Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Pelumas
Pelumas merupakan salah satu kajian dari bidang ilmu tribologi.
Menurut Nusa (2001), tribologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari
tentang gesekan (friction) sebagai penyebab masalah, keausan (wear)
sebagai

pemasalahannya

dan

pelumasan

sebagai

pemecahan

dari

permasalahannya. Pelumas dapat diartikan sebagai suatu zat yang diberikan


diantara dua permukaan yang saling kontak dengan tujuan mengurangi gaya
gesek. Kerugian yang disebabkan oleh gesekan adalah terjadinya keausan
dan kehilangan energi. Selain berfungsi mengurangi gaya gesek, pelumas
juga berfungsi mendinginkan dan mengendalikan panas yang keluar dari
mesin serta mengendalikan contaminants atau kotoran guna memastikan
mesin bekerja dengan baik.
Jenis-jenis minyak pelumas dapat dibedakan penggolongannya
berdasarkan bahan dasar (base oil), bentuk fisik, tujuan penggunaan dan
pengaturan penggunaannya (Anonim, 2009).
1. Dilihat dari bentuk fisiknya, antara lain :
a. Minyak pelumas
b. Gemuk pelumas
c. Cairan pelumas
2. Dilihat dari bahan dasarnya, antara lain :
a. Pelumas Dasar mineral
b. Pelumas Dasar sintesis
c. Pelumas Dasar Bio (Biopelumas)
3. Dilihat dari penggunaanya, antara lain :
a. Pelumas kendaraan
b. Pelumas industri
c. Pelumas perkapalan
d. Pelumas penerbangan
4. Dilihat dari pengaturannya, antara lain :
a. Pelumas kendaraan bermotor
b. Pelumas motor diesel untuk industri
c. Pelumas untuk motor mesin 2 langkah
d. Pelumas khusus
2.1.1. Pelumas Dasar Bio (Biopelumas)
Pelumas dasar bio atau Biopelumas adalah pelumas yang
secara cepat dapat terdegradasi (biodegradable) dan tidak beracun
(nontoxic) bagi manusia dan lingkungan (IENICA, 2004). Biopelumas

dikembangkan dari bahan dasar berupa lemak hewan, minyak tumbuhtumbuhan/ minyak nabati, ataupun ester sintesis. Pelumas berbahan
dasar minyak tumbuhan bersifat biodegradable dan nontoxic, juga
bersifat dapat diperbaharui (renewable).
Minyak nabati sebagai bahan

dasar

pelumas

memiliki

keunggulan, antara lain :


(1) Memiliki sifat pelumasan yang lebih baik dari pada minyak mineral
karena struktur molekulnya lebih polar sehingga lebih menempel pada
bidang-bidang logam.
(2) Melindungi permukaan dengan baik walaupun pada tekanan tinggi.
(3) Memiliki flash point yang tinggi sehingga lebih aman digunakan.
(4) Indeks viskositas yang tinggi : viskositasnya tidak terlalu berubah
banyak seperti pelumas mineral terhadap perubahan temperatur.
(5) Memilki volalitas yang rendah sehingga tidak mudah menguap.
(6) Mudah mengalir dari suhu rendah ke bagian pelat bersuhu lebih
tinggi, karena kekentalan minyak berkurang akibat kenaikan suhu
(Nachtman dan Kalpakjian, 1985 dalam La Puppung, 1986; Honary,
2006).
Dewasa ini, terjadi peningkatan tuntutan pelumas yang cocok
digunakan sehingga tidak mencemari lingkungan apabila terjadi kontak
dengan air, makanan ataupun manusia. Biopelumas memenuhi syaratsyarat tersebut karena biopelumas terurai didalam tanah lebih dari
98% (biodegradable) sehingga tidak menyebabkan polutan bagi
lingkungan, tidak seperti pelumas mineral dan sintesis terurai hanya
20% sampai 40% yang menyebabkan perlunya penanganan lebih
lanjut, selain itu juga biopelumas tidak beracun (nontoxic) karena
berasal dari minyak tumbuhan (Anonim, 2003).
Biopelumas dapat dihasilkan dari bermacam-macam jenis
tumbuhan, antara lain : minyak jarak, minyak kedelai, minyak biji bunga
matahari, minyak kelapa sawit, dan minyak palem. Raw material yang
digunakan tiap negara tidak selalu sama, pemilihan tersebut
berdasarkan melimpahnya material yang ada di negara tersebut.
2.1.2. Parameter Produk Pelumas
Sifat fisika dan kimia pelumas perlu diuji agar kualitas dan
homogenitas pelumas yang dihasilkan dapat dikendalikan. Beberapa
parameter produk pelumas yang harus diuji meliputi (Anonim, 2009):
1. Appearance

Appearance adalah sifat kenampakan pelumas. Sifat ini diuji secara


visual dengan mata telanjang dimana pelumas yang terkontaminasi
akan menunjukan kenampakan yang berbeda dengan pelumas
murni. Uji ini dilakukan dengan menggunakan gelas ukur biasa yang
jernih, dimana hasilnya dinyatakan dengan klasifikais jernih (clear),
bening (bright), keruh (hazy), emulsi (dark), tampak bebas air, serta
terdapat suspended matter.
2. Specific Gravity (SG)
SG pelumas digunakan untuk mengetahui kemurnian pelumas,
karena hasil pengujian ini akan lebih konkrit bila dibandingkan
dengan uji kenampakan. Uji SG untuk pelumas dilakukan dengan
metode ASTM D-941 menggunakan hydrometer.
3. Viskositas Dinamik
Viskositas Dinamik adalah kekentalan suatu minyak pelumas yang
merupakan ukuran kecepatan bergerak atau daya tolak suatu
pelumas untuk mengalir. Pada temperatur normal, pelumas dengan
viscosity rendah akan cepat mengalir dibandingkan pelumas dengan
viskositas tinggi. Biasanya untuk kondisi operasi yang ringan,
pelumas

dengan

viskositas

rendah

yang

dianjurkan

untuk

digunakan, sedangkan pada kondisi operasi tinggi dianjurkan


menggunakan pelumas dengan viscosity tinggi.
4. Indeks Viskositas
Indeks viskositas merupakan kecepatan perubahan kekentalan
suatu pelumas dikarenakan adanya perubahan temperatur. Makin
tinggi indeks viskositas suatu pelumas, maka akan semakin kecil
terjadinya perubahan kekentalan minyak peluma smeskipun terjadi
perubahan temperatur. Pelumas biasa dapat memiliki indeks
viskosirtas sekitasr 100, sedang yang premium dapat mencapai 130,
untuk sintesis dapat mencapai 250.
5. Warna
Uji warna untuk peluma sjuga akan menunjukan kemurniannya.
Selain sebagai daya tarik produk, warna juga dapat dipakai sebagai
dasar untuk mengetahui pada tingkat awal adanya deteriorasi
taupun kontaminasi. Metode uji warna yang dilakukan adalah ASTM
D 1500-87.
6. Total Base Number (TBN)

Aditif jenis detergent dan anti korosif memiliki sifat basa. Sifat basa
ini dinyatakan sebagai TBN. Ada 2 metode dalam menentukan TBN
yaitu ASTM D 2896 dan ASTM D 4739.
7. Titik tuang
Titik tuang adalah suhu terendah dimana pelumas masih dapat
mengalir. Sifat ini penting untuk kemudahan penyalaan mesin pada
suhu rendah terutama musim dingin di wilayah belahan dunia yang
memiliki 4 musim. Karakteristik ini diuji dengan mengguankan
metode ASTM D 97.
8. Titik nyala
Titik nyala adalah suhu terendah pada saat apu dapat menyebabkan
terbakarnya uap pelumas. Nilai ini diperlukan untuk penangan
produk peluma selama pengiriman dan penimbunan. Karakteristik ini
diuji dengan menggunakan metode ASTMD 92 (Cleveland Open
Cup) dan ASTM D 93 (Pensky Martens Close Cup).
9. Foaming Characteristic
Kecenderungan pelumas untuk membentuk foam pada pemakaian
di dalam mesin akan mengakibatkan masalah karena hilangnya
sifat-sifat pelumasan. Masalah ini sangat serius terutama pada high
speed gearing, high volume pumping, spash lubricant dan lain-lain.
Dengan demikian karakteristik pembentukan foam pada peluma
sperlu dikendalikan.
10. Uji korosifitas Terhadap Tembaga
Pengujain ini dilakukan untuk mengetahui

apakah

pelumas

mengandung komponen yang korosif terhadap logam Cu. Sifat


korosif ini diuji menggunakan metode ASTM D 130 yang hasilnya
diklasifikasikan dalam 4 kelas yaitu agak buram (slight tarnish),
buram (moderate tarnish), buram gelap (dark tarnish), dan korosi.
11. Kandungan Air
Air di dalam pelumas tidak dikehendaki, karena selain akan
menurunkan viskositas juga bersifat korosif terhadap logam. Untuk
mengukur besarnya kandungan air dalam peluma sdigunakan
metode ASTM D 95 dan lainnya dinyatakan dalam % volume.
12. Angka Pengendapan
Angka pengendapan (precipitation number) dinyatakan sebagai ml
endapan yang terbentuk dari 10 ml pelumas yang dicampur dengan
90 ml naphtan. Angka ini diperlukan untuk mengetahui jumlah
komponen yang tidak larut dalam solvent naphtan. Pengujian ini

dilakukan dengan metode ASTM D 91-61, dan hasilnya akan


menunjukan adanya resin, abu, dan debu di dalam pelumas.
13. Tes Oksidasi
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kecenderungan pelumas
untuk teroksidasi di bawah kondisi tertentu. Hal ini dapat diketahui
dengan membandingkan harga viskositas dan TBN di saat sebelum
dan sesudah pengujian.
14. Conradson Carbon Residue (CCR)
Pengujian terhadap CCR akan menunjukan indikais terbentuknya
deposit carbon di dalam ruang pembakaran. Bila sebagian kecil dari
peluma sterbakar di ruang pembakaran, maka deposit karbon yang
terbentuk akan meninggalkan kerak yang tetap membara bahkan
pada saat mesin telah dimatikan. Kerak yang membara ini
selanjutnya akan mempercepat keausan logam diruang bakar
karena panas maupun karena gesekan. CCR ditentukan dengan
menggunakan metode ASTM D 189 dan harganya dinyatakan dalam
% berat.
15. Kandungan Abu
Kandungan abu dalam pelumas berasal dari logam yang memang
terdapat dalam pelumas. Abu tersebut sebagian besar akan keluar
dari ruang pembakaran sebagai asap bersama-sama dengan abu
hasil pembakaran bahan bakar. Keberadaan abu dalam pelumas
tidak disenangi karen akan mempercepat proses pengikisan, dan
bila terlalu banyak akan membentuk deposit di ruang bakar.
Penentuan kandungan abu dilakukan denga metode yaitu metode
ASTM D 482 (abu langsung) dan metode ASTM D 874-84 (abu yang
disulfatkan) dan hasilnya dinyatakan dalam % berat.
16. Fire point
Fire point menunjukan pada titik temperatur dimana pelumas akan
dan terus menyala sekurang-kurangnya selama 5 detik.
17. Could point
Could point merupakan keadaan dimana pada temperatur tertentu
maka lilin yang larut di dalam minyak pelumas akan mulai membeku.
18. Aniline Point
Aniline point merupakan petunjuk bahwa minyak pelumas tertentu
sesuai sifat-sifatnya dengan sifat-sifat karet yang digunakan sebagai
seal dan slang. Hal ini ditetapkan sebagai temperatur dimanan

volume yang sama atau seimbang dari minyak pelumas dan aniline
dapat dicampur.
19. Neutralisation Number or Acidity
Neutralisation Number or Acidity merupakan ukuran dari alkali yang
diperlukan untuk menetralisir suatu minyak. Makin tinggi angka
netralisasi maka akan semakin banyak asam yang ada. Minyak yang
masih baru tidak mengandung asam bebas dan acidity numbernya
dapat kurang atau sama dengan 0,1. Sedangkan pelumas bekas,
akan mengandung acidity number yang lebih tinggi.
2.2.

Minyak Jarak (Castor Oil)


Minyak jarak atau castor oil dihasilkan dari tanaman jarak (ricinus
communis), termasuk dalam famili Euphorbiaceae yang banyak tumbuh
didaerah tropik dan subtropik (Anonim, 2012).

Gambar1. Tanaman Jarak (Ricinus Communis)

Gambar 2. Minyak jarak (Castor oil)

Minyak jarak mempunyai kandungan asam lemak dengan komposisi


sebagai berikut:

Tabel 1. Komposisi Minyak Jarak (Castor oil)


Asam Lemak
Asam Palmatic
Asam Stearat
Asam Oleat
Asam Linoleat
Asam Linolenic
Asam risinoleat
Sumber : Salimon, 2012

Rumus Molekul
C16H32O2
C18H36O2
C18H34O2
C18H32O2
C18H30O2
C18H34O3

Persentase (%)
0,8 1,1
0,7 1,0
2,2 2,3
4,1 4,7
0,5 0,7
87,7 90,4

Tingginya kandungan asam risinoleat menjadi perhitungan untuk


aplikasi yang serbaguna dari minyak castor dalam industri kimia seperti asam
risinoleat yang digunakan sebagai senyawa ester sintesis untuk bahan baku
minyak pelumas.
Castor oil memiliki viskositas pada temperatur yang tinggi dan cair
pada temperatur yang rendah sehingga dapat dijadikan

sebagai minyak

pelumas yang cukup bagus. Perkembangan pasar dan teknologi telah


mengarahkan penggunaan castor oil untuk dijadikan bahan baku minyak
pelumas karena kualitas yang lebih baik dari pada pelumas berbasis minyak
mineral, lebih ramah lingkungan karena pelumas ini dapat didegradasi
dengan lebih singkat oleh alam dan dapat diperbaharui (Salimon, 2012).
2.3.

Asam Risinoleat

Gambar 3. Asam Risinoleat (Asam 12-Hidroksi-9-Oktadekanoat)

Asam risinoleat memiliki 18 atom karbon dengan 1 gugus hidroksi


pada ataom karbon ke 12 dan ikatan rangkap Cis antara atom karbon 9 dan
10. Berat molekul asam risinoleat 298,46. Adanya asam lemak risinoleat pada
castor oil membuat castor oil memiliki sifat yang khusus yaitu castor oil dapat
bercampur dengan alkohol dan sedikit larut dalam petroleum eter pada
temperatur kamar (Naughton, 1973).
2.4.

Modifikasi Minyak Nabati Menjadi Biopelumas

Kelemahan yang terdapat pada biopelumas disebabkan oleh struktur


trigliserida yang terdapat dalam minyak nabati (Bergastra, 2007), seperti yang
terlihat pada gambar berikut.

Ikatan
rangkap
rawan
teroksidasi

Gambar 4. Struktur triasilgliserida dalam minyak castor dan kelemahannya

Akibat dari ikatan rangkap tersebut, ketahanan oksidasi yang rendah,


hal ini disebabkan karena banyaknya ikatan rangkap pada bahan dasar
minyak tumbuhan yang akan membentuk resin dan deposit apabila terkena
panas tinggi dan oksigen. Selain itu, biopelumas memiiliki pour point atau titik
tuang yang tinggi sehingga hanya dapat digunakan pada daerah beriklim
subtropis.
Telah banyak dilakukan modifikasi untuk meningkatkan ketahanan
oksidasi dan menurunkan titik tuang, yaitu dengan menghilangkan ikatan
rangkapnya secara langsung seperti:
2.4.1. Hidrogenasi
Hidrogenasi ini adalah mereaksikan trigliserida dengan hidrogen
(H2) sehingga ikatan rangkapnya teradisi oleh hidrogen menjadi ikatan
tunggal (Dierker, 2006).

Gambar 5. Hidrogenasi Trigliserida dengan Hidrogen

Tetapi metode ini mempunyai kelemahan yaitu produk yang dihasilkan


akan menjadi padatan sehingga tidak dapat digunakan sebgai
pelumas.
2.4.2. Ozonolisis
Ozonolisis adalah mereaksikan trigliserida dengan ozon (O 3).

Gambar 6. Ozonolisis Trigliserida dengan Ozon

Tetapi metode ini mempunyai kelemahan yaitu produk yang dihasilkan


akan menjadi cukup reaktif sehingga dapat membentuk keton ataupun
aldehid (Vicray et all, 2004).
2.4.3. Epoksidasi
Epoksidasi merupakan reaksi yang terjadi antara alkena dengan asam
karboksilat. Dimana, produk hasil epoksidasi disebut epoksida atau
oksirana (Fessenden & Fessenden, 1986).

Gambar 7. Mekanisme Epoksidasi

Cincin epoksida menderita terikan (strained). Adanya terikan


(strained) tersebut dikarenakan cincin tersebut tak dapat memiliki sudut
ikatan sp3 sebesar 109o seperti sudut-sudut ikatan yang dibentuk oleh
ikatan tunggal, dimana sudut antar inti cincin epoksida hanya sebesar
60o sesuai dengan persyaratan cincin tiga anggota sehingga orbital
yang membentuk ikatan cincin tidak dapat mencapai tumpang tindih
maksimal (Fessenden & Fessenden, 1986).
Pembukaan cincin tiga anggota terterik menghasilkan produk
yang lebih stabil dan berenergi lebih rendah. Reaksi khas epoksidasi
ialah reaksi pembukaan cincin, yang dapat berlangsung baik pada
suasana asam maupun basa. Reaksi ini dirujuk sebagai reaksi

pemaksapisahan (cleavage) berkatalis asam atau berkatalis basa


(Fessenden & Fessenden, 1986).
1. Pemaksapisahan Berkatalis-Basa
Epoksida mengalami serangan SN2 oleh nukleofilik seperti
ion hidroksida dan alkoksida. Nukleofil adalah ukuran kemampuan
suatu pereaksi untuk menyebabkan terjadimya suatu reaksi
substitusi. Berikut ini dapat dilihat tahap-tahap anatara etilen oksida
dengan ion hidroksida (NaOH atau KOH dalam air) dan dengan ion
metoksida (NaOCH3 dalam metanol) (Fessenden & Fessenden,
1986):

Umum:

Gambar 8. Mekanisme Pemaksapisahan Berkatalis Basa

Dalam

pemaksapisahan

berkatalis-basa,

nukleofil

menyerang karbon yang kurang terhalang (less-hindered), tepat


seperti yang dinantikan dari suatu serangan SN 2 (primer > sekunder
> tersier ).
2. Pemaksapisahan Berkatalis-Asam
Dalam pemaksapisahan berkatalis asam, oksigen epoksida
diprotonkan. Suatu epoksida terprotonkan dapat diserang oleh
nukleofil seperti air, alkohol atau ion halida (Fessenden &
Fessenden, 1986).
Umum :

Gambar 9. Mekanisme Pemaksapisahan Berkatalis Asam


Berbeda dengan pemaksapisahan berkatalis basa, serangan
dalam suasana asam justru berlangsung pada karbon yang lebih
terhalang.
Pemaksapisahan

atau

dalam

kasus

ini

disebut

reaksi

pembukaan cincin dapat dilakukan oleh katalis basa maupun asam,


akan tetapi katalis asam mempunyai keunggulan tersendiri, yaitu
tingginya reaktifan yang dimiliki. Beberapa contoh katalis asam
antara lain PTAS (p-Toluenesulfonic acid) dan H 2SO4. Berikut
merupakan

mekanisme

reaksi

pembukaan

cincin

epoksida

menggunakan katalis asam PTAS (p-Toluenesulfonic acid) (Salimon


dan Salih, 2009).
PTAS yang merupakan asam kuat mengalami ionisasi
melepaskan H+.

H+ yang dihasilkan akan membuka cincin oksirana.

Cincin oksirana yang telah terbuka oleh H + mempunyai


kelebihan proton (CH2+) sehingga akan diserang oleh
nukleofil.

Gambar 10. Mekanisme Reaksi Pembukaan Cincin Epoksida


Menggunakan Katalis Asam PTAS
(p-Toluenesulfonic Acid)

2.5. Reaksi Esterifikasi


Reaksi esterifikasi adalah reaksi antara asam karboksilat dengan
alkohol (Fessenden & Fessenden, 1986). Adapun reaksinya seperti berikut:
Pembentukan ester merupakan salah satu reaksi yang penting dalam
pemberian nilai tambah dari lemak hewan dan minyak tumbuhan.

Anda mungkin juga menyukai