PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara
kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki kurang lebih 18.110 pulau
dengan garis pantai sepanjang 108.000 km. Berdasarkan konvensi hukum
laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayah perairan
seluas 3,2 juta km^2 yang terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,9 juta
km2 dan laut teritorial seluas 0,3 juta km2. Selain itu, Indonesia juga
memiliki hak eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya kelautan dan
berbagai
kepentingan
terkait
seluas 2,7 juta km2 pada perairan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEE) (Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah, 2003).
Olehnya itu dalam melindungi segenap tumpah darah Indonesia
seperti laut yang demikian luas itu diperlukan berbagai macam payung
hukum yang dapat dijadikan pedoman dalam mengelola, memanfaatkan dan
menggunakan sumberdaya pesisir dan kelautan di seluruh Indonesia.
Disinilah peran dan fungsi hukum untuk melindungi dan mempertahankan
keberadaan wilayah agar tetap dalam wewenang dan kedaulatan rakyat
Indonesia secara keseluruhan. Perilaku masyarakat haruslah mencerminkan
sikap yang pro penegakan hukum dan sesuai dengan hukum dan mekanisme
yang berlaku di dalam masyarakat. Kedua aspek tersebut baik kesejahteraan
dan keselamatan harus berjalan seiring sejalan untuk mencapai harmonisasi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Setiap individu bersamaan
kedudukannya didepan hukum (equal before the law). Prinsip inipun harus
tetap diterapkan dalam perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan dan
pengawasan wilayah pesisir di seluruh Indonesia.
Sementara itu hukum positif yang berkaitan dengan pengelolaan
wilayah pesisir sampai saat ini tidak pernah memberikan pengaturan secara
spesifik, artinya wilayah pesisir sebagai bagian dari wilayah nasional tunduk
pada pengaturan yang berlaku umum baik untuk unsur lautnya maupun
unsur daratnya. Unsur lautnya tunduk pada pengaturan hukum laut dan
mengenai unsur daratnya tunduk pada pengaturan mengenai tanah dan air.
Sedangkan pengaturan mengenai sumber-sumber kekayaan alam yang
terkandung di dalam tanah dan airnya tunduk pada undang-undang yang
memberikan
wewenang
khusus
kepada masingmasing departemen secara sektoral-sentralistik (Suparman).
Dalam pengelolaan wilayah pesisir tersebut, hukum harus mampu
memberikan dan fungsi dan peranannya dengan sebaik-baiknya. Fungsi dan
peranan
hukum
menurut
Suparman adalah sebagai berikut :
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan wilayah pesisir?
2. Bagaimana prinsip keadilan social di wilayah pesisir?
3. Bagaimana pengaturan penguasaan dalam kepemilikan tanah di
wilayah pesisir?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan wilayah pesisir.
2. Untuk mengetahui bagaimana prinsip keadilan social di wilayah
pesisir.
3. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan penguasaan dalam
kepemilikan tanah di wilayah pesisir.
D. Manfaat
Manfaat makalah ini yaitu agar dapat mengetahui apa yang dimaksud
dengan wilayah pesisir, bagaimana prinsip keadilan social dalam hal
pengaturan penguasaan kepemilikan tanah di wilayah pesisir.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wilayah Pesisir
1. Pengertian
Kay dan Alder (1999) menyatakan bahwa pesisir merupakan wilayah yang
unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan
tempat bertemunya daratan dan lautan. Sementara itu, Soegiarto (1976)
mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah pertemuan antara darat dan
laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering
maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang
surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah
pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses
alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun
yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan
dan pencemaran.
Wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan
daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh
percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah
paparan benua (continental shelf) (Beatley et al., 1994)
2. Batas-batas wilayah pesisir
Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir
memiliki dua macam batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai
(longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (crossshore).
Belum ada ukuran baku mengenai batas ke arah darat dan ke arah laut dari
wilayah pesisir. Namun, berdasarkan ukuran yang telah diimplementasikan
Penguasaan atau menguasai dapat dipakai dalam arti fisik juga dalam arti
yuridis. Penguasaan dalam arti yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh
hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang haknya
untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Penguasaan juga ada yang
disebut penguasaan hak bawah dan hak atas. Penguasaan hak bawah atas
tanah adalah penguasaan yuridis, artinya mempunyai bukti-bukti
kepemilikan berupa sertifikat atau bukti lain, kemudian penguasaan hak atas
tanah adalah penguasaan fisik, artinya seseorang menggarap atau
menguasai tanah secara legal maupun ilegal.
Faktor penguasaan atas tanah secara fisik merupakan hal penting
dalam memberikan hak atas tanah kepada seseorang, bahkan sesuai dengan
ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sebidang
tanah dapat didaftarkan apabila telah dikuasai secara fisik oleh seseorang
selama 20 tahun berturut-turut, sekalipun itu tidak didukung oleh bukti-bukti
tertulis mengenai penguasaan atas tanah tersebut. Dengan demikian tidak
cukup hanya dengan menguasai secara yuridis yaitu dengan memegang
surat-surat tanahnya saja, tetapi harus ada penguasaan secara fisik atas
tanah.
Berdasarkan aspek penguasaan tanahnya, sebagai contoh kawasan
pantai di Kecamatan Medan Belawan. Perumahan penduduk nelayan yang
letaknya sporadis yang berada pada kawasan pantai pada umumnya dengan
konstruksi rumah panggung dengan ketinggian lantai dari permukaan air laut
pada saat surut sekitar 1-2 meter. Letak rumah panggung tersebut banyak
yang masih berada di kawasan pelabuhan Belawan atau dalam daerah Hak
Pengelolaan, namun demikian pihak pelabuhan Belawan membiarkan
penduduk setempat membangun rumah di kawasan tersbut. Menurut pihak
Administratur Pelabuhan Belawan telah berkali-kali melakukan pelarangan
atas penguasaan tanah dengan membangun rumah panggung di kawasan
pelabuhan, namun diakuinya sulit ditertibkan, bahkan melalui kerjasama
dengan pihak Pemerintah Daerah, sudah beberapa kali diupayakan pindah
ke Desa Nelayan Kecamatann Labuhan Deli, tetapi masyarakat nelayan
tersebut tidak bisa lepas dari kehidupan air, mencari nafkah dari laut
merupakan satu kesatuan dengan kehidupannya. Oleh karena itu penduduk
nelayan tetap bertahan dengan kondisi ekonomi seadanya.
Hingga saat ini, penguasaan tanah oleh masyarakat nelayan yang
membangun rumah tempat tinggal dengan konstruksi panggung di kawasan
pantai tersebut tidak ada ditemukan bukti-bukti penguasaan secara tertulis,
kalaupun ada hanya dalam bentuk surat segel atau sudah di bawah tangan
yang dibuat oleh penduduk itu sendiri, tidak pernah ada surat-surat
penduduk yang menerangkan penguasaan atas tanah di kawasan pantai
tersbut yang dilegalisasi oleh aparat pemerintah, baik dalam surat
keterangan maupun surat keterangan tanah yang diterbitkan oleh Lurah atau
Camat setempat. Penguasaan atas tanah di kawasan pantai tersebut tidak
didasarkan pada surat-surat tanah yang sah, tetapi rumah yang dikuasai
oleh penduduk setempat telah berlangsung sejak lama dan turun-temurun
dari nenek moyangnya.
dan lautnya sebagai konsekuensi doktrin open access. Padahal, negaranegara tersebut sesungguhnya memiliki tradisi pengelolaan perairan pesisir
dan laut yang berbeda. Bahkan, di Jepang, Srilanka, Filipina, dan Thailand,
jauh sebelumnya telah mempraktikkan pembatasan keikutsertaan, bahkan
ada pemberian fishing rights.
Di Indonesia, jauh sebelum jaman kolonial, telah berkembang tradisi
pengelolaan perairan pesisir yang memungkinkan penguasaan perairan
secara eksklusif. Di Aceh, perairan pesisir dapat dikuasai berdasarkan ijin
dari Sultan. Di Tegal, perairan pesisir dibagi-bagi di antara para nelayan
seperti gogolan yang silih berganti disediakan bagi mereka untuk
menangkap ikan. Di Banten, perairan pesisir dinamakan patenekan yang
hanya memberi hak kepada warga desa setempat untuk menagkap ikan.
Sasi laut di Maluku, awig-awig di Nusa Tenggara Barat, atau rompong di
Sulawesi Selatan merupakan contoh lain dari tradisi pengelolaan perairan
pesisir
bernuansa
property
right yang hingga kini tetap bertahan.
Segenap sistem tradisional ini mempraktikkan penguasaan bagian tertentu
dari perairan pesisir secara eksklusif hanya bagi komunitas tertentu dengan
memberlakukan hukum-hukum yang mereka sepakati sendiri. Mereka yang
bukan anggota komunitas dilarang ikut memanfaatkan sumberdaya perairan
pesisir kecuali atas ijin pemimpin komunitas.
Seiring perkembangan sejarah, berkembang pulalah budidaya laut,
seperti budidaya mutiara dan rumput laut, pada kenyataannya juga
memerlukan penguasaan perairan pesisir secara permanen dan eksklusif.
Selama ini, pengusaha budidaya mutiara hanya diberikan ijin sebagai basis
legal pemanfaatan perairan pesisir sehingga tingkat kepastian hukumnya
pun sangat rapuh. Dalam banyak kejadian, perusahaan budidaya mutiara
tergusur lantaran ada peruntukan lain yang datang belakangan. Sesuatu
yang tidak akan pernah terjadi sekiranya mereka memiliki HP3. Bahkan
untuk usaha budidaya rumput laut, ijin pun mereka tidak punya, sehingga
sangat rentan terhadap penggusuran untuk kepentingan lain.
Dengan demikian norma hukum HP3 memiliki landasan historis,
sosiologis, dan yuridis yang kuat sehingga pembuat UU tidak ada keraguan
untuk mengesahkannya. HP3 adalah hak atas perairan pesisir untuk usaha
kelautan dan perikanan atau usaha lainnya yang terkait dengan
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, yang mencakup
permukaan laut, kolom air hingga permukaan dasar laut. HP3 dapat
diberikan untuk jangka waktu 20 tahun dan dapat diperpanjang hingga 20
tahun. Jika jangka waktu 40 tahun selesai sementara masih terdapat
kepentingan objektif untuk diteruskan haknya, maka UU-PWP3K membuka
peluang perpanjangan kedua. Seperti halnya hak-hak tradisional atas
perairan pesisir, HP3 juga dapat diwariskan dan diperjualbelikan. Untuk
mengakomodasi kebutuhan kontekstual masyarakat, maka HP3 dapat
dijadikan jaminan utang. Sebaliknya, HP3 juga dapat berakhir jika jangka
waktunya habis, diterlantarkan, atau dicabut untuk kepentingan umum.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pengertian penguasaan wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara
laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena
pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi
daerah paparan benua
2. Faktor penguasaan atas tanah secara fisik merupakan hal penting dalam
memberikan hak atas tanah kepada seseorang, bahkan sesuai dengan
ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sebidang
tanah dapat didaftarkan apabila telah dikuasai secara fisik oleh seseorang
selama 20 tahun berturut-turut, sekalipun itu tidak didukung oleh bukti-bukti
tertulis mengenai penguasaan atas tanah tersebut. Dengan demikian tidak
cukup hanya dengan menguasai secara yuridis yaitu dengan memegang
surat-surat tanahnya saja, tetapi harus ada penguasaan secara fisik atas
tanah.
3. Dalam penjelasan UUPA dijelaskan bahwa pengertian dikuasai bukan
berarti dimiliki akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang
kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk
melakukan wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA.
4. Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik dan tingkat kerentanan yang
berbeda dibandingkan dengan pulau besar. Namun, demikian selama ini
pengetahuan mengenai karakteristik pulau-pulau kecil sangat minim.
Sehingga pengelolaan, pola pembangunan, dan regulasi disusun sama
dengan cara pandang kita terhadap pengelolaan pulau besar (mainland).
Sebagian besar dari pulau-pulau tersebut merupakan pulau-pulau kecil yang
memiliki
kekayaan
sumberdaya
alam
dan
jasa-jasa
lingkungan
(environmental services) yang sangat potensial untuk pembangunan
ekonomi.
5. HP3 adalah hak atas perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan
atau usaha lainnya yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir
dan pulau-pulau kecil, yang mencakup permukaan laut, kolom air hingga
permukaan dasar laut. UU-PWP3K mengatur bahwa yang berhak
mendapatkan HP3 adalah WNI, badan hukum Indonesia, dan masyarakat
adat (Pasal 18). HP3 dapat diberikan untuk jangka waktu 20 tahun dan dapat
diperpanjang hingga 20 tahun. Jika jangka waktu 40 tahun selesai sementara
masih terdapat kepentingan objektif untuk diteruskan haknya, maka UUPWP3K membuka peluang perpanjangan kedua. Seperti halnya hak-hak
tradisional atas perairan pesisir, HP3 juga dapat diwariskan dan
diperjualbelikan. Untuk mengakomodasi kebutuhan kontekstual masyarakat,
maka HP3 dapat dijadikan jaminan utang. Sebaliknya, HP3 juga dapat
berakhir jika jangka waktunya habis, diterlantarkan, atau dicabut untuk
kepentingan umum.
6. HP3 hanya dapat diberikan manakala memenuhi syarat teknis (seperti
kesesuaian dengan rencana zonasi dan pengelolaan), administratif (seperti
dokumen rencana aksi yang sesuai daya dukung ekosistem), dan syarat
operasional (seperti kewajiban menghormati hak masyarakat adat). Dengan
demikian HP3 baru dapat diberikan apabila sudah ada Perda yang mengatur
Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi.
B. SARAN