Anda di halaman 1dari 15

PAPER DISKUSI JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK

KERJASAMA ANTAR DAERAH DAN DESENTRALISASI


Ari Subowo

A. Pendahuluan
Pada tahun 2006, pelaksanaan kegiatan-kegiatan dalam rangka mendukung kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah, difokuskan pada: (1) penyelesaian berbagai peraturan
pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah; (2) penyelesaian konsep Grand Strategy Otonomi Daerah
sebagai Kerangka Besar pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah; dan (3)
penyelesaian penyusunan Rencana Aksi Nasional Desentralisasi Fiskal (RAN-DF).
Pencapaian utama kegiatan pada tahun 2006, adalah: (1) telah selesai disusun dan
diterbitkannya 12 (dua belas) Peraturan Pemerintah (PP), 1 (satu) Peraturan Presiden
(Perpres), dan 2 (dua) Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) dari 28 (dua puluh
delapan) Peraturan Pemerintah (PP), 2 (dua) Perpres, dan 3 (tiga) Permendagri yang
diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta
4 Peraturan Pemerintah (PP) dari 6 Peraturan Pemerintah (PP) yang diamanatkan UndangUndang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah; (2) finalisasi 6 (enam) Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) termasuk
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
sebagai revisi Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 dan RPP tentang penataan
kelembagaan Pemerintah Daerah sebagai revisi Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003;
(3) tersusunnya konsep Grand Strategy Otonomi Daerah meliputi urusan pemerintahan,
kelembagaan, personil, keuangan daerah, perwakilan, pelayanan publik, pengawasan, serta
penataan daerah (pembentukan daerah otonomi khusus, pemekaran, penghapusan dan
1

penggabungan daerah, penyesuaian batas daerah, pengalihan status daerah pada aspek
administratif dan politis, serta penataan ibukota); serta (4) tersusunnya laporan akhir Rencana
Aksi Nasional Desentralisasi Fiskal (RANDF) daerah sebagai penjabaran salah satu elemen
dari Grand Strategy terkait dengan desentralisasi fiskal.
B. Desentralisasi dan Kelembagaan Daerah
Beberapa pencapaian lainnya kegiatan pada tahun 2006, terkait dengan penataan perundangundangan mengenai desentralisasi dan otonomi daaerah dan kelembagaan pemerintah daerah,
antara lain: (1) telah disetujui dan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh pada tanggal 1 Agustus 2006 sebagai upaya penciptaaan pondasi
pembangunan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) di masa depan; (2) telah dibatalkannya
600 Peraturan Daerah (Perda) yang bermasalah berkaitan dengan pajak dan retribusi daerah;
(3) telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang segera digunakan
sebagai acuan daerah dalam menyusun dan melaksanakan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
untuk tiap sektornya; (4) tersusunnya Pedoman (Handbook) Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah tahun 2006; (5) telah terbangunnya 34,6 persen dari seluruh gedung pemerintahan
yang hancur di Wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang terdiri dari 218 unit Kantor
Desa, 21 unit Kantor Camat, 2 unit Kantor Bupati, 14 unit Kantor Dinas/Badan, 2 unit
Meuligo, 73 unit Kantor Mukim/Bale Pembangunan, dan 301 unit Rumah Dinas; serta (6)
telah dilaksanakannya 78 Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Gubernur,
Bupati, dan Walikota) meliputi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur secara langsung di
7 provinsi, pemilihan Bupati dan Wakil Bupati secara langsung di 60 kabupaten, dan
pemilihan Walikota dan Wakil Walikota di 11 kota.
Selanjutnya pencapaian lain pada tahun 2006 pada aspek aparatur pemerintah daerah,
kerjasama antar pemerintah daerah, penataan daerah otonom baru, serta peningkatan
kapasitas keuangan daerah, adalah: (1) terintegrasinya Sistem Informasi Manajemen
Kepegawaian (SIMPEG) berbasis web; (2) terselenggaranya peningkatan kapasitas aparatur
pemerintah daerah pada bidang kependudukan di daerah dan sosialisasi manajemen
kepegawaian daerah; (3) terselesaikannya kajian mengenai Standar Kompetensi Aparatur
Pemerintah Daerah; (4) tersusunnya rencana pengelolaan aparatur Pemerintah Daerah; (5)
2

terselenggaranya fasilitasi diklat kepada Pemerintah Daerah termasuk review dan perbaikan
pedoman, kurikulum dan modul; (6) meningkatnya kemampuan aparatur dalam mitigasi
bencana dan penanganan pasca bencana; (7) terbentuknya forum-forum kerjasama antar
Pemerintah Daerah dalam bidang sosial, ekonomi dan pelayanan publik dasar seperti forumforum kerjasama antar Pemerintah Daerah dalam bidang ekonomi, pelayanan dasar, dan
keamanan di sebagian besar daerah, terutama di wilayah perbatasan; serta pelaksanaan
pelayanan satu atap bagi perizinan investasi dan pelayanan publik dasar di daerah; (8)
teridentifikasinya

bentukan-bentukan

kerjasama

antar

daerah

di

Indonesia

dan

terdeseminasikannya pembelajaran pola, bentuk dan model kerjasama antar daerah; (9)
dilakukannya penyempurnaan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang
Penggabungan, Penghapusan dan Pemekaran Daerah; (10) selama kurun waktu tahun 1999
hingga tahun 2006 sudah terbentuk 165 daerah otonom baru, yang terdiri dari 7 (tujuh)
provinsi, 129 (seratus dua puluh sembilan) Kabupaten dan 29 (dua puluh sembilan) kota,
sehingga pada tahun 2006 jumlah keseluruhan Daerah Otonom adalah 484 yang terdiri dari
33 provinsi dan 451 kabupaten/kota; (11) terlaksananya Sistem Informasi Bina Administrasi
Keuangan Daerah (SIBAKD) di tingkat pusat dan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan
Daerah (SIPKD) inkubator di 12 Provinsi dan 59 Kabupaten/Kota; (12) tersusunnya
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pedoman Pemberian Insentif /Kemudahan
Investasi Daerah; (13) terselesaikannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)
Nomor 24 tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu;
serta (14) tersusunnya draft RPP tentang Tahapan Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan
Evaluasi Rencana Pembangunan Daerah.
Selain itu pada aspek pembinaan, pengawasan, evaluasi dan pengembangan kapasitas
Pemerintahan Daerah, beberapa pencapaian pada tahun 2006 antara lain: (1) telah diterbitkan
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 sebagai Pedoman Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; (2) telah tersusunnya Rancangan Peraturan
Pemerintah tentang Evaluasi Penyelenggaraan Pemda; (3) telah tersusunnya Rancangan
Peraturan Presiden tentang Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas
dalam rangka Mendukung Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah.
Pada tahun 2007, beberapa pencapaian utama, antara lain: (1) terselesaikannya seluruh
peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
3

dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah meliputi penetapan 11 (sebelas) Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP), 1 (satu) Rancangan Peraturan Presiden (Perpres), dan 1 (satu)
Rancangan Peraturan Menteri (Permen) sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004 (termasuk beberapa Peraturan Pemerintah (PP) yang krusial mengenai
pembagian urusan pemerintahan, organisasi perangkat daerah, manajemen Pegawai Negeri
Sipil (PNS) daerah, pelaksanaan kerjasama antar daerah, evaluasi penyelenggaraan Pemda,
pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah), serta 2 (dua) Peraturan Pemerintah
(PP) yaitu Peraturan Pemerintah (PP) tentang pengelolaan dana darurat dan pelaksanaan dana
dekonsentrasi dan tugas pembantuan, sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang
Nomor 33 tahun 2004; (2) terselesaikan dan ditetapkannya legal basis Grand Strategy
Otonomi Daerah sebagai kerangka besar pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah; (3) terselesaikannya penjabaran masing-masing elemen Grand Strategy Otonomi
Daerah menjadi Rencana Aksi Nasional (RAN) yang meliputi urusan pemerintahan,
kelembagaan, personil, keuangan daerah, perwakilan, pelayanan publik, dan pengawasan; (4)
terselesaikannya Grand Strategy Penataan Daerah sebagai bagian dari Grand Strategy
Otonomi Daerah (meliputi pembentukan daerah otonom, khusus, pemekaran, penghapusan
dan penggabungan daerah, penyesuaian batas daerah, pengalihan status daerah pada aspek
administratif dan politis, dan penataan ibukota); serta (5) terlaksananya proses koordinasi,
monitoring dan evaluasi pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Desentralisasi Fiskal (RANDF).
Adapun beberapa perkiraan pencapaian kegiatan pada tahun 2007 lainnya, terkait dengan
aspek penataan perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah serta
kelembagaan Pemerintah Daerah adalah: (1) terlaksananya evaluasi pelaksanaan otonomi
khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat; (2) terlaksananya 40 Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Gubernur,
Bupati, dan Walikota) meliputi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di 6 provinsi,
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di 22 kabupaten, dan pemilihan Walikota dan Wakil
Walikota di 12 kota; (3) terselesaikannya Standar Pelayanan Minimal (SPM) sektoral bidang
kesehatan dan mulai disusunnya Standar Pelayanan Minimal (SPM) sektoral bidang
pendidikan; serta (4) terselesaikannya 65,4 persen bangunan kantor pemerintahan yang belum
terbangun di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai bagian dari proses
4

rehabilitasi dan rekonstruksi kehidupan dan wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan
Nias, Sumatera Utara.
Sedangkan pada aspek aparatur Pemerintah Daerah, kerjasama antar Pemerintah Daerah,
penataan daerah otonom baru, serta peningkatan kapasitas keuangan daerah, beberapa
perkiraan pencapaian lainnya pada tahun 2007, adalah: (1) meningkatnya kapasitas aparatur
Pemerintah Daerah yang profesional dan kompeten dalam pelayanan publik, peningkatan
iklim berusaha dan investasi pada daerah hasil pemekaran dan daerah tertinggal dan
perbatasan melalui pendidikan dan pelatihan serta penyediaan modul dan berbagai pedoman
yang bertujuan membentuk kompetensi substansial dalam penyelenggaraan Pemerintah
Daerah sesuai jalur karir; (2) terselesaikan dan tersosialisasikannya Peraturan Pemerintah
(PP) mengenai kerjasama antardaerah termasuk bertambahnya kelengkapan data dalam
penyusunan database kerjasama antardaerah; (3) terfasilitasinya forum-forum kerjasama
antar daerah dalam hal penyediaan pelayanan publik dasar, peningkatan iklim usaha dan
investasi, penanganan disparitas antar wilayah, serta penanganan kawasan tertinggal di
perbatasan melalui fasilitasi peran Pemerintah Provinsi; (4) terbangunnya sarana dan
prasarana pemerintahan kecamatan di 35 daerah (kabupaten/kota) hasil pemekaran; (5)
tersusunnya Sistem Informasi Manajemen Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD);
serta (6) tersedianya Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD) dan Sistem
Informasi Keuangan Daerah (SIKD).
Berkaitan dengan pembinaan, pengawasan, evaluasi dan pengembangan kapasitas
Pemerintahan Daerah, beberapa perkiraan pencapaian pada tahun 2007 antara lain: (1)
sinkronnya berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembinaan,
pengawasan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah; (2)
terbitnya PP tentang Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; serta (3) terbitnya
Peraturan Presiden tentang Pedoman Pengembangan Kapasitas Daerah dalam mendukung
Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah.
Di samping beberapa pencapaian pada tahun 2006 dan perkiraan pencapaian tahun 2007,
dalam upaya mempercepat revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah, beberapa
tantangan utama yang akan dihadapi pada tahun 2008 antara lain: (1) belum optimalnya
pelaksanaan kebijakan otonomi di daerah-daerah berkarakter khusus seperti Provinsi
5

Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat serta daerah
istimewa seperti Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi DI Yoyakarta; (2) masih rendahnya
kapasitas dan kompetensi aparatur Pemda di dalam penerapan Standar Pelayanan Minimal
(SPM) di bidang pendidikan dan kesehatan; (3) rendahnya kapasitas aparatur pemerintah
daerah dalam usaha mitigasi bencana; (4) belum adanya regulasi kerjasama antar daerah
sebagai upaya meningkatkan pelayanan publik dasar; (5) rusaknya sarana dan prasarana
pemerintahan

yang

menyebabkan

tidak

optimalnya

pelaksanaan

penyelenggaraan

pemerintahan daerah di lokasi pasca bencana khususnya di wilayah Aceh, Nias, DI


Yogyakarta dan Aceh dan pasca bencana di berbagai daerah lainnya; serta (6) belum
optimalnya pengelolaan keuangan daerah.
Tantangan lain yang dihadapi pada tahun 2008 terkait dengan penataan perundang-undangan
mengenai desentralisasi dan otonomi daerah dan kelembagaan pemerintahan daerah adalah:
(1) belum harmonisnya berbagai peraturan perundang-undangan sektor dengan peraturan
perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah berikut turunannya,
termasuk dalam hal ini masih belum memadainya mekanisme supervisi dan evaluasi terhadap
peraturan-peraturan di tingkat daerah.; (2) belum adanya Standar Pelayanan Minimal (SPM)
tiap sektor, konsep penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM), pedoman rencana
pencapaian SPM, serta pedoman pengendalian pelaksanaannya untuk dijadikan Perda; (3)
belum suksesnya implementasi kebijakan otonomi daerah dalam bidang pembangunan dan
penganggaran di daerah; (4) masih perlunya pemantapan tugas dan fungsi

Dewan

Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD); (5) masih tingginya tingkat ketidakpuasan dan
munculnya protes masyarakat terhadap proses dan hasil Pilkada; serta (6) rendahnya
kemampuan penyelenggaraan proses perencanaan pembangunan dari bawah (bottom up).
Terkait dengan aparatur Pemda, kerjasama antar daerah, daerah otonom baru dan keuangan
daerah, tantangan yang dihadapi pada tahun 2008 adalah : (1) kemampuan aparat pemerintah
daerah yang belum memadai khususnya di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa di dalam
bidang kependudukan, kesempatan kerja, strategi investasi, serta kaitannya dalam
penanganan ketentraman dan ketertiban (tramtib), perlindungan masyarakat (linmas), dan
kebencanaan; (2) belum tersusunnya norma, standar, prosedur, dan pedoman sistem karir,
sistem cuti, sistem asuransi, sistem penghargaan, serta pengelolaan aparatur pemda; (3)
belum baiknya manajemen aparatur pemda khususnya di dalam penataan jabatan negeri dan
6

negara; (4) etika kepemimpinan daerah yang masih rendah; (5) penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang belum optimal; (6) belum baiknya data dan informasi serta
evaluasi formasi jabatan aparatur pemerintah daerah secara nasional; (7) belum optimalnya
implementasi kebijakan kerjasama antar pemerintah daerah, (8) belum adanya fasilitasi
bentuk-bentuk kerjasama baik skala regional maupun antar daerah dalam kerangka
desentralisasi dan otonomi daerah; (9) belum optimalnya peran gubernur selaku Wakil
Pemerintah dalam rangka pembinaan kerjasama antar wilayah; (10) belum harmonisnya
hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); (11)
masih tingginya keinginan daerah untuk melakukan pemekaran terutama menjelang pemilu
tahun 2009; (12) belum optimalnya kinerja penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
di Daerah Otonom Baru (DOB); (13) masih munculnya berbagai permasalahan terkait dengan
batas wilayah administrasi daerah pemekaran; (14) rendahnya kuantitas dan kualitas sarana
dan prasarana pemerintahan kecamatan di daerah otonomi baru (DOB); (15) belum
dilaksanakannya Rencana Aksi Nasional Desentralisasi Fiskal (RANDF) secara konsisten;
serta (16) masih lemahnya pelaporan mengenai data dan informasi mengenai pengelolaan
keuangan daerah.
C. Kerjasama Antar Daerah dan Desentralisasi
Kalau dalam UU No. 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa antara Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarkhi satu sama
lain, maka dalam UU No. 32 Tahun

2004 dengan tegas dinyatakan bahwa terdapat hubungan

pemerintahan yang mencakup 3 (tiga) hal, yaitu hubungan dalam bidang keuangan, bidang pelayanan
umum, dan bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, yang kesemuanya
meliputi hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan antar Pemerintahan
daerah, sehingga pola hubungan tersebut menjadi sbb:
Pertama, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah dalam bidang keuangan,
meliputi:
a.
b.
c.

pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang


menjadi kewenangan pemerintahan daerah;
pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan
pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah.

Kedua, hubungan antar Pemerintahan daerah dalam bidang keuangan, meliputi:


a. bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan provinsi dan pemerintahan
daerah kabupaten/kota;
b. pembiayaan bersama atas kerjasama antar daerah; dan
7

c. pinjaman dan/atau hibah antar pemerintahan daerah.


Ketiga, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam bidang pelayanan umum,
meliputi:
a. kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal;
b. pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah; dan
c. fasilitasi pelaksanaan kerjasama antar pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan
umum.
Keempat, hubungan antar Pemerintahan daerah dalam bidang pelayanan umum, meliputi:
a. pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah;
b. kerjasama antar pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum; dan
c. pengelolaan perizinan bersama dalam bidang pelayanan umum.
Kelima, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah dalam bidang pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya, meliputi:
a.
b.
c.

kewenangan, tannggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budi


daya dan pelestarian;
bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan
penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.

Keenam, hubungan antar Pemerintahan daerah dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya, meliputi:
a.

pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi
kewenangan daerah;
b. kerjasama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar
pemerintahan daerah; dan
c. pengelolaan peridzinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya.
Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah
laut, dimana daerah akan memperoleh bagi hasil atas pengelolaan sumber daya di bawah dasar
dan/atau di dasar laut, yang pengaturannya sesuai dengan perundang-undangan.
Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut, meliputi: eksplorasi, eksploitasi,
konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; pengaturan administrasi; pengaturan tata ruang;
penegakkan hukum terhadap perauran yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan
kewsenangannya oleh pemerintah; ikut serta dalam pemeliharaan, keamanan; dan ikut serta dalam
pertahanan kedaulatan negara.Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut tersebut,
ditentukan paling jauh 12 (duabelas) mil laut, diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan/atau
8

kearah perairan kepulauan untuk provinsi, dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi
diperuntukkan untuk Kabupaten/Kota.
Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, maka kewenangan
untuk mengelola sumber daya di wilayah laut tsb dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis
tengah dari wilayah antara 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk Kabupaten/Kota memperoleh 1/3
(sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud. Ketentuan tersebut diatas, tidak berlaku bagi
penangkapan ikan oleh nelayan kecil. Yang dimaksud dengan nelayan kecil disini adalah nelayan
masyarakat tradisional Indonesia yang menggunakan bahan dan alat penangkapan ikan secara
tradisional, dan terhadapnya tidak dikenakan surat idzin usaha, dan bebas dari pajak, dan bebas
manangkap ikan di seluruh pengelolaan perikanan dalam wilayah Republik Indonesia.
Pemerintah Indonesia dan realitas di lapangan dalam melaksanakan asas

desentralisasi dan otonomi

daerah, berawal dari perkembangan konfigurasi politik yang mendasari piranti perundang - undangan
serta komitmen politik pemerintah yang sangat jelas menginginkan terwujudnya otonomi daerah
dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan di Indonesia, berdasarkan asas desentralisasi.
Namun, sejauh ini perwujudan asas ini masih senggang dari idealisasi yang diharapkan. Misalnya,
beberapa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daeah Kabupaten/Kota, yang
seharusnya sudah bisa direalisasikan di daerah, nyatanya masih tetap ditangani oleh pusat dengan
dalih eksternalitas dan akuntabilitas tergolong kepada kepentingan nasional (seperti: petanahan,
sumber-sumber daya alam dan sumber daya lainnya dlsb.), sehingga dalam realisasi manajemen
pemerintahan terdapat beberapa Keppres yang dikeluarkan yang dalam praktek mengalahkan
kekuatan Undang-undang.
Sebagai bangsa yang besar, seharusnya kita bisa mengatasi segala persoalan yang besar pula. Dalam
sejarah bangsa ini, kita melihat kenyataan selalu bisa keluar dari berbagai kemelut bangsa, baik
mengusir penjajah, meredam berbagai pemberontakan, dan jatuh bangunnya sistem pemerintahan
yang berganti - ganti. Kita juga telah memperlihatkan kepada dunia atas kemampuan kita
mngintegrasikan seluruh wilayah dan masyarakat Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah yang
amat luas ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini bukan kerja yang asal - asalan, tetapi
pekerjaan besar, pekerjaan yang genius, berkat pimpinan negara yang lalu. Bung Karno, seorang yang
gandrung akan persatuan dan selalu bergelora bicara masa depan bangsa. Ia hidup dalam mimpi mimpi dan gagasan besar, tetapi yang kurang diperhatikan adalah merumuskan atau membuat fondasi
tahapan seperti apa yang harus dilalui untuk menjadi bangsa yang besar itu. Penggantinya
H.M.Soeharto, menggerakan sejarah persatuan dengan doktrin dan kekuatan tentara. Politik menjadi
tertib sebab semuanya dalam bingkai dan kontrol negara. Pengelola negara yang mestinya melayani
publik, memposisikan dirinya sebagai pihak yang harus dilayani. Pengelolaan negara dan keluarga
9

pun menjadi wilayah yang sulit dibedakan. Dalam tumpang tindih garis batas wilayah negara dan
keluarga, praktek perkoncoan dan kronisme pun tidak bisa dihindarkan. Baik Bung Karno maupun
Pak Harto kurang memperhatikan aspek pembngunan manusia (human development). Politik adalah
panglima di masa orde lama dan stabilitas adalah panglima di masa orde baru. Keduanya telah
mengorbankan kualitas manusia Indonesia

Dampaknya, adalah sangat mudah difahami kalau

menurut ukuran Human Development Index (HDI), kualitas manusia Indonesia terburuk di antara
negara - negara di Asean, dimana Indonesia berada di peringkat ke-111 di antara 175 negara di dunia,
sedangkan Malaysia yang dulu hampir seluruhnya belajar dari kita, kini di urutan ke-76, dan Filipina
di urutan ke-98. Dalam pada itu, menurut Badan Pusat Statistik 2004, kini penduduk miskin mencapai
36,1 juta. Kondisi kemiskinan seperti ini setara dengan keadaan 15 tahun yang lalu
Inilah salah satu masalah cukup mendasar yang menjadi tantangan kita dalam menghadapi krisis
multidimensi, melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia menuju kepada
proses penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good governance), dan yang berpihak kepada
rakyat.
Melalui kajian sejarah administrasi pemerintahan di Indonesia, tampak sebenarnya adanya semacam
kesinambungan upaya mewujudkan desentralisasi yang selalu berakhir dengan munculnya praktek praktek sentralisasi. Apakah dengan melalui Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1945; Undang Undang Nomor 22 Tahun 1948. Pengecualian terjadi pada masa berlakunya Undang - Undang Nomor
1 Tahun 1957 yang didasarkan kepada UUDS - 1950 melalui sistem pemerintahanan yang
parlementer dan dilandasi oleh faham demokrasi yang sangat liberal.
Namun, pada masa rezim Orde Lama dengan menggunakan semangat Demokrasi Terpimpin, setelah
keluar Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957 umurnya tidak panjang,
dan keburu dipangkas dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 yang
merombak secara fundamental Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 hanya dengan sebuah
Penetapan Presiden tanpa meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Alasannya, sekalipun
Penetapan Presiden mempunyai derajat lebih rendah daripada Undang-undang, namun dasarnya
adalah Dekrit Presiden yang menyelamatkan kesatuan dan persatuan bangsa, yang hampir kolaps pada
Sidang Dewan Kontituante yang gagal membentuk UUD tetap, disamping untuk menghapus dualisme
pemerintahan yang marasuk penyelenggaraan pemerintahan pada masa Undang - Undang Nomor 1
Tahun 1957. Itulah era Demokrasi Terpimpin dengan semangat Faham Negara Intergralistik, yang
sesungguhnya faham ini, sekali lagi secara konstitutional tidak dianut di dalam UUD 1945.
Rezim Orde Lama, dengan dalih atas dasar semangat Demokrasi Terpimpin, mempertahankan
persatuan dan kesatuan bangsa, serta menghapuskan dualisme dalam pemerintahan, dengan
dikeluarkannya Undang - Undang Nomor 6 Tahun 1959, kembali terjebak dalam pola sentralisasi
10

yang merombak sistem pemerintahan kolegial (collegial bestuur) yang dianut dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1957 menjadi sistem pemerintahan tunggal (Eenhoofdig-bestuur) dengan
mengangkat dan mendudukan Kepala Daerah sebagai alat daerah dan sekaligus sebagai alat
pusat.
Dengan kebijakan ini, upaya pemerintah untuk menghapuskan dualisme dalam penyelenggaraan
pemerintahan, hanya berhasil menghapuskan dualisme struktural saja, sedangkan dualisme dalam
fungsi (dualism in function) tetap tidak terhapuskan, karena justru penyelenggaraan pemerintahan
dalam pelaksanaan fungsi dekonsentrasi yang menyangkut fungsi pemerintahan umum
(Algemene bestuur) yang menurut Undang - Undang Nomor 6 Tahun 1959 tentang Penyerahan
Tugas - Tugas Pemerintah Pusat dalam bidang Pemerintahan Umum, Perbantuan Pegawai Negeri dan
Penyerahan Keuangannya kepada Pemerintah Daerah diletakkan kembali di tangan Kepala Derah
dalam kedudukannya sebagai alat pusat.
Dengan demikian, kedudukan dan peranan Kepala Daerah semakin diperkuat dan semakin dominan.
Itulah era pemerintahan yang disebut Executive heavy atau sering juga disebut Strong Executive
System. Itulah pula sebabnya, banyak kritikan yang dilontarkan kepada rezim pemerintahan pada
saat itu, yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia setelah Dekrit Presiden
5 Juli 1959, terutama setelah dikeluarkannya PenPres Nomor 6 Tahun 1959 dipandang sebagai
retreat from autonomy.
Dengan demikian pula, terlihat adanya kausalitas antara sistem politik dan pemerintahan yang
berlaku, dengan upaya mewujudkan asas desentralisasi pemerintahan. Pemerintah Indonesia
tampaknya sangat menyadari kausalitas ini.
Oleh karena itu, pada era rezim Orde Baru diambil keputusan politik yang menetapkan Demokrasi
Pancasila sebagai landasan berpolitik bangsa. Dengan keputusan politik tersebut, seluruh tatanan
pemerintahan harus disesuaikan dengan isi dan semangat Demokrasi Pancasila. Konsekuensinya,
harus disusun Undang Undang yang menjadi landasan penyelenggaraan pemerintahan daerah di
Indonesia. Maka keluarlah Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok - pokok
Pemerintahan di Daerah. Melalaui Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 ini pemerintah bertekad
untuk mewujudkan Otonomi Daerah. Namun, dikehendaki agar pelaksanaan Otonomi Daerah ini
tidak mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, ataupun membahayakan kesinambungan gerak
pembangunan nasional. Maka lahirlah konsep otonomi nyata dan bertanggung jawab, Otonomi
daerah dipandang lebih merupakan kewajiban daripada hak. Prinsip Otonomi yang seluas luasnya, yang digelar melalui UU No. 18 Tahun 1965 tidak dianut lagi, karena berdasarkan
pengalaman konsep ini sangat rawan disintegrasi dan dikhawatirkan akan mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa.
11

Melalui konsep Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 ini, pemberian otonomi daerah dalam wujud
hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sendiri, disesuaikan dengan
kemampuan daerah, serta kerangka besar dalam pembangunan nasional. Tampaknya, syarat - syarat
semacam ini yang memunculkan kendala baru bagi perwujudan pelaksanaan otonomi daerah di
Indonesia. UU Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang menitik beratkan pelaksanaan otonomi
daerah pada Daerah Tingkat II, demikian pula paradigma yang menyatakan bahwa azas desentralisasi
dilaksanakan bersama - sama dengan asas dekonsentrasi, ternyata kembali terjebak dengan
kecendurungan awal munculnya sentralisasi pelaksanaan administrasi pemerintahan di Indonesia,
yang dalam prakteknya dekonsentrasi lebih menonjol dan sangat dominan, yang diletakkan di tangan
Kepala Daerah dalam kedudukannya sebagai Kepala Wilayah.
Ini adalah lagi - lagi penonjolan wajah Eksekutif heavy dalam era konfigurasi politik menurut
Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974, dimana DPRD sebagai penyalur aspirasi rakyat dalam
pengembangan demokrasi dan sebagai alat kontrol, dalam era Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974
hampir - hampir tidak berfungsi, karena didominasi oleh wewenang Kepala Daerah/ Kepala Wilayah
yang sangat kuat.
Walaupun Undang - Undang ini bertahan selama lebih dari 25 tahun, dengan menekankan bahwa titik
- berat otonomi diletakkan pada Daerah Tingkat II, namun keinginan politik ini tidak bisa
direalisasikan, karena Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang - Undang Nomor 5 Tahun
1974 baru dapat dikeluarkan 18 (delapan belas) tahun kemudian, yaitu dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan titik
berat pada Daerah Tingkat II. Namun, Peraturan Pemerintah inipun tidak berjalan mulus, karena lagilagi Pemerintah Pusat tidak konsekuen dengan kebijakannya yang mestinya Pemerintah Pusat
menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Pemerintah Daerah dengan mengutamakan
penyerahannya kepada Pemerintah Daerah Tingkat II, tidak berjalan dengan baik. Demikian pula,
Pemerintah Daerah Tingkat I yang secara imperatif dalam PP tsb diwajibkan untuk secara berangsur angsur selambat - lambatnya dalam waktu 2 (dua) tahun sejak dikeluarkannya PP tersebut,
menyerahkan lebih lanjut kewenangan otonominya kepada Pemerintah Daerah Tingkat II, boleh
dikatakan tidak berjalan sama sekali, karena PP tersebut tegas - tegas menyatakan bahwa kebijakan
peletakan titik berat otonomi daerah pada Daerah Tingkat II sama sekali tidak dimaksudkan untuk
mengurangi keberadaan dan peranan Pemerintah Daerah Tingkat I. Dengan demikian, eksistensi
Daerah Tingkat I sebagai daerah otonom tetap kuat, sedangkan Daerah Tingkat II perkembangan
otonominya tetap tersendat - sendat.
Kemudian, kebijakan desentralisasi yang telah ditetapkan pemerintah dalam rangka reformasi
perundang - undangan politik dan pemerintahan, dengan memberikan keleluasaan penyelenggaraan
12

otonomi daerah yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah suatu strategi
dan paradigma baru dalam upaya mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang kuat,
bersih, bertanggung jawab dan demokratis, dengan menggeser paradigma Executive heavy kepada
Legislative heavy, dengan lebih menonjolkan kepada keberpihakan kepada rakyat. Perumusan
Otonomi Daerah yang merupakan pergeseran paradigma yang berpihak kepada rakyat,
menyebutkan bahwa Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat. dst.
Sebelum terjadi perubahan Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999, dilihat dari sisi hubungan
kelembagaan antara Eksekutif dan Legislatif ternyata adanya hubungan kemitraan yang sebenarnya
kurang tepat (hubungan yang tidak sejajar), dimana Kepala Daerah dipilih dan ditetapkan oleh DPRD,
dan bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi di pasal lain menegaskan bahwa kedudukan DPRD dan
Kepala Daerah adalah sejajar sebagai mitra - kerja. Sedangkan DPRD sendiri tidak jelas bertangungg
jawab kepada siapa. Kalau bertanggung jawab kepada rakyat, tidak terdapat mekanisme yang jelas
bagaimana bentuk pertanggung jawaban DPRD tersebut. Dengan demikian, kondisi tersebut tidak
memungkinkan adanya kemitraan yang sejajar dan kecendurungan secara realitas posisi DPRD
lebih kuat daripada Kepala Daerah, sehingga mencerminkan gejala bahwa kewenangan DPRD lebih
tinggi dari Kepala Daerah.

13

D. Kesimpulan
1. Mengharmonisasikan berbagai peraturan perundang-undangan sektor dengan peraturan
perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah;
2. Meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah melalui penataan kelembagaan
daerah sesuai dengan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2003, termasuk di
daerah otonomi khusus dan daerah berkarakter khusus/istimewa, penyusunan pedoman
rencana pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang pendidikan dan kesehatan
berdasarkan analisa dan kemampuan daerah, fasilitasi penyusunan Standar Pelayanan
Minimal (SPM) untuk dijadikan Peraturan Daerah (Perda) serta monitoring dan evaluasi
pelaksanaan desentralisasi dan penyelenggaraan otonomi daerah meliputi kegiatan yang
berbantuan luar negeri;
3. Meningkatkan kompetensi dan kapasitas aparatur pemerintah daerah pada bidang
penanganan bencana dan pengurangan resiko bencana, analisis kependudukan,
perencanaan kesempatan kerja, penyusunan strategi investasi, penanganan kententraman,
ketertiban dan perlindungan masyarakat (tramtib dan linmas), serta penyelenggaraan
pemerintahan daerah;
4. Meningkatkan etika kepemimpinan daerah bagi Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD);
5. Meningkatkan kerjasama antar pemerintah daerah melalui penguatan regulasi, penyiapan
model, dan fasilitasi kerjasama antar daerah serta peningkatan peran gubernur sebagai
pembina kerjasama antar daerah;
6. Meningkatkan kinerja Daerah Otonom Baru (DOB) melalui dukungan pembangunan
sarana dan prasarana pemerintahan, penyelesaian penataan batas wilayah serta evaluasi
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Daerah Otonom Baru (DOB);
7. Memperkuat kebijakan otonomi daerah di bidang pembangunan daerah melalui
penguatan partisipasi masyarakat dalam penyusunan rencana pembangunan daerah;
8. Menyukseskan Rencana Aksi Nasional Desentralisasi Fiskal (RANDF) di tingkat pusat;
meningkatkan kapasitas keuangan pemerintah daerah dengan mengarahkan penggunaan
dana perimbangan terutama dana alokasi khusus (DAK) untuk menggali sumber-sumber
potensi daerah di dalam mengarahkan perekonomian dan menciptakan kondisi kondusif
bagi dunia usaha termasuk dalam hal ini melaksanakan implementasi Sistem Informasi
Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD) dan Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD).
Daftar Pustaka
14

Adisubrata, Winarna Surya, 2003, Perkembangan Otonomi Daerah Di Indonesia


(Sejak Proklamasi sampai Awal Reformasi), Penerbit CV Aneka
Ilmu, Semarang

Amal, Ichlasul; 1992, Globalisasi, Demokrasi, dan Wawasan Nusantara :


Perspektif Pembangunan Jangka Panjang, dalamWawasan
Nusantara Indonesia Menghadapi Globalisasi, Pusat kajian
Kebudayaan Univ. Bung Hatta.
Aswandi, 2001, Tesis, tidak dipublikasikan, Evaluasi Penetapan Kawasan Andalan di
Kalimantan Selatan, UGM, Yogyakarta
Dahuri, Rohmin dan Iwan Nugroho, 2004, Pembangunan Wilayah, Perspektif
Ekonomi, Sosial dan Lingkungan, LP3ES, Jakarta
Dwijanto, Agus, ed., 2006, Mengapa Pelayanan Publik? (dalam Mewujudkan Good
Governance Melalui Pelayanan Publik, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta
Efendi, Sofian, 1999, Transformasi Bangsa Menuju Masyarakat Madani, Ringkasan
Eksekutif Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani,
Kantor Sekretariat Wakil Presiden, Jakarta
Endarti, Esa Wahyu, 2006, Interaksi Antara Pemerintah, Sektor Swasta, dan
Masyarakat dalam Pelayanan Transportasi Publik Perkotaan Studi
pada Pelayanan Transportasi Bus Kota di Surabaya, Disertasi,
Tidak Dipublikasikan, UGM, Yogyakarta
Guruh, Langkah Samudra, Syahda, 2000, Menimbang Otonomi vs Federal
Mengembangkan Wacana Federalisme dan Otonomi Luas Menuju
Masyarakat Madani Indonesia, Penerbit PT. Remaja Roosdakarya,
Bandung
Haris,

Syamsuddin, 2005, Desentralisasi, Demokratisasi


Pemerintahan Daerah, LIPI Press, Jakarta

&

Akuntabilitas

15

Anda mungkin juga menyukai