulamisah dan Al-Munabihah
d. Penjualan yang bukan haknya

RIBA DAN DAMPAKNYA


Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah memperingatkan umatnya
akan fitnah harta yang akan menimpa mereka. Bukanlah kefakiran yang beliau
takutkan, namun sebaliknya beliau justru khawatir jika fitnah harta duniawi
menimpa umatnya sehingga melalaikan mereka dari urusan akhirat. Tengoklah
peringatan beliau tatkala mengucapkan, Akan datang suatu zaman di mana
manusia tidak lagi peduli darimana mereka mendapatkan harta, apakah dari
usaha yang halal atau haram. (HR. Bukhari Al Fath 4/296 nomor 2059; 4/313
nomor 2083).
Ibnu At Tiin mengatakan, Sabda beliau ini merupakan peringatan
terhadap fitnah harta sekaligus salah satu bukti kenabian beliau, karena
memberitakan sesuatu yang tidak terjadi di masa beliau. Segi celaan dari hadits ini
adalah penyamaan beliau shallallahu alaihi wa sallam terhadap dua perkara
(yaitu perkara halal dan haram -pen), jika tidak demikian, tentunya memperoleh
harta dari jalan yang halal tidaklah tercela. Wallahu alam. (Fathul Baari 6/362)
A. Definisi Riba

6 | FIQIH MUAMALAH

Secara etimologi riba berarti tambahan, baik yang terdapat pada sesuatu atau
tambahan tersebut sebagai ganti terhadap sesuatu tersebut, seperti menukar satu
dirham dengan dua dirham. Lafadz ini juga digunakan atas segala bentuk jual beli
yang diharamkan (Syarh An Nawawi alaa Shahih Muslim 11/8, Fathul Baari
4/312).
Adapun secara terminologi, riba berarti adanya tambahan dalam suatu barang
yang khusus dan istilah ini digunakan pada dua bentuk riba, yaitu riba fadl dan
riba nasiah. Al Ustadz Aunur Rofiq Ghufron mengatakan, Maksud tambahan
secara khusus,ialah tambahan yang diharamkan oleh syariat Islam, baik diperoleh
dengan cara penjualan, atau penukaran atau peminjaman yang berkenaan dengan
benda riba.
B. Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba
Riba haram berdasarkan al-Quran, sunnah, ijma dan qiyas. Bahkan seluruh
agama samawi selain Islam pun mengharamkannya. Disebutkan dalam kitab
Perjanjian Lama, Jika engkau meminjamkan harta kepada salah seorang dari
kalangan bangsaku, janganlah engkau bersikap seperti rentenir dan janganlah
engkau mengambil keuntungan dari piutangmu. (Safarul Khuruj pasal 22 ayat
25; dinukil dari Fiqhus Sunnah 3/130).
Adapun islam, maka agama yang mulia ini melarangnya dengan berdasarkan
dalil-dalil dari al-Quran, sunnah, ijma dan qiyas.
Dalil dari al-Quran, Allah taala berfirman,


Dan Allah telah mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275)
Kaum muslimin pun telah sepakat untuk mengharamkannya dan meyakini
bahwa hal tersebut termasuk dosa besar. Di sisi lain, riba merupakan salah satu
bentuk kezhaliman sedangkan keadilan yang terkandung dalam syariat yang adil
tentunya mengharamkan kezhaliman. Jika ada yang mengatakan, Bagaimana
bisa transaksi ribawi dikatakan sebagai bentuk kezhaliman padahal mereka

7 | FIQIH MUAMALAH

yang berhutang, ridha terhadap bentuk muamalah ini? Maka jawabannya


adalah sebagai berikut:
Pertama, sesungguhnya bentuk kezhaliman dalam bentuk muamalah ribawi
sangat nyata, yaitu mengambil harta milik orang lain secara batil. (Karena)
sesungguhnya kewajiban bagi orang yang menghutangi adalah memberikan
kelonggaran dan tambahan waktu bagi pihak yang berhutang tatkala kesulitan
untuk melunasi hutangnya (sebagaimana firman Allah dalam surat al Baqarah ayat
280-pen). Apabila terdapat tambahan dalam transaksi tersebut lalu diambil, maka
hal ini merupakan salah satu bentuk tindakan mengambil harta orang lain tanpa
hak. Yang patut diperhatikan pula, bahwa seluruh hamba di bawah aturan yang
telah ditetapkan Allah, mereka tidak boleh ridha terhadap sesuatu yang tidak
diridhai oleh Allah. Oleh karenanya, ridha dari pihak yang berhutang terhadap
transaksi ribawi tidak dapat dijadikan alasan untuk melegalkan praktek ribawi.
Kedua, jika ditilik lebih jauh, sebenarnya pihak yang berhutang tidak ridla
terhadap transaksi tersebut sehingga statusnya layaknya orang yang tengah
dipaksa, karena dirinya takut kepada pihak yang menghutangi apabila tidak
menuruti dan mengikuti bentuk muamalah ini, mereka akan memenjarakan dan
melukai dirinya atau menghalanginya dari bentuk muamalah yang lain. Maka
secara lisan (dirinya) menyatakan ridla, namun sebenarnya dirinya tidaklah ridla,
karena seorang yang berakal tentunya tidak akan ridla hutangnya dinaikkan tanpa
ada manfaat yang dia peroleh (Fiqh wa Fatawal Buyu hal. 10 dengan beberapa
penyesuaian)
C. Dampak Negatif Riba
Selayaknya bagi seorang muslim untuk taat dan patuh tatkala Allah dan rasulNya melarang manusia dari sesuatu. Bukanlah sifat seorang muslim, tatkala
berhadapan dengan larangan Rabb-nya atau rasul-Nya dirinya malah berpaling
dan memilih untuk menuruti apa yang diinginkan oleh nafsunya.
Tidak diragukan lagi bahwasanya riba memiliki bahaya yang sangat besar dan
dampak yang sangat merugikan sekaligus sulit untuk dilenyapkan. Tentunya
tatkala Islam memerintahkan umatnya untuk menjauhi riba pastilah disana
8 | FIQIH MUAMALAH

terkandung suatu hikmah, sebab dinul Islam tidaklah memerintahkan manusia


untuk melakukan sesuatu melainkan disana terkandung sesuatu yang dapat
menghantarkannya kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Demikian pula
sebaliknya, bila syariat ini melarang akan sesuatu, tentulah sesuatu tersebut
mengandung kerusakan dan berbagai keburukan yang dapat menghantarkan
manusia kepada kerugian di dunia dan akhirat.
Dalam permasalahan riba ini pun tidak jauh berbeda, cukuplah nash-nash
yang telah lewat menggambarkan keburukan riba. Namun, tatkala kesadaran
mulai melemah dan rendahnya keinginan untuk merenungi nash-nash syari telah
menyebar di kalangan kaum muslimin, perlu kiranya menjelaskan berbagai
keburukan dan dampak negatif yang dihasilkan oleh berbagai transaksi ribawi.
D. Macam-Macam dan Dampak Riba
1. Macam-Macam Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan

menjadi dua.

Masing-masing adalah riba utang piutang dan riba jual beli.


Riba utang piutang yaitu riba yang timbul karena terjadinya
transaksi pinjam meminjam. Sedangkan riba jual beli yaitu
riba yang timbul karena terjadinya transaksi jual beli. Riba
utang piutang dibagi menjadi dua, yakni riba qord dan riba
jahiliyah, sedangkan riba jual beli terbagi menjadi dua, yakni
riba fadl dan riba nasiyah
a. Riba Qord
Yaitu suatu kelebihan tertentu yang disyaratkan di
depan orang yang berhutang. Maksudnya meminjam
dengan syarat keuntungan bagi yang meminjami.
Misalnya

seseorang

berhutang

Rp.1000

dengan

perjanjian akan dikembalikan sebesar Rp.1.100


b. Riba Jahiliyah

9 | FIQIH MUAMALAH

Yaitu kelebihan pembayaran atas hutang pokok karena


yang berhutang tidak mampu membayar pada saat
jatuh tempo. Misalnya seseorang yang berhutang di
bank ketika sudah jatuh tempo untuk membayar tetapi
tidak membayar maka dikenakan denda
c. Riba Fadl
Yaitu pertukaran barang sejenis dengan kadar yang
berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu
termasuk barang ribawi. Misalnya emas dengan emas,
gandum dengan gandum, beras dengan beras. Selama
pertukarannya
berbeda,

barter

walaupun

memang

keduanya,

takarannya

kualitasnya

berbeda

termasuk praktik riba fadl.

d. Riba Nasiah
Yaitu penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis
barang ribawi yang dipertukarkan dengan barang ribawi
lainnya. Yang dimaksud dengan barang ribawi yaitu
emas dan perak baik itu dalam bentuk uang maupun
dalam bentuk lainnya, bahan makanan pokok seperti
beras, gandum, dan jagung, serta bahan makanan
tambahan seperti sayur - sayuran dan buah - buahan.
Riba

ini

muncul

karena

adanya

perubahan

atau

tambahan antara yang diserahkan sekarang dengan


yang

akan

ditimbang,

datang.
seperti

Contoh
membeli

jual
satu

beli
buah

yang

tidak

semangka

10 | F I Q I H M U A M A L A H

dengan dua buah semangka yang akan dibayar setelah


sebulan
2. Dampak Negatif Riba
Dampak adanya riba di tengah-tengah masyarakat tidak saja
berpengaruh dalam kehidupan ekonomi, tetapi dalam seluruh
aspek kehidupan manusia, diantaranya :
a. Bertentangan dengan nilai aqidah.
Penetapan

bunga

diawal

sebelum

usaha

dimulai

bertentangan dengan prinsip aqidah. Karena manusia tidak


akan pernah tahu kondisi hari esok. Kita tidak akan pernah
tahu perkembangan usaha besok atau lusa. Apakah usaha
kita menguntungkan atau malah merugi, sama sekali diluar
jangkauan manusia. Semuanya menjadi ketentuan takdir
yang harus diyakini. Meskipun manusia mampu membuat
perencanaan dan Tuhan tidak akan menurunkan musibah
tanpa sebab, tetapi keyakinan akan takdir, harus dipegang
teguh. Oleh karenanya penetapan sejumlah nilai uang
karena

bunga

pinjaman

yang

dilakukan

diawal

pada

dasarnya bertentangan dengan nilai-nilai aqidah


b. Bertentangan dengan nilai keadilan
Bunga

yang

dibayarkan

bertentangan
masyarakat.

dengan
Peminjam

pada

dasarnya

sangat

nilai-nilai

keadilan

dalam

adalah

orang

yang

sangat

berhasrat akan barang atau uang yang dipinjamnya. Jika


pinjaman itu digunakan untuk keperluan yang konsumtif,
maka

bunga

yang

ditetapkan

oleh

kreditor,

sangat

membebani peminjam.
Jika

pinjaman

untuk

pemenuhan

modal

kerja

atau

investasi usaha, maka bunga atas modal tersebut akan


menjadi beban tetap yang berdampak pada biaya tinggi.
11 | F I Q I H M U A M A L A H

Akan sangat tidak adil, jika usaha yang dibiayai ternyata


merugi. Ketidakadilan juga bisa timbul dari sisi peminjam
(debitor). Karena bunga tidak terpengaruh dengan kondisi
usaha, maka tidak adil jika pengusaha mendapat untung
besar, sementara kreditornya memperoleh bunga yang
tetap
c. Menimbulkan kejahatan moral
Pengambilan riba dan juga bunga dapat menyebabkan
rasa tamak dan rakus yang berlebihan terhadap harta.
Orang akan semakin egois dan tidak mau tahu akan
kondisi

orang

lain

terutama

yang

dipinjami.

Bunga

menimbulkan sikap tidak mengenal rasa sosial dan tidak


saling mengasihi.
Penetapan

riba

juga

berdampak

pada

melemahnya

semangat untuk bekerja. Orang yang memiliki uang


banyak, cukup dengan membungakan uangnya atau
menaruh dananya dalam tabungan atau deposito. Ia tidak
akan pernah menanggung kerugian sedikitpun, karena
setiap bulan ia dapat menikmati bunga. Semangat ini
sangat

bertentangan

dengan

semangat

islam

yang

menekankan pentingnya bekerja keras


d. Menimbulkan kebencian sosial di masyarakat
Penetapan bunga dan riba membawa dampak munculnya
kebencian yang meluas di masyaraka. Antara kreditor dan
debitor

akan

senantiasa

berhadapan

secara

tidak

seimbang. Benih-benih permusuhan dan kebencian akan


terus mengalir dan akhirnya masyarakat tidak akan
pernah tenteram.
e. Menimbulkan kejahatan ekonomi

12 | F I Q I H M U A M A L A H

Penetapan bunga akan berdampak pada ekonomi biaya


tinggi. Bunga pada pinjaman produktif akan dibebankan
sebagai

biaya

tetap

(fix cost).

Komponan

ini

akan

mempengaruhi harga jual sehingga usaha yang dibiayai


oleh pinjaman dengan bunga akan 6. menyebabkan
tingginya harga jual.
Sedangkan bunga pinjaman konsumtif akan membawa
dampak pada melemahnya daya beli masyarakat. Karena
pada dasarnya nilai pinjamannya tidak hanya senilai
pokok pinjaman melainkan harus ditambah dengan beban
bunga. Sehingga peminjam tidak akan membelanjakan
semua pinjamannya, karena sebagian dicadangkan untuk
membayar bunga.
Kondisi bisnis yang dibiayai dengan pinjaman bunga dan
masyarakat konsumen membeli dari pinjaman bunga pula,
maka akan terjadi penurunan daya beli masyarakat.
Secara makro penurunan daya beli ini berarti semakin
menurunnya

kegiatan

dunia

bisnis.

Ini

berarti

juga

meningkatnya kemiskinan, artinya penetapan bunga turut


andil dalam menciptakan kemiskinan baru.

13 | F I Q I H M U A M A L A H

Anda mungkin juga menyukai